Tuesday, 23 November 2010

Teater Dewala

Teater Dewala



Sepuluh menit sehabis menyaksikan Indepedence Day, Prabu Kresna masih mengumpat-ngumpat kepada para Punakawan. “Sebel gua, lagi-lagi propaganda Amerika. Apa sih maunya Amerika? Dasar Yahudi!”

“Tapi Prabu, saya tidak melihatnya dari sisi itu. Ajakan untuk berdamai dan bersatu melawan musuh dari luar angkasa itu sangat menarik. Apa salahnya kita ajak Dursasana untuk bersatu melawan musuh dari laur angkasa, dari Jupiter misalnya?” balas Astrajingga.

“Dalam dunia pewayangan, tak ada makhluk luar angkasa selain para dewa. Dewa jangan diberontak, mereka sponsor kita kok.”

Sesaat hening. Gerombolan Pandawa berbelok ke arah Kentucky Fried Chicken. Melewati Alun-alun Bandung, tiba-tiba Kresna, gerombolan Pandawa, dan Punakawan itu merasa dirinya masing-masing kembali menjadi remaja. Bahkan Arjuna kembali menjadi ABG, begitu ngepop. Dikenakannya syal berwarna merah dan kacamata hitam. Nakula dan Sadewa tiba-tiba berlagak sebagai penyanyi rap yang sladak-sluduk itu. Astrajingga dan Gareng ikut berlenggak-lenggok sebagai penari latar sekaligus menjadi Backing vokal, “Kramotak, kramotak!” Hanya Dewala yang bisa mengontrol diri dan tampak kalem, tidak terpengaruh oleh hiruk-pikuk ABG yang modernis itu. Tiba-tiba beberapa orang merasa lapar dan menuduh Prabu Kresna yang mengajak mereka berbelok ke arah Kentucky.

“Siape ni nyang ngulang tahun, mo nraktir ceritanya?” hampir berbarengan Nakula dan Sadewa bertanya kepada rombongan.

“Bukan mau nraktir, BM dong!” balas Kresna.

“Belum begitu laper gua ini, kita masuk pub dulu!” ajak Bima.

“Sambil makan malam, kita perlu merundingkan kembali materi untuk peringatan hari kemerdekaan negeri kita. Aku tiba-tiba tergagasi oleh film tadi,” sahut Kresna.

“Maksud Prabu?” Yudistira yang dari tadi miring saja, terlihat gairahnya kalau diajak berpikir serius.

“Apa kita hanya akan menampilkan kabaret saja untuk perayaan negara. Kan kemarin kita terima faksimil dari seluruh propinsi bahwa mereka tidak akan menampilkan kesenian daerahnya masing-masing. Malah utusan dari Astina akan menampilkan operet Maria Cinta yang Hilang, apa tidak membingungkan pikiranku melihat realitas apresiasi masyarakat sudah turun seperti itu? Rusak Re, Rusak!”

“Inilah salahnya Prabu, kita sekarang terlalu berjarak dengan wong cilik,” Dewala mencoba menjelaskan.

“Jangan sok tahu Kau. Urusanmu mengelola satpam dan tukang parkir.”

Dibentak seperti itu, Dewala mengambil sikap diam seribu bahasa. Punakawan yang lain menyikutnya, bahkan Semar menjewer kupingnya.

Seperti biasa, Gareng kebagian memesan hidangan. Para pengunjung tanpa disuruh segera meninggalkan makanannya. Mereka ketakutan dan terbirit-birit keluar setelah membayar makanan. Seorang anak kecil yang biasa mengemis atas suruhan Kurawa, segera bersembunyi ke belakang dan memijit remot recorder. Rupanya dia dan pemilik rumah makan itu bersekongkol sebagai agen mata-mata Astina. Hasil pembicaraan pemerintah Amarta malam itu sampai ke telinga Patih Sengkuni dan Resi Kombayana.

“Jadi mereka akan mengundang kita untuk menyelenggarakan acara kesenian yang akan melibatkan personal dari berbagai negara. Kukira ini usulan yang baik dan kita harus menyambutnya. Kita bisa menyusupkan orang-orang kita untuk menyelidiki lebih jauh rencana-rencana Pandawa dalam Barata Yudha nanti,” demikian Kombayana punya usul.

“Kukira tidak mesti seperti itu. Barata Yudha adalah sebuah takdir yang mesti kita terima. Takdir kita untuk menerima kekalahan. Apa pun yang kita rencanakan, Dewata telah memutuskannya,” Bisma mengingatkan.

Tiba-tiba rapat di pihak Pandawa menjadi kacau balau. Mereka mendengar laporan bahwa Challenger meledak dan Chernobil bocor. Semar hanya gigit jari ketika Gatotkaca melaporkan kejadian sesungguhnya. Bima menggebrak meja.

“Misi ujicoba kita gagal.”

“Ini kehendak Dewata. Mungkin kita terlalu serakah dan ceroboh.” Semar mengingatkan.

“Tidak, Kurawa telah terlalu curang dan tidak bisa dibiarkan. Karena itu, misi perdamaian lewat kesenian dalam perayaan ulang tahun negara seperti yang diusulkan Dewala hanya omong kosong. Perdamaian hanya menghambat rencana Dewata. Tak ada kesenian dalam merebut kemenangan. Perang dan kekerasan adalah dua jalan yang bersatu menjadi satu arah untuk mencapai kemenangan.” Arjuna bersungut-sungut. Tangannya masih menggenggam paha ayam.

Bima meraung-raung, suasana rapat menjadi lebih kacau. Nakula dan Sadewa ikut naik pitam. Tapi Yudistira cepat berpikir dan berlaku bijak. Ia membubarkan rapat dan memohon Prabu Kresna dan Wak Semar menyabarkan yang lain. Acara untuk menyambut hari ulang tahun kemerdekaan negara akan dipikirkan. Mungkin bisa jadi kesenian sebagai alternatif untuk mencapai perdamaian. Sementara kerusakan teknologi akan diserahkan kepada Batara Guru.

Berhari-hari Yudistira menghadapi komputer dan mencerna John Naisbitt tentang Kebangkitan Asia. Berhari-hari pula ia menjauhkan diri dari ranjang Drupadi, dari kopi dan dari rokok. Keningnya semakin mengerut seperti kening Einstein. Kalau sudah seperti itu, ia biasanya merasa bisa berpikir lebih tepat. Kebiasaannya bersemedi ditinggalkan, ia lebih suka berhadapan dengan komputer dan internet. Tapi jalan keluar untuk damai belum juga didapatnya. Diam-diam ia tertarik dengan usulan Dewala. Dipanggilnya Dewala saat itu juga.

“Saya punya obsesi dari dulu untuk menggelar naskah Pandawa Adu Dadu, tapi tidak ada sponsor sampai saat ini. Sekarang berteater tidak bisa lagi diberangkatkan dari apa adanya. Dulu bambu bisa menebang milik siapa saja, sekarang rakyat sudah menjadi materialis, segala benda serba diuangkan. Syukurlah kalau Prabu Yudis mau sponsori obsesi saya.”

“Bagi saya, pokoknya naskah karya siapa pun tak menjadi masalah, tetapi yang bisa membawa pada aufklarung dan bertemakan perdamaian dunia,” jelas Yudistira.

“Justru naskah ini tepat sekali, Prabu. Kita tahu bahwa Pandawa kalah taruhan. Cerita kekalahan ini akan sangat menyenangkan bagi Suyudana dan kawan-kawan. Kita harus mengalah dan membahagiakan saudara-saudara kita yang memilih jalur menjadi lawan. Kita mengalah untuk menang, mengapa karena kita tahu bahwa di Barata Yudha nanti mereka akan kalah, itu sebabnya bahagiakanlah mereka dari sekarang. Dengan dibahagiakan, insya Allah deh mereka tidak akan terlalu brutal dan mau menerima putusan Dewata dengan dada yang lapang.”

“Tapi apa justru tidak akan membuat semakin pongah?”

“Sebenarnya ini tergantung dari sumber daya manusianya sendiri, kalau memang bakatnya membelot ya membelotlah. Akan tetapi kita mesti terus berusaha dengan cara mengingatkan kembali diri kita masing-masing pada sejarah. Sebenarnya waktu Pandawa mau diajak main dadu, mereka tidak tahu bahwa mereka akan dicurangi oleh Paman Sengkuni. Ini menjadi pelajaran juga bagi kita selaku pemegang pemerintahan untuk tidak terbawa oleh arus dan rayuan gombal musuh. Saya punya teknik, selain nanti para pembesar dari berbagai negara diundang, juga para teaterwannya diajak untuk ikut bermain dalam pementasan ini. Dengan demikian, silaturahmi antarseniman pun terbina. Konon katanya menurut mitos, seniman adalah pintu terakhir yang akan menjaga persaudaraan dan kebersamaan.”

“Tapi saat ini saya ragu, soalnya seniman di negeri kita sendiri tengah gontok-gontokan.”

“Itu wajar karena mereka punya ideologi. Tetapi kita juga tahu, bahwa mereka saling menghargai pendapat dan karya seniman lain. Eu begini Prabu, dalam akhir cerita, saya akan membalikkan fakta. Pokoknya semua serba menyenangkan tamu undangan.”

“Apa itu?”

“Ada saja. Pokoknya rahasia. Nanti Prabu tidak merasa surprise lagi kalau saya beritahu dari sekarang.”

***

Singkat cerita, Dewala menjadi sutradara. Astrajingga mau menjadi Dursasana karena dibohongi oleh Dewala. Kabarnya yang akan menjadi Drupadi adalah istrinya Arjuna. Tapi setelah mendekati pementasan, casting itu diganti oleh Aswatama yang baru pulang studi komperatif tentang antropologi dari Amerika. Para seniman raksasa dari Astina menjadi Pandawa sedangkan para seniman dari Amarta menjadi Kurawa dalam casting ini.

Dadu dilempar. Untuk lemparan pertama Kurawa kalah. Sengkuni tertawa, “mereka tertipu,” bisiknya. Para tamu undangan dari Astina terutama yang tidak pernah membaca karya sastra dan membaca sejarah wayang, tampak tegang. Sedang tamu undangan dari fihak Amarta bangga karena Pandawa menang dalam lemparan pertama itu. Begitu lemparan kedua dan selanjutnya, raut muka kedua belah pihak berubah. Pandita Durna dan Sengkuni menampakkan senyum kemenangan sambil melirik Yudistira yang tercenung mengerutkan dahi. Pada lemparan ke-sepuluh Amarta harus menyerahan negara sebagai taruhannya, dan kalah.

“Mustahil,” gumam Arjuna.

Pada lemparan terakhir, bila Pandawa kalah lagi mereka harus menyerahkan Drupadi sebagai taruhannya. Tentu saja Drupadi keberatan, tapi tak ada lagi benda yang bisa dipertaruhkan oleh Pandawa. Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, dan seluruh kekayaan telah amblas ke tangan Kurawa. Bagi Dursasana yang belum beristri, justru taruhan yang paling berarti adalah Drupadi. Untuk apa para kesatria Pandawa itu, untuk apa kerajaan Amarta toh ia sudah bertahta di singgasana Astina.

Ternyata Drupadi harus direlakan kepada Kurawa. Drupadi sesungguhnya tak percaya dengan kekalahan taruhan dadu ini, tetapi ia bahagia karena ini bisa menjadi kesempatan baginya untuk nyeleweng meskipun hanya dalam dongengan. Drupadi ingin tahu sehebat apa kejantanan Dursasana yang tergila-gila olehnya.

Yudistira menunduk dan memejamkan mata ketika satu persatu pakaian Drupadi ditanggalkan oleh Dursasana. Brahmana dan seluruh Ksatria Pandawa telah disekap dalam penjara sebagai tawanan taruhan.

Di luar plot cerita yang sesungguhnya, ternyata Drupadi bisa ditelanjangi oleh Dursasana yang diperankan oleh Astrajingga. Pada mulanya Astrajingga dengan penuh semangat menelanjangi Drupadi. Tetapi kemudian menjerit dan melompat dari panggung saat harus memperkosanya, karena yang memerankan Drupadi adalah Aswatama. Aswatama, keturunan homoseks itu mengejar-ngejar Astrajingga, “Please, touch me! Touch me!”

Kejar-kejaran terjadi, membuat para penonton naik pitam. Resi Kombayana yang merasa ditelanjangi tentu saja marah tapi Bima tak kalah gertak.

“Ternyata Aswatama itu seorang homoseks, Para Penonton.” Tiba-tiba Gareng menjelaskan lewat mikropon.

Kurawa merasa tertipu dan dihina habis-habisan. Bodyguard dan pelindung Dursasana langsung memberondongkan peluru. Gatotkaca melesat ke angkasa, dilemparkannya senjata kimia. Antareja yang tidak mau menjilat jejak sendiri, melesatkan senjata laser dari jilatan lidahnya. Tapi justru tentara Pandawa yang mampus, sedang tentara Kurawa menjadi kebal.

Barata Yudha meledak dengan diawali adu panco antara Bima dengan Puntadewa. Sampai saat ini belum ada yang kalah. ***



Cerpen Doddi Achmad Fawdzy

No comments: