Menegosiasikan Perbedaan di Tengah Perubahan
Muhammad Nurkhoiron
Salah satu geliat politik di Indonesia paska Orde Baru adalah berjubelnya isu kedaerahan yang diformulasikan ke beragam tuntutan. Politik daerah ini menandai fase arus balik ketika politik sentralisme telah diruntuhkan. Desentralisasi, dengan demikian, barangkali tidak sekedar suatu tuntutan dari elite-elite politik daerah yang menuntut alokasi anggaran dan kebebasan politik dalam mengelola suatu wilayah teritorial, akan tetapi iapun menjadi perangkat lunak (software) baru untuk menyuarakan komunitas marjinal, kelompok tersisih, maupun kelompok-kelompok yang sebelumnya tidak beruntung (karena tidak pernah mendapat akses alokasi sumber-sumber ekonomi dan wewenang politik). Misalnya kata paling bertuah saat ini adalah lokal, atau lokalitas. Setidaknya, di lingkungan NGO, reproduksi semisal istilah kebudayaan lokal, indigenous people, masyarakat adat, menjadi trend yang terus digemakan. Disini makna lokalitas tidak selalu identik dengan batas teritorial daerah sebagaimana tercantum dalam peta-peta resmi saat ini. Lokalitas disuarakan demi membela eksistensi budaya bersama komunitas tertentu. Di tengah perubahan yang terus meningkat, budaya bersama ini nampak seperti menjadi tali pengikat, sumber penghubung dari apa yang pernah diibaratkan oleh Benedict Anderson sebagai, imagined communities, “komunitas-komunitas terbayang”. Meskipun lukisan Ben lebih ditujukan kepada komunitas bangsa, “komunitas-komunitas terbayang” itu nampaknya mulai merambah beberapa komuniti yang merasa memiliki sumber-sumber nilai spesifik yang berbeda dengan komunitas lain. Seolah-olah mereka memiliki budaya bersama, yang didalamnya terbayang tentang asal-usul, ritual, sistem kekerabatan dan perjalanan historis sebagai suatu komuniti. Pembayangan seperti ini mendorong suatu perjuangan demi pengakuan perbedaan-perbedaan itu.
Demikianlah yang dapat kita saksikan di sejumlah masyarakat di daerah: isu pemekaran daerah, perjuangan hak adat dan ulayat sebagian komunitas lokal, dan aspirasi-aspirasi lain di tengah keanekaragaman budaya yang terus berkembang adalah beberapa contoh. Tentang tuntutan pemekaran daerah misalnya, meskipun tuntutan ini dilatari oleh alasan efisiensi (penyederhanaan wilayah) dan kepentingan elite politik tertentu, namun tidak sedikit diantara tuntutan itu didorong oleh pembayangan sebuah identitas oleh daerah tertentu yang merasa tidak berasal dari satu kultur dengan daerah induknya. Sulawesi Barat misalnya. Wilayah ini semula adalah bagian dari Sulawesi Selatan. Namun, sebagian besar penduduk di Sulawesi Barat saat ini tidak merasa menjadi bagian dari kultur Bugis-Makassar yang kini masih menjadi kultur-etnis dominan di Sulawesi Selatan. Kota Palopo dan tempat-tempat lain di Sulawesi Barat saat ini merasa lebih dekat sebagai bagian dari etnis Mandar. Pemekaran propinsi Banten yang semula menjadi bagian dari Jawa Barat juga demikian. Mereka menuntut propinsi sendiri karena sebagian elite politik dan tokoh-tokoh masyarakat di Banten saat ini merasa bahwa budaya-budaya Banten tidak identik dengan budaya masyarakat di tatar Sunda pada umumnya. Dorongan untuk memisahkan diri dari propinsi Jawa Barat dilatari oleh klaim historis dan pembayangan mereka tentang budaya bersama yang berbeda.
Kita tengah menyaksikan revitalisasi budaya tempatan dengan tingkat artikulasi yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya. Makna self determination tidak saja terdengar karena sejarah lokalitas dari teritorial tertentu yang terkubur oleh represi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), akan tetapi di tengah payung NKRI itu sendiri, self determination terus ditabuh meski dengan irama baru . Di Aceh, meskipun telah mengakui kedaulatan NKRI akibat perjanjian Helsinki, tuntutan untuk melakukan otonomi yang lebih luas dan permintaan keistimewaan wacana lokalitas atas teritorial ini terus dilakukan. Selain mereka menuntut pembebasan tentara GAM (Gerakan Aceh Merdeka), mereka menuntut diadakannya partai politik lokal, dan penerapan syariat Islam. Penempatan istilah Nangroe Aceh Darussalam (NAD) sendiri secara jelas menggambarkan visi propinsi Aceh berdasarkan semangat lokalitas, dimana lokalitas dalam terma elite Aceh dikonotasikan dengan nilai-nilai keislaman .
Dalam konteks ke-Aceh-an yang terkurung oleh diskursus NAD ini, lokalitas yang identik dengan keislaman ditempatkan sebagai pusat representasi identitas, reproduksi wacana politik, dan bahkan menjadi common denominator seluruh elite politik Aceh dalam mengembangkan agenda perubahan ke depan . Dalam situasi seperti ini, seluruh simbol NKRI dimungkinkan untuk diterima sejauh ia tidak bertentangan dan oleh karena itu, mesti sesuai dengan wacana NAD. Jadi, di Aceh menjadi tidak mengherankan ketika Pancasila dan UUD yang dipahami sebagai dasar falsafah kenegaraan dan kebangsaan RI, justru ditempatkan secara subordinat di bawah nilai-nilai keislaman NAD.
Di tempat lain, revitalisasi lokalitas terjadi dalam semangat penguatan identitas daerah dan komunitas adat lokal. Dua hal ini terjadi dalam skala yang semakin meluas. Meskipun di beberapa workshop, seminar dan diskusi di kalangan NGO, perhatian besar terhadap komunitas lokal sudah disebarkan sekitar pertengahan tahun 1980an, isu komunitas lokal saat ini jauh lebih artikulatif karena di dalamnya menyangkut aksi berupa pendampingan (advokasi) dan kampanye . Misalnya disini, kita bisa melacak pengokohan reproduksi wacana Tare kampoeng, tare pamarintah, tare agama (tidak mengakui kampung, negara, dan agama). Wacana ini bermula dari wacana lokal dkomunitas Wana di Sulawesi Tengah. Akan tetapi, reproduksi pengetahuan ini disebarkan lebih luas sebagai kampanye bersama masyarakat adat di Indonesia dalam menegosiasikan tuntutan pengakuan atas hak adat mereka . Di beberapa tempat, isu hak adat juga disuarakan, bersandingan dengan tuntutan untuk mengakhiri intervensi pemerintah yang berlebihan . Diskursus hukum ini sebagian besar dimuarakan untuk menuntut otonomi adat demi mendapatkan otoritas mengelola sumber-sumber alamnya sendiri.
Persoalan ini menarik dicermati. Karena dengan meninjau ketegangan antara suara daerah vis a vis pusat ini, bangsa Indonesia seperti mereproduksi kembali kisruh politik dimasa lalu ketika para eksponen NKRI mesti berhadapan dengan rivalnya di daerah . Meskipun pada waktu itu diskusi yang berlangsung menyangkut perebutan ruang otoritas antara pusat vis a vis daerah, namun seluruh muatan diskusi baik di masa lalu dan sekarang sama-sama bermuara ke perdebatan dalam menentukan bentuk kedaulatan. Disini, konflik dan kompetisi kedua belah pihak bermuara ke perbedaan tafsir dalam membayangkan relasi paling ideal antara pusat vis a vis daerah. Sekarang, ketika diskusi tentang negara federasi ditutup, daerah tidak kalah cerdiknya dalam membangun kuasa baru di tengah bayang-bayang NKRI. Demokratisasi membuka peluang daerah untuk bersuara, meskipun tidak mudah mewujudkan suara itu menjadi realita.
Persoalan yang mesti dijawab adalah sampai di ujung mana proses artikulasi suara lokal ini dihentikan? Dengan meninjau berbagai pemekaran daerah saat ini, nyaris rambu untuk membatasi proyek pemekaran terlanjur longgar. Di pihak lain, desentralisasi dan suara-suara lokal agaknya belum menyentuh persoalan krusial yang kini justru nyaring disuarakan: Otonomi dan daulat rakyat sebagai warga negara. Dengan meminjam kiasan Robert Malthus, kini daulat rakyat justru seperti deret hitung, sementara pemekaran dan artikulasi daerah seperti deret ukur.
Meninjau Konsep Kewargaan
Modernitas, Pembangunan dan Diskursus Ilmu Sosial Orde Baru
Sejauh dicermati sejak masa Orde Baru, rekonstruksi komunitas sebagai konsep akademik dibicarakan dan direproduksi sebagai bagian penting dari wacana dominan. Seturut gagasan pembangunan, para ilmuwan sosial mengembangkan wacana komunitas, baik komunitas lokal maupun adat dalam kaitannya dengan agenda kemajuan (progress). Kemajuan adalah konsep kunci darimana seluruh gagasan modernisasi itu dimuarakan . Di tengah norma kemajuan ini, suatu mobilisasi besar-besaran dilakukan. Negara menganggapnya sebagai kewajiban sejarah, atau dalam istilah Orde Baru, tatanan baru (Orde Baru) pada prinsipnya adalah bentuk adiluhung otoritas politik yang dicanangkan untuk mengoreksi sejarah di masa lampau, dan pembangunan di masa kini adalah tujuan ideal dari cita-cita bangsa Indonesia yang belum dilaksanakan.
Secara serentak, pusat-pusat produksi pengetahuan di masa Orde Baru melukiskan kemajuan seperti garis linear, yang digambarkan dari tepi bawah menuju keatas secara gradasi. Dalam operasi-operasi yang digalakkan aparatus pemerintah, mewujudkan pembangunan seperti ini berarti mengangkat derajat rakyat dari kemiskinan, kebodohan, ketidakrasionalan, kejumudan, anti sistem ke derajat yang lebih baik (digambarkan sebagai garis lurus keatas) melalui proses-proses yang bertahap. Seperti menggambarkan kembali teori evolusi sosiokultural sebagai usaha melihat perubahan-perubahan baru, para pakar dan pengambil kebijakan di Indonesia mereformulasi berdasarkan skema dan tuntutan yang ada di Indonesia. Pembangunan misalnya dinyatakan sebagai hasil alamiah perkembangan bangsa Indonesia yang sudah dipraktikkan selama ratusan tahun, dan oleh karena itu negara Orde Baru berkewajiban merumuskannya kembali .
Tendensi untuk melegitimasi moralitas kemajuan berlangsung dalam tingkat yang ekspansif dan nyaris totalitarian. Tidak ada keraguan, untuk menarik garis dari bawah ke atas, praktik sosial berupa kekerasan, pembunuhan masal, dan pembungkaman politik dilegitimasi demi mencapai tujuan-tujuan suci itu. Komunitas yang otentik dalam konteks ini dibayangkan sebagai bentuk kelompok yang sederhana, homogen dengan ikatan komunalnya yang kental. Studi antropologi di Indonesia menggambarkan nilai otentisitasnya ini dengan memilih topik-topik seperti; kearifan nilai tradisi, sistem keagamaan, kekerabatan. Namun demikian, deskripsi antropologis pada akhirnya tidak dapat menolak kenyataan adanya perubahan akibat proyek pembangunan di tengah komunitas sederhana seperti ini. Para antropolog akhirnya berusaha melacak potensi-potensi tradisi dalam beradaptasi dengan nilai-nilai baru (pembangunan). Keluaran paling dominan dari kajian seperti ini biasanya berupa reproduksi konsep yang kemudian menjadi kecenderungan dominan; adaptasi, harmonisasi, integrasi dan lain-lain.
Akan tetapi perubahan di Indonesia, dan seperti juga terjadi di negara Asia lain, modernisasi pada umumnya dinyatakan sebagai akibat-akibat perubahan yang dilesakkan dari luar, dalam hal ini Barat. Perubahan kearah modernisasi ini dinyatakan sebagai sesuatu yang baru yang kemudian sedikit banyak merubah kondisi status quo. Tentu saja perubahan yang Eurosentrisme ini tidak mudah diterima dan kenyataan ini pada akhirnya akan melahirkan kelompok masyarakat yang progresif dan konservatif. Meskipun keadaan kelompok ini tidak selalu mudah digolongkan secara tegas, kenyataan terjadinya polarisasi dan ketidakseragaman dalam menerima perubahan modernisasi ini mempertegas antropolog dan pakar ilmu sosial dari negara Barat yang melukiskan wilayah seperti Indonesia ke dalam model masyarakat transisi. JH Boeke misalnya melukiskan dualisme sistem perekonomian yang tidak terelakkan bagi transisi di Indonesia. Sistem kapitalisme industrial yang dikenalkan negara kolonial, secara umum melahirkan dualisme ganda antara sistem kapitalis dan subsisten. Kemudian sekitar tahun 1939, F.S. Furnivall menggambarkan plural economy sebagai dua sistem yang pada prinsipnya tidak mungkin dipertemukan namun bersanding hidup di berbagai tempat di pulau Jawa. Kekhasan ini mengisaratkan kendala yang bakal terjadi jika pemerintah Hindia Belanda “memaksakan” kehendak untuk meng-Eropa-kan Jawa dan sekitarnya.
Akan tetapi keunikan ini digambarkan secara lain oleh Clifford Geertz.
Diterimanya pandangan seperti ini tercermin dalam kajian antropologi lainnya. Misalnya karakteristik sosiokultural di Indonesia, khususnya Jawa pertengahan abad keduapuluh, diuraikan oleh Clifford Geertz. Sebagai resonansi dualisme ekonomi transisi ini, Geertz melukiskan ekspresi-ekspresi simbolik kebudayaan di Jawa. Religion of Java, demikian judul buku Geertz yang masih populer sampai saat ini, berusaha menjelaskan polarisasi trikotomi, santri, abangan, priyayi sebagai ekspresi keagamaan masyarakat Jawa ditengah masyarakat petani yang sudah mulai dipenetrasi oleh sistem industrialisasi modern. Polarisasi ini mendedah ketakmiripan agama sebagaimana dipahami dalam konteks masyarakat industrial. Ritual petani dengan seluruh perangkat peribadatan yang khas agraris masih menjadi tradisi penting di tengah masyarakat transisi ini, meskipun persentuhan dengan “Islam rasional” mulai mereka kembangkan. Dualisme ini menjadi tak dapat dibendung meskipun pada akhirnya seluruh perubahan dari perkotaan selalu menjadi referensi penting bagi perubahan keagamaan di Indonesia.
Seiring pergantian rezim politik di Indonesia, perubahan ke dalam sistem yang semakin kapitalistik terus terjadi. Pembahasan mengenai hal ini sebagian menekankan situasi transisi menuju gambaran masyarakat yang semakin kompleks ketika kekuatan dari luar –yang selalu dikonotasikan sebagai Barat, terus merongrong kehidupan masyarakat di Indonesia. Kemajuan dan perjuangan membangun diskursus di seputar topik ini dipenuhi oleh perdebatan melihat Barat sebagai sesuatu yang lain (other) . Baik pengagum Barat, maupun rival yang berusaha mengkritik kecenderungan westernisasi, terdorong oleh pengandaian skema dualistik, Barat sebagai cermin kemajuan, atau pusat kerusakan dan sumber yang menciptakan inferioritas kaum pribumi.
Perdebatan ini mengiringi perjuangan menuju paska kolonial. Para founding fathers di Indonesia mempersoalkan seberapa penting Barat atau kekuatan-kekuatan adihulung di luar Barat (Jawa, Islam, dan lain-lain) memiliki sumber-sumber bernilai bagi perubahan di Indonesia. Sutan Takdir Alisahbana (STA) yang menggelorakan kemajuan-kemajuan Barat berhadapan dengan Soewardi yang menahan Barat sambil menawarkan warisan masa lalu kita yang diterangi oleh peradaban-peradaban besar (Hindu-Budha pra-Islam) mewarnai perdebatan dalam menentukan identitas kebudayaan Indonesia masa kini . Seputar polemik yang tak pernah selesai ini membawa arti bagi pembentukan diskursus ilmu pengetahuan di Indonesia. Perjuangan politik dalam mendapatkan kedaulatan wilayah dari rezim Hindia Belanda misalnya, diliputi oleh heroisme yang mengguncang untuk mengusir kolonialisme bersama diskursus yang menyertainya. Kecenderungan melihat Barat selalu diperhadapkan dengan sesuatu yang lain secara vis a vis.
Soekarno, Mohamad Yamin dan tokoh-tokoh lain terdorong untuk merumuskan zaman baru, zaman kemerdekaan. Heroisme ini berputar-putar di sekitar persoalan untuk menemukan Indonesia yang sesungguhnya, suatu citra baru yang lepas sama sekali dengan kondisi-kondisi yang diciptakan oleh masa sebelumnya (zaman kolonial). Revolusi menjadi semangat baru, harapan yang cepat populer di basis massa ketika nyaris legitimasi pemerintahan kolonial semakin menyurut ke titik nol. Namun ketika sosok Indonesia itu ditelusuri melalui perdebatan dan polemik, Indonesia yang dirumuskan bersama belum mencapai kata akhir . Salah satu polemik yang masih tak berujung itu adalah seputar kedudukan negara dalam mengemban kehidupan beragama. Sila pertama Pancasila secara jelas menyampaikan posisi negara di dalam mengamalkan kehidupan beragama. Akan tetapi, sejauhmana kehidupan keagamaan ini menjadi urusan negara, menjadi soal pelik yang selalu memicu persoalan berikutnya.
Dihadapkan dengan perkembangan seperti ini, ilmu-ilmu sosial ditunjuk sebagai bidang yang dapat menggambarkan proses yang tengah berlangsung. Dengan menelisik perkembangan yang terjadi di bidang antropologi misalnya, kita mendapatkan beberapa argumentasi menarik. Pertama, dengan melihat
Saya sendiri seandainya diperkenankan memberi saran, akan membedakan akan adanya tiga konsep beserta istilahnya, ialah agama, yang bisa pakai untuk menyebut semua agama yang diakui secara resmi dalam negara kita..dan religi, yang bisa kita pakai kalau kita bicara tentang sistem-sistem yang tidak atau belum diakui secara resmi, kepercayaan, yang mempunyai arti yang sangat khas; ialah komponen kedua dalam tiap agama dan religi
Sementara itu, antropologi yang dikembangkan di Indonesia, secara umum masih meneruskan tradisi para etnolog dan antropolog kolonial. Di hadapkan dengan realitas masyarakat Indonesia yang beraneka ragam, antropologi digunakan sebagai usaha untuk menggambarkan kembali dinamika dan keanekaragaman di Indonesia sebagai usaha untuk menata, menertibkan dan mencacah kembali kelompok-kelompok di masyarakat.
Kedua, bertolak belakang dengan kepentingan ini, antropologi memberi nuansa baru dengan menekankan arti penting kehidupan keagamaan di Indonesia. Seperti diuraikan Koentjaraningrat, pengandaian antropologi dibiaskan dari semangat pembangunan yang salah satu butir terpenting dari pembangunan itu adalah seperti dicanangkan oleh GBHN berikut ini,
Pada masa Orde Baru, reproduksi agama tidak lepas dari usaha pendisiplinan ini. Agama dipahami sebagai entitas lain, berada di ranah spiritualitas vis a vis materialitas. Spiritualitas ini masih dibedakan menjadi agama dan sistem religi.
Dari pandangan antropologi, religi akan mengalami evolusi menjadi agama yang bersifat henoteistis (mengakui satu Tuhan tetapi, masih mengakui Dewa-Dewa yang lain) kemudian menjadi agama yang monoteistis (hanya mengakui satu Tuhan). Di Indonesia, kehidupan religi diawali dengan adanya paham animisme dan dinamisme. Kemudian pada abad ke-4 telah ada kerajaan Hindu dan kemudian Budha. Pada abad ke-13 mulai ada pengaruh agama Islam di Indonesia ..
Pandangan antropologi diatas secara jelas meletakkan perbedaan antara religi dan agama. Dengan menarasikan pandangan historis, antropologi ini menjelaskan evolusi kemajuan manusia di bidang spiritualitas yang pada akhirnya mengarah ke bentuk keyakinan agama. Unsur animisme dan dinamisme secara pelan-pelan akan pupus berubah menjadi keyakinan kepada Tuhan Yang Esa. Pembelahan antara agama dan religi oleh Koentjaraningrat ini secara sadar dimaksudkan untuk mendeskripsikan keragaman bentuk dan ekspresi keyakinan masyarakat Indonesia. Dalam konteks pembangunan, penjelasan diperlukan untuk mengoperasionalkan kerangka kerja pembangunan di bidang keagamaan. Dalam praktiknya, usaha Koentjaraningrat ini membawa berbagai akibat. Salah satunya adalah diterimanya secara aklamasi bentuk keagamaan di Indonesia, yakni apa yang kemudian disebut sebagai agama ardhi dan agama samawi.
Para pengkajia agama, secara umum menerima kategori ini dengan menggambarkan agama ardhi sebagai agama yang sudah bercampur dengan unsur-unsur kebudayaan (kreatifitas manusia), sementara agama samawi adalah agama murni yang ajaran dan doktrin-doktrinnya diperoleh melalui jalan pewahyuan. Gradasi agama, lebih-lebih hirarki yang ditimbulkan oleh perbedaan antara agama dan religi mengandung pesan bahwa, salah-satu aspek pembangunan di bidang keagamaan adalah mengantarkan seluruh bentuk-bentuk religi dan sistem keyakinan lain ke dalam sistem keagamaan. Dalam hal ini, pemerintah menyediakan perangkat hukum yang mengatur “aliran-aliran kepercayaan”.
Usaha pendisiplinan terjadi ketika sistem religi mulai dijadikan sasaran invasi agama-agama. Tregedi 1965 menjadi peristiwa politik yang merubah kehidupan keagamaan di Indonesia secara drastis. Proses pembersihan terhadap kekuatan komunisme di Indonesia diiringi oleh usaha pembinaan keagamaan secara besar-besaran. Kisah ini menjadi drama baru bagi eks-Tapol/Napol dan keluarga beraliran politik komunis dan komunitas-komunitas tanpa identitas agama resmi. Kelompok yang terakhir ini sebagian besar digiring ke dalam aliran kepercayaan . Padahal makna aliran kepercayaan ini dihubungkan dengan semangat untuk menggabungkannnya kembali ke dalam agama-agama resmi.
Sementara itu, para penganut religi dan aliran kepercayaan, terutama yang masih menjalankan sistem kehidupan subsisten di daerah-daerah terpencil diperlakukan sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang masih berada dalam taraf kehidupan yang rendah. Secara sosial mereka dikategorikan sebagai suku terasing/terpencil kecuali beberapa orang atau anggota keluarga tertentu yang memang sudah berangsur meninggalkan tradisi dan sistem budaya mereka.
Dalam diskursus pembangunan, komunitas ini dilukiskan sebagai situs-situs primitif, artefak masa lalu dan sumber kearifan. Model yang dikembangkan oleh paradigma modernisasi adalah menciptakan nilai-nilai kearifan (komunitas lokal) ini menjadi koheren dengan tujuan-tujuan pembangunan. Dalam praktiknya, rezim Orde Baru menyebarkan ketakutan dan trauma, karena sumber kearifan dan nilai-nilai yang terus dipertahankan dan dipelihara di situs-situs komunitas spesifik hanya akan menjadi sasaran pendisiplinan dan peminggiran demi pembangunan itu sendiri . Pembangunan nyaris menjadi kitab suci, dan pada masa itu, agak sulit untuk menemukan diskursus dalam ilmu sosial yang berusaha melihatnya dari sudut lain.
Rupanya diskursus tentang agama dan sistem kepercayaan dan situs-situs yang mereproduksinya tidak berubah selama beberapa dasawarsa. Hampir sulit menemukan cara pandang diluar cakrawala modernisasi yang berusaha memperlihatkan kelemahan paradigmatis dan aspek politis yang diakibatkannya. Kecuali Majalah Prisma yang memiliki perhatian terhadap perdebatan intelektual dan perbincangan yang lebih kritis dalam menelisik ide developmentalisme, diluar forum ini mustahil mendapatkan tempat terindah untuk mengasah gagasan-gagasan baru. Namun demikian, totalitarianisme Orde Baru tidak selamanya stabil dan utuh. Perjalanan untuk mempertahankan aspek kuasa yang dibangunnya menuai banyak kritik yang pada akhirnya berada di jalan buntu.
Persoalan Agama dan Budaya di Tengah Demokratisasi dan Politik Arus Bawah
Gagasan demokrasi mulai menjadi perhatian ketika rezim totalitarian semakin terjepit di tengah lingkaran konflik diantara para pendukungnya. Beberapa kelompok pro-demokrasi lahir, membentuk aliansi-aliansi, melakukan konsolidasi dan pemberdayaan di masyarakat sipil. Sekitar tahun 1980an, kritik developmentalisme mulai didisikusikan. Seputar isu ini memang tersedia berbagai dimensi perdebatan yang lebih kritis dalam mencermati isu-isu sosial dan politik di masyarakat. Beberapa kelompok kritis juga mulai bermunculan. Mereka membentuk forum diskusi, kaukus politik sebagai respon atas konstelasi di tubuh rezim politik penguasa yang mulai berubah. Tidak mengherankan jika seluruh kepentingan yang mulai tumbuh dalam ajang kontestasi ini melahirkan beberapa ide dan kajian yang berhubungan dengan kebutuhan untuk melakukan perubahan. Tentu saja kata paling bisa diterima oleh semua pihak adalah gagasan demokrasi.
Dalam situasi seperti ini beberapa kajian bermunculan dengan menghadirkan topik dan perspektif baru.
Pertama, kurun permulaan Orde Baru, pesantren dilihat dari sosoknya yang unik dan otentik. Pesantren dibayangkan seperti komunitas Zamakhsari Dhofier memulai suatu kajian sosial dengan mencermati sistem kekerabatan. Pesantren-pesantren di Jawa khususnya memiliki sistem kekerabatan yang komunal. Beberapa pesantren dihubungkan oleh hubungan darah karena perkawinan diantara anak-anak mereka. Pemandangan ini menunjukkan pesantren seperti keluarga besar yang berhubungan satu sama lain. Sistem kekerabatan ini ditopang oleh relasi diantara kiai yang dihubungkan oleh kesamaan genealogi pengetahuan mereka. Sebagian besar kiai-kiai di Jawa misalnya tidak lepas dari ketokohan Kiai Kholil Bangkalan Madura. Jaringan Kholil ini melingkupi Jawa dan sekitarnya, dan nyaris tidak ada kiai pada masa itu yang dapat menandingi sisi kharismatik dan ketokohannya yang populer.
