Komunitas Samin
Komunitas Samin ialah sekelompok orang yang mengikuti dan mempertahankan ajaran Samin Surosentiko yang muncul pada masa kolonial Belanda, yakni sekitar tahun 1890. Pada masa tersebut, masyarakat merasakan tekanan-tekanan dari pihak penjajah sebagai suatu siksaan kehidupan. Kemudian, mereka mencari cara untuk membebaskan diri dari tekanan tersebut. Ajaran Samin memberikan angin baru bagi masyarakat untuk keluar dari siksaan dan tekanan penjajah. Pada mulanya, komunitas Samin hanyalah merupakan perkumpulan (sami-sami) orang yang merasa senasib-seperjuangan serta sama rata dan sama rasa. Kemudian, perkumpulan ini berkembang luas, di mana pengikutnya tersebar di sekitar Blora, Pati, Kudus, Rembang dan perbatasan wilayah barat Bojonegoro.
Daerah kelompok (komunitas) Samin sangat lokal, sehingga daerah satu dengan lainnya tampak ada perbedaan dalam pemahaman aturan-aturan yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Di desanya, orang Samin merupakan sekelompok orang yang tidak suka bergaul dengan yang lainnya kecuali dengan orang Samin sendiri. Mereka memiliki bahasa sendiri untuk berkomuniaksi, tata cara kehidupan sendiri dan bahkan tradisi sendiri. Jika ingin berkomunikasi dengan orang luar, mereka memanfaatkan jasa kepala desa sebagai perantara. Dalam rangka pelestarian ajaran Samin sebagai pedoman tingkah laku, maka dilakukanlah pewarisan nilai-nilai (inkulturasi) pada ank-anak kecil, bahkan kepada orang dewasa.
Dalam bidang pergaulan, mereka telah berubah. Dalam kesehariannya, mereka telah menggunakan bahasa pergaulan yang berbeda dengan bahasa ngoko (bahasa Jawa kasar) yang menandai bahasa rakyat jelata. Mereka juga sudah melakukan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA), yang dahulunya dianggap tidak penting. Demikian pula penolakannya terhadap pembayaran pajak kepada negara juga sudah berubah. Jadi, penolakan terhadap pemuka agama dan negara telah mengalami perubahan-perubahan penting.
No comments:
Post a Comment