Wednesday 10 November 2010

Pembangunan Ekonomi Rakyat: Sebuah Pemikiran Akademis

Pembangunan Ekonomi Rakyat: Sebuah Pemikiran Akademis
Frans Apomfires23
Abstract
People’s economic development programs in Papua always fail. The writer
argues that the reason for that fail is the lack of anthropological knowledge of
the executor of the programs.
Culturse of the Papuans are varied, and each culture has their own
perception and orientation on how to develop their economic life. Some
people support the programs created by the government, others support the
NGOs programs but some people not really agree with programs by booth
institutions.
The economic programs for the people according to the writer will succed if
the government or NGOs fix the values in people cultural orientation first
before they come with the programs.
1. PENDAHULUAN
Dalam pembahasan ini, kita bersama-sama akan mengikuti uraian yang
merupakan jawaban dan pemikiran akademis terhadap soal-soal tertentu, dimana
jawaban dan pemikiran terhadap soal-soal itu sekaligus menjadi isi dari
pembahasan ini. Saya mulai dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar
masalah-masalah pembangunan ekonomi kerayatan dan sekaligus menjawabnya
dan pada akhir materi ini saya memberikan rekomendasi dalam pelaksanaan
pembangunan ekonomi rakyat di Papua.
Program pembangunan ekonomi rakyat seperti IDT, Koperasi, PDM-DKE, PPK,
dan yang lainnya yang telah dijalankan Pemerintah, baik yang berhasil bagi
masyarakat sasaran maupun yang tidak, tidak disinggung di sini.
Pembangunan ekonomi rakyat merupakan upaya yang telah menjadi program
penting Pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Membangun ekonomi rakyat tidak hanya terbatas pada memperkernalkan dan
melaksanakan ide-ide dan alat-alat serta teknik-teknik baru dari luar kepada
masyarakat, akan tetapi bagaimana agar masyarakat itu dapat berpartisipasi
23 Staf Dosen Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 82
penuh dalam menumbuhkan-kembangkan potensi yang dimilikinya. Atau,
mampu bersikap mengembangkan dirinya.
Untuk dapat bertahan hidup, semua masyarakat harus membangun sistem
teknologi dan ekonomi. Teknologi suatu masyarakat terdiri dari peralatan,
teknik, dan pengetahuan yang diciptakan anggotanya untuk memenuhi berbagai
kebutuhan dan keinginan mereka. Ekonomi suatu masyarakat berisi cara-cara
yang diorganisasi secara sosial, dengan cara tersebut barang dan jasa diproduksi
dan didistribusikan. Kesemua ini merupakan budaya atau kebudayaan dari
masyarakat yang bersangkutan.
Boeke (1953) menerangkan fenomena penerapan teknologi baru yang lamban
dari petani Indonesia disebabkan oleh nilai social yang dianut mereka yang
menekankan pada pemenuhan kebutuhan social ketimbang kebutuhan ekonomi.
Artinya, keputusan menempatkan sumberdaya bagi petani Indoensia terutama
didikte oleh keinginan untuk memaksimalkan kebutuhan social dan bukan oleh
kebutuhan ekonomi (Sondakh & Sembel24).
Dalam konteks komuniti adat atau kampung di Papua, pembahasan akan
diarahkan pada teknologi dan ekonomi dari suatu komuniti adat atau kampung.
Teknologi dikonsepkan sebagai teknologi subsistensi (teknologi yang secara
langsung berkaitan dengan usaha menopang hidup), yang dibatasi hanya pada
beberapa jenis teknologi subsistensi, yakni berburu dan meramu, hortikultura
dan agraris. Yang menjadi perhatian juga disini adalah sifat-sifat teknologi
subsistensi sekaligus bagaimana proses pergantiannya (evolusinya) dalam
sejarah suatu komuniti adat atau kampung. Dengan begitu, maka pelopor atau
pembijak pembangunan ekonomi rakyat tidak harus memaksakan gagasannya
secara tidak ramah terhadap komuniti adat atau masyarakat sasaran
pembangunan.
2. PEMBANGUNAN EKONOMI RAKYAT
1. Bagaimana membangun ekonomi rakyat?
o Kata bagaimana pada pertanyaan ini memiliki makna: cara atau teknik
yang harus ditempuh. Karena itu, dari perspektif antropologi dalam
rangka pembangunan ekonomi rakyat, maka cara atau teknik yang lebih
dahulu dilakukan mendahului teknik lainnya adalah (a) kajian
antropologis untuk menemukenali siapa rakyat itu, dan apa bentuk dan
24 Dalam Antropologi Indonesia, Majalah Edisi Khusus No.51 Th. XVIII, Januari –
April 1995.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 83
ciri kebudayaannya; (b) membentuk tim pembuat perencana
pembangunan yang terdiri dari ahli berbagai disiplin ilmu serta tokoh
masyarakat sasaran. Apa dan bagaimana cara menemukenali siapa
rakyat dan kebudayaannya itu? Ada dua prosedur yang perlu ditempuh,
yaitu: (1) penelitian mendalam dengan metode observasi dan
wawancara; dan (2) penelitian itu harus dirancang dan dilaksanakan oleh
ahli kemasyarakatan yang sebenarnya secara multidisipliner (psikolog
social, budaya, dan ekonom).
o Pengalaman selama ini di negeri ini, Soal no.1 itu mengundang orang
untuk segera berpikir dan bertindak secara teknis. Memang harus begitu.
Tetapi, ada kasus selama ini dimana hasil yang diinginkan itu tidak
secara maksimal dicapai, bahkan nihil sama sekali. Penyebabnya adalah
dari dua sisi, pertama dari si perancang pembangunan, yang dari luar
masyarakat sasaran. Kedua, dari masyarakat sasaran pembangunan itu
sendiri. Biasanya yang pertama itu menyebabkan adanya yang ke dua.
Mengapa begitu? Kalau orang yang berpikir dan bertindak merancang
program pembangunan itu adalah dari disiplin pemerintahan dan
ekonomi “tulen” (bukan sosio-antropolog) sebagaimana pengalaman
selama ini, maka langsung dibikinkan gebrakan, yakni: paham
teoritisnya dipakai langsung sebagai acuan menyusun kerangka kerja
dan operasional, tanpa mengkaji dahulu siapa masyarakat sasaran, apa
kebudayaannya, dan lain sebagainya. Tetapi nanti setelah terjadi
hambatan budaya atau sosial, barulah sosio-antropolog dimintai solusi,
dimana hal ini juga jarang dilakukan selama ini. Hambatan tadi
kemudian dijadikan hal teknis baru yang lain lagi bagi orang tadi untuk
diproyekkan untuk tahun anggaran berikut.
o Ada kesadaran bahwa pendekatan sosial budaya adalah penting untuk
membuka pintu bagi pekerjaan membangun ekonomi rakyat, akan tetapi
sulit dibuat. Peroalannya menjadi, bentuk pendekatan sosial budaya
yang bagiamanakah yang telah dibuat selama ini? Mengapa tidak
mampu menentukan entri point yang baik?
2. Mengapa budaya komuniti setempat yang mau dibangun harus lebih dulu
kenal?
o Karena, orientasi ekonomi keluarga dari komuniti adat/kampung
berbeda dari perusahaan kapitalis. Keluarga dari komuniti setempat itu
merupakan unit produksi sekaligus konsumen. Perusahaan kapitalis lain
dari itu, biasanya adalah pemroduksi dan pendistribusi untuk
pengembangan lebih luas. Mengenai sikap ekonomi keluarga komuniti
setempat ini, Scott telah menerangkan bahwa, agar bisa bertahan sebagai
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 84
satu unit, maka keluarga tani itu pertama-tama harus memenuhi
kebutuhannya sebagai kebutuhan subsistensi yang tak dapat dikurangi
dan tergantung kepada besar-kecilnya keluarga itu.
o So patterns of subsistence in band. People in band societies live as
hunter-gatherers (also known as foragers), collecting plants and taking
animals from their environment. People living in tribes or chiefdoms
commonly practice horticulture (gardening) and pastoralism (animal
herding) may be is rare.
o Effects on the environment. Hunting and gathering, horticultural, and
may be pastoral ways of life generally make small demands on the
natural environment, because people tend to gather or grow only enough
food and other materials for their basic needs. These nomadic or
seminomadic societies can also move away from depleted areas,
allowing plants to regrow and animals to repopulate.
Agricultural societies can heavily burden the environment, sometimes
endangering their own survival.
3. KEBUDAYAAN SUKU BANGSA PAPUA DAN RAKYAT DI PAPUA
1. Apa kebudayaan dari sukubangsa Papua dan rakyat di Papua?
o Sukubangsa Papua dan rakyat di Papua adalah sangat beragam. Itu
berarti sangat beragam pula budaya atau kebudayaannya.
Pembahasan ini hanya mencakup sukubangsa Papua saja dalam
dimensi etnologis. Rakyat di Papua yang relevan disoroti dari sisi
dimensi sosiologis tidak disinggung di sini.
o Kebudayaan sukubangsa-sukubangsa Papua dapat dirinci ke dalam
pranata-pranata khusus atau merupakan bagian tertentu dari unsurunsur
universal kebudayaannya. Misalnya, (1) pengetahuan tentang
alam sekitar, flora, fauna, bahan mentah, tubuh manusia, sifat dan
tingkah laku sesama, ruang, dan waktu; (2) sistem religi: kosmologi
dan agama baru; (3) organisasi sosial dan kepemimpinan:keluarga
inti monogami, dan poligami; keluarga luas: - pola menetap
neolokal, virilokal, uksorilokal, dan utrolokal; keluarga inti dengan
lingkaran kerabat sepupu yang dipengaruhi asas bilateral; kelompok
kecil dengan jalur patrililineal/matrilineal; komunikasi; struktur
kepemimpinan adat; (4) sistem peralatan hidup dan teknologi: alat
produksi, senjata, wadah, alat membuat api, pakaian, dan perhiasan,
perumahan, dan alat transportasi; (5) sistem mata pencaharian
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 85
hidup: berburu, bercocok tanam, beternak, berladang, nelayan,
berdagang; dan (6) kesenian: seni rupa: ukir, pahat, dan lukis; seni
suara: tari dan lagu. (7) bahasa: ciri bahasa yang dipakai, variasi
karena perbedaan geografi, karena pelapisan sosial, luas batas
penyebarannya.
o Masing-masing unsur kebudayaan itu menjelma ke dalam tiga
wujud kebudayaan: (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts.
Hubungan unsur budaya dan wujud budaya dapat dilihat bagaimana
muatan wujud itu di dalam setiap unsurnya. Ketiga wujud
kebudayaan itu dalam kenyataannya tidaklah terpisahkan satu
dengan yang lainnya. Sistem budaya mengatur dan memberi arah
kepada sistem sosial dan budaya materil yang diciptakan manusia.
Sebaliknya, kebudayaan materil dapat membentuk suatu lingkungan
tertentu, dan dapat pula mempengaruhi sistem budaya dan sistem
sosial.
d. Skema umum untuk melihat nilai budaya Papua, yaitu dengan skema
orientasi nilai budaya dari Klukhohn, maka seluruh unsur di dalam budaya
sukubangsa-sukubangsa Papua mempunyai nilai yang berorientasi masingmasing,
yakni ada yang ke masa lalu, ada yang kini dan ada yang ke depan.
Komuniti kampung mana sajakah yang memandang bahwa:
1. yang memandang hidup ini buruk akan berupaya memperbaikinya,
sedangkan yang memandang hidup ini sudah baik tak ada upaya
memperbaikinya.
2. yang memandang bahwa kerja adalah untuk nafkah akan puas kalau
nafkah telah terpenuhi dengan suatu pekerjaan, sedangkan yang
memandang bahwa kerja adalah untuk kedudukan dan kehormatan, akan
terus mengembangkan kerjanya untuk mencapai kedudukan dan
kehormatan itu.
3. yang memandang ruang/waktu masa kini cukup baik merasa apa artinya
berupaya untuk meraih yang belum tentu sebaik ini, sedangkan yang
menganggap ruang/waktu masa lalu buruk, akan berusaha meraih yang
lebih baik.
4. yang menganggap alam itu dasyat akan selalu mau takluk kepadanya,
sedangkan menganggap bahwa alam itu bagian dari dirinya akan selalu
mau menjaga keseimbangan dengan alam itu.
5. yang merasa bahwa bergantung kepada sesama itu baik, maka berupaya
untuk mandiri, sedangkan dan bergantung pada tokoh atau atasan itu
baik, maka hanya akan tunduk pada komando sehingga tidak
berkembang.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 86
e. Contoh sukubangsa Papua dengan orientasi nilai tersebut perlu dibuatkan
kajiannya.Selama ini kita masih berpegang pada tulisan dari Boelaars,
Pouwer, Koentjaraningrat, dan Mansoben, yang sebenarnya tidak langsung
secara rinci mambahas mengenai orientasi nilai budaya itu.
4. KESIMPULAN
1. Perilaku ekonomi dari sejumlah komuniti orang Papua diwarnai ekonomi
substantif. Dasar ekonomi ini adalah adanya ketergantung kepada alam dan
sesama (alam dan lingkungan sosialnya), sejauh ia menghasilkan alat-alat
untuk memenuhi kebutuhan materilnya. Dibedakan dari ekonomi formal,
yaitu ekonomi dengan sifat logis, hubungan antara sarana dan tujuan. Ini
merujuk pada situasi pemilikan tertentu, yaitu kegunaan sarana karena
terbatasnya saran itu.
2. Perilaku ekonomi orang Papua yang tradisional itu, dipengaruhi oleh faktor
non ekonomi seperti faktor sosial, tradisi, dan kepercayaan. Kepercayaan
kepada kekuatan magis atau kekuatan gaib sangat besar pengaruhnya dalam
perilaku ini, misalnya dalam memulai perjalanan menangkap ikan, berburu,
atau dalam perjalanan jauh.
3. Aspek ekonomi pada sejumlah komuniti kampung orang Papua telah terbuka
terhadap perekonomian luar (negara dan dunia). Keluhan terhadap naikanya
harga barang modern termasuk minyak tanah misalnya, sebagai bukti dari
keterbukaan itu.
4. Komuniti tradisional orang Papua bukan lamban dalam menerima dan
menerapkan teknologi baru, tetapi kebutuhan ekonomi yang ada di dalam
dirinya adalah sesuai dengan nilai budaya yang dianutnya, yakni
menekankan pada pemenuhan kebutuhan sosial ketimbang kebutuhan
ekonomi. Karena itu, aspek sosial perlu dikembangkan sebagai sarana
penting bagi pengembangan dan peningkatan ekonomi.
Daftar bacaan
Boeke, W.J. 1953. Economics and Economic Policy in Dual Societies, Tjeenk
Willink and Zonen, Haarlem.
Scott, J.C. 1981. Moral Ekonomi Petani Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara, terjemahan oleh Hasan Basari, LP3ES, Intermasa, Jakarta.

No comments:

Post a Comment