Pada umumnya, tradisi dan pengetahuan tradisional dihubungkan dengan daya magis, kekuatan mitis dan sosok-sosok kharismatik . Cara bernalar ini cenderung meletakkan tradisionalitas sebagai anti modernitas. Pesantren selama beberapa periode mendapat kesan seperti ini. Untuk mendapatkan kesan lain, seseorang dapat menyuguhkan dengan kosakata tambahan, seperti misalnya pesantren modern. Kata modern menunjukkan sesuatu yang lain dan tidak berada dalam domain citra yang telanjur disuguhkan oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia.
Kehidupan sosial pesantren pada umumnya difokuskan ke persoalan proses integrasi ke dalam kurikulum nasional. Pesantren-pesantren dengan komunitas santri dan alumninya yang menyebar dan memiliki sejarah yang populer di sejumlah tempat dijadikan sasaran terpenting oleh usaha pemerintah ini. Muncul madrasah, sekolah umum dan sekolah-sekolah unggulan. Pendeknya, fase ini merupakan era pembangunan dan proses pesantren berbenah diri. Kemandirian pesantren semakin hilang, proyek-proyek berbasis pembangunan menertibkan pesantren dari dinamika lokalitasnya.
Baru sekitar awal tahun 1990an, pesantren ditulis dan dipandang dengan warna baru. Pesantren mulai dihitung sebagai entitas politik yang menyumbang berbagai makna baru dan perubahan dalam diskursus politik di Indonesia. Diskursus ini dikembangkan terutama untuk mendapatkan pengetahuan-pengetahuan alternatif di tengah sistem politik yang totalitarian. Greg Fealy, Andree Feilard, Greg Barton adalah beberapa pengamat Indonesia yang mencoba melihat relasi NU dengan tali politik nasional dalam panggung kontestasi yang tak berkesudahan. Tulisan-tulisan ini mulai menelusuri keotentikan visi jaringan kiai di lingkungan Nahdlatul Ulama dalam kaitannya dengan perilaku politik dan perubahan di Indonesia.
Diskusi mengenai perubahan sepanjang tulisan ini
Biografi Gus Dur misalnya menciptakan citra kekaguman penulis
Meninjau Pengalaman Rekonsiliasi Multikultural
Sudah menjadi pengetahuan umum, di tengah komunitas santri, tradisi kejawen selalu dikonotasikan sebagai kemusrikan. Meskipun tingkat toleransi di kalangan santri sangat beragam, tradisi pra-Islam ini tetap saja liyan, ia memerlukan skema khusus supaya keberadaannya dapat diterima di tengah komunitas santri. Kondisi ini memang tidak selalu berjalan stagnan, akan tetapi tingkat fluktuasi dari tahun ke tahun membuktikan gambaran ortodoksi yang semakin menanjak dalam menerima atau mengakomodasi tradisi-tradisi setempat pra-Islam.
Memasuki abadk ke-21, kondisi nasional di Indonesia sudah melewati masa pergolakan politik paska Orde Baru. Yang diharapkan banyak orang pada masa itu adalah perubahan dalam arti yang sesungguhnya – meskipun sebagian besar orang alpa betapa setiap perubahan politik tidak dapat dilakukan secara terburu-buru. Demikian ini terjadi sampai ke tingkat desa dimana sebagian besar masyarakat Indonesia berharap akan terjadinya perubahan yang signifikan. Sayang harapan itu pudar, tidak banyak perubahan yang terjadi kecuali pro-kontra dalam memelihara rezim politik Abdurrahman Wahid yang terus memanas. Dalam kehidupan politik sehari-hari, situasi yang mencegah terjadinya proses “rekonsiliasi” antara kelompok-kelompok yang bersitegang dan saling bertengkar di masa-masa sebelumnya juga tidak kunjung menuai harapan baru. Demikian ini terjadi misalnya antara kelompok-kelompok santri dengan tetangga mereka yang semula distigma sebagai eks komunis.
Meskipun ketegangan diantara mereka surut seiring kemenangan kaum santri, sitgma dan pelabelan negatif terhadap eks komunis ini terus berlangsung. Bahkan dalam kaitannya dengan perdebatan teologis antara Islam vis a vis Jawa, yang terakhir sudah tidak lagi memiliki nyali untuk bertarung, islamisasi dibiarkan tanpa perlawanan yang seimbang. Perubahan seperti ini nyaris mengingatkan kepada tesis Gelner yang menyepadankan kultur Islam sebagai high tradition.
Festival kesenian yang berlangsung di Pesantren Guyangan Trangkil Pati dipenuhi penonton. Mereka berjubel mengelilingi lapangan basah karena usai gerimis. Perasaan penonton dipenuhi rasa senang, gegap gempita bercampur penasaran dan heran. Kok bisa pesantren mengadakan festival? Kata salah satu penonton. Lain lagi dengan salah satu penonton perempuan. Sebut saja Fatima. Ia adalah salah satu aktivis perempuan di organisasi Islam terbesar di Pati, NU. Berbicara kesenian lebih-lebih di pesantren tentu bukan peristiwa biasa. “Oh, itu to yang namaya ketoprak? Begitu reaksinya di sela-sela menonton ketoprak dengan lakon Ondorante. Fatima tidak sendirian. Keheranannya menyaksikan festival kesenian semacam ini bercampur dengan perasaan asing karena baru kali pertama ia menyaksikan acara kesenian ketoprak. Kesenian yang kerap ia dengar, tapi belum pernah ia saksikan. Baginya, golongan Pati Kidul (selatan) sajalah yang gemar mengadakan kesenian tradisi ini. Di Pati lor (utara), kesenian seperti ini jarang ditampilkan. “Mereka itu santri, kalau orang lain melihat Pati Lor khususnya Kajen seperti melihat lampu sorot yang meyilaukan”, kata Supriyanto, pemuda yang rumahnya berdekatan dengan desa Kajenaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa. Supriyanto menjelaskan, santri Kajen selalu dipandang sebagai kelompok “berbudaya tinggi”. Namun kultur ini hanya mungkin dijalankan di Kajen saja, karena seperti lampu senter tadi, semakin didekati semakin menyilaukan saja.
Santri adalah istilah untuk menunjuk identitas keislaman seseorang di masyarakat Jawa. Meskipun istilah ini mungkin berasal dari bahasa sanskrit (santri, pe-santri-an/pesantren) makna santri sudah semakin lekat dengan identitas keislaman ini.
dalam term santri sampai saat ini masih merasa enggan terlibat dalam urusan bersama tersangkut soal pemeliharaan tradisi. Di Pati tradisi-tradisi yang dimaksud tentu saja adalah tradisi Jawa dengan segala dinamikanya. Potret Geertz mengenai relasi santri-abangan nampaknya masih memiliki arti dalam konteks ini. Meskipun barangkali pergeseran kelas telah semakin berkembang di sekitar masyarakat, praktik pembelahan sosio-kultural ini nyaris tidak bisa dihindari. Deskripsi hubungan antar komunitas seperti terurai dalam pandangan Akuat menyajikan skenario santri-abangan yang terus berada dalam ketegangan. Fakta ini sedkitinya tergambar dalam pergaulan-pergaulan antar komunitas yang begitu terbatas. Fatimah yang berada dalam posisi santri-perempuan menjadi wajar dan tidak perlu dipersoalkan jika pengetahuan dia terbatas bahkan sama sekali tidak ada mengenai kekayaan-kekayaan kebudayaan yang terhampar di sekitar lingkungannya.
Jadi pengalaman Fatima menyaksikan kesenian (lokal) ini adalah pengalaman baru. Ia baru menyadari bahwa Pati yang dikenal sebagai gerbang kota Wali ternyata memiliki kesenian-kesenian dengan lakon realis yang sangat konfrontatif dengan perilaku para santri. Ondorante adalah salah satu sosok orang kecil yang merasa gerah dan terganggu dengan cara-cara orang santri dalam menyebarkan agamanya. Cerita ini sangat khas Pati, karena ondorante adalah sosok yang dipetik dari kisah sejarah rakyat Pati yang terjadi pada masa pemerintahan Demak Bintoro. Sayangnya, kisah seperti Ondorante sudah lama dilupakan orang. Sebagian seniman di Pati saat ini, merasa ketakutan dan tidak memiliki kemampuan untuk menampilkannya kembali dalam pentas panggung. “Bukan masanya”, kata Bowo salah seorang seniman ketoprak di sele-sela pembicaraan dengan penulis.
Lebih menonjok lagi peristiwa workshop kebudayaan yang diselenggarakan disela-sela acara festival. Panitia penyelenggara mempopulerkannya sebagai halaqah kebudayaan . Kegiatan ini berlangsung di aula pesantren. Salah satu pembicara didatangkan dari Sukolilo, Kecamatan Pati wilayah selatan. Ia bernama Gunretno, salah satu kelompok masyarakat yang komunitasnya dikenal sebagai Komunitas Samin. Samin mengacu kepada salah tokoh penting dalam zaman pergerakan awal abad ke-20 yang melakukan gerakan protes petani. Protes petani Samin menggegerkan pemerintahan kolonial. Perlawanan ini menjalar di sekitar Blora, Purwodadi, Kudus, Pati, sampai Bojonegoro. Lukisan para peneliti sayangnya belum membedah lebih tajam bagaimana kekuatan kelompok ini masih bisa bertahan sampai saat ini.
Ditemani Kartini dan Tolan, Gunretno berangkat ke pesantren Guyangan atas undangan Desantara, salah satu NGO di Jakarta yang berbasis isu-isu agama dan kebudayaan. Masyarakat Samin seperti diinformasikan di beberapa sumber referensi dan catatan penelitian adalah komunitas di sekitar Blora, Pati dan sekitarnya yang menjalankan sikap hidup berbeda. Sebagian dari mereka masih mengaku memeluk agama Adam. Namun jumlah ini terbilang sedikit dibandingkan dengan migrasi besar-besaran dari generasi berikutnya yang menjadi pengikut Islam. Orang-orang di sekitar Pati jika tidak mengenalnya sama sekali, pasti diantara yang mengenalnya selalu berhubungan dengan hal-hal buruk: Tidak bersekolah, keras kepala, suka membantah, tertinggal dan lain-lain. Kedatangan Gunretno dan kawan-kawan tentu mengundang keheranan.
Di Jawa Tengah, pembasmian terhadap kelompok PKI dipusatkan di Solo. Di bawah komando Sarwo Edhi, penyisiran terhadap kelompok PKI dilakukan dari satu kota ke kota lain . Pati masuk dalam hitungan, terutama di daerah-daerah Pati selatan sampai kearah Purwodadi. Di Pati sendiri PKI mencapai masa kegemilangannya sebelum peristiwa tragedi 1965. Di Juwana PKI memenangkan pemilu mengalahkan rival beratnya, NU dan PNI. Kekuatan PKI terbesar di pedesaan adalah petani yang diberikan janji landreform dan harapan bagi masa depan yang lebih baik. Meskipun tidak semua petani dapat berorganisasi, PKI paling pandai mendekati para elite-elite desa yang memiliki jaringan kuat dan dapat memobilisasi petani secara besar-besaran karena kharisma pribadinya. Inilah kunci sukses PKI menggalang kekuatan massa di kalangan petani. Jadi dalam beberapa hal partai-partai politik tidak banyak terlibat jauh menggalang kekuatan secara partisipatoris. Lebih-lebih PKI yang menjadi kekuatan besar di daerah-daerah di Jawa, partai-partai ini tinggal memanfaatkan jaringan yang ada.
Di sekitar Pati, Blora dan Bojonegoro, kekuatan jaringan petani dapat ditelusuri di komunitas sedulur Sikep – namun peneliti dan ahli-ahli antropologi mengenalnya sebagai Masyarakat Samin. Sejarah masyarakat Samin yang ditulis oleh beberapa peneliti menyajikan cerita perlawanan terhadap rezim kolonial. Mereka membangun perlawanan yang spesifik, dari praktik bahasa sampai membangun kanal-kanal perlawanan di beberapa titik di sekitar Jawa Tengah dan perbatasan Jawa Timur . Sayangnya seusai kemerdekaan RI, nasib petani Samin tetap tidak berubah. Perjuangan pembebasan dan peningkatan kesejahteraan terus mereka kumandangkan. Meskipun sebagian dari kelompok-kelompok Samin merubah diri dan mencoba beradaptasi dengan perubahan yang ada, petani-petani ini sebagian masih mempertahankan keyakinan yang diajarkan orang-orang tua mereka. Tidak mudah juga berintegrasi dengan suasana baru ini.
Bagaimanapun orang-orang desa masih memiliki sifat komunal. Mereka terintegrasi karena semangat komunal dan model-model pembagian kerja tradisional. Petani-petani Jawa memiliki keluarga inti, dan keluarga yang lebih besar, yakni desa dan seluruh penduduknya. Masyarakat Samin mempertahankan keyakinannya salah satunya karena dibentengi oleh semangat komunal ini. Beberapa keluarga masih bertahan dengan ajaran-ajaran yang pernah diturunkan Samin Surosentiko. Secara bergiliran mereka saling berkunjung satu sama lain, mengakarban situasi-situasi yang berubah dan upaya-upaya untuk mempertahankan keyakinan mereka. Hubungan seperti ini dengan sendirinya putus, begitu salah satu dari mereka keluar dari ajaran bersama, lalu memeluk salah-satu agama pemerintah. Di Pati komunitas Samin bertahan di beberapa desa di kecamatan Sukolilo. Mereka memiliki figur tua yang kini masih hidup, Mbah Tarno. Mbah Tarno pada masa mudanya dikenal paling vokal, dan berani menunjukkan identitasnya. Watak ini diturunkan kepada generasi sesudahnya. Salah satunya adalah Gunretno, sosok muda yang pandai bergaul, memiliki jaringan luas dan komitmen yang besar untuk merubah kehidupan petani secara lebih baik.
Gunretno sadar bahwa tanpa bersekutu dengan orang-orang santri, keinginannya untuk membangun kekuatan petani di Pati tidak banyak berguna. Undangan ke acara workshop (halaqah) di pesantren Guyangan tentu tidak dapat ia lewatkan. Dari forum ini Gunretno semakin terpicu untuk terus melakukan usaha konsolidasi internal. Setidaknya, melalui forum ini mereka semakin mendapatkan dorongan kuat untuk tidak lagi harus berserah diri kepada gelombang perubahan yang terjadi. Orang-orang Sikep mesti kreatif merespon perubahan yang ada, membangun konsolidasi dan memperluas pertemanan supaya perasaan-perasaan mereka sebagai minoritas semakin berkurang . Bukan pekerjaan mudah, akan tetapi kemampuan Gunretno justru menunjukkan kreatifitas sedulur sikep sendiri menghadapi perubahan yang terjadi.
Akhirnya Gunretno merintis gerakan petani sejak di Sukolilo, kemudian ia kembangkan menjadi serikat yang lebih luas bernama Serikat Petani Pati (SPP). Anggota organisasi ini meliputi hampir seluruh kecamatan di Pati. Gunretno juga menyadari bahwa hanya melalui organisasi petani berbagai elemen masyarakat di Pati dapat disatukan. Lebih dari tujuh puluh persen, penduduk Pati bermata pencaharian petani. Rata-rata mereka memiliki lahan sendiri, meskipun tidak jarang diantara mereka juga sudah menjadi buruh tani yang menggarap pertanian orang lain sejak puluhan tahun.
Meskipun demikian, proses ini tidak selalu berjalan mulus. Perbedaan-perbedaan kultural seringkali menghalangi proses berorganisasi dan berkonsolidasi dibawah payung kepentingan yang sama. Di Pati fakta seperti ini dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Pembelahan di masyarakat tidak saja meliputi perbedaan kultural antara wilayah Pati Lor dan Pati Kidul, akan tetapi di masing-masing desa dengan kultur yang berbeda-beda, ketegangan ini juga terjadi. Yang penting diketahui, bagaimanapun kelompok santri merupakan kelompok terbesar di Pati. Jadi posisi kiai, lebih-lebih yang memiliki pesantren dengan jumlah santri yang cukup banyak dengan sendirinya sangatlah strategis. Ia adalah bagian dari elite-elite di Pati. Sebagian besar dari kelompok ini sayangnya masih menyimpan trauma mendalam mengenai peristiwa 1965, suatu trauma yang terus mengingatkan betapa perbedaan-perbedaan budaya itu tidak mudah disatukaan dalam ikatan komunal dan kehangatan orang-orang desa.
Jadi stigma dan citra-citra miring mengenai masyarakat Samin tidak mudah dihapuskan dalam pikiran masyarakat Pati yang sebagian besar berlatar belakang santri. Ini adalah tantangan paling berat. Pernah suatu kali konflik terjadi antara anggota SPP (Serikat Petani Pati) dengan keluarganya sendiri. Kebetulan keluarga yang memperkarakan anggota SPP ini bergelar kiai dan relatif dikenal di desanya. Ia masih menjadi bagian dari jaringan santri Kajen. Nurhadi, anggota SPP yang diperkarakan ini dituduh kafir, murtad dan julukan lain yang sangat miring. Soalnya sepele, SPP masih asing ditelinga sang kiai, lebih-lebih ia telah mendengar dari tetangga-tetangga terdekat bahwa anggota-anggota SPP sebagian adalah orang-orang Samin.
Lagi-lagi, dalam konteks ini kelompok minoritas selalu dalam posisi rentan. Tahun 2006 ketegangan kembali kambuh. Meskipun jaraknya cukup jauh dari kejadian sebelumnya. Tapi lagi-lagi masyarakat Samin menjadi bagian yang dipertaruhkan. Seorang penduduk desa di Ngawen sedang bertengkar dengan saudara sedesanya. Ia kemudian dituduh sebagai dukun santet. Pasalnya, pihak penuduh kesal karena anaknya lelaki tidak kunjung sembuh dari penyakit kegilaan. Peristiwa seperti ini nyaris menjadi bagian yang mewarnai kehidupan sehari-hari di desa. Konflik, ketegangan dan kemudian memuncak menjadi perkelahian hampir menjadi fenomena biasa. Namun yang menarik dalam kasus ini, “dukun santet” menjadi isu yang memikat berbagai kelompok di desa-desa. Bagi kelompok santri, dukun santet lebih dari perbuatan buruk yang pantas dijauhi, akan tetapi dukun santet adalah simbol kemurtadan, dan dalam perspektif keagamaan, praktik ini pantas mendapatkan hukuman berat.
Pada tahun 1998, di Jawa Timur isu dukun santet telah menghilangkan puluhan nyawa. Orang-orang yang dituduh sebagai dukun santet, ditenteng, ditelanjangi dan diseret sampai meninggal dunia. Peristiwa ini begitu tragis, sampai beberapa koran nasional memotret fenomena ini sebagai kebiadaban yang mengerikan. Meskipun peristiwa di Jawa Timur berbeda jauh suasananya dengan di Pati Jawa Tengah, namun buktinya di lapangan, isu dukun santet relatif efektif mengundang polemik dan kecemasan beberapa desa. Mbah Ngadi yang dituduh sebagai dukun santet tidak tahan mendapatkan teror penduduk sedesa. Ia pun pergi keluar desa selama beberapa hari. Kepergian ini ternyata diketahui beberapa tetangganya. Tersiarlah kabar bahwa Mbah Ngadi mendapatkan perlindungan dari Gunretno. Dan sebagian besar orang-orang Sukolilo sudah mengetahui dengan baik siapa Gunretno sebenarnya. Yang paling dikhawatirkan Gunretno dengan mudah dapat kita tebak. Stigma yang masih begitu melekat di kalangan orang-orang di Pati mengenai masyarakat Samin. Ketakutan ini cukup beralasan jika sebagian besar orang-orang santri selalu menghubungkan orang-orang yang dianggap “tidak beragama”, atau yang dianggap memiliki perilaku menyimpang dalam beragama dikonotasikan sebagai pengikut ilmu-ilmu sesat.
Ketegangan ini berlangsung beberapa hari. Desantara kembali terlibat dalam usaha memediasi peristiwa ini. Kesuksesan Desantara sebagian karena memiliki kemampuan menjelaskan kepada orang santri mengenai bahaya praktik menyebarkan isu-isu sensitif ini dalam bahasa agama. Tentu saja keterwakilan santri (dari pihak Desantara) dan bahasa-bahasa yang biasa digunakan dalam ajaran-ajaran agama jauh lebih mudah dipahami dan diterima. Sampai hari ini Samin tetaplah dipandang aneh, meskipun sedikit demi sedikit pandangan-pandangan ini semakin berkurang. Gunretno sangat menyadari, sebagai kelompok minoritas, proses-proses minoritisasi akan dengan sendirinya berkurang jika orang-orang seperti sedulur sikep di Pati semakin menunjukkan kiprah sosialnya yang berdampak positif bagi kehidupan sebagian besar masyarakat di Pati. Usaha ini tentu akan mudah dicapai jika kelompok-kelompok petani sebagai kelompok terbesar di Pati diwadahi dalam satu organisasi untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka. Melalui isu pertanian kelompok-kelompok yang berbeda keagamaan dan kebudayaannya bisa saling bertemu satu sama lain.
SPP dalam beberapa tahun akhirnya semakin berkembang lebih populer. Organisasi ini bahkan mulai diperhitungkan oleh pemerintah. Meskipun demikian, kita belum dapat meramalkan sejauhmana SPP bertindak efektif membangun kesadaran yang lebih baik meretas pandangan-pandangan buruk mengenai kelompok Samin. Di tengah arus perubahan saat ini memang kelompok-kelompok lokal (adat) seperti Samin tidak bisa lagi terkungkung dari ruang-ruang yang terisolasi. Gerakan-gerakan NGO juga semakin meningkat. Isu-isu mengenai masyarakat adat sudah dihembuskan oleh beberapa aktivis NGO ini. Salah satu yang paling vokal adalah AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara). Diantara NGO-NGO lain AMAN berhasil melakukan negosiasi dengan pemerintah untuk meningkatkan daya tawar kelompok adat. Akan tetapi, gerakan seperti ini terlalu elitis. Diperlukan usaha yang lebih tajam dan tersistematisasi untuk membangun rekongnisi di kalangan masyarakat yang telah menjalani kehidupan dalam perbedaan-perbedaan budaya.
Negara kini tidak lagi menjadi ancaman serius bagi kesinambungan perbedaan-perbedaan budaya di masyarakat. Meskipun masih terlalu banyak kebijakan yang harus diperbaiki untuk memberikan akses yang setara bagi kelompok-kelompok yang belum diakui keyakinan agamanya, ancaman pasar melalui efek globalisasi jauh lebih sulit dibendung. Efek pasar yang terus meningkat dengan mudah menjadikan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda sebagai komoditas yang diperjualbelikan . Perbedaan budaya, atau budaya-budaya yang dianggap beda oleh sekelompok masyarakat dapat dibentuk kembali sebagai sesuatu yang eksotis, dan oleh karena itu layak jual. Misalnya saat ini sudah terjadi di komunitas Samin.
Jadi jika semula orang-orang Samin diburu dan dipaksa pemerintah agar berpindah agama dan mengikuti proyek wajib belajar, kini orang-orang Samin diburu untuk dipotret, divisualisasikan dan digambarkan keanehan-keanehannya. Sesuatu yang aneh, eksotis, tentu mengundang selera. Pasar tidak peduli akibat-akibat budaya yang terjadi di kemudian hari. Yang penting, bagi pasar atau produser yang membidik kelompok ini adalah uang dan penggandaan uang untuk menumpuk modal secara terus menerus.
Selesai
Daftar Pustaka
Djokosurjo. Agama dan Perubahan Sosial. Studi Tentang Hubungan Antara Islam, masyarakat, dan Struktur Sosial Politik Indonesia. Yogyakarta: LKPSM. 2001.
Beatty, Andrew. Variasi Agama Di Jawa. Suatu Pendekatan Antropologi. Jakarta: Murai Kencana. 2001.
Darwis, Ellyasa. Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LKIS. 1997.
Fealy, Greg. Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LKIS. 2003.
May, Stephen, Tariq Modood. Ethnicity, Nationalism and Minority Rights. Cambridge University Press.2004.
Sanderson, Stephen K. Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Rajawali Press. Jakarta.
Suaedy, Ahmad. Politisasi Agama dan Konflik Komunal. Beberapa Isu Penting di Indonesia. The Wahid Institute. Jakarta. 2007.
Suaedy, Ahmad. Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi. Yogyakarta: P3M, LKIS. 2000.
Wahid, Abdurrahman. Menggerakkan Tradisi. Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta: LKIS. 2001.
Wahid, Abdurrahman. Pergulatan Agama, Negara dan Kebudayaan. Depok: Desantara. 2001
Showing posts with label Antropologi. Show all posts
Showing posts with label Antropologi. Show all posts
Monday 20 December 2010
MULTIKULTURALISME: Solusi atau Ancaman bagi Kesetaraan Jender?
Relevansi Multikulturalisme bagi kaum perempuan dan tantangannya
MULTIKULTURALISME: Solusi atau Ancaman bagi Kesetaraan Jender?
oleh Hendar Putranto
Pengantar:
Belakangan ini kita di Indonesia sedang diresahkan oleh persoalan identitas. Entah itu identitas berwajah etnis (suku), ras, agama, jender (lelaki – perempuan), profesi, atau kombinasi di antara sejumlah identitas tersebut, untuk tidak membuatnya menjadi daftar panjang inventaris. Sebagai contohnya, kita lihat saja beraneka macam demonstrasi yang dilangsungkan di Bundaran Hotel Indonesia selama 5-6 tahun belakangan ini. Isu apa saja yang diusung oleh aneka macam kelompok yang berdemo di sana? Pasti tidak jauh dari isu identitas dan pengakuan “publik” (entah dari negara, pemerintah ataupun masyarakat umum) atas identitas yang disuarakannya. Itu baru satu ruang dan lokasi. Padahal, persoalan identitas di satu sisi menjadi wacana publik yang terbuka untuk diperdebatkan, namun juga, di sisi yang lain, diam-diam dan acapkali jauh dari publikasi media-massa, persoalan ini pun sering menjadi gerundelan di kamar tidur pribadi atau buku harian. Diperdebatkan, mungkin karena kondisi hidup kita begitu majemuk (plural), sehingga keanekaragaman suara yang berseru “Ini identitasku! Ini identitas kami!” seolah-olah seperti orang yang berjualan di pasar tradisional menjelang Lebaran, yang berlomba-lomba menarik perhatian orang yang lewat untuk setidaknya menengok barang dagangan mereka, syukur-syukur membeli. Kemajemukan menjadi kondisi hidup bersama yang tidak bisa kita sangkal, dan persis di titik itulah, di antara simpang-siurnya aneka macam politik identitas, identitas perempuan menjadi salah satu perdebatan kunci yang paling kuat disuarakan sekarang. Identitas perempuan menjadi agenda dari mereka yang menyebut dirinya feminis, juga mereka yang berpikiran simpatik terhadap perjuangan kaum feminis. Namun identitas perempuan ini juga bukan identitas yang tunggal, melainkan majemuk. Atau, dengan kata lain, identitas-identitas para perempuan.
