Tuesday 25 January 2011

KAWASAN PERMUKIMAN SUKU SAMIN SEBAGAI OBJEK WISATA BUDAYA MINAT KHUSUS DI BLORA

KAWASAN PERMUKIMAN SUKU SAMIN SEBAGAI OBJEK WISATA BUDAYA MINAT KHUSUS DI BLORA

RATIH CANDRA KUSUMA




BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Deskripsi
Arti kata dari “Kawasan Permukiman Suku Samin Sebagai Objek Wisata Budaya Minat Khusus di Blora” adalah :1
Kawasan : - daerah tertentu yang mempunyai ciri tertentu.
- daerah tertentu yang antara bagian-bagian terdapat hubungan tertentu.
Permukiman : tempat bermukim atau tempat untuk bertempat tinggal.2
Samin : nama seorang tokoh atau kyai dari Blora yang melawan pemerintah kolonial Belanda dengan gerakan perlawanan tanpa kekerasan dan penganjur keadilan yang kemudian lebih dikenal sebagai suku di Kabupaten Blora.
Objek : segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata.3
Wisata : kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata.4
Budaya : - pikiran, akal budi, hasil.
- adat istiadat.
- sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju).
- sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah.
Minat : kecenderungan hati yang tinggi yang berkembang menjadi keinginan yang besar terhadap sesuatu yang hendak diupayakan untuk mencapainya.
1 ……., 2007, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta.
2 Ritohardoyo, Su, 1989, Beberapa Dasar klasifikasi dan Pola Permukiman, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
3 ……., UU RI No. 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan, Ditjen Pariwisata.
4 Ibid 3.
Khusus : khas, istimewa, tidak biasa.
Blora : nama suatu daerah tingkat II (DATI II) di Jawa Tengah.
Kawasan Permukiman Suku Samin Sebagai Objek Wisata Budaya Minat Khusus di Blora artinya adalah suatu kawasan atau daerah di mana terdapat permukiman suku Samin yang digunakan sebagai tempat wisata yang bertujuan untuk memperluas pengetahuan dan mengenali hasil kebudayaan di Blora pada khususnya.
1.2. Latarbelakang
1.2.1. Sejarah Asal-Usul Nama Blora5
Asal-usul nama blora dan artinya sampai sekarang belum jelas. Menurut cerita rakyat dan sampai sekarang masih dikenal oleh rakyat Blora pada umumnya kata Blora dari belor artinya lumpur atau tanah becek, kemudian kata belor berkembang menjadi beloran atau mbeloran juga berarti tanah berlumpur.6
Lama-kelamaan beloran digunakan untuk memberi nama tempat yang berlumpur tersebut yaitu beloran atau bloran. Akhirnya daerah tersebut dikenal dengan nama blora.7 Tetapi sampai sekarang tidak ada desa di Kabupaten Blora yang namanya menunjukkan ke arah pengertian nama tersebut. Ceritera rakyat yang lain menyatakan bahwa Blora merupakan nama seorang kyai yaitu Sang Wiku Mbah Balora. Beliau sebagai guru Raden Sadita alias Raden Jayadirja yang menjadi penguasa di Blora.
Berdasarkan cerita tersebut ada dugaan bahwa secara etimologi (asal-usul kata) Blora dari kata wai + lorah. Wai yang artinya air sedangkan lorah berarti jurang atau tanah rendah.8 Dalam bahasa Jawa sering terjadi pergantian atau pertukaran huruf ”w” dengan huruf ”b”,
5 Panitia Penelitian Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Blora Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Blora, 1987, Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Blora, Pemerintah Kabupaten Blora, Blora.
6 Sukardana dan Lukardana adalah penduduk asli Blora.
7 Soedarsono, Blora dari Masa ke Masa.
8 S.Prawiroatmojo, 1985, Bausastra Jawa Indonesia.
tanpa menyebabkan perubahan arti kata. Oleh karena itu kata wai + lorah menjadi bai + lorah. Maka kata wailorah menjadi bailorah. Dari bailorah menjadi balora dan akhirnya menjadi blora. Jadi nama Blora berarti tanah berlumpur atau tanah becek.
1.2.2. Potensi Blora
a. Alam
1) Letak Geografis9
Gambar 1.1. Peta Kabupaten Blora
Sumber: www.pemkabblora.com
Kabupaten Blora terletak di antara 111°016' - 111°338' Bujur Timur dan di antara 6°582' - 7°248' Lintang Selatan.
Di sebelah Utara Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati, di sebelah Timur dengan Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur), di sebelah Selatan dengan
9 http://toyamaips2.blogspot.com
Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) dan di sebelah Barat dengan Kabupaten Grobogan.
