Thursday 11 November 2010

MENCARI NELANGSA

MENCARI NELANGSA


Arif Rohman


Semua muka yang ada di pendopo itu tertunduk lesu, pucat seperti mayat. Betapa tidak, saat itu Yudhistira sedang tiwikrama menjadi raksasa bermuka merah dan mengerikan. Jangankan para punakawan, raja-raja dan para ksatria yang bersimpati pada Pandawa saja menahan nafasnya dan tidak ada yang bergerak. Suara serak menggelegar pun memecah keheningan.

‘Sekali lagi Arjuna, kau tidak pernah memberikan kontribusi sedikitpun bagi perjuangan Pandawa. Kamu klelar kleler dan bisamu hanya merayu para gadis-gadis. Sekali pun kamu belum pernah berkelahi membela kita. Lihat akibat perbuatanmu, Kurawa telah menghina kita!’, Yudhistira berucap.

‘Aduh Kakang.. Aku memang tidak suka berkelahi Kakang. Aku bahkan tidak ingin Perang Bharatayudha terjadi Kakang. Aku terus bermimpi darah di Padang Kurusetra bak lautan. Mayat-mayat bergelimpangan. Untuk apa semua ini kalau hanya untuk sekedar kekuasaan belaka. Lebih baik hidup menjadi petani yang bahagia dan tenang. Karena itulah Kakang aku tidak mau berkelahi dengan kadangku sendiri para Kurawa dan aku tidak mau berlatih memanah seperti halnya para ksatria lain..’, rintih Arjuna sendu sambil mukanya masih tertunduk, tidak berani menatap raksasa itu.

‘Kamu memang tampan tidak hanya parasmu Arjuna, tetapi kelihaianmu dalam berkata tidak ada tandingannya. Kata-katamu tadi telah melemahkan hampir separo dari semangat prajurit dan sekutu kita. Demi tegaknya keadilan untuk Pandawa, mulai sekarang aku tidak mau melihat wajahmu lagi Arjuna. Pergilah dari hadapanku sekarang. mataku sepet melihat dirimu. Minggat sana!’, demikian berkata Yudhistira sambil mengepalkan tangannya.

‘Duh kakang.. Setelah orang tua kita meninggal, hanya ada Kakang pengganti orang tua. Sejak kecil aku selalu menuruti kata-kata Kakang. Sepatah pun aku tak berani membantah. Mengapa Kakang tega berucap demikian. Aku hanya ingin hidup tenteram, bebas, dan merdeka. Begitu pula rakyat Astina, siapapun yang menjadi raja tidak masalah asalkan mereka dapat hidup damai dan tenteram..’, berkata Arjuna sambil meneteskan air mata di pipinya.

‘Berani kamu saur manuk dihadapan Kakangmu ini. Ksatria cengeng. Tak bisa memanah. Pandawa tidak membutuhkanmu. Biarlah Pandawa berkurang satu asal Kurawa dapat dibasmi. Pergi kamu!’, sekali lagi Yudhistira meraung. Kecewa, marah karena harapannya agar Arjuna mau belajar memanah, menjadi ksatria digdaya dan membela hak-hak Pandawa tidak terpenuhi.

Setelah memberikan hormat pada Yudhistira, Arjuna yang hatinya tak kalah pedihnya pun pergi dengan gontai. Dalam hati Arjuna berpikir, apakah kekuasaan lebih lebih berharga dibandingkan dengan kehidupan rakyat miskin. Apakah dirinya salah ingin menjadi rakyat biasa? Apakah salah tidak mau belajar memanah yang hanya dijadikan senjata berkelahi? Apakah salah dirinya selalu bertutur dengan sopan dan lembut pada setiap gadis. Bukankah dirinya dibesarkan oleh seorang wanita yang tanpa daya yang hak-haknya sering terabaikan oleh para pria. Apakah benar ia salah terlalu menghargai dan menjunjung tinggi kaum wanita? Semua pikiran itu berkecamuk dalam diri Arjuna. Dan ketika sadar, ia telah jauh meninggalkan negerinya. Di depannya adalah daerah Mintaraga yang banyak terdapat goa. Di goa tersebutlah Arjuna memutuskan untuk bertapa mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengusik hatinya.

Setelah kepergian Arjuna, pendopo Amarta jadi sunyi dan sepi. Pada saat itulah Semar sebagai pengasuh Pandawa memecah keheningan.

’Sudahlah Ngger.. Jangan diteruskan lagi pertengkaranmu dengan Arjuna. Ini jelas akan merusak persatuan Pandawa, dan justru akan menguntungkan Kurawa. Eling Ngger.. Eling.. Arjuna itu sejak kecil sudah hidup sendiri ditinggal mati oleh Bapaknya. Ngger Yudhistira adalah anak tertua Pandawa harusnya lebih berlapang dadanya dan mau menerima pendapat orang lain..’, begitulah nasehat dari Semar yang dikenal sebagai penjelmaan dari Bathara Ismaya, yang disegani oleh semua Dewa di kahyangan.

Kata-kata Semar seperti air es yang mengguyur kepala Yudhistira yang panas menggelegak menyadarkan dia pada kemarahan yang sebenarnya tidak perlu. Ketika sadar, Yudhistira berubah menjadi sosok manusia lagi, bukti amarahnya telah mereda. Tangispun kembali memecah keheningan itu. Tangis, kecewa, menyesal, gegetun yang tak alang kepalang. Tapi nasi telah menjadi bubur. Bima, Nakula, dan Sadewa pun ikut menangis. ‘Itulah takdir’, demikian kata Semar. Takdir baik atau buruk manusia tak ada yang tahu. Hikmahnya hádala para Pandawa harus lebih sabar dan tidak menuruti hawa nafsunya dalam bertindak. Hal ini juga berlaku pada semua orang yang ada dalam pendopo tersebut. Setelah semua orang menyadari apa yang terjadi, akhirnya diambillah kesepakatan untuk mencari Arjuna yang hilang entah kemana.

ooooooooooooooooo

Berbulan-bulan sudah para kadang Pandawa mencari keberadaan Arjuna tapi hasilnya masih saja nihil. Pertemuan di Pendopo Agung Amarta tetap saja lengang semenjak peristiwa Arjuna pergi. Pertemuan itu semakin lengang ketika mereka membicarakan raksasa yang sedang mengamuk dan merusak persawahan, perumahan dan mengacau di negeri Amarta. Semua prajurit, ksatria dan preetapa pun tak bisa mengatasinya. Akhirnya mereka hanya bisa berdoa lepada para Dewa untuk dihindarkan dari angkara murka itu.

Setelah mereka berdoa secara khusyuk dan bersemadhi, muncullah Bathara Indra yang memberikan wangsit bahwa akan datang seorang ksatria muda yang bernama Mintaraga yang bisa mengalahkan raksasa yang sedang mengamuk di negeri Amartha. Kemudian Bathara Indra pun lenyak kembali ke kahyangan. Semua yang ada di pendopo itu pun lega sambil terus berharap siapakah gerangan Mintaraga, ksatria yang dapat mengalahkan raksasa itu?

ooooooooooooooooo

Kahyangan geger, para Dewa dan Dewi tidak bisa tenang. Hawa panas dan goncangan-goncangan seakan menandakan bahwa telah terjadi peristiwa yang Sangay Herat yang bakal terus menyerang kahyangan. Dan benar saja, kejadian itu sampai berbulan-bulan lamanya, yang memaksa Bathara Indra untuk Turín ke dunia.

Bathara Indra Turín tepat di Goa Mintaraga asal hawa panas yang mengguncang isi kahyangan. Terlihat sosok pemuda yang tampan tapi sedikit lebih kurus yang sedang bersamadi dengan khusyuk.

‘Cukup Ngger.. Cukup. Hentikan tapamu. Apa yang kau pinta kepada Dewa Ngger cah bagus..? Katakan saja..’, kata Bathara Indra.

Arjuna pun membuka matanya sambil tersenyum tenang dia memberikan sembah pada Bathara Indra. Kata-katanya yang lembut menawan seolah membuktikan bahwa dia adalah Arjuna yang terkenal dengan ketampanan dan kehalusan budi pekertinya.

‘Duh Sinuhun.. Saya Arjuna putera Pandu ingin hidup tenang dan tenteram bagaimanakah caranya? Saya hanya ingin menjadi rakyat biasa.. Apakah saya salah Sinuhun.. Saya tidak ingin bertapa untuk mencari kesaktian, tetapi bertapa untuk ketenangan hidup..’, kata Arjuna pelan.

‘Ngger cah bagus.. Hidup semua sudah ada yang mengatur. Manusia tidak bisa hidup sendiri karena sudah dari sananya mereka harus bersama dan saling tolong menolong. Kedamaian dan ketenteraman datangnya dari hati bukan dari apakah kita petani atau bukan. Hatimu yang mulia dan tutur katamu yang lembut adalah modal untuk mencapai ketenteraman. Ketenteraman lahir manakala kamu dapat membuat rakyat menjadi tenteram. Kedamaian hati tercipta saat kamu membasmi angkara murka dan membuat hidup masyarakat menjadi damai. Apa yang Ngger Arjuna inginkan sebenarnya adalah dari hati kita masing-masing.. Sudah jelas Ngger anakku?’, kata Bathara Indra sambil mengelus kepala Arjuna.
‘Sekarang ini Amartha telah diganggu oleh raksasa yang bernama Winantakala. Hanya kamulah yang sanggup mengalahkannya Ngger cah bagus..’, lanjut Bathara Indra.

‘Katur sembah nuhun Sinuhun.. Tapi saya tidak pandai memanah dan berkelahi, bagaimana saya dapat mengalahkannya..’, berkata Arjuna setengah berbisik.

‘Jangan khawatir Ngger cah bagus. Kuberikan kamu ilmu yang bernama Sepiangin. Pergunakan ilmu ini untuk membela rakyatmu Ngger cah bagus..’, kata Bathara Indra. Bersamaan dengan itu memancarlah cahaya dari tangan Bathara Indera dan memasuki tubuh Arjuna.

Setelah menerima ilmu Sepiangin, Arjuna meninggalkan Mintaraga dan berjalan menuju Amartha. Dalam perjalanan, Arjuna banyak menyelamatkan penduduk-penduduk desa yang menemui kesulitan. Karena ketampanannya para wanita, tua muda, gadis janda memuja-mujinya, bahkan para Dewa pun menjadi iri akan ketampanannya. Konon Dewa Kamajaya yang tertampan dari para Dewa pun gerah mendapat saingan. Tapi karena tindak-tanduk Arjuna yang lembut dan welas asih dalam bersikap maupun bertutur kata Kamajaya sendiri diam-diam memujanya.

Dalam perjalanan itu pula Arjuna sering bertapa. Bertapa tidak harus menyendiri, tapi dimanapun dalam situasi apapun harus berusaha menyingkirkan nafsu angkara murka yang ada dalam diri dan mengubah perbuatan-perbuatan yang tercela. Banyak Dewa yang menyayanginya. Bahkan Bathara Indra pun akhirnya mengangkat Arjuna sebagai anaknya dengan gelar Indra Tanaya. Arjuna pun mendapatkan panah Pasopati, panah Sarutama, panah Ardha Dhedali, Cundha Manik, Keris Pulanggeni dan cincin Sotyaningampal.

ooooooooooooooooo

Akhirnya saat yang dinanti pun tiba. Arjuna bertarung dengan Winatakala yang bisa mengeluarkan api dari mulutnya. Hampir sama seperti pertarungan-pertarungan sebelumnya, Arjuna pun mengeluarkan panah-panah saktinya. Dan akhirnya Arjuna berhasil mengalahkan raksasa tersebut.

Setelah mengalahkan raksasa tersebut Arjuna bertemu dengan kadang pandawa lainnya. Tangis haru dan rindu pun membahana di ruangan pendopo itu. Yah, tangis bahagia yang timbul dari kesalahpahaman yang sebenarnya tak perlu. Pemuda Mintaraga yang sakti mandraguna ternyata adalah Pamadya Pandawa yang nantinya membantu memenangkan perang di Kurusetra. Tapi semua orang tak tahu bahwa ketika Arjuna mengeluarkan panahnya, jutaan wanita berdoa untuk kemenangannya. Doa itu menjelma menjadi sinar yang memancar terang menyilaukan yang memaksa para Dewa mau tidak mau terpaksa memenangkan Arjuna. Oh lelananging jagad..



Demak, Agustus 2002

Arif Menulis Cerpen :
Cleopatra dan Cinta Si Gadis Desa 2



Hatiku selembar daun....

No comments:

Post a Comment