Monday 20 December 2010

‘KONSEP SEDULUR’ SEBAGAI FAKTOR PENGHALANG TERBENTUKNYA RUANG EKSKLUSIF PADA PERMUKIMAN KAUM SAMIN

‘KONSEP SEDULUR’ SEBAGAI FAKTOR PENGHALANG TERBENTUKNYA RUANG….
(Retno Hastijanti)

Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra

http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
133

‘KONSEP SEDULUR’ SEBAGAI FAKTOR PENGHALANG TERBENTUKNYA RUANG EKSKLUSIF PADA
PERMUKIMAN KAUM SAMIN

Retno Hastijanti

Dosen Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Mahasiswa Pendidikan Program Doktor, Program Studi Arsitektur, ITS Surabaya
ABSTRAK
Kaum Samin merupakan sekumpulan orang pengikut Saminisme. Budaya Saminisme, berlatar belakang
sejarah pemberontakan Samin Surontiko melawan penjajahan Belanda (1890). Pada th.1940, Belanda melakukan
‘pembersihan’ Kaum Samin, sehingga jumlah mereka menyusut dan tercerai berai. Demi keselamatan mereka,
Kaum Samin membuat kesepakatan tak tertulis untuk menyamar dan membaur dengan orang disekitar mereka
dan selalu menganggap orang sekeliling mereka adalah sedulur. Kesepakatan tersebut tidak hanya menjadi
konsep hidup mereka tetapi tercermin pula dalam permukiman mereka. Melalui penelitian kualitatifphenomenologis
dan penggunaan metoda penerjemahan makna, dilakukan analisa terhadap ruang eksklusif pada
permukimannya. Dan terbukti bahwa konsep sedulur mengantisipasi terbentuknya ruang eksklusif pada
permukiman kaum Samin.
Kata kunci: Kaum samin, Konsep sedulur, Ruang eksklusif.
ABSTRACT
Saminist is Saminism followers. Their culture based on the history of the Samin’s rebellion against the
Dutch. In 1940, The Dutch exploded Saminist cleansing. For saving their life, the Saminist then made an
unwritten-agreement among them to undercover and blend in the middle of society surround, and always
assumed the society as sedulur. This unwritten-agreement became their way of life and was reflected in their
settlement. This research is qualitative-phenomenology research and using meaning-translation method for
analyzing the exclusive space of the Saminist settlement. It had been found that sedulur concept anticipated the
formed of exclusive space of Saminist settlement.
Keywords: Samin, Brotherhood concept, exclusive space.
PENDAHULUAN
Kaum Samin adalah sekumpulan orang suku
Jawa pengikut ajaran Samin. Samin Surosentiko
(Blora, 1850-1907) menyebarkan ajaran Samin
sejak 1890. Pada dasarnya ia mengajarkan
tuntunan untuk melawan kompeni Belanda.
Selama 17 tahun, ia berhasil menghimpun
kekuatan yang luar biasa, dan menjadikan
mereka salah satu musuh Belanda yang paling
berbahaya di tanah Jawa. Pada tahun 1914,
Belanda mengadakan pembersihan terhadap
Kaum Samin (dikenal sebagai geger Samin).
Mereka menyerang dan membakar desa-desa
pusat pertahanan kaum Samin di Jawa Tengah
dan di Jawa Timur. Banyak kaum Samin
terbunuh, sedangkan yang selamat tercerai berai.
Selanjutnya, Belanda melarang ajaran Samin dan
mengancam masyarakat yang menyembunyikan
mereka. Untuk lebih menghancurkan komunitas
tersebut, Belanda mendiskreditkan kaum Samin
sebagai kaum perampok dan penjahat, sehingga
pada akhirnya masyarakat (Jawa) -pun menolak
keberadaan kaum Samin. Untuk menyelamatkan
diri, kemudian Kaum Samin membuat suatu
kesepakatan tak tertulis yang berisi strategi
berperang dan bersosialisai. Kesepakatan
tersebut selain disampaikan dari mulut ke mulut,
juga disampaikan melalui kesenian sastra lisan
(kentrung). Salah satu kesepakatan mereka
adalah menyamar dan meleburkan diri dalam
lingkungan masyarakat umum dan menganggap
bahwa seluruh masyarakat sekeliling mereka
adalah ‘saudara’ /sedulur. Strategi mereka
ternyata berhasil. Terbukti mereka dapat hidup
damai dan mengamalkan ajarannya dengan
aman.
Desa Tapelan, Kecamatan Ngraho, Kabupaten
Bojonegoro (gb.1), merupakan desa tempat
tinggal pengikut Samin yang terbanyak. Disini,
DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 30, No. 2, Desember 2002: 133 - 140
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
134
ajaran Samin, baik lisan maupun tulisan,
dijalankan dengan ketat oleh para pengikutnya.
Pelaksanaan ajaran tersebut, tidak hanya
tercermin dalam kehidupan sehari-hari, tetapi
juga terlihat sampai pada permukimannya.
Permukiman (gb.2) tersebut tidak terlihat
berbeda secara menyolok. Sehingga bila tidak
jeli melihat, maka kita tidak akan bisa
membedakan kelompok rumah kaum Samin dan
kelompok rumah masyarakat umum. Kenyataan
ini mengingkari fenomena ruang ekslusif yang
selalu terbentuk pada permukiman heterogen
seperti ini. Fenomena terbentuknya ruang
eksklusif untuk suatu kelompok masyarakat
dengan budaya tertentu, merupakan fenomena
yang umum ditemukan. Karena Ruang eksklusif
dianggap sebagai penentu eksistensi kelompok
tersebut terhadap lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka
dirumuskan permasalahan yang akan diteliti
yaitu:
1. Apakah ada ruang eksklusif pada permukiman
kaum Samin di Tapelan ?
2. Faktor apa yang paling berpengaruh terhadap
keberadaan/ketiadaan ruang eksklusif pada
permukiman kaum Samin di Tapelan ?
Gambar 1. Sketsa peta Kabupaten Bojonegoro
Gambar 2. Sketsa pembagian dukuh Desa Tapelan
TINJAUAN PUSTAKA
Proses Pengelompokan Dalam Masyarakat
Perbedaan kwalitas dari tiap hubungan
sosial menghasilkan beberapa konsekwensi,
salah satunya adalah pengelompokan atau
pembentukan grup. Amos Rapoport (1977:248)
mengatakan bahwa suatu kelompok adalah hasil
dari proses yang dilakukan oleh sekelompok
orang yang punya kesamaan dan kemudian
mereka memilih lingkungan dengan kwalitas
yang sesuai bagi mereka. Hasilnya adalah
‘daerah kantong’ (enclave), suatu daerah yang
menggambarkan ‘kesatuan’ dan juga
‘pemisahan’. Fischer (1976) mengamati, yang
membedakan daerah kantong yang satu dengan
lainnya dalam suatu lingkungan ketetanggaan,
adalah kesukuan (termasuk perbedaan budaya),
kebangsaan, dan sosial-ekonomi antar kelompok
tersebut. Rapoport (1977:248) mengamati bahwa
proses ini menyebabkan pembagian antara ‘kita’
dan ‘mereka’. Disini terjadi proses inklusif dan
eksklusif, akibatnya timbul ‘batas’ dan ‘identitas
sosial’ yang berbeda. Sehingga, area kemudian
terbagi menjadi 2 (dua). Bagian pertama milik
kelompok yang punya ‘kesamaan’ sifat
(homogeneity) dan bagian lain milik kelompok
yang punya sifat ‘berbeda’ (diversity). Altman
(1980:260) mengatakan bahwa keduanya akan
mudah dilihat dan ditemukan, karena manusia
adalah makhluk yang dinamis sehingga akan
selalu mencari hal-hal yang ‘sama’ (homogeneity)
maupun yang ‘berbeda’ (diversity ).
Selain itu, bergabung dengan suatu kelompok
tertentu dan merubah identitas pribadi menjadi
identitas kelompok, akan membuat seseorang
merasa ‘stabil’.
