Wednesday, 19 January 2011

Pemahat Abad

Pemahat Abad

Oleh: Oka Rusmini


Kopag menjatuhkan pisau ukirnya yang runcing. Hampir saja pisau itu memahat kakinya. Semua gara-gara dia mencium bau yang aneh dari sudut pintu. Seperti bau daun-daun kering dan kayu basah. Aneh, dari mana datangnya bau yang membuatnya begitu gelisah? Bau itu semakin mendekat.

“Siapa itu?”

“Titiang.1 Luh Srenggi.”

“Srenggi? Srenggi siapa?!” Kopag semakin menggigil. Bau itu semakin mendekat dan menyesakkan dadanya. Tangannya jadi lapar. Dia memerlukan alat-alat pahatnya. Pisau-pisau yang runcing terbayang di otaknya. Kopag menggigil ketika bau itu benar-benar menelanjangi wujud laki-lakinya.

"Katakan padaku, siapa kau?!”

"Titiang yang akan melayani seluruh keperluan Ratu.2 Mulai hari ini dan seterusnya.” Suara itu terdengar gugup.

“Siapa tadi namamu?” Kopag mulai menenangkan dirinya sendiri.

“Luh Srenggi.” Suara itu terdengar bergetar. Suara itu adalah suara perempuan. Apa yang terjadi dengan dirinya? Kopag memaki dirinya sendiri. Aneh sekali, tiba-tiba saja dia seperti ditenggelamkan ke lautan. Suara itu dirasakan penuh dengan kejujuran, kasih sayang, dan sangat tulus. Kopag yakin dugaannya ini tidak meleset. Inilah perempuan itu, perempuan yang dicarinya berabad-abad. Sekarang Hyang Widhi mengirim untuknya. Seorang perempuan, benarkah suara ini milik seorang perempuan?

Ketika Kopag akan mengambil tongkatnya, Luh Srenggi cepat-cepat membantu. Tangan mereka bersentuhan. Kopag semakin gelisah. Kulit perempuan itu terasa seperti kulit kayu. Luar biasa. Perempuan itu pasti memiliki kecantikan yang melebihi kecantikan sebatang pohon, atau seonggok kayu yang paling sakral sekalipun.


Baru kali ini Kopag merasakan bisa menikmati hidupnya. Dia bisa memberikan penilaian yang begitu objektif terhadap benda hidup yang bernama manusia. Biasanya dia hanya dijadikan objek, sekedar mendengarkan keputusan orang-orang terdekatnya. Apa pun yang dikatakan orang-orang di sekitarnya, Kopag harus patuh. Kali ini, dia merasa menemukan kebenaran yang berbeda dengan kebenaran yang diyakini oleh orang-orang yang selama ini rajin menanamkan kebenaran yang telah menjadi ukuran mereka.

“Apakah di bumi ini wujud kebenaran itu sudah seragam, Gubreg?” Suara Kopag terdengar getir, “bahkan untuk menilai keindahan itu, aku juga harus memakai kriteria mereka?”

“Kebenaran mereka? Aku tidak yakin mereka mampu melihat seluruh keindahan hidup ini dengan benar!” Suara Kopag terdengar penuh tekanan. Pikirannya kacau!

Kopag sadar, sangat sadar. Dilahirkan sebagai laki-laki buta memang tidak menggairahkan. Karena tak ada perempuan-perempuan yang bisa dilihatnya dengan matanya. Tapi, apakah orang-orang yang memiliki kelengkapan utuh sebagai manusia ketika dilahirkan mampu menangkap seluruh rahasia kehidupan ini? Rahasia yang erat-erat digenggam dan disembunyikan alam? Salahkah kalau tiba-tiba saja Kopag menemukan kecantikan yang luar biasa pada diri Luh Srenggi. Kecantikan yang dia lihat dengan pikiran, perasaan, dan keindahannya sendiri. Salahkah?

Kecantikan perempuan muda itu adalah kecantikan yang sangat luar biasa. Tubuhnya seperti lekukan kayu. Seluruh wajahnya juga lekukan kayu. Dia adalah kayu terindah dan tercantik. Aneh sekali tak ada manusia yang bisa menangkap kecantikannya. Menghargai keindahan yang dititipkan alam padanya. Bahkan Gubreg, pelayan tua itu, juga tidak berkomentar ketika Kopag memuji keindahan perempuan delapan belas tahun itu. Apa yang sesungguhnya salah pada kriteria yang telah diberikan Kopag terhadap perempuan?


***


Kehidupan telah memaksa bocah laki-laki itu memakai label Ida Bagus Made Kopag, agar orang-orang mudah mengenalinya dan membedakan dirinya berbeda dengan manusia lainnya. Dia anak laki-laki kedua yang lahir dari keluarga terkaya di Griya. Gelar Ida Bagus menunjukkan bahwa dia adalah anak laki-laki dari golongan Brahmana, kasta tertinggi dalam struktur masyarakat Bali. Ayahnya seorang laki-laki sangat terhormat dan memiliki kedudukan tinggi di pemerintahan. Dia juga memiliki puluhan galeri lukis dan patung. Sayangnya laki-laki itu memiliki mata yang sangat liar. Laki-laki itu adalah binatang yang paling mengerikan. Kata orang, laki-laki itu bisa tidur dengan seluruh perempuan. Dia tidak pernah peduli, cantikkah perempuan itu, sehatkah dia? Bagi ayah Kopag, setiap makhluk yang memiliki lubang bisa dimasuki. Suatu hari, setelah berbulan-bulan tidak pulang, laki-laki itu pulang dalam kondisi yang menyakitkan. Tubuhnya kurus dan pucat. Belum lagi hutangnya yang tiba-tiba saja menumpuk. Seluruh kekayaan ludes.

Dalam kondisi seperti itu, laki-laki itu memaksa perempuan yang dinikahinya untuk bersetubuh. Perempuan itu menolak. Dia tahu, laki-lakinya akan menitipkan daging binatang di rahimnya. Apa artinya kekuatan seorang perempuan? Terlebih, sejak kecil dia terbiasa dididik menjadi perempuan bangsawan yang menghormati laki-lakinya. Dia hamil. Lahirlah seorang laki-laki yang merenggut nyawa perempuan itu.

Laki-laki itu harus berperan sebagai laki-laki buta untuk menebus kelahiran dan hidupnya sendiri. Alangkah ajaibnya kalau hidup juga bisa dipermainkan, bisa dibuat sebuah pementasan. Seperti sebatang kayu dengan lekuknya yang begitu menggairahkan, di sanalah dunia itu dibuat untuk laki-laki yang sejak pertama berkenalan dengan aroma bumi dan hidup hanya merasakan kegelapan sebagai bahasanya, hidupnya. Kehidupan yang sering dimaki Kopag ternyata cukup demokratis. Dia memberi Kopag poin, yang tentu saja tidak dimiliki orang-orang. Dia bisa mengubah kayu kering menjadi sebuah karya seni yang memikat para intelektual seni rupa. Kopag telah merekonstruksi sejarah seni rupa. Kopag tidak saja memahat kayu, dia memahat pikirannya, otaknya, juga impian-impiannya. Untuk pertama kali, alam menyerah pada kekuasaannya, seperti Kopag juga menyerah pada kebutaan yang harus dia kenakan setiap saat. Kebutaan yang mengikuti dia terus-menerus.


***


Kopag menarik nafasnya dalam-dalam. Disentuhnya kayu kering yang selama ini selalu mengantarnya ke mana dia pergi. Jujur saja, Kopag sangat menyukai kayu yang mengenalkannya pada dunianya. Dunia yang diinginkan. Sebuah kesunyian dengan pagar-pagar keindahan. Tanpa teriakan iparnya yang sering menyesakkan kuping.

