Penamaan kampung Jatinegara Kaum mempunyai unsur historis yang dihubungkan dengan peristiwa penaklukan Jayakarta oleh VOC (Kompeni Belanda). Konon pada waktu kota Jayakarta direbut oleh Kompeni Belanda, Pengeran Jayakarta Wijayakrama (Bupati Jayakarta) menyelamatkan diri ke arah tenggara kota. Tempat pengasingan ini merupakan daerah hutan yang dipenuhi oleh pohon-pohon jati. Di tempat inilah beliau membuka hutan bersama pengikut-pengikutnya untuk dijadikan sebagai tempat pemerintahan dalam pengasingan. Selanjutnya Pangeran menyebut daerah ini dengan nama “Jati Negara”. Nama ini dapat diartikan sebagai “negara yang sejati” atau “pemerintahan yang sejati”. Lama kelamaan sebutan Jatinegara meluas dibarengi dengan meluasnya daerah tersebut. Untuk membedakan Jatinegara lama dengan Jatinegara hasil pengembangan kota, maka Jatinegara lama disebut Jatinegara Kaum. Kata “Kaum” ini dapat diartikan sebagai tempat pemukiman para santri sekitar masjid (pemeluk Islam yang taat). Tetapi sampai sejauh ini belum dapat dipastikan sejak kapan nama “Kaum” tersebut digunakan. Menurut informasi dari penduduk Cina yang telah lama tinggal disana mengatakan bahwa nama Jatinegara Kaum tidak dikenal, yang dikenalnya hanyalah sebutan “Kampung Dalem”. Tentunya sebutan ini mempuyai latar belakang sejarah. Sebutan Dalem menunjukkan kepada bangunan keraton atau tempat bermukimnya para pembesar kerajaan. Dalam hal ini dapat dihubungkan dengan peristiwa pengasingan Pangeran Jayakarta beserta para pengikutnya. Pada tahun 1618, Jan Pieterszoon Coen meninggalkan Jayakarta menuju Maluku untuk menghimpun dan menata kekuatan armadanya. Benteng J.P. Coen di Jayakarta diserahkan kepada Pieter van den Broocke. Semua ini terjadi akibat permusuhan orang Jayakarta yang dipimpin oleh Pengeran Jayakarta Wijayakrama dan dibantu oleh Inggris terhadap orang-orang Belanda. Satu bulan setelah Jayakarta ditinggalkan J.P. Coen banteng diambil alih oleh Pangeran Jayakarta dan Inggris. Pada bulan Mei 1619, J.P. Coen datang lagi ke Jakarta bersama armadanya yang sudah siap tempur. Terjadilah pertempuran sengit antara Belanda dan Jayakarta. Armada Belanda sempat membakar masjid dan keraton serta membumihanguskan kota Jayakarta. Pada saat itu pulalah Jayakarta jatuh ke tangan Kompeni Belanda. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Mei 1619. Kemenangan Belanda sekaligus mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Sebelum Jayakarta dikuasai sepenuhnya oleh Belanda, sebenarnya Pangeran Jayakarta Wijayakrama telah ditarik terlebih dahulu oleh Sultan Banten. Pangeran dibawa oleh Tumenggung Banten ke daerah Tanara, Banten. Berita ini diperkuat dengan adanya surat-surat Pieter van den Broocke dan Jan Pieterzoon Coen yang menyebutkan bahwa Pangeran Jayakarta telah ditarik oleh Sultan Banten sebelum Jayakarta jatuh ke tangan Belanda. Lain lagi dengan keterangan lisan yang disampaikan oleh Rd. Junaedi yang menerangkan bahwa kekalahan Jayakarta mengakibatkan menyingkirnya Pangeran Jayakarta Wijayakrama ke daerah yang disebut Jatinegara Kaum sekarang. Di daerah ini Pangeran menyusun kekuatan untuk merebut kembali Jayakarta. Dalam sejarah pemerintahan kota, Jatinegara baru masuk sebagai wilayah administratif kota pada tahun 1926, yaitu sejak masa Stadgemeente Batavia. Pada waktu itu Meester Cornelis (Jatinegara) merupakan Stadgemeente tersendiri. Kemudian pada tanggal 1 Januari 1936 daeeah ini digabung dalam Stadgemeente Batavia. Sebelum tahun 1926, Jatinegara merupakan daerah di luar kota Jayakarta. Bahkan pada saat Jayakarta menjadi Stad Batavia (tahun 1619 - 1799) daerah ini masih jauh di luar kota. Begitupula pada masa Gemeente Batavia (1905 - 1926), Kampung Jatinegara belum masuk kota. Masa Gemeente Batavia membagi kota kedalam dua distrik, yaitu Distrik Batavia dan Waltevreden. Dalam hal ini Jatinegara tidak termasuk Onderdistrik manapun. Pada masa pendudukan Jepang (1942 - 1945), pemerintahan kota berubah lagi menjadi Djakarta Tokubetsu Shi. Pada masa ini Jakarta dibagi kedalam tujuh daerah bagian yang disebut “Siku”, termasuk diantaranya adalah Jatinegara yang merupakan siku ke-7. Keadaan ini mungkin tidak berubah pada masa Pemerintahan Nasional Kota Djakarta (1945 - 1947), sebab keadaan kota masih belum stabil. Pada masa Pemerintahan Nasional Kota Djakarta, Belanda datang lagi. Jakarta kembali dijadikan Stadgemeente dalam masa Pemerintahan Pra Federal (1947 - 1949). Pada masa ini Jatinegara (Kaum) masuk dalam onderdistrik Pulo Gadung yang dibawahi lagi oleh Distrik Bekasi. Distrik inipun dimasukkan ke dalam daerah yang berbatasan dengan kota Jakarta. Onderdistrik disamakan dengan kecamatan sekarang, sedangkan distrik adalah daerah kekuasaan di atas kecamatan. Dengan demikian sejak tahun 1947 hingga sekarang Jatinegara Kaum masuk ke dalam Kecamatan Pulo Gadung. Daerah ini baru menjadi kelurahan tersendiri pada tanggal 1 Oktober 1966 yang merupakan penggabungan dari pecahan Kelurahan Klender, Jatinegara dan Rawaterate. Dengan demikian kini secara administratif Jatinegara Kaum merupakan kelurahan di bawah Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur. Adapun luas wilayah Kelurahan Jatinegara Kaum ±100,5 Ha dengan batas-batas sebagai berikut :
- sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Pulo Gadung dan Jalan PT Dana paint,
- sebelah timur berbatasan dengan Jalan Raya Bekasi dan Kelurahan Jatinegara,
- sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Klender dan rel kereta api,
- sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan cipinang, Jatirawamangun,
dan Kali Sunter.
Tidak diketahui dengan pasti apakah telah ada penduduk sebelum Pangeran Jayakarta dan pengikutnya datang ke tempat ini (Jatinegara Kaum). Namun keterangan lisan menyebutkan tidak ada penduduk di tempat ini sebelum kehadiran pangeran Jayakarta. Keterangan ini dihubungkan dengan sejarah lisan yang menyebutkan bahwa daerah Jatinegara Kaum merupakan hutan lebat yang ditumbuhi oleh pohon-pohon jati. Kemudian hutan-hutan ini dibuka oreh pangeran dan pe- ngikutnya untuk dijadikan sebagai tempat pemerintahan pangeran Jayakarta dalam pengasingan. pangeran Jayakarta inilah yang menjadi cikal bakal penduduk Jatinegara Kaum sekarang. Keterangan diatas dibenarkan oleh Rachmad Sugandi yang mengatakan bahwa penduduk asli Kampung Jatinegara Kaum memamg berasal dari Banten bukan dari Betawi. Hal ini dibuktikan dengan bahasa yang digunakan ditempat ini sekarang, yaitu bahasa Sunda bukan bahasa Betawi atau lainnya. Bukti lain adalah adanya nama-nama orang seperti Tubagus (Bagus), Raden dan Ateng. Nama-nama ini berasal dari Banten. Ternyata sampai sekarang nama ini masih ada yang menggunakannya. Jika kita perhatikan sumber-sumber tertulis, terutama dari Babad Purwaka Caruban Nagari, maka memang benar penduduk Jatinegara Kaum berasal dari Banten. Namun bukan berarti orang Banten asli. Dalam babad tersebut disebutkan bahwa Sunan Gunung Jati memerintahkan Fatahillah, seorang panglima