Saturday 4 December 2010

Meluruskan Pandangan tentang ‘Wong Samin’

Meluruskan Pandangan tentang ‘Wong Samin’


Ketika kita mendengar istilah ‘samin’ akan tertuju pada sekelompok orang yang memiliki tingkah laku yang nyeleneh dan berkonotasi negatif, terasing dengan segala keterbatasan. Orang menganggap orang samin sebagai orang yang tidak taat aturan. Selain itu, orang menjadi salah kaprah dalam melakukan penilaian dan mendefinisikan tentang kata samin itu sendiri. Seringkali samin disebut sebagai suku atau aliran kebatinan. Namun sebenarnya itu kurang tepat dengan realitas yang ada. Ini tidak lepas dari kesejarahan aliran ini sendiri yang sering disebut dengan ‘saminisme’.

Saminisme adalah sebuah gerakan yang dibawa oleh Raden Kohar yang mengubah namanya menjadi Samin Suro Sentiko. Raden Kohar dilahirkan di daerah Blora, Jawa Tengah pada 1859. Sekitar tahun 1890 Samin Suro Sentiko mulai menyebarkan ajarannya kepada masyarakat di daerah Klopoduwur Blora. Ajarannya ini menarik minat dari masyarakat disekitarnya. Bahkan ajaran saminisme selain berkembang di sekitar Blora sendiri juga berkembang hingga ke daerah Bojonegoro, Pati, Kudus, Rembang, Grobogan, Brebes, Tuban, Ngawi, Lamongan. Namun yang paling pesat mengalami perkembangan adalah di daerah Blora, Bojonegoro, dan Pati.

Saminisme pada waktu itu dapat berkembang dengan pesat karena mengajarkan kesetaraan, kesederhanaan, kebajikan serta selalu mengingat Tuhan. Dalam kehidupan sehari-hari, orang samin memegang tiga ajaran yang bersifat lisan. Ajaran-ajaran tersebut adalah; Pertama, Angger-angger pratikel (hukum tindak-tanduk) berbunyi “Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong”. Orang dilarang untuk berbuat jahat, perang mulut, iri, mencuri. Jika kita nalar, ajaran ini memiliki kesamaan dengan semua ajaran agama yang mengajarkan pemeluknya untuk melakukan segala tindak kebaikan. Memang ini tidak lepas dari tradisi Islam di Jawa sendiri yang sudah melekat pada kultur masyarakat.

Kedua, Angger-angger pengucap (hukum bicara) berbunyi “Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga budhelane ana pitu” Dalam berbicara, orang harus meletakkan pembicaraannya di antara angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-angka ini mungkin hanyalah simbolik belaka. Namun pada dasarnya, setiap orang harus menjaga omongannya dari kata-kata kotor dan menyakiti hati orang lain. Orang harus berbicara dengan baik kepada orang lain.

Ketiga, “angger-angger lakonana” (hukum tentang apa yang harus dikerjakan) berbunyi “ Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokale dilakoni” Orang harus selalu bersabar serta tidak sombong.

Dari ketiga ajaran terrsebut, jika kita bandingkan dengan ajaran agama dan ajaran hidup sehari-hari kita sebenarnya adalah sama. Namun yang dipertanyakan adalah mengapa penilaian orang tentang orang samin selalu berkonotasi negatif. Sehingga orang-orang samin di Pati menyebut dirinya dengan sebutan ‘wong sikep’ yang berarti orang yang memegang teguh ajaran saminisme, sebab kata samin di mata masyarakat berkonotasi buruk. Memang ajaran Samin sebenarnya ditujukan untuk melakukan penentangan terhadap pemerintahan Hindia Belanda.

Dalam Serat Punjer Kawitan yang ditulis Samin Surosentiko, menegaskan bahwa tanah Jawa bukan milik Hindia Belanda, bukan milik penguasa, akan tetapi milik keturunan Pandhawa yaitu keturunan Majapahit. Atau secara luas, tanah Jawa adalah milik Orang Jawa. Maka ketika pemerintahan Hindia Belanda menarik pajak dari warga, Samin Surosentiko menganjurkan untuk menolak pajak tersebut. Sebab kita hidup di tanah warisan leluhur kita sendiri, sehingga pemerintah Hindia Belanda serta para pejabat-pejabat pada tidak berhak menarik pajak dari masyarakat. Selain itu, gerakan saminisme juga sebagai gerakan penolakan terhadap pemerintah yang membatasi masyarakat dalam memanfaatkan hasil hutan.

Gerakan perlawanan terhadap Belanda yang dilakukan oleh wong samin memang seperti saya katakan nyeleneh, namun pada dasarnya lebih humanis karena tanpa kekerasan. Ini bukan berarti perjuangan melawan penjajah dengan senjata adalah hal yang buruk. Maka ketika ketika para pamong akan menarik pajak, pengikut Samin disarankan untuk berperilaku aneh (nggendeng, nyamin) menyerupai orang gila. Bahkan ketika berhadapan dengan para pamong atau pejabat pemerintahan disarankan tidak perlu hormat. Dengan cara yang aneh tetapi tidak dengan kekerasan inilah yang membuat ajaran ini bisa berkembang. Sebab dengan berperilaku nyamin tersebut, pemerintah Hindia Belanda mengalami kewalahan dalam memperlakukan pengikut Samin Surosentiko. Lalu untuk menghentikannya, pemerintah Hindia Belanda menangkap Samin Surosentiko beserta beberapa pengikutnya di sekitar Randu Blatung Blora kemudian diasingkan keluar Jawa. Namun gerakan ini tidak begitu saja berhenti, sebab pengikut ajaran ini telah lebih dulu berkembang di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan bertahan sampai perginya Belanda dari Indonesia.

Perilaku aneh seperti orang gila inilah yang membuat image orang samin sampai saat ini masih membekas dalam ingatan masyarakat, sehingga anggapan yang berkembang adalah ‘orang samin adalah orang nyeleneh’. Orang tidak melihat sisi lain dari apa yang telah dilakukan gerakan saminisme. Sebagai sebuah gerakan penentangan pemerintahan kolonial, seharusnya gerakan ini mampu meninggalkan sebuah kesan positif di masyarakat. Namun keadaan yang terjadi adalah sebuah perilaku yang kurang adil terhadap masyarakat samin sendiri. Sehingga perlu ada upaya pelurusan pandangan masyarakat mengenai wong samin.

Saminisme dan New Social Movement

Sejarah perjuangan melawan kolonialisme Belanda dengan senjata telah banyak memakan korban nyawa. Sehingga ketika perlawanan yang dilakukan ternyata selalu mengalami kegagalan, maka diperlukan upaya lain dalam melakukan perlawanan. Samin Surosentiko mencoba perlawanan tanpa kekerasan yang dituangkan dalam bentuk ajaran samin dengan cara berperilaku nyeleneh. Ini bukan sebuah hal yang salah. Ketika upaya perlawanan senjata yang selama ini mengalami kegagalan akhirnya memaksa orang menerapkan cara yang lain. Sementara di tempat yang lain, gerakan perlawanan terhadap poemerintahan kolonial pada masa pergerakan nasional ditandai dengan munculnya berbagai organisasi-organisasi yang bergerak di bidang politik. Kedua gerakan ini sama-sama tanpa kekerasan.

Jika kita tilik lebih jauh, gerakan saminisme bisa kita kategorikan sebagai new social movement. Jean Cohen (1985) merumuskan tujuan gerakan sosial baru adalah untuk menata kembali relasi negara, masyarakat, dan perekonomian dan untuk menciptakan ruang publik di dalamnya wacana demokrasi ihwal otonomi dan kebebasan individual dan kolektivitas dan orientasi mereka, dapat didiskusikan dan diperiksa selalu. Gerakan saminisme tentang yang dilakukannya mungkin bukan sejauh apa yang dimaksudkan oleh Cohen.

Namun salah satu batasan ciri gerakan sosial baru Cohen adalah aktornya menerima keberadaan formal negara, tidak berlaku bagi gerakan saminisme. Sebab sikap pengikut saminisme berpendapat mereka hidup di tanah warisan leluhur, sedangkan pemerinbah Hindia Belanda tidak berhak mengatur kehidupan mereka yang dituangkan dengan penolakan membayar pajak, dan tidak hormat terhadap pejabat pemerintahan.

Sebagai gerakan yang berkembang cukup pesat, saminisme adalah juga sebagi upaya penentangan terhadap perampasan tanah yang akan digunakan untuk perluasan hutan jati. Tanah di sini bisa kita katakan sebagai sebuah identitas yang perlu dipertahankan. Ini seperti gerakan penolakan yang dilakukan oleh Chiko Mendez dan masyarakat di sekitar hutan Amazon terhadap eksploitasi dan pembakaran hutan oleh pihak pemilik modal di Brazil tahun 1980-an yang telah difilmkan dengan judul The Burning Season. Chiko Mendez dan masyarakat sekitar hutan melakukan penolakan penebangan hutan dengan cara berdiri berjejer di tengah jalan yang akan dilewati oleh penebang hutan. Sama dengan tanah milik masyarakat samin, hutan bagi penduduk hutan Amazon adalah sebagai identitas dan penghidupan bagi masyarakat. Maka ketika ada pihak yang berusaha merebut atau merusak identitas dan sumber kehidupan tersebut perlu dilawan.

Gerakan perlawanan masyarakat samin terhadap pemerintah kolonial memang bisa dikatakan berbarengan dengan gerakan nasional yang dipelopori Budi Utomo. Namun gerakan Budi Utomo lebih menasional serta terorganisir dengan baik karena dimotori oleh kalangan intelektual yang cukup modern di jamannya. Sehingga sangat wajar ketika orang lebih melihat gerakan Budi Utomo dan mengesampingkan gerakan perlawanan yang dilakukan masyarakat samin yang cenderung primitif dan nyeleneh. Namun itu bukan menjadi sebuah alasan untuk mengatakan samin itu buruk dan nyeleneh.


Sumber: http://wedangronde.blogspot.com/2007/10/meluruskan-pandangan-tentang-wong-samin.html

No comments: