Tuesday, 23 November 2010

SURAT

SURAT

Cerpen Sapardi Djoko Damono



Tolong sampaikan kepada Seno bahwa suratnya sudah kuterima. Lengkap dengan potongan langit yang diselipkan dengan sangat hati-hati di lipatan kertas suratnya yang berwama merah jambu. Menakjubkan. Langit itu, maksudku. Dan warna surat itu mengingatkanku pada masa remajaku ketika kami suka menghubung-hubungkan wama dengan maksud tertentu yang disembunyikan di balik surat itu. Sepotong langit, serpihan mega yang mengambang, sedikit ujung bukit yang kena gunting, dan beberapa ekor burung yang kebetulan melintas dan tidak bisa menghidarkan diri dari guntingnya itu.

Sambil terus melihat lembaran potongan langit itu, aku melongok kejendela dan kusaksikan - sungguh! - bahwa langit yang di luar sana masih tetap seperti biasa. Utuh. Lengkap dengan awan putihnya, sempuma dengan wama kebiruannya, dan sesekali dilintasi juga oleh beberapa ekor burung - entah apa namanya. Aku hampir tidak bisa membayangkan apa yang terjadi dengan langitnya, setelah sebagian digunting untuk diselipkan dalam surat yang dikirimkannya kepadaku ini. Aku membayangkan rasa sakit yang tak ada batasnya yang telah menimpa langit itu, sementara sebagian pesonanya diambil hanya untuk menyiratkan cintanya padaku. Aku masih perawan, namun sering mendengar dari ibu betapa sakitnya ketika melahirkanku. Itulah yang kubayangkan dirasakan langitnya ketika dimanfaatkannya untuk melahirkan cintanya padaku.


Katakan padanya, apa begitu periu menggunting seserpih langit itu, kalau sekedar untuk membujuk - katakanlah, memaksa - seorang gadis seperti aku ini agar yakin bahwa cintanya seperti langit itu. Langitnya pasti menderita, tidak seperti langit di sini yang utuh dan entah sampai kapan tak habis-habisnya memandang dengan penuh kebahagiaan segala tindakan kita. Tolong tanyakan padanya, apakah langit itu merintih dan mengeluarkan darah ketika diguntingnya? Apakah langit itu kejang-kejang karena menahan sakit yang tak ada batasnya? Apakah langit itu mengeras menahan air mata? Aku tidak berani membayangkan penderitaannya.

Tolong sampaikan pada Seno bahwa aku sudah menghayati cintanya, tanpa potongan langit itu pun. Sudah. Hanya saja aku harus menghancurkan serpihan langitnya itu agar tidak memburu-buru bayanganku tentangnya. Tapi apakah itu sopan? Apakah itu tidak berarti mengkhianati cintanya padaku? Aku bingung, tapi bagaimanapun aku harus segera membakamya, bersama suratnya yang berwama merahjambu itu. Aku tidak tahan lagi membayangkan rasa sakit langit itu.

Malam ini kubawa surat dan gambar itu ke pekarangan sebelah; tak ada seorang pun saksi. Kurobek-robek surat itu. Kunyalakan korek api, tetapi kemudian aku tiba-tiba jadi ragu-ragu. Kukumpulkan kembali robekan-robekan surat dan gambar itu, kususun seperti teka-teki potongan gambar, lalu kuperhatikan - dan seketika rasa sakitku bergolak, seperti apa yang kubayangkan tentang langitnya itu. Aku harus tabah. Harus. Tak ada pilihan lain. Harus membakar surat itu agar langitnya yang indah itu kembali seperti sedia kala. Maka kunyalakan korek api itu lagi.

Nyala apinya seperti bianglala: merah, oren, kuning, biru, hijau, indigo, violet. Tidak melengkung tetapi membumbung ke atas. Tetapi tiba-tiba saja aku merasa telah menjadi pengkhianat. Telah memusnahkan cinta, keindahan, harapan, dan masa depan. Telah menjadi manusia yang seburuk-buruknya di dunia, yang sejahat-jahatnya, yang entah apa. Aku tiba-tiba berharap agar dari asap itu muncul bayangannya, bagaikan burung punik yang dengan perkasa melesat dari kobaran api. Aku satukan jari-jari tanganku, kutengadahkan kepalaku. Kutatap tajam langitku yang dulu itu juga, yang tidak pernah mengkhianati harapanku. Tetapi api itu tetap membumbung, semakin mirip bianglala. Dan aku terns menunggu.

Sampaikan kepada Seno bahwa aku akan terns menunggu kobaran itu sampai diriku menjelma asap, menyatu dengan bianglala itu, membumbung ke langit yang setia, yang tidak pemah meninggalkanku.***

No comments:

Post a Comment