Kisah dari Pati
April 29, 2010
Pertemuan CRI dan Kelompok Tani di Pati, Jawa Tengah
Selasa, 13 April 2010, Tim Combine Resource Institution (CRI) yang terdiri dari Ade Tanesia, Akhmad Nasir, Sarwono, serta Heidi Arbuckle, Program Officer Ford Foundation meluncur dari Jogjakarta ke Sukolilo, Pati Selatan. Tim mengambil rute Solo-Purwodadi-Sukolilo. Kondisi aspal sepanjang jalan di Purwodadi sangat bergelombang, kita akhirnya mengambil jalan pintas, yaitu rute Kedung Ombo.Kunjungan ke Pati Selatan merupakan silahturahmi ke wilayah dampingan Yayasan Desantara, sebuah yayasan yang fokus pada isu-isu pluralisme. Di samping itu, CRI dan Desantara hendak mencari kemungkinan kerja sama untuk pengembangan media komunitas. Yayasan Desantara sendiri telah mendampingi para petani di Pati Selatan. Khusus di Sukolilo, Desantara telah memiliki sebuah balai pertemuan yang dibangun bersama warga di sana. Bangunan tersebut disebut Omah Kendeng. Sebuah bangunan dengan arsitektur jawa yang berdiri di atas tanah yang cukup luas. Tempat ini merupakan ruang pertemuan bagi para petani, perempuan, pemuda di wilayah Sukolilo.
Tim tiba di Omah Kendeng pukul 14.30. Setelah melihat-lihat bangunan dan foto-foto kegiatan, tim diajak oleh Gunritno, pimpinan Serikat Petani Pati sekaligus yang dituakan oleh masyarakat Sedulur Sikep. Hanya berjarak 10 menit, kita pun sampai di rumah Gunritno. Rumahnya begitu asri dengan arsitektur dan ukiran jawa yang sangat artistik. Di ruang tamunya terpampang lukisan Samin Surosentiko, pendiri ajaran Samin yang pengikutnya hingga kini disebut Wong Sedulur Sikep.
Diskusi hangat dengan kelompok tani
Di kediaman Gunritno, hadir pula tamunya dari Cepu dan Semarang. Setelah disuguhi lontong opor yang begitu lezat, kami pun mulai berbincang-bincang. Pembicaraan yang sedang hangat adalah persoalan RT RW (Rencana Tata Ruang dan Rencana Wilayah) yang akan di bawa ke sidang paripurna pada 29 April 2010. Dalam RT/RW itu akan diputuskan apakah Pegunungan Kendeng akan menjadi kawasan lingkungan yang harus dilindungi atau menjadi kawasan industri. Masyarakat petani di Sukolilo yang tergabung dalam Serikat Petani Pati sungguh khawatir dengan RT/RW ini yang bisa menjadi celah bagi pabrik semen untuk mengolah sumber daya alam di Pegunungan Kendeng. Jika hal ini terjadi maka akan merusak lingkungan serta mata air yang menjadi sumber air bagi pertanian akan rusak.
Sebagai gambaran Pegunungan Kendeng merupakan deretan perbukitan yang memanjang mulai dari wilayah Kabupaten Grobogan Jawa Tengah hingga Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Pegunungan Kendeng yang berada di Kabupaten Pati lokasinya memanjang sekitar 35 kilo meter mulai dari Kecamatan Sukolilo hingga Kecamatan Pucakwangi. Di lokasi ini terdapat berbagai macam kekayaan alam mulai dari ratusan mata air, puluhan tebing yang indah, pepohonan yang asri sebagai pengendali air dan mengurangi banjir hingga puluhan goa yang eksotik. Ratusan mata air di pegunungan Kendeng saat ini menjadi penopang sekitar 45 prosen kebutuhan air masyarakat Pati; terutama air minum. Tidak heran jika para petani sangat berkepentingan dengan sumber mata air di Pegunungan Kendeng. Menurut Gunritno, ini bukan hanya menyangkut petani tetapi juga warga di Pati dan sekitarnya yang memperoleh mata air dari Pegunungan Kendeng. Dalam konteks inilah para petani mendiskusikan agar RT/RW yang tidak memedulikan nasib rakyat ini bisa digagalkan.
Diskusi di rumah Gunritno terputus karena kami harus kembali ke Omah Kendeng untuk bertemu dengan kelompok anak muda yang tertarik untuk mengelola radio komunitas. Sekitar pukul 19.00 kami sampai di Omah Kendeng. Sobirin membuka pertemuan mingguan tersebut. Ternyata mereka setiap minggu mengadakan pertemuan untuk membicarakan hasil liputannya. Oleh karena tidak ada komputer, anak muda tersebut menuliskan hasil liputannya dengan tangan dan membacakannya di depan forum. Semangat mereka sungguh luar biasa. Setelah saling membacakan hasil tulisan, maka setiap orang pun bisa saling mengkritisi.
Khusus dalam pertemuan ini Sarwono menjelaskan pengalamannya dengan komunitas-komunitas yang sedang belajar menulis dalam jaringan Suara Komunitas. Ia memberikan semangat pada anak muda tersebut untuk tetap menulis. Dalam forum tanya jawab, kelompok anak muda tersebut banyak menanyakan soal perizinan radio, cara mengelola radio, dan bagaimana membiayai radio komunitas. Pertemuan ini selesai pada pukul 10.30 malam. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke pusat Kota Pati untuk beristirahat satu malam.
Rabu, 14 April 2010. Pukul 09.30 kami sudah berkemas untuk mengunjungi komunitas petani dampingan Desantara di Pati Utara. Sesampainya di sana, Farid, salah satu aktivis dari Serikat Petani Pati menyambut kami dengan ramah di ruang pertemuan. Ada dua kelompok tani bernama TANI RUKUN yang beranggotakan sekitar 100 orang. Kemudian ada pula 1 kelompok ternak dan kelompok pemuda. Para petani ini hendak melepaskan ketergantungan mereka dari lilitan pupuk kimia, pestisida, bibit hibrida. Kini mereka mulai mengurangi pupuk kimia dan beralih ke pupuk kandang. Mereka kini sudah tidak menggunakan pestisida untuk memberantas gangguan hama. Sebaliknya mereka meramu empon-empon untuk mencegah hama. Misalnya untuk mencegak tikus, mereka memakai singkong yang direbus dengan air kelapa. Untuk menghindari keong, mereka meletakkan daun pepaya agar keong berkumpul mengerubunginya. Setelah itu keong tersebut tidak diambil dan dijadikan pakan ternak. Adapun masalah utama yang dihadapi petani adalah hutan gundul yang mengakibatkan banjir.
Untuk melakukan sosialisasi pada petani agar mengelola tani organik mereka masih percaya pada komunikasi tatap muka dan memberikan contoh kasus. Menurut Farid, sangat sulit meyakinkan petani jika mereka belum melihat keberhasilan dari pihak lain. Hingga saat ini yang punya keberanian mencoba berpindah ke pertanian organik baru Pati Kota, Margorejo, dan Jakenan. Serikat Petani Pati sendiri tersebar di 12 kecamatan dan baru tiga kecamatan yang mau menjalankan pilot proyek pertanian organik. Kelompok anak muda selain bertani juga mengembangkan batu bata yang lebih tebal dan kuat. Mreka berharap dengan kualitas batu bata lebih baik bisa memperoleh harga jual yang lebih tinggi pula.
Antusiasme para petani di Pati Utara sungguh besar. “Kami bukan haus uang, tetapi haus program,”ungkap salah seorang petani. Mereka sangat membutuhkan pengetahuan-pengetahuan baru yang berhubungan dengan pengembangan pertanian, peternakan. Kini mereka juga sedang mencoba pakan lele yang lebih murah dan bergizi. “masalah utama kami juga pemasaran,” ungkap Farid. Harga beras di sekitar Pati sebesar Rp 4.400,- per kilo, padahal mereka berharap dengan sistem organik bisa memperoleh harga jual lebih tinggi.
Setelah berbincang akrab sembari makan siang bersama di pendopo warung milik Farid, kami pun harus kembali ke Jogjakarta. Belum sempat diskusi lebih lanjut dengan Nurkhoiron sebagai Direktur Yayasan Desantara sehubungan langkah kerjasama apa saja yang bisa dikaitkan dengan kapasitas CRI. Namun dalam perjalanan ini sendiri, COMBINE hendak menjajaki kerjasama dengan Desantara untuk memberikan dukungan di Suara Komunitas atau Pasar Komunitas. Tampaknya COMBINE bisa memberikan dukungan:
1. Pasar Komunitas dengan mempromosikan produk pertanian dan gaduh sapi serta kambing
2. Membantu pengemasan produk
3. Memberikan pelatihan penulisan
4. Memberikan pelatihan radio komunitas
5. Membantu strategi media untuk membantu pemecahan persoalan petani, seperti advokasi penolakan semen di Pegunungan Kendeng.
(Ade Tanesia)
Tags: Combine Resource Institution, media komunitas, pati, petani
No comments:
Post a Comment