Pengelompokan masyarakat yang terjadi,
mengakibatkan jaringan sosial dan sistem
aktifitas yang spesifik. Kesemuanya tertampung
dalam setting perilaku (behavior setting). Setting
ini akan mempengaruhi perilaku melalui berbagai
isyarat yang harus terbaca dan harus
dipatuhi. Dalam kondisi seperti ini, kelompok
tersebut, punya privasi yang didefinisikan oleh
Altman (1980:77) sebagai kontrol selektif
terhadap diri mereka sendiri. Dengan demikian,
setiap kelompok dapat mengontrol keterbukaan
dan ketertutupan hubungan sosial mereka dengan
orang lain.
Memahami Ruang Eksklusif
Proses pemberian batas pada ruang/
pembatasan menyebabkan suatu area yang
‘KONSEP SEDULUR’ SEBAGAI FAKTOR PENGHALANG TERBENTUKNYA RUANG…. (Retno Hastijanti)
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
135
tersegregasi. Pembahasan terhadap ruang yang
terbatasi, terkait erat dengan ‘teritori’. Irwin
Altman (1980:121), mengamati bahwa definisi
teritori itu terkait dengan ‘kepemilikan’ atau
‘kontrol terhadap’ penggunaan suatu tempat atau
barang, sehingga teritori dapat dikontrol oleh
satu atau sekelompok orang. Teritori selalu
‘ditandai’ untuk mengekspresikan identitas
pengontrolnya dan mempertegas keberadaannya.
Bryan Lawson (2001:168) menyimpulkan bahwa
ruang eksklusif adalah teritori bagi suatu
kelompok masyarakat. Apabila kita merujuk
kembali proses yang telah diterangkan
sebelumnya dan salah satu hasilnya adalah ruang
eksklusif, maka dijelaskan adanya ‘pembatas’
sebagai penegas adanya ruang tersebut. Dan bila
kita merujuk pada konsep teritori yang
diterangkan Altman (1980:143) maka
‘pembatas’ yang diterangkan oleh Lawson disini
adalah salah satu‘tanda’ yang disebut oleh
Altman. Sedangkan tanda lain, oleh Oscar
Newman (1973) disebutkan adanya jarak antar
bangunan, tatanan ruang luar dan pola
pengaturan massa bangunan.
METODOLOGI
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan landasan phenomenology
karena, selain membahas aspek fisik pada
permukiman kaum Samin, juga membahas aspek
non fisiknya, sehingga erat kaitannya dengan
masalah persepsi, pemikiran, kemauan, maupun
keyakinan subyek tentang sesuatu diluar subyek;
ada sesuatu yang transenden.
Obyek penelitian adalah sekumpulan orang
yang menyebut dirinya kaum Samin, dan
penekanan penelitian antara lain tentang perilaku
anggota kaum Samin pada hubungan interpersonal
maupun pada keseluruhan masyarakat
atau kelompok Dukuh Tapelan tersebut. Terkait
dengan hal tersebut, maka selanjutnya, model
penelitian kualitatif-phenomenologis yang dipilih
disini dengan pendekatan model interaksionisme
simbolik. Kemudian dibutuhkan pemakaian
metode pemaknaan dan penerjemahan / translasi
dalam analisa dan pembahasan, untuk mencapai
hasil yang diinginkan. Untuk mengungkap
makna yang direpresentasikan oleh bentuk
arsitektural yang ada, maka diperlukan metode
feedback, mengingat kembali kondisi kesejarahan
mereka yang merupakan alas an utama
bagi keberadaan mereka dilingkungan tersebut.
Populasi Sampel dan Besar Sampel
Penelitian ini menggunakan purposive
sample, dengan satuan kajian:
· Kelompok Kaum Samin dukuh Tapelan, desa
Tapelan (27 keluarga)
· Kelompok masyarakat non-Samin dukuh
Tapelan, desa Tapelan (36 keluarga).
Sehingga lokasi penelitian merupakan suatu
neighborhood (dan merupakan behavioral setting
bagi kaum Samin) permukiman kaum Samin.
Selain itu, terdapat kategorisasi tentang keluarga
yaitu keluarga inti (orang tua dan anak) (gb.3)
dan keluarga majemuk (gb.4). Dalam keluarga
majemuk terdapat beberapa keluarga inti.
Common denominator yang membuat suatu
keluarga dikatakan sebagai keluarga majemuk
adalah bahwa lebih dari 1 (satu) keluarga inti
‘memasak’ keperluan sehari-harinya pada
‘dapur’ yang sama.
Pengertian ‘sedulur’, bhs.Jawa (saudara,
bhs.Ind..) bagi kaum Samin, juga mempunyai
kategorisasi sebagai berikut:
a) Sedulur sedarah dalam keluarga inti
b) Sedulur sedarah dalam keluarga majemuk
c) Sedulur se-kaum Samin
d) Sedulur se-lokasi / dukuh dan desa
e) Sedulur sesama ‘umat manusia’
Gambar 3. Peta Status Keluarga Inti Penghuni
DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 30, No. 2, Desember 2002: 133 - 140
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
136
Gambar 4. Peta Pembagian Lahan Keluarga
Majemuk
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil pengamatan tentang batas lahan
sebagai penanda dan penegas eksistensi teritori
(table 1.), terdapat dua kategori batas lahan antar
rumah keluarga majemuk yaitu (1) tidak ada
pagar/tanpa pagar; dan (2) ada pagar. Untuk
kategori (2), dibagi lagi berdasarkan penggunaan
bahan untuk membuat pagar, yaitu (a) pagar
tanaman; (b) pagar kayu/bambo; (c) pagar bata/
tembok. Antar rumah keluarga inti dalam satu
keluarga majemuk, baik Samin maupun non-
Samin, seluruhnya tidak memakai pembatas.
Selanjutnya untuk batas lahan antar keluarga
majemuk Samin hasilnya adalah 53,85 % tanpa
pagar; 30,77% berpagar tanaman; 15,38 %
berpagar kayu/bambu. Lahan keluarga majemuk
Samin yang berpagar adalah lahan yang
berdampingan dengan lahan keluarga majemuk
non-Samin, dan secara visual, sangat pendek (15-
20 cm), tidak terawat dan bukan pagar yang
menerus. Sedangkan untuk keluarga majemuk
non-Samin hasilnya adalah 52,6% berpagar
tanaman; 42,1% berpagar kayu/bamboo; 5,3%
berpagar bata/tembok.
Tabel 1. Batas lahan Keluarga Majemuk
Status
Keluarga
Majemuk
Tdk ada
pagar Kel.
inti
Pagar
Tanaman
Kel. inti
Pagar
kayu/
Bambu
Kel. inti
Pagar
bata
Kel. inti
Total
Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %
Kel.Majemuk
Samin
7 53,85% 4 30,77% 2 15,38% 13 100%
Kel. Majemuk
non-Samin
10 52,6% 8 42,1% 1 5,3% 19 100%
Kel. Majemuk
campuran
1 100% 1 100%
Untuk jarak antar rumah antar rumah
keluarga inti dalam lahan keluarga majemuk
(table.2), terdapat kategorisasi: (1) tidak ada
jarak/rumah saling menempel; (2) berjarak 1,5m-
3m; (3) berjarak lebih dari 3m. Dari pengamatan,
77,78% keluarga inti Samin masuk kategori (2)
dan 72,2% keluarga inti non-Samin yang masuk
kategori (2).
Tabel 2. Jarak antar rumah keluarga inti
dalam lahan keluarga majemuk
Status
Keluarga
Inti
Tdk ada
jarak antar
rumah
Jarak antar
rmh 1,5-3m
Jarak antar
rmh lebih
dr 3m
Total
Jml % Jml % Jml % Jml %
Kel.Inti
Samin
1 3,7 % 21 77,78% 5* 18,52% 27 100%
Kel. Inti
non-Samin
8* 22,2 % 26 72,2% 2 5,6 % 36 100%
* karena merupakan tatanan tunggal keluarga inti
Untuk pengamatan tatanan ruang luar
(gb.5), meliputi kondisi halaman depan,
samping, belakang dan ruang antar rumah
keluarga inti. Pada rumah keluarga majemuk
Samin, halaman depan ‘bersih’ tidak ada
tanaman lain kecuali rumput, yang tertata rapi.
Halaman samping seringkali ditanami pisang
atau perdu saja. Halaman belakang menjadi
kebun/ladang. Ruang antar rumah digunakan
untuk ‘ruang wanita’ bertemu sehingga tidak ada
tanaman selain lantai tanah yang bersih dan
bangku kecil. Pada rumah keluarga majemuk
non-Samin, tatanan ruang luar hampir sama
dengan rumah keluarga majemuk Samin, hanya
yang berbeda adalah ruang antar bangunan,
bukan merupakan ‘ruang wanita’, bisa saja hanya
berupa ruang untuk sirkulasi, atau ditanami. Juga
halaman depan berupa taman hias dengan pohon
peneduh.
‘KONSEP SEDULUR’ SEBAGAI FAKTOR PENGHALANG TERBENTUKNYA RUANG…. (Retno Hastijanti)
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
137
Gambar 5. Pembagian ruag luar sekitar rumah
keluarga inti Samin
Ditemukan 6 (enam) kategori aturan tatanan
yang berbeda untuk penataan rumah keluarga
majemuk (table.3), yaitu (1) Deret; (2)
Berhadapan; (3) Bersusun; (4) Cluster; (5)
tunggal; (6) Deret berlawanan arah. Untuk
keluarga majemuk Samin, ditemukan 30,8%
kategori (1); 15,4% kategori (2);7,7% kategori
(3);38,4% kategori (5); 7,7 % kategori (6). Tidak
ditemukan kategori (4). Sedangkan untuk
keluarga majemuk non-Samin terbanyak
menggunakan kategori (5) 42,1% dan tidak
ditemukan kategori (2) dan (6).
Tabel 3. Aturan tatanan rumah keluarga majemuk
Status kel.
majemuk
Tatanan
Deret
Tatanan
Berhadapan
Tatanan
Bersusun
Tatanan
Cluster
Tatanan
Tunggal
Tatanan
Deret ><
Kel. Majemuk
Samin
4 bh
30,8 %
2 bh
15,4 %
1 bh
7,7 %
0 5 bh
38,4 %
1 bh
7,7 %
Kel. Majemuk
non-Samin
6 bh
31,6 %
0 1 bh
5,3 %
4 bh
21,0 %
8 bh
42,1 %
0
Kel.Majemuk
Campuran
1 bh
100 %
0 0 0 0 0
Total 11 bh
33,3 %
2 bh
6,1 %
2 bh
6,1 %
4 bh
12,1 %
13 bh
39,4 %
1 bh
3,0 %
Ditemukan adanya hierarki ruang yang
mengontrol aksesibilitas orang ke lahan. Dan ini
juga merupakan alat ukur bagi privacy pemilik
ruang. Kategorisasi yang dihasilkan adalah
(1)hierarki public, semua orang baik dikenal
maupun tidak dikenal boleh masuk; (2) hierarki
semi privat, hanya keluarga, tetangga, orang
yang dikenal dan orang tak dikenal tetapi
diijinkan, yang boleh masuk; (3) hierarki privat,
hanya keluarga atau orang lain yang diijinkan
masuk oleh penghuni dengan pengawasan penuh
dari penghuni. Pada lahan (ruang luar) kel.
Samin:
· Hierarki (1) pada halaman depan.
· Hierarki (2) pada halaman samping; halaman
belakang dan ruang antar rumah.
· Hierarki (3) tidak ditemukan.
Untuk lahan keluarga non-Samin:
· Hierarki (1) pada halaman depan.
· Hierarki (2) pada halaman samping dan ruang
antar rumah.
· Hierarki (3) pada halaman belakang.
Agar gambaran tentang privacy lebih lengkap,
maka dilakukan pengamatan pada hierarki
tatanan ruang dalam rumah keluarga Samin
(gb.6), dan ditemukan:
· Hierarki (1) pada teras, ruang bersama (untuk
rg.tamu + rg.keluarga + rg.makan) dan
km/wc.
· Hierarki (2) pada dapur, rg.tidur.
· Hierarki (3) tidak ditemukan.
Bila kategorisasi hierarki dihubungkan dengan
kategorisasi sedulur Kaum Samin, maka didapat
hubungan bahwa yang masuk hierarki publik
bagi kaum Samin adalah sedulur kategori
1,2,3,4 dan 5; sedangkan yang masuk hierarki
semi privat bagi kaum Samin adalah sedulur
kategori 1,2,3, dan 4.
Gambar 6. Denah dan tampak rumah keluarga
Samin
Ruang Eksklusif pada Permukiman Kaum
Samin di Tapelan
Dari analisa yang telah dilakukan didapat
pembahasan sebagai berikut:
· Pagar sebagai pembatas
Persepsi kaum Samin terhadap pagar
sebagai pembatas, tidak sama dengan masyarakat
lain. Mereka memandang pagar tidak sesuai
dengan komitmen tak tertulis yang telah dibuat
oleh pendahulu mereka, sehingga sebetulnya
DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 30, No. 2, Desember 2002: 133 - 140
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
138
mereka menolak keberadaan pagar. Tetapi bila
hal tersebut mereka terapkan, justru akan
membuat perbedaan yang menyolok antara
mereka dengan masyarakat sekitarnya. Sehingga
mereka memilih jalan tengah, kompromi dan
toleransi. Adanya pagar antara lahan keluarga
majemuk Samin dengan lahan keluarga majemuk
non-Samin, adalah representasi dari hal itu.
Kaum Samin tetap memasang pagar tetapi
dengan tujuan kompromi dan toleransi, bukan
penegas eksistensi ruang mereka. Karenanya
mereka memilih bahan yang tidak permanen,
walau mereka mampu secara finansial. Juga
ketinggian pagar dan kondisi pagar yang tidak
menerus dan tidak terawat, makin menguatkan
bukti bahwa pagar bagi mereka bukan hal
penting. Pada beberapa rumah keluarga majemuk
Samin, ada yang hanya meng-geletak-kan pagar
di depan rumah mereka. Bukan mendirikannya
seperti pada umumnya. Ini tidak saja representasi
dari ketidak-setujuan mereka pada elemen
pembatas, tetapi juga “keterpaksaan” mereka
menerima untuk menunjukkan toleransi. Makna
eksplisit yang tertangkap adalah keinginan
mereka untuk menyatu dengan lingkungannya.
Makna implisitnya, mereka menginginkan
ketiadaan halangan saat dalam kondisi darurat.
Sehingga bila terpaksa ‘lari’, maka tidak ada
pagar yang menghalangi aksesibilitas mereka.
Dengan ketiadaan pagar permanen tersebut,
maka penegas ruang ekslusif yang utamapun
tidak terwakili. Hal ini kemudian bisa dibaca
sebagai ketiadaan ruang eksklusif dalam lahan
keluarga inti maupun majemuk Samin.
· Jarak antar rumah
Bagi mereka, jarak antar rumah bukanlah
pemisah ruang, tetapi justru penghubung. Ruang
antar rumah ini merupakan ‘ruang wanita’. Di
ruang ini, pertukaran informasi dan penjagaan
alamiah dilakukan. Sehingga, yang terjadi adalah
‘ruang penghubung’ bukan ‘ruang pemisah’.
Untuk menjaga konsistensi fungsi ini, mereka
selalu menyediakan bangku / tempat duduk
disini. Makna eksplisit yang terbaca adalah
kemudahan akses untuk menemukan tuan rumah,
karena ruang itu selalu ditempati oleh kaum
wanita, setiap saat. Makna implisitnya adalah
kemudahan pengawasan setiap saat kebagian luar
rumah dengan menempatkan wanita (sebagai
kaum yang tidak dicurigai) sebagai pengawas.
Dengan adanya jarak antar rumah tersebut (yang
dibaca sebagai ruang penghubung), membuat
terjadinya hubungan interaktif antara keluarga
Samin dan tetangganya, serta tamu yang akan
berkunjung. Hal ini pun kemudian bisa dibaca
sebagai ketiadaan ruang eksklusif dalam lahan
keluarga inti maupun majemuk Samin.