“Apa bisanya adikmu yang buta itu? Apa? Merepotkan!” Suara perempuan muda itu selalu menggelisahkannya. Ada-ada saja yang diributkannya. Tanaman di halaman samping rusak atau terinjak kakinya, kembang sepatu yang baru ditanam perempuan nyinyir itu tersangkut tongkatnya, atau posisi piring dan gelas berubah di dapur.

Suara iparnya itu akan terus menari-nari di sekitar telinganya. Bagaimana mungkin perempuan konon kata orang-orang di desanya sangat cantik dan santun itu bisa berkata begitu kasar. Teriakannya saja bisa memandulkan pisau pahatnya. Nama perempuan itu Ni Luh Putu Sari. Karena dia bukan kaum Brahmana, perempuan itu harus mengubah namanya menjadi Jero Melati. Karena perempuan Sudra, perempuan kebanyakan itu telah menikah dengan kakaknya dan menjadi keluarga Griya.

Orang-orang di luar hanya tahu bentuk tubuhnya yang konon sangat luar biasa, kulitnya yang sering jadi pujian, pokoknya seluruh tubuh perempuan itu selalu jadi pembicaraan kaum laki-laki. Aneh sekali, Kopag sering berpikir, bagaimana sesungguhnya sebuah penilaian yang objektif dalam hubungan antarmanusia di bumi ini. Iparnya yang luar biasa kasar dan cerewetnya jadi pujian dan pembicaraan seluruh laki-laki di Griya.

Bagi Kopag, perempuan itu adalah pemain sandiwara yang ulung. Saat ini dia sangat mengikuti ambisinya untuk masuk dalam lingkungan keluarga Brahmana. Perempuan itu benar-benar serius untuk memasuki perannya sebagai istri laki-laki Brahmana, dia harus menunjukkan pada seluruh manusia di desa ini bahwa dirinya berhak masuk dalam lingkungan keluarga bangsawan. Itu yang dirasakan Kopag, ketika untuk pertama kali iparnya itu menyalaminya. Getaran tangannya sudah seperti tangan-tangan mayat yang membusuk. Kopag juga merasakan setiap mulut perempuan itu terbuka, dia mencium bau darah. Anyir. Bau itu seolah berlomba-lomba meloncat dari bibirnya yang konon sangat mungil, merah, dan sangat pas. Bahkan Gubreg, parekan, pelayan setia yang merawat Kopag sejak kecil, selalu berkata bahwa beruntunglah kakaknya bisa mendapatkan perempuan tercantik di desa.

Masih kata Gubreg, Ni Luh Putu Sari yang sejak menikah dan masuk menjadi keluarga Griya bernama Jero Melati itu memiliki kulit yang sangat indah. Postur tubuhnya seperti putri-putri raja Bali.

“Luar biasa kecantikan Jero Melati, Ratu.”

“Seperti apa perempuan cantik itu, Gubreg? Tolong kau katakan seluruhnya. Aku ingin tahu, aku juga ingin merasakan. Saat ini aku mencoba percaya pada matamu.”

Laki-laki tua itu terdiam. Dipandangnya mata Kopag dalam-dalam. Ada rasa sakit mengelus dada tuanya. Ida Bagus Made Kopag memiliki tubuh yang sangat bagus. Tinggi, dan tangannya juga sangat cekatan memahat patung-patung. Sejak kecil kakeknya hanya mengajari Kopag bersentuhan dengan kayu-kayu untuk berkenalan dengan kehidupan. Atau sesekali mendatangkan guru yang mengajarinya membaca.

