Tuesday, 16 November 2010

Penjaga Malam dan Tiang Listrik

Penjaga Malam dan Tiang Listrik

Cerpen Seno Gumira Ajidarma


Ia selalu menjaga malam, agar malam tetap menjadi malam seperti yang paling dimungkinkan oleh malam. Ia menjaga malam, agar bulan tetap menjadi rembulan seperti yang dipandang manusia dari bumi setiap malam. Ia menjaga malam, agar tikus tetap menjadi tikus yang keluar dari got, merayap di tengah pasar, mencari makanan dalam kegelapan. Itulah tugas sang penjaga malam, betul-betul menjaga malam yang kelam agar tetap menghitam, sehingga bayang-bayang bisa berkeliaran tanpa pernah kelihatan, mengendap-endap tanpa suara dalam penyamaran.

Malam memang selalau samar dan ia harus tetap menjaganya agar tetap samar-samar. Segala seuatu serba samar-samar di malam hari, seperti kita melihat pencuri, tapi tidak pernah tahu bahwa bagaimana ia mencuri. Adalah menjadi tugasnya agar sepanjang malam yang kelam para pencuri tetap bisa bergerak bebas dalam kegelapan, berkelebat menghindari cahaya bulan, menyelinap ke balik pohon-pohon hitam, merayap di tembok seperti cecak, membongkar jendela, dan memasuki ruangan. Malam tanpa pencurian bukanlah malam. Malam tanpa pengkhianatan bukanlah malam. Tugasnya adalah menjaga agar malam tetap menjadi kegelapan yang menguji kesetiaan.

Beberapa Saat menjelang tengah malam, dalam kegelapan dan embun malam, ia akan keluar dari gardu, melangkah dari rumah ke rumah untuk mengetahui apakah semuanya berjalan seperti malam. Dari sebuah jendela ia akan mendengar blues, dari jendela lain ia akan mendengar tangisan, dan dari jendela lain lagi akan didengarnya lenguhan tertahan-tahan dalam permainan cinta yang menggetarkan. Ia akan berjalan perlahan-lahan sepanjang kompleks perumahan yang sepi, memperhatikan bagaimana cahaya bulan menyepuh aspal jalanan, mendekati tiang listrik.

Akan diusapnya tiang listrik itu, dan mipukulnya tiang listrik itu dengan batu, sampai dua belas kali.

Tentu saja ini menimbulkan sejumlah pertanyaan: apakah yang membuatnya begitu perlu untuk memukul tiang listrik itu sampai dua belas kali? Apakah memang para penghuni kompleks itu meras begitu perlunya untuk mengetahui waktu pada tengah malam? Jika mereka ingin mengetahui waktu, apakah mereka sendiri tidak punya arloji di dekat tempat tidur, wekerm atau jam dinding dengan burung di dalamnya yang akan keluar dan berkukuk dua belas kali saat tengah malam? Apakah memang menjadi tugas seoarng penjaga malam untuk memukul tiang listrik dari jam ke jam? Tidakkah semestinya ia menjaga ketenangan agar tidak seorang penghuni pun terbangun selewat tengah malam hanya karena mendengar tiang listrik dipukul orang? Itulah pertanyaannya: mengapa seorang penjaga malam harus memukul tiang listrik setiap jam? Penjaga malam itu selalu memukul tiang listrik dengan batu dari jam ke jam. Setiap kali ia memukul rtiang listrik dengan batu, selalu ada saja penghuni kompleks perumahan itu terbangun, meski tidak bertanya-tanya lagi apa memang ada orang yang begitu perlunya mendengar tiang listrik dipukul seorang penjaga malam untuk mengetahui jam.

Sejam telah berlalu. Tiba saatnya penjaga malam itu harus memukul tiang listrik sebanyak satu kali saja. Ia keluar dari gardunya, melangkah ke tiang listrik terdekat. Namun seorang lelaki yang tidak dikenalnya berdiri di dekat tiang listrik itu.

“Maaf, saya mau memukul tiang listrik itu,” katanya.

Lelaki itu tidak beranjak.

“Aku ada di sini memang untuk menghalangimu, wahai penjaga malam.”

Lelaki itu tersenyum-senyum mendekapkan tangan. Ia bersandar di tiang listrik sambil memperhatikan sikp penjaga malam.

Adapun penjaga malam itu hanya memikirkan waktu. Ia harus memukul tiang listrik satu kali tepat pada pukul 01:00. Jika terlambat, ia tidak tahu caranya memukul tiang listrik untuk mengabarkan waktu telah tiba pada pukul 01:01. Ia juga tidak pernah dan tidak akan pernah bisa melompatinya sampai pukul 02:00 saja. Tidak mungkin. Tidak akan pernah mungkin. Kecuali dunia kiamat – tapi sekarang kan belum?

Waktunya tidak banyak. Ia berlari ke tiang listrik yang lain, tapi tiba-tiba saja lelaki itu sudah berada di tiang listrik juga, memang dengan sengaja menghalanginya.

Penjaga malam itu merasa sangat gelisah. Ia berlari lagi ke tiang listrik lain. Ternyata lelaki itu pun sudah ada di sana. Wajahnya tersembunyi di balik topi lebar, mendekapkan tangan tenang-tenang, tersenyum-senyum melihat kegelisahan penjaga malam itu masih bisa melihat senyum dikulum pada mulutnya yang mengejek.

Waktunya tinggal sedikit.

“Minggirlah,” katanya, “aku harus memukul tiang listrik itu satu kali.”

Lelaki itu tidak minggir, dari mulutnya masih terlihat senyuman, yang bukan hanya mengejek, tapi juga menghina.


Penjaga malam itu mengambil pisau belati yang selalu tergantung di pinggangnya. Senjata tajam itu sudah berkarat, maka tidak ada yang berkilat di bawah cahaya bulan.

“Minggirlah, aku tidak punya waktu lagi,” katanya.

Lelaki itu tidak beranjak.

“Aku di sini untuk menghalangimu,” katanya. “Lakukanlah apa yang harus kamu lakukan.”

Penjaga malam itu menggerakkan pisaunya.

Kemudian, seorang perempuan yang tidak bisa tidur karena patah hati, mendengar tiang listrik dipukul batu sebanyak satu kali. Suaranya bergema di tengah malam yang sunyi. Tepat pada waktunya.***



Pondok Aren, Jumat 15 November 2002



Sumber: Koran Tempo, Minggu 16 Februari 2003.

No comments: