Dari Mana Datangnya Mata
dari mana datangnya lintah
dari sawah turun ke kali
“Lintah itu ada dalam matanya. Lintah itu bukan menggerogoti matanya, tapi lintah itu bersarang dalam matanya. Dalam matanya yang teramat dalam. Lintah itu melata turun dan menggerus hati. Hatiku dia lumatkan. Hatiku terhisap dalam dekapnya. Aku tahu, lintah itu makhluk penghisap-termasuk menghisap darah-tapi hisapan matanya sama sekali tidak membuatku luka. Aku jadi lumpuh, memang, tapi sedotannya penuh pesona dan aku kena pukau karenanya.”
Saban kali lelaki itu menyisir rambutnya dan merapi-rapikan alis matanya, dia tatap wajahnya sendiri dalam cermin. Kornea matanya redup laiknya nyala dian yang berkeredap karena angin senantiasa meniup-niup. Jangankan angin, terhadap cahaya terlemah pun mata itu terasa enggan bersitatap. Karena itu lelaki itu tak pernah yakin jika ada perempuan yang kemudian tertarik padanya, jatuh cinta padanya, dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan guling tidur dan kemudian digulung-gulung.
Lelaki itu hanya menerka-nerka: pastilah ada yang tak mudah dirumuskan, apalagi yang harus dirumuskan adalah sebuah perasaan; jadi jika perempuan itu menjelaskan bahwa yang membuatnya kena pukau adalah pesona matanya, pastilah itu semata sebuah penyederhanaan perumusan alasan. Lelaki itu yakin, berabjad-abjad kalimat tak pernah cukup untuk dijadikan pengikat rumusan dan jabaran perasaan.
dari mana datangnya lintah
jiwa manis indung disayang
“Lintah itu bersarang dalam matanya. Atau…, ukhh… matanya adalah lintah itu sendiri. Aku tak pernah peduli pada lelaki yang kerap lalu-lalang itu. Aku tak pernah memperhatikannya. Ingatanku tentang lelaki hanya selintas-lintas. Begitu suatu waktu aku berhadapan dengannya, karena dia singgah di tempatku, tahulah aku matanya adalah lintah itu sendiri. Matanya adalah sarang itu sendiri. Rasanya, sudah lama aku merindukan istirahat dalam sungkupan sarang. Sudah saatnya aku mengeram. Rasanya, sudah lama kelenjar kelaminku – ya: indungku – teredam diam-diam. Rasanya! Ya, rasanya, karena aku baru menyadari belakangan.”
Lelaki itu kemudian hidup bersama dengan salah satu di antara berjajar perempuan yang terjerembab dalam matanya yang senantiasa berkeredap sebagaimana dian yang dihempas angin yang kerap berkelebat.
Lelaki itu tak ingat pasti perempuan yang akhirnya hidup bersama itu dia jumpai pada ketika apa dan keberapa. Perempuan yang pertama dia hadapi, juga kedua, juga ketiga, tak pernah merasa dia tinggalkan begitu lelaki itu memutuskan untuk memilih hidup bersama dengan salah seorang perempuan. Juga perempuan-perempuan lain yang dia temui sesudah perempuan yang hidup bersamanya, mereka juga tak pernah mendendam pada perempuan yang dipilih lelaki itu untuk hidup bersama.
Mata lelaki itu senantiasa meredam kemungkinan-kemungkinan kemurkaan para perempuan yang awalnya memang menjadi resah karena tak dijadikan pilihan. Kala itu, mereka berniat melabrak lelaki yang telah memilih lain perempuan itu, bahkan perempuan pilihan pun akan mereka terkam jika hendak bersepihak dengan lelaki yang bermata kelam.
Ada yang menyelipkan belati di balik kutang.
Ada yang melilitkan pedang di balik setagen di pinggang.
Ada yang menyembunyikan senapan di balik punggung.
Ada yang menenteng keris dalam cengkeraman.
Ada yang hanya mengepalkan genggam penuh dendam.
Ada yang hanya menggumpalkan kegeraman dalam degup dada yang bergelombang.
Mereka gedor pintu bilik tempat tinggal lelaki itu. Mereka tahu, di balik pintu bilik itu lelaki itu sedang bercinta dengan perempuan pilihan. Ketika kemudian daun pintu berderit karena dibuka dari dalam dan kemudian muncul sesosok lelaki yang matanya senantiasa berkeredap karena cahaya yang mengerjap-ngerjap dan ketika mata lelaki itu memastikan siapa saja yang berdatangan dan