Saturday, 4 December 2010

Eksistensi Wong Samin di Era Modern

Eksistensi Wong Samin di Era Modern


Sedulur Sikep atau lebih dikenal sebagai Wong Samin diketahui bermula dari Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarjo, Kabupaten Blora. Desa ini terletak kurang lebih 25 kilometer di sebelah utara Randublatung. Sebuah perkampungan yang terletak di tengah hutan jati. Menuju Klopoduwur, maka akan melintasi areal hutan jati yang termasuk wilayah kerja HPH (Hak Pemangku Hutan) Kabupaten Blora. Sepajang jalan nampak penduduk yang hidup selaras dengan alam. Di kanan-kiri jalan banyak tumpukan kayu bakar kering yang telah diikat dengan rapi menunggu untuk diangkut. Beberapa perempuan tampak mengumpulkan daun-daun jati untuk dijual ke pasar-pasar di seputar Blora. Sekali dua melintas sepeda-sepeda dengan membawa kayu bakar di belakangnya. Meskipun desa ini berada di tengah-tengah hutan, namun kondisi jalan mulus terawat. Desa tempat munculnya ajaran Samin ini terbilang cukup maju, listrik telah menerangi sejak tahun 1987. namun kesan tradisional tidak hilang semuanya. Beberapa rumah masih menggunakan penerangan lampu minyak dan berlantai tanah.
Ramah, itulah kesan yang kami tangkap saat kami bertanya letak rumah Kepala Desa Klopoduwur. Bahkan dengan penuh semangat memberikan gambaran mendetail rumah Kepala Desa mereka. Suasana kental pedesaan yang masih akrab masih terasa disini. Bukan hanya lingkungan fisik, kultur yang ada pun masih lekat dengan kehidupan desa.
Samin di Klopoduwur. Desa Klopoduwur yang tenang ini merupakan tempat pertumbuhan ajaran Samin. Adalah Raden Kohar atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Samin Surosentiko yang menyebarkan ajaran ini. Lelaki yang lahir pada 1859 ini sejatinya berasal dari Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Namun, lelaki buta aksara ini memilih daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah sebagai tempat pengembangan ajarannya.
Pada 1890 pergerakan Samin berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung dan di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan.Ajaran yang pada permulaannya hanya dipandang sebelah mata oleh Pemerintah Kolonial Belanda ini, ternyata berkembang dengan cepat. Dalam waktu kurang lebih 17 tahun pengikut ajaran Samin telah mencapai sekitar 5000 orang. Mulai tahun 1907 banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah (Belanda).
Berdasarkan catatan, pada tahun 1907 Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai Ratu Adil. Ia bergelar Prabu Panembahan Suryangalam yang berarti mataharinya dunia. Namun sayang, hanya selama 40 hari Samin Surosentiko menjadi Ratu Adil. Ia beserta delapan pengikutnya, ditangkap dan kemudian diasingkan di Padang, Sumatra Barat hingga meninggal pada tahun 1914.
Nama Samin itu sendiri berartikan nama yang bernafas wong cilik. Pada perkembangannya penganut ajaran ini lebih menyukai disebut Sedulur Sikep. Hal ini dikarenakan pada abad ke 18-an Wong Samin mempunyai citra jelek di mata masyarakat Jawa dan dianggap sebagai sekelompok orang yang kelewat lugu hingga terkesan bodoh dan naïf. “Pandangan seperti itu salah besar, sangat salah,” sangkal Widodo, Kepala Desa Klopoduwur. Sedangkan sebutan Sedulur Sikep diartikan sebagai orang yang baik dan jujur.
Ia mengakui bahwa istilah Samin memang berkonotasi negatif, hal ini karena stigma yang berkembang membentuknya demikian, sejak zaman feodal komunitas samin menjadi komunitas yang tidak bisa diatur oleh pemerintah Belanda. Padahal yang sebenarnya orang samin adalah orang yang kelewat jujur, dengan tingkat kesopanan dan kegotongroyongannya yang sangat tinggi.
Perlawanan Tanpa Kekerasan
Widodo bercerita, ajaran Samin sedianya digunakan untuk melawan penjajahan Belanda. “Orang samin melakukan perlawanan tanpa kekerasan, namun dengan menyendiri dan membentuk komunitas sendiri,” ujar Kades bertubuh subur ini. Lebih lanjut Widodo menjelaskan, Sedulur Sikep bukan hanya menyendiri namun mereka membuat peraturan sendiri.
Komunitas Sedulur Sikep ini juga tidak mau membayar upeti/pajak kepada pemerintah kolonial Belanda. Menurut pengertian mereka, upeti itu bukan untuk kepentingan mereka maupun masyarakat pribumi namun hanya untuk kepentingan pemerintah Belanda. Dalam segi kehidupan Sedulur Sikep mempunyai lima ajaran yang dianut. Komunitas ini tidak bersekolah; tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala.Selain itu mereka juga tidak berpoligami; dan tidak memakai celana panjang. Biasanya mereka memakai baju lengan panjang tanpa krah dan celana hitam sebatas lutut atau biasa disebut celana komprang. Komunitas Sedulur Sikep juga pantang berdagang, hal ini merupakan penolakan terhadap kapitalisme. Komunitas Sedulur Sikep yang terisolir dan memiliki peraturan sendiri ini tentu saja merepotkan pemerintah Belanda. “Mereka melawan Belanda bukan dengan mengangkat senjata, tapi dengan penyangkalan,” ujar Widodo. Sebenarnya perilaku orang Samin 'Sikep' sangat jujur, lurus dan polos (lugu) tetapi juga kritis. Kepolosan mereka justru membingungkan orang. Menurutnya, orang samin dikatakan membingungkan hanya dari masalah bahasa saja.”Bahasa yang mereka pakai itu bahasa naluri, jadi kita harus pintar-pintar mengolah bahasa” ungkap ayah tiga anak ini menambahkan.
Widodo mencontohkan jika kita bertanya berapa anak mereka, maka akan dijawab dua, laki-laki dan perempuan, namun jika kita bertanya berapa jumlah anaknya, maka jawabanya bisa tiga, empat, atau lima bahkan akan disertai penjelasan berapa yang laki-laki dan berapa yang perempuan. Widodo memandang bahasa yang digunakan sedulur Samin/ Sikep seperti sabdo. Artinya, bahasa mereka merupakan bahasa yang sekali mengucap, tidak ada kata-kata yang ditarik kembali dan tidak akan diingkari.
Tergerus Zaman
Pada perkembangannya, tidak urung pengaruh kemajuan zaman juga mempengaruhi mereka. Misalnya pemakaian traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian, alat-alat rumah tangga dari plastik, aluminium bahkan alat-alat elektronik telah menyentuh kehidupan mereka. Bahkan kesan sebagai komunitas yang terisolasi dari dunia luar pun telah sirna.
Widodo menuturkan, setelah listrik masuk ke desa ini pada tahun 1987 maka perkembangan kehidupan masyarakat memang semakin cepat. Apalagi jalur transportasi Blora – Randublatung melintasi desa ini. Selain itu Widodo menilai peran dari pemerintah daerah untuk ikut melestarikan sangat kurang.
”Perkembangan zaman, teknologi dan tidak adanya tangan panjang yang nguri-nguri, akhirnya ya jadinya pupus sudah,” ujarnya menyayangkan. Perhatian dari pemerintah memang kurang, bahkan untuk penelitian pun sempat ditutup. Diakui oleh Widodo, Sedulur Sikep yang masih terbilang memegang adat dengan kuat telah habis akhir tahun lalu. “Namanya Mbah Kromo,” terangnya.Sedangkan masyarakat di Klopoduwur sekarang ini telah terakulturasi menjadi masyarakat seperti pada umumnya. Bahkan ada beberapa yang berbesan dengan orang di luar daerah. “Kami merasa kehilangan salah satu budaya/tradisi,” ucapnya.
Yang diharapkan tidak terpupus zaman adalah nilai-nilai positif yang telah ada pada masyarakat Samin. Misalnya kejujuran dan kearifannya dalam memakai alam, semangat gotong royong dan saling menolong yang masih tinggi. Sampai sekarang, sebenarnya nilai-nilai kegotongroyongan dan kejujuran tanpa disadari masih kental terasa.
Widodo mencontohkan sewaktu ada tetangga yang punya hajat, maka tanpa disuruh pun para Tetangga akan secara suka rela dan beramai-rami membantu hingga selesai. Bahkan untuk mengerjakan sawah banyak yang masih dilakukan dengan sistem sambatan (bergotong royong). Selain kejujuran dan kegotongroyongan, Sedulur Sikep juga terkenal dengan kesederhanaan dan etos kerjanya yang tinggi. Widodo bercerita rumah Sedulur Samin biasanya adalah rumah yang sangat sederhana. Umumnya berdindingkan gedek (anyaman bambu) atau dari kulit pohon dengan atap dari daun jati.
Penataan ruangnya sangat sederhana dan masih tradisional terdiri ruang tamu yng cukup luas, kamar tidur dan dapur. Ruang tamu biasanya juga digunakan sebagai ruang makan, ruang keluarga. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya digunakan beberapa keluarga. Adapun bentuk rumahnya biasanya bekok lulang (limasan kampung).
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Di Desa Klopoduwur, petilasan komunitas Sedulur Sikep lebih dikenal dengan sebutan Karang Pace. Ditempat tersebut dulunya ditinggali kurang lebih tigapuluhan Kepala Keluarga (KK) Sedulur Sikep.
Etos kerja Sedulur Sikep juga terkenal sangat tinggi. Biasanya mereka akan berangkat ke Ladang, sawah maupun hutan pada pagi buta dan baru kembali saat senja menjelang. Di siang hari, suasana senyap akan meliputi pemukiman mereka karena masing-masing masih sibuk bekerja. Bagi mereka siang merupakan waktu untuk berkarya sebaik-baiknya.
Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan juga sangat positif. Biasanya mereka memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi bahkan sering melakukan ritual-ritual khusus untuk kelestarian alam. Hal ini selaras dengan pola pikiran mereka yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Widodo mengibaratkan jika tokoh-tokoh samin melihat keadaan alam sekarang mungkin mereka akan menangis. Maklumlah, mereka sangat dekat dengan alam bahkan setiap segi kehidupannya selalu berada di alam.
Sejak tahun 60-an, sarana pendidikan telah masuk ke desa ini. Sampai sekarang telah ada tiga buah SD (Sekolah Dasar) dan satu MI (Madrasah Ibtida’iyah). Keturunan Sedulur Sikep juga tak lagi antisekolah. Anak turunannya yang kelahiran tahun delapan puluhan semuanya sudah mengenyam pendidikan.
Biasanya orang tuanya juga sudah mendukung pendidikan anaknya. Memang, ketika Belanda masih menjajah Indonesia, masyarakat Samin menolak sekolah. Mereka menganggap sekolah menciptakan bendara (kaum elitis) yang akan menjadi antek Belanda dan bukan lagi kawula (rakyat). Kini, masyarakat Samin yang lebih dikenal dengan orang Sikep itu sudah merasa menjadi bagian dari warga negara Indonesia.
Widodo melihat karena perkembangan jaman dan teknologi wajar saja bila mereka (anak muda) mungkin merasa risih. “Kita sendiri tidak perlu malu dikatakan sebagai orang Samin,” pesannya pada generasi muda. Karena sesungguhnya Sedulur Sikep memiliki khasanah budaya yang luhur, dengan kehidupan mereka yang sederhana. Satu komunitas itu terasa damai, rukun, segala sesuatu diselesaikan untuk mencari bagaimana baiknya. Prinsip mereka yang senang membantu serta tidak ingin merepotkan orang lain merupakan sikap yang pantas diacungi jempol dan harus senantiasa dilestarikan. Perjuangan Samin Demi Sebuah Eksistensi Ditengah peradaban yang semakin modern, masih ada beberapa suku atau daerah yang masih mempertahankan tradisi ajarannya. Adanya himpitan kebudayaan tradisional yang makin ditinggalkan, mengakibatkan orang lupa dengan kebudayaan aslinya. Tapi masih banyak orang yang tetap berpegang teguh pada ajarannya. Salah satu suku yang masih mempertahankan eksistensinya adalah Samin.
Samin atau saminisme merupakan suatu ajaran mengenai idealisme atau pandangan hidup. Berasal dari kata “sami-sami” yang berarti bersama-sama..
Menurut Sutarto Kepala Desa Menden Rejo, Kecamatan Kradenan, Randublatung, Blora, sampai sekarang di daerah Randublatung masih banyak beberapa kampung yang dihuni oleh orang-orang Samin. Rasa kekeluargaan dan kerukunan terhadap sesama masih kental pada diri mereka. Contoh kongkrit yang terjadi saat ini yaitu ketika pengeboran minyak di daerah Cepu mengalami kebakaran. Perusahaan tersebut memberi dana kompensasi pada daerah sekitar yang terkena dampak kebakaran tersebut. Yang terjadi,bahwa semua orang Samin yang tinggal didaerah tersebut tidak mau menerima dana yang diberikan. Mereka hanya berkata “Opo tega, sedulure kena musibah malah awake dewe nrimo bantuan seko mereka, justru awake dewe kudu mbantu sadulur sing lagi susah”. Bertahan ditengah modernisasi demi sebuah tradisi tidaklah mudah. Samin salah satu suku yang mampu beertahan dalam melaksanakan ajaran leluhurnya. Meski sebagian masyarakat memandang samin sebelah mata (kekonyolan). Namun, kejujuran dan kerukunan terhadap sesama saudaranya, belum tentu bisa ditemui oleh orang-orang yang sudah terkontaminasi sebuah kata modernisasi.


http://santuncahblora.blogspot.com/2007/04/eksistensi-wong-samin-di-era-modern.html

No comments:

Post a Comment