Wednesday 22 December 2010

Hari Ibu : Perempuan sebagai manusia telah direduksi maknanya

Hari Ibu : Perempuan sebagai manusia telah direduksi maknanya







Hari Ibu dalam sejarah pergerakan perempuan di Indonesia merupakan

peringatan perjuangan merebut kesetaraan, keadilan, dan pembebasan

perempuan yang ditandai dengan Kongres Perempuan Indonesia I. Makna

itu harus dijaga untuk mengingatkan pada ancaman besar bagi

keberagaman yang dijalankan melalui kontrol atas tubuh dan seksualitas

perempuan.



Itulah yang diingatkan ilmuwan dan pengajar di Jurusan Filsafat

Universitas Indonesia, Rocky Gerung, serta aktivis dan feminis Muslim,

Lies Marcoes-Natsir. Dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki

Jakarta beberapa waktu lalu, sejarawan I Gusti Agung Ayu Ratih juga

mengingatkan hal senada.



Pada 22 Desember 1928, sejumlah organisasi perempuan terkemuka ikut

serta dalam Kongres Nasional Organisasi Perempuan Indonesia I di

Yogyakarta. Kongres diselenggarakan untuk "mengatasi provinsialisme di

dalam gerakan wanita".



Pemrakarsa kongres adalah Nyi Hajar Dewantara atau Ibu Suwardi, Ni

Suyatin, pemimpin Putri Indonesia, yang juga pamong Taman Siswa, serta

Ny Sukonto, anggota Wanita Utama dan guru di HIS (sekolah Belanda

untuk pribumi).



Kongres itu membicarakan sejumlah masalah. Hal itu di antaranya

pendidikan untuk kaum perempuan, nasib yatim piatu dan janda,

perkawinan usia anak, pembaruan Undang-Undang Perkawinan Islam,

meningkatkan harga diri perempuan, dan kejahatan kawin paksa. Selain

itu, juga ada sejumlah ceramah tentang nasionalisme dan antipermaduan.



Meski demikian, mosi yang diterima dari kongres agak terbatas. Kongres

tidak menyatakan pendirian nasionalisme dengan tegas. Seperti

dikemukakan I Gusti Agung Ayu Ratih dalam pidatonya, posisi

antipoligami dari gerakan perempuan nasionalis terus-menerus

menimbulkan ketegangan, bukan saja di kalangan lelaki, tetapi juga di

dalam gerakan perempuan.



Organisasi-organisasi perempuan yang tumbuh dari organisasi-organisasi

Islam kesulitan menentukan acuan pembenar untuk mengkritik praktik

poligami yang lazim di kalangan laki-laki Muslim pada masa itu.



Sejarah



Rocky Gerung mengingatkan bagaimana negara terus berusaha mereduksi

makna Hari Ibu. Pada zaman Orde Baru, ideologi ibuisme negara

digunakan untuk meringkus perempuan demi stabilitas nasional.



Pada saat itu, perempuan sebagai manusia direduksi maknanya. Mereka

lebih dihargai sebagai ibu, istri, dan anak perempuan daripada

individu yang memiliki kebebasan berpikir.



Tentu saja hal itu terkait erat dengan sejarah pembentukan Orde Baru.

Agung Ayu Ratih mengingatkan, model pemusnahan perempuan ala abad

pertengahan berlangsung seiring terbangunnya kediktatoran Soeharto

pada akhir tahun 1965. Penguasa militer menggunakan imaji seksual

keliaran dan kebuasan perempuan-perempuan "komunis" yang menari-nari

telanjang di Lubang Buaya untuk menumbuhkan kebencian pada perempuan

berpolitik.



Propaganda hitam ini segera memicu serangan fisik terhadap perempuan

yang berpolitik, anggota PKI, dan organisasi-organisasi massa yang

dianggap sealiran. Pesannya jelas; perempuan "komunis", perempuan yang

berpolitik membahayakan keselamatan dan integritas bangsa.



Pemerintahan Orde Baru, menurut Agung Ayu, tak hanya menghancurkan

Gerwani, tetapi juga merebut otoritas organisasi-organisasi perempuan

lainnya dalam menentukan gerak mereka. Ide-ide emansipatoris tentang

kemandirian perempuan yang belum selesai diperbincangkan sejak dekade

kedua abad ke-20 dikooptasi dan diberi bentuk yang paling konservatif:

peran ganda wanita.



Pemerintah kemudian membentuk organisasi-organisasi istri pegawai yang

strukturnya mengikuti birokrasi pemerintahan sipil dan militer dan

kepemimpinannya sejalan dengan jabatan suami. Sementara kekerasan

militer secara massal terhadap perempuan berlanjut di daerah- daerah

operasi militer.



Pada masa reformasi, gerakan perempuan merayakan kemenangannya karena

berhasil mendesak pemerintahan Habibie untuk meminta maaf dan mengakui

pemerkosaan Mei sebagai tanggung jawab negara dengan membentuk Tim

Gabungan Pencari Fakta dan mendirikan Komisi Nasional Antikekerasan

terhadap perempuan. Pada masa transisi, kemenangan itu disusul dengan

pengesahan UU Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Kewarganegaraan dan

kuota 30 persen perempuan di legislatif,



Namun, hal itu tak berlangsung lama. "Sekarang ini negara justru

menjadi instalasi politik agama yang memberikan pengesahan pada

penafsiran tunggal yang ditetapkan secara komunal. Definisi Ibu pun

diatur untuk kepentingan agama," ujar Rocky.



Menurut Lies Marcoes, imperialisme zaman penjajahan menemukan

bentuknya yang baru saat ini, yakni penjajahan atas tubuh dan

seksualitas perempuan. "Perempuan tak punya legalitas atas milik

sendiri," ujar Lies.



"Tubuh dan seksualitas perempuan itu begitu beragam dan kaya

berdasarkan pengalaman hidup dan spiritualitasnya direduksi menjadi

obyek seks dan dibebani segudang prasangka sehingga harus dikontrol.

Waktu zaman Orde Baru, seksualitas perempuan digunakan untuk

mengontrol pertumbuhan penduduk melalui program Keluarga Berencana.

Sekarang, gerak perempuan dikontrol melalui perda-perda syariat dan UU

Pornografi," katanya.



Agung Ayu Ratih mengingatkan, yang dihadapi saat ini bukan perang

teologi, tetapi pertarungan politik dan kultural. "Kita sedang berebut

ruang dan pengaruh untuk menentukan rambu-rambu kekuasaan negara dan

merumuskan keindonesiaan," ujar Agung Ayu Ratih.



Pada Hari Ibu 2008 ini marilah mencamkan apa yang ditegaskan Agung Ayu

Ratih. "Berlawanan dengan pandangan para pendukung UU Pornografi yang

menyatakan bahwa mereka berminat melindungi perempuan dari kekerasan,

kemiskinan, dan keruntuhan akhlak, saya berpendapat bahwa pembebasan

tubuh dan gerak perempuan merupakan salah satu prasyarat utama dalam

penegakan demokrasi, kemanusiaan, dan keadilan sosial!"











MARIA HARTININGSIH





http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/22/02330790/hari.ibu.untuk.merumuskan.k\eindonesiaan

No comments:

Post a Comment