tentara muslim Demak untuk merebut Banten dan Sunda Kelapa yang masih dikuasai Pajajaran. Balatentara yang hendak menyerbu Banten dan Sunda Kelapa adalah tentara gabungan dari Demak dan Cirebon. Pasukan berjumlah 1967 orang. Daerah yang pertama kali diserbu oleh pasukan ini adalah Banten, baru setahun kemudian Sunda Kelapa. Karena penyerbuan Sunda Kelapa berangkat dari Banten, maka penduduk sekarang mengira atau menafsirkan bahwa yang menyerbu Sunda Kelapa adalah Banten. Jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan tentara muslim sekaligus mengubah nama menjadi Jayakarta. Banyak tentara muslim yang menetap di Jayakarta. Kemudian ini berkembang sejalan dengan perkembangan penduduknya. Pada tahun 1619 penduduk Jayakarta ini tersingkir akibat jatuhnya Jayakarta ketangan Kompeni Belanda. Tentara Islam berikut Pangerannya tersingkir dan lari ke Jatinegara kaum. Demikian dugaan penduduk setempat yang sekarang tentang orang-orang Banten sebgai cikal bakal penduduk Jatinegara Kaum. Bila dikatakan bahwa Pangeran Jayakarta adalah cikal bakalnya penduduk Jatinegara Kaum sekarang, maka terlebih dahulu harus diketahui siapa Pangeran Jayakarta dan siapa pengikutnya. Ada beberapa sebutan untuk Pangeran Jayakarta yaitu : Pangeran Jakarta, Jayakarta Wijayakrama, Jayawikarta, Kawis Adimarta, Sungasara Jayawikarta. Berita Belanda atau Inggris menyebutnya Conick atau Regen van Jacetra atau King of Jacatra. Pangeran Jayakarta Wijayakrama mempunyai seorang ayah yang bernama Tubagus Angke yang menjadi Bupati Jakayakarta yang kedua setelah Fatahillah. Pangeran Jayakarta Wijayakrama adalah seorang anak hasil perkawinan antara Tubagus Angke dengan putrid Maulana Hasanuddin yang bernama Ratu Pembayun. Kalau saja Tubagus Angke asli Banten, maka Pangeran Jayakarta Wijayakrama marupakan hasil perkawinan campur antara Banten dan Cirebon. Setelah dewasa Pangeran Jayakarta menikah dengan seorang putri pengeran Pajajaran (Sunda) yang juga dijuluki Ratu Pembayun. Para pengikut Pangeran Jayakarta adalah tentara-tentara muslim yang setia kepada Pangeran. Tentara ini berasal dari Demak dan Cirebon. Pada saat Jayakarta jatuh, mereka mengungsi ke Jatinegara Kaum dengan membawa serta istri dan anak-anaknya. Dari keterangan diatas mengenai asal Pangeran Jayakarta dan para pengikutnya, terlihat keterlibatan suku Banten, Cirebon, Sunda (Pajajaran) dan Demak. Bila memang benar Pangeran Jayakarta dan pengikutnya merupakan cikal bakal penduduk Jatinegara Kaum sekarang, tentunya penduduk asli bukan saja dari Banten, melainkan juga dari Cirebon, Sunda dan Demak. Jatinegara yang merupakan “Desa Historis” didukung pula oleh adanya peninggalan sejarah. Peninggalan sejarah tersebut adalah masjid kuno, makam Pangeran Jayakarta Wijayakrama dan 4 buah rumah lama arsitektur khas Betawi. Peninggalan-peninggalan sejarah ini tidak sejaman. Secara kronologis bangunan masjid kuno lebih tua, kemudian makam (nisan) dan yang termuda adalah rumah berarsitektur Betawi. Masjid Jatinegara kaum terletak di wilayah RT 006/RW 03 tepatnya di Jalan Raya Jatinegara Kaum, di tepi timur sungai Sunter. Bengunan ini sudah mengalami perbaikan, penambahan dan pemugaran, sehingga bentuknya yang sekarang tidak sesuai lagi dengan bangunannya yang lama. Bagian yang asli dari bangunan masjid ini adalah atap yang terdapat di sebelah barat. Atap ini berbentuk limas/kerucut, semakin keatas semakin meruncing dengan bagian dasarnya berbentuk bujur sangkar. Atapnya genteng, sedangkan kaso, reng dan tiang penopang terbuat dari kayu. Menurut informasi Rachmad Sugandi dulunya atap ini bertumpang dua seperti lazimnya atap-atap mesjid kuno lainnya di Pulau Jawa. Berdenah bujur sangkar dengan ukuran 10x10 meter. Pintu masuk berukuran lebar yang terdiri dari dua daun pintu. Jendela berukuran besar dengan terali yang terbuat dari kayu batang pohon aren. Melihat dari gaya atapnya, maka masjid ini dapat ditentukan masanya yaitu pada masa abad 18. Akan tetapi menurut keterangan Rachmad Sugandi, masjid ini dibangun pada tahun 1620. Sebab beliau pernah melihat prasasti kayu yang bertuliskan huruf Arab yang menunjukkan angka tahun pendirian 1620. Angka tahun ini bukan berupa candrasengkala ataupun memed. Pada jaman Jepang prasasti ini masih terpampang di atas pintu masuk masjid, tetapi kini sudah tidak ada lagi. Entah hilang kemana, tegas beliau. Komplek makam yang terdiri dari makam Pangeran Jayakarta, keluarga pangeran dan masyarakat biasa terletak di sebelah barat daya dan utara masjid. Khusus makam Pangeran Jayakarta dan keluarganya berlokasi di sebelah barat daya masjid. Makam-makam ini diletakkan pada tempat yang agak tinggi. Bentuk dan hiasan nisan hampir seluruhnya serupa, yakni berbentuk pipih dengan hiasan kerawal, bentuk kijing berundak, sekarang berhiasan marmer. Rumah lama di daerah Jatinegara kaum terdapat 4 buah dengan lokasi yang berlainan. Dua buah rumah lama terdapat di Jalan Raya Jatinegara Kaum dan dua buah lagi terdapat di Jalan Raya Bekasi. Keadaan rumah ini masih baik, hanya sebuah yang sudah rusak dan tidak dihuni, yaitu yang terletak di Jalan Raya Bekasi. Rumah-rumah lama ini berarsitektur Betawi dengan serambi yang besar di bagian depan yang berfungsi sebagai ruang penerima tamu dan tempat istirahat. Di belakang serambi ini terdapat ruang tidur, ruang makan dan dapur dan pada bagian belakang sekali terdapat kamar dan WC. Bahan bangunan yang digunakan adalah batu bata tegel untuk pondasi dan lantai, kayu dan bambu untuk kerangka atap, genteng untuk penutup atap. Adapun mata pencaharian penduduk Kelurahan Jatinegara Kaum sekarang pada umumnya beraneka ragam. Ada yang menjadi pegawai negri, ABRI, buruh, pengrajin, pedagang, wiraswasta dan petani. Sarana pendidikan yang tersedia di Kampung Jatinegara Kaum masih belum memenuhi syarat dan tidak seimbang bila dilihat dari segi kebutuhan pendidikan khususnya bagi mereka yang ingin melanjutkan ke tingkat SMP, SMA, serta perguruan tinggi masih sangat kurang. Mayoritas penduduk Kampung Jatinegara Kaum adalah beragama Islam. Agama Islam sebuah cirri identitas dari masyarakat kampung daerah tersebut tidak dapat dipisahkan dari selulruh kegiatan kehidupan sehari-hari dalam masyarakatnya, yaitu rukun Iman dan rukun Islam dapat mereka jalankan dengan taat. Bahkan semua peristiwa yang menyangkut tentang bulan-bulan suci agama Islam tidak pernah luput untuk disemarakkan dan dihormati dengan patuh dan penuh keyakinan, seperti bulan Maulid, Nuzulul Qur’an, Idul Adha/Qurban, Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW, tahun baru Hijriyah/Muharram, Idul Fitri dan sebagainya. Pendidikan tentang agama Islam terhadap anak-anak oleh para orang tua mereka mendapat perhatian yang sangat khusus. Kegiatan keagamaan seperti pengajian dan ceramah-ceramah tentang hukum-hukum akhirat dan keduniaan selalu digalakkan, baik dikalangan orang tua, pemuda, maupun anak-anak. Penduduk Kampung Jatinegara Kaum pada mulanya adalah keturunan dari Pangeran Jayakarta yang berasal dari Banten dan Cirebon, ditambah suku lainnya yaitu orang-orang Sunda dan orang-orang Jawa Tengah (Demak). Generasi selanjutnya adalah keturunan penduduk lokal dan kelompok-kelompok suku bangsa lainnya yang datang dari penjuru daerah di Indonesia. Namun demikian dalam pergaulan sehari-hari, terutama antara anggota keluarga atau kerabat mereka menggunakan bahasa Sunda dengan campuran dialek Banten dan Cirebon. Beberapa istilah kekerabatan yang masih dipergunakan dalam bahasa Sunda, misalnya :
- Ama : panggilan anak kepada ayah
- Emang : saudara laki-laki dari ayah atau ibu
- Bibi : saudara perempuan dari ayah atau ibu
- Uwa : kakak laki-laki atau perempuan dari ayah atau ibu
- Aca : saudara laki-laki yang lebih tua
- Alo : saudara sepupu dari pihak ayah atau ibu
- Ateng : gelar penghormatan bagi orang yang sudah lanjut usia
- Raden : gelar dari warisan leluhur keraton
Tradisi-tradisi yang berlaku dalam masyarakat Kampung Jatinegara Kaum mempunyai perbedaan dengan tradisi-tradisi yang ada di lingkungan kampung-kampung yang bercorak Betawi. Walaupun demikian sudah terlihat pula adanya saling mempengaruhi anatara tradisi yang ada dengan tradisi di sekitarnya yang bercorak Betawi. Bentuk campuran tradisi-tradisi dalam siklus kehidupan warga kempung tersebut masing-masing meliputi :
- Upacara kehamilan 7 bulan (nujuh bulan) bagi seorang calon ibu, yaitu dimandikan oleh seorang dukun dengan air kembang sambil dibacakan Surat Yusuf;
- Mengadzankan dan mengqomatkan seorang bayi yang baru lahir setelahnya dibersihkan;
- Mengubur ari-ari bayi yang telah dibersihkan dan diberi bumbu-bumbu ramuan di depan halaman rumah dengan mempergunakan tempayan kecil, selama satu minggu diterangi oleh sebuah pelita;
- Menyelenggarakan akikah bagi mereka yang mampu, yaitu memotong seekor kambing bagi kelahiran bayi perempuan dan dua ekor kambing bagi kelahiran bayi laki-laki;
- Upacara khitanan bagi anak laki-laki yang sudah berusia 7 – 8 tahun yang sebelumnya terlebih dahulu diarak keliling kampung;
- Upacara pernikahan yang sebelum pelaksanaannya melewati tahap-tahap berikut:
Saat pinangan diutus 4 – 5 orang dari pihak laki-laki kepada gadis yang akan dipinang untuk menanyakan status dari gadis tersebut.
2 atau 3 bulan sebelum pelaksanaan pernikahan kedua belah pihak mengadakan persiapan-persiapan begi pelaksanaan pernikahan mereka.
Saat pernikahan pihak laki-laki membawakan pihak perempuan dengan berbagai bawaan dan pengiringnya. Sebelum pihak laki-laki memasuki rumah pihak perempuan, akan dibacakan sebuah syair. Bagi para tamu undangan, makanan nasi dalam piring telah disiapkan, hanya tinggal mengambil lauk pauknya saja. Saat ada kematian salah seorang warganya, penduduk yang lain akan segera memberikan bantuan baik dalam segi materi maupun moril. Saat setelah jenazah dikuburkan, maka pada malam harinya di rumah duka diadakan pembacaan Al-Qur’an dan doa serta sedekahan pada setiap hari ke 3, 7, 40, 100 dan 1000 harinya. Untuk hal itu tergantung pada keadaan ekonomi dari keluarga yang terkena musibah tersebut. Kesenian yang digemari oleh penduduk Kampung Jatinegara Kaum ini adalah berupa kesenian gambus, rebana dan ketimpring yang memiliki unsur-unsur religius. Sedangkan kesenian Betawi yang berupa lenong, macam-macam tarian dan cokek kurang diminati karena tidak cocok dengan keyakinan agama mereka.
Referensi: Kampung Tua di Jakarta, Dinas Museum dan Sejarah, 1993.
Sumber: Diskominfomas
No comments:
Post a Comment