Untuk memperjelas duduk persoalannya, dalam paper singkat ini akan coba dipetakan sejumlah hal sebagai berikut: (1) Asal-usul peristilahan multikulturalisme dan sejumlah definisinya, (2) Titik temu antara perjuangan yang diusung multikulturalisme dengan agenda feminis, (3) Kontekstualisasi multikulturalisme di Indonesia dan sejumlah tantangannya. Metode penulisan lebih banyak mengambil dari studi kepustakaan dan laporan atau artikel yang dimuat di surat kabar / jurnal, dengan segala keterbatasan representasi serta akurasinya.
(1) Wacana Multikulturalisme dalam perdebatan
Menurut Bhikhu Parekh [i], seorang pemikir yang mempunyai perhatian mendalam tentang paham multikulturalisme, ada 3 bentuk keragaman budaya yang paling umum dijumpai dalam masyarakat modern, yaitu (1) Keaneka-ragaman sub-budaya (subcultural diversity). Meskipun warga masyarakat sama-sama menganut dan meyakini sebuah kultur yang kurang lebih sama, namun mereka tidak menjalankan keyakinan dan praktek-prakteknya secara sama dalam sejumlah aspek kehidupan yang penting. Yang termasuk golongan ini misalnya: kaum gay dan lesbian, budaya anak muda (youth culture), orang-orang yang mengikuti gaya hidup atau struktur kekeluargaan yang tidak konvensional. Meskipun mungkin terlihat kurang lumrah, namun mereka merasa bahagia dalam menjalankan pola-pola budaya seturut pandangan mereka yang khas ini di dalam sebuah kultur yang dominan. (2) Keanekaragaman perspektif (perspectival diversity). Sejumlah warga masyarakat teramat kritis dalam menyikapi atau menanggapi prinsip-prinsip dan nilai-nilai dari budaya yang dominan dan mereka berupaya untuk menyusun kembali nilai-nilai dan prinsip-prinsip kehidupan tersebut agar menjadi lebih seimbang (tidak berat sebelah dan memberi ruang untuk ‘suara yang lain’). Contohnya, kaum feminis yang mengkritik bias-bias patriarkal yang sudah mengurat akar dalam struktur dan budaya masyarakat di mana mereka hidup. Kaum fundamentalis religius mengkritik orientasi sekuler dari masyarakatnya. Kaum pecinta lingkungan mengkritik pandangan yang terlalu berpusat pada manusia dan mengeksploitasi alam (pandangan antropomorfis dan teknosentris), sementara orang kulit hitam mengkritik bias rasisme. Kelompok-kelompok masyarakat ini tidak bisa disebut subkultur karena mereka mempertanyakan dan menantang pondasi paling dasar dari kultur yang yang eksis sampai saat itu, dan mereka pun bukan komunitas budaya yang khusus yang hidup seturut nilai-nilai dan pandangan-pandangan tertentu tentang dunia yang hanya dianut oleh kelompok mereka dan tidak oleh kelompok lain. Sebaliknya, mereka mengembangkan perspektif yang khas tentang bagaimana kultur bersama itu harus ditata ulang, di-rekonstitusi. (3) Keanekaragaman komunal (communal diversity). Di dalam masyarakat modern juga terdapat sejumlah komunitas yang sadar-diri, yang cukup rapi terorganisasi dan yang percaya sekaligus menghidupi kepercayaan itu lewat praktek-praktek tertentu secara berbeda-beda. Yang termasuk golongan ini adalah kaum imigran yang baru saja datang, sejumlah komunitas yang sudah cukup lama berdiri dan mapan, seperti kaum Yahudi, kaum Gipsi, komunitas-komunitas religius yang beraneka ragam, dan kelompok-kelompok budaya yang dibatasi secara teritorial seperti penduduk asli (adat) sebuah daerah, kelompok Basques di Spanyol, dan Québecois di Kanada. Golongan ketiga ini disebut keragaman komunal.
Jadi, ringkasnya, menurut Parekh, dalam masyarakat modern sekarang ini (contemporary modern society) ada tiga kategori keaneka-ragaman golongan yang hidup dan mewarnai masyarakat, yaitu (1) keanekaragaman subkultur, (2) keanekaragaman perspektif dan (3) keanekaragaman komunal. Masyarakat yang mempunyai ketiga unsur golongan ini dalam komposisinya, dan terutama yang menunjukkan keanekaragaman tipe yang kedua dan ketiga, disebut Parekh sebagai “masyarakat multikultural.” [ii]
Dengan demikian, masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mencakup dua atau lebih komunitas budaya seperti dimaksud di kategori ketiga (keanekaragaman komunal). Ada dua model kemungkinan untuk menanggapi kemajemukan budaya ini. Pertama, kemajemukan dipersilakan dan bahkan dirayakan. [iii] Kemajemukan dianggap sentral untuk mengembangkan pemahaman diri baik individu maupun warga masyarakat. Kemajemukan dihormati, tidak hanya lewat tutur kata melainkan juga lewat hukum dan kebijakan yang sengaja dibuat untuk menjamin kemajemukan tersebut. Kedua dengan mengembangkan kebijakan asimilasi, di mana kemajemukan budaya, dengan satu atau lain cara, diupayakan untuk dilebur (diasimilasi) ke dalam budaya yang dominan (mainstream), entah sebagian saja atau seluruhnya. Model tanggapan yang pertama, disebut multikulturalis, sementara model tanggapan yang kedua disebut monokulturalis. Multikulturalitas dengan demikian mengacu pada fakta kemajemukan budaya (cultural plurality) sementara multikulturalisme adalah tanggapan normatif terhadap fakta tersebut [iv].
Multikulturalisme sebagai kebijakan publik yang resmi diberlakukan oleh negara diadopsi sejak tahun 1970 di beberapa negara Eropa dan Amerika (Utara). Kanada mengadopsi multikulturalisme pada tahun 1971, sementara Swedia pada 1975. Secara khusus, secara historis, kita akan mencermati proses bagaimana sampai Kanada mengadopsi kebijakan multikulturalisme ini. [v]
Mengikuti rekomendasi dari the Royal Commission on Bilingualism and Biculturalism, sebuah pemerintahan khusus yang dibentuk sebagai tanggapan atas permintaan minoritas orang Kanada yang berbicara dalam bahasa Perancis (yang terpusat di Provinsi Quebec), Kanada mulai mengakui fakta multikultural dalam masyarakatnya. Laporan dari komisi tersebut menyarankan agar pemerintah Kanada seyogianya mengakui Kanada sebagai masyarakat dua bahasa dan dua kultur (yaitu Inggris dan Perancis) dan wajib menelurkan sejumlah kebijakan untuk melindungi karakter khas ini. Namun “bikulturalisme” (pandangan ‘dua kultur’) diserang dari berbagai penjuru karena dipandang tidak mengakomodasi kekhasan sejumlah kultur lain yang bukan turunan Perancis dan bukan juga turunan Inggris yang populer disebut "Third Force" Canadians. Bikulturalisme tidak sejalan dengan realitas lokal di provinsi-provinsi bagian Barat Kanada, di mana populasi orang Perancis dianggap kecil bila dibandingkan dengan minoritas budaya yang lain.
Maka, untuk mengakomodasi aspirasi ini, rumusan “dua bahasa dan dua kultur (bilingualism and biculturalism) diganti menjadi “dua bahasa dan multikulturalisme” (bilingualism and multiculturalism). Pemerintahan Partai Liberal yang dipimpin oleh Pierre Trudeau kemudian mengusulkan "Kebijakan Multikulturalisme dalam Kerangka Bilingual” ini kepada DPR – nya Kanada pada 8 Oktober 1971. Inilah cikal bakal dari Canadian Multiculturalism Act, yang disetujui dan diberlakukan sebagai hukum positif di Kanada pada 21 Juli 1988. Secara simbolis, legislasi ini mengafirmasi bahwa Kanada adalah sebuah negara-bangsa yang bersifat multikultural, dan negara pertama di dunia yang secara eksplisit meratifikasi kebijakan ini menjadi hukum positif. Di level yang lebih praktis, dana dari pemerintah federal lalu didistribusikan kepada kelompok-kelompok etnis untuk membantu mereka melestarikan kekhasan kultur mereka. Proyek-proyek yang biasa didanai oleh pemerintah federal meliputi, misalnya, kompetisi tari daerah dan pembentukan pusat-pusat komunitas etnis, tempat orang bisa berkumpul dan mendiskusikan kekhasan kekayaan suku / etnis mereka, serta rencana-rencana pelestarian kekhasan itu.
Kebijakan ini, meskipun pada awalnya banyak mendapat sorotan tajam dan kritik dari partai oposisi, ternyata dalam perjalanan waktu dilihat sebagai sesuatu yang positif. Kebijakan multikulturalisme dipandang mendorong ke arah persatuan bangsa lewat meruntuhkan sekat-sekat sosial – budaya antar etnis dan kelompok minoritas. Dengan kata lain, identitas nasional diperkuat dengan cara mengikat warganegara mereka di bawah satu payung komunitas moral yang tunggal. Kebijakan multikultural ditambahkan ke dalam konstitusi Kanada 1982, bagian ke-27 dari Piagam Hak-hak dan Kebebasan Kanada (the Canadian Charter of Rights and Freedoms).
Diane Ravitch, seorang tokoh pendidikan USA dan profesor di New York University's Steinhardt School of Education menggambarkan sifat kebijakan multikulturalisme yang diadopsi Kanada sebagai baik multikulturalisme pluralistik maupun multikulturalisme partikularis. Multikulturalisme pluralistik melihat setiap kultur atau subkultur dalam masyarakat sebagai penyumbang aspek-aspek kultural yang unik dan berharga untuk keseluruhan kultur negara-bangsa. Sementara multikulturalisme partikularis lebih berfokus pada pelestarian kekhasan (distinctions) yang ada di antara beranekaragam kultur.
Pada level praktis, kebijakan multikultural yang diterapkan pemerintah bisa meliputi:
*) pengakuan akan kewarganegaraan jamak (multiple citizenship)
*) dukungan pemerintah atas surat kabar, acara televisi dan siaran radio dalam bahasa-bahasa yang dipakai oleh kaum minoritas.
*) dukungan atas festival, hari libur dan perayaan-perayaan publik lainnya yang diselenggarakan oleh kelompok minoritas.
*) penerimaan atas tidak seragamnya pakaian di sekolah, militer dan masyarakat secara lebih luas atas dasar keunikan tradisi dan agama.
*) mendukung musik dan karya-karya seni yang dibuat dan dipertunjukkan oleh budaya minoritas.
*) membuat program-program yang membuka akses dan kemudahan untuk kaum minoritas merepresentasikan diri mereka dalam politik, pendidikan, dan dunia kerja.
Akan tetapi, meskipun mengadopsi multikulturalisme sebagai kebijakan resmi negara, tidak berarti bahwa pemerintah Kanada tidak mendukung asimilasi struktural. Artinya, kelompok-kelompok minoritas seperti kaum pendatang (imigran) dihimbau untuk berpartisipasi di dalam aktivitas dan kehidupan masyarakat yang lebih luas daripada sekedar tinggal aman dan membangun ghetto (perkampungan eksklusif) mereka sendiri. Kelompok-kelompok minoritas juga dianjurkan untuk mempelajari bahasa Inggris dan/atau Perancis agar bisa berkomunikasi lebih luas lagi dengan saudara-saudara mereka.
Demikian sekilas sejarah perkembangan istilah, sekaligus paham dan kebijakan multikulturalisme dari negeri nun jauh di utara benua Amerika.. Pertanyaannya, apakah semua penggambaran tentang sejarah dan esensi dari multikulturalisme di atas sudah cukup memadai untuk membuatnya layak diterapkan ke dalam konteks negara-bangsa dan lingkup budaya yang lain? Apakah multikulturalisme tidak menyimpan potensi konflik atau problematika ‘gesekan’ antar kelompok? Bagaimana dengan tempat dan peran perempuan dalam model paham (ideology) dan kebijakan multikulturalisme? Apakah multikulturalisme mendukung dan memajukan isu kesetaraan jender serta menghapuskan kekerasan & penindasan terhadap perempuan sebagaimana diperjuangkan kaum feminis di berbagai belahan bumi, atau sebaliknya? Marilah kita melihat secara dekat aplikasi dari multikulturalisme dan problematika teoretis-praxis di lapangan yang muncul sebagai konsekuensi dari penerapan multikulturalisme sebagai sebuah cara menata masyarakat yang semakin majemuk.
(2) Multikulturalisme vs. agenda perjuangan kaum feminis?
Fransisco Budi Hardiman [vi], dalam bagian kata pengantar untuk terjemahan karya Will Kymlicka, mengatakan bahwa persoalan keadilan dan tegangan antara hak-hak asasi manusia (yang menjamin hak-hak dasar seorang individu layak hidup sebagai individu yang bermartabat, dan ini dijamin lewat Deklarasi HAM Universal yang dirumuskan pada 10 Desember 1948) dengan hak-hak kaum minoritas (yang dirumuskan sebagai group rights / hak-hak kelompok dalam terminologi Kymlicka) adalah problematika terbesar utama yang dihadapi oleh perspektif multikulturalisme, baik sebagai kerangka teori yang memadai, maupun dalam hal aplikasi atau penerapannya. Mengutip Charles Taylor dalam Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition (1994), Budiman mengatakan bahwa suara-suara tuntutan dari kelompok-kelompok minoritas etnis, seperti kaum Afro-Amerika, Asia-Amerika, Indian, Feminis, dan kelompok-kelompok minoritas lainnya, menyerukan keinginan mereka untuk mendapatkan hak-hak ikut menentukan pengambilan keputusan-keputusan publik, seperti kebijakan sosial dan kurikulum pendidikan sekolah maupun perguruan tinggi. Hak-hak itu disebut hak untuk ‘menentukan diri sendiri’ (self-determination) sebagai sebuah minoritas kultural, dan politik yang diajukan dan diperjuangkan adalah politik pengakuan publik (politics of recognition). Hak-hak penentuan diri dari minoritas kultural ini bila ditarik lebih jauh lagi merupakan tuntutan untuk pengakuan atas identitas kolektif, atas kepentingan kelompok, atas orientasi nilai atau pandangan hidup (Weltanschauung) kelompok. Dan tuntutan atas pengakuan publik ini tidak bertentangan dengan prinsip kesamaan (equality principle)---salah satu prinsip dasar dalam teori politik liberal modern--- melainkan justru terkait erat dengannya, yakni kesamaan dalam pengakuan akan identitas. Sejalan dengan itu, seperti ditegaskan oleh Bhikhu Parekh [vii], kaum perempuan, gay, minoritas budaya dan lain-lain tidak bisa mengekspresikan dan mewujudkan identitas mereka tanpa adanya kebebasan penentuan-diri, iklim yang kondusif untuk keanekaragaman (diversity), peluang dan sumber daya material, pengelolaan dan penataan hukum yang sesuai.
Hak penentuan diri dari masing-masing minoritas etnis atau kultural yang diperjuangkan lewat politik pengakuan publik inilah yang rupanya disoroti secara khusus, dan dibahasakan kembali dalam konteks ke-Indonesia-an dalam sebuah buku yang disunting oleh Hikmat Budiman, Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia (Jakarta: The Interseksi Foundation, Agustus 2005). Dalam buku ini, para penulisnya mencoba mengangkat kegamangan untuk membicarakan dan menerapkan kebijakan multikulturalisme dalam konteks Indonesia. Buku ini membicarakan multikulturalisme dengan pendekatan bottom-up (dari bawah ke atas) alih-alih top-down yaitu mengangkat realitas empiris lima masyarakat minoritas di lima daerah di Indonesia, yakni komunitas Sedulur Sikep (orang Samin) di Jawa, (ditulis oleh M Uzair Fauzan), pemeluk Wetutelu, Wet Semokan, Nusa Tenggara Barat (ditulis oleh Heru Prasetia), masyarakat Dayak Pitap, Kalimantan Selatan (ditulis oleh Riza Bachtiar), masyarakat di Cagar Alam Wana, Morowali, Sulawesi Tengah (ditulis oleh Ignatius Yuli Sudaryanto), dan masyarakat Tanah Toa, Bulu Kumba, Sulawesi Selatan (ditulis oleh Samsurijal Adhan). Pendekatan dari bawah ke atas ini adalah ciri penting dari pendekatan kualitatif yang berupaya membangun suatu model di akhir kajian. Hal ini membedakan dari perbincangan mengenai multikulturalisme dan minoritas yang dimulai dari konsep yang dibawa dari luar untuk menjelaskan realitas di lapangan. [viii] Akan tetapi, persis di bagian akhir buku ini kita lamat-lamat mendengar gema kegamangan yang sama. Ketika kita mau mencoba mengangkat model penerapan multikulturalisme dari bawah, seperti yang diterapkan di salah satu komunitas adat / budaya yang diangkat dalam buku ini, kita bertanya, apakah lalu model itu mungkin dan sah untuk diterapkan di komunitas adat, budaya dan etnis yang lain? Katakanlah misalnya, secara konkret, dalam hal penguatan identitas masyarakat adat Dayak Pitap, khususnya dalam problematika tanah dan kepemilikan atasnya, mereka berpaling kembali pada penguatan lembaga keadatan Lembaga Musyawarah Adat Dayak Pitap, dan “penguatan identitas adat kepitapan.” [ix] Dan garis kebijakan ini pun secara legal prosedural dijamin oleh UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperinci lagi lewat peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999 tentang pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan PERDA No.15 tahun 2000 tentang lembaga Adat. Betapapun solusi atas problem identitas yang erat terkait dengan pemilikan dan pengelolaan tanah (dan sumber daya-sumber daya alam yang berada di atasnya) dalam hal ini nampak pro-perspektif multikulturalis, namun setidaknya masih menggantung tersembunyi 1 problem besar yang paling tidak bisa dipandang sebagai hipotesis. Apakah penguatan Lembaga Musyawarah Adat Dayak sudah cukup representatif bagi semua warga adat Dayak? Lebih tajam lagi, apakah Tata-Alir Pengambilan Keputusan Barumbuk Masyarakat Adat Dayak Pitap [x] sudah dengan sendirinya menjamin keadilan jender bagi perempuan dalam masyarakat adat Dayak Pitap? Apakah suara perempuan (mungkin saja mereka minoritas dalam Masyarakat Adat Dayak Pitap) terwakili dalam Alur Pengambilan Keputusan Barumbuk Masyarakat Adat Dayak Pitap? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tidak terungkap dalam esai yang ditulis oleh Riza Bachtiar. Namun, sekurang-kurangnya, penguatan kebijakan yang pro-multikulturalisme, yang dalam hal ini nampak dalam melindungi hak masyarakat Adat, tidak serta-merta menjamin adanya kesetaraan dan keadilan jender bagi perempuan yang tinggal di dalam masyarakat adat tersebut. Bagaimana kita melihat ketegangan antara kebijakan pro-multikulturalisme dan perjuangan kaum feminis akan kesetaraan dan keadilan jender ini secara lebih luas?
Esai dari Susan Moller Okin [xi] berjudul “Is Multiculturalism Bad for Women?” [xii] mencoba menempatkan perspektif multikulturalisme dalam kerangka kritik feminis. Bagi Okin, salah satu implikasi penerapan kebijakan multikulturalis dalam sebuah negara, dengan memberikan hak-hak istimewa kepada kelompok-kelompok budaya minoritas (group rights) bisa memunculkan bahaya baru yaitu pelanggengan struktur dan sistem budaya patriarkal yang menindas perempuan dalam kultur tersebut. Dengan mengambil contoh lintas-budaya, dari Amerika Latin, Asia Selatan dan beberapa wilayah Afrika Barat, Okin menengarai ada 5 praktek kultural yang tidak mengindahkan kesetaraan dan keadilan jender atau yang menempatkan perempuan di bawah kontrol laki-laki, yaitu (1) klitoridektomi (sunat perempuan) (2) perkawinan paksa (di antaranya korban perkosaan yang harus menikahi pemerkosanya) ; (3) pernikahan usia dini (child marriages) (4) sistem perceraian yang bias dan tidak menguntungkan posisi perempuan; (5) poligami.
Secara garis besar, namun tetap menggunakan contoh-contoh yang konkret dan lintas-budaya, Okin mengkritik pendekatan “pemberian hak-hak istimewa bagi kelompok minoritas (etnis, budaya, bangsa) untuk menentukan dirinya sendiri” seperti yang diajukan Kymlicka. Ia mengajukan dua keberatan pokok atas konsepsi multikulturalisme Kymlicka, yaitu: (1) Para pendukung hak-hak kelompok untuk minoritas cenderung memandang kelompok-kelompok budaya secara tunggal (satu dimensi atau monolit) saja. Mereka cenderung memberikan perhatian lebih pada perbedaan di antara kelompok-kelompok budaya yang satu dengan lainnya daripada perbedaan-perbedaan di dalam sebuah kelompok minoritas budaya/etnis. Pengabaian aneka perbedaan di dalam kelompok budaya/etnis ini dengan sendirinya juga mengabaikan fakta bahwa kelompok budaya yang minoritas—seperti juga masyarakat luas tempat kelompok budaya itu hidup dan berinteraksi dengan kelompok-kelompok budaya lainnya--juga menyimpan potensi, atau bahkan cenderung sudah mengaktualisasikan (!), bias atau kekerasan jender. (2) Para pendukung kebijakan hak-hak kelompok minoritas juga cenderung mengabaikan fakta yang terjadi di ranah privat (rumah tangga). Argumen pro kebijakan hak-hak kelompok yang mengatakan bahwa individu membutuhkan “kultur mereka sendiri” di mana di dalam kultur itu barulah orang per orang bisa mengembangkan rasa kepercayaan dan harga diri, serta hak penentuan diri akan hidup baik semacam apa yang mau mereka ikuti, dinilai Okin masih pincang. Argumen semacam ini belum menyertakan pembacaan atas perbedaan peran yang “dipaksakan” (peran yang diciptakan secara sosial-kultural dibuat menjadi seolah-olah alamiah) oleh kelompok terhadap anggota-anggotanya. Argumen ini juga belum menyentuh konteks persoalan “dalam ruang semacam apakah kesadaran orang akan harga diri dan hak penentuan dirinya terbangun dan di manakah kultur itu pertama kali dipelajari dan diwariskan.” Jawaban atas problematika terakhir ini mau menunjuk pada ranah domestik atau hidup keluarga. Dengan tepat Okin membahasakannya seperti ini, “Rumah adalah (tempat) di mana bagian terbesar dari isi budaya itu dipraktekkan, dilestarikan dan dialih-turunkan kepada kaum muda. Distribusi tanggungjawab dan kekuasaan di rumah mempunyai dampak yang cukup besar terhadap siapa yang bisa berpartisipasi di dalam dan mempengaruhi segi publik dari kehidupan budaya. Semakin besar sebuah budaya menuntut atau berharap agar perempuan tetap tinggal dan ‘cukup’ berpartisipasi di dalam ruang domestik, semakin kecil kemungkinan mereka mencapai kesetaraan dengan laki-laki di bidang kehidupan yang lain (yang publik)”
Okin memberi beberapa contoh yang cukup meyakinkan untuk menjelaskan ‘penindasan laki-laki terhadap perempuan’ (baca: praktek-praktek budaya tertentu adalah sarana yang dipakai lelaki untuk mengontrol perempuan) di dalam sebuah budaya minoritas. Misalnya, kasus klitoridektomi yang masih terjadi di negara Pantai Gading dan Togo. Dikatakan bahwa praktek penyunatan klitoris perempuan yang merupakan bagian dari “warisan budaya kami” berfungsi untuk “menjamin keperawanan seorang perempuan sebelum pernikahan dan kesetiaannya setelah menikah dengan membatasi seks hanya sebagai kewajiban pernikahan” dan bahwa “peran seorang perempuan dalam kehidupan adalah merawat anak-anaknya, menjaga kebersihan rumah dan memasak. Jika klitorisnya tidak dipotong, maka ia mungkin akan berpikir tentang mengejar kesenangan dan kepuasan seksualnya sendiri.” [xiii] Juga praktek poligami yang dilakukan oleh imigran dari Mali yang tinggal di Perancis, yang mengatakan bahwa praktek poligami dilakukannya karena “kalau satu istrinya sakit, masih ada yang lain yang merawat dirinya.” Selain itu, praktek pemaksaan (atau setidaknya ditawarkan kepada) perempuan untuk menikahi lelaki yang memperkosanya---yang ditemukan Okin terjadi di sejumlah daerah di Asia Selatan dan Afrika Barat---juga merupakan praktek budaya yang dilegalkan, karena akan memulihkan kehormatan keluarga, sekaligus sebagai kompensasi atas “barang rusak” (si gadis dipandang sebagai cemar dan tak lagi layak untuk dinikahi siapapun).
Lalu, solusi semacam apa yang ditawarkan oleh Okin agar konflik antara agenda perjuangan kaum feminis (di antaranya: memperjuangkan kesetaraan dan keadilan jender dan penghapusan kebijakan atau gugus tindakan atau praktek-praktek yang mendiskriminasikan dan mengorbankan perempuan) tidak bertentangan dengan agenda multikulturalisme? Ada 2 model solusi dari Okin yang bisa saya petakan di sini. Pertama: teoretis – wacana. Kedua: politis – praktis. Dalam hal wacana, Okin menganjurkan agar para pemikir liberal yang mendukung pemberian hak-hak kultural pada kelompok minoritas perlu lebih mencermati ketidakadilan yang terjadi di dalam kelompok-kelompok minoritas yang mereka bela itu. Ketidakadilan itu, secara lebih spesifik lagi, harus dilihat dalam relasi ketidakadilan di antara jenis kelamin yang berbeda (inequalities between the sexes) karena sifatnya yang tidak publik, dan karenanya lebih sulit dikenali (lebih sering tersamar). Dalam hal politik dan kebijakan, Okin menganjurkan agar kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara (sebagai wadah hidup dari aneka macam kelompok minoritas) untuk menanggapi tuntutan dan kebutuhan kelompok minoritas budaya harus melihat apakah kebijakan itu sudah mencerminkan kepentingan dari anggota atau bagian dari kelompok itu yang kurang mempunyai kuasa dan suara (dalam hal ini tentunya Okin bermaksud ‘kaum perempuan’). Dalam hal ini, di dalam lingkup kelompok budaya itu sendiri pun harus bisa mengakomodasi kepentingan dan suara kaum perempuan muda (karena kaum perempuan yang sudah tua cenderung di-kooptasi oleh pemimpin atau tetua kelompok, yang biasanya laki-laki, untuk melanggengkan struktur penindasan dan ketidaksetaraan dalam kelompok itu) dalam menegosiasikan hak-hak kelompok yang diajukan dan diminta untuk diakui secara publik – legal. Itulah dua saran dan rekomendasi yang diajukan Okin untuk ‘mendamaikan’ konflik antara kebijakan multikulturalisme dengan perjuangan agenda kaum feminis.
Sebagai catatan akhir dari bagian kedua ini, kita perlu membaca usulan solusi yang ditawarkan oleh Okin sebagai kerangka kerja teoretis – konseptual yang berguna untuk melihat, membaca dan memetakan sejumlah model dan pola ketidakadilan jender yang juga terjadi dalam masyarakat Indonesia kontemporer yang (tetap) multikultural dan multietnis. Penggambaran lebih lanjut tentang relevansi sekaligus aktualisasi wacana multikulturalisme dan tantangan feminis terhadapnya dalam konteks Indonesia akan kita bahas di bawah ini.
(3) Apa relevansi diskusi tentang multikulturalisme untuk perjuangan agenda kaum feminis di Indonesia?
Setelah membaca sejumlah ketegangan dalam hal penerapan kebijakan multikulturalisme sebagai idea normatif untuk menanggapi fakta kebhinnekaan, dan tantangan dari kaum feminis pada bagian kedua paper, maka pada bagian ketiga paper ini kita diajak kembali untuk bertanya : (1) Secara teoretis, bagaimana agar konsepsi multikulturalisme tidak menjadi sarana pembenaran bagi anarkisme kelompok yang sarat dengan kepentingan-kepentingan khususnya masing-masing yang menuntut privilese dari negara untuk melindunginya? (2) Secara praktis – kontekstual, apakah ketegangan multikulturalisme vs. agenda kaum feminis juga nampak dalam konstelasi politik dan kehidupan budaya masyarakat Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan yang pertama, saya mengajak kita untuk menengok pembahasaan B. Hari Juliawan [xiv], tentang perlunya kita melihat kembali “ideologi politik yang memungkinkan multikulturalisme berfungsi”. Ideologi politik yang dimaksud adalah demokrasi liberal, sebagaimana diusulkan oleh John Rawls [1993], Charles Taylor [1994], Will Kymlicka [1995], dan Bhikhu Parekh [2000]. [xv] Mengapa ideologi politik yang memungkinkan multikulturalisme terjamin kehidupannya dalam sebuah ruang bernama negara-bangsa modern tanpa menjadi anarkisme kelompok-kelompok yang menyuarakan dan menuntut perlakuan berbeda (termasuk privilese) atas dasar perbedaan / ke-minoritas-an mereka adalah demokrasi liberal? Jawabnya, demikian Juliawan, karena “Demokrasi liberal memungkinkan tiap orang untuk mengekspresikan diri secara bebas dan mengejar pemenuhan identitas tanpa khawatir menjadi sasaran penindasan.” Seorang ahli hukum dari Yale University, Amy Chua (2003) [xvi] mengkhawatirkan “demokrasi dan pasar bebas secara niscaya akan memenangkan mayoritas sambil mengeksploitasi minoritas yang kuat secara ekonomi. Bila ini yang terjadi, yang digagalkan adalah prinsip kebebasan mengekspresikan diri karena minoritas di bawah dominasi mayoritas tidak lagi punya kebebasan untuk mewujudkan identitas khususnya. Dalam hal ini, demokrasi harus dijaga ketat sebagai mekanisme yang mempertahankan kebebasan berekspresi, sehingga tidak mengurangi hak tiap individu dan kelompok untuk mewujudkan kekhususannya.”
Oleh karena itu, perspektif multikultural yang bergandengan dengan perjuangan feminis akan berarti sebagai berikut: gerakan kaum perempuan untuk melawan hegemoni negara dan agama dan budaya monolotik / ideologi patriarkal sekaligus ideologi pasar bebas yang cenderung homogen dan tidak menghargai pluralitas kebebasan berekspresi (dalam hal budaya, politik, seni, dll.). Dalam ekspresi budaya seperti seni, tentu saja kita akan melihat lebih banyak lagi warna-warni representasi perempuan, seperti dalam siasat perempuan Tayub, gandrung, perempuan gerwani, perempuan Madura, transformasi tata nilai budhisme, dan aneka representasi perempuan dalam karya sastra Indonesia kontemporer (pasca Orde Baru) [xvii]. Jika sedari tadi kita bergerak di tataran politik – legal dan wacana intelektual tentang konsep multikulturalisme, minoritas, dan agenda perjuangan kaum feminis untuk menggolkan keadilan dan kesetaraan gender, maka mari kita lihat bahwa strategi perlawanan kaum perempuan (tidak harus selalu kaum aktivis feminis, tapi bisa juga perempuan yang sudah tercerahkan, teremansipasi dari struktur penindasan yang biasanya diciptakan dan dilanggengkan oleh kaum laki-laki) juga bisa bergerak di level seni, seperti seni tari, seni arsitektur (seni bangunan), dan susastra. Melani Budianta dalam esainya “Perempuan, Seni Tradisi, dan Subaltern: Pergulatan di Tengah-tengah Lalu Lintas Global-Lokal” [xviii] mengatakan bahwa perempuan dalam pertunjukan seni tradisional Indonesia seperti tandak, ronggeng, tayub mengalami beraneka macam fase negosiasi dan resistensi terhadap kebijakan kebudayaan dan lapis identifikasi yang bertolak dari oposisi biner. Dengan berpijak dari model subaltern Gramsci yang lalu diteruskan oleh Spivak, Budianta mengatakan bahwa tidak selamanya kaum subaltern (dalam hal ini perempuan dalam posisi yang dimarjinalkan dan dibungkam suaranya) berada dalam posisi sebagai korban (viktim) yang menunggu untuk diselamatkan atau diratapi. Lewat proses negosiasi atas oposisi biner antara modernitas >< tradisi, misalnya, “kelompok-kelompok pertunjukan seni tradisi yang menggunakan media dan teknologi modern, meminjam lagu serta mencampur gerak tari dengan apa yang ada di pasar populer, maka dikotomi yang simplistik antara modern dan tradisional tidak dapat lagi bertahan.” Terlebih, pengakuan akan profesionalitas para penari tayub dengan melibatkan para pejabat pemerintahan lokal dalam upacara kelulusan mereka (di mana mereka memperoleh gelar diploma profesional) menandai sebuah model kompromi dengan kebijakan negara dalam mengatur dan menata kebudayaan secara administratif. Dan kompromi ini bisa juga dilihat sebagai sebuah strategi para penari tayub untuk bisa bertahan (survive) di tengah aneka macam subordinasi posisi subjek mereka (dari negara, dari kaum agamawan dan dari kaum modernis). Dengan kata lain, penegasan identitas dan bersuaranya kaum subaltern tidak selalu berlangsung secara konfrontatif, melainkan juga secara negosiatif. Strategi perlawanan tidak harus berupa konfrontasi langsung dan perombakan total (apalagi jika musuh yang dihadapi masih terlalu kuat), tapi bisa juga secara berlapis dan bertahap (progresif), dan itu dimulai, misalnya, dengan langkah kompromi dan negosiasi. Meskipun demikian, di bagian akhir tulisannya, Budianta mewanti-wanti kita untuk tidak terjebak dalam esensialisme subaltern, dengan mengatakan bahwa “Perempuan Indonesia adalah entitas yang heterogen, termasuk perempuan dalam sayap kanan dan sayap kiri, perempuan dalam kelompok yang religius dan sekuler, dengan perspektif tradisional dan liberal. Bangkitnya fundamentalisme, popularitas poligami dan norma-norma konservatif lainnya yang mendapat dukungan dari kelompok-kelompok sipil perempuan dalah fenomena yang harus dihadapi oleh kaum feminis liberal.” [xix]
Untuk menjawab pertanyaan kedua yang diajukan di atas, kita akan melihat bahwa strategi perlawanan perempuan terhadap hegemoni negara dan agama dalam penguasaan ruang publik dan ruang untuk berwacana mengenai perbedaan dan keanekaragaman, yang konsekuensi praktis dari hegemoni ini adalah pembungkaman dan penindasan model baru terhadap perempuan, pada tahun-tahun belakangan ini semakin mengemuka lewat dua kasus kontroversial yaitu pengajuan Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Anti Porno Aksi (selanjutnya disingkat RUU APP) untuk disahkan menjadi undang-undang, serta kasus poligami. Kita tidak akan masuk ke dalam perdebatan panjang lebar tentang kedua contoh kasus besar ini [xx], namun cukuplah kiranya untuk mengajukan 3 refleksi singkat atas gejala ini:
(1) Secara politis, baik isu RUU APP maupun isu poligami merupakan salah satu dari sejumlah strategi negara (dalam hal ini ‘negara’ direpresentasikan oleh sekelompok kecil anggota partai yang berpandangan agama tertentu dalam lembaga legislatif / DPR) untuk mengalihkan perhatian kaum perempuan dari isu yang lebih urgen untuk dijadikan Undang-undang, seperti Undang-undang Anti-Trafiking dan penerapan serta review atas UU PKDRT (Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga). [xxi]
(2) Secara budaya, isu RUU APP dan poligami adalah sebuah model homogenisasi budaya dan imperialisme budaya dengan wajah baru, di mana kebhinnekaan berekspresi mau dipangkas, dan kebhinnekaan budaya yang ada di Indonesia mau dijadikan budaya monolit patriarkal yang mengekang sekaligus memasung (kembali) hak perempuan untuk mendefinisikan tubuhnya.
(3) Secara sosial, produk hukum RUU APP menempatkan tubuh perempuan kembali pada dua wilayah yang sama sekali tidak menguntungkan, yaitu wilayah sakral dan dan wilayah profan yang saling bertentangan. Pemisahan wilayah publik dan privat adalah istilah lain yang merupakan refren dari koor modernitas yang bergerak dalam kerangka oposisi biner. Peran sosial perempuan (lagi-lagi) mau dibatasi pada wilayah profan-domestik-privat, dan ini merupakan strategi subordinasi dari kaum subaltern seperti sudah dibahas di atas.
Akan tetapi, 3 refleksi yang bernada pesimis tentang isu RUU AP dan poligami inibisa juga dilihat sebagai momen yang tepat untuk menggalang solidaritas bersama di antara kaum perempuan yang berbeda-beda, dan yang menekankan ‘perbedaan’ dan ‘keanekaragaman pengalaman’ sebagai titik berangkat perjuangan. Pembentukan Aliansi Mawar Putih dan Aliansi Bhineka Tunggal Ika bisa dilihat sebagai starategi politis (betapapaun sementara sifatnya) untuk menanggapi isu kontroversial yang potensial memecah-belah persatuan bangsa. Pembentukan Aliansi semacam ini perlu diapresiasi dan bisa dijadikan model “membangun gerakan solidaritas bersama” di atas kekayaan perbedaan dan keanekaragaman pengalaman. Ketertindasan dan ketidakadilan menjadi kunci utama yang mengikat aliansi-aliansi semacam ini, di hadapan musuh besar bersama, yaitu (1) negara dengan paradigma mengatur dan menyeragamkan perbedaan untuk menjamin (secara semu) stabilitas nasional dan (2) radikalisasi agama, yang mengatasnamakan suara mayoritas untuk membungkam suara-suara kecil subaltern yang jamak dalam hal penafsiran kitab, sekaligus politisasi agama (membawa simbol-simbol agama dan menyerukan klaim-klaim absolutis untuk melanggengkan status quo kekuasaan) dalam ruang publik modern.
Selain persoalan ini, sama menariknya untuk mencermati gejala penguatan isu kesetaraan jender dalam sejumlah masyarakat adat, seperti yang terjadi dalam seminar sehari tentang kedudukan dan peranan perempuan Batak, Selasa 26 September 2006 yang lalu, di Balai Data Kantor Bupati Taput. Saur Sitindaon, Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tarutung, salah satu pembicara dalam seminar itu, mengatakan hal berikut “Hukum adat Batak yang tidak menunjang, mendorong kesetaraan dan keadilan gender perlu ditinggalkan karena bertentangan dengan hak azasi manusia. Kedudukan perempuan sangat lemah dibanding laki-laki. Ini suatu indikasi adat Batak diskriminatif terhadap perempuan. Sementara dalam hukum nasional kedudukan seimbang baik dalam hak mau pun kewajiban.” Hukum adat manakah yang dimaksud oleh Sdr. Saur Sitindaon? Ia menyinggung soal pembagian harta warisan yang menurutnya belum selaras dengan ungkapan pepatah Batak ‘Dompak marmeme anak, dompak marmeme boru’ (Kedudukan anak dan perempuan adalah sama). Melihat fakta kasus di pengadilan, terbukti bahwa lebih sering pihak laki-laki lah yang dianggap lebih sah dan berhak menjadi pewaris harta nenek moyangnya. Selain Saur Sitindaon, Wakil Bupati Taput, Drs. Frans A. Sihombing, MM mengatakan bahwa harkat dan martabat perempuan Batak dalam adat Batak amatlah dihargai dan dijunjung tinggi. Ada pepatah yang mengatakan bahwa perempuan adalah penentu suksesnya keluarga (Boru ni raja, Parsonduk Bolon, Sitiop Puro). Selain dua hal ini, representasi perempuan dalam lembaga legislatif tingkat daerah (DPRD) pun masih jauh di bawah yang diharapkan dan diundang-undangkan, karena sudah tercetak stereotip diskriminatif terhadap perempuan di kepala para politisi. Sitindaon menyebut bahwa dari 30 anggota DPRD Taput, hanya dua perempuan yang duduk. Sementara menurut UU No. 12 tahun 2003, perempuan yang menduduki kursi DPRD seharusnya mencapai kuota sampai 30 persen. Mengapa kuota ini tidak tercapai? Menurutnya, hal ini terjadi karena para pimpinan Parpol tidak memberi kesempatan kepada perempuan. “Mereka hanya memberi nomor urut tidak jadi. Kalau kita konsis maka berikan nomor urut pertama. Jadi bukan hanya omongan saja soal gender tapi pelaksanaannya,” demikian tegasnya. [xxii] Dari kutipan singkat artikel ini, kaum perempuan tidak perlu berkecil hati merasa berjuang sendirian dalam memajukan isu-isu multikulturalis sekaligus feminis, karena ternyata ada juga (meskipun secara jumlah mungkin masih relatif kecil) pejabat-pejabat pemerintah yang berpandangan terbuka dan pro kesetaraan dan keadilan jender.
Selain itu, ‘kita’ (yang dimaksud ‘kita’ di paragraf ini bisa dimulai dari kaum feminis yang memperjuangkan isu multikulturalisme dan pluralisme dalam agenda perjuangan mereka, dan orang-orang yang mempunyai perhatian dan kepedulian menyangkut hal pluralisme dan multikulturalisme, para tokoh pendidikan nasional, para guru dan pakar konseling bagi siswa, serta tak ketinggalan para guru di manapun mereka berada) juga bisa mulai belajar untuk memasukkan perspektif multikultural dalam agenda kurikulum pendidikan kita, entah kurikulum dimengerti secara formal, informal, non-formal, maupun kurikulum yang dipahami sebagai panduan atau garis-garis besar pengajaran nasional. Contoh yang diuraikan secara gamblang dan sistematis oleh Jeffery Scott Mio [xxiii] & Gene I. Awakuni [xxiv] dalam Resistance to Multiculturalism: Issues and Interventions (2000) [xxv] bisa menjadi inspirasi bagi kita, para pendidik dan pencerdas kehidupan bangsa, untuk memperkenalkan dan mengkreasi perspektif multikulturalisme dalam sesi bimbingan dan terapi, juga dalam pembelajaran di ruang kelas. Dalam buku ini, Mio dan Awakuni mencoba untuk menerapkan perspektif multikulturalisme dalam ruang kelas yang berkultur tradisi demokrasi Amerika, yang secara khusus didesain untuk membongkar selubung rasisme dan stereotip yang, betapapun Amerika Serikat dianggap sebagai negara yang modern, ternyata masih bercokol dalam benak anak-anak didik karena pengaruh lingkungan sosial-kultural, pengasuhan orang tua, teman-teman sebaya, dan juga dampak dari media-massa khususnya televisi dan surat kabar. Mio dan Awakuni juga menganalisa mengapa isu multikulturalisme kerap mendapat tentangan (resistensi) di level administratif yaitu dari para pembuat dan pendesain kebijakan kurikulum dan staf dosen serta para pengajar di universitas. Salah satu solusi [xxvi] untuk mengatasi bentuk resistensi semacam ini adalah dengan menawarkan penghargaan (rewards) kepada staf dosen bila mereka berhasil memasukkan isu multikulturalisme ke dalam kerangka kurikulum dan pembelajaran nyata mereka di ruang kelas atau menyertakan kesadaran multikulturalis dalam skema pertumbuhan pribadi (bagi konselor) dan lewat kebijakan-kebijakan sekolah / kampus yang dirancang untuk mendorong semua warga sekolah/kampus (karyawan, (maha)siswa, orangtua, dan guru/dosen) secara positif mengapresiasi dan menghendaki tujuan-tujuan dari multikulturalisme itu sendiri. Hanya saja, perlu diberi catatan khusus untuk upaya-upaya ini, terutama catatan dari kaum feminis, yaitu dengan menyertakan program penyadaran akan ketidakadilan jender dalam masyarakat sekaligus upaya-upaya untuk menggolkan kesetaraan jender dalam moda kurikulum yang dirancang. [xxvii] Namun program penyadaran kesetaraan jender ini pun perlu didialogkan dengan program-program lain seperti menguak selubung stereotip dan prasangka etnis, prasangka agama, prasangka budaya dan sub-budaya, isu kesenjangan sosial dan isu keadilan ekonomi, keterbukaan akses terhadap sumber-sumber informasi, dan beraneka macam program lainnya yang berada di bawah payung multikulturalisme yang kurang lebih bisa dirangkum ke dalam slogan ini: “berbeda kita (jadi) terbiasa, dan pasti bisa!”
KESIMPULAN
Isu multikulturalisme, baik sebagai kerangka wacana maupun sebagai agenda praktis perjuangan politik, tidak perlu diperlawankan dengan agenda feminis yang berupaya untuk memajukan kesetaran dan keadilan jender. Meskipun di sana-sini masih nampak adanya ketegangan konseptual dan praktis antara kedua isu besar ini, namun ada satu hal yang saya lihat bisa menjadi kerangka kerja bersama baik bagi kaum multikulturalis maupun bagi kaum feminis, yaitu: kesadaran akan keanekaragaman budaya, bangsa, kepentingan dan suara sekaligus pengakuan bahwa keanekaragaman itu bisa menyumbang pemahaman akan realitas dan gugus tindakan kita menjadi lebih kaya dan kreatif hendaknya bisa menjadi titik pijak untuk menolak model-model homogenisasi, penyeragaman dan penindasan wajah baru yang dilancarkan oleh siapapun aktornya (negara dan aparatusnya, budaya patriarkal yang dominan dengan para sesepuh dan barisan penjaganya, agama dan agamawan, pasar dan korporasi) .
DAFTAR PUSTAKA
Edi Hayat dan Miftahus Surur (editor), Perempuan Multikultural: Negosiasi dan Representasi, Depok: DESANTARA, 2005.
Hikmat Budiman (editor), Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia, Jakarta: The Interseksi Foundation, Agustus 2005.
Jeffery Scott Mio, & Gene I. Awakuni, Resistance to Multiculturalism: Issues and Interventions, Philadelphia, PA: Brunner/Mazel – Taylor & Francis Group, 2000
Paul Kelly (editor), Multiculturalism Reconsidered, Oxford: Polity Press, 2002.
Ten Chin Liew, Multiculturalism and The Value of Diversity, Singapore: Marshall Cavendish Academic, 2004.
Jurnal Perempuan No. 47, Edisi Mengapa Perempuan Menolak (RUU APP)?, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Mei 2006.
Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Right, New York: Oxford University Press Inc., 1995 (terjemahan ke dalam bahasa Indonesia oleh Edlina Hafmini Eddin dan disunting oleh Widjanarko dan diberi kata pengantar oleh Francisco Budi Hardiman menjadi Kewargaan Multikultural: Teori Liberal mengenai Hak-hak Minoritas, Jakarta: LP3ES, Januari 2003)
Bahan-bahan dari Internet:
http://www.india-seminar.com/1999/484/484%20parekh.htm (What is multiculturalism? by Bhikhu Parekh)
http://www.jai.or.id/jurnal/2002/69/10brt3psu69.pdf (Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural oleh Parsudi Suparlan)
http://www.kenanmalik.com/essays/against_mc.html (Kenan Malik's essay on the problems of multiculturalism)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0304/04/Bentara/229955.htm (Benturan Peradaban, Multikulturalisme, dan Fungsi Rasio oleh Alois A, Nugroho)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/21/pustaka/2374717.htm (Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia oleh Achmad Fedyani Saifuddin)
www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=4474&coid=3&caid=22&gid=1 (Kerangka Multikulturalisme oleh B. Hari Juliawan)
http://www.waspada.co.id/seni_&_budaya/budaya/artikel.php?article_id=44807 (Multikulturalisme dan Agenda Kemanusiaan oleh Yana Syafrie YH)
MULTIKULTURALISME: Solusi atau Ancaman bagi Kesetaraan Jender?
oleh Hendar Putranto
Pengantar:
Belakangan ini kita di Indonesia sedang diresahkan oleh persoalan identitas. Entah itu identitas berwajah etnis (suku), ras, agama, jender (lelaki – perempuan), profesi, atau kombinasi di antara sejumlah identitas tersebut, untuk tidak membuatnya menjadi daftar panjang inventaris. Sebagai contohnya, kita lihat saja beraneka macam demonstrasi yang dilangsungkan di Bundaran Hotel Indonesia selama 5-6 tahun belakangan ini. Isu apa saja yang diusung oleh aneka macam kelompok yang berdemo di sana? Pasti tidak jauh dari isu identitas dan pengakuan “publik” (entah dari negara, pemerintah ataupun masyarakat umum) atas identitas yang disuarakannya. Itu baru satu ruang dan lokasi. Padahal, persoalan identitas di satu sisi menjadi wacana publik yang terbuka untuk diperdebatkan, namun juga, di sisi yang lain, diam-diam dan acapkali jauh dari publikasi media-massa, persoalan ini pun sering menjadi gerundelan di kamar tidur pribadi atau buku harian. Diperdebatkan, mungkin karena kondisi hidup kita begitu majemuk (plural), sehingga keanekaragaman suara yang berseru “Ini identitasku! Ini identitas kami!” seolah-olah seperti orang yang berjualan di pasar tradisional menjelang Lebaran, yang berlomba-lomba menarik perhatian orang yang lewat untuk setidaknya menengok barang dagangan mereka, syukur-syukur membeli. Kemajemukan menjadi kondisi hidup bersama yang tidak bisa kita sangkal, dan persis di titik itulah, di antara simpang-siurnya aneka macam politik identitas, identitas perempuan menjadi salah satu perdebatan kunci yang paling kuat disuarakan sekarang. Identitas perempuan menjadi agenda dari mereka yang menyebut dirinya feminis, juga mereka yang berpikiran simpatik terhadap perjuangan kaum feminis. Namun identitas perempuan ini juga bukan identitas yang tunggal, melainkan majemuk. Atau, dengan kata lain, identitas-identitas para perempuan.
Untuk memperjelas duduk persoalannya, dalam paper singkat ini akan coba dipetakan sejumlah hal sebagai berikut: (1) Asal-usul peristilahan multikulturalisme dan sejumlah definisinya, (2) Titik temu antara perjuangan yang diusung multikulturalisme dengan agenda feminis, (3) Kontekstualisasi multikulturalisme di Indonesia dan sejumlah tantangannya. Metode penulisan lebih banyak mengambil dari studi kepustakaan dan laporan atau artikel yang dimuat di surat kabar / jurnal, dengan segala keterbatasan representasi serta akurasinya.
(1) Wacana Multikulturalisme dalam perdebatan
Menurut Bhikhu Parekh [i], seorang pemikir yang mempunyai perhatian mendalam tentang paham multikulturalisme, ada 3 bentuk keragaman budaya yang paling umum dijumpai dalam masyarakat modern, yaitu (1) Keaneka-ragaman sub-budaya (subcultural diversity). Meskipun warga masyarakat sama-sama menganut dan meyakini sebuah kultur yang kurang lebih sama, namun mereka tidak menjalankan keyakinan dan praktek-prakteknya secara sama dalam sejumlah aspek kehidupan yang penting. Yang termasuk golongan ini misalnya: kaum gay dan lesbian, budaya anak muda (youth culture), orang-orang yang mengikuti gaya hidup atau struktur kekeluargaan yang tidak konvensional. Meskipun mungkin terlihat kurang lumrah, namun mereka merasa bahagia dalam menjalankan pola-pola budaya seturut pandangan mereka yang khas ini di dalam sebuah kultur yang dominan. (2) Keanekaragaman perspektif (perspectival diversity). Sejumlah warga masyarakat teramat kritis dalam menyikapi atau menanggapi prinsip-prinsip dan nilai-nilai dari budaya yang dominan dan mereka berupaya untuk menyusun kembali nilai-nilai dan prinsip-prinsip kehidupan tersebut agar menjadi lebih seimbang (tidak berat sebelah dan memberi ruang untuk ‘suara yang lain’). Contohnya, kaum feminis yang mengkritik bias-bias patriarkal yang sudah mengurat akar dalam struktur dan budaya masyarakat di mana mereka hidup. Kaum fundamentalis religius mengkritik orientasi sekuler dari masyarakatnya. Kaum pecinta lingkungan mengkritik pandangan yang terlalu berpusat pada manusia dan mengeksploitasi alam (pandangan antropomorfis dan teknosentris), sementara orang kulit hitam mengkritik bias rasisme. Kelompok-kelompok masyarakat ini tidak bisa disebut subkultur karena mereka mempertanyakan dan menantang pondasi paling dasar dari kultur yang yang eksis sampai saat itu, dan mereka pun bukan komunitas budaya yang khusus yang hidup seturut nilai-nilai dan pandangan-pandangan tertentu tentang dunia yang hanya dianut oleh kelompok mereka dan tidak oleh kelompok lain. Sebaliknya, mereka mengembangkan perspektif yang khas tentang bagaimana kultur bersama itu harus ditata ulang, di-rekonstitusi. (3) Keanekaragaman komunal (communal diversity). Di dalam masyarakat modern juga terdapat sejumlah komunitas yang sadar-diri, yang cukup rapi terorganisasi dan yang percaya sekaligus menghidupi kepercayaan itu lewat praktek-praktek tertentu secara berbeda-beda. Yang termasuk golongan ini adalah kaum imigran yang baru saja datang, sejumlah komunitas yang sudah cukup lama berdiri dan mapan, seperti kaum Yahudi, kaum Gipsi, komunitas-komunitas religius yang beraneka ragam, dan kelompok-kelompok budaya yang dibatasi secara teritorial seperti penduduk asli (adat) sebuah daerah, kelompok Basques di Spanyol, dan Québecois di Kanada. Golongan ketiga ini disebut keragaman komunal.
