Monday, 20 December 2010

Orang Samin di Sukolilo, Pati (2)

Orang Samin di Sukolilo, Pati (2)

Urunan Hasil Panen sebagai Ganti Pajak



WONG SINGKEP: Mbah Tarno ditemani putra bungsunya, Icuk Bamban, dan menantu perempuannya ketika mengungkapkan perihal wong Sikep di ruang tamu rumahnya. - SM/Saroni Asikin(55j)

KEHIDUPAN sehari-hari wong Sikep di Dukuh Bombong, Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati dimulai pukul enam pagi. Saat langit masih cukup remang, apalagi bila sedang musim penghujan, mereka yang berusia remaja dan dewasa, sudah berduyun-duyun pergi ke ''sekolah''. Jangan berpikir itu sebuah bangunan berisi ruang-ruang kelas tempat seorang siswa belajar dan guru mengajar.
Bukan. Orang-orang Samin di situ tak memercayai pendidikan formal seperti yang dikenal umum. ''Sekolah'' yang dimaksud itu, hamparan sawah yang hampir setiap hari mereka datangi dan menjadi sumber utama penghidupan mereka.
''Apa kang aran sekolah? Iku lak ngajarke budi pekerti lan ketrampilan. Kabeh diajarke ning pondhokane sedulur-sedulur Sikep. Ketrampilan ya diajarke ning sawah-sawah. (Apa yang disebut sekolah? Itu kan mengajarkan budi pekerti dan keterampilan. Semua diajarkan di rumah orang Sikep. Keterampilan ya diajarkan di sawah-sawah)," ungkap Mbah Tarno, pemuka masyarakat.
Menurut pengakuan dia, tak ada anak wong Sikep yang disekolahkan dalam pendidikan formal. Ajaran budi pekerti dan tentu saja saminisme diinisiasikan di rumah-rumah mereka. Setiap hari, anak-anak lebih banyak melewatkan waktu dengan bermain-main di sekitar lingkungan mereka atau bahkan ikut orang tua ke sawah.
Dan memang, betapa pentingnya sawah bagi kehidupan mereka. Bila musim penghujan, mereka menanam padi dan ketika kemarau mereka menanam jagung. ''Tetanen wis dadi uripe sedulur Sikep. Dagang ora kulina lan ora seneng. Wong dagang iku lak gelem nindakna goroh. Ingsun ora gelem goroh. Yen tetanen, sapa kang digorohi?"
Ya, pertanian telah menjadi sumber penghidupan, karena mereka tak suka berdagang yang disebutnya sebagai aktivitas yang tak luput dari kebohongan. Padahal, orang Sikep memiliki prinsip tak mau berbohong. Jadi boleh dibilang, kehidupan wong Sikep di situ, bergerak dari rumah ke sawah dalam siklus yang (barangkali) sangat monoton. Boleh dibilang pula, kehidupan orang Sikep di situ seolah-olah berada dalam bingkai rumah dan sawah. Tak ada warna lain selain itu. Kalau toh mereka bepergian -dan itu sangat jarang dilakukan mereka- hanya apabila mereka membutuhkan, misalnya untuk menjual sebagian panenan.
Dalam tataran itu, perantauan atau mencari penghidupan di luar wilayah mereka hampir-hampir tak pernah dilakukan. Walau begitu, seorang staf di Balai Desa Baturejo mengatakan, beberapa tahun ini telah ada perubahan cara hidup dalam diri mereka, khususnya dalam soal mencari penghidupan.
''Beberapa kalangan muda mereka mulai membuka diri ke dunia luar dan mencari pekerjaan dengan merantau ke tempat lain. Namun memang secara umum masih banyak yang bertahan dengan bertani saja,'' ujar sumber tersebut.
Mencari Ikan
Dengan monotonitas seperti itu, dalam keyakinan wong Sikep, segalanya serbabersahaja. Alam bagi mereka merupakan ajang yang demikian bermurah hati untuk penghidupan. Ya, mereka makan dari hasil panenan. Dan, ketika mereka membutuhkan lauk-pauk, alam pulalah yang menyediakannya buat mereka.
Banyaknya bonorawa (lahan yang menyerupai rawa-rawa kecil) yang terdapat di sekitar persawahan mereka adalah ekosistem yang baik untuk beberapa jenis ikan. Dan, pencarian ikan itu biasanya dilakukan pada malam hari oleh para lelaki muda, meskipun seharian tenaganya telah terperas oleh kerja di sawah.
Di sela-sela itu, tak pernahkah mereka saling berkumpul untuk sekadar membicarakan persoalan mereka pribadi? Ketika ditanya itu, dengan tegas Mbah Tarno menjawab, ''Kumpulan ya karo rabine dhewek-dhewek.'' Maksudnya, ''berkumpul'' dalam pandangan mereka itu adalah melakukan hubungan suami istri.
Kalau boleh diringkas, beginilah siklus hidup wong Sikep di Bombong. Pagi hari mereka pergi ke sawah hingga siang atau bahkan sore hari. Dan, pada malam hidup mereka diisi dengan mencari ikan untuk lauk-pauk.
Dengan kebersahajaan serupa itu, adakah mereka melakukan segalanya dengan cara yang serbatradisional dan menolak peranti teknologi yang tak bisa mereka buat sendiri? Tak selalu. Mereka bukan komunitas yang zakelijk dan mati-matian menolak peranti teknologi. Bahkan, peranti itu diterimanya sebagai pendukung cara hidup mereka.
Mau bukti? Selain rumah-rumah mereka telah berlistrik, untuk mencari ikan misalnya, banyak dari mereka yang menggunakan pancing setrum dengan tenaga aki. Bahkan beberapa sumber di dukuh sekitarnya mengungkapkan, kini beberapa wong Sikep telah memiliki motor untuk aktivitas sehari-hari.
Contoh lain, di rumah Mbah Tarno saja terdapat sebuah pesawat televisi hitam putih model lama yang berada di pojok ruang tamu, dekat tumpukan karung-karung padi. ''Iku diparingi rombongan mahasiswa, ning wis rusak,'' ujar Icuk Bamban, putra bungsu Mbah Tarno.
Sering Didatangi
Kehidupan yang secara spesifik berbeda dari komunitas kebanyakan, tak termungkiri lagi membuat komunitas wong Sikep sering didatangi orang dari luar. Tentu saja kedatangan mereka memiliki maksud berbeda-beda. Ada yang berupa tur studi, seperti yang dilakukan mahasiswa pemberi pesawat televisi itu. Ada yang datang untuk keperluan politis seperti yang sering terjadi menjelang pemilu.
''Pemilu lalu sebagian besar mereka pendukung partai yang berjaya pada masa Orba. Akan tetapi yang muda-muda telah banyak yang memilih partai pemenang pemilu lalu,'' ujar Kunarto SH, Sekretaris Kecamatan Sukolilo.
Dia juga mengungkapkan soal ketokohan Mbah Tarno. Maksudnya, dalam melakukan pilihan, sebagian besar wong Sikep mengikuti pilihan sang tokoh. ''Tak heran dia banyak didatangi orang partai. Namun ya tak mudah. Wong berhadapan dengan Bupati saja mereka bergeming dengan keyakinannya. Misalnya ketika mau diberi bantuan sesuatu, mereka menolak dan bilang telah memilikinya.''
Dalam perkara administratif pemerintahan, bukan hal mudah bagi pemerintah untuk mengajak mereka patuh aturan. Lihat saja, seperti yang dilakukan penganjur saminisme Samin Surosentiko yang menolak pajak pada Belanda, mereka pun tak mau mengeluarkan pajak. Akan tetapi, bukan berarti tak ada yang bisa ditarik dari mereka.
''Istilahnya saja yang harus diganti. Kalau disuruh bayar pajak mereka bilang harta yang mereka punyai itu atas usaha mereka yang diwarisi sejak zaman Adam. Namun katakan saja 'urunan hasil panen' sebagai alih-laih pajak, mereka akan bersedia,'' ujar Kunarto.
Belum lagi soal KTP. Khususnya dalam kaitan penerapan nama agama dalam KTP, selama ini masih ada ketidaksepakatan antara wong Sikep dan staf di balai desa. Mereka menginginkan agama yang dicantumkan adalah ''agama Adam'' seperti yang mereka yakini. Sudah pasti itu jadi persoalan dalam pembuatan KTP yang memang tak mengenal agama tersebut. Yang terjadi selanjutnya adalah pengosongan nama agama.
Apa kata Mbah Tarno soal agama? ''Agama iku ageman. Sing diagem iku gaman. Gamane wong lanang ya padha kabeh. Gaman sing kanggo sikep rabi. Adam iku pangucape.''
Tak mudah menerjemahkan kalimat-kalimat tokoh Sikep Bombong itu. Akan tetapi yang pasti, perkawinan seperti yang telah disebutkan pada tulisan pertama menjadi unsur terpenting dalam keyakinan saminisme mereka. Yang pasti lagi, sejauh ini mereka tetap berupaya agar ''agama Adam'' mereka diterakan dalam KTP.

No comments:

Post a Comment