Tuesday 25 January 2011

GERAKAN “KAWI PACT” DAN “HILANGNYA” TAN MALAKA

GERAKAN “KAWI PACT” DAN “HILANGNYA” TAN MALAKA

Oleh: Nur Hadi


ABSTRAK
Tan Malaka, salah seorang pejuang menuju kemerdekaan RI yang
kontroversial. Keberadaannya sering misterius, baik kemunculan dalam
panggung Pergerakan Nasional, maupun akhir dari karir politik dan
perjuangannya. Latar belakang ini yang menarik peneliti melakukan kajian kritis
dan holistik terutama menyangkut masalah perjuangan GRN dalam bingkai
“Kawi Pact” dan masa akhir hayat Tan Malaka.
Masa-masa krusial di seputar pergolakan politik nasional setelah
merdeka, ditandai dengan upaya saling melenyapkan masing-masing kekuatan
politik dalam merebut hegemoni sebagai pewaris sah Republik. Intrik yang
terjadi menempatkan pergulatan antara kekuatan politik yang nyata-nyata
berbeda ideologi, maupun sayap yang berbeda dari sebuah kekuatan politik
yang sebenarnya seazas. Situasi itu yang menyebabkan Tan Malaka memimpin
“Persatuan Perjuangan” yang beroposisi terhadap Kabinet Sjahrir, dan terakhir
ketidak percayaannya terhadap Proklamasi Soekarno-Hatta. Situasi itu yang
melahirkan gerakan revolusioner di lereng Gunung Kawi, Malang Selatan.
Merekonstruksi peristiwa “Kawi Pact”, dan terutama meninggalnya Tan
Malaka tidak mudah, sebab nuansa politisnya yang sangat kental dan
berlawanan dengan aspirasi umum pemegang kekuasaan. Data berupa arsip
atau dokumen hasil masa itu hanya memberitakan hal yang datar menyangkut
situasi politik nasional pasca kemerdekaan. Situasi itu menyebabkan saya
melakukan pendekatan penelitian kualitatif, dengan wawancara mendalam
pada pelaku yang terlibat penanganan peristiwa itu dari Brigade IV, terutama
menyangkut aspirasi dan perjalanan gerakan, serta “hilangnya” Tan Malaka. Uji
kompilasi silang dilakukan terhadap seorang pimpinan Brigade (dari
Kelasykaran) yang diakui sebagai bagian atau Slagorde gerakan itu.
Hasil kajian: secara umum dapat dikatakan bahwa Gerakan “Kawi Pact”
dibentuk sebagai koreksi sekaligus resistensi terhadap Proklamasi Soekarno-
Hatta yang dianggap banyak penyimpangan. Gerakan ini mampu merangkul
sebagian dari kesatuan organik Be IV yang bersimpati, serta beberapa
kesatuan/kelasykaran lepas yang ada di Malang. Tan Malaka diculik dalam
acara pertemuan di Nganjuk oleh kesatuan dibawah Be IV, dan dengan
pertimbangan kepentingan stabilitas politik waktu itu berita ini tidak diekspos.
Kata-kata Kunci: Gerakan Politik, “Kawi Pact”, Meninggalnya Tan Malaka.



A. PENDAHULUAN
Tan Malaka seorang pejuang nasional menuju kemerdekaan, yang telah
memperoleh pengakuan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional
2
berdasarkan Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1963. Ia seorang tokoh
legendaris yang dipuja banyak orang, antara lain Adam Malik. Tan Malaka
adalah seorang pemikir yang genius, hal ini terlihat pada buku-buku yang telah
diciptakannya, seperti Gerpolek, Madilog, dan lain-lain, yang ditulis dalam
pelarian yang ia jalani, dan sering naskah itu hilang (sebagian) atau rusak
dalam suasana pelarian. Ia juga seorang tokoh pejuang yang amat misterius
dan banyak aktifitasnya dilakukan di luar negeri sambil menuntut ilmu di Negeri
Belanda. Sepak terjang yang dilakukannya memiliki kaliber internasional,
seperti di Komintern. Sedangkan di dalam negeri ia mula-mula terjun sebagai
seorang guru di perkebunan Senembah di Tanjungmorawa, Deli, Sumatera
Utara. Disini ia lihat betapa sistem kapitalis telah menyengsarakan bangsanya,
dan hal ini semakin memperkuat keyakinannya terhadap kebenaran teori
Marxisme-Komunisme. Ia kecewa terhadap beberapa organisasi besar seperti
SI, BU maupun IP karena kurang memberikan perhatian terhadap nasib kaum
buruh di bawah penindasan Kapitalisme. Ia keluar sebagai guru di Tanjung
Morawa dan masuk ke kancah politik untuk bergabung dengan PKI. Sebagai
seorang pemikir ia sering tidak cocok dengan gagasan PKI (ortodoks),
termasuk ketidak setujuannya terhadap rencana pemberontakan melawan
pemerintah Kolonial Belanda 1926/1927 yang kemudian gagal. Ia kemudian
secara rahasia mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di luar negeri. Itu
sebabnya di dalam negeri namanya “kurang bergaung” dibandingkan Soekarno
atau Hatta.
Gagasan-gagasan utamanya bersifat anti kolonialisme
3
dan anti kapitalisme yang dengan gigih dan tanpa kompromi ia pertahankan,
telah membuka ruang bagi terbentuknya kekuatan-kekuatan yang pro maupun
anti dirinya. Segala sepak terjang yang telah dilakukannya banyak menarik
minat untuk ditulis oleh para pengamat ataupun sejarawan. Tulisan ini tidak
untuk membeber kembali riwayat kehidupan Tan Malaka seperti yang sudah
banyak dipublikasikan. Fokus dari kajian ini adalah menyangkut masa yang
gelap dan belum banyak dikupas tentang akhir dari perjuangan hidup Tan
Malaka di daerah Malang.
B. GERAKAN TAN MALAKA MASA REVOLUSI KEMERDEKAAN
Tan Malaka, yang memiliki nama kecil “Ibrahim”, (Poeze, 1988:12) mulai
muncul di Ibu Kota pada hari-hari sekitar Proklamasi. Ia terjun langsung ke
gelanggang perebutan hegemoni politik pada kurun Revolusi Phisik, ketika para
pemimpin Republik lebih menyukai jalan “moderat” dalam perjuangan
menghadapi kembalinya Belanda, ia menentang dan membentuk kekuatan
oposisi yang diberikan nama Persatuan Perjuangan (PP). Kekuatan ini
melakukan resistensi terhadap Kabinet Sjahrir, yang dianggap terlalu lemah
dalam perjuangan menghadapi kembalinya penjajah Belanda. Sebagaimana
diketahui kelompok PP menginginkan pengakuan kemerdekaan Indonesia
100%, dan baru atas dasar pengakuan itu dilakukan perundingan kedua belah
pihak antara RI dan Belanda. Tuntutan PP dengan ini dikatakan didasari isi
Proklamasi, Konstitusi dan perjuangan kemerdekaan. Atas dasar ini kekuatankekuatan
yang anti Sjahrir seperti PNI, PBI dan Masjumi berhimpun membuat
Triple Party-agreement, yang menghendaki politik kemerdekaan 100% dan
4
kabinet baru atas dasar itu. Kabinet Sutan Sjahrir mesti runtuh dan koalisi
kabinet harus dibentuk. Gabungan desakan ini adalah besar dan boleh
dikatakan sempurna, karena triple party pada waktu itu adalah suara tiga
platforms: Islam, Nasionalisme dan Sosialisme-proletaris, sebagai bagian
pecahan persatuan pergerakan kemerdekaan Indonesia (Yamin, 1956: 54).
Akibat kerasnya perlawanan yang dilakukan, beberapa tokoh PP yang juga
tokoh MURBA, seperti Yamin, Gatot, Abikusno, Sukarni, Chairul Saleh dan Tan
Malaka ditangkap dan dipenjarakan (Yamin, 1956: 64).Kondisi ini kemudian
menjurus pada avonturir politik dengan terjadinya Peristiwa 3 Juli 1946.
Dinamika politik nasional kemudian bergulir dengan jatuh dan bangunnya
kembali Kabinet Sjahrir.
C. GAGALNYA FDR/PKI DI MADIUN
Peristiwa pemberontakan FDR/PKI di Madiun pada tahun 1948 serta
keberhasilan pemerintah menghancurkannya, telah memberikan peluang politis
bagi MURBA sebagai rivalitas PKI dalam mengembangkan gerakan politiknya
yang selama itu mengalami kegagalan, seperti pada Peristiwa 3 Juli 1946.
Bersamaan dengan keluarnya Tan Malaka dari penjara pada tahun 1948,
mulailah ia menggiatkan kembali gerakan politik yang dikenal dengan GPP
(Gerakan Pembela Proklamasi). Ia beranggapan bahwa Soekarno-Hatta adalah
kompromistis menghadapi musuh perjuangan yaitu Belanda.
Murba dengan isu politik permanen nonkompromi, menghadapi situasi
stelah Perundingan Renville, dengan daerah Republik hampir tiga perempat
bagian dikuasai oleh pihak Belanda. Sementara itu keadaan didalam negeri
5
amat memprihatinkan dengan adanya penghijrahan dan pengosongan daerahdaerah
kantong, pasca RE-RA (Reorganisasi dan Rasionalisasi), dan mulai
dilaksanakannya tekanan ekonomi sebagai akibat blokade ekonomi Belanda.
Situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan ini telah dimanfaatkan MURBA
untuk memunculkan gerakan politiknya serta melakukan konsolidasi di daerah
Malang Selatan (daerah sekitar Gunung Kawi). Gerakan tersebut menggunakan
komponen-komponen kekuatan fisik yang ada dan memungkinkan digerakkan
dengan pengaruhnya untuk mewujudkan gagasan pembentukan Negara
Demokrasi Indonesia pimpinan Tan Malaka (wawancara dengan Mochlas
Rowie di Jakarta, 1991).
D. PEMBENTUKAN GERAKAN PEMBELA PROKLAMASI (GPP)-KAWI
PACT
Pada awal upaya memformulasikan kekuatan yang akan dibentuk, mulamula
dilaklukan pertemuan-pertemuan yang bersifat militer dengan dihadiri
oleh: A. Djakarsi dari Mobile Brigade, Isman dari TRIP Brigade XVII, Budijono
dari Batalyon Samodra, Worang dari Batalyon “B”, Kru “X”, Abdullah dari
Batalyon VII, Markadi dari Kompi Markadi, dan Djainal Alimin dari Brigade XIII
(Djarwadi, 1959: 68) (Juga wawancara dengan Djainal Alimin di Malang, 1994).
Pertemuan yang semula bersifat militer murni berhasil membentuk GPP
(Gerakan Pembela Proklamasi). Gerakan ini kemudian dibelokkan ke arah visi
politik tertentu. Hal tersebut diteruskan dengan mengadakan “move-move” yang
berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa.
6
Pada tahun 1948, tepatnya Bulan Desember saat Belanda melakukan
Agresi Militer II, dengan menyerbu RI, termasuk ke daerah Malang, Mayor
Mochlas Rowie mendapatkan tugas sebagai Komandan Daerah Gerilya III
(MG=Malang Gerilya) III, yang kemudian berdasarkan instruksi MBKD (Markas
Besar Komando Djawa) menjadi SWK (Sub Wehrkreise) III di Malang Selatan,
yang merupakan satu-satunya daerah Republik yang pada waktu itu masih
dikuasai pemerintah RI di daerah Karesidenan Malang, meliputi Kawedana
Kepanjen, Kawedanan Turen dan Kawedanan Pagak.
Pada waktu bergerilya SWK III membawahi 2 sektor serta menguasai
wilayah sekitar perbatasan Kediri-Wlingi-Malang.
Sektor 1, berkedudukan di Sumber Pucung, di bawah pimpinan kapten Nailun
Hamam. Semula ia adalah Komandan Depo Batalyon yang juga berkedudukan
di daerah Sumber Pucung.
Sektor 2, berkedudukan di Pagak, di bawah pimpinan Lettu Abd. Munir.
Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, tugas masing-masing sektor
sudah ditentukan berdasarkan instruksi MBKD bahwa sektor merupakan
daerah pertempuran dan daerah pemerintahan. Dalam rangka itu, kedua sektor
tersebut merupakan bagian dari lingkungan Brigade IV /Malang, yang semula
bersama Brigade III/Besuki menjadi satu Divisi yaitu Divisi VII/Untung Surapati.
Brigade IV kemudian dipimpin oleh Letkol DR. Soejono dan Brigade III dipimpin
Letkol. Moh. Soeroedji, yang berlangsung sejak RE-RA (Restrukturisasi dan
Rasionalisasi).
Di daerah Brigade IV juga terdapat satu Brigade Mobil, yaitu Brigade
7
XVI/Warrow, yang secara militer ditentukan sebagai cadangan dari pasukan RI
dengan komandannya, Warrow. Keberadaan Brigade ini perlu dikemukakan
sehubungan dengan banyaknya keterlibatan mereka dengan GPP Tan Malaka.
Proses pembentukan Brigade yang banyak anggotanya berasal dari Sulawesi
tersebut dilakukan di Solo. Warrow sendiri adalah orang Sulawesi Utara.
Brigade ini ditugaskan oleh MBKD menjadi tenaga yang mobil untuk membantu
Jawa Timur, mulai dari Kediri dan kemudian ke Malang untuk menghadapi
pasukan Belanda. Jadi ia tidak memiliki wilayah secara khusus. Di Kediri
Brigade ini ikut membantu pasukan Brigade Surakhmat, kemudian sewaktu di
Malang ikut KMD Malang. Sewaktu di Malang Brigade ini mengambil
kedudukan di tapal batas antara Malang-Kediri, di Wlingi bagian utara, tepatnya
di lereng Gunung Kawi. Sebagai komandan Brigade yang berkedudukan di
daerah Malang ia seharusnya memberitahukan keberadaannya kepada KMD
Malang, Letkol DR. Soedjono, namun hal itu tidak dilakukannya.
Jika diamati kembali kehadiran GPP, bahwa semula GPP banyak
mendapatkan simpati banyak pihak, tetapi ketika gerakan ini dibelokkan ke arah
suatu visi politik tertentu (kiri), banyak kesatuan yang mengundurkan diri.
Pada suatu kesempatan dalam bulan Januari 1949 telah diadakan
pertemuan besar bertempat di Kali Tapak (Kawi Selatan), tampak
kecenderungan dari GPP kearah suatu trend tertentu. Hal ini dapat dilihat dari
para pemrasaran dalam pertemuan tersebut yang seluruhnya kaum politisi.
Beberapa kesatuan telah meninggalkan pertemuan, seperti Batalyon XVII dan
utusan Korps Mahasiswa.
8
Sesungguhnya banyak kalangan yang tidak setuju dengan langkahlangkah
revolusioner yang ditempuh Tan malaka cs. Dengan pendirian Negara
Demokrasi Indonesianya. Seperti diketahui, bahwa pembentukan Negara
Demokrasi Indonesia tersebut didirikan dengan mengambil momentum yang
dianggap tepat, yaitu ketika Belanda masuk Yogyakarta, 19 Desember 1948.
Ketika itu, diumumkan bahwa Soekarno-Hatta tertangkap. Dengan alasan
bahwa Presiden dan Wakil Presiden sudah tidak ada, Tan Malaka
memproklamasikan berdirinya GPP (Gerakan Pembela Proklamasi) di atas
Gunung Kawi. Lahirlah kemudian Gerakan Kawi Pact yang bertujuan untuk
meneruskan cita-cita komunisme ala Tan Malaka. Ia memproklamasikan
berdirinya Negara Demokrasi Indonesia dengan dalih, bahwa pemerintah RI
Soekarno-Hatta sudah tidak ada. Pengumuman berdirinya Negara Demokrasi
Indonesia, sekaligus dilakukan dengan penunjukan dirinya sebagai Presiden,
dengan mengangkat Kolonel Warrow sebagai Menteri Pertahanan dan Mayor
Sabaruddin sebagai Panglima Besar GPP.
Beberapa kesatuan sempat dipengaruhi oleh Tan Malaka dan kawankawan.
Diantaranya yang secara riil masuk dalam jaringan kekuatan tersebut
adalah pasukan Letkol Soepardi dari Brigade Kelasykaran (Brigade XIII). Di
Brigade XIII Letkol Soepardi menjabat sebagai Staf Politik. Di samping itu satu
kompi pasukan dari Mochlas Rowie, yaitu Kompi Hanafi Terpedo Berjiwa ikut
serta masuk GPP. Kesatuan lain yang juga ikut masuk adalah dari Brigade XVI,
diantaranya pasukan Batalyon Worang dan Batalyon Abdullah yang turut
bergerak ke daerah Kawi. Atas prakarsa Tan Malaka kemudian dibentuk Kawi
9
pact, seperti dikemukakan di atas, yang juga dimaksudkan untuk mengikat
unsur-unsur kesatuan yang ada dalam satu ikatan GPP.
Secara ekspansif GPP menuntut seluruh wilayah Gunung Kawi, wilayah
Kediri dan Malang untuk diserahkan kepada mereka. Letkol DR.Soedjono
sebagai Komandan Brigade IV menolak keras tuntutan itu sebab kekuasaan
atas wilayah Komando Militer di Malang adalah dalam tugas pengamanannya.
Adapun Mochlas Rowie selaku Komandan SWK, telah memperingatkan
kepada Lettu Hanafi (anak buahnya), bahwa semua pasukan yang ada di SWK
III KMD Malang harus tunduk kepada pimpinan KMD Malang. Dan juga
disampaikannya bahwa tidak ada pemerintah lain selain pemerintah RI, yang
sekarang menjelma menjadi pemerinatah militer di daerah-daerah. Jadi kalau
ada pasukan yang mengikuti gerakan tidak sah di luar Republik, mereka itu
pemberontak. Oleh karena itu, diingatkan kepada Komandan Kompi Hanafi dan
anak buahnya agar lekas kembali ke kesatuan semula, yaitu di wilayah KMD
Malang dan tetap berstatus sebagai tentara RI. Instruksi ini menimbulkan
polemik karena komandan Kompi yang bersangkutan setelah menerima
instruksi ini, meneruskannya kepada Panglima Besar GPP Sabaruddin. Yang
kemudian mengirimkan surat balasan secara panjang lebar bahwa sebenarnya
dialah yang lebih konsekuen membela Republik.
Mochlas Rowie mengatakan, bahwa berkaitan dengan Sabaruddin, perlu
diketahui beberapa hal, bahwa ia adalah seorang bekas narapidana dan
seorang petualang dari Sidoarjo. Ia sebenarnya pernah mendapatkan
pendidikan PETA, kemudian mengaku sebagai PM (Polisi Militer) di daerah
10
Sidoarjo. Dengan cara itu ia menangkap dan membunuh orang-orang yang
tidak disukainya, termasuk Shodancho Sidoarjo, yaitu Budiardjo (yang pada
tahun 1945 pernah menjadi Komandan Sabaruddin) karena masalah pribadi.
Jadi sesungguhnya, banyak kegiatan kriminal yang telah dilakukannya,
sehingga oleh panglima Divisi Brawijaya, Kolonel Soengkono, ia ditangkap dan
dipenjarakan di Kediri. Jadi Sabaruddin bukanlah seorang kader Komunis yang
mengerti apa paham Komunis seperti Tan malaka, tapi hanya seorang
petualang yang haus kekuasaan dan kedudukan. Jika ada tantangan yang
berhubungan dengan kekuasaan dan kedudukan,. Dia akan masuk. Hal ini
utamanya berkaitan dengan GPP, yang memberikan kedudukan kepadanya
sebagai seorang Panglima Besar.
Keberadaan GPP di daerah Malang amat mengganggu konsentrasi TNI
reguler di wilayah ini untuk menghadapi pertempuran dengan pasukan Belanda.
Terasa bahwa TNI di wilayah ini menghadapi dua kekuatan sekaligus, yaitu di
samping menghadapi pasukan Belanda yang kelihatan nyata dan jelas sebagai
musuh untuk dihadapi, mereka juga menghadapi kesatuan-kesatuan GPP yang
menusuk TNI dari belakang tanpa bisa diduga sebelumnya. Sabaruddin dan
pasukannya yang terdiri dari para narapidana dari penjara Kediri yang telah
direhabilitasi oleh pak Soengkono ternyata lebih banyak mengganggu
keamanan dan ketertiban dari pada membantu berjuang melawan Belanda.
Walaupun Soekarno-Hatta sudah ditangkap, Pada waktu itu TNI tetap
mengikuti pengakuan bahwa pemerintah RI tidak hilang. Selain PDRI
(Pemerintah Darurat Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittinggi
11
dengan Presiden Mr. Sjafruddin Prawiranegara, kekuasaan di jawa dipegang
oleh Pemerintah Militer Komando Djawa dengan Markas Besar Komando
Djawa (MBKD) dipegang oleh Kolonel Nasution sebagai pemerintah pembela
Republik. Oleh karena itu, pemerintah militer di jawa di bawah pimpinan
Jenderal Soedirman dan Nasution dijadikan sebagai pegangan. Jenderal
Soedirman tidak pernah menyerah kepada Belanda, dan tetap melanjutkan
perjuangan walaupun menderita sakit keras.
Dengan aktifitas memproklamasikan berdirinya Negara Demokrasi
Indonesia yang tidak sejalan dengan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus
1945, yang dilakukan oleh Tan Malaka dengan mengangkat seorang Warrow
dan Sabaruddin sebagai pucuk pimpinan militer GPP, menjadi tantangan
tersendiri bagi TNI di wilayah Malang.
Sebagaimana yang telah terungkap di atas, bahwa beberapa oknum
Brigade XVI di wilayah Brigade IV bukannya membantu tugas Brigade IV
berjuang melawan Belanda, tetapi justru sebaliknya banyak kerugian yang
disebabkan oleh kehadiran mereka di dalam kesatuan GPP. Mereka telah
beberapa kali menyerbu dan melucuti persenjataan TNI reguler Malang.
Sebagaimana biasanya, sesudah melakukan penyerangan terhadap pos-pos
Belanda, TNI lari ke gunung. Tetapi mereka kesatuan GPP menyerang TNI.
Akibatnya terjadi perang saudara, yaitu antara pasukan Brigade IV dan oknum
Brigade XVI, meskipun berskala kecil. Insiden yang mereka lakukan antara lain,
perlucutan senjata kesatuan-kesatuan Brigade IV di daerah Singosari, baik
yang dilakukan terhadap pasukan Sumeru maupun pasukan Moergito. Hal itu
12
membuktikan bahwa GPP kurang profesional dalam berjuang, serta sebagai
suatu tindakan indisipliner militer karena mencoba secara aktif merusak tatanan
hubungan koordinasi TNI dalam rangka menghadapi pasukan Belanda. Hal
yang sama, juga dilakukan oleh pasukan Kompi Tenges dari GPP terhadap
pasukan dari Nailun Hamam.
Mochlas Rowie selaku Komandan SWK III mencoba menyelesaikan
masalah pelucutan senjata tersebut. Ia dengan berjalan kaki selama dua hari
dari markas SWK di pagak dan menemui sendiri Komandan Brigade XVI di
Wlingi. Selanjutnya dicapai persetujuan bahwa senjata-senjata yang sudah
dirampas harus dikembalikan sebab sangat dibutuhkan TNI yang sedang
menghadapi Belanda. Sebab saat itu pasukan Belanda menguasai jalan-jalan
raya antara Surabaya-Malang dan juga Malang-Kediri.
E. KEMATIAN MISTERIUS TAN MALAKA (AKHIR GPP)
GPP dianggap sebagai bentuk penyimpangan politik yang sangat prinsip
berkaitan dengan ideologi negara. Pada waktu yang hampir bersamaan (saat
Soekarno-Hatta ditangkap), Karto Suwirdjo memproklamasikan berdirinya NII
(Negara Islam Indonesia) dengan DI/TII nya (Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia ) di Jawa Barat. Di daerah jawa Timur, tepatnya di atas Gunung
Kawi, Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Negara Demokrasi Indonesia.
Jadi dari sisi kepentingan negara kedua-duanya dianggap memberontak
terhadap pemerintah RI.
Gerakan yang telah dilakukan oleh Tan Malaka dan kawan-kawannya
sebagai gerakan politik dengan menyebarkan berbagai propaganda untuk
13
meluaskan berita adanya GPP dan Negara Proklamasi di luar RI.but. Secara
militer gerakan mereka hanya di gunung-gunung, dan kurang memberikan
pukulan terhadap pasukan Belanda, hingga kontribusi yang diberikan GPP
terhadap perjuangan nasional ketika itu kurang berarti, bahkan kehadiran
mereka merupakan ancaman dan gangguan terhadap stabilitas kawasan
Malang secara khusus, dan stabilitas nasional sebagai keseluruhan. Namun
demikian terdapat suatu momentum penting yang mengakhiri masalah itu
dengan dicapainya persetujuan gencatan senjata (“cise fire order”) antara TNI
dengan Belanda. Dengan persetujuan itu semua tentara yang dibentuk
(Kelasykaran) harus dikonsolidasikan kembali menjadi TNI, seperti beberapa
kesatuan di GPP, seperti pasukan Warrow kembali bergerak secara legal
menjadi TNI dan dikirim ke luar Jawa dalam ekspedisi ke Ambon untuk
menumpas RMS dengan kekuatan riil dua Batalyon yaitu Batalyon Worang dan
Batalyon Abdullah.
GPP tidak sempat berkembang sebab keburu dicapai perjanjian
gencatan senjata antara TNI dengan pasukan Belanda. Dalam kesempatan itu,
para Komandan Batalyon di Jawa Timur dipanggil seluruhnya untuk
mengadakan rapat di Nganjuk, tepatnya di Desa Gondang, oleh Panglima Divisi
I/Brawijaya Kolonel Soengkono. Dalam hal ini Soengkono sudah mendapatkan
laporan dari para intel dan pimpinan Brigade IV dan KMD Malang tentang
kegiatan Sabaruddin, Tan Malaka dan kawan-kawannya. Oleh karena itu,
Soengkono menginstruksikan kepada PM untuk menangkap Sabaruddin pada
kesempatan rapat di Nganjuk, kemudian membawanya ke Madiun. Di
14
perjalanan Sabaruddin dieksekusi (cerita dari PM yang mengerjakan). Demikian
pula dengan Tan Malaka.
