Tentang Ateisme
Hendar Putranto
1.Persoalan Ateisme Ludwig Feuerbach & Sigmund Freud
Pertama-tama, saya akan membahas kerangka pokok ateisme Feuerbach terlebih dahulu, sebelum melanjutkan ke konsep ateisme dari Freud. Baru setelah itu saya akan memperbandingkan keduanya dan memberikan satu-dua catatan kritis.
*) Filsafat Feuerbach bertolak dari pembalikan terhadap filsafat Hegel. Menurut Feuerbach, yang menjadi hakikat real absolut bukanlah Roh (Allah), seperti dinyatakan Hegel, akan tetapi manusia. Tesis utamanya: “Rahasia teologi (ilmu tentang Allah) adalah anthropologi (ilmu tentang manusia)”
*) Berdasarkan tesis ini, Feurbach lalu menjelaskan genealogi (asal-usul) agama sebagai kepercayaan kepada Tuhan, yang lalu dikenal sebagai teori proyeksi. Menurutnya, Tuhan adalah proyeksi manusia. Manusia melemparkan keluar hakikat dan sifat-sifatnya sendiri. Dan manusia lalu memandang produk keluaran (proyeksi) nya ini sebagai entitas mandiri yang terpisah daripadanya, dan lalu disebutnya TUHAN, dan produk ini lantas disembah. Singkatnya: paham Allah hanyalah hasil proyeksi manusia, citra, sifat-sifat, dan keinginan ‘umat manusia’ (Gattung) itu sendiri yang dilemparkan keluar (diproyeksikan). Dikatakan ‘umat manusia’ di sini karena Feuerbach percaya bahwa bukan individu yang terbatas yang hebat, yang adiluhung, melainkan ‘umat manusia’ sebagai spesies, gabungan umat manusia seluruhnyalah yang hebat dan melampaui individu-individu yang terbatas. Demikianlah secara ringkas dan sederhana pandangan Feuerbach tentagn agama, dan Allah sebagai proyeksi manusia. Dengan demikian, ateisme Feuerbach adalah antropoteisme. Artinya ajaran mengenai manusia-sebagai-Allah. Dalam bahasa Latin, homo homini deus est.
*) Inilah ateisme Feuerbach yang ia rumuskan dalam adikaryanya, The Essence of Christianity (1841). [1] Buku yang kontroversial ini tidak hanya membahas asal-usul paham tentang Allah yang ditawarkan oleh agama secara abstrak dan ahistoris, namun secara lebih tajam, Feuerbach mengkritik agama Kristiani sebagai agama yang tidak pro-human, yang mereduksi Allah menjadi Allah pikiran, dan menanggalkan ketubuhannya, darah-dagingnya (prinsip sensualisme). Allah semacam inilah yang mau ditolak oleh Feuerbach. Baginya, selain teori proyeksi di atas, Allah harus ditemukan dalam afirmasi terhadap perasaan manusia (“God is man’s highest feeling of self, freed from all contrarieties or disagreeables”). Ada manusia bukan pertama-tama terletak pada kapasitas akal budinya (cogito, ergo sum), namun pada kapasitas merasakan (sentio, ergo sum).
*) Dorongan beragama pada Feuerbach adalah dorongan untuk mencari dan meraih kebahagiaan. Egoisme adalah dasar dan hakikat agama. Ini adalah perkembangan lanjut pandangan Feuerbach, dari The Essence of Christianity.
#) Sementara itu, pandangan Freud tentang agama bisa diringkas menjadi 3 poin kunci :
(1) Metode atau kerangka teori yang digunakan Freud untuk merunut asal-usul agama adalah psikoanalisa. Dan psikoanalisa didaasrkan atas teori kecurigaan. Bagian psyche manusia yang ditelaah adalah bagian ketidaksadaran (unconscious). Psikoanalisa mencurigai lapisan-lapisan kesadaran sebagai yagn menyembunyikan dorongan-dorongan yang jauh lebih urgen dan menentukan hidup manusia yang berasal dari wilayah bawah sadar. Misalnya, suara hati oleh Freud dilihat sebagai super ego yang bersifat represif terhadap id. Super ego adalah kesadaran yang memaksakan suatu aturan atau moralitas yang berasal dari luar diri manusia, dan ini bisa mengambil bentuk norma-norma masyarakat atau juga norma-norma agama. Yang baik dan buruk adalah apa yang dianggap baik dan buruk oleh masyarakat. Maka tiadk ada standar moral yang mutlak yang dapat dijadikan patokan untuk mengukur kadar moralitas seorang individu. Pandangan semacam ini memang bisa menggiring orang untuk sampai pada ateisme karena Tuhan lalu bisa dikatakan sebagai super ego yang memaksa, ungkapan moralitas masyarakat yang relatif dan tidak bisa dijadikan patokan mutlak yang kepadanya kita harus mengikuti, percaya dan mengimani.
(2) Dengan bertolak dari pengamatan atas perilaku neurotik obsesif individu, Freud lalu membandingkannya dengan perayaan dan tindakan religius dalam ritual agama. Menurutnya, ritus agama adalah semacam tindakan kompulsif yang dilakukan oleh orang tidak ngeh akan makna sejatinya (makna simboliknya). Ritual yang berulang, yang disertai dengan rasa bersalah jika si orang tidak menjalankannya, adalah kekuatan agama untuk menekan / merepresi dorongan instingtual manusia. Ini terjadi di level bawah sadar, hingga mengkristal dan menjadi tindakan neurosis obsesif. Akhirnya Freud menarik kesimpulan bahwa “praktek-praktek agama itu paralel dengan gejala-gejala orang yang sakit jiwa (obsessional neurosis) dan agama adalah universal obsessional neurosis.” Perbedaannya adalah bahwa kalau gejala sakit jiwa itu bersumber dari insting seksual yang direpresi, kalau agama bersumber dari egoisme (egoistic sources).
(3) Dalam The Future of an Illusion, Freud mengatakan bahwa agama adalah “ilusi, pemenuhan atas dorongan / keinginan terdalam, tertua dan terkuat dari umat manusia.” Keinginan macam apa? Keinginan infantil seorang anak yang tak berdaya menghadapi kejamnya hidup, dan yang haus akan perlindungan dari sosok kuat. Keinginan ini berakar pada konflik kanak-kanak yang belum selesai dan kompleks ayah yang tak terpecahkan. Agama lahir sebagai keharusan untuk survival, melawan kekuasaan adidaya dari figur Bapak yang berkuasa dan kejam. Manusia yang tak berdaya menghumanisasikan dan mempersonifikasikan kekuatan adidaya ini dalam figur Bapak. Secara simbolik bisa dibaca bahwa Figur Bapak dalam agama yang dimaksud oleh Freud adalah figur Bapak yagn ditemukan dalam agama Kristen, dan penelitiannya pada sejumlah agama asli yang kuat dipengaruhi budaya patriarkal. Bagaimana dengan sosok Tuhan dalam agama-agama lain, seperti Hindu dan Budha? Freud tidak akan bisa menjelaskan dan mencocokkan teorinya dengan kenyataan politeis (Hindu), dan ketiadaan / kekosongan (konsep Nirwana dalam Buddha). Kekuatan teori Freud adalah sekaligus kelemahannya: Tuhan melulu digambarkan sebagai Tuhan yang personal yang hadir dalam figur Bapak yang keras dan menindas.
Karena itu, dengan membandingkan konsep agama dan pandangan tentang Tuhan dari Feuerbach dan Freud, orang bisa sampai pada kesimpulan bahwa (1) Tuhan itu tidak lebih dari proyeksi manusia saja yang tidak aman dengan dirinya sendiri dan merindukan kekuatan dari luar yang bisa meneguhkannya. (2) Psikogenesis agama adalah egoisme manusia. (3) Sosok Tuhan yang dikritik oleh keduanya adalah Tuhan yang personal, dan sekaligus Tuhan yang merepresi kebebasan manusia untuk menjadi dirinya sendiri. Namun, kedua-duanya menurut saya terlalu mereduksi gambaran tentang Tuhan. Baik Feuerbach maupun Freud tidak jeli melihat bahwa daya-daya manusiawi yaitu pikiran, kehendak dan perasaan jauh lebih kaya daripada yang mereka gambarkan. Dan bahwa dorongan untuk beragama (dan lalu à religiositas) bukanlah melulu lahir dari egoisme manusia, namun juga bisa karena kepedulian pada sesama yang menderita dan tertindas. Selain itu, betapapun mereka mengkritik agama, nampak bahwa yang mereka kritik adalah segi fungsional dari agama, dan bukan mempertanyakan pertanyaan mendasar agama yaitu apakah Tuhan ada atau tidak ada, dan sekiranya dibuktikan ada (pembuktian Anselmus, Thomas Aquinas), mengapa kita percaya atau tidak percaya padaNya. Filsafat Agama dari Feuerbach dan Freud, adalah filsafat penelanjangan. Mereka tidak berminat untuk mendandani kembali agama yang sudah mereka telanjangi. Ini berbeda dengan kritik Albert Camus terhadap agama yang “masih” menawarkan sesuatu untuk kita perhatikan dan kita lakukan.
2. Menanggapi tantangan ateisme Albert Camus dalam kaitannya dengan masalah absurditas dan penderitaan
Tesis utama pemikiran Albert Camus adalah “Kehidupan itu absurd. Absurditas adalah fakta eksistensial hidup ini.” Pemikiran ini lahir serta bertolak dari kenyataan pahit yang dihadapi Camus dalam hidupnya yaitu Perang Dunia II, wabah penyakit, dan penderitaan serta kelaparan di mana-mana. Camus meratapi ini semua. Ia tidak melihat pengagung-agungan akal budi yang dikobarkan sejak Era Pencerahan (Aufklärung) menjadi jawaban atas kenyataan penderitaan umat manusia ini. Agama pun dinilai tidak berhasil menjawabnya. Tuhan yang dianggap Mahakuasa tidak berbuat apa-apa untuk mengatasi atau mengakhiri penderitaan ini. Tuhan seakan bisu walaupun manusia sudah meratap dan berkeluh-kesah dalam penderitaan. Filsafat yang bertolak dari penggunaan akal budi untuk memecahkan problem yang dihadapi umat manusia, juga gagal memenuhi tugasnya. Umat manusia toh tetap sengsara dan menderita. Para filsuf tinggal aman di menara gading, sambil memperdebatkan konsep-konsep besar seperti substansi, Tuhan, keadilan, kebaikan, kebahagiaan. Namun konsep-konsep itu kering belaka jika ditatapkan pada kenyataan. Camus menggugat. Apakah hidup masih mempunyai makna di hadapan tebaran penderitaan dan kesengsaraan yang dialami umat manusia? Apa artinya kebahagiaan? Apakah hidup layak dijalani? Kalau toh hidup tidak mempunyai makna, apakah hidup masih pantas dijalani? Mengapa orang tidak bunuh diri saja sebagai jalan keluarnya? Tidak mungkin menjawab satu-persatu pertanyaan Camus ini. Namun ada satu hal yang menyergap kesadaran Camus, yaitu perasaan absurd, ketika terdapat rongak ketidakharmonisan antara harapan, cita-cita dan keyakinan-keyakinan manusia yang luhur dan mulia, dengan kenyataan pahit dan tidak terpenuhinya keinginan manusia di dunia ini akan kebahagiaan, keadilan dan kesejahteraan. Dalam moment of lucidity, Camus mengalami absurditas kehidupan yang mempunyai ciri-ciri berikut ini: (1) tak ada makna yang tetap dalam kehidupan, betapapun prestasi dan pencapaian pribadi yang mengagumkan dan menyumbangkan sesuatu untuk kemanusiaan mencapai puncaknya (2) semua hasil kebudayaan manusia akan lenyap (kesenian, musik, patung, Katedral, monumen, dll), begitu juga bumi dan kemanusiaan kita akan dilupakan. Kesimpulan Camus: Kehidupan tidak didasarkan pada suatu makna absolut (dilihat secara metafisik). Semuanya kontingen sifatnya. Sementara saja. Tidak ada nilai abadi yang menjadi pegangan sekali dan selamanya, yang memberikan makna mutlak pada kita baik sebagai individu maupun masyarakat, kebudayaan.
Sebagai tanggapan atas situasi absurd dan perasaan absurd ini, Camus menolak dua jalan penyelesaian, yaitu (1) bunuh diri, dan (2) harapan. Bagi Camus, bunuh diri merupakan pelarian dan reaksi dari pikiran yang lemah. Bunuh diri semakin menegaskan bahwa hidup ini mempunyai nilai mutlak, namun karena tidak bisa dicapai pemenuhannya, maka ditolak. Bunuh diri adalah sebuah tindakan pengecut karena orang tidak berani menghadapi dunia dan kehidupan dengan segala absurditasnya, melainkan menghindarinya. Sementara itu, harapan, yang terkait dengan kepercayaan religius akan keselamatan dan janji hidup bahagia kelak, juga ditolak Camus. Baginya, harapan adalah pelarian.
Camus menawarkan dua solusi “berani” untuk menghadapi absurditas hidup, yaitu (1) pemberontakan (la revolte) dan (2) kecerahan (la lucidité). Pemberontakan adalah konfrontasi yang ajeg dan sadar antara manusia dengan ‘ketidakjelasannya’ (l’obscurité). Pemberontakan adalah suatu sikap teguh terhadap tantangan dan ketegangan serta perjuangan melawan bunuh diri. Pemberontakan adalah counter-suicide. Ia tidak mau menyerah pada pesona jalan pintas ‘bunuh-diri’. Pemberontakan mau menyatakan bahwa perjuangan dan usaha itu sendiri bermakna, dan bahwa pemberontakan melahirkan solidaritas di antara orang-orang yang kesepian dan sendirian menghadapi absurditas hidup ini.Ada dua jenis pemberontakan yang ditawarkan Camus, yaitu (1) pemberontakan historis, dan (2) pemberontakan metafisik. Yang pertama sifatnya partikular-spesifik. Yang kedua jauh lebih radikal dan universal, yaitu protes terhadap kondisi manusia, melawan penderitaan dan kematian, melawan pupusnya keinginan karena dicegat oleh kematian dan nir-makna karena adanya kejahatan.
Mungkin baik jika kita bertolak dari kutipan karya Camus di bawah ini. Dalam bagian akhir Mite Sisifus [2], Camus mengawalinya dengan kalimat berikut:
“Para dewa telah menghukum Sisifus untuk terus-menerus mendorong sebuah batu besar sampai ke puncak sebuah gunung; dari puncak gunung, batu besar itu akan jatuh ke bawah oleh beratnya sendiri. Mereka (para dewa) beranggapan bahwa tidak ada hukuman yang lebih mengerikan daripada pekerjaan yang tak berguna dan tanpa harapan itu.”
Tokoh Sisifus dalam cerita ini mau mewakili gambaran umat manusia yang bekerja keras karena hukuman dari para dewa. Ia mewakili orang yang seolah dipenjara dalam pabrik, rumah tahanan, sekolah, birokrasi pemerintahan, yang terjebak dalam aktivisme, bekerja ngoyo tanpa berharap akan kepuasan yang ia peroleh dari hasil kerjanya, namun dalam kejernihan pikirannya ia tetap merasa tenang. Sisifus adalah makhluk paradoksal. Ia tetap bahagia dalam frustrasinya. Keringat dan letihnya adalah harga yang harus dibayar dari perjuangannya. Ia tetap bekerja mengulangi hal yang sama, sambil menatap ketiadaan ganjaran di puncak gunung perjuangan sana. Dan ini terus berulang selama ia hidup, dihukum di dunia. Sepintas kita diingatkan oleh adagium terkenal dari Nietzsche di sini “Kembalinya segala sesuatu yang sama secara abadi.” (die ewige Wiederkehr des Gleichen)
Di akhir kisah tragis ini, ada ending yang dibayangkan (!) membahagiakan, “Saya tinggalkan Sisifus di kaki gunung! Kita selalu menemukan kembali beban kita. Namun Sisifus mengajarkan kesetiaan lebih tinggi yang menyangkal para dewa dan mengangkat batu-batu besar. Ia juga menilai bahwa semua baik adanya…. Perjuangan ke puncak gunung itu sendiri cukup untuk mengisi hati seorang manusia. Kita harus membayangkan Sisifus berbahagia.”
Apakah perjuangan mencari dan menemukan makna di tengah padang absurditas kehidupan cukup untuk membuat kita mengandalkan kekuatan imajinasi dan lalu dengan lantang berkata, “Ya, aku membayangkan diriku bahagia!” seperti Sisifus? Apakah pedih dan perihnya penderitaan (tidak hanya penderitaan yang menimpa diriku, namun juga penderitaan yang menimpa keluargaku, teman-temanku, saudara-saudara sebangsaku, semua saudaraku: umat manusia yang tinggal di bumi ini : perang, kehilangan orang yang dicintai, bencana alam, penindasan, perbudakan, macam-macam bentuk ketidakadilan, kemiskinan, cacat, penyakit yang tak bisa disembuhkan) cukup untuk mengisi hati seorang manusia dan berikutnya dibayangkan sebagai “kebahagiaan”? Camus tidak menjawabnya secara hitam-putih ya-tidak. Bagi Camus, penerimaan akan absurditas hidup dan tetap terus melanjutkan perjuangan sudah cukup. Tidak perlu mencari cantolan makna dan kebermaknaan hidup dari agama, dari filsafat, dari ilmu pengetahuan (sains), juga tidak dari janji kebahagiaan “nanti, di dunia sana, after-life”. Namun, kita bisa bertanya secara kritis, apakah ini bukan sebentuk fatalisme modern?
Ateisme Camus tidak mudah dijawab secara memuaskan karena ia sudah mengandaikan bahwa hidup ini hanya berlangsung di dunia sini, hic et nunc. Imanensi, dan bukan transendensi. Ketegaran mengiyakan hidup dengan segala kesulitan, tantangan dan absurditasnya. Bukan mimpi dan harapan untuk sampai di “tanah terjanji.” Ateisme Camus menyimpan absurditasnya sendiri, yaitu pemutlakan “pengiyaan terhadap hidup ini” dan “bahwa perjuangan, pemberontakan itu sendiri bermakna.” Tekanan pada Imanensi yang berlebihan, akan melalaikan transendensi, padahal keduanya adalah unsur konstitutif mengadanya manusia---yang begitu dipuji-puji Camus. Transendensi mengandaikan abstraksi atas pembatasan ruang-waktu, yang partikular menuju yang universal. “Brotherhood of men” yang diikat oleh solidaritas yang ditawarkan Camus juga mengandaikan transendensi, betapapun itu baru transendensi horisontal.
Ateisme Camus adalah humanisme yang solider. Humanisme yang terpaku bukan pada ilusi kebebasan (karena ada gantungan makna pada hidup abadi sesuadah mati), namun pada the exercise of freedom. Artinya, kebebasan untuk mencipta kerangka nilai-nilai mu sendiri dan melangkah dengan tegar dan teguh mengiyakannya. Di sini kita bisa memahami kerangka eksistensialisme Camus yang menimba dari filsafat Sartre tentang kebebasan (man is condemned to be free). Jika dibahasakan secara lugas, kebebasan versi eksistensialisme adalah kreasi nilai-nilaimu sendiri dan upaya menuju hidup yang otentik.
Maka, absurditas sebagaimana dimengerti Camus bukanlah seruan untuk mengakhiri hidup ini dengan bunuh diri. Seruan ‘etis’ Camus adalah panggilan untuk menjadi jujur dengan diri sendiri, panggilan untuk menjalani hidup secara otentik---juga meskipun tidak ada janji-janji akan kebahagiaan hidup nanti--- dan seruan untuk mengatasi “cuek”-nya dunia dan ketidakpedulian Tuhan atas kenyataan pahit dan penderitaan. Seruan Camus adalah panggilan untuk bertindak (a call for action) memperbaiki kondisi hidup manusia (conditio humana), dengan segala cara. Namun pertama-tama itu dilakukan dengan melawan ketidakpedulian itu sendiri, yang menjadi akar dari ketidakadilan, penderitaan dan absurditas. Seperti diungkapkan dengan sangat baik oleh Elie Wiesel (pemenang Nobel perdamaian tahun 1986)
The opposite of love is not hate, it's indifference.
The opposite of art is not ugliness, it's indifference.
The opposite of faith is not heresy, it's indifference.
And the opposite of life is not death, it's indifference.
________________________________________
Tags: atheism, freud, feuerbach, camus, absurdity
1 comment share
Perempuan dan Resolusi Konflik
Feb 1, '07 2:44 AM
for everyone
Perempuan dan Perjuangan Mewujudkan Perdamaian:
Model Resolusi Konflik Pasca Orde Baru
oleh Hendar Putranto
Pengantar:
Di manapun di dunia ini, kisah perempuan di wilayah konflik adalah kisah yang terpinggirkan. Secara khusus, di Indonesia, berakhirnya rezim Orde Baru dengan tumbangnya Soeharto rupanya tidak menyurutkan gelombang konflik yang terjadi di Indonesia. Baik konflik lama maupun konflik baru masih saja terjadi silih berganti, di sejumlah tempat yang tersebar di bumi Nusantara ini. Tepatlah jika dinyanyikan kembali lagu “dari Sabang sampai Merauke”, namun bukan lagi lagu yang bercerita tentang keindahan pulau-pulau di Indonesia, dan ‘janji untuk menjunjung tinggi tanah airku’. Melainkan “Sabang sampai Merauke” yang berisi konflik, kekerasan, pertumpahan darah, pertikaian dan penindasan. Dalam tulisan kecil ini, penulis akan mencoba kembali mengangkat kisah itu. Pertama-tama, akan dipetakan wilayah konflik di Indonesia dan sedikit gambaran tentang latar belakang konflik yang terjadi. Kedua, akan dipaparkan bagaimana perempuan menjadi the victimized victim (yang paling korban dari para korban) dalam wilayah konflik. Ketiga, peran perempuan dalam proses penciptaan perdamaian. Keempat, sejumlah tantangan yang dihadapi oleh perempuan dalam mewujudkan resolusi konflik tersebut. Terakhir akan ditutup dengan kesimpulan yang sifatnya masih terbuka.
I) Dari Aceh sampai Papua, berjajar konflik-konflik
Luasnya bentang nusantara dan keanekaragaman bahasa dan budaya yang mengisinya memang sungguh indah dan banyak dipuji-puji siapapun yang pernah berkunjung ke Indonesia. Dari Propinsi yang paling ujung Barat (Aceh), hingga ke ujung Timur (Papua), terbentanglah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan tetapi, amat disayangkan bahwa ‘kesatuan’ dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia itu teramat sering diterpa badai konflik, sehingga kesatuan itu pelan-pelan mulai retak. Kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan bangsa-bangsa asing yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 rupanya belum sepenuhnya selesai. Bangsa kita masih jauh dari merdeka karena masih terus diguncang konflik bersenjata. Konflik mengguncang tatanan sosial (social order) yang coba direkatkan dalam bingkai kesatuan, baik kesatuan teritorial maupun kedaulatan rakyat. Secara sederhana, konflik sosial bisa dibagi menjadi dua bentuk, yaitu konflik yang bersifat struktural atau vertikal dan konflik yang bersifat horizontal. [1] Konflik vertikal berarti konflik yang terjadi antara kekuasaan pemerintah (aparat negara), terutama dalam hal ini diwakili oleh militernya, berhadapan dengan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang tidak mempunyai akses, kontrol dan penentuan kebijakan atas sumber-sumber daya alam. Sementara konflik horisontal berarti konflik yang terjadi antar kelompok-kelompok atau unsur-unsur dalam masyarakat itu sendiri berangkat dari adanya kesenjangan sosial-ekonomi dan dilihat sebagai bagian dari politik identitas. Konflik sendiri dapat terjadi karena berbagai macam alasan. Paling tidak, dalam tulisan ini akan dilihat 3 sumber utama konflik yaitu: (1) konflik berbasis perbedaan etnis (2) konflik berbasis perbedaan agama dan (3) konflik berbasis ketidakadilan sosial, terutama menyangkut akses terhadap pemilikan, pengolahan, dan pendistribusian kekayaan sumber-sumber daya alam. Akan tetapi, 3 sumber utama ini hanyalah gambaran yang sangat abstrak tentang sebab-musabab terjadinya konflik di wilayah Indonesia. Kita masih harus memetakan secara lebih terperinci konflik-konflik sosial yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia pasca orde baru.
Apa pentingnya pemetaan konflik di Indonesia “pasca orde baru”? Mengingat keterbatasan cakupan dari riset yang kami jalankan, pembatasan periode (waktu) dan wilayah (tempat), amatlah membantu untuk memfokuskan perhatian pada beberapa karakter yang menonjol yang menjadi ciri-ciri konflik sosial di Indonesia. Selain itu, pasca orde baru dipilih sebagai pembatasan karena ciri konflik selama 32 tahun Orde Baru berkuasa (1966 – 1998), karakter konflik yang mencuat adalah karakter struktural, yaitu antara aparat negara dengan elemen-elemen masyarakat yang resisten terhadap pola dan eksekusi kekuasaan negara. Hal ini didukung oleh karakter otoriter dari pemegang tampuk pimpinan tertinggi di Republik Indonesia yaitu Presiden. Sementara, ciri konflik yang mencolok pasca orde baru lebih bersifat horisontal, yaitu konflik antar golongan atau unsur-unsur masyarakat. ‘Pasca orde baru’ juga diibaratkan seperti api dalam sekam, menyimpan potensi konflik yang sudah lama ditahan-tahan oleh warga masyarakat dan baru meledak ketika kekuasaan otoriter Presiden Soeharto dan kroni-kroninya lengser dari tampuk kekuasaan. Konflik sosial pasca orde baru ibaratnya seperti fenomena gunung berapi yang bergejolak di dalam (selama 32 tahun) dan baru meletus ketika kondisi-kondisinya (sosial, politik, hukum, ekonomi) sudah memadai. Konflik sosial pasca orde baru juga menjadi titik pijakan analisa kami karena secara ekonomi dan pemerintahan, isu desentralisasi dan otonomi daerah baru mencuat dan menjadi wacana publik setelah model sentralisasi Orde Baru berakhir.
Adapun, dari sejumlah wilayah konflik yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, selama 1998 s/d 2006, kami memilih 6 wilayah contoh yang menjadi bahan dasar analisa, yaitu (1) Ambon –Maluku ; (2) Poso (Sulawesi Tengah); (3) Aceh ; (4) Timor-Timur (Timor Loro Sae); (5) Sambas (Kalimantan Barat) dan (6) Papua. Pemilihan ini bukan tanpa dasar. 6 wilayah yang kami pilih merupakan wilayah-wilayah yang sampai sekarang masih tertoreh oleh konflik sosial dan belum menunjukkan tanda-tanda penyelesaian yang definitif. Korban jiwa sudah ribuan yang berjatuhan, belum terhitung kerusakan fisik, infrastruktur dan kerugian material. Dan, seperti akan kita lihat di bagian berikut ini, konflik dan kekerasan bisa diibaratkan seperti lingkaran setan yang tak berujung, tak berpangkal. Konflik yang satu melahirkan konflik yang lain; kekerasan pun beranak pinak.
Akan tetapi, setelah kami paparkan dasar-dasar metodologis penelitian ini---dalam model pandangan konflik vertikal dan horizontal-- masih ada pengalaman yang luput diangkat dalam pembicaraan kita, yaitu tentang pengalaman perempuan dalam wilayah konflik. Seperti apakah itu?
II) Perempuan: the victimized victim
Dalam sebuah wilayah konflik sosial, terutamanya konflik bersenjata (perang), perempuan dan anak-anak selalu berada dalam posisi dan situasi yang paling kurang menguntungkan dibandingkan kaum lelaki. Itulah sebabnya, mereka sering disebut sebagai korban yang dikorbankan (the victimized victim). Artinya, secara sederhana, seperti perumpamaan “sudah jatuh tertimpa tangga”. Mengapa demikian? Mengutip Dewi Nova dari Komnas Perempuan dalam artikelnya di www.jurnalperempuan.com, perempuan dalam wilayah konflik berada dalam setidaknya 6 situasi yang terjepit dan sangat kurang menguntungkan mereka. Pertama, perempuan dilihat sebagai identitas kelompok. Dalam konflik bersenjata perempuan seringkali dijadikan sasaran oleh masing-masing pihak yang berkonflik. Posisi perempuan dalam konstruksi patriarkal sering dianggap sebagai identitas kelompok, sehingga perempuan rentan menjadi sasaran kekerasan dengan tujuan melemahkan pihak lawan. Posisi kedua perempuan dalam wilayah konflik adalah sebagai tameng. Dalam situasi konflik, perempuan juga sering dijadikan tameng. Di Aceh, misalnya, untuk menghindari penyerangan dari pihak-pihak yang berkonflik, masyarakat meminta perempuan untuk beramai-ramai menempati sebuah rumah. Di Maluku, perempuan diminta menghadapi kelompok garis depan untuk menghadang pihak lawan. Ketiga, perempuan menjadi objek kekerasan seksual. Konsentrasi kelompok bersenjata di daerah konflik juga menimbulkan persoalan pengobjekan perempuan secara seksual. Aceh, Poso, dan NTT adalah wilayah-wilayah yang menunjukkan banyak kasus penghamilan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata, baik melalui pacaran maupun paksaan. Dalam situasi itu, perempuan dan masyarakat tidak mempunyai cukup daya tolak untuk menghentikan pengobjekan ini. Situasi ini juga berdampak buruk pada status kesehatan perempuan. Mereka rentan tertular PMS, HIV/AIDS dan aborsi yang dipaksakan. Posisi keempat, perempuan di wilayah konflik mengalami beban ganda. Di Aceh pada masa DOM terdapat 23.366 janda. Dalam situasi ini perempuan harus mengambil alih peran yang biasanya dijalankan laki-laki. Di Maluku, perempuan selain harus menanggung beban untuk keluarganya, mereka juga menanggung beban untuk melayani kebutuhan sehari-hari aparat keamanan, yang dikenal sebagai mama piara. Mama piara adalah para ibu yang diminta oleh aparat keamanan yang sedang bertugas untuk membantu memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, dari mulai makan minum dan mencuci baju. Kelima, perempuan sebagai pelaku kekerasan. Konflik mendesak perempuan untuk menjadi kelompok kombatan (barisan tempur) di Aceh. Di Ambon perempuan terlibat dalam penyunatan terhadap perempuan pihak lawan. Posisi keenam perempuan di wilayah konflik adalah sebagai pencipta perdamaian (peacemaker). Peran perempuan yang sering dilupakan dan diabaikan dalam konflik adalah upaya-upaya mereka untuk menjadi peacemaker diantara pihak-pihak yang berkonflik. Ketika konflik sedang berlangsung di Maluku, perempuan Kristen dari Desa Kolser menyeberangi laut menemui perempuan Muslim di Desa Dian (Pulau Selayar) untuk membawa bantuan pakaian dan makanan. Di Desa Tes, perempuan pengungsi melakukan lobi dengan ketua adat masyarakat lokal agar dapat diterima dan bekerja sama dengan masyarakat setempat.
Dari tipologi yang dibuat oleh Dewi Nova di atas, kita bisa menyarikan bahwa viktimisasi perempuan dalam wilayah konflik mengambil dua bentuk pokok yaitu (1) penghancuran fisik (2) penghancuran mental / psikis dan (3) penghancuran simbolis. Sementara itu, strategi viktimisasi sendiri mengambil 3 bentuk yaitu: (1) langsung - terbuka (2) tidak langsung - tertutup, dan (3) sistematis – simbolis. Penghancuran fisik dilakukan lewat, misalnya: perkosaan, penyiksaan, menjadikan tameng, dan memberikan beban kerja yang berlebihan (overload work) seperti dialami oleh kaum perempuan di Papua, yaitu memasak, mengasuh anak, membersihkan rumah, menokok sagu dan mencari kayu bakar. Penghancuran mental / psikis dikenal dengan istilah lain yaitu traumatisasi, di mana perempuan dijadikan objek kekerasan yang, dimulai lewat kekerasan fisik, pada gilirannya akan sampai pada kekerasan psikis / mental yang menimbuilkan efek traumatis (jera) dan akhirnya tunduk (submisi). Jika dibuat bagan sederhananya akan tampak sebagai berikut:
Kekerasan fisik à kekerasan mental / psikis à efek jera (takut, kapok, trauma) à tunduk (submisi)
Contoh kekerasan psikis / mental ini dialami oleh kaum perempuan korban kerusuhan di Poso. Akibat konflik dan kerusuhan, mereka terpaksa menjadi pengungsi (displaced persons), mengalami trauma, tekanan psikis, ketakutan, kehilangan anggota keluarga, menjadi janda dengan tanggungan banyak anak, menjadi kepala keluarga (+ pencari nafkah) dadakan sepeninggal suami. Intinya: mereka mengalami perubahan status, posisi dan peran dari yang tadinya banyak berkutat di ruang domestik à ruang publik, namun perubahan status ini tidak diimbangi dengan pengakuan secara politis sekaligus pemberian fasilitasi yang memadai untuk mereka bisa menjalankan tugas atau peran “baru”-nya, dan perubahan status ini menimbulkan rasa ketidakamanan dan ketidaknyamanan batin, yang adalah salah satu indikasi kunci dari menjadi korban kekerasan mental.
Sementara itu, penghancuran simbolis dilakukan dengan tindak merendahkan martabat perempuan di hadapan umum (public humiliation), seperti yang terjadi di Timor Leste [2] (misalnya: isu ‘operasi vagina’ yang akan dilakukan oleh pasukan INTERFET terhadap para perempuan pengungsi di Timor Barat yang memilih kembali ke tanah kelahiran mereka di Timor Timur pasca-referendum 1999) dan di Papua [3] serta pelanggengan sistem dan budaya patriarkal yang merendahkan (subordinasi) partisipasi perempuan di ruang publik betapapun status mereka sudah berubah dan mereka merasa “berkewajiban” untuk memikul peran ganda (domestik dan publik) yang merupakan akibat langsung dari relasi & ekspektasi jender yang ditetapkan secara sepihak oleh masyarakat padanya. Contoh yang kongkret dialami oleh perempuan di Papua. Dalam politik lokal (kesukuan / keadatan), peran dan sumbangan perempuan masih dinomorduakan. Sistem adat yang besar seperti Mambri, Ondoafi, Tonowi dan Raja, semuanya amat patriarkis dan menyangkal hak-hak kaum perempuan untuk masuk terlibat lebih jauh lagi dalam penentuan kebijakan suku / adat yang tidak diskriminatif, seperti praktek pemotongan jari yang harus dilakukan oleh perempuan sebagai ungkapan belasungkawa ketika mereka berdukacita (ketika ada anggota keluarga yang meninggal).
III) Perempuan sebagai inisiator, rekonsiliator dan mediator resolusi konflik
"PBB sudah berupaya keras untuk belajar bahwa perdamaian dan keamanan tergantung dari tanggapan yang cepat atas adanya gejala-gejala awal sebuah konflik. Kita semua tahu bahwa mencegah terjadinya konflik membutuhkan strategi-strategi yang imajinatif. Kita semua juga tahu bahwa resolusi konflik, pemeliharaan perdamaian, dan penciptaan perdamaian membutuhkan pendekatan yang kreatif dan luwes. Dalam ketiga hal tadi, kita telah melihat contoh-contoh yang mengesankan dari peran perempuan –tidak hanya di benuah asal saya, Afrika. Akan tetapi, sayangnya, sumbangan perempuan untuk penciptaan perdamaian dan menjaga keamanan masih sering diremehkan. Perempuan masih sering kurang terwakili dalam hal pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan, baik untuk pencegahan konflik, resolusi konflik, maupun pasca resolusi konflik."
(pernyataan Kofi Annan, Sekretaris Jenderal PBB, yang dialamatkan kepada Dewan Keamanan PBB pada 24 Oktober 2000)
Pendekatan terbaru dalam penciptaan perdamaian menggarisbawahi keunikan gender dalam proses resolusi konflik. [4] Mayoritas orang yang dipindahkan secara paksa karena perang adalah perempuan, sehingga bisa dipahami jika kaum perempuan pun dapat memainkan peranan penting dalam upaya-upaya resolusi konflik. Sejumlah peneliti dan ahli psikologi perkembangan perempuan mengatakan bahwa perempuan itu pada dasarnya mencintai perdamaian, mampu untuk mengatakan, mengajarkan dan melestarikan perdamaian, dan tidak menyukai tindakan-tindakan yang berbau kekerasan. Paling tidak, juga dipercaya bahwa perempuan itu lebih bisa dipercaya, dan menunjukkan tingkat kejujuran dan integritas yang tinggi, dalam sebuah diskusi konstruktif untuk mencari solusi dalam suatu persoalan yang pelik. Maka, melihat sejumlah kesimpulan dari hasil penelitian seperti itu, sudah seyogianya perempuan diberikan kesempatan dan berpartisipasi secara lebih luas dan mendalam dalam proses penciptaan perdamaian dan resolusi konflik.
Akan tetapi, sayangnya, gerakan untuk menciptakan perdamaian dan menghasilkan resolusi konflik selama era Orde Baru, kebanyakan masih bersifat elitis [5]. Artinya, (1) masih menggunakan pendekatan dari atas ke bawah (top-down) dan bukan berasal dari inisiatif masyarakat yang terlibat langsung mengalami atau menjadi korban dari konflik (grass-root). (2) resolusi konflik hanya melibatkan pihak-pihak yang mempunyai jabatan struktural dalam pemerintahan, entah nasional, entah lokal, dan dalam lingkup adat / tradisi. Padahal, seperti kita lihat sendiri, dalam banyak contoh nyata di wilayah konflik, perempuan kerap lebih tanggap dalam ‘menjalin sulir-sulir perdamaian’ (Adriana Venny). “Perempuan yang lebih tanggap” ini mungkin merupakan nama lain dari kemampuan empati perempuan terhadap penderitaan orang lain yang merupakan keutamaan moral yang lebih nampak dalam diri perempuan daripada laki-laki. [6] Kemampuan untuk berempati (seperti mendengarkan, ikut merasakan dengan tulus apa yang diceritakan dan dialami oleh mereka yang menderita ketertindasan, kemampuan berbela-rasa) adalah modal terbaik bagi perempuan untuk menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi proses penciptaan perdamaian dan resolusi konflik. Empati, kepedulian dan tanggungjawab pada orang lain ini ditegaskan oleh penelitian yang terkenal dari seorang feminis, ahli etika dan psikolog Carol Gilligan dalam bukunya In a Different Voice: Psychological Theory and Women's Development (1982). Menurutnya pendekatan lelaki atas moralitas adalah bahwa individu mempunyai hak-hak mendasar, dan kewajiban untuk menghormati hak-hak itu. Jadi, moralitas (dalam pengertian laki-laki) lebih dipahami sebagai pembatasan (restriksi) atas apa yang bisa Anda perbuat dan orientasinya adalah keadilan (justice-orientation). Sementara pendekatan perempuan atas moralitas tidak seperti itu. Menurut Gilligan, pendekatan perempuan atas moralitas lebih didasari oleh tanggungjawab terhadap yang lain. Jadi, moralitas (dalam pengertian perempuan) lebih dipahami sebagai kepedulian pada orang lain (an imperative to care for others) dan orientasinya adalah tanggungjawab (responsibility-orientation).
Hasil penelitian Gilligan ini, dan teorinya tentang perkembangan kesadaran moral perempuan yang berbeda dari lelaki, dikonfirmasi tidak hanya lewat sesi wawancara dengan klien dan studi pustaka, namun juga diperlihatkan dan dibuktikan oleh para perempuan di Poso. Secara simbolis-kultural, mereka berupaya untuk menegakkan kembali Sintuvu maroso (nilai kekerabatan dan semangat gotong royong utk pemajuan kepentingan bersama / kepentingan seluruh anggota masyarakat). Selain itu, lewat bekerja, mereka menemukan makna, harga diri, kebanggaan, penegasan identitas dan merajut kepastian masa depan yang tdk hanya bergantung dari bantuan / uluran tangan orang lain. Secara institusional, pendirian Yayasan Athirah yang berfokus pada pengembangan ekonomi dalam rangka pemandirian perempuan + pembentukan kelompok-kelompok usaha: makanan dan jajanan, pertanian dan peternakan, pengrajin eboni dan batang kelapa, perdagangan (jual sayur mayur dan aneka bahan campuran), menjahit. Peran ‘pemulihan kekerasan mental yang dialami’ (detraumatisasi) dilakukan lewat proses penyembuhan luka-luka batin (trauma healing) yang di antaranya dilakukan dengan cara menyembuhkan penderita luka kejiwaan dengan melibatkan penderitanya secara aktif. Sharing dari para survivors bisa menguatkan rekan-rekan penderita lainnya.
Peran dan sumbangan perempuan untuk penciptaan perdamaian di Ambon-Maluku mengambil bentuk menjadi mediator dalam bidang ekonomi. Para pedagang papalele (pedagang eceran) yang kebanyakan perempuan, menjadi mediator perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai lewat transaksi di pasar. Perempuan, dengan berdagang kecil-kecilan menyumbangkan sesuatu sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi keluarga pasca kerusuhan dan konflik. Lewat berdagang di pasar, baik perempuan Muslim maupun Kristen dapat saling bertemu, berkomunikasi dan menjalin rekonsiliasi. Di Kepulauan Kei bahkan lebih unik lagi. Perempuan menjadi rekonsiliator dan pencegah konflik baru, terutama karena posisi / status sosial mereka yang dijunjung tinggi (yang wajib dihormati / filosofi: morjain fo mahiling) ; keputusan akhir untuk mencanangkan tanda sasi atau hawear (tanda menyatakan suatu larangan adat tertentu) terletak di tangan kaum ibu/ perempuan. Kaum perempuan jugalah yang menentukan sejarah hubungan darah dan kekerabatan antar berbagai desa dan kampung di seluruh Kei. Secara institusional, berdirinya Yayasan Arikal Mahina membantu pemulihan kondisi perempuan yang menjadi korban cacat konflik. Mereka juga memfasilitasi sharing di antara korban-korban konflik di Ambon, Seram, dan Saparua – Maluku. Dari hasil sharing ini diadakanlah workshop dan hasil dari workshop ini lalu dibawa ke DPRD serta Gubernur.
IV) Adakah secercah pelangi harapan di balik awan tantangan?
Jawaban untuk pertanyaan ini adalah YA! Dan kita perlu bersama-sama mengupayakannya. Secara lebih khusus, ada 5 rekomendasi yang dapat kami usulkan menyangkut tantangan-tantangan ke depan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh siapapun yang terlibat dalam upaya penciptaan perdamaian, khususnya dengan melibatkan kaum perempuan baik secara politis maupun etis, yaitu:
1) Penyelesaian konflik harus disertai good will & political will dari semua pihak yang terkait.
2) Pendekatan untuk penyelesaian konflik hendaknya tidak berlangsung secara top-down, tetapi bottom-up.
3) Pendekatan bottom-up yang dimaksud di no. 2) itu pun harus menyertakan unsur yang direpresentasikan (kelompok-kelompok masyarakat yang diwakili) secara fair dan berimbang. Judith Herman [7] dalam Trauma and Recovery (1997) pernah mengatakan bahwa perempuan harus dilibatkan dalam setiap usaha rekonsiliasi konflik agar kepentingannya terwakili dalam rumusan kebijakan (policy).
4) Kultur yang diskriminatif terhadap perempuan, ras / suku lain, mereka yang termasuk kategori “yang lain” harus pelan-pelan diubah sejak dini, lewat pembiasaan tutur-kata dan tindakan yang menghargai orang lain
5) Pembiasaan dan sosialisasi perspektif multikultural di dalam keluarga dan di sekolah-sekolah tingkat dasar dan menengah sekaligus pengakuan (recognition) akan fakta kemajemukan bangsa sebagai modal penting untuk hidup bermasyarakat dalam keselarasan dan saling hormat-menghormati.
6) Trauma healing process yang meliputi 3 tahapan sebagaimana diusulkan oleh Judith Herman, yaitu tahap (1) membangun rasa aman, (2) mengenang kembali dan ikut berduka, dan (3) kembali kepada kehidupan biasa adalah langkah-langkah terapi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Perlu lebih banyak lagi sumber daya manusia perempuan Indonesia yang berasal dari berbagai wilayah konflik yang mendapatkan pelatihan (workshop) tentang hal ini sehingga bila saatnya diperlukan, mereka bisa menjalankan tugas sebagai konselor (pendamping) yang memang terlatih dan berkompeten.
Daftar Bacaan:
Budie Santi “Perempuan Papua: Derita tak kunjung Usai” dalam Jurnal Perempuan No. 24 Edisi Perempuan di Wilayah Konflik, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Juli 2002.
Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women's Development, Harvard: Harvard University Press, 1982.
Dewi Nova Wahyuni, “Mereka yang Melanjutkan Kehidupan: Refleksi Perjuangan Perempuan Timor-Timur Pulih dari Konflik” dalam Jurnal Perempuan No. 33 Edisi Perempuan dan Pemulihan Konflik, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Januari 2004, hlm. 71 – 81.
Irawati Harsono, Masyarakat sebagai Basis Resolusi Konflik, dalam Jurnal Perempuan No. 24, Edisi Perempuan di Wilayah Konflik, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Juli 2002.
Rosnani Sahardin, “Sudahkah status perempuan itu berubah?’ dalam Jurnal Perempuan No. 24 Edisi Perempuan di Wilayah Konflik, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Juli 2002.
Primanto Nugroho, “Inspirasi Spiritualitas Perempuan Timor Leste dalam Pusaran Konflik dan Kekerasan,” dalam Jurnal Perempuan No. 33 Edisi Perempuan dan Pemulihan Konflik, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Januari 2004, hlm. 63 – 69.
No comments:
Post a Comment