“Anak itu buta, Gubreg. Menanggung dosa ayahnya. Pertumbuhannya selalu mengingatkanku pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan anakku. Karmanya jatuh pada anaknya sendiri. Kegelapan itu jadi milik cucuku yang paling abadi. Aku masih percaya kehidupan itu bisa diajak bicara. Kau bisa lihat, kan? Kehidupan sendiri memberinya hadiah yang luar biasa. Cucuku memiliki seluruh mata manusia yang ada di bumi ini. Lihat, dia mampu membuat patung-patung dengan ukiran sangat sempurna. Jaga dia baik-baik, Gubreg. Anggap dia anakmu!” Itu pesan Ida Bagus Rai, sebelum berpulang.

“Gubreg, kau belum jawab pertanyaanku. Seperti apa perempuan cantik itu? Apa seperti bongkahan kayu beringin ini? Dingin, tapi mampu memikatku. Lihat, Gubreg, aku selalu tersentuh. Gubreg, rasa apa yang sering membuatku meluap, apa ini rasa yang dimiliki laki-laki? Ini wujud kelelakian itu?” suara Kopag terdengar pelan.

Hyang Widhi! Penguasa jagat! Kopag memang sudah besar, sudah menjelang dua puluh lima tahun. Dia juga rajin membaca buku-buku dengan huruf braile. Atau sesekali dia dikunjungi orang asing dari Prancis, Frans Kafkasau.

Laki-laki setengah baya itulah yang membuat Gubreg, jengkel! Ada-ada saja yang dibawanya. Kadang-kadang dia bacakan buku-buku bahasa asing, yang diterjemahkannya, tentang Michelangelo Buonorrty, yang konon, kata Frans, pematung jaman Renaisans.

Susah. Susah. Sejak bergaul dengan Frans ada-ada saja yang ditanyakan Kopag padanya.

“Kau tidak ingin menjawabnya, Gubreg?”

“Jangan bertanya yang aneh-aneh pada titiang, Ratu. Titiang tidak bisa menjelaskan seperti Frans. Tanyakan pada laki-laki bule itu!” Suara Gubreg terdengar penuh nada kecemburuan.
Laki-laki tua itu sekarang ini jadi cepat marah. Dadanya sering mendidih. Rasanya baru mendengar satu huruf keluar dari bibir laki-laki Prancis itu seluruh isi perutnya seperti keluar. Jengkel! Waktu Kopag sekarang habis untuk diskusi. Laki-laki bule itu telah memberinya didikan yang baru, perhatian yang lain. Kopag tidak lagi membutuhkannya. Ada yang hilang dalam tubuh laki-laki tua itu. Kehilangan yang dalam. Bagi Gubreg, Kopag sudah bagian dari nafasnya. Sejak kecil, dialah yang mengajari Kopag mempelajari tekstur kayu.

Seluruh ilmu memahat dia alirkan dalam tubuh bocah kecil yang tidak berdaya itu. Dia juga yang mengajarinya bahwa semua benda punya jiwa, termasuk rangkaian pisau-pisau pahatnya. Gubreg pun mengajari Kopag menelanjangi tubuh pisau-pisau pahat, dan menikmati aroma ketajamannya yang luar biasa indahnya. Dia ingat teriakan Kopag ketika pertama kali menyentuh tubuh-tubuh pisau yang telanjang itu. Waktu itu umur Kopag tujuh tahun.

“Gubreg, tubuhku gemetar setiap menyentuh pisau-pisau ini. Keruncingannya, ketajamannya, begitu indah. Begitu penuh misteri. Luar biasa, Gubreg.”

Kilatan matahari menjilati keruncingan pisau pahat itu. Gubreg menyaksikan, betapa sinar matahari yang perkasa itu menjadi patah dan tak berdaya ketika menyentuh sedikit saja keruncingannya. Pisau justru seperti menantang matahari untuk bersabung. Di tangan Kopag pisau itu jadi begitu dingin, angkuh dan selalu lapar.

Sampai menjelang tengah malam, Gubreg belum juga bisa menjawab arti menjadi laki-laki. Perasaan apa yang sedang bertarung dalam tubuh Kopag? Gubreg takut. Takut sekali menjawab pertanyaan tentang esensi menjadi laki-laki.


***


Pagi-pagi sekali, Kopag sudah membuka jendela studionya.

“Aku ingin bercerita padamu,” suara Kopag terdengar penuh rasa ingin tahu.

“Tentang apa lagi, Ratu?”

“Kecantikan perempuan.”

“Titiang...titiang tidak bisa menceritakan kecantikan perempuan pada Ratu. Semua orang, Ratu, memiliki penilaian khusus tentang hal itu. Perempuan itu....”

Suara Gubreg terdengar patah. Berkali-kali dia menarik nafas. Dia mengerti. Sangat paham. Dia juga laki-laki, dia juga pernah merasakan seperti apa percikan nafsu itu ketika pertama kali menampar wujud manusianya. Begitu parah, dan teramat menggelisahkan ketika tubuhnya mulai lapar dan memerlukan tubuh lain untuk santapan. Rasa itu tiba-tiba saja muncul kembali dalam otak, dan tulang-tulangnya yang mulai rapuh membantunya merangkai masa lalunya kembali.

Waktu itu Gubreg seorang laki-laki kumal empat belas tahun. Sering sekali dia disuruh mengantar Dayu Centaga mandi di sungai Badung. Tubuh perempuan itu seperti ular yang melingkar dan menjepit batang-batang tubuhnya. Kakinya kram setiap melihat tubuh basah itu naik ke atas dengan kain yang hanya sebatas dada. Kaki perempuan itu putih, dan mampu meledakkan otaknya. Terlebih, Dayu Centaga selalu menyuruh Gubreg menggosok punggungnya dengan batu kali. Aroma tubuh perempuan itu sampai hari ini masih melekat erat di tubuhnya. Aroma itu tak bisa dihapus oleh usia yang dipinjam Gubreg pada hidup. Lama-lama Gubreg merasakan sakit yang luar biasa menyerang tubuhnya. Dia gelisah, dia luka, karena kelaparannya adalah kelaparan yang tidak pada tempatnya. Sebagai laki-laki Sudra, kebanyakan, dia sadar tubuhnya tidak boleh melahap tubuh perempuan Brahmana. Perempuan junjungannya, perempuan yang sangat dihormatinya. Tak ada yang bisa diceritakan kegelisahannya, dia adalah laki-laki tak berguna, yang hidup dari belas kasihan keluarga Dayu Centaga. Setiap mengingat batas yang ada antara dirinya dan Dayu Centaga, Gubreg selalu merasakan tubuhnya dilubangi. Dia sering terjaga tengah malam dengan nafas yang memburu. Hyang Widhi, Gubreg sadar rasa laparnya sudah tidak bisa dibendung lagi. Tubuhnya jadi pucat. Keluarga Griya mencarikan dia seorang Balian, dukun.

Balian tua itu memberinya jampi-jampi. Tubuhnya dilingkari asap yang sangat menyesakkan aliran pernafasannya. Kata Balian itu, Gubreg sempat membuang kotoran di pinggir sungai. Kebetulan si penunggu sungai sedang beristirahat. Masih kata Balian tua itu, tadinya penunggu sungai itu juga ingin mengganggu Dayu Centaga. Berkat kekuatan Gubreg, Dayu Centaga tidak terkena. Justru Gubreglah yang kena kemarahan si penunggu sungai. Untuk mengembalikan kesehatan Gubreg, keluarga Griya membawa sesaji untuk penunggu sungai.
Gubreg tidak bisa bercerita tentang kelaparan tubuh laki-lakinya. Dia pasrah ketika Balian tua...memandikan tubuhnya di pinggir sungai. Katanya agar roh jahat tidak mengenai keluarga Griya. Untuk menghormati kebaikan keluarga Griya, Gubreg bersedia menjalankan runtutan upacara itu.

Tak seorang pun tahu, komunikasi Balian tua itu dengan dunia gaib salah. Gubreg tidak sakit, tidak juga kesambet setan. Dia rasakan perubahan pada tubuhnya, karena aliran sungai dalam tubuhnya bukan lagi aliran sungai kecil, tetapi sudah menyerupai air bah. Dan Gubreg tahu air dalam tubuhnya memerlukan muara. Demi Hyang Widhi, dia merasakan cinta yang dalam pada Dayu Centaga. Cinta yang tidak mungkin dihapus. Cinta yang membuatnya jadi batu, dingin, tidak lagi bisa menikmati kegairahan manusiawi sebagai manusia. Sampai sekarang, menjelang tujuh puluh lima, Gubreg masih setia mengabdi di Griya. Tanpa istri, tanpa kegairahan sebagai laki-laki.

Kalau sekarang Kopag bertanya seperti apa kecantikan itu, Gubreg paham. Sesuatu yang dahsyat telah dititipkan alam pada tubuhnya.

Gubreg menatap tajam tubuh Kopag yang sedang merampungkan pahatannya.

“Gubreg, kau belum juga jawab pertanyaanku,” suara Kopag terdengar pelan. Dia menarik nafas berkali-kali, “Gubreg, kau ingat kata-kata Frans?”

“Yang mana?”

“Frans mengatakan keliaranku membentuk tubuh-tubuh manusia dalam kayu mengingatkan dia pada lukisan Pablo Picasso, Guemica. Pada dasarnya aku selalu penasaran, Gubreg. Kenapa kayu-kayu ini selalu mengajakku berdiskusi, mengajakku bicara, berdialog, dan berpikir. Aku selalu ingin tahu, selalu ingin mengupas dan melukai kayu-kayu itu. Rasa ingin tahu yang begitu besar, sampai menguliti otakku, tanganku, tubuhku. Aku juga ingin tahu arti setiap impian. Impian-impian yang dimiliki oleh po-hon ketika dia membesarkan ranting-rantingnya, mem-besarkan tubuhnya, sampai akhirnya potongan-potongan tubuh itu ada di tanganku. Aku juga memiliki impian-impian sendiri pada patahan tubuh pohon itu. Suatu hari Frans dan seorang temannya mengatakan, pahatanku tentang perempuan sangat sempurna. Kata mereka, sangat surealis. Kecantikan perempuan yang kuterjemahkan lewat kayu-kayu itu mengingatkan Frans pada keliaran Martha Graham, yang memanfaatkan seluruh tubuhnya untuk mewujudkan jati diri tokoh yang dimainkan. Gubreg, aku merasakan kecantikan perempuan itu melalui jari-jariku. Kayu-kayu dan pisau telah memberiku mata yang lain.”

Gubreg tetap diam. Dia mencoba memahami sesuatu yang sangat rahasia dan begitu dalam ingin disampaikan Kopag, seorang anak yang dibesarkan dengan cara-caranya, diajar memahami kehidupan. Gubreg bahkan rela bocah laki-laki itu mencuri lembar demi lembar rahasia perjalanan dan rasa sakitnya sebagai laki-laki yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengabdi.

Berkat Kopag, keluarga besar ini kembali bisa hidup. Patung-patung Kopag laku keras dan diminati oleh kolektor dari dalam dan luar negeri. Sekarang ini keluarga ini tentram. Jero Melati tidak pernah ceriwis, perempuan itu bebas menggunakan uang Kopag semaunya. Bahkan, kakak Kopag sendiri bisa membuka galeri patung yang besar. Saat ini galeri itu sudah tumbuh besar dan menjadi satu-satunya galeri yang paling diakui di Bali karena karya patung yang masuk harus melalui seleksi dan pertimbangan yang teliti. Bulan kemarin, ada bantuan dana dari Jerman dan Prancis.

Gubreg tahu tak ada yang diinginkan Kopag. Laki-laki itu tidak pernah tahu apa arti ada uang atau tidak ada uang. Hanya satu yang ditangkap Gubreg, Kopag memerlukan perempuan.