Kawi Pact belum dapat mengembangkan misinya ataupun ide-idenya
akibat segera dicapai persetujuan gencatan senjata. Ketika terjadi persetujuan
gencatan senjata itu Tan Malaka masuk ke Gunung Kawi (ikut bergerak) dan
bersama sebagian pasukan GPP ditangkap oleh aparat intel Panglima Divisi.
I/Brawijaya. Menurut Mochlas Rowie, bersama Sabaruddin ia telah “diambil”
karena dianggap sebagai bisul yang mengganggu dan berbahaya bagi
kelangsungan perjuangan bangsa. Kondisi negara yang kritis, di tengah situasi
revolusi yang bergerak dinamis, menyebabkan sesuatu yang dianggap
berbahaya sekecil apapun terhadap stabilitas nasional harus diambil secara
tegas dan lugas, termasuk terhadap Tan Malaka dengan GPP dan Kawi Pact
nya tanpa melalui proses hukum linier. Berita selanjutnya tidak diketahui
tentang keberadaan Tan Malaka. Gaung dari Kawi Pact ini kemudian kembali
sepi, sesepi kepergian tokoh penggeraknya, Tan Malaka (Nur Hadi dan
Sutopo, 1997: 306-307).
F. SIMPULAN
Berdasarkan atas pembahasan tersebut dapat dikemukakan beberapa
kesimpulan:
1. Tan Malaka adalah seorang pejuang yang tanpa kompromi. Ia teguh
pada pendirian, sehingga sering bertabrakan dengan kekuatan-kekuatan
yang tidak sepaham dengannya pada berbagai eposode perjuangan.
Keyakinan yang dipertahankannya dengan gigih tersebut sering
15
membawa bencana baginya. Dari masa Pergerakan Nasional sampai
masa Revolusi Phisik ia menjadi seorang pejuang yang militan, radikal
dan revolusioner. Akibat tanpa kompromi itu ia sering menemui
kegagalan dan bahkan harus mendekam Dari Penjara ke Penjara.
2. Apa yang dilakukan Tan Malaka dalam bentuk tindakan-tindakan politik
seringkali berdasarkan pemikiran-pemikiran yang amat mendalam, dan
paham atau keyakinan diri yang kuat, atau sebaliknya apa yang ia
pikirkan akan dilakukannya dalam bentuk tindakan-tindakan politis. Dua
sisi sebagai seorang pemikir sekaligus pelaku politik yang konsisten
terdapat dalam diri pribadinya. Ini yang membuat ia disegani sekaligus
dianggap sebagai ancaman.
3. Intrik politik nasional yang terjadi pada masa Revolusi Phisik telah
memaksanya untuk tampil sebagai seorang tokoh atau pelopor gerakan
revolusi, dan ia gugur dalam pergolakan untuk mempertahankan
keyakinannya. Ia telah dibunuh oleh TNI yang sesungguhnya adalah
“kawan” seperjuangan dalam menghadapi kembalinya kolonialisme
Belanda. Tapi dinamika politik yang terjadi pada waktu itu memaksanya
tampil dan menjadi korban dari situasi pergolakan politik yang bergerak
dan berputar secara liar. Ia meninggal secara misterius tanpa diketahui
dimana makamnya.
16
G. REKOMENDASI
Dalam pandangan banyak kalangan, wacana tentang Marxisme-
Komunisme sering kali hanya dilihat dari satu sudut, termasuk melihat para
tokoh yang terlibat dalam berwacana maupun beraktifitas politik tentang
masalah itu. Dari pengalaman sejarah hidup Tan Malaka perlu direnungkan
secara mendalam, bahwa ternyata pandangan politik seseorang yang berbau
kiri itu ternyata tidak hanya satu dan berjalan secara linier. Diperlukan kearifan
untuk melihat dan menilai suatu fenomena sosial secara holistik.
DAFTAR PUSTAKA
Djarwadi, Radik. 1959. Pradjurit Mengabdi, Gumpalan Perang Kemerdekaan
Batalyon Y. Bandung: Publikasi Resmi Pusat Sedjarah Militer.