Luas wilayah Kabupaten Blora adalah 1.820,59 km2 atau sekitar 5,5 % luas wilayah Propinsi Jawa Tengah. Kecamatan yang memiliki wilayah terluas adalah Randublatung seluas 211,13 km2 sedangkan Cepu dengan luas wilayah 49,15 km2 merupakan Kecamatan tersempit.
2) Topografi10
Kabupaten Blora memiliki wilayah dengan ketinggian terendah 30-280 dpl dan tertinggi 500 dpl. Kecamatan dengan letak tertinggi adalah Japah (280 dpl) sedangkan Kecamatan Cepu terendah mempunyai permukaan terendah (31 dpl).
Kabupaten Blora diapit oleh Pegunungan Kendeng Utara dan Selatan dengan susunan tanah 56 % gromosol, 39 % mediteran dan 5 % aluvial.
3) Curah hujan11
Rata-rata 13-15 hari hujan dengan titik terendah 2 hari hujan dan yang tertinggi adalah 69 hari hujan.
b. Kebudayaan
1) Kepercayaan (Agama)
Sebagian masyarakat di Kabupaten Blora memeluk agama Islam. Selain agama Islam masyarakat Blora juga ada yang beragama Kristen maupun Katholik.
2) Bahasa
Bahasa yang digunakan masyarakat di Kabupaten Blora adalah bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.
3) Sosial/ Kemasyarakatan
Setelah kemerdekaan, kemiskinan tetap saja menjadi bagian yang nyata penduduk Blora dan Bojonegoro. Fenomena sosial
10 http://toyamaips2.blogspot.com/03/maret/2009
11 www.pipablora.com/03/maret/2009
yang terkait erat dengan tindak kriminalitas dan kebodohan itu juga terus berlanjut hingga sekarang seperti pencurian-pencurian kayu jati.12
4) Mata Pencaharian
Mayoritas mata pencaharian penduduk Kabupaten Blora adalah petani, utamanya pertanian tanaman pangan. Hal ini menjadikan Kabupaten Blora sebagai salah satu lumbung padi di Jawa Tengah.
5) Kesenian
Kesenian yang dimiliki masyarakat Blora diantaranya adalah :13
• Kesenian Tayub (Seni Tayuban)
Tayuban adalah salah satu seni tradisional yang ada di Blora. Tayuban ini digunakan untuk menyambut tamu kehormatan dan juga untuk acara peringatan sedekah bumi serta upacara adat yang lainnya.
• Barongan
Kesenian barong atau barongan adalah salah satu jenis kesenian rakyat Jawa Tengah. Kesenian ini merupakan wujud dari tarian kelompok yang menirukan singa barong yang perkasa dan tokoh yang lain yaitu Bujangganong, Joko Lodro, Reog, Noyotoko dan Untub.
• Wayang Krucil
Wayang krucil sudah mulai langka di Blora. Wayang ini berbentuk seperti wayang kulit tetapi dibuat dari kayu. Untuk meletakkan wayang digunakan kayu yang diberi lubang.
• Kentrung
Kesenian ini berupa dongeng yang diiringi kentrung yaitu alat musik yang ditabuh seperti rebana.
12 http://bloraku.com/03/maret/2009
13 http://jv.wikipedia.org/wiki/kabupaten_Blora/03/maret/2009
1.2.3. Sejarah dan Etnografis Gerakan Samin14
Gerakan Samin tersebut secara historis muncul pada tahun 1890, ketika seorang petani Jawa, Samin Surosentiko mulai menentang kolonial di Kabupaten Blora dan Kabupaten Rembang, suatu wilayah di Jawa Tengah bagian utara. Pada tahun 1905 gerakan Samin mulai menarik perhatian dari pihak kolonial Belanda. Pada waktu itu gerakan Samin ini menentang Politik Etis yang diterapkan di Jawa termasuk Blora.
Gerakan Samin sebagai gerakan petani anti kolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, artinya gerakan yang tidak merupakan pemberontakan yang radikal. Gerakan Samin Surosentiko adalah gerakan protes petani yang anggota-anggotanya terdiri dari petani kaya dan petani miskin.
Ada ajaran Saminisme lainnya yang berhubungan dengan kejujuran, kerajinan, dan sebagainya. Menurut ajaran Saminisme orang itu harus rajin bekerja, jangan mencuri milik orang lain. Apabila ada seseorang minta sesuatu barang milik orang lain, maka orang itu wajib memberi.15 Ajaran Saminisme ini mengandung arti kemurahan hati, sabar dan rajin. Unsur-unsur dari ajaran Saminisme ini merupakan bagian dari gerakan Samin menentang kekuasaan kolonial Belanda.
Suku Samin sering menjadi bahan cemoohan orang-orang di sekitarnya karena keluguannya dan kepolosannya. Suku Samin terkenal dengan kejujurannya. Mereka hidup di dalam area hutan milik negara dan terletak di sebelah Selatan Desa Klopoduwur. Desa Klopoduwur yang tenang ini merupakan tempat pertumbuhan ajaran Samin. Raden Kohar atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Samin Surosentiko yang menyebarkan ajaran ini. Lelaki yang lahir pada tahun 1859 ini sejatinya berasal dari Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora.
14 Panitia Penelitian Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Blora Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Blora, 1987, Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Blora, Pemerintah Kabupaten Blora, Blora.
15 J.E.Jasper, 1918, Verslag Betreffende het Onderzoek Inzake de Samin Beweging Ingesteld het Gouvernements Besluit Van, Batavia.
Namun, lelaki buta aksara ini memilih daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah sebagai tempat pengembangan ajarannya.
Pada tahun 1890 pergerakan Samin berkembang didua desa hutan kawasan Randublatung dan di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai Utara Jawa sampai keseputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Ajaran yang pada permulaannya hanya dipandang sebelah mata oleh Pemerintah Kolonial Belanda ini, ternyata berkembang dengan cepat. Dalam waktu kurang lebih 17 tahun pengikut ajaran Samin telah mencapai sekitar 5000 orang. Mulai tahun 1907 banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah (Belanda).
Prinsip mereka yang senang membantu serta tidak ingin merepotkan orang lain merupakan sikap yang pantas diacungi jempol dan harus senantiasa dilestarikan. Perjuangan Samin demi sebuah eksistensi di tengah peradaban yang semakin modern, masih ada beberapa suku atau daerah yang masih mempertahankan tradisi ajarannya. Adanya himpitan kebudayaan tradisional yang makin ditinggalkan, mengakibatkan orang lupa dengan kebudayaan aslinya. Tetapi masih banyak orang yang tetap berpegang teguh pada ajarannya. Salah satu suku yang masih mempertahankan eksistensinya adalah Samin. Samin berasal dari kata sami-sami amin yang artinya sama rata, sama sejahtera dan sama mufakat. Sebuah nama yang berdasarkan wong cilik (orang kecil) serta berjuluk ”Samin Sepuh”. Mereka hidup dengan alam dan hidup dengan kesederhanaan.
Seperti halnya manusia atau masyarakat yang lain, masyarakat Samin juga membutuhkan tempat tinggal atau rumah yang paling sesuai untuk dirinya, keluarganya dan keturunannya. Dengan kemampuan dan pemikiran mereka yang selama ini menjadi simbol perlawanan mereka, yaitu kembali ke alam mereka mencoba memenuhi segala tuntutan kehidupannya. Permukiman Suku Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah untuk memudahkan komunikasi. Rumah tersebut
terbuat dari kayu jati dan bambu. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk Bekuk Lulang sebagai ciri khasnya. Dari bangunan rumah yang ada ini sebagai daya tarik wisatawan untuk datang dan sekaligus mengenal budaya Suku Samin.
1.3. Permasalahan Arsitektural
a. Peningkatan daya tarik, kenyamanan tinggal dan keamanan tinggal bagi wisatawan serta pelestarian budaya Suku Samin.
b. Pengembangan fasilitas kepariwisataan pada objek wisata budaya minat khusus pada permukiman Suku Samin di Blora.
1.4. Tujuan dan Sasaran
1.4.1. Tujuan
a. Merencanakan dan merancang objek wisata budaya minat khusus yang layak untuk tinggal wisatawan serta penataan kawasan permukiman Suku Samin.
b. Mengembangkan fasilitas kepariwisataan.
1.4.2. Sasaran
Mendapatkan konsep pengembangan kawasan permukiman Suku Samin sebagai objek wisata budaya minat khusus yang layak tinggal bagi wisatawan.
1.5. Batasan dan Lingkup Pembahasan
1.5.1. Batasan
Pembahasan ini dibatasi pada kawasan permukiman Suku Samin di Karangpace, Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora.
1.5.2. Lingkup Pembahasan
a. Pembahasan ditekankan untuk mencapai tujuan dan sasaran pembahasan.
b. Pembahasan lebih ditekankan pada penataan kawasan permukiman Suku Samin sebagai objek wisata budaya minat khusus sedangkan peruangan menggunakan studi literatur dan studi banding pada kenyataan yang ada.
1.6. Keluaran
Menghasilkan rancangan kawasan permukiman yang layak tinggal sebagai objek wisata budaya minat khusus.
1.7. Metodologi Pembahasan
1.7.1. Tahap Pencarian Data
Cara memperoleh data dalam mendukung pembahasan dan metode yang digunakan untuk menganalisis adalah sebagai berikut :
a. Observasi
Observasi merupakan pengamatan langsung di lapangan untuk mendapatkan data fisik maupun data non fisik.
b. Interview
Wawancara secara langsung kepada kepala desa untuk memperoleh data yang konkrit mengenai permukiman Suku Samin.
c. Studi Literatur
Untuk mendapatkan data dari buku, majalah atau internet yang dapat digunakan sebagai referensi.
1.7.2. Tahap Analisis
Pada tahap analisis merupakan tahap pengolahan data dari pengamatan dan data yang diperoleh. Analisis berupa analisis makro yaitu analisis kawasan maupun analisis mikro meliputi analisis site, ruang, masa
serta tampilan arsitektur. Analisis-analisis ini dapat berupa sketsa gambar maupun penjelasan.
1.7.3. Tahap Sintesa
Tahap ini merupakan tahap penyaringan data dari data yang telah diperoleh yang kemudian hanya diambil beberapa saja untuk digunakan dalam proses perancangan.
1.7.4. Tahap Perumusan Konsep
Tahap ini merupakan tahap pengambilan keputusan dan arahan perancangan yang diperoleh dari proses sebelumnya.
1.7.5. Tahap Perancangan
Pada tahap ini semua data dan konsep yang diperoleh dituangkan dalam gambar teknis serta tahap ini lebih ditekankan pada tampilan arsitektur.
1.8. Gagasan Awal
Gagasan awal ini berisi gambar-gambar yang dapat dijadikan sebagai contoh dalam perancangan nantinya.
1.8.1. Kampung Naga
Kampung Naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan leluhumya. Kampung Naga secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah
Selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah Utara dan Timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut.
Gambar 1.2. Kampung Naga
Sumber: http://dieny.wordpress.com
Gambar 1.3. Kampung Naga
Sumber: http://blog.its.ac.id
1.8.2. Desa Rambitan
Sade yang terletak di desa Rambitan merupakan salah satu desa tradisional Sasak yang masih asli. Rumah-rumah penduduk dibangun dari konstruksi bambu dan atapnya terbuat dari daun alang-alang. Dusun ini berpenghuni sekitar seratus orang dengan mata pencaharian utama adalah bertani. Usaha tambahan mereka adalah denganmenenun. Di dusun ini para pengunjung dapat menyaksikan kesenian Gendang Beleq dan tari Oncer.
Gambar 1.4. Dusun Sade, Desa Rambitan
Sumber: http://labulia.blogsome.come
Gambar 1.5. Rumah Lumbung Desa Rambitan
Sumber: www.lombiklasminute.com
1.8.3. Suku Baduy di Pedalaman Banten
Orang kanekes atau disebut juga Baduy, adalah suatu kelompok masyarakat dengan Adat Sunda yang berlokasi di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Wilayah kanekes bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Gambar 1.6. Kampung Suku Baduy
Sumber: http://blog.its.ac.id
Gambar 1.7. Kampung Suku Baduy
Sumber: www.potlot-adventure.com
Gambar 1.8. Desa Suku Baduy
Sumber: http://praduwiratna.wordpress.com
1.8.4. Masyarakat Tana Toraja
Masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk lokal yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Tiongkok). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya imigran Indochina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.
Gambar 1.9. Perkampungan Tana Toraja
Sumber: Koleksi Foto Arya Ronald, 2009
Gambar 1.10. Rumah Tradisional Tana Toraja
Sumber: Koleksi Foto Arya Ronald, 2009
1.8.5. Desa Panglipuran
Desa adat Panglipuran berlokasi pada Kabupaten Bangli yang berjarak 45 km dari kota Denpasar. Desa adat yang juga menjadi objek wisata ini sangat mudah dilalui. Karena letaknya yang berada di jalan utama Kintamani – Bangli. Desa Panglipuran ini juga tampak begitu asri, keasrian ini dapat kita rasakan begitu memasuki kawasan desa. Pada areal Catus Pata yang merupakan area batas memasuki Desa Adat Panglipuran, di sana terdapat Balai Desa, fasilitas masyarakat dan ruang terbuka untuk pertamanan yang merupakan areal selamat datang. Desa ini merupakan salah satu kawasan pedesaan di Bali yang memiliki tatanan yang teratur dari
struktur desa tradisional, perpaduan tatanan tradisional dengan banyak ruang terbuka pertamanan yang asri membuat desa ini membuat kita merasakan nuansa Bali pada dahulu kala. Penataan fisik dan struktur desa tersebut tidak lepas dari budaya yang dipegang teguh oleh masyarakat Adat Panglipuran dan budaya masyarakatnya juga sudah berlaku turun temurun.

No comments:

Post a Comment