Monday 20 December 2010

Saat "Sedulur Sikep" Bertemu Negara

Saat "Sedulur Sikep" Bertemu Negara

Oleh INDIRA PERMANASARI



Wajah Widodo berseri-seri sambil tersipu ketika ditanya kapan akan menikah. Gadis dari komunitas Sedulur Sikep atau lebih dikenal dengan masyarakat Samin di Dusun Bombong, Pati, Jawa Tengah, itu rupanya sudah menemukan pujaan hatinya.
Dalam bahasa Jawa, gadis berkulit bersih yang masih berusia belasan tahun itu sempat bercerita, sudah ada pertemuan awal antara keluarganya dengan pihak lelaki untuk nanti diadakan pasuwitan. Pasuwitan merupakan bagian dari tata cara pernikahan dalam komunitas masyarakat Samin.
Sedulur Sikep punya tata cara tersendiri dalam meresmikan hubungan suami istri. Tidak ada istilah mengundang penghulu atau mencatatkan pernikahan tersebut di lembaga catatan sipil dan Kantor Urusan Agama. Bagi mereka, pemilik anak perempuan dan laki-laki ialah ayah dan ibunya, sehingga cukup orangtua yang menikahkan mereka.
Inti dari pasuwitan, sang pria datang ke orangtua perempuan meminta jawaban apakah benar yang bersangkutan mempunyai anak perempuan yang ingin dinikahkan. Kalau benar, supaya sama senang, sang pria ingin mengajaknya melakukan tatanan sikep rabi atau perkawinan.
Begitu calon mertua mengizinkan, maka ada janji yang diucapkan: ”Ono tetembungan, tegese, bojo siji kanggo selawase ning ngarep moro tuo. Moro tuo njawab, yon ngono guneman titenono dewe.” Bahwa, ada janji yang ditegaskan di depan mertua agar suami dan istri menjadi satu untuk selamanya. Janji itu harus diingat-ingat sendiri.
Sejak itu pasangan tersebut boleh melakukan hubungan suami-istri. Setelah berhubungan seks dengan istrinya, sang pria harus melaporkan ke orangtuanya supaya diadakan upacara seksenan (kesaksian).
Tata cara perkawinan yang terus dipertahankan ini sekaligus menunjukkan cermin dari pandangan kemandirian masyarakat Sedulur Sikep. Tanpa menyelami alam pemikiran Sedulur Sikep, terkadang orang cepat mencap mereka mempraktikkan kumpul kebo.
Tanpa catatan sipil atau lewat Kantor Urusan Agama, rumah tangga di kalangan Sedulur Sikep tetap langgeng. Menurut para warga di Dusun Bombong, tidak ada istilah kawin cerai atau berpasangan lebih dari satu.
Kemandirian hidup itu tidak hanya terlihat dalam perkawinan. Untuk menguburkan warga yang meninggal dunia, misalnya, cukup keluarganya saja, tanpa kehadiran ulama agama. Jenazah dilepas pergi dengan membacakan mantra sikep (mantra ini tidak boleh dituliskan). Setelah itu dilanjutkan dengan pesan dan harapan di depan si mati agar keturunan si mati turun temurun berkelakuan baik.
Pertemuan dengan negara
Seiring perkembangan zaman, berbagai tantangan dihadapi komunitas Sedulur Sikep dengan tata cara hidup mereka, terutama dari negara. Pertemuan antara negara dengan Sedulur Sikep sebetulnya bukan sesuatu yang asing. Sejarah kelahiran komunitas itu sendiri bahkan tak lepas dari impitan rahim kekuasaan pemerintah kolonial Belanda yang eksploitatif.
Pengalaman yang terekam di benak masyarakat Sedulur Sikep di Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah, terkait penetrasi negara ialah peristiwa kawin massal. Sebanyak 119 keluarga masyarakat Samin dikawinkan secara massal, Senin malam, 7 Agustus 1989, di Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo.
Hampir seluruh pasangan saat itu berusia lanjut dan sudah hidup berkeluarga selama bertahun-tahun. Upacara massal itu berlangsung dengan tata cara agama Buddha. Tentu saja ini menyebarkan rasa tidak nyaman lantaran tidak diakuinya tata cara yang sudah mereka lakukan lebih seratus tahun ini. Namun, menurut Gunritno—generasi muda Sedulur Sikep di Bombong—sekarang jauh lebih baik karena tidak ada paksaan lagi.
Anak-anak hasil perkawinan tersebut sejak lahir sudah pula berhadapan dengan negara. Dengan pernikahan orangtua mereka yang tanpa pencatatan dan surat kawin, tidak ada istilah pengurusan akta kelahiran. Bagi Sedulur Sikep hal itu tidak terlalu bermasalah. Anak-anak tersebut kelak mereka didik sendiri di dalam keluarga, dan setelah dewasa mereka menghidupi diri dengan menggarap lahan atau bertani sehingga tidak perlu mengurus surat-surat.
Perjumpaan lain Sedulur Sikep dengan negara terjadi ketika mengisi kolom agama untuk pembuatan kartu tanda penduduk (KTP). Ketika ditanya soal agama, jawaban Sedulur Sikep umumnya agama mereka ialah agama Adam.
Penjelasan tentang agama Adam itu sendiri beragam. Misalnya, ada Sedulur Sikep yang mengatakan agama itu gaman lanang yang bermakna seksual, yakni agama sebagai senjata laki-laki (penis). Penjelasan lainya, agama Adam ialah dam, damel rabi atau Adam (penis dan bahasa) yang harus digunakan dalam menjalin hubungan, terutama antara laki-laki dan perempuan. Dasar terpenting dari agama Adam ialah menjalankan kewajiban sikep rabi, yaitu berhubungan seksual dengan istrinya untuk membangun hidup sebagai wong sikep. Ini tentu jauh berbeda dengan pandangan kebanyakan orang tentang agama.
Ketika berhadapan dengan petugas pemerintahan untuk membuat KTP, Gunritno pernah mengupayakan agar dapat dituliskan agama Adam dalam KTP-nya atau dikosongkan saja. Namun, petugas tidak bisa memenuhi keinginan tersebut.
”Kata petugas, komputernya sudah diset cuma untuk lima agama. Dikosongkan juga tidak mungkin, nanti tidak bisa dicetak,” kata Gunritno.
Sedulur Sikep sendiri dengan tuntutan berbagai kebutuhan, seperti mengurus surat izin mengemudi, membeli atau mencicil sepeda motor, sulit menghindar dari keharusan membuat KTP. Terkadang, oleh aparat desa, Sedulur Sikep dituliskan sebagai pemeluk Islam atau Buddha (terkadang pula budo yang berarti Jawa asli atau kuno dan dianggap sama dengan Buddha).
Kegelisahan serupa dirasakan Sedulur Sikep di daerah Larik Rejo, Kudus, yang berbatasan langsung dengan Pati. Selain soal penulisan agama dalam KTP, Sedulur Sikep di Larik Rejo yang sudah mulai menyekolahkan anak-anak mereka di SD merasa risi dan tidak nyaman ketika anak-anak mereka diajari melakukan tata cara agama tertentu di sekolah. Santoso, misalnya, pernah mendatangi sekolah putri-putrinya terkait dengan hal tersebut. Namun, ia tidak mendapat jawaban memuaskan.
Di sisi lain, aparat pemerintah desa sendiri merasa hanya menjalankan tugasnya. Sukisno, Lurah Larik Rejo, mengungkapkan bahwa sulit memenuhi permintaan Sedulur Sikep terkait penulisan agama. ”Kami tidak berani menuliskan agama Adam. Jadi dituliskan agama lain saja. Kalau dikosongkan nanti tidak bisa mengurus KTP. Lagi pula, urusan kartu keluarga juga akan rumit,” ujarnya.
Komunitas adat terpencil
Belakangan, penetrasi negara ke komunitas Sedulur Sikep hadir dalam bentuk bantuan untuk komunitas adat terpencil. Program Komunitas Adat Terpencil merupakan program nasional dari Departemen Sosial untuk memberdayakan komunitas adat terpencil. Umumnya yang menerima bantuan itu ialah daerah terpencil secara geografis, terisolasi secara sosial budaya yang lebih luas, berbentuk komunitas yang kecil relatif tertutup, hidup dengan meramu dan berburu, peralatan dan teknologinya masih sederhana, serta sulit mengakses pelayanan sosial dasar.
Dalam tulisan berjudul ”Politik Representasi dan Wacana Multikulturalisme dalam Praktek Program Komunitas Adat Terpencil Kasus Sedulur Sikep Bombong-Bacem”, M Uzair Fauzan mengungkapkan, dari lima daerah di Jawa Tengah, Sedulur Sikep di Dusun Bombong dipilih karena dianggap tertinggal secara budaya atau adat istiadatnya.
Terakhir, di kalangan warga Dusun Bombong sendiri persoalan bantuan komunitas adat terpencil ini menjadi perdebatan seru dengan pro-kontra di dalamnya, yang justru rawan merusak kekompakan mereka.
Sebagian dari mereka, terutama generasi muda, kurang sepaham terkait kelayakan mereka menerima bantuan tersebut. Secara geografis mereka tidak terpencil karena hanya sekitar satu kilometer saja menuju jalan utama Pati-Purwodadi.
Istilah ketertinggalan budaya dan adat istiadat juga dipertanyakan. Mereka berpendapat, yang ada hanyalah perbedaan budaya dan tata cara sikep dengan masyarakat lain. Dikhawatirkan, bantuan komunitas adat terpencil itu nantinya hanya membuat Sedulur Sikep menjadi obyek proyek.
Keberadaan Sedulur Sikep bagi tangan negara seperti aparat pemerintah di daerah sejak dahulu sudah menjadi tolak ukur keberhasilan tersendiri. Penetrasi mereka menunjukkan stigma masyarakat Samin atau Sedulur Sikep sebagai komunitas yang tertinggal tetap terpelihara.
Seperti dituturkan antropolog Amrih Widodo yang aktif mengunjungi komunitas tersebut, kalau tidak ada lagi Samin-nya, dianggap sebuah daerah sudah maju. Sebaliknya, terkadang Samin dijadikan garapan untuk mengajukan proyek.
Sejak zaman Belanda ini sudah terjadi. Dia mencontohkan, asisten wedana, bupati, asisten residen dengan Sedulur Sikep di wilayahnya, dalam laporan mereka selalu dalam tiga bahasa, yakni bahasa Belanda, Melayu, dan Samin. Umumnya, atasan-atasan aparat zaman penjajahan dulu berbahasa Belanda dan Melayu.
”Aparat waktu itu ingin berkata, saya menguasai masalah dan mengerti bahasa mereka, hanya saya yang tahu dan dapat menjelaskannya. Samin menjadi bahan posisi tawar,” katanya.
Lha, lalu apa artinya negara itu sendiri bagi Sedulur Sikep? ”Saya dan istri menjalankan tatanan sikep rabi (bercinta—Red) lalu lahir keturunan, keluargaku. Yo, iku negoro,” kata seorang warga Sedulur Sikep.

No comments:

Post a Comment