Malaka, Tan. 1999. Madilog Materialisme Dialektika Logika. Jakarta: Pusat
Data Indikator
Malaka, Tan. 2000. gerpolek. Yogyakarta: Jendela.
Nur Hadi dan Sutopo. 1997. Perjuangan Total Brigade IV Pada Perang
Kemerdekaan di Karesidenan Malang. Malang: IKIP Malang.
Poeze, Harry A. 1988. Tan Malaka Pergulatan Menuju Republik 1897-1925.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Prabowo, Hary. 2002. Perspektif Marxisme Tan Malaka: Teori dan Praksis
Menuju Republik. Yogyakarta: Jendela.
Yamin, Muhammad. 1956. Sapta Darma. Bukittinggi-Djakarta-Medan: N.V.
Nusantara.
Wawancara dengan:
17
1. Mochlas Rowie di Jakarta, 17 Maret 1991.
2. Djainal Alimin di Malang, 20 Mei 1994.
BIODATA
Nama Lengkap : Drs. Nur Hadi, M.Pd, M.Si
NIP : 131807089
Pangkat/Gol.Ruang : Pembina, IV/a
Jabatan : Lektor Kepala
Jurusan/Fak : Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang
(UM)
Alamat : Jl. Danau Semayang VIII Blok C2C-07 Perumnas
Sawojajar Malang
Telepon : 0341-712052 H.P: 08125236444
Karya Tulis:
1. Nur Hadi dan Sutopo. 1997. Perjuangan Total Brigade IV Pada Perang
Kemerdekaan di Karesidenan Malang, Penerbit IKIP Malang (ISBN: 979-
495-371-7)
2. Nur Hadi (Ed.). 2000. TKR Divisi VII Untung Suropati Malang – Besuki
1945-1948. Malang: UM Pres (979-495-444-6)
3. Ismain, Kasimanuddin dan Nur Hadi (Ed.). 2003. Sejarah dan Budaya
Dari Masa Kuno Sampai Kontemporer. Malang: UM Press (979-495-536-
1)
18
Karya Penelitian:
1. Nur Hadi, dkk. 1986. Penelitian Kepurbakalaan Bali. IKIP Surabaya.
2. Nur Hadi, dkk. 1990. Penelitian Pengaruh Modernisasi Terhadap Adat
Budaya Masyarakat Tengger, Desa Ngadisari. Malang: Puslit IKIP
Malang.
3. Mustopo, M. Habib. Dan Nur Hadi. 1990. Studi Kelayakan Objek-Objek
Wisata Budaya Maupun Alam Sebagai Daya tarik Wisatawan di
Kabupaten Malang. Malang: Puslit IKIP Malang.
4. Nur Hadi. 1993. Penelitian Adat Istiadat Masyarakat Samin dalam
Pengaruh Modernisasi di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Malang:
Puslit IKIP Malang.
5. Adi Pratjaja dan Nur Hadi, 1996. Makna Kehidupan Industri Bagi
Masyarakat Tengger. Malang: Lemlit IKIP Malang.
6. Sri Sumartini dan Nur Hadi . 2002/2003. Penelitian Wacana Kyai
Tentang Kesetaraan Gender Bidang Politik. Malang: Lemlit UM.
7. Nur Hadi dan M. Dwi Cahyono. 2003-2004. Penelitian Arkeologi Sejarah
Kutai. Kerjasama Pemkab Kutai kartanegara dengan Universitas Negeri
Malang.
8. Nur Hadi. 2005. Penelitian Pergeseran Makna Ritus Tradisional
Tengger. Malang: Lemlit UM.
9. Nur Hadi. 2006. Resiko Peran Ekonomi Ibu Rumah Tangga Bagi
Keluarga Batih. Malang: Lemlit UM.
Pertemuan Ilmiah:
19
1. Pemakalah dan partisipan aktif pada sejumlah seminar dan lokakarya
tingkat nasional ataupun regional.
2. Pidato Lektorat, Studi Etnografi di Gunung Kemukus, Fakultas Sastra
UM, Agustus 2004.
3. Pemakalah Pada Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia
Ke-3, Tema: “Membangun Kembali ‘Indonesia yang Bhinneka Tunggal
Ika’: Menuju Masyarkat Multikultural”, dengan judul makalah Pergeseran
Makna Ritus Kasada. Bali: 16-19 Juli 2002.
20
21

No comments:

Post a Comment