Jadi, ringkasnya, menurut Parekh, dalam masyarakat modern sekarang ini (contemporary modern society) ada tiga kategori keaneka-ragaman golongan yang hidup dan mewarnai masyarakat, yaitu (1) keanekaragaman subkultur, (2) keanekaragaman perspektif dan (3) keanekaragaman komunal. Masyarakat yang mempunyai ketiga unsur golongan ini dalam komposisinya, dan terutama yang menunjukkan keanekaragaman tipe yang kedua dan ketiga, disebut Parekh sebagai “masyarakat multikultural.” [ii]
Dengan demikian, masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mencakup dua atau lebih komunitas budaya seperti dimaksud di kategori ketiga (keanekaragaman komunal). Ada dua model kemungkinan untuk menanggapi kemajemukan budaya ini. Pertama, kemajemukan dipersilakan dan bahkan dirayakan. [iii] Kemajemukan dianggap sentral untuk mengembangkan pemahaman diri baik individu maupun warga masyarakat. Kemajemukan dihormati, tidak hanya lewat tutur kata melainkan juga lewat hukum dan kebijakan yang sengaja dibuat untuk menjamin kemajemukan tersebut. Kedua dengan mengembangkan kebijakan asimilasi, di mana kemajemukan budaya, dengan satu atau lain cara, diupayakan untuk dilebur (diasimilasi) ke dalam budaya yang dominan (mainstream), entah sebagian saja atau seluruhnya. Model tanggapan yang pertama, disebut multikulturalis, sementara model tanggapan yang kedua disebut monokulturalis. Multikulturalitas dengan demikian mengacu pada fakta kemajemukan budaya (cultural plurality) sementara multikulturalisme adalah tanggapan normatif terhadap fakta tersebut [iv].
Multikulturalisme sebagai kebijakan publik yang resmi diberlakukan oleh negara diadopsi sejak tahun 1970 di beberapa negara Eropa dan Amerika (Utara). Kanada mengadopsi multikulturalisme pada tahun 1971, sementara Swedia pada 1975. Secara khusus, secara historis, kita akan mencermati proses bagaimana sampai Kanada mengadopsi kebijakan multikulturalisme ini. [v]
Mengikuti rekomendasi dari the Royal Commission on Bilingualism and Biculturalism, sebuah pemerintahan khusus yang dibentuk sebagai tanggapan atas permintaan minoritas orang Kanada yang berbicara dalam bahasa Perancis (yang terpusat di Provinsi Quebec), Kanada mulai mengakui fakta multikultural dalam masyarakatnya. Laporan dari komisi tersebut menyarankan agar pemerintah Kanada seyogianya mengakui Kanada sebagai masyarakat dua bahasa dan dua kultur (yaitu Inggris dan Perancis) dan wajib menelurkan sejumlah kebijakan untuk melindungi karakter khas ini. Namun “bikulturalisme” (pandangan ‘dua kultur’) diserang dari berbagai penjuru karena dipandang tidak mengakomodasi kekhasan sejumlah kultur lain yang bukan turunan Perancis dan bukan juga turunan Inggris yang populer disebut "Third Force" Canadians. Bikulturalisme tidak sejalan dengan realitas lokal di provinsi-provinsi bagian Barat Kanada, di mana populasi orang Perancis dianggap kecil bila dibandingkan dengan minoritas budaya yang lain.
Maka, untuk mengakomodasi aspirasi ini, rumusan “dua bahasa dan dua kultur (bilingualism and biculturalism) diganti menjadi “dua bahasa dan multikulturalisme” (bilingualism and multiculturalism). Pemerintahan Partai Liberal yang dipimpin oleh Pierre Trudeau kemudian mengusulkan "Kebijakan Multikulturalisme dalam Kerangka Bilingual” ini kepada DPR – nya Kanada pada 8 Oktober 1971. Inilah cikal bakal dari Canadian Multiculturalism Act, yang disetujui dan diberlakukan sebagai hukum positif di Kanada pada 21 Juli 1988. Secara simbolis, legislasi ini mengafirmasi bahwa Kanada adalah sebuah negara-bangsa yang bersifat multikultural, dan negara pertama di dunia yang secara eksplisit meratifikasi kebijakan ini menjadi hukum positif. Di level yang lebih praktis, dana dari pemerintah federal lalu didistribusikan kepada kelompok-kelompok etnis untuk membantu mereka melestarikan kekhasan kultur mereka. Proyek-proyek yang biasa didanai oleh pemerintah federal meliputi, misalnya, kompetisi tari daerah dan pembentukan pusat-pusat komunitas etnis, tempat orang bisa berkumpul dan mendiskusikan kekhasan kekayaan suku / etnis mereka, serta rencana-rencana pelestarian kekhasan itu.
Kebijakan ini, meskipun pada awalnya banyak mendapat sorotan tajam dan kritik dari partai oposisi, ternyata dalam perjalanan waktu dilihat sebagai sesuatu yang positif. Kebijakan multikulturalisme dipandang mendorong ke arah persatuan bangsa lewat meruntuhkan sekat-sekat sosial – budaya antar etnis dan kelompok minoritas. Dengan kata lain, identitas nasional diperkuat dengan cara mengikat warganegara mereka di bawah satu payung komunitas moral yang tunggal. Kebijakan multikultural ditambahkan ke dalam konstitusi Kanada 1982, bagian ke-27 dari Piagam Hak-hak dan Kebebasan Kanada (the Canadian Charter of Rights and Freedoms).
Diane Ravitch, seorang tokoh pendidikan USA dan profesor di New York University's Steinhardt School of Education menggambarkan sifat kebijakan multikulturalisme yang diadopsi Kanada sebagai baik multikulturalisme pluralistik maupun multikulturalisme partikularis. Multikulturalisme pluralistik melihat setiap kultur atau subkultur dalam masyarakat sebagai penyumbang aspek-aspek kultural yang unik dan berharga untuk keseluruhan kultur negara-bangsa. Sementara multikulturalisme partikularis lebih berfokus pada pelestarian kekhasan (distinctions) yang ada di antara beranekaragam kultur.
Pada level praktis, kebijakan multikultural yang diterapkan pemerintah bisa meliputi:
*) pengakuan akan kewarganegaraan jamak (multiple citizenship)
*) dukungan pemerintah atas surat kabar, acara televisi dan siaran radio dalam bahasa-bahasa yang dipakai oleh kaum minoritas.
*) dukungan atas festival, hari libur dan perayaan-perayaan publik lainnya yang diselenggarakan oleh kelompok minoritas.
*) penerimaan atas tidak seragamnya pakaian di sekolah, militer dan masyarakat secara lebih luas atas dasar keunikan tradisi dan agama.
*) mendukung musik dan karya-karya seni yang dibuat dan dipertunjukkan oleh budaya minoritas.
*) membuat program-program yang membuka akses dan kemudahan untuk kaum minoritas merepresentasikan diri mereka dalam politik, pendidikan, dan dunia kerja.
Akan tetapi, meskipun mengadopsi multikulturalisme sebagai kebijakan resmi negara, tidak berarti bahwa pemerintah Kanada tidak mendukung asimilasi struktural. Artinya, kelompok-kelompok minoritas seperti kaum pendatang (imigran) dihimbau untuk berpartisipasi di dalam aktivitas dan kehidupan masyarakat yang lebih luas daripada sekedar tinggal aman dan membangun ghetto (perkampungan eksklusif) mereka sendiri. Kelompok-kelompok minoritas juga dianjurkan untuk mempelajari bahasa Inggris dan/atau Perancis agar bisa berkomunikasi lebih luas lagi dengan saudara-saudara mereka.
Demikian sekilas sejarah perkembangan istilah, sekaligus paham dan kebijakan multikulturalisme dari negeri nun jauh di utara benua Amerika.. Pertanyaannya, apakah semua penggambaran tentang sejarah dan esensi dari multikulturalisme di atas sudah cukup memadai untuk membuatnya layak diterapkan ke dalam konteks negara-bangsa dan lingkup budaya yang lain? Apakah multikulturalisme tidak menyimpan potensi konflik atau problematika ‘gesekan’ antar kelompok? Bagaimana dengan tempat dan peran perempuan dalam model paham (ideology) dan kebijakan multikulturalisme? Apakah multikulturalisme mendukung dan memajukan isu kesetaraan jender serta menghapuskan kekerasan & penindasan terhadap perempuan sebagaimana diperjuangkan kaum feminis di berbagai belahan bumi, atau sebaliknya? Marilah kita melihat secara dekat aplikasi dari multikulturalisme dan problematika teoretis-praxis di lapangan yang muncul sebagai konsekuensi dari penerapan multikulturalisme sebagai sebuah cara menata masyarakat yang semakin majemuk.
(2) Multikulturalisme vs. agenda perjuangan kaum feminis?
Fransisco Budi Hardiman [vi], dalam bagian kata pengantar untuk terjemahan karya Will Kymlicka, mengatakan bahwa persoalan keadilan dan tegangan antara hak-hak asasi manusia (yang menjamin hak-hak dasar seorang individu layak hidup sebagai individu yang bermartabat, dan ini dijamin lewat Deklarasi HAM Universal yang dirumuskan pada 10 Desember 1948) dengan hak-hak kaum minoritas (yang dirumuskan sebagai group rights / hak-hak kelompok dalam terminologi Kymlicka) adalah problematika terbesar utama yang dihadapi oleh perspektif multikulturalisme, baik sebagai kerangka teori yang memadai, maupun dalam hal aplikasi atau penerapannya. Mengutip Charles Taylor dalam Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition (1994), Budiman mengatakan bahwa suara-suara tuntutan dari kelompok-kelompok minoritas etnis, seperti kaum Afro-Amerika, Asia-Amerika, Indian, Feminis, dan kelompok-kelompok minoritas lainnya, menyerukan keinginan mereka untuk mendapatkan hak-hak ikut menentukan pengambilan keputusan-keputusan publik, seperti kebijakan sosial dan kurikulum pendidikan sekolah maupun perguruan tinggi. Hak-hak itu disebut hak untuk ‘menentukan diri sendiri’ (self-determination) sebagai sebuah minoritas kultural, dan politik yang diajukan dan diperjuangkan adalah politik pengakuan publik (politics of recognition). Hak-hak penentuan diri dari minoritas kultural ini bila ditarik lebih jauh lagi merupakan tuntutan untuk pengakuan atas identitas kolektif, atas kepentingan kelompok, atas orientasi nilai atau pandangan hidup (Weltanschauung) kelompok. Dan tuntutan atas pengakuan publik ini tidak bertentangan dengan prinsip kesamaan (equality principle)---salah satu prinsip dasar dalam teori politik liberal modern--- melainkan justru terkait erat dengannya, yakni kesamaan dalam pengakuan akan identitas. Sejalan dengan itu, seperti ditegaskan oleh Bhikhu Parekh [vii], kaum perempuan, gay, minoritas budaya dan lain-lain tidak bisa mengekspresikan dan mewujudkan identitas mereka tanpa adanya kebebasan penentuan-diri, iklim yang kondusif untuk keanekaragaman (diversity), peluang dan sumber daya material, pengelolaan dan penataan hukum yang sesuai.
Hak penentuan diri dari masing-masing minoritas etnis atau kultural yang diperjuangkan lewat politik pengakuan publik inilah yang rupanya disoroti secara khusus, dan dibahasakan kembali dalam konteks ke-Indonesia-an dalam sebuah buku yang disunting oleh Hikmat Budiman, Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia (Jakarta: The Interseksi Foundation, Agustus 2005). Dalam buku ini, para penulisnya mencoba mengangkat kegamangan untuk membicarakan dan menerapkan kebijakan multikulturalisme dalam konteks Indonesia. Buku ini membicarakan multikulturalisme dengan pendekatan bottom-up (dari bawah ke atas) alih-alih top-down yaitu mengangkat realitas empiris lima masyarakat minoritas di lima daerah di Indonesia, yakni komunitas Sedulur Sikep (orang Samin) di Jawa, (ditulis oleh M Uzair Fauzan), pemeluk Wetutelu, Wet Semokan, Nusa Tenggara Barat (ditulis oleh Heru Prasetia), masyarakat Dayak Pitap, Kalimantan Selatan (ditulis oleh Riza Bachtiar), masyarakat di Cagar Alam Wana, Morowali, Sulawesi Tengah (ditulis oleh Ignatius Yuli Sudaryanto), dan masyarakat Tanah Toa, Bulu Kumba, Sulawesi Selatan (ditulis oleh Samsurijal Adhan). Pendekatan dari bawah ke atas ini adalah ciri penting dari pendekatan kualitatif yang berupaya membangun suatu model di akhir kajian. Hal ini membedakan dari perbincangan mengenai multikulturalisme dan minoritas yang dimulai dari konsep yang dibawa dari luar untuk menjelaskan realitas di lapangan. [viii] Akan tetapi, persis di bagian akhir buku ini kita lamat-lamat mendengar gema kegamangan yang sama. Ketika kita mau mencoba mengangkat model penerapan multikulturalisme dari bawah, seperti yang diterapkan di salah satu komunitas adat / budaya yang diangkat dalam buku ini, kita bertanya, apakah lalu model itu mungkin dan sah untuk diterapkan di komunitas adat, budaya dan etnis yang lain? Katakanlah misalnya, secara konkret, dalam hal penguatan identitas masyarakat adat Dayak Pitap, khususnya dalam problematika tanah dan kepemilikan atasnya, mereka berpaling kembali pada penguatan lembaga keadatan Lembaga Musyawarah Adat Dayak Pitap, dan “penguatan identitas adat kepitapan.” [ix] Dan garis kebijakan ini pun secara legal prosedural dijamin oleh UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperinci lagi lewat peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999 tentang pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan PERDA No.15 tahun 2000 tentang lembaga Adat. Betapapun solusi atas problem identitas yang erat terkait dengan pemilikan dan pengelolaan tanah (dan sumber daya-sumber daya alam yang berada di atasnya) dalam hal ini nampak pro-perspektif multikulturalis, namun setidaknya masih menggantung tersembunyi 1 problem besar yang paling tidak bisa dipandang sebagai hipotesis. Apakah penguatan Lembaga Musyawarah Adat Dayak sudah cukup representatif bagi semua warga adat Dayak? Lebih tajam lagi, apakah Tata-Alir Pengambilan Keputusan Barumbuk Masyarakat Adat Dayak Pitap [x] sudah dengan sendirinya menjamin keadilan jender bagi perempuan dalam masyarakat adat Dayak Pitap? Apakah suara perempuan (mungkin saja mereka minoritas dalam Masyarakat Adat Dayak Pitap) terwakili dalam Alur Pengambilan Keputusan Barumbuk Masyarakat Adat Dayak Pitap? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tidak terungkap dalam esai yang ditulis oleh Riza Bachtiar. Namun, sekurang-kurangnya, penguatan kebijakan yang pro-multikulturalisme, yang dalam hal ini nampak dalam melindungi hak masyarakat Adat, tidak serta-merta menjamin adanya kesetaraan dan keadilan jender bagi perempuan yang tinggal di dalam masyarakat adat tersebut. Bagaimana kita melihat ketegangan antara kebijakan pro-multikulturalisme dan perjuangan kaum feminis akan kesetaraan dan keadilan jender ini secara lebih luas?
Esai dari Susan Moller Okin [xi] berjudul “Is Multiculturalism Bad for Women?” [xii] mencoba menempatkan perspektif multikulturalisme dalam kerangka kritik feminis. Bagi Okin, salah satu implikasi penerapan kebijakan multikulturalis dalam sebuah negara, dengan memberikan hak-hak istimewa kepada kelompok-kelompok budaya minoritas (group rights) bisa memunculkan bahaya baru yaitu pelanggengan struktur dan sistem budaya patriarkal yang menindas perempuan dalam kultur tersebut. Dengan mengambil contoh lintas-budaya, dari Amerika Latin, Asia Selatan dan beberapa wilayah Afrika Barat, Okin menengarai ada 5 praktek kultural yang tidak mengindahkan kesetaraan dan keadilan jender atau yang menempatkan perempuan di bawah kontrol laki-laki, yaitu (1) klitoridektomi (sunat perempuan) (2) perkawinan paksa (di antaranya korban perkosaan yang harus menikahi pemerkosanya) ; (3) pernikahan usia dini (child marriages) (4) sistem perceraian yang bias dan tidak menguntungkan posisi perempuan; (5) poligami.
Secara garis besar, namun tetap menggunakan contoh-contoh yang konkret dan lintas-budaya, Okin mengkritik pendekatan “pemberian hak-hak istimewa bagi kelompok minoritas (etnis, budaya, bangsa) untuk menentukan dirinya sendiri” seperti yang diajukan Kymlicka. Ia mengajukan dua keberatan pokok atas konsepsi multikulturalisme Kymlicka, yaitu: (1) Para pendukung hak-hak kelompok untuk minoritas cenderung memandang kelompok-kelompok budaya secara tunggal (satu dimensi atau monolit) saja. Mereka cenderung memberikan perhatian lebih pada perbedaan di antara kelompok-kelompok budaya yang satu dengan lainnya daripada perbedaan-perbedaan di dalam sebuah kelompok minoritas budaya/etnis. Pengabaian aneka perbedaan di dalam kelompok budaya/etnis ini dengan sendirinya juga mengabaikan fakta bahwa kelompok budaya yang minoritas—seperti juga masyarakat luas tempat kelompok budaya itu hidup dan berinteraksi dengan kelompok-kelompok budaya lainnya--juga menyimpan potensi, atau bahkan cenderung sudah mengaktualisasikan (!), bias atau kekerasan jender. (2) Para pendukung kebijakan hak-hak kelompok minoritas juga cenderung mengabaikan fakta yang terjadi di ranah privat (rumah tangga). Argumen pro kebijakan hak-hak kelompok yang mengatakan bahwa individu membutuhkan “kultur mereka sendiri” di mana di dalam kultur itu barulah orang per orang bisa mengembangkan rasa kepercayaan dan harga diri, serta hak penentuan diri akan hidup baik semacam apa yang mau mereka ikuti, dinilai Okin masih pincang. Argumen semacam ini belum menyertakan pembacaan atas perbedaan peran yang “dipaksakan” (peran yang diciptakan secara sosial-kultural dibuat menjadi seolah-olah alamiah) oleh kelompok terhadap anggota-anggotanya. Argumen ini juga belum menyentuh konteks persoalan “dalam ruang semacam apakah kesadaran orang akan harga diri dan hak penentuan dirinya terbangun dan di manakah kultur itu pertama kali dipelajari dan diwariskan.” Jawaban atas problematika terakhir ini mau menunjuk pada ranah domestik atau hidup keluarga. Dengan tepat Okin membahasakannya seperti ini, “Rumah adalah (tempat) di mana bagian terbesar dari isi budaya itu dipraktekkan, dilestarikan dan dialih-turunkan kepada kaum muda. Distribusi tanggungjawab dan kekuasaan di rumah mempunyai dampak yang cukup besar terhadap siapa yang bisa berpartisipasi di dalam dan mempengaruhi segi publik dari kehidupan budaya. Semakin besar sebuah budaya menuntut atau berharap agar perempuan tetap tinggal dan ‘cukup’ berpartisipasi di dalam ruang domestik, semakin kecil kemungkinan mereka mencapai kesetaraan dengan laki-laki di bidang kehidupan yang lain (yang publik)”
Okin memberi beberapa contoh yang cukup meyakinkan untuk menjelaskan ‘penindasan laki-laki terhadap perempuan’ (baca: praktek-praktek budaya tertentu adalah sarana yang dipakai lelaki untuk mengontrol perempuan) di dalam sebuah budaya minoritas. Misalnya, kasus klitoridektomi yang masih terjadi di negara Pantai Gading dan Togo. Dikatakan bahwa praktek penyunatan klitoris perempuan yang merupakan bagian dari “warisan budaya kami” berfungsi untuk “menjamin keperawanan seorang perempuan sebelum pernikahan dan kesetiaannya setelah menikah dengan membatasi seks hanya sebagai kewajiban pernikahan” dan bahwa “peran seorang perempuan dalam kehidupan adalah merawat anak-anaknya, menjaga kebersihan rumah dan memasak. Jika klitorisnya tidak dipotong, maka ia mungkin akan berpikir tentang mengejar kesenangan dan kepuasan seksualnya sendiri.” [xiii] Juga praktek poligami yang dilakukan oleh imigran dari Mali yang tinggal di Perancis, yang mengatakan bahwa praktek poligami dilakukannya karena “kalau satu istrinya sakit, masih ada yang lain yang merawat dirinya.” Selain itu, praktek pemaksaan (atau setidaknya ditawarkan kepada) perempuan untuk menikahi lelaki yang memperkosanya---yang ditemukan Okin terjadi di sejumlah daerah di Asia Selatan dan Afrika Barat---juga merupakan praktek budaya yang dilegalkan, karena akan memulihkan kehormatan keluarga, sekaligus sebagai kompensasi atas “barang rusak” (si gadis dipandang sebagai cemar dan tak lagi layak untuk dinikahi siapapun).
Lalu, solusi semacam apa yang ditawarkan oleh Okin agar konflik antara agenda perjuangan kaum feminis (di antaranya: memperjuangkan kesetaraan dan keadilan jender dan penghapusan kebijakan atau gugus tindakan atau praktek-praktek yang mendiskriminasikan dan mengorbankan perempuan) tidak bertentangan dengan agenda multikulturalisme? Ada 2 model solusi dari Okin yang bisa saya petakan di sini. Pertama: teoretis – wacana. Kedua: politis – praktis. Dalam hal wacana, Okin menganjurkan agar para pemikir liberal yang mendukung pemberian hak-hak kultural pada kelompok minoritas perlu lebih mencermati ketidakadilan yang terjadi di dalam kelompok-kelompok minoritas yang mereka bela itu. Ketidakadilan itu, secara lebih spesifik lagi, harus dilihat dalam relasi ketidakadilan di antara jenis kelamin yang berbeda (inequalities between the sexes) karena sifatnya yang tidak publik, dan karenanya lebih sulit dikenali (lebih sering tersamar). Dalam hal politik dan kebijakan, Okin menganjurkan agar kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara (sebagai wadah hidup dari aneka macam kelompok minoritas) untuk menanggapi tuntutan dan kebutuhan kelompok minoritas budaya harus melihat apakah kebijakan itu sudah mencerminkan kepentingan dari anggota atau bagian dari kelompok itu yang kurang mempunyai kuasa dan suara (dalam hal ini tentunya Okin bermaksud ‘kaum perempuan’). Dalam hal ini, di dalam lingkup kelompok budaya itu sendiri pun harus bisa mengakomodasi kepentingan dan suara kaum perempuan muda (karena kaum perempuan yang sudah tua cenderung di-kooptasi oleh pemimpin atau tetua kelompok, yang biasanya laki-laki, untuk melanggengkan struktur penindasan dan ketidaksetaraan dalam kelompok itu) dalam menegosiasikan hak-hak kelompok yang diajukan dan diminta untuk diakui secara publik – legal. Itulah dua saran dan rekomendasi yang diajukan Okin untuk ‘mendamaikan’ konflik antara kebijakan multikulturalisme dengan perjuangan agenda kaum feminis.
Sebagai catatan akhir dari bagian kedua ini, kita perlu membaca usulan solusi yang ditawarkan oleh Okin sebagai kerangka kerja teoretis – konseptual yang berguna untuk melihat, membaca dan memetakan sejumlah model dan pola ketidakadilan jender yang juga terjadi dalam masyarakat Indonesia kontemporer yang (tetap) multikultural dan multietnis. Penggambaran lebih lanjut tentang relevansi sekaligus aktualisasi wacana multikulturalisme dan tantangan feminis terhadapnya dalam konteks Indonesia akan kita bahas di bawah ini.
(3) Apa relevansi diskusi tentang multikulturalisme untuk perjuangan agenda kaum feminis di Indonesia?
Setelah membaca sejumlah ketegangan dalam hal penerapan kebijakan multikulturalisme sebagai idea normatif untuk menanggapi fakta kebhinnekaan, dan tantangan dari kaum feminis pada bagian kedua paper, maka pada bagian ketiga paper ini kita diajak kembali untuk bertanya : (1) Secara teoretis, bagaimana agar konsepsi multikulturalisme tidak menjadi sarana pembenaran bagi anarkisme kelompok yang sarat dengan kepentingan-kepentingan khususnya masing-masing yang menuntut privilese dari negara untuk melindunginya? (2) Secara praktis – kontekstual, apakah ketegangan multikulturalisme vs. agenda kaum feminis juga nampak dalam konstelasi politik dan kehidupan budaya masyarakat Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan yang pertama, saya mengajak kita untuk menengok pembahasaan B. Hari Juliawan [xiv], tentang perlunya kita melihat kembali “ideologi politik yang memungkinkan multikulturalisme berfungsi”. Ideologi politik yang dimaksud adalah demokrasi liberal, sebagaimana diusulkan oleh John Rawls [1993], Charles Taylor [1994], Will Kymlicka [1995], dan Bhikhu Parekh [2000]. [xv] Mengapa ideologi politik yang memungkinkan multikulturalisme terjamin kehidupannya dalam sebuah ruang bernama negara-bangsa modern tanpa menjadi anarkisme kelompok-kelompok yang menyuarakan dan menuntut perlakuan berbeda (termasuk privilese) atas dasar perbedaan / ke-minoritas-an mereka adalah demokrasi liberal? Jawabnya, demikian Juliawan, karena “Demokrasi liberal memungkinkan tiap orang untuk mengekspresikan diri secara bebas dan mengejar pemenuhan identitas tanpa khawatir menjadi sasaran penindasan.” Seorang ahli hukum dari Yale University, Amy Chua (2003) [xvi] mengkhawatirkan “demokrasi dan pasar bebas secara niscaya akan memenangkan mayoritas sambil mengeksploitasi minoritas yang kuat secara ekonomi. Bila ini yang terjadi, yang digagalkan adalah prinsip kebebasan mengekspresikan diri karena minoritas di bawah dominasi mayoritas tidak lagi punya kebebasan untuk mewujudkan identitas khususnya. Dalam hal ini, demokrasi harus dijaga ketat sebagai mekanisme yang mempertahankan kebebasan berekspresi, sehingga tidak mengurangi hak tiap individu dan kelompok untuk mewujudkan kekhususannya.”
