Tuesday, 16 November 2010

Tragedi Para Kepala

Tragedi Para Kepala

Cerpen Ahmadun Yossi Herfanda



Sejak grup dangdut keliling itu mangkal di lapangan ujung selatan Desa Bokongrejo, ha
mpir tiap malam ada warga desa yang kehilangan kepala. Pada malam pertama saja ada sepuluh warga, semua lelaki, yang keluar dari lapangan itu tanpa kepala. Kepala mereka baru ditemukan oleh para Hansip setelah pertunjukan selesai. Tiga kepala ditemukan di atas panggung, tiga kepala di kamar ganti pakaian, dua di kolong panggung, dan dua lainnya terinjak-injak di tengah lapangan. Tubuh-tubuh pemilik kepala itu langsung digiring ke kantor LKMD dan dipaksa untuk memakai kepalanya kembali.

Pertunjukan dangdut itu memang sangat luar biasa dan mampu membuat tiap penonton mabuk kepayang dan lupa pada
kepalanya. Goyangan pinggul para penyanyinya benar-benar sangat dahsyat. Inilah tampaknya yang membuat penonton dangdut itu semakin padat saja dan semakin banyak yang kehilangan kepalanya. Bahkan, pada tiap puncak acara menjelang berakhirnya pertunjukan, dua penyanyi dangdut tanpa malu-malu melakukan gerakan-gerakan senggama di atas panggung. Penonton pun selalu bersorak gegap gempita menyambut adegan puncak itu.

Pada saat adegan puncak berlangsung itulah banyak penonton yang sudah lupa pada kepalanya dan tanpa sadar melepas kepala masing-masing. Ada yang kemudian melemparkannya tinggi-tinggi sambil menjerit histeris. Ada yang melemparkannya ke panggung. Ada yang meletakkannya di ujung kaki penyanyi yang sedang bergoyang. Ada yang menggelindingkannya ke kolong panggung. Ada pula yang menyusupkannya ke kamar ganti pakaian penyanyi.

Setelah melewati puncak gegap gempita itulah kemudian pertunjukan dangdut diakhiri tiap malamnya. Begitu pertunjukan berakhir, orang-orang yang melepas kepalanya pun segera berdesakan mencari kepala masing-masing. Banyak yang berhasil menemukan dan memasangnya kembali. Akan tetapi makin banyak pula yang tidak berhasil menemukannya, atau lupa bahwa mereka telah melepas kepalanya sendiri. Jumlah mereka terus meningkat dan membuat para Hansip semakin kewalahan menanganinya. Komandan Hansip itu sangat khawatir, jangan-jangan banyak di antara tubuh-tubuh yang kehilangan kepala itu lolos dari penjagaan dan keluyuran di kampung-kampung pada siang hari.

"Kita harus memperketat penjagaan!" kata komandan Hansip itu di depan para anak buahnya setelah berhasil menangkap dua puluh lima tubuh tanpa kepala dan mengumpulkan mereka di kantor LKMD. "Tiap pintu masuk lapangan harus dijaga lima Hansip. Jangan sampai ada satu pun tubuh tanpa kepala yang lepas pulang ke rumahnya, apalagi sampai keluyuran pada siang hari. Kita bisa celaka. Pak Lurah pasti marah. Pertunjukan dangdut itu pasti dibubarkan," tambahnya.

"Pak Komandan, apakah tidak sebaiknya kasus ini kita laporkan saja pada Pak Lurah?" tanya seorang Hansip.

"Apa kau ingin pertunjukan dangdut itu dibubarkan, dan kita kehilangan upeti yang kita terima tiap malam dari manajer dangdut itu?" Komandan hansip itu malah balik bertanya.

Dan, tiba-tiba pintu kantor terbuka dan sejumlah anggota Hansip memasuki ruangan itu dengan menenteng sejumlah kepala. Mereka langsung meletakkan kepala-kepala itu di atas meja. Melihat kepala-kepala tersebut, beberapa tubuh tanpa kepala di ruangan itu tampak bergetar hebat, seolah sangat ketakutan pada kepalanya sendiri.

"Nah, sekarang kepala-kepala kalian sudah kami temukan. Silakan ambil kepala masing-masing. Jangan sampai ada yang keliru. Kalian harus memasang kepala kalian di sini juga," kata komandan Hansip itu sembari mengisyaratkan tangannya ke arah tumpukan kepala di atas meja.