***


“Kita harus carikan seorang istri untuk Ratu,” suara Gubreg terdengar sangat hati-hati. Mendengar komentar itu, Jero Melati tersenyum.

“Bagaimana kalau dia kawin dengan calon yang telah kusiapkan.”

“Jero sudah punya calon?”

“Ya. Aku sudah memikirkannya jauh-jauh hari.”
“Siapa?”

“Adik perempuanku,” jawab perempuan itu serius. Gubreg menatap mata perempuan itu tajam. Untuk pertama kali dia merasakan hawa jahat berendam dan menguasai tubuh cantik itu. Benar kata Kopag, perempuan satu ini memang bukan perempuan baik-baik. Otaknya hanya berisi kehormatan.

“Kau harus bisa meyakinkan dia bahwa adikku layak menjadi istrinya.” Suara perempuan itu terdengar mirip perintah dan pemaksaan. Gubreg diam. Dia tahu, adik Jero Melati adalah perempuan paling liar dan nakal. Kata orang-orang kampung, adik Jero Melati bisa menjual tubuhnya. Mengerikan! Padahal perempuan itu sangat cantik. Sayang, dia tidak tahan miskin. Padahal kemiskinan kalau dihayati memiliki keindahan tersendiri.


***


“Gubreg. Aku ingin bicara!” Kali ini suara Kopag terdengar serius. Gubreg mencoba memahami ke mana kira-kira arah pembicaraan Kopag. Lima menit tanpa hasil. Kopag seperti linglung, dia terus mengelilingi studionya.

“Ratu. Ratu ingin apa lagi? Jangan menakuti titiang. Ratu terlihat sangat gelisah.”

“Ya. Aku ingin kawin, Gubreg.” Suara Kopag terdengar sangat serius.

“Maaf Ratu, titiang juga sudah membicarakan dengan Jero dan kakak Ratu.”

“Apa kata mereka.”

“Mereka setuju. Bahkan merekalah yang akan memilihkan calon istri untuk Ratu.” Gubreg mengangkat wajahnya, ingin sekali dilihatnya wajah Kopag berseri. Aneh! Wajah itu tetap seperti batu.

“Aku sudah memiliki calon. Kali ini pilihanku tidak bisa diubah!”

“Siapa?”

“Luh Srenggi.”

“Ratu...?!” Gubreg seperti tercekik. Luh Srenggi, apakah kuping tuanya tidak salah dengar? Bukankah Luh Srenggi adalah perempuan yang menyiapkan seluruh keperluan Kopag, membersihkan studionya menyiapkan makan, dan mengambilkan pisau-pisau pahatnya? Perempuan itu bukan perempuan, dia lebih mirip makhluk yang mengerikan, kakinya pincang, punggungnya bongkok, ada daging besar tumbuh di atasnya, matanya yang kiri bolong, dia hanya memiliki satu mata. Wajahnya juga rusak berat. Kulitnya begitu kasar. Hyang Widhi! Dewa apa yang ada dalam tubuh Kopag. Sadarkah dia, tahukah dia makna kecantikan? Gubreg menarik nafas memegang dadanya kuat-kuat.

“Aku telah menidurkan perempuan itu setiap malam, Gubreg. Tubuhnya benar-benar lekukan kayu. Kulitnya juga kulit kayu. Kau tahu, ketika kujatuhkan tubuhku memasuki tubuhnya, aku tenggelam dan habis. Dia adalah perempuan tercantik. Perempuan yang mengalahkan kecantikan kayu-kayuku. Ketika dia telanjang, tak ada sebuah pisau pun bisa menandingi ketajamannya. Perempuan itu telah mengasah tubuh laki-lakiku.”

Gubreg ambruk. Sebuah pisau pahat menembus dadanya yang tipis.***


1. Saya
2. Panggilan kehormatan untuk bangsawan Bali

(Dimuat dalam Horison, Maret 2000)

No comments: