Sunday, 5 December 2010

PERIODE ANGKATAN ’70 (1965-1980)

PERIODE ANGKATAN ’70 (1965-1980)



5.1 Ikhwal Periode 70-an
Tahun 1960-an adalah tahun-tahun subur bagi kehidupan dunia perpuisian Indonesia.
Tahun 1963 sampai 1965 yang berjaya adalah para penyair anggota Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat).
Karya Sastra sekitar tahun 1966 lazim disebut angkatan ‘66. H.B. Jassin menyebut
bahwa pelopor angkatan ‘66 ini adalah penyair-penyair demonstran, seperti Taufiq Ismail,
Goenawan Mohamad, Mansur Samin, Slamet Kirnanto, dan sebagainya.
Tahun 1976 muncul puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang menjadi cakrawala
baru dalam dunia perpuisian Indonesia. Berikut ini disajikan beberapa penyair dan karyanya.
5.2 Periode 70 dan Karyanya
1. Goenawan Mohamad
Lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 juli 1941. Ia adalah tokoh pejuang angkatan ‘66
dalam bidang sastra budaya. Memimpin majalah Tempo sejak 1971 hingga tahun 1998.
Tahun 1972 mendapatkan Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia dan pada tahun
1973 ia mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam. Ia banyak menulis puisi
dengan dasar dongeng-dongeng daerah atau cerita wayang disertai renungan kehidupan.
Buku kumpulan puisinya adalah Parikesit (1972), Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si
Malin kundang (1972), Interclude (1973), Asmarandana (1995), dan Misalkan Kita di
Sarajevo (1998).
2. Taufiq Ismail
Lahir di Bukit Tinggi, 25 Juni 1937. Dibesarkan di Pekalongan, putra seorang
wartawan berdarah Minang. Ia merupakan dokter hewan lulusan IPB. Ia juga dikenal sebagai
dramawan terkenal di Bogor pada era 1960-an.
Taufiq Ismail dikenal sebagai penyair puisi-puisi demonstrasi. Ia sendiri aktif dalam
demonstrasi. Kumpulan puisinya dibukukan dalam Tirani (1966) dan Benteng (1966).
31
Pernah mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam (1971), International
Writing Programm di Universitas Lowa (1973-1972), dan Kongres Penyair Dunia di Taipei
(1973). Ia pernah menerima Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia tahun 1970.
Kumpulan puisinya yang lain adalah Puisi-Puisi Sepi (1971), Pelabuhan, Ladang, Angin, dan
Langit (1971), dan Sajak-sajak Ladang Jagung (1975).
3. Sapardi Djoko Darmono
Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai puisi “sangat sopan”, “sangat
gramatikal”, dan “sangat lembut”. Semula sang penyair tidak pernah dikaitkan dengan puisipuisi
protes atau kritik sosial, namun kesan itu hilang setelah ia menulis Ayat-ayat Api
(2000). Meskipun ada kesan bahwa puisi-puisi Sapardi adalah puisi-puisi kamar yang harus
dibaca dalam keadaan sunyi, namun banyak juga puisi-puisinya yang sangat populer dan
dideklamasikan dalam lomba-lomba deklamasi serta dapat dikategorikan sebagai puisi
auditorium (cocok untuk dibaca di pentas).
Kepenyairan Sapardi membentang sejak tahun 1960-an hingga saat ini. Kumpulan
puisinya terakhir berjudul Ayat-ayat Api. Kepenyairannya tidak mengganggu penjelajahannya
dalam dunia ilmu sastra, sampai beliau menjadi pakar sastra, Dekan Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, dan terakhir sebagai anggota Komisi Disiplin Ilmu Sastra dan Filsafat,
Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas.
Kumpulan-kumpulan puisinya adalah Dukamu Abadi (1969), Mata Pisau (1974),
Akuarium (1974), Perahu Kertas (1984), Sihir Hujan (1989), Hujan Bulan Juni (1994) dan