Oleh karena itu, perspektif multikultural yang bergandengan dengan perjuangan feminis akan berarti sebagai berikut: gerakan kaum perempuan untuk melawan hegemoni negara dan agama dan budaya monolotik / ideologi patriarkal sekaligus ideologi pasar bebas yang cenderung homogen dan tidak menghargai pluralitas kebebasan berekspresi (dalam hal budaya, politik, seni, dll.). Dalam ekspresi budaya seperti seni, tentu saja kita akan melihat lebih banyak lagi warna-warni representasi perempuan, seperti dalam siasat perempuan Tayub, gandrung, perempuan gerwani, perempuan Madura, transformasi tata nilai budhisme, dan aneka representasi perempuan dalam karya sastra Indonesia kontemporer (pasca Orde Baru) [xvii]. Jika sedari tadi kita bergerak di tataran politik – legal dan wacana intelektual tentang konsep multikulturalisme, minoritas, dan agenda perjuangan kaum feminis untuk menggolkan keadilan dan kesetaraan gender, maka mari kita lihat bahwa strategi perlawanan kaum perempuan (tidak harus selalu kaum aktivis feminis, tapi bisa juga perempuan yang sudah tercerahkan, teremansipasi dari struktur penindasan yang biasanya diciptakan dan dilanggengkan oleh kaum laki-laki) juga bisa bergerak di level seni, seperti seni tari, seni arsitektur (seni bangunan), dan susastra. Melani Budianta dalam esainya “Perempuan, Seni Tradisi, dan Subaltern: Pergulatan di Tengah-tengah Lalu Lintas Global-Lokal” [xviii] mengatakan bahwa perempuan dalam pertunjukan seni tradisional Indonesia seperti tandak, ronggeng, tayub mengalami beraneka macam fase negosiasi dan resistensi terhadap kebijakan kebudayaan dan lapis identifikasi yang bertolak dari oposisi biner. Dengan berpijak dari model subaltern Gramsci yang lalu diteruskan oleh Spivak, Budianta mengatakan bahwa tidak selamanya kaum subaltern (dalam hal ini perempuan dalam posisi yang dimarjinalkan dan dibungkam suaranya) berada dalam posisi sebagai korban (viktim) yang menunggu untuk diselamatkan atau diratapi. Lewat proses negosiasi atas oposisi biner antara modernitas >< tradisi, misalnya, “kelompok-kelompok pertunjukan seni tradisi yang menggunakan media dan teknologi modern, meminjam lagu serta mencampur gerak tari dengan apa yang ada di pasar populer, maka dikotomi yang simplistik antara modern dan tradisional tidak dapat lagi bertahan.” Terlebih, pengakuan akan profesionalitas para penari tayub dengan melibatkan para pejabat pemerintahan lokal dalam upacara kelulusan mereka (di mana mereka memperoleh gelar diploma profesional) menandai sebuah model kompromi dengan kebijakan negara dalam mengatur dan menata kebudayaan secara administratif. Dan kompromi ini bisa juga dilihat sebagai sebuah strategi para penari tayub untuk bisa bertahan (survive) di tengah aneka macam subordinasi posisi subjek mereka (dari negara, dari kaum agamawan dan dari kaum modernis). Dengan kata lain, penegasan identitas dan bersuaranya kaum subaltern tidak selalu berlangsung secara konfrontatif, melainkan juga secara negosiatif. Strategi perlawanan tidak harus berupa konfrontasi langsung dan perombakan total (apalagi jika musuh yang dihadapi masih terlalu kuat), tapi bisa juga secara berlapis dan bertahap (progresif), dan itu dimulai, misalnya, dengan langkah kompromi dan negosiasi. Meskipun demikian, di bagian akhir tulisannya, Budianta mewanti-wanti kita untuk tidak terjebak dalam esensialisme subaltern, dengan mengatakan bahwa “Perempuan Indonesia adalah entitas yang heterogen, termasuk perempuan dalam sayap kanan dan sayap kiri, perempuan dalam kelompok yang religius dan sekuler, dengan perspektif tradisional dan liberal. Bangkitnya fundamentalisme, popularitas poligami dan norma-norma konservatif lainnya yang mendapat dukungan dari kelompok-kelompok sipil perempuan dalah fenomena yang harus dihadapi oleh kaum feminis liberal.” [xix]
Untuk menjawab pertanyaan kedua yang diajukan di atas, kita akan melihat bahwa strategi perlawanan perempuan terhadap hegemoni negara dan agama dalam penguasaan ruang publik dan ruang untuk berwacana mengenai perbedaan dan keanekaragaman, yang konsekuensi praktis dari hegemoni ini adalah pembungkaman dan penindasan model baru terhadap perempuan, pada tahun-tahun belakangan ini semakin mengemuka lewat dua kasus kontroversial yaitu pengajuan Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Anti Porno Aksi (selanjutnya disingkat RUU APP) untuk disahkan menjadi undang-undang, serta kasus poligami. Kita tidak akan masuk ke dalam perdebatan panjang lebar tentang kedua contoh kasus besar ini [xx], namun cukuplah kiranya untuk mengajukan 3 refleksi singkat atas gejala ini:
(1) Secara politis, baik isu RUU APP maupun isu poligami merupakan salah satu dari sejumlah strategi negara (dalam hal ini ‘negara’ direpresentasikan oleh sekelompok kecil anggota partai yang berpandangan agama tertentu dalam lembaga legislatif / DPR) untuk mengalihkan perhatian kaum perempuan dari isu yang lebih urgen untuk dijadikan Undang-undang, seperti Undang-undang Anti-Trafiking dan penerapan serta review atas UU PKDRT (Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga). [xxi]
(2) Secara budaya, isu RUU APP dan poligami adalah sebuah model homogenisasi budaya dan imperialisme budaya dengan wajah baru, di mana kebhinnekaan berekspresi mau dipangkas, dan kebhinnekaan budaya yang ada di Indonesia mau dijadikan budaya monolit patriarkal yang mengekang sekaligus memasung (kembali) hak perempuan untuk mendefinisikan tubuhnya.
(3) Secara sosial, produk hukum RUU APP menempatkan tubuh perempuan kembali pada dua wilayah yang sama sekali tidak menguntungkan, yaitu wilayah sakral dan dan wilayah profan yang saling bertentangan. Pemisahan wilayah publik dan privat adalah istilah lain yang merupakan refren dari koor modernitas yang bergerak dalam kerangka oposisi biner. Peran sosial perempuan (lagi-lagi) mau dibatasi pada wilayah profan-domestik-privat, dan ini merupakan strategi subordinasi dari kaum subaltern seperti sudah dibahas di atas.
Akan tetapi, 3 refleksi yang bernada pesimis tentang isu RUU AP dan poligami inibisa juga dilihat sebagai momen yang tepat untuk menggalang solidaritas bersama di antara kaum perempuan yang berbeda-beda, dan yang menekankan ‘perbedaan’ dan ‘keanekaragaman pengalaman’ sebagai titik berangkat perjuangan. Pembentukan Aliansi Mawar Putih dan Aliansi Bhineka Tunggal Ika bisa dilihat sebagai starategi politis (betapapaun sementara sifatnya) untuk menanggapi isu kontroversial yang potensial memecah-belah persatuan bangsa. Pembentukan Aliansi semacam ini perlu diapresiasi dan bisa dijadikan model “membangun gerakan solidaritas bersama” di atas kekayaan perbedaan dan keanekaragaman pengalaman. Ketertindasan dan ketidakadilan menjadi kunci utama yang mengikat aliansi-aliansi semacam ini, di hadapan musuh besar bersama, yaitu (1) negara dengan paradigma mengatur dan menyeragamkan perbedaan untuk menjamin (secara semu) stabilitas nasional dan (2) radikalisasi agama, yang mengatasnamakan suara mayoritas untuk membungkam suara-suara kecil subaltern yang jamak dalam hal penafsiran kitab, sekaligus politisasi agama (membawa simbol-simbol agama dan menyerukan klaim-klaim absolutis untuk melanggengkan status quo kekuasaan) dalam ruang publik modern.
Selain persoalan ini, sama menariknya untuk mencermati gejala penguatan isu kesetaraan jender dalam sejumlah masyarakat adat, seperti yang terjadi dalam seminar sehari tentang kedudukan dan peranan perempuan Batak, Selasa 26 September 2006 yang lalu, di Balai Data Kantor Bupati Taput. Saur Sitindaon, Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tarutung, salah satu pembicara dalam seminar itu, mengatakan hal berikut “Hukum adat Batak yang tidak menunjang, mendorong kesetaraan dan keadilan gender perlu ditinggalkan karena bertentangan dengan hak azasi manusia. Kedudukan perempuan sangat lemah dibanding laki-laki. Ini suatu indikasi adat Batak diskriminatif terhadap perempuan. Sementara dalam hukum nasional kedudukan seimbang baik dalam hak mau pun kewajiban.” Hukum adat manakah yang dimaksud oleh Sdr. Saur Sitindaon? Ia menyinggung soal pembagian harta warisan yang menurutnya belum selaras dengan ungkapan pepatah Batak ‘Dompak marmeme anak, dompak marmeme boru’ (Kedudukan anak dan perempuan adalah sama). Melihat fakta kasus di pengadilan, terbukti bahwa lebih sering pihak laki-laki lah yang dianggap lebih sah dan berhak menjadi pewaris harta nenek moyangnya. Selain Saur Sitindaon, Wakil Bupati Taput, Drs. Frans A. Sihombing, MM mengatakan bahwa harkat dan martabat perempuan Batak dalam adat Batak amatlah dihargai dan dijunjung tinggi. Ada pepatah yang mengatakan bahwa perempuan adalah penentu suksesnya keluarga (Boru ni raja, Parsonduk Bolon, Sitiop Puro). Selain dua hal ini, representasi perempuan dalam lembaga legislatif tingkat daerah (DPRD) pun masih jauh di bawah yang diharapkan dan diundang-undangkan, karena sudah tercetak stereotip diskriminatif terhadap perempuan di kepala para politisi. Sitindaon menyebut bahwa dari 30 anggota DPRD Taput, hanya dua perempuan yang duduk. Sementara menurut UU No. 12 tahun 2003, perempuan yang menduduki kursi DPRD seharusnya mencapai kuota sampai 30 persen. Mengapa kuota ini tidak tercapai? Menurutnya, hal ini terjadi karena para pimpinan Parpol tidak memberi kesempatan kepada perempuan. “Mereka hanya memberi nomor urut tidak jadi. Kalau kita konsis maka berikan nomor urut pertama. Jadi bukan hanya omongan saja soal gender tapi pelaksanaannya,” demikian tegasnya. [xxii] Dari kutipan singkat artikel ini, kaum perempuan tidak perlu berkecil hati merasa berjuang sendirian dalam memajukan isu-isu multikulturalis sekaligus feminis, karena ternyata ada juga (meskipun secara jumlah mungkin masih relatif kecil) pejabat-pejabat pemerintah yang berpandangan terbuka dan pro kesetaraan dan keadilan jender.
Selain itu, ‘kita’ (yang dimaksud ‘kita’ di paragraf ini bisa dimulai dari kaum feminis yang memperjuangkan isu multikulturalisme dan pluralisme dalam agenda perjuangan mereka, dan orang-orang yang mempunyai perhatian dan kepedulian menyangkut hal pluralisme dan multikulturalisme, para tokoh pendidikan nasional, para guru dan pakar konseling bagi siswa, serta tak ketinggalan para guru di manapun mereka berada) juga bisa mulai belajar untuk memasukkan perspektif multikultural dalam agenda kurikulum pendidikan kita, entah kurikulum dimengerti secara formal, informal, non-formal, maupun kurikulum yang dipahami sebagai panduan atau garis-garis besar pengajaran nasional. Contoh yang diuraikan secara gamblang dan sistematis oleh Jeffery Scott Mio [xxiii] & Gene I. Awakuni [xxiv] dalam Resistance to Multiculturalism: Issues and Interventions (2000) [xxv] bisa menjadi inspirasi bagi kita, para pendidik dan pencerdas kehidupan bangsa, untuk memperkenalkan dan mengkreasi perspektif multikulturalisme dalam sesi bimbingan dan terapi, juga dalam pembelajaran di ruang kelas. Dalam buku ini, Mio dan Awakuni mencoba untuk menerapkan perspektif multikulturalisme dalam ruang kelas yang berkultur tradisi demokrasi Amerika, yang secara khusus didesain untuk membongkar selubung rasisme dan stereotip yang, betapapun Amerika Serikat dianggap sebagai negara yang modern, ternyata masih bercokol dalam benak anak-anak didik karena pengaruh lingkungan sosial-kultural, pengasuhan orang tua, teman-teman sebaya, dan juga dampak dari media-massa khususnya televisi dan surat kabar. Mio dan Awakuni juga menganalisa mengapa isu multikulturalisme kerap mendapat tentangan (resistensi) di level administratif yaitu dari para pembuat dan pendesain kebijakan kurikulum dan staf dosen serta para pengajar di universitas. Salah satu solusi [xxvi] untuk mengatasi bentuk resistensi semacam ini adalah dengan menawarkan penghargaan (rewards) kepada staf dosen bila mereka berhasil memasukkan isu multikulturalisme ke dalam kerangka kurikulum dan pembelajaran nyata mereka di ruang kelas atau menyertakan kesadaran multikulturalis dalam skema pertumbuhan pribadi (bagi konselor) dan lewat kebijakan-kebijakan sekolah / kampus yang dirancang untuk mendorong semua warga sekolah/kampus (karyawan, (maha)siswa, orangtua, dan guru/dosen) secara positif mengapresiasi dan menghendaki tujuan-tujuan dari multikulturalisme itu sendiri. Hanya saja, perlu diberi catatan khusus untuk upaya-upaya ini, terutama catatan dari kaum feminis, yaitu dengan menyertakan program penyadaran akan ketidakadilan jender dalam masyarakat sekaligus upaya-upaya untuk menggolkan kesetaraan jender dalam moda kurikulum yang dirancang. [xxvii] Namun program penyadaran kesetaraan jender ini pun perlu didialogkan dengan program-program lain seperti menguak selubung stereotip dan prasangka etnis, prasangka agama, prasangka budaya dan sub-budaya, isu kesenjangan sosial dan isu keadilan ekonomi, keterbukaan akses terhadap sumber-sumber informasi, dan beraneka macam program lainnya yang berada di bawah payung multikulturalisme yang kurang lebih bisa dirangkum ke dalam slogan ini: “berbeda kita (jadi) terbiasa, dan pasti bisa!”
KESIMPULAN
Isu multikulturalisme, baik sebagai kerangka wacana maupun sebagai agenda praktis perjuangan politik, tidak perlu diperlawankan dengan agenda feminis yang berupaya untuk memajukan kesetaran dan keadilan jender. Meskipun di sana-sini masih nampak adanya ketegangan konseptual dan praktis antara kedua isu besar ini, namun ada satu hal yang saya lihat bisa menjadi kerangka kerja bersama baik bagi kaum multikulturalis maupun bagi kaum feminis, yaitu: kesadaran akan keanekaragaman budaya, bangsa, kepentingan dan suara sekaligus pengakuan bahwa keanekaragaman itu bisa menyumbang pemahaman akan realitas dan gugus tindakan kita menjadi lebih kaya dan kreatif hendaknya bisa menjadi titik pijak untuk menolak model-model homogenisasi, penyeragaman dan penindasan wajah baru yang dilancarkan oleh siapapun aktornya (negara dan aparatusnya, budaya patriarkal yang dominan dengan para sesepuh dan barisan penjaganya, agama dan agamawan, pasar dan korporasi) .
DAFTAR PUSTAKA
Edi Hayat dan Miftahus Surur (editor), Perempuan Multikultural: Negosiasi dan Representasi, Depok: DESANTARA, 2005.
Hikmat Budiman (editor), Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia, Jakarta: The Interseksi Foundation, Agustus 2005.
Jeffery Scott Mio, & Gene I. Awakuni, Resistance to Multiculturalism: Issues and Interventions, Philadelphia, PA: Brunner/Mazel – Taylor & Francis Group, 2000
Paul Kelly (editor), Multiculturalism Reconsidered, Oxford: Polity Press, 2002.
Ten Chin Liew, Multiculturalism and The Value of Diversity, Singapore: Marshall Cavendish Academic, 2004.
Jurnal Perempuan No. 47, Edisi Mengapa Perempuan Menolak (RUU APP)?, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Mei 2006.
Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Right, New York: Oxford University Press Inc., 1995 (terjemahan ke dalam bahasa Indonesia oleh Edlina Hafmini Eddin dan disunting oleh Widjanarko dan diberi kata pengantar oleh Francisco Budi Hardiman menjadi Kewargaan Multikultural: Teori Liberal mengenai Hak-hak Minoritas, Jakarta: LP3ES, Januari 2003)
Bahan-bahan dari Internet:
http://www.india-seminar.com/1999/484/484%20parekh.htm (What is multiculturalism? by Bhikhu Parekh)
http://www.jai.or.id/jurnal/2002/69/10brt3psu69.pdf (Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural oleh Parsudi Suparlan)
http://www.kenanmalik.com/essays/against_mc.html (Kenan Malik's essay on the problems of multiculturalism)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0304/04/Bentara/229955.htm (Benturan Peradaban, Multikulturalisme, dan Fungsi Rasio oleh Alois A, Nugroho)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/21/pustaka/2374717.htm (Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia oleh Achmad Fedyani Saifuddin)
www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=4474&coid=3&caid=22&gid=1 (Kerangka Multikulturalisme oleh B. Hari Juliawan)
http://www.waspada.co.id/seni_&_budaya/budaya/artikel.php?article_id=44807 (Multikulturalisme dan Agenda Kemanusiaan oleh Yana Syafrie YH)
NEOLIBERALISME DAN FEMINISASI KEMISKINAN
NEOLIBERALISME dan FEMINISASI KEMISKINAN
oleh Hendar Putranto
Mari sejenak kita memperhatikan dua foto berikut ini:
Kesan-kesan apa yang secara spontan muncul di benak Anda ketika memperhatikan kedua foto di atas? [1] Foto di kiri: Perempuan, gaya hidup jet set, komunikasi canggih, erotis, warna-warni, feminin, fesyen, glamor… Foto di kanan [2]: Kusam, hitam-putih, senyum, kemiskinan, beban perempuan, pekerja kasar, tidak menarik, membuat simpati (belas kasihan), dan seterusnya …
Samar-samar kita menangkap kontras lewat kedua gambar ini. Yang satu berwarna dan nampak ceria, menyenangkan. Yang satu suram dan menyedihkan. Meskipun ada kesamaan dalam kedua gambar itu (kedua-duanya menampilkan wajah perempuan), namun nampak bahwa ada ‘perbedaan tingkat kehidupan dan kesejahteraan’ di antara mereka Gambar pertama nampaknya menampilkan sosok perempuan dari negara maju, yang kebutuhan dasariah hidupnya sudah tercukupi, dan kini mereka bebas mengekspresikan diri dalam kebutuhan hidup yang tidak primer, seperti fesyen, kecantikan dan life-style. Sementara gambar kedua menunjukkan sosok perempuan dari negara berkembang yang masih bergulat dengan ‘lingkaran setan kemiskinan’ yang terkait erat dengan keterbatasan akses terhadap kerja, makan, minum air bersih, dan mungkin juga persoalan tempat tinggal. Jika kedua foto di atas masih belum begitu mencengangkan, saya akan menyodorkan sejumlah fakta tentang kemiskinan (poverty facts and stats) berikut ini [3]:
1. Separuh penduduk dunia --- hampir tiga juta orang--- hidup dengan penghasilan kurang dari 2 dolar Amerika (kurang lebih Rp. 20.000) sehari.
2. Pendapatan Kotor (GDP / Gross Domestic Product) dari 48 negara yang paling miskin di dunia (seperempat dari jumlah seluruh negara yang ada di dunia) masih kurang dari jumlah kekayaan tiga orang terkaya di dunia yang digabung.
3. Memasuki abad ke-21 (tahun 2000 dan seterusnya), hampir satu milyar orang tidak mampu membaca buku atau tanda tangan nama mereka.
4. 51 persen dari 100 lembaga yang terkaya di dunia adalah korporasi.
5. Tabel skala proritas pembelanjaan dunia di bawah ini(data 1998)
Prioritas Global dalam Milyar US $
Kosmetik (hanya di USA) 8
Es Krim (di Eropa) 11
Parfum (di Eropa dan USA) 12
Makanan untuk binatang peliharaan (di Eropa dan USA) 17
Bisnis hiburan (di Jepang ) 35
Rokok (di Eropa) 50
Minuman beralkohol (di Eropa) 105
Perdagangan narkotik di seluruh dunia 400
Belanja militer di seluruh dunia 780
6. Bandingkan tabel pembelanjaan di atas dengan biaya untuk melakukan pelayanan sosial yang paling dasar (basic social services) di negara-negara berkembang berikut ini:
Prioritas Global dalam Milyar US $
Pendidikan dasar untuk semua 6
Air bersih dan sanitasi untuk semua 9
Pelayanan kesehatan reproduksi untuk semua perempuan 12
Penyediaan gizi dan pelayanan kesehatan dasar 13
Ada apa atau apa yang terjadi di belakang semua foto dan fakta tadi? Di mana letak akar-akar persoalan dari semua fakta kemiskinan berikut? Siapa yang paling tertindas dari problem kemiskinan? Lalu kita mau apa setelah melihat fakta-fakta berikut di atas? Itulah yang akan coba dipaparkan secara singkat dalam paper ini, yaitu keterkaitan dan ketegangan antara ideologi neoliberalisme dengan fakta feminisasi kemiskinan, serta upaya-upaya mengatasinya.
( I) NEOLIBERALISME dan ancaman atas makna hidup bersama
Secara garis besar, Neoliberalisme bisa dimengerti sebagai praksis kebijakan ekonomi, maupun sebagai filsafat atau teori ekonomi-politik (ideologi). Sebagai filsafat, Neoliberalisme adalah filsafat di mana eksistensi dan operasi pasar bernilai pada dirinya sendiri, yang terlepas dari relasi produksi barang dan jasa, atau upaya untuk membenarkan mereka berdasarkan dampak terhadap relasi produksi barang dan jasa tersebut; dan operasi pasar atau yang berstruktur mirip pasar dilihat sebagai etika pada dirinya sendiri, artinya pasar bisa menjadi panduan untuk hidup yang baik dan tindakan yang baik, dan pandangan ini berupaya untuk menggantikan semua kerangka etis yang lain. Sebagai praksis kebijakan ekonomi, neoliberalisme adalah kebijakan ekonomi berhaluan baru yang baru mulai berkembang sejak era 1970-an, yang berbeda dari liberalisme klasik. Bedanya di mana? Dalam bentuknya yang paling keras, neoliberalisme adalah ideologi ekonomi yang berpusat pada kerangka acuan perdagangan dan pasar bebas serta bisnis yang berekspansi dalam skala global berkat jasa kondisi-kondisi bernama globalisasi. Cita-cita mulia dari perdagangan dan pasar bebas ini adalah kesejahteraan sosial, politik dan ekonomi yang semakin besar untuk seluruh umat manusia. Sebagai konsekuensi dari paham perdagangan bebas, intervensi negara yang berlebihan, pajak dan aturan-aturan yang menghambat kelancaran arus perdagangan antar-negara harus sesegera mungkin disingkirkan, karena pasarlah, bukan negara, yang paling tahu apa yang terbaik untuk hidup manusia. Ringkasnya: sebagai kebijakan ekonomi, ada 3 mantra dari neoliberalisme, yaitu: deregulasi, privatisasi dan liberalisasi.
Elizabeth Martinez and Arnoldo García mengggambarkan Neo-liberalism sebagai seperangkat kebijakan ekonomi yang tersebar luas ke seluruh dunia selama 25 tahun terakhir ini, karena ‘dipaksakan’ oleh lembaga-lembaga keuangan berskala internasional seperti IMF, Bank Dunia dan yang salah satu dampak pokoknya adalah “yang kaya bertambah kaya, yang miskin bertambah miskin” Sebagai ideologi, paham neoliberalisme merasuk tidak hanya ke dalam kebijakan ekonomi negara atau antar-negara, namun juga dalam level kesadaran manusia sehari-hari, manusia adalah melulu manusia ekonomi (homo oeconomicus), bukan lagi manusia multi-dimensi seperti manusia politis / sosial (zoon politicon), manusia yang berakal-budi (animal rationale) atau yang mampu berpikir (homo sapiens) atau manusia yang terlibat dalam proses pemaknaan dalam bentuk simbol-simbol (animal symbolicum, homo significans). Dalam prakteknya, manusia homo oeconomicus memandang dan memperlakukan sesamanya sebagai “sarana untuk mencapai tujuan” (bukan “tujuan pada dirinya sendiri”) dan tujuan itu adalah keuntungan (profit) material-ekonomis. Jika neolib mencetak manusia-manusia yang seperti ini (homo oeconomicus), sudah jelas dengan sendirinya bahwa manusia menjadi egois dan hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri, mengumpulkan keuntungan sebanyak-banyaknya untuk dirinya sendiri, dan kalaupun ada orang lain, orang lain itu diperalatnya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (di mana kebutuhan-kebutuhan itu tidak akan pernah tercukupi selama manusia masih tinggal di dunia ini). Hidup bersama dalam masyarakat dan kebaikan bersama (bonum communae), hidup yang saling menopang dan menolong, yang kuat / lebih cukup membantu yang lemah dan berkekurangan, lalu menjadi terancam, untuk tidak mengatakan “punah”.
(II) Feminisasi Kemiskinan dan marjinalisasi perempuan dalam tatanan neoliberalisme
Feminisasi kemiskinan sebagai gejala sosial kemasyarakatan sudah mulai diamati dan didiskusikan dalam lingkup akademis dan aktivis sejak periode 1970-an. Gejala itu tampak dengan jelas dalam konteks masyarakat Amerika Serikat (USA) yang ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga (female household) dan mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar dari perempuan yang menjadi kepala rumah tangga ini adalah mereka yang bercerai atau para ibu yang sama sekali tidak pernah menikah (tapi mempunyai anak). Pada tahun 2000, 11% dari jumlah keluarga di Amerika (USA) hidup dalam kemiskinan, dan dari 11% keluarga ini, 28% nya dikepalai oleh perempuan. Beban untuk menopang hidup keluarga dirasa amat berat bagi ibu yang berperan sebagai orangtua tunggal (single mothers) karena rendahnya upah yang erat terkait dengan pengalaman kerja yang minim dan rendahnya tingkat pendidikan. Diberlakukannya undang-undang yang mengesahkan perceraian, budaya “kumpul kebo” tanpa ikatan dan komitmen perkawinan, dan adanya dukungan dari baik lembaga publik maupun privat untuk menopang kehidupan para orangtua tunggal, semakin mempertinggi ratio feminisasi kemiskinan. Di USA, perceraian termasuk faktor pokok yang menyebabkan kebangkrutan ekonomi keluarga-keluarga.
Sara S. McLanahan dan Erin L. Kelly [4] dalam “The Feminization of Poverty: Past and Future” mengatakan bahwa istilah feminization of poverty mengundang kita untuk memfokuskan perhatian kita pada dua hal pokok, yaitu (1) adanya perbedaan seks dalam tingkat kemiskinan (sex differences in poverty rates) dan (2) fakta no (1) ini terus meningkat selama tiga dasawarsa terakhir (1970-an sampai 2000). Feminisasi dimengerti sebagai penggambaran atas kondisi ketidaksamaan tingkat kemiskinan antara lelaki dan perempuan dan proses-proses yang terkait yang menyebabkan resiko perempuan untuk hidup di bawah garis kemiskinan menjadi lebih tinggi daripada resiko yang harus ditanggung lelaki. Sebagai kesimpulan dari penelitian mereka, disebutkan bahwa di negara maju (USA), perubahan dalam tingkat kemiskinan dan perbedaan seks dalam kemiskinan terjadi selama dua periode besar, yaitu antara 1950 s/d 1970 dan dari 1970 s/d 1996. Beberapa dekade setelah Perang Dunia II, tingkat kemiskinan menurun drastis. Hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, termasuk meningkatnya upah, dan kebijakan proteksi dari pemerintah Amerika, termasuk Jaminan Sosial (Social Security) dan program-program peningkatan kesejahteraan. Namun, herannya, tingkat kemiskinan yang menurun ini diikuti dengan kenaikan rasio kemiskinan berdasarkan jenis kelamin (sex-poverty ratio). Artinya, ada ketidaksamaan tingkat kemiskinan yang dialami lelaki dan perempuan. Ada beberapa penyebab, yaitu: (1) pertumbuhan ekonomi, pembukaan lapangan kerja baru, dan kenaikan upah, lwbih menguntungkan laki-laki daripada perempuan, karena laki-laki lebih dekat dan lebih terbuka aksesnya untuk masuk ke dalam lapangan kerja, daripada perempuan. (2) perubahan dalam struktur keluarga lebih berat dampaknya bagi perempuan dariapda bagi laki-laki karena perempuan memikul beban tanggungjawab pengasuhan yang lebih besar atas anak-anak mereka di dalam keluarga-keluarga yang orangtuanya bercerai atau berpisah atau tidak diikat dalam perkawinan.
Itu gejala “feminisasi kemiskinan” yang terjadi di negara maju. Bagaimana dengan kemiskinan perempuan di negara-negara berkembang, bahkan negara miskin? Seorang jurnalis kenamaan asal Inggris bernama Paul Harrison yang banyak meliput di negara-negara miskin seperti di Afrika, Asia dan Amerika Latin, sudah sejak 1981 mengatakan dalam bukunya Inside The Third World bahwa
“Nasib para perempuan di Dunia Ketiga amatlah menyedihkan. Di Kenya, mungkin separuh dari rumah tangga di wilayah pinggiran dikepalai oleh perempuan. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, dan kepemilikan tanah yang makin menyusut, banyak lelaki yang bermigrasi ke kota besar untuk mencari pekerjaan, dan mereka meninggalkan istri-istri mereka di kampung untuk mengurusi ladang dan keluarga. Perempuan seperti Rachel Mwangene (umur 34) harus berjuang keras sendirian dengan satu rumah, empat anak, tiga sapi, tujuh kambing, satu domba dan dua hektar lahan pertanian. Suaminya buruh kasar di kota Mombasa dan ia hanya memperoleh upah 300 shillings (kurang lebih Rp. 60,000) per bulan (kurs tahun 1981), dan itupun yang dibawa pulang suaminya ke rumah kurang dari 50 shillings (Rp. 10,000), karena mungkin yang lainnya sudah habis untuk biaya sewa tempat tinggal, makanan, transport, dan mungkin saja anggur serta perempuan.”
Melihat contoh kasus nyata semacam ini, tidak heran kalau Harrison menyimpulkan “Kaum perempuan adalah yang termiskin dari yang paling miskin. Mereka ditindas oleh ketidakadilan nasional dan internasional, dan sistem keluarga yang memberikan akses pada suami, ayah dan saudara laki-laki untuk mencambuki mereka. Perkembangan ekonomi lebih menguntungkan lelaki miskin, tetapi tidak untuk. kaum perempuan. Karena ketidakadilan dan eksploitasi terjadi baik di dalam keluarga sendiri maupun di antara keluarga-keluarga. Kaum lelakilah yang menikmati privilese yang lebih besar, sementara kaum perempuan yang harus memikul beban yang lebih banyak. Ringkasnya: ada ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan, sumber daya dan tanggungjawab antara lelaki dan perempuan. Ketidakadilan ini lalu dilegitimasi oleh tradisi warisan nenek-moyang, disosialisasikan dan akhirnya membentuk sikap perempuan yang pasif, yang acapkali lalu dibakukan dalam hukum, dan kalau perlu dipaksakan oleh lelaki dengan tindak kekerasan. [5]
Persoalannya sekarang adalah bagaimana mengukur problem kemiskinan dari kacamata feminis? Pada umumnya disepakati bahwa pendekatan feminis terhadap problem kemiskinan berfokus pada implikasi jender dan harga sosial dari kemiskinan itu sendiri, yang meliputi semakin meningkatnya jumlah perempuan dan anak-anak yang terlibat atau “nyemplung” dalam ekonomi sektor informal; perbedaan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga; tekanan sosial masyarakat agar anak gadis cepat-cepat menikah dan bersuami di balik asumsi tak berdasar “yang penting cepat laku dan tidak jadi perawan tua”; tingginya tingkat drop-out (keluar dari sekolah sebelum waktunya) bagi anak perempuan; kurangnya pemahaman yang tepat dan kontrol soal kesuburan perempuan; dan pilihan ‘tak bebas’ untuk masuk ke dunia prostitusi. Secara khusus dan lebih terukur, seorang feminis dan aktivis dari Zambia, Sara Longwe [6], mengembangkan KPP atau Kerangka Pemberdayaan Perempuan (Longwe Framework for Gender Analysis) untuk menganalisa kemiskinan dari perspektif analisa jender, yang meliputi 5 hal yang saling terkait, yaitu [7]: (1) Kesejahteraan. Batasan untuk menganalisa aspek kesejahteraan, adalah mengenai suplai makanan, pendapatan dan perawatan kesehatan; (2) Akses. Batasan untuk menganalisa aspek akses, adalah mengenai akses yang sama ke lahan/tanah, pekerjaan, penghargaan, pelatihan, dan akses fasilitas lainnya. (3) Penyadaran / Kesadaran (Konsientisasi). Batasan untuk menganalisa aspek kesadaran, adalah mengenai pemahaman mayarakat tentang perbedaan sex dan gender, kepercayaan terhadap pembagian kerja secara seksual. (4) Partisipasi. Batasan untuk menganalisa aspek partisipasi, adalah mengenai partisipasi perempuan yang setara dalam proses pembuatan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan hingga evaluasi. (5) Kontrol. Batasan untuk menganalisa aspek partisipasi, adalah mengenai persamaan kontrol, suatu keseimbangan kontrol antara laki-laki dan perempuan (tidak ada salah satu pihak yang lebih dominan dalam kontrol). [8]
Dr. Sarah Bradshaw memberikan pandangan lain untuk menganalisa kemiskinan dari perspektif jender, dalam tulisannya “Poverty: An Analysis from the Gender Perspective.” [9] Ia memberikan 4 poin pokok sebab-sebab kemiskinan, yaitu:
(1) Pendapatan tidak mencukupi dan produktivitas minim.
(2) Faktor-faktor sosio-politis : Lemahnya kekuasaan untuk melakukan tawar-menawar dalam sistem pasar yang sekarang; lemahnya sistem politik; ketergantungan ekonomi (kepada laki-laki) yang terus dilestarikan secara budaya dan secara politis.
(3) Ketidaksetaraan : Pembatasan dan keterbatasan akses terhadap kebutuhan pokok hidup (tidak hanya sandang pangan dan papan, tapi juga pendidikan dan kesehatan)
(4) Ketidaksamaan dalam rumah tangga yang berdampak buruk bagi perempuan.
Akan tetapi keempat faktor ini masih harus dipertajam lagi dengan menyertakan sebab-sebab kemiskinan yang dialami oleh perempuan, yaitu:
1. Perempuan mempunyai kesempatan yang lebih kecil untuk memperoleh keuntungan dari pekerjaan yang ada sekarang karena tanggungjawab eksklusif yang sering diminta dari mereka yaitu pengasuhan anak, dan pemusatan pekerjaan mereka di sektor-sektor informal (unregulated sector).
2. Kalaupun perempuan mendapatkan penghasilan, lebih sulit bagi mereka untuk menentukan sendiri mau diapakan uang yang mereka peroleh itu, mengingat kemampuan membuat keputusan amat dipengaruhi oleh tingkat independensi dan kerangka nilai yang membentuk mereka.
3. Pada umumnya, ketika perempuan harus mengambil keputusan, mereka tidak menyejahterakan diri mereka sendiri namun lebih memikirkan kesejahteraan keluarga mereka – hal ini jauh mengakar dalam pandangan masyarakat / ekspektasi masyarakat terhadap perempuan, yaitu bersikap altruistik, ngalah dan mengutamakan memikirkan orang lain daripada diri sendiri.
Sementara itu, menurut Valentine M. Moghadam [10], ada 3 faktor kunci untuk menelaah feminisasi kemiskinan di seluruh dunia, yaitu: (1) meningkatnya jumlah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga (the growth of female-headed households), (2) ketidaksetaraan dan penindasan terhadap perempuan, baik ibu maupun gadis, yang terjadi di dalam maupun lintas-rumah tangga, dan (3) kebijakan ekonomi neoliberal, yang meliputi penyesuaian struktural (structural adjustments), dan pemujaan pasar. Akar kemiskinan yang dialami kaum perempuan meliputi 3 gal, yaitu tren kependudukan, pola-pola ‘budaya’ dan ekonomi politik. Dalam penelitiannya, Moghadam membuktikan bahwa status ekonomi dari rumah-tangga yang dikepalai oleh perempuan ditentukan baik oleh kebijakan sosial yang diberlakukan oleh pemerintah / rezim setempat, maupun keterbatasan akses perempuan terhadap pekerjaan dan hak milik pribadi (properti). Selain itu, Moghadam melihat bahwa program restrukturisasi yang dikampanyekan dan didesakkan oleh neoliberalisme berdampak amat kejam terhadap nasib perempuan. Tegasnya, perempuan menempati posisi yang kurang beruntung dalam tatanan ekonomi-politik yang ada sekarang ini, terlebih di negara-negara berkembang seperti di India dan Indonesia.
Mengapa bisa terjadi demikian? Jika kemiskinan pertama-tama dilihat sebagai penyangkalan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM), akan segera terlihat bahwa perempuan miskin menderita dua kali lipat (double burden). Pertama karena alasan ketidaksetaraan gender (gender inequalities). Kedua karena kemiskinan itu sendiri. Dalam pembahasaan yang lebih mengena, beban ganda perempuan yang dilihat dalam kerangka ketidakadilan gender dimengerti sebagai “beban perempuan untuk bertanggungjawab atas pekerjaan-pekerjaan kerumahtanggaan (domestik) dam bekerja keluar rumah (sektor publik) untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Belum ditambah jika perempuan masih harus mengemban tugas dan tanggungjawab sosial di lingkungan tempat tinggalnya seperti jika ada tetangga yang meninggal atau menikah. Oleh karena itu, program-program untuk menghapuskan kemiskinan harus menyertakan analisa atas persoalan ketidaksamaan gender sekaligus hak-hak kaum perempuan.
(III) Keterkaitan antara Neoliberalisme dan Feminisasi Kemiskinan
Setelah membahas secara ringkas baik tentang paham / ideologi Neoliberalisme maupun feminisasi kemiskinan secara terpisah, maka baik kiranya jika pada bagian ini kita mencari titik ketegangan sekaligus persinggungan di antara keduanya.
Jika Neoliberalisme dipahami sebagai pemujaan pasar bebas, maka globalisasi adalah kondisi yang mempercepat ketersebarannya. Kerangka nilai yang dianut oleh neoliberalisme adalah pemerolehan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya (cost) dan resiko (risk) sekecil-kecilnya, dan sebisa mungkin hal ini dicapai lewat “intervensi minimum negara” (negara tidak ikut campur tangan membatasi kinerja pasar). Untuk mencapai hal ini, terhadap negara, korporasi-korporasi multi-nasional/ trans-nasional yang menjadi aktor sejarah di balik ideologi neoliberalisme meminta negara untuk mengakomodasi 3 langkah kebijakan ini, yaitu: deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi perdagangan (free trade). Itu baru soal ekonomi. Bagaimana dengan ranah-ranah kehidupan publik lainnya? Apa dampak dari ideologi ini? Neolib dikambinghitamkan sebagai penyebab utama terciptanya gap yang semakin melebar antara “yang kaya” dan “yang miskin” di dunia ini, karena pembatasan macam-macam akses terhadap “barang publik”, seperti kesehatan, pendidikan, air minum, listrik, telekomunikasi dan transportasi. Bahkan, lebih jauh lagi, barang publik yang tadinya begitu mudah dan murah diakses orang banyak (berkat peran ‘negara kesejahteraan’), oleh neolib dijadikan komoditi, sehingga hanya yang mampu membayar sajalah yang mendapatkannya. Secara budaya, langkah ini semakin diperparah dengan komodifikasi hasil-hasil ekspresi budaya, di mana homogenisasi dan masifikasi produk (untuk memenuhi standar internasional lewat uji kelayakan untuk memperoleh sertifikasi seperti ISO) membuat ragam perbedaan dipangkas dan kebhinnekaan ditebas. Dan lebih lanjut lagi, secara legal, barang-barang dan pengetahuan tradisional yang tadinya kita yang menjadi empunya (misalnya: pengetahuan tentang obat-obatan tradisional, jamu, dll.) sekarang diklaim menjadi milik “orang atau badan / lembaga yang pertama yang mematenkannya.” Jelas kita ketinggalan jauh dalam akses-akses legal semacam ini karena piranti hukum kita masih jauh dari memadai dan canggih untuk menampung “aturan main” yang menguntungkan pihak-pihak yang sudah lebih dulu dan lebih terbiasa dengan “aturan main” paten-mematenkan tersebut.
Sementara itu, feminisasi kemiskinan pertama-tama dipahami sebagai tren meningkatnya rumahtangga yang dikepalai oleh perempuan (female household), karena macam-macam faktor, seperti perang / konflik bersenjata (laki-laki pergi berperang, mati dan meninggalkan janda-janda yang harus menghidupi keluarganya), minimnya lapangan pekerjaan di desa / kampung asal sehingga laki-laki pergi ke kota-kota besar meninggalkan perempuan mengurusi semuanya, dan pandangan tradisional-kultural, yang mengharapkan perempuan berperan utama sebagai pihak yang mengasuh dan membesarkan anak sehingga akses pada pendidikan yang lebih tinggi (higher education) menjadi lebih terbatas bagi perempuan daripada bagi laki-laki. Feminisasi kemiskinan yang kedua menyangkut “beban ganda perempuan” seperti sudah dijelaskan di atas, dan itu terlebih parah dirasakan dampaknya di negara berkembang.
Melihat dua pokok kajian ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa program-program kebijakan ekonomi yang dikampanyekan neoliberalisme lewat lembaga-lembaga keuangan berskala internasional (WTO, Bank Dunia, IMF, dll), dan korporasi-korporasi lintas-negara (MNC’s dan TNC’s), terutama lewat 3 paket kebijakan: deregulasi, privatisasi dan liberalisasi, memperlemah posisi tawar negara dalam menentukan arah kebijakan ekonominya sendiri, termasuk soal jaminan kesejahteraan dan proteksi terhadap aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh rakyat kecil. Jika kebijakan ekonomi negara terus didikte oleh para kampiun neolib, tentu dampaknya tidak hanya dirasakan oleh bapak presiden dan menteri keuangan. Dampak akan paling terasa di level akar-rumput. Dan persis di level-akar rumput inilah, feminisasi kemiskinan terjadi secara mengerikan. Lagi-lagi perempuan, yang sudah dilemahkan secara sosial-budaya lewat pembatasan akses (lihat poin dari KPP versi Longwe), akan lebih diperlemah lagi secara ekonomi-politis lewat kebijakan-kebijakan negara yang didikte oleh para kampiun Neolib. Pemberdayaan perempuan bukanlah agenda utama dari neoliberalisme, karenanya, neoliberalisme yang melulu mengejar profit dan maksimalisasi keuntungan, jelas-jelas mengancam kedaulatan perempuan dalam bidang sosial-ekonomi, dalam hal pembagian kerja yang adil dalam keluarga dan dalam struktur sosial-publik, serta atas tubuhnya sendiri. Minimnya peran perempuan dan mereka yang berperspektif perempuan (yaitu keadilan dan kesetaraan jender) dalam ikut menentukan regulasi dan kebijakan ekonomi skala lokal-nasional akan berdampak buruk terhadap kelangsungan hidup perempuan. Lalu, apa jalan keluar yang mungkin?
(IV) Bagaimana solusinya?
Ada beberapa solusi yang bisa saya tarik dari pemaparan fakta dan logika neoliberalisme serta feminisasi kemiskinan di atas, yaitu:
1. Pada level paradigma: feminisme mengakui keberbedaan dan keragaman pengalaman perempuan, sementara neoliberalisme dengan homogenisasi, standardisasi dan pemujaan pasar bebas serta homo economicus sebagai satu-satunya tolok ukur hakikat manusia, cenderung menyeragamkan keberbedaan itu dalam skala yang massal. Inilah yang harus ditolak oleh kaum feminis.
2. Pada level distribusi dan redistribusi sumber-sumber kekayaan alam, neoliberalisme lewat tangan-tangan MNCs dan TNCs telah merampok, mengeksploitasi dan bahkan mematenkan keragaman pengetahuan dan model perawatan sumber-sumber daya alam (seperti penyimpanan benih, resep-resep masakan dan cara-cara pengolahan) yang khas empunya perempuan di berbagai belahan bumi ini, termasuk di Indonesia. Hal ini dapat menjadi sumber kepunahan keragaman alam (biodiversitas) dan cara-cara pemeliharaannya. Atau, akses terhadap pengetahuan tradisional dan kebijaksanaan lokal itu lama-kelamaan akan memudar, dianggap kolot seiring dengan mekanisasi dan sientifikasi pengetahuan.
3. Pada level gerakan, feminisasi kemiskinan harus dilawan dengan perempuan menyodorkan agenda baru soal pembagian kerja baik di sektor tatanan internasional politik (akses perempuan dalam deliberasi dan pengambilan keputusan yang bersifat publik), di sektor ekonomi-industri (pabrik, perusahaan) maupun di unit terkecil masyarakat yaitu keluarga.
4. Pada level kedaulatan perempuan atas tubuhnya sendiri. Agar tubuh perempuan tidak menjadi objek manipulasi atau eksploitasi dari “pasar bebas” yang hanya mau mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengindahkan nilai-nilai moral-etis. Perbudakan terselubung atas nama “demi pekerjaan”, yaitu diperdagangkan sebagai budak seks lintas-negara, menjadi pelacur atau ‘istri dengan status kontrak’ dalam ‘industri pariwisata seks,’ serta isu women-trafficking [11] dengan segala macam bentuk dan dalihnya, merupakan sosok kejahatan patriarki yang terorganisasi [12] yang harus ditolak, diregulasi, dan, kalau melanggar, ditindak tegas oleh aparat hukum.
Daftar Bacaan
Buku / Essai:
Francis Wahono & I. Wibowo (editor), Neoliberalisme, Yogyakarta: CINDELARAS Pustaka Rakyat Cerdas, 2003.
B. Herry Priyono, Homo Oeconomicus: Dari Pengandaian ke Kenyataan, dalam I. Wibowo & B. Herry Priyono (editor), Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz Magnis Suseno, Yogyakarta : Kanisius, 2006, hlm. 87 – 132.
Robert H. Imam, “Globalisasi: Proses dan Wacana Kompleks serta Konfliktual”, dalam I. Wibowo & B. Herry Priyono (editor), Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz Magnis Suseno, Yogyakarta : Kanisius, 2006, hlm. 163 – 189.
Arimbi Heroepoetri & R. Valentina, Percakapan tentang Feminisme dan Neoliberalisme, Jakarta & Bandung: Debt Watch & Institut Perempuan, 2004.
Paul Harrison, Inside the Third World, Middlesex (UK), New York (USA): Penguin Books, 1981.
Rita Nakashima Brock, “Power, Peace, and the Possibility of Survival”, dalam Frederick Ferré & Rita H. Mataragnon, God & Global Justice, New York: Paragon House, 1985.
Situs Internet:
www.en.wikipedia.org/wiki/Neoliberalism
www.web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/neoliberalism.html
www.warprofiteers.com/article.php?id=376
www.globalissues.org/TradeRelated/FreeTrade/Neoliberalism.asp
www.mondediplo.com/1998/12/08bourdieu
www.globalpolicy.org/globaliz/econ/histneol.htm
www.globalexchange.org/economy/econ101/neoliberalDefined.html
Valentine M. Moghadam, “THE ‘FEMINIZATION OF POVERTY’ AND WOMEN’S HUMAN RIGHTS” yang bisa diakses di http://portal.unesco.org/shs/en/file_download.php/a17be918eefc8e5235f8c4814bd684fdFeminization+of+Poverty.pdf.
Sara S. McLanahan & Erin L. Kelly “The Feminization of Poverty: Past and Future” yang bisa diakses di http://www.olin.wustl.edu/macarthur/working%20papers/wp-mclanahan3.htm
http://www.womst.ucsb.edu/projects/crwsj/collaborative/execsummaryweb.pdf.
http://en.wikipedia.org/wiki/Feminization_of_poverty
Alain Marcoux, “The Feminization of Poverty: Facts, Hypotheses and the Art of Advocacy” yang bisa diakses di www.fao.org/sd/wpdirect/WPan0015.htm
oleh Hendar Putranto
Mari sejenak kita memperhatikan dua foto berikut ini:
Kesan-kesan apa yang secara spontan muncul di benak Anda ketika memperhatikan kedua foto di atas? [1] Foto di kiri: Perempuan, gaya hidup jet set, komunikasi canggih, erotis, warna-warni, feminin, fesyen, glamor… Foto di kanan [2]: Kusam, hitam-putih, senyum, kemiskinan, beban perempuan, pekerja kasar, tidak menarik, membuat simpati (belas kasihan), dan seterusnya …
Samar-samar kita menangkap kontras lewat kedua gambar ini. Yang satu berwarna dan nampak ceria, menyenangkan. Yang satu suram dan menyedihkan. Meskipun ada kesamaan dalam kedua gambar itu (kedua-duanya menampilkan wajah perempuan), namun nampak bahwa ada ‘perbedaan tingkat kehidupan dan kesejahteraan’ di antara mereka Gambar pertama nampaknya menampilkan sosok perempuan dari negara maju, yang kebutuhan dasariah hidupnya sudah tercukupi, dan kini mereka bebas mengekspresikan diri dalam kebutuhan hidup yang tidak primer, seperti fesyen, kecantikan dan life-style. Sementara gambar kedua menunjukkan sosok perempuan dari negara berkembang yang masih bergulat dengan ‘lingkaran setan kemiskinan’ yang terkait erat dengan keterbatasan akses terhadap kerja, makan, minum air bersih, dan mungkin juga persoalan tempat tinggal. Jika kedua foto di atas masih belum begitu mencengangkan, saya akan menyodorkan sejumlah fakta tentang kemiskinan (poverty facts and stats) berikut ini [3]:
1. Separuh penduduk dunia --- hampir tiga juta orang--- hidup dengan penghasilan kurang dari 2 dolar Amerika (kurang lebih Rp. 20.000) sehari.
2. Pendapatan Kotor (GDP / Gross Domestic Product) dari 48 negara yang paling miskin di dunia (seperempat dari jumlah seluruh negara yang ada di dunia) masih kurang dari jumlah kekayaan tiga orang terkaya di dunia yang digabung.
3. Memasuki abad ke-21 (tahun 2000 dan seterusnya), hampir satu milyar orang tidak mampu membaca buku atau tanda tangan nama mereka.
4. 51 persen dari 100 lembaga yang terkaya di dunia adalah korporasi.
5. Tabel skala proritas pembelanjaan dunia di bawah ini(data 1998)
Prioritas Global dalam Milyar US $
Kosmetik (hanya di USA) 8
Es Krim (di Eropa) 11
Parfum (di Eropa dan USA) 12
Makanan untuk binatang peliharaan (di Eropa dan USA) 17
Bisnis hiburan (di Jepang ) 35
Rokok (di Eropa) 50
Minuman beralkohol (di Eropa) 105
Perdagangan narkotik di seluruh dunia 400
Belanja militer di seluruh dunia 780
6. Bandingkan tabel pembelanjaan di atas dengan biaya untuk melakukan pelayanan sosial yang paling dasar (basic social services) di negara-negara berkembang berikut ini:
Prioritas Global dalam Milyar US $
Pendidikan dasar untuk semua 6
Air bersih dan sanitasi untuk semua 9
Pelayanan kesehatan reproduksi untuk semua perempuan 12
Penyediaan gizi dan pelayanan kesehatan dasar 13
Ada apa atau apa yang terjadi di belakang semua foto dan fakta tadi? Di mana letak akar-akar persoalan dari semua fakta kemiskinan berikut? Siapa yang paling tertindas dari problem kemiskinan? Lalu kita mau apa setelah melihat fakta-fakta berikut di atas? Itulah yang akan coba dipaparkan secara singkat dalam paper ini, yaitu keterkaitan dan ketegangan antara ideologi neoliberalisme dengan fakta feminisasi kemiskinan, serta upaya-upaya mengatasinya.
( I) NEOLIBERALISME dan ancaman atas makna hidup bersama
Secara garis besar, Neoliberalisme bisa dimengerti sebagai praksis kebijakan ekonomi, maupun sebagai filsafat atau teori ekonomi-politik (ideologi). Sebagai filsafat, Neoliberalisme adalah filsafat di mana eksistensi dan operasi pasar bernilai pada dirinya sendiri, yang terlepas dari relasi produksi barang dan jasa, atau upaya untuk membenarkan mereka berdasarkan dampak terhadap relasi produksi barang dan jasa tersebut; dan operasi pasar atau yang berstruktur mirip pasar dilihat sebagai etika pada dirinya sendiri, artinya pasar bisa menjadi panduan untuk hidup yang baik dan tindakan yang baik, dan pandangan ini berupaya untuk menggantikan semua kerangka etis yang lain. Sebagai praksis kebijakan ekonomi, neoliberalisme adalah kebijakan ekonomi berhaluan baru yang baru mulai berkembang sejak era 1970-an, yang berbeda dari liberalisme klasik. Bedanya di mana? Dalam bentuknya yang paling keras, neoliberalisme adalah ideologi ekonomi yang berpusat pada kerangka acuan perdagangan dan pasar bebas serta bisnis yang berekspansi dalam skala global berkat jasa kondisi-kondisi bernama globalisasi. Cita-cita mulia dari perdagangan dan pasar bebas ini adalah kesejahteraan sosial, politik dan ekonomi yang semakin besar untuk seluruh umat manusia. Sebagai konsekuensi dari paham perdagangan bebas, intervensi negara yang berlebihan, pajak dan aturan-aturan yang menghambat kelancaran arus perdagangan antar-negara harus sesegera mungkin disingkirkan, karena pasarlah, bukan negara, yang paling tahu apa yang terbaik untuk hidup manusia. Ringkasnya: sebagai kebijakan ekonomi, ada 3 mantra dari neoliberalisme, yaitu: deregulasi, privatisasi dan liberalisasi.
Elizabeth Martinez and Arnoldo García mengggambarkan Neo-liberalism sebagai seperangkat kebijakan ekonomi yang tersebar luas ke seluruh dunia selama 25 tahun terakhir ini, karena ‘dipaksakan’ oleh lembaga-lembaga keuangan berskala internasional seperti IMF, Bank Dunia dan yang salah satu dampak pokoknya adalah “yang kaya bertambah kaya, yang miskin bertambah miskin” Sebagai ideologi, paham neoliberalisme merasuk tidak hanya ke dalam kebijakan ekonomi negara atau antar-negara, namun juga dalam level kesadaran manusia sehari-hari, manusia adalah melulu manusia ekonomi (homo oeconomicus), bukan lagi manusia multi-dimensi seperti manusia politis / sosial (zoon politicon), manusia yang berakal-budi (animal rationale) atau yang mampu berpikir (homo sapiens) atau manusia yang terlibat dalam proses pemaknaan dalam bentuk simbol-simbol (animal symbolicum, homo significans). Dalam prakteknya, manusia homo oeconomicus memandang dan memperlakukan sesamanya sebagai “sarana untuk mencapai tujuan” (bukan “tujuan pada dirinya sendiri”) dan tujuan itu adalah keuntungan (profit) material-ekonomis. Jika neolib mencetak manusia-manusia yang seperti ini (homo oeconomicus), sudah jelas dengan sendirinya bahwa manusia menjadi egois dan hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri, mengumpulkan keuntungan sebanyak-banyaknya untuk dirinya sendiri, dan kalaupun ada orang lain, orang lain itu diperalatnya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (di mana kebutuhan-kebutuhan itu tidak akan pernah tercukupi selama manusia masih tinggal di dunia ini). Hidup bersama dalam masyarakat dan kebaikan bersama (bonum communae), hidup yang saling menopang dan menolong, yang kuat / lebih cukup membantu yang lemah dan berkekurangan, lalu menjadi terancam, untuk tidak mengatakan “punah”.
(II) Feminisasi Kemiskinan dan marjinalisasi perempuan dalam tatanan neoliberalisme
Feminisasi kemiskinan sebagai gejala sosial kemasyarakatan sudah mulai diamati dan didiskusikan dalam lingkup akademis dan aktivis sejak periode 1970-an. Gejala itu tampak dengan jelas dalam konteks masyarakat Amerika Serikat (USA) yang ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga (female household) dan mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar dari perempuan yang menjadi kepala rumah tangga ini adalah mereka yang bercerai atau para ibu yang sama sekali tidak pernah menikah (tapi mempunyai anak). Pada tahun 2000, 11% dari jumlah keluarga di Amerika (USA) hidup dalam kemiskinan, dan dari 11% keluarga ini, 28% nya dikepalai oleh perempuan. Beban untuk menopang hidup keluarga dirasa amat berat bagi ibu yang berperan sebagai orangtua tunggal (single mothers) karena rendahnya upah yang erat terkait dengan pengalaman kerja yang minim dan rendahnya tingkat pendidikan. Diberlakukannya undang-undang yang mengesahkan perceraian, budaya “kumpul kebo” tanpa ikatan dan komitmen perkawinan, dan adanya dukungan dari baik lembaga publik maupun privat untuk menopang kehidupan para orangtua tunggal, semakin mempertinggi ratio feminisasi kemiskinan. Di USA, perceraian termasuk faktor pokok yang menyebabkan kebangkrutan ekonomi keluarga-keluarga.
Sara S. McLanahan dan Erin L. Kelly [4] dalam “The Feminization of Poverty: Past and Future” mengatakan bahwa istilah feminization of poverty mengundang kita untuk memfokuskan perhatian kita pada dua hal pokok, yaitu (1) adanya perbedaan seks dalam tingkat kemiskinan (sex differences in poverty rates) dan (2) fakta no (1) ini terus meningkat selama tiga dasawarsa terakhir (1970-an sampai 2000). Feminisasi dimengerti sebagai penggambaran atas kondisi ketidaksamaan tingkat kemiskinan antara lelaki dan perempuan dan proses-proses yang terkait yang menyebabkan resiko perempuan untuk hidup di bawah garis kemiskinan menjadi lebih tinggi daripada resiko yang harus ditanggung lelaki. Sebagai kesimpulan dari penelitian mereka, disebutkan bahwa di negara maju (USA), perubahan dalam tingkat kemiskinan dan perbedaan seks dalam kemiskinan terjadi selama dua periode besar, yaitu antara 1950 s/d 1970 dan dari 1970 s/d 1996. Beberapa dekade setelah Perang Dunia II, tingkat kemiskinan menurun drastis. Hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, termasuk meningkatnya upah, dan kebijakan proteksi dari pemerintah Amerika, termasuk Jaminan Sosial (Social Security) dan program-program peningkatan kesejahteraan. Namun, herannya, tingkat kemiskinan yang menurun ini diikuti dengan kenaikan rasio kemiskinan berdasarkan jenis kelamin (sex-poverty ratio). Artinya, ada ketidaksamaan tingkat kemiskinan yang dialami lelaki dan perempuan. Ada beberapa penyebab, yaitu: (1) pertumbuhan ekonomi, pembukaan lapangan kerja baru, dan kenaikan upah, lwbih menguntungkan laki-laki daripada perempuan, karena laki-laki lebih dekat dan lebih terbuka aksesnya untuk masuk ke dalam lapangan kerja, daripada perempuan. (2) perubahan dalam struktur keluarga lebih berat dampaknya bagi perempuan dariapda bagi laki-laki karena perempuan memikul beban tanggungjawab pengasuhan yang lebih besar atas anak-anak mereka di dalam keluarga-keluarga yang orangtuanya bercerai atau berpisah atau tidak diikat dalam perkawinan.
Itu gejala “feminisasi kemiskinan” yang terjadi di negara maju. Bagaimana dengan kemiskinan perempuan di negara-negara berkembang, bahkan negara miskin? Seorang jurnalis kenamaan asal Inggris bernama Paul Harrison yang banyak meliput di negara-negara miskin seperti di Afrika, Asia dan Amerika Latin, sudah sejak 1981 mengatakan dalam bukunya Inside The Third World bahwa
“Nasib para perempuan di Dunia Ketiga amatlah menyedihkan. Di Kenya, mungkin separuh dari rumah tangga di wilayah pinggiran dikepalai oleh perempuan. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, dan kepemilikan tanah yang makin menyusut, banyak lelaki yang bermigrasi ke kota besar untuk mencari pekerjaan, dan mereka meninggalkan istri-istri mereka di kampung untuk mengurusi ladang dan keluarga. Perempuan seperti Rachel Mwangene (umur 34) harus berjuang keras sendirian dengan satu rumah, empat anak, tiga sapi, tujuh kambing, satu domba dan dua hektar lahan pertanian. Suaminya buruh kasar di kota Mombasa dan ia hanya memperoleh upah 300 shillings (kurang lebih Rp. 60,000) per bulan (kurs tahun 1981), dan itupun yang dibawa pulang suaminya ke rumah kurang dari 50 shillings (Rp. 10,000), karena mungkin yang lainnya sudah habis untuk biaya sewa tempat tinggal, makanan, transport, dan mungkin saja anggur serta perempuan.”
Melihat contoh kasus nyata semacam ini, tidak heran kalau Harrison menyimpulkan “Kaum perempuan adalah yang termiskin dari yang paling miskin. Mereka ditindas oleh ketidakadilan nasional dan internasional, dan sistem keluarga yang memberikan akses pada suami, ayah dan saudara laki-laki untuk mencambuki mereka. Perkembangan ekonomi lebih menguntungkan lelaki miskin, tetapi tidak untuk. kaum perempuan. Karena ketidakadilan dan eksploitasi terjadi baik di dalam keluarga sendiri maupun di antara keluarga-keluarga. Kaum lelakilah yang menikmati privilese yang lebih besar, sementara kaum perempuan yang harus memikul beban yang lebih banyak. Ringkasnya: ada ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan, sumber daya dan tanggungjawab antara lelaki dan perempuan. Ketidakadilan ini lalu dilegitimasi oleh tradisi warisan nenek-moyang, disosialisasikan dan akhirnya membentuk sikap perempuan yang pasif, yang acapkali lalu dibakukan dalam hukum, dan kalau perlu dipaksakan oleh lelaki dengan tindak kekerasan. [5]
Persoalannya sekarang adalah bagaimana mengukur problem kemiskinan dari kacamata feminis? Pada umumnya disepakati bahwa pendekatan feminis terhadap problem kemiskinan berfokus pada implikasi jender dan harga sosial dari kemiskinan itu sendiri, yang meliputi semakin meningkatnya jumlah perempuan dan anak-anak yang terlibat atau “nyemplung” dalam ekonomi sektor informal; perbedaan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga; tekanan sosial masyarakat agar anak gadis cepat-cepat menikah dan bersuami di balik asumsi tak berdasar “yang penting cepat laku dan tidak jadi perawan tua”; tingginya tingkat drop-out (keluar dari sekolah sebelum waktunya) bagi anak perempuan; kurangnya pemahaman yang tepat dan kontrol soal kesuburan perempuan; dan pilihan ‘tak bebas’ untuk masuk ke dunia prostitusi. Secara khusus dan lebih terukur, seorang feminis dan aktivis dari Zambia, Sara Longwe [6], mengembangkan KPP atau Kerangka Pemberdayaan Perempuan (Longwe Framework for Gender Analysis) untuk menganalisa kemiskinan dari perspektif analisa jender, yang meliputi 5 hal yang saling terkait, yaitu [7]: (1) Kesejahteraan. Batasan untuk menganalisa aspek kesejahteraan, adalah mengenai suplai makanan, pendapatan dan perawatan kesehatan; (2) Akses. Batasan untuk menganalisa aspek akses, adalah mengenai akses yang sama ke lahan/tanah, pekerjaan, penghargaan, pelatihan, dan akses fasilitas lainnya. (3) Penyadaran / Kesadaran (Konsientisasi). Batasan untuk menganalisa aspek kesadaran, adalah mengenai pemahaman mayarakat tentang perbedaan sex dan gender, kepercayaan terhadap pembagian kerja secara seksual. (4) Partisipasi. Batasan untuk menganalisa aspek partisipasi, adalah mengenai partisipasi perempuan yang setara dalam proses pembuatan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan hingga evaluasi. (5) Kontrol. Batasan untuk menganalisa aspek partisipasi, adalah mengenai persamaan kontrol, suatu keseimbangan kontrol antara laki-laki dan perempuan (tidak ada salah satu pihak yang lebih dominan dalam kontrol). [8]
Dr. Sarah Bradshaw memberikan pandangan lain untuk menganalisa kemiskinan dari perspektif jender, dalam tulisannya “Poverty: An Analysis from the Gender Perspective.” [9] Ia memberikan 4 poin pokok sebab-sebab kemiskinan, yaitu:
(1) Pendapatan tidak mencukupi dan produktivitas minim.
(2) Faktor-faktor sosio-politis : Lemahnya kekuasaan untuk melakukan tawar-menawar dalam sistem pasar yang sekarang; lemahnya sistem politik; ketergantungan ekonomi (kepada laki-laki) yang terus dilestarikan secara budaya dan secara politis.
(3) Ketidaksetaraan : Pembatasan dan keterbatasan akses terhadap kebutuhan pokok hidup (tidak hanya sandang pangan dan papan, tapi juga pendidikan dan kesehatan)
(4) Ketidaksamaan dalam rumah tangga yang berdampak buruk bagi perempuan.
Akan tetapi keempat faktor ini masih harus dipertajam lagi dengan menyertakan sebab-sebab kemiskinan yang dialami oleh perempuan, yaitu:
1. Perempuan mempunyai kesempatan yang lebih kecil untuk memperoleh keuntungan dari pekerjaan yang ada sekarang karena tanggungjawab eksklusif yang sering diminta dari mereka yaitu pengasuhan anak, dan pemusatan pekerjaan mereka di sektor-sektor informal (unregulated sector).
2. Kalaupun perempuan mendapatkan penghasilan, lebih sulit bagi mereka untuk menentukan sendiri mau diapakan uang yang mereka peroleh itu, mengingat kemampuan membuat keputusan amat dipengaruhi oleh tingkat independensi dan kerangka nilai yang membentuk mereka.
3. Pada umumnya, ketika perempuan harus mengambil keputusan, mereka tidak menyejahterakan diri mereka sendiri namun lebih memikirkan kesejahteraan keluarga mereka – hal ini jauh mengakar dalam pandangan masyarakat / ekspektasi masyarakat terhadap perempuan, yaitu bersikap altruistik, ngalah dan mengutamakan memikirkan orang lain daripada diri sendiri.
Sementara itu, menurut Valentine M. Moghadam [10], ada 3 faktor kunci untuk menelaah feminisasi kemiskinan di seluruh dunia, yaitu: (1) meningkatnya jumlah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga (the growth of female-headed households), (2) ketidaksetaraan dan penindasan terhadap perempuan, baik ibu maupun gadis, yang terjadi di dalam maupun lintas-rumah tangga, dan (3) kebijakan ekonomi neoliberal, yang meliputi penyesuaian struktural (structural adjustments), dan pemujaan pasar. Akar kemiskinan yang dialami kaum perempuan meliputi 3 gal, yaitu tren kependudukan, pola-pola ‘budaya’ dan ekonomi politik. Dalam penelitiannya, Moghadam membuktikan bahwa status ekonomi dari rumah-tangga yang dikepalai oleh perempuan ditentukan baik oleh kebijakan sosial yang diberlakukan oleh pemerintah / rezim setempat, maupun keterbatasan akses perempuan terhadap pekerjaan dan hak milik pribadi (properti). Selain itu, Moghadam melihat bahwa program restrukturisasi yang dikampanyekan dan didesakkan oleh neoliberalisme berdampak amat kejam terhadap nasib perempuan. Tegasnya, perempuan menempati posisi yang kurang beruntung dalam tatanan ekonomi-politik yang ada sekarang ini, terlebih di negara-negara berkembang seperti di India dan Indonesia.
Mengapa bisa terjadi demikian? Jika kemiskinan pertama-tama dilihat sebagai penyangkalan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM), akan segera terlihat bahwa perempuan miskin menderita dua kali lipat (double burden). Pertama karena alasan ketidaksetaraan gender (gender inequalities). Kedua karena kemiskinan itu sendiri. Dalam pembahasaan yang lebih mengena, beban ganda perempuan yang dilihat dalam kerangka ketidakadilan gender dimengerti sebagai “beban perempuan untuk bertanggungjawab atas pekerjaan-pekerjaan kerumahtanggaan (domestik) dam bekerja keluar rumah (sektor publik) untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Belum ditambah jika perempuan masih harus mengemban tugas dan tanggungjawab sosial di lingkungan tempat tinggalnya seperti jika ada tetangga yang meninggal atau menikah. Oleh karena itu, program-program untuk menghapuskan kemiskinan harus menyertakan analisa atas persoalan ketidaksamaan gender sekaligus hak-hak kaum perempuan.
(III) Keterkaitan antara Neoliberalisme dan Feminisasi Kemiskinan
Setelah membahas secara ringkas baik tentang paham / ideologi Neoliberalisme maupun feminisasi kemiskinan secara terpisah, maka baik kiranya jika pada bagian ini kita mencari titik ketegangan sekaligus persinggungan di antara keduanya.
Jika Neoliberalisme dipahami sebagai pemujaan pasar bebas, maka globalisasi adalah kondisi yang mempercepat ketersebarannya. Kerangka nilai yang dianut oleh neoliberalisme adalah pemerolehan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya (cost) dan resiko (risk) sekecil-kecilnya, dan sebisa mungkin hal ini dicapai lewat “intervensi minimum negara” (negara tidak ikut campur tangan membatasi kinerja pasar). Untuk mencapai hal ini, terhadap negara, korporasi-korporasi multi-nasional/ trans-nasional yang menjadi aktor sejarah di balik ideologi neoliberalisme meminta negara untuk mengakomodasi 3 langkah kebijakan ini, yaitu: deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi perdagangan (free trade). Itu baru soal ekonomi. Bagaimana dengan ranah-ranah kehidupan publik lainnya? Apa dampak dari ideologi ini? Neolib dikambinghitamkan sebagai penyebab utama terciptanya gap yang semakin melebar antara “yang kaya” dan “yang miskin” di dunia ini, karena pembatasan macam-macam akses terhadap “barang publik”, seperti kesehatan, pendidikan, air minum, listrik, telekomunikasi dan transportasi. Bahkan, lebih jauh lagi, barang publik yang tadinya begitu mudah dan murah diakses orang banyak (berkat peran ‘negara kesejahteraan’), oleh neolib dijadikan komoditi, sehingga hanya yang mampu membayar sajalah yang mendapatkannya. Secara budaya, langkah ini semakin diperparah dengan komodifikasi hasil-hasil ekspresi budaya, di mana homogenisasi dan masifikasi produk (untuk memenuhi standar internasional lewat uji kelayakan untuk memperoleh sertifikasi seperti ISO) membuat ragam perbedaan dipangkas dan kebhinnekaan ditebas. Dan lebih lanjut lagi, secara legal, barang-barang dan pengetahuan tradisional yang tadinya kita yang menjadi empunya (misalnya: pengetahuan tentang obat-obatan tradisional, jamu, dll.) sekarang diklaim menjadi milik “orang atau badan / lembaga yang pertama yang mematenkannya.” Jelas kita ketinggalan jauh dalam akses-akses legal semacam ini karena piranti hukum kita masih jauh dari memadai dan canggih untuk menampung “aturan main” yang menguntungkan pihak-pihak yang sudah lebih dulu dan lebih terbiasa dengan “aturan main” paten-mematenkan tersebut.
Sementara itu, feminisasi kemiskinan pertama-tama dipahami sebagai tren meningkatnya rumahtangga yang dikepalai oleh perempuan (female household), karena macam-macam faktor, seperti perang / konflik bersenjata (laki-laki pergi berperang, mati dan meninggalkan janda-janda yang harus menghidupi keluarganya), minimnya lapangan pekerjaan di desa / kampung asal sehingga laki-laki pergi ke kota-kota besar meninggalkan perempuan mengurusi semuanya, dan pandangan tradisional-kultural, yang mengharapkan perempuan berperan utama sebagai pihak yang mengasuh dan membesarkan anak sehingga akses pada pendidikan yang lebih tinggi (higher education) menjadi lebih terbatas bagi perempuan daripada bagi laki-laki. Feminisasi kemiskinan yang kedua menyangkut “beban ganda perempuan” seperti sudah dijelaskan di atas, dan itu terlebih parah dirasakan dampaknya di negara berkembang.
Melihat dua pokok kajian ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa program-program kebijakan ekonomi yang dikampanyekan neoliberalisme lewat lembaga-lembaga keuangan berskala internasional (WTO, Bank Dunia, IMF, dll), dan korporasi-korporasi lintas-negara (MNC’s dan TNC’s), terutama lewat 3 paket kebijakan: deregulasi, privatisasi dan liberalisasi, memperlemah posisi tawar negara dalam menentukan arah kebijakan ekonominya sendiri, termasuk soal jaminan kesejahteraan dan proteksi terhadap aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh rakyat kecil. Jika kebijakan ekonomi negara terus didikte oleh para kampiun neolib, tentu dampaknya tidak hanya dirasakan oleh bapak presiden dan menteri keuangan. Dampak akan paling terasa di level akar-rumput. Dan persis di level-akar rumput inilah, feminisasi kemiskinan terjadi secara mengerikan. Lagi-lagi perempuan, yang sudah dilemahkan secara sosial-budaya lewat pembatasan akses (lihat poin dari KPP versi Longwe), akan lebih diperlemah lagi secara ekonomi-politis lewat kebijakan-kebijakan negara yang didikte oleh para kampiun Neolib. Pemberdayaan perempuan bukanlah agenda utama dari neoliberalisme, karenanya, neoliberalisme yang melulu mengejar profit dan maksimalisasi keuntungan, jelas-jelas mengancam kedaulatan perempuan dalam bidang sosial-ekonomi, dalam hal pembagian kerja yang adil dalam keluarga dan dalam struktur sosial-publik, serta atas tubuhnya sendiri. Minimnya peran perempuan dan mereka yang berperspektif perempuan (yaitu keadilan dan kesetaraan jender) dalam ikut menentukan regulasi dan kebijakan ekonomi skala lokal-nasional akan berdampak buruk terhadap kelangsungan hidup perempuan. Lalu, apa jalan keluar yang mungkin?
(IV) Bagaimana solusinya?
Ada beberapa solusi yang bisa saya tarik dari pemaparan fakta dan logika neoliberalisme serta feminisasi kemiskinan di atas, yaitu:
1. Pada level paradigma: feminisme mengakui keberbedaan dan keragaman pengalaman perempuan, sementara neoliberalisme dengan homogenisasi, standardisasi dan pemujaan pasar bebas serta homo economicus sebagai satu-satunya tolok ukur hakikat manusia, cenderung menyeragamkan keberbedaan itu dalam skala yang massal. Inilah yang harus ditolak oleh kaum feminis.
2. Pada level distribusi dan redistribusi sumber-sumber kekayaan alam, neoliberalisme lewat tangan-tangan MNCs dan TNCs telah merampok, mengeksploitasi dan bahkan mematenkan keragaman pengetahuan dan model perawatan sumber-sumber daya alam (seperti penyimpanan benih, resep-resep masakan dan cara-cara pengolahan) yang khas empunya perempuan di berbagai belahan bumi ini, termasuk di Indonesia. Hal ini dapat menjadi sumber kepunahan keragaman alam (biodiversitas) dan cara-cara pemeliharaannya. Atau, akses terhadap pengetahuan tradisional dan kebijaksanaan lokal itu lama-kelamaan akan memudar, dianggap kolot seiring dengan mekanisasi dan sientifikasi pengetahuan.
3. Pada level gerakan, feminisasi kemiskinan harus dilawan dengan perempuan menyodorkan agenda baru soal pembagian kerja baik di sektor tatanan internasional politik (akses perempuan dalam deliberasi dan pengambilan keputusan yang bersifat publik), di sektor ekonomi-industri (pabrik, perusahaan) maupun di unit terkecil masyarakat yaitu keluarga.
4. Pada level kedaulatan perempuan atas tubuhnya sendiri. Agar tubuh perempuan tidak menjadi objek manipulasi atau eksploitasi dari “pasar bebas” yang hanya mau mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengindahkan nilai-nilai moral-etis. Perbudakan terselubung atas nama “demi pekerjaan”, yaitu diperdagangkan sebagai budak seks lintas-negara, menjadi pelacur atau ‘istri dengan status kontrak’ dalam ‘industri pariwisata seks,’ serta isu women-trafficking [11] dengan segala macam bentuk dan dalihnya, merupakan sosok kejahatan patriarki yang terorganisasi [12] yang harus ditolak, diregulasi, dan, kalau melanggar, ditindak tegas oleh aparat hukum.
Daftar Bacaan
Buku / Essai:
Francis Wahono & I. Wibowo (editor), Neoliberalisme, Yogyakarta: CINDELARAS Pustaka Rakyat Cerdas, 2003.
B. Herry Priyono, Homo Oeconomicus: Dari Pengandaian ke Kenyataan, dalam I. Wibowo & B. Herry Priyono (editor), Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz Magnis Suseno, Yogyakarta : Kanisius, 2006, hlm. 87 – 132.
Robert H. Imam, “Globalisasi: Proses dan Wacana Kompleks serta Konfliktual”, dalam I. Wibowo & B. Herry Priyono (editor), Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz Magnis Suseno, Yogyakarta : Kanisius, 2006, hlm. 163 – 189.
Arimbi Heroepoetri & R. Valentina, Percakapan tentang Feminisme dan Neoliberalisme, Jakarta & Bandung: Debt Watch & Institut Perempuan, 2004.
Paul Harrison, Inside the Third World, Middlesex (UK), New York (USA): Penguin Books, 1981.
Rita Nakashima Brock, “Power, Peace, and the Possibility of Survival”, dalam Frederick Ferré & Rita H. Mataragnon, God & Global Justice, New York: Paragon House, 1985.
Situs Internet:
www.en.wikipedia.org/wiki/Neoliberalism
www.web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/neoliberalism.html
www.warprofiteers.com/article.php?id=376
www.globalissues.org/TradeRelated/FreeTrade/Neoliberalism.asp
www.mondediplo.com/1998/12/08bourdieu
www.globalpolicy.org/globaliz/econ/histneol.htm
www.globalexchange.org/economy/econ101/neoliberalDefined.html
Valentine M. Moghadam, “THE ‘FEMINIZATION OF POVERTY’ AND WOMEN’S HUMAN RIGHTS” yang bisa diakses di http://portal.unesco.org/shs/en/file_download.php/a17be918eefc8e5235f8c4814bd684fdFeminization+of+Poverty.pdf.
Sara S. McLanahan & Erin L. Kelly “The Feminization of Poverty: Past and Future” yang bisa diakses di http://www.olin.wustl.edu/macarthur/working%20papers/wp-mclanahan3.htm
http://www.womst.ucsb.edu/projects/crwsj/collaborative/execsummaryweb.pdf.
http://en.wikipedia.org/wiki/Feminization_of_poverty
Alain Marcoux, “The Feminization of Poverty: Facts, Hypotheses and the Art of Advocacy” yang bisa diakses di www.fao.org/sd/wpdirect/WPan0015.htm
Subscribe to:
Posts (Atom)