Serentak tubuh-tubuh tanpa kepala itu berdiri dan berebutan mengambil kepala masing-masing. Yang sudah menemukan kepalanya dan berhasil memasangnya langsung ngeloyor pergi. Akan tetapi ada sembilan orang yang tidak kebagian kepala.

"Kepalaku mana, Pak Hansip?"


"Kepalaku juga tidak ada!"

"Kepalaku juga!"

"Pasti ada yang ndobel kepala saya!"

"Pasti ada yang memakai dua kepala!"

"Ayo, cepat! Kejar mereka. Yang memakai dua kepala suruh kembali ke sini!" perintah sang komandan Hansip pada anak buahnya.

Para Hansip itu langsung memburu keluar. Mereka semua berhasil dikumpulkan kembali. Ada tiga orang yang memakai dua kepala secara sekaligus; satu kepala menghadap ke depan, satunya lagi menghadap ke belakang. Dua orang lagi ketahuan menenteng kepalanya sendiri, sementara yang dipakai justru kepala orang lain. Mereka diperintahkan untuk mengembalikan kepala-kepala itu kepada pemiliknya. Tinggal empat tubuh yang tidak kebagian kepala.

"Lho, kalian tadi menaruh kepala di mana. Kami tidak menemukannya," kata komandan.

"Kepala saya tadi saya taruh di kolong panggung, Pak, agar bisa mengintip goyangan penyanyi dangdut dari bawah."

"Kalau kepala saya tadi, terus terang, saya taruh di ujung kaki penyanyi dangdut itu ketika sedang bergoyang."

"Kepala saya tadi saya taruh di pojok kamar ganti pakaian. Ketika pulang saya lupa mengambilnya."

"Kepala saya juga!"

"Pantas! Otak kalian ternyata mesum semua. Sudah sepantasnya kalian tidak usah memakai kepala lagi. Sekarang kalian tidak boleh pergi. Kalian terpaksa kami tahan di sini sampai kepala kalian ditemukan. Kami akan mencari kepala kalian sampai ketemu."

Belum lagi berhasil menemukan empat kepala yang hilang itu, tiba-tiba para Hansip Desa Bokongrejo dikejutkan oleh suara wanita menjerit-jerit minta tolong. "Tolong! Tolooong! Ada hantu! Tolooong!" Tampaknya bukan hanya suara seorang wanita saja, tetapi dua atau tiga orang.

"Ada apa itu? Ayo kita ke sana!"

"Kalian di sini saja. Jangan ada yang berani keluar sebelum kepala kalian ditemukan!"

"Kunci pintunya, agar tubuh-tubuh tanpa kepala itu tidak keluyuran keluar!"

Komandan hansip itu diikuti semua anak buahnya segera berlari ke arah datangnya suara. Tampak tiga wanita berlari terbirit-birit di jalan kampung seperti diburu setan.


"Tenang, tenang, Bu. Ada apa? Mana hantunya?"

"Di rumah saya, Pak!"

"Kamar saya juga dimasuki hantu."

"Kamar saya juga!"

Rupanya tiga wanita yang rumahnya saling berdekatan dan terpencil di tengah persawahan itu sama-sama didatangi hantu. Hansip-hansip itu segera memburu ke dalam rumah ketiganya. Mereka sangat terkej ut, menemukan tubuh-tubuh tanpa kepala di dalam rumah mereka. Mereka segera menangkap tiga sosok tubuh tanpa kepala itu.

"Sekarang tenang saja, Bu. Hantu-hantu itu sudah kami tangkap. Akan kami bawa ke kantor kelurahan," kata komandan Hansip. "Sekarang tidurlah dengan tenang. Rumah ibu-ibu akan dijaga tiga orang Hansip. Tidak perlu takut lagi."

Tiga tubuh tanpa kepala itu langsung digiring ke kantor LKMD, dijadikan satu dengan tubuh-tubuh lain yang bernasib sama.

"Kalian juga kehilangan kepala ketika nonton dangdut, ya? Di mana kalian letakkan kepala kalian?" tanya komandan Hansip pada tiga tubuh yang dikira hantu itu.

"Tidak, Pak. Demi Tuhan, saya tidak pernah nonton pertunjukan dangdut itu."

"Saya juga tidak!"

"Saya juga."

"Lalu, di mana kepala kalian?"

"Kami buang ke sungai bersama-sama."

"Lho, kenapa dibuang?"

"Terus terang, kami merasa percuma punya kepala. Karena otak kami tidak dihargai lagi. Pendapat kami tidak pernah didengar lagi oleh bapak-bapak aparat kelurahan."

"Memangnya kalian ini kenapa? Pendapat yang mana?"

"Tentu Bapak masih ingat. Kami bertiga merupakan warga yang paling menentang diadakannya pertunjukan dangdut itu di lapangan desa. Karena saya pernah melihat, pertunjukan grup dangdut itu sangat jorok. Tidak pantas untuk dibawa ke kampung kita. Warga kita bisa sakit kepala kalau m enyaksikannya. Apalagi, pertunjukan dangdut itu untuk mengumpulkan dana pembangunan tempat-tempat ibadah. Sangat memalukan, Pak."


Salah satu tubuh tanpa kepala itu bersuara panjang lebar seperti ada tape recorder yang diputar di dalam dadanya. Suara itu keluar melalui lubang lehernya, sementara dua tubuh lainnya mengangguk-angguk seperti mengiyakan kata-kata temannya.

"Terus terang, Pak. Kami sangat prihatin dan tidak tahan lagi menyaksikan dampak tontonan jorok yang melanda hampir seluruh warga desa kita. Yang terjadi tidak hanya demam dangdut saja. Akan tetapi, para remaja kita, penonton terbesar pertunjukan itu, sudah benar-benar mempraktekkan apa yang dilihatnya di panggung dangdut itu. Kalau bapak mau tahu, tiap malam saya melihat anak-anak remaja desa kita dengan begitu bebasnya bermain asmara di balik tanggul sungai di ujung lapangan itu. Mereka benar-benar mempraktekkan apa yang dipertontonkan para penyanyi dangdut itu di atas panggung. Bukan hanya main-main. Bapak tentu juga sudah tahu, makin banyak wanita desa kita, bahkan diantaranya masih anak-anak, menjadi korban perkosaan. Kami tidak tahan melihat itu semua. Kami ingin mengeritik. Kami ingin usul, kami ingin protes. Akan tetapi, aparat desa pasti tidak akan mau mendengar suara kami, karena mereka sudah tidak bisa lagi menghargai kepala kami. Jawaban Bapak pasti akan sama: kita membutuhkan banyak dana pembangunan melalui pertunjukan itu. Kalau penampilan penyanyinya tidak begitu, tidak akan ditonton orang. Yah, daripada makin pusing dan stress, kami buang saja kepala kami ke sungai.

Tubuh-tubuh tanpa kepala itu sudah kembali memakai kapala. Agat tidak kebobolan lagi, kesiagaan anak buahnya pun ditingkatkan. Penjagaan di mana-mana diperketat. Tidak hanya personel Hansip penjaga pintu masuk lapangan yang ditambah. Komandan Hansip juga menyebar anak buahnya ke hotel-hotel, panti-panti pijat, kamar ganti pakaian penyanyi dangdut, dan sepanjang tanggul sungai dekat lapangan desa itu. Selain itu, mereka juga mengawasi semua tempat yang diduga bisa membuat orang melupakan kepalanya.

Rupanya ketenangan itu hanya berlangsung beberapa jam saja. Karena keesokan harinya mereka digegerkan oleh munculnya siswa-siswa tanpa kepala di sebuah ruang kelas SMU yang terletak di sebelah selatan kantor LKMD. Tanpa diketahui asal usulnya, puluhan siswa tanpa kepala itu tiba-tiba saja sudah memenuhi satu ruang kelas yang terletak di sebelah kantor kepala sekolah. Seorang guru wanita yang akan mengajar di kelas itu hampir shock begitu membuka pintu kelas tersebut. Ia langsung lari terbirit-birit masuk ruang kepala sekolah. Kepala sekolah itu juga hampir pingsan ketika melongok ke dalam ruang kelas untuk mengecek kebenaran cerita guru tersebut. Aparat keamanan desa segera dipanggil. Kepala sekolah juga menugaskan seorang guru untuk melaporkan kasus tersebut kepada lurah desa.

Lurah Desa Bokongrejo beserta seluruh aparatnya segera tiba di kompleks sekolah menengah atas itu. Mereka bersama pimpinan SMU itu segera memasuki kelas yang aneh tersebut. Tubuh-tubuh tanpa kepala yang duduk rapi di kursi-kursi kelas itu mengangguk-angguk seolah menyambut kedatangan mereka.

"Kalian ini siapa?" tanya kepala sekolah pada tubuh-tubuh tanpa kepala itu.

"Lho, kami semua siswa Bapak. Kenapa Bapak pangling?" sesosok tubuh tanpa kepala yang duduk di deretan paling depan mengeluarkan suara.