Ayat-ayat Api (2000).
4. Hartoyo Andang Jaya
Lahir di Solo, 1930, dan meninggal dunia di kota itu pula pada tahun 1990. Pernah
menjadi guru SLTP, SMU, dan STM. Ia pernah menjadi direktur majalah kanak-kanak Si
Kuncung (1962-1964). Panggilan kepenyairanya sangat kental, sehingga ia tidak mau bekerja
di luar bidangnya itu. Ia meninggal dalam keadaan sakit-sakitan. Setahun kemudian, hari
kematiannya diperingati di Taman Budaya Surakarta (Solo) dan Taman Ismail Marzuki
(Jakarta).
Karyanya antara lain Simfoni Puisi (bersama D.S. Moeljanto, 1945) dan Buku Puisi
(1973).
32
5. Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum Bachri pernah menyatakan diri sebagai “Presiden Penyair
Indonesia”. Pelopor penulisan puisi konkret dan mantra ini akhir-akhir ini banyak terlibat
dalam pembacaan puisi di sekolah dalam rangka pembinaan apresiasi puisi.
Ia merintis bentuk baru dalam perpuisian Indonesia, uaitu puisi konkret dan mantra,
puisi itu dikembalikan pada kodratnya yang paling awal yaitu sebagai kekuatan bunyi yang
tidak “dijajah” oleh makna atau pengertian. Sutardji lahir di Rengat, Riau, 24 juni 1941. Ia
pernah mendapat Hadiah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1993) dan dari Dewan
Kesenian Jakarta (1976-1977) juga dari South East Asia Write Award (Bangkok, 1981).
Kumpulan puisinya berjudul O, Amuk Kapak (1981). Selain itu, kritik sastranya dilontarkan
dalam masalah penulisan terkenal dengan nama kredo puisi.
6. Abdul Hadi W.M.
Abdul Hadi Wiji Muntari lahir di sumenep pada tanggal 24 juni tahun 1944, ia pernah
kuliah di Fakultas Sastra UGM hingga Sarjana Muda (1967), Fakultas Filsafat UGM (1968-
1971) dan Universitas Padjajaran (1971-1973), dia pernah tinggal di pulau penang. Selain itu,
dia bekerja sambil belajar di Universitas Sains Malaysia sejak tahun 1991.
Kumpulan puisinya Riwayat (1967), Laut Belum Pasang (1972), Potret Panjang
Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Meditasi (1976), Tergantung pada Angin (1977)
dan Anak Laut Anak Angin (1984).
7. Yudhistira Adhi Nugraha Massardi
Lahir di Subang, Jawa Barat, 28 Februari 1954. Novelnya yang terkenal yaitu Arjuna
Mencari Cinta (1977) dan Dingdong (1978). Sementara itu kumpulan puisinya dibukukan
dalam Omong Kosong (1978), Sajak Sikat Gigi (1978), Rudi Jalak Gugat (1982).
Puisi-puisinya mirip dengan puisi mbling, yaitu puisi yang keluar dari pakem
penulisan puisi yang harus memperhatikan rima, bunyi, verifikasi, dan tipografi, tapi bukan
berarti bahwa puisinya dibuat dengan main-main atau tanpa kesungguhan.
8. Apip Mustopa
Lahir di Garut, 23 April 1938. Terakhir bekerja sebagai pengasuh ruang sastra budaya
RRI Manokwari (1969-1970). Karyanya ditulis dalam bahasa Indonesia dan Sunda. Puisipuisinya
juga dimuat dalam antologi sastra karya Ajip Rosidi Laut Biru Langit Biru.
33
9. D. Zawami Imron
Lahir di Sumenep, Madura dan memperoleh pendidikan di lingkungan pesantren. Ia
pernah mendapat Hadiah Penulisan Puisi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(1985). Buku kumpulan puisinya adalah Semerbak Mayang (1977), Bulan Tertusuk Larang
(1980), Nenek Moyangku Air Mata (1985), Cerulit Emas (1986), Bantalku Ombak, Selimutku
Angin (1996), Semerbak Mayang (1997), dan Madura Aku Darah-Mu (1999).



http://file.upi.edu/Direktori/C%20-%20FPBS/JUR.%20PEND.%20BAHASA%20DAERAH/AGUS%20SUHERMAN/Handout%20Sastra%20Indonesia.pdf

No comments:

Post a Comment