Sunday, 28 November 2010

Nasib Jadi Relawan dan Cerita Suka Dukanya di ACEH

Pagi ini saya terbangun dari tidur saya. Setelah capek mencuci baju dan mengepel lantai dan sedikit bersenandung supaya kualitas vokal saya tetap terjaga baik kayak Justin Bieber, saya coba menuliskan cerita-cerita yang saya anggap lucu tapi nyata dan terjadi.. :)



Menjadi relawan di Aceh pasca tsunami adalah pengalaman yang menakjubkan dalam kehidupan saya. Hari itu kami naik pesawat berombongan dari Jakarta menuju Aceh. Kebetulan saya kedapatan kursi dengan 2 orang laki-laki dari Aceh yang wajahnya terlihat murung. Pada waktu memasuki Aceh, semua orang melihat ke bawah dan berseru, "Lihat...!! Hancur semua. Rumah-rumah hilang dan berubah seperti sawah saja..!!". Tetapi ada yang menyeletuk kalau yang kami lihat pada waktu itu memang sawah. Semua orang pun tertawa ngakak. Kedua orang yang duduk di sebelah saya pun bertanya. Kalian dari mana? Kenapa ngetawain Aceh? KAMI TERKENA MUSIBAH DAN KALIAN MENTERTAWAINYA???!! Saya pun atas nama teman-teman langsung spontan meminta maaf kepada kedua orang itu dan menjelaskan bahwa kami rombongan relawan dari Depsos yang akan membantu para pengungsi terutama anak yatim piatu korban tsunami. Saya juga menjelaskan sekenanya bahwa ada beberapa teman yang baru sekali ini naik pesawat jadi agak sedikit terbawa suasana. Mereka pun mengerti dan menanyakan saya akan tidur dimana. Saya pun langsung mengatakan tidak tahu. Tapi kemungkinan besar saya akan tidur di tenda bareng pengungsi atau tidur di halaman Masjid Indrapuri dengan para penduduk yang mengungsi. Merekapun mengangguk dan kami berpisah di bandara. Dua hari kemudian saya benar ditempatkan di pengungsian Masjid Inderapuri dan kamipun mendirikan tenda di situ. Setelah hari siang kami pun duduk-duduk di halaman masjid karena panasnya yang luar biasa. Tiba-tiba datang seorang teman saya dan bilang kalau ada 2 laki-laki Aceh paruh baya yang mencari saya. Kemungkinan GAM katanya. Saya pun agak dag dig dug juga mengingat bahwa saya dari Jawa dan rumor mengatakan bahwa orang Aceh terutama GAM, orangnya kasar-kasar dan tidak suka dengan orang Jawa. Tetapi terus saya berpikir. Bukankah saya ke Aceh sudah pamit dan minta doa restu dengan Ibu saya. Bukankah kalau kita mati sebagai relawan dan sementara hati kita masih lurus dan putih dikarena kecelakaan atau sejenisnya kita bakalan mati khusnul khotimah? Saya pun tidak takut dan menemui kedua orang tersebut. Saya selalu yakin dengan kekuatan diplomasi. Saya yakin dengan kekuatan tulisan saya, omongan saya, dan kesopan santunan apa adanya. Di luar dugaan saya, kedua orang itu adalah orang yang duduk bersebelahan dengan saya di pesawat pada waktu berangkat ke Aceh! Mereka memeluk saya, mengucapkan terima kasih bersedia membantu rakyat Aceh dan membawakan saya dua karung yang isinya buah rambutan Aceh dan langsap (sejenis buah duku tetapi agak sedikit asam dan segar). Pertemuan ini langsung mengingatkan pada kisah seorang Amerika yang mau pindah dari Florida ke Illinois. Dia bertanya kepada seseorang di tempat pengisian bensin. Apakah orang di sini ramah-ramah? Orang tua itu pun menjawab kalau menurut anda? Mungkin tidak ramah, katanya. Si orang tua itu pun menjawab kalau menurut anda tidak ramah, maka penduduk di sini jauh tidak ramah. Kalau menurut saya ramah? Si kakek itu pun menjawab, kalau menurut kamu ramah, maka penduduk di sini jauh lebih ramah... :)


Saya adalah tipikal orang yang suka humor dan jarang serius kecuali pada situasi formal yang memang kita dituntut keseriusan. Pada waktu jadi relawan keisengan saya kadang muncul. Pada suatu hari kami disuruh merapat ke Brawe markas induk relawan Depsos di Aceh. Karena perintah itu sifatnya dadakan maka kami segera berangkat buru-buru. Sewaktu dalam perjalanan sore menjelang maghrib tiba-tiba di pinggir sawah ban sepeda motor kami meletus dan terpaksa kami turun. Karena rapat kelihatan sangat penting dan harus ada perwakilannya terus kami mendiskusikan siapa yang menuntun sepeda motor mencari tambal ban dan siap yang naik labi-labi (panggilan untuk angkot di Aceh). Saya pun mengatakan dengan cengengesan, kayaknya saya yang harus naik labi-labi karena walaupun badan saya lebih besar dari dia tetapi tenaga saya jauh lebih lemah, biarpun saya kelihatan gagah tapi nyali saya kecil, dan saya pun mengucapkan sambil ngakak, bahwa kalau ada bencana kesempatan hidup harus diberikan kepada mereka yang masih muda. Hehehe... Teman saya pun misuh-misuh dan saya diijinkan pergi duluan. Setelah sampai Brawe dan selesai rapat 2 jam kemudian datang teman saya dengan sepeda motornya dengan wajah pucat pasi. Ada apa kok sampai pucat begitu? Katanya pada waktu itu hari menjelang maghrib, situasi mencekam, semua depan, belakang samping kanan kiri adalah sawah yang thowang (sepi). Dia sungguh khawatir kalau tiba-tiba ada GAM menyergap dan membunuh dirinya. Setelah 5 menit berlalu tiba-tiba ada 2 mobil brimob kencang dan berhenti tepat di depannya. Keruan dia kaget setengah mati. Dia takut dikira sama orang Brimob itu GAM dan dibunuh begitu saja karena situasi pada waktu itu masih konflik. Dengan mengatakan kamu GAM terus dibunuh pun tidak ada yang ngusut kasarannya begitu. Ternyata Brimob-brimob di dua truk itu pada turun cepat sekali di depan mukanya terus MUNTAH-MUNTAH di depannya. Ternyata perjalanan Medan - Aceh dalam truk yang pengap membuat mereka mabok perjalanan dan kemudian tidak kuat dan akhirnya pada muntah-muntah semua. Cuma kawan saya kagetnya setengah mati untung tidak jantungan. Saya pun ngakak mendengar ceritanya. saya bilang jangankan pak pulisi itu saya sebagai teman akrab tapi kalau setiap mandang wajahmu sebenarnya mau muntah juga cuman kutahan-tahan demi pertemanan kita. Hehehe... Dan dia pun bilang, Asu...!! Bukannya simpati malah ngetawain kayak gitu... Nama teman saya itu adalah KAHONO, dia orang Jogja tapi sekarang sudah pensiun.. :)


Cerita berikutnya adalah tentang teman saya namanya Heryanto orang Makassar. Sebenarnya ada dua orang Makassar nama aslinya Arifudin tapi biasa dipanggil Daeng. Sedang Heryanto dipanggil Acho. Daeng selalu suka pada waktu saya mengajarkan baca puisi pada anak-anak. Pendekatannya beda, katanya. Dia selalu terpesona setiap kali saya membaca puisi, mungkin karena ketampanan wajah saya yang menghipnotis anak-anak dan ibu-ibu karena mungkin mirip sama si Justin Bieber. Hehehe... Kalau ini narcis sedikit! Hehehe... Suatu malam kami tiduran di posko Lambaro di bawah pohon kelapa. Ketika saya mau terlelap saya mendengar suara orang mengeluh dan merintih lirih-lirih... Saya pun segera memeriksa asal muasal suara itu dan menemuka Acho sedang merintih menahan kesakitan yang luar biasa. Saya pikir dia kesambet (kerasukan setan) atau mungkin kena angin malam. saya segera pijit lehernya supaya dia lebih enakan, tapi tak mempan. Saya pun memanggil beberapa rekan relawan untuk menolong. Akhirnya dia agak baikan dan kamipun bernafas lega. Tapi otak saya terus berpikir, sebenarnya kena apa sih dia? Tak lama 20 menit kemudian dia mendatangi saya dan mengaku kalau di kejatuhan pohon kelapa! Tepat di dadanya. Pantes sampai mau klenger gitu! Kataku sambil ngakak... Aihhh... Berat3x....Hatiku selembar daun... :)



Depok, 28 Nopember 2010.

No comments:

Post a Comment