"Akan tetapi, kenapa kalian hari ini datang ke sekolah tanpa kepala? Dimana kepala kalian?"

"Kepala kami sebagian ada yang hilang di arena dangdut, Pak."

"Kalau kepala saya cuma saya tinggal di rumah, Pak. Lagi bosan pakai kepala."

"Mau tahu di mana kepala saya, Pak? Saya simpan di gudang. Soalnya malu. Gigi saya prongos!"

"Saya juga."

"Kepala bapak-bapak dicopot sekalian saja. Enak, kok, tidak pakai kepala!"

"Diam!! Kalian ini bagaimana?! Kepala di buat main-main!" Kepala sekolah tiba-tiba membentak mereka sambil menggebrak meja. Tubuh-tubuh tanpa kepala itu pun serentak diam. "Apa kalian anggap, kalian bisa hidup terus tanpa kepala. Apa kalian bisa sukses tanpa kepala? Kalian ini calon-calon penerus perjuangan bangsa, tahu! Bagaimana nasib bangsa kita ini kalau diurus oleh orang-orang tanpa kepala seperti kalian!"

"Benar kata Bapak Kepala Sekolah. Kalian sangat dibutuhkan untuk meneruskan cita-cita perjuangan kami, cita-cita luhur generasi tua seperti saya ini," Lurah Desa itu ikut menimpali. "Untuk itu kalian harus tetap punya kepala. Kalian tidak bisa membuang kepala begitu saja, apalagi dengan alasan yang sepele atau tidak masuk akal."

"Kalian ini memang ada-ada saja. Ayo cepat, cari dan pasang kembali kepala kalian!"

Kepala sekolah membentak lagi. Tampaknya ia sangat marah. "Kalian menyusahkan saja!"

"Jangan cepat marah dulu, Pak. Dijamin, kami masih punya kepala yang sehat," sosok tubuh yang duduk di deretan paling depan kembali mengeluarkan suara. Tampaknya sosok inilah yang mengatur ulah teman-temannya. "Ayo, teman-teman, sekarang kita tunjukkan kepala kita masing-masing!"

Secara serentak mereka meletakkan telapak tangan di ujung leher mereka masing-masing, lalu menariknya ke atas," Plass!" kepala siswa itu pun menyembul bersama-sama. Tampaknya mereka hanya memakai kerudung yang di buat persis seperti bagian atas tubuh manusia yang terpenggal kepalanya. Para siswa itu lantas nyengir pada para tamunya.

"Diamput! Kalian ini macam-macam saja. Masak, orang-orang tua dipermainkan!" komandan Hansip yang sejak tadi diam saja tiba-tiba saja meledak setelah merasa dikerjai oleh anak-anak itu.

"Apa sebenarnya mau kalian?" tanya kepala sekolah kemudian.

"Kami memang bermaksud protes, Pak, protes kepada Bapak Kepala Sekolah, juga Pak Lurah," jawab ketua kelas yang rupanya memang telah mengatur ulah teman-temannya. "Kepada Bapak Kepala Sekolah kami memprotes cara mengajar yang diterapkan para guru di sekolah ini. Kami tidak mau kalau terus-terusan dipaksa untuk selalu menerima apa saja yang dikatakan oleh guru-guru kami, karena sebenarnya banyak yang tidak sesuai dengan pendapat kami. Kami tidak mau lagi kalau kepala kami hanya dianggap sebagai tong sampah bagi semua ilmu yang diberikan para guru. Kami ingin diberi kesempatan untuk mengembangkan dan mengemukakan pendapat kami sendiri. Kami ingin diberi kebebasan untuk berpikir kreatif sesuai dengan aspirasi kami sebagai anak muda. Sedangkan kepada Pak Lurah, kami protes agar pertunjukan dangdut di lapangan desa kita itu dibubarkan saja. Itu sama sekali tidak ada gunanya, bahkan cenderung merusak moral teman-teman kami, karena goyang penyanyinya terlalu jorok. Dua tetangga saya bahkan diketahui telah hamil sebelum nikah gara-gara sering nonton dangdut itu bersama pacarnya. Di samping itu, makin banyak pula warga desa kita yang kehilangan kepalanya gara-gara nonton pertunjukan dangdut itu."

"Cerita anak-anak memang benar, Pak Lurah. Bahkan, tetangga sebelah rumah saya sampai sekarang belum berhasil menemukan kepalanya," kata kepala sekolah mendukung usulan siswa-siswanya.

