Hari Ibu : Perempuan sebagai manusia telah direduksi maknanya
Hari Ibu dalam sejarah pergerakan perempuan di Indonesia merupakan
peringatan perjuangan merebut kesetaraan, keadilan, dan pembebasan
perempuan yang ditandai dengan Kongres Perempuan Indonesia I. Makna
itu harus dijaga untuk mengingatkan pada ancaman besar bagi
keberagaman yang dijalankan melalui kontrol atas tubuh dan seksualitas
perempuan.
Itulah yang diingatkan ilmuwan dan pengajar di Jurusan Filsafat
Universitas Indonesia, Rocky Gerung, serta aktivis dan feminis Muslim,
Lies Marcoes-Natsir. Dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki
Jakarta beberapa waktu lalu, sejarawan I Gusti Agung Ayu Ratih juga
mengingatkan hal senada.
Pada 22 Desember 1928, sejumlah organisasi perempuan terkemuka ikut
serta dalam Kongres Nasional Organisasi Perempuan Indonesia I di
Yogyakarta. Kongres diselenggarakan untuk "mengatasi provinsialisme di
dalam gerakan wanita".
Pemrakarsa kongres adalah Nyi Hajar Dewantara atau Ibu Suwardi, Ni
Suyatin, pemimpin Putri Indonesia, yang juga pamong Taman Siswa, serta
Ny Sukonto, anggota Wanita Utama dan guru di HIS (sekolah Belanda
untuk pribumi).
Kongres itu membicarakan sejumlah masalah. Hal itu di antaranya
pendidikan untuk kaum perempuan, nasib yatim piatu dan janda,
perkawinan usia anak, pembaruan Undang-Undang Perkawinan Islam,
meningkatkan harga diri perempuan, dan kejahatan kawin paksa. Selain
itu, juga ada sejumlah ceramah tentang nasionalisme dan antipermaduan.
Meski demikian, mosi yang diterima dari kongres agak terbatas. Kongres
tidak menyatakan pendirian nasionalisme dengan tegas. Seperti
dikemukakan I Gusti Agung Ayu Ratih dalam pidatonya, posisi
antipoligami dari gerakan perempuan nasionalis terus-menerus
menimbulkan ketegangan, bukan saja di kalangan lelaki, tetapi juga di
dalam gerakan perempuan.
Organisasi-organisasi perempuan yang tumbuh dari organisasi-organisasi
Islam kesulitan menentukan acuan pembenar untuk mengkritik praktik
poligami yang lazim di kalangan laki-laki Muslim pada masa itu.
Sejarah
Rocky Gerung mengingatkan bagaimana negara terus berusaha mereduksi
makna Hari Ibu. Pada zaman Orde Baru, ideologi ibuisme negara
digunakan untuk meringkus perempuan demi stabilitas nasional.
Pada saat itu, perempuan sebagai manusia direduksi maknanya. Mereka
lebih dihargai sebagai ibu, istri, dan anak perempuan daripada
individu yang memiliki kebebasan berpikir.
Tentu saja hal itu terkait erat dengan sejarah pembentukan Orde Baru.
Agung Ayu Ratih mengingatkan, model pemusnahan perempuan ala abad
pertengahan berlangsung seiring terbangunnya kediktatoran Soeharto
pada akhir tahun 1965. Penguasa militer menggunakan imaji seksual
keliaran dan kebuasan perempuan-perempuan "komunis" yang menari-nari
telanjang di Lubang Buaya untuk menumbuhkan kebencian pada perempuan
berpolitik.
Propaganda hitam ini segera memicu serangan fisik terhadap perempuan
yang berpolitik, anggota PKI, dan organisasi-organisasi massa yang
dianggap sealiran. Pesannya jelas; perempuan "komunis", perempuan yang
berpolitik membahayakan keselamatan dan integritas bangsa.
Pemerintahan Orde Baru, menurut Agung Ayu, tak hanya menghancurkan
Gerwani, tetapi juga merebut otoritas organisasi-organisasi perempuan
lainnya dalam menentukan gerak mereka. Ide-ide emansipatoris tentang
kemandirian perempuan yang belum selesai diperbincangkan sejak dekade
kedua abad ke-20 dikooptasi dan diberi bentuk yang paling konservatif:
peran ganda wanita.
Pemerintah kemudian membentuk organisasi-organisasi istri pegawai yang
strukturnya mengikuti birokrasi pemerintahan sipil dan militer dan
kepemimpinannya sejalan dengan jabatan suami. Sementara kekerasan
militer secara massal terhadap perempuan berlanjut di daerah- daerah
operasi militer.
Pada masa reformasi, gerakan perempuan merayakan kemenangannya karena
berhasil mendesak pemerintahan Habibie untuk meminta maaf dan mengakui
pemerkosaan Mei sebagai tanggung jawab negara dengan membentuk Tim
Gabungan Pencari Fakta dan mendirikan Komisi Nasional Antikekerasan
terhadap perempuan. Pada masa transisi, kemenangan itu disusul dengan
pengesahan UU Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Kewarganegaraan dan
kuota 30 persen perempuan di legislatif,
Namun, hal itu tak berlangsung lama. "Sekarang ini negara justru
menjadi instalasi politik agama yang memberikan pengesahan pada
penafsiran tunggal yang ditetapkan secara komunal. Definisi Ibu pun
diatur untuk kepentingan agama," ujar Rocky.
Menurut Lies Marcoes, imperialisme zaman penjajahan menemukan
bentuknya yang baru saat ini, yakni penjajahan atas tubuh dan
seksualitas perempuan. "Perempuan tak punya legalitas atas milik
sendiri," ujar Lies.
"Tubuh dan seksualitas perempuan itu begitu beragam dan kaya
berdasarkan pengalaman hidup dan spiritualitasnya direduksi menjadi
obyek seks dan dibebani segudang prasangka sehingga harus dikontrol.
Waktu zaman Orde Baru, seksualitas perempuan digunakan untuk
mengontrol pertumbuhan penduduk melalui program Keluarga Berencana.
Sekarang, gerak perempuan dikontrol melalui perda-perda syariat dan UU
Pornografi," katanya.
Agung Ayu Ratih mengingatkan, yang dihadapi saat ini bukan perang
teologi, tetapi pertarungan politik dan kultural. "Kita sedang berebut
ruang dan pengaruh untuk menentukan rambu-rambu kekuasaan negara dan
merumuskan keindonesiaan," ujar Agung Ayu Ratih.
Pada Hari Ibu 2008 ini marilah mencamkan apa yang ditegaskan Agung Ayu
Ratih. "Berlawanan dengan pandangan para pendukung UU Pornografi yang
menyatakan bahwa mereka berminat melindungi perempuan dari kekerasan,
kemiskinan, dan keruntuhan akhlak, saya berpendapat bahwa pembebasan
tubuh dan gerak perempuan merupakan salah satu prasyarat utama dalam
penegakan demokrasi, kemanusiaan, dan keadilan sosial!"
MARIA HARTININGSIH
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/22/02330790/hari.ibu.untuk.merumuskan.k\eindonesiaan
No comments:
Post a Comment