· Tatanan ruang luar
Tatanan halaman depan, yang berupa
halaman luas tanpa tanaman, hanya rumput
belaka, merupakan identitas utama bagi rumah
keluarga inti Samin. Kemudahan aksesibilitas
menuju bagian dalam rumah, adalah makna
eksplisit yang ditangkap oleh pengunjung. Tetapi
pada dasarnya mereka punya makna implicit
pula, yaitu kemudahan akses pengawasan dari
dalam rumah keluar rumah. Sehingga pemilik
rumah sudah mendeteksi terlebih dahulu tamu
yang datang, sebelum tamu tersebut bertemu
dengan pemilik rumah. Dengan kemudahan
akses kedalam bagi orang lain, maka hal ini
kemudian bisa dibaca sebagai ketiadaan ruang
eksklusif dalam lahan keluarga inti maupun
majemuk Samin
· Tatanan rumah keluarga majemuk
Tatanan deret merupakan tatanan utama
mereka. Makna eksplisit yang terbaca adalah
keinginan mereka untuk sejajar dengan
lingkungannya. Tidak menonjolkan diri dan tidak
merendahkan diri. Sedangkan makna implisit
yang terbaca adalah kesiagaan mereka terhadap
bahaya yang akan datang. Berderet seakan
pasukan yang siap siaga untuk menyambut
musuh yang akan menyerang. Keinginan untuk
lebur dalam llingkungannya yang tercermin dari
tatanan inipun kemudian bisa dibaca sebagai
ketiadaan ruang eksklusif dalam lahan keluarga
inti maupun majemuk Samin.
· Hierarki ruang
Dari hasil pengamatan, ternyata keluarga
inti Samin, memperbolehkan semua area
miliknya dikunjungi dengan bebas oleh orang
lain. Makna eksplisit yang terbaca adalah
keramahan mereka dan tidak ingin menutupi
kehidupan mereka terhadap tetangganya. Makna
implisit yang terbaca adalah dengan membiarkan
orang lain memasuki area mereka, mereka justru
dapat mengenali orang tersebut secara lebih baik.
Sehingga kemudahan akses untuk mengenal
orang tersebut tercapai. Penjelasan tentang
variable ini merupakan penjelasan kunci bagi
ketiadaan ruang eksklusif di lahan keluarga inti
dan keluarga majemuk Samin, karena privacy
‘KONSEP SEDULUR’ SEBAGAI FAKTOR PENGHALANG TERBENTUKNYA RUANG…. (Retno Hastijanti)
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
139
adalah ukuran utama bagi keberadaan ruang
eksklusif, walaupun bukan ukuran satu-satunya.
Sehingga ketidak-butuhan orang Samin dalam
hal ini kemudian bisa dibaca sebagai ketiadaan
ruang eksklusif dalam lahan keluarga inti
maupun majemuk Samin serta bagian dalam
rumah mereka.
Konsep Sedulur pada Permukiman Kaum
Samin di Tapelan
a) Sedulur sedarah dalam keluarga inti
Ini merupakan inti dari konsep sedulur.
Bagi kaum Samin, mereka sudah tidak punya
lagi identitas personal. Identitas mereka adalah
dalam keluarga inti. Sehingga istilah ‘satu
dicubit yang lain ikut sakit’ adalah istilah yang
tepat untuk menggambarkan komitmen mereka.
Dari sini dikembangkan konsep sedulur yang
lainnya. Dari sini dikembangkan pula konsep
‘kepemilikan’ yang non-personal. Tidak ada
barang milik satu orang. ‘Satu untuk semua’
adalah istilah bagi gambaran tentang hal tersebut.
Demikian pula dengan kepemilikan ‘ruang’.
Tidak ada ‘ruang’ milik sendiri. Paling tidak itu
adalah milik keluarga. Ini menyebabkan
eksklusifitas ruang dalam keluarga inti Samin,
tidak ada.
b) Sedulur sedarah dalam keluarga majemuk
Pengembangan komitmen konsep sedulur
yang pertama adalah pada keluarga majemuk.
Bila masyarakat, Jawa khususnya dan Indonesia
umumnya, menjunjung tinggi komitmen tentang
keluarga majemuk, mungkin hingga keturunan
yang dibatasi (misanan-mendoan), maka kaum
Samin mengembangkannya hingga tak terbatas.
Akan tetapi ada hierarki yang terkait dengan
penghormatan kepada saudara yang terdekat
dengan kepala keluarga pemilik lahan. Sehingga,
makin dekat saudara tersebut dengan kepala
keluarga, makin terhormat kedudukannya dalam
lahan keluarga majemuk tersebut.
c) Sedulur se-kaum Samin
Sejarah membuktikan bahwa kaum Samin
dapat meneruskan hidup dan keturunan sampai
sekarang adalah berkat komitmen persaudaraan
yang mereka bangun sejak jaman Samin
Surontiko. Ini kemudian membentuk suatu
hubungan sosial yang spesifik dan tercermin
dalam bentukan arsitektural permukiman
mereka, seperti yang telah dibahas sebelumnya.
Pada dasarnya sifat keanggotaan mereka sanggat
terbuka, ini tercermin dari pernikahan campuran
yang telah dijalankan oleh beberapa orang Samin
yang menikah dengan orang non Samin. Dan hal
tersebut diperbolehkan. Hal ini kemudian bisa
dibaca sebagai ketiadaan eksklusifitas dalam
keluarga Samin.
d) Sedulur se-lokasi / dukuh dan desa
Dengan sifat keanggotaan yang terbuka,
maka bagi mereka, memungkinkan untuk
membayangkan bahwa dimasa yang akan datang,
bisa saja orang lain, utamanya yang se-dukuh
dan se-desa, menjadi anggota keluarga mereka.
Dengan demikian, anggapan bahwa mereka juga
merupakan sedulur terbangun dari dasar
pemikiran seperti itu.
e) Sedulur sesama ‘umat manusia’
Pengembangan anggapan yang didasari oleh
sifat keanggotaan kaum Samin tersebut dalam
kondisi maksimal, membuat mereka juga pada
akhirnya menganggap bahwa siapapun (manusia)
adalah saudara / sedulur mereka. Walaupun
mereka baru berkenalan / belum pernah bertemu
sebelumnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari pembahasan tersebut diatas, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
· Tidak ada ruang eksklusif pada permukiman
kaum Samin di Tapelan.
· Faktor yang paling berrpengaruh dan
menyebabkan ketiadaan ruang eksklusif pada
permukiman kaum Samin di Tapelan adalah
konsep sedulur, sehingga kita dapat menyebut
konsep ini sebagai faktor yang menghalangi
terbentuknya ruang eksklusif pada permukiman
kaum Samin.
Dengan demikian kita akan mengenal kaum
Samin sebagai kelompok masyarakat yang
sangat toleran dan bersahaja apa adanya. Mereka
secara sadar dan sukarela meminimalkan privacy
dan meniadakan eksistensi personal, bahkan
kemudian eksistensi kelompok kaum Samin,
menjadi eksistensi masyarakat sekitarnya, agar
mereka dapat hidup damai, aman, tenteram
dalam membangun kehidupan dan meneruskan
keturunan mereka
Dari sini, kita dapat mengambil pelajaran
untuk kehidupan kemasyarakatan kita selanjutnya,
bahwa toleransi adalah kunci bagi segregasi
dan separasi yang saat ini seringkali terjadi
DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 30, No. 2, Desember 2002: 133 - 140
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
140
dalam masyarakat kita. Kehidupan berkelompok
adalah hal yang manusiawi, tetapi eksklusifitas
kelompok harus dibatasi perkembangannya
sehingga tidak merugikan lingkungan dan
masyarakat sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Altman, I. & Chemers, Martin. Culture and
Environment. Brooks/Cole Publishing
Company, Monterey, California. 1984.
Hutomo, Suripan Sadi. Samin Surontiko dan
Ajaran-ajarannya. Basis, Majalah Kebudayaan
Umum, Januari, Yogyakarta. 1985.
---- Samin Surontiko dan Ajaran-ajarannya.
Basis, Majalah Kebudayaan Umum,
Februari, Yogyakarta. 1985.
Lawson, Bryan. The Language of Space.
Architectural Press, London. 2001.
Newman, Oscar. Defensible Space, people and
Design in The Violent City. Architectural
Press, London. 1972.
Rapoport, Amos. Human Aspect of Urban Form,
towards A Man-Environment Approach to
Urban Form and Design. Pergamon Press
Ltd., England. 1977.

No comments:

Post a Comment