"Kalau begitu, baiklah anak-anakku. Soal cara mengajar guru-guru kalian, selesaikanlah secara baik-baik dengan Bapak Kepala Sekolah. Sedangkan kami bersama semua aparat desa akan segera menyelesaikan kasus pertunjukan dangdut itu," kata Pak Lurah setelah berpikir sesaat.

Lurah Desa Bokongrejo segera mengadakan sidang darurat. Semua aparat desa dipanggil, termasuk komandan Hansip, manajer dangdut, para penyanyi, dan pemainnya. Pertama kali yang menjadi sasaran kemarahan lurah desa adalah komandan Hansip. Lurah desa mempersalahkannya karena tidak pernah melaporkan kejadian-kejadian aneh yang menjadi dampak pertunjukan dangdut itu. Padahal, dialah yang ditugaskan untuk mengawasi dan mengamankan pertunjukan dangdut yang dimaksudkan untuk mengumpulkan dana pembangunan sejumlah tempat ibadah itu.

"Soalnya, kami pikir kasus kehilangan kepala itu hanya persoalan sepele, Pak. Kasus itu sudah muncul sejak malam pertama pertunjukan dangdut di lapangan itu. Kami pikir belum perlu melaporkan kasus itu pada Pak Lurah, karena kami masih bisa mengatasinya sendiri," jawab komandan Hansip dengan nada tidak berdosa.

"Apa? Kamu ini komandan Hansip macam apa? Banyak warga kehilangan kepala kok dianggap sepele!" Lurah itu tampaknya tetap marah, tidak mau menerima pembelaan komandan Hansip.

"Nyatanya memang begitu, Pak. Mereka yang kehilangan kepala tidak pernah mengeluh, tidak pernah protes. Dengan enak mereka ngeloyor pergi atau pulang tanpa kepala. Bahkan, banyak yang kemudian tidur pulas di panti pijat dan hotel. Mereka yang tidak kehilangan kepala yang selama ini malah suka ribut."

"Apa kau tega kalau semua warga desa kita kehilangan kepala? Kalau itu benar-benar terjadi, apa kamu berani nanggung? Siapa yang bakal mengurus desa kita kelak kalau semua warga sudah kehilangan kepala?"

"Pak Lurah ini bagaimana? Desa kita selama ini kan sudah diurus oleh orang-orang yang tidak punya kepala lagi. Apa Bapak kira kita-kita ini yang mengurus desa ini masih punya kepala? Kepala yang kita pakai ini palsu. Wajah-wajah kita ini juga hanya topeng-topeng belaka. Kalau Pak Lurah tidak percaya, mari kita copot kepala kita masing-masing, kita buka topeng kita masing-masing."

Dan… komandan Hansip itu benar-benar melepas kepalanya sendiri, meletakkannya di atas meja dan membuka topengnya. Pak Lurah dan sejumlah perangkat desa sangat terkejut, ternyata kepala yang dipakai komandan Hansip itu kepala buaya. Mereka semakin terperangah ketika manajer dangdut dan empat penyanyinya ikut mencopot kepala masing-masing dan membuka topengnya. Ternyata kepala yang dipakai manajer dangdut itu adalah kepala badak, sementara dua penyanyinya memakai kepala kelinci dan dua lagi memakai kepala mainan dari plastik yang biasa dijual di toko-toko mainan anak-anak.

Giliran Pak Lurah yang kemudian mencopot kepalanya sendiri. Pelan-pelan dia menjepit kepalanya dengan kedua telapak tangannya, memuntir dan menariknya ke atas. "Plass!" Seperti seorang pemain debus dari Banten, kepala Pak Lurah pun lepas dan diletakkannya di atas meja. Kemudian, dengan perlahan-lahan dia mengelotok kulit wajahnya. Pak Lurah dan semua aparat desa sangat kaget, ternyata kepala yang selama ini dipakainya adalah kepala harimau. Kepala itu menyeringai padanya memperlihatkan taring-taringnya yang tajam.

Lurah itu tampak tidak tahan melihat kepalanya sendiri. Tubuhnya bergetar keras seperti sangat ketakutan, lalu lemas dan menggelosor jatuh ke lantai. Pak Lurah mengalami shock berat dan pingsan seketika.



Yogyakarta, Juli 1991


Dimuat di kumpulan cerita pendek pilihan Sarinah, Burung Putih,
bonus majalah Sarinah No. 222 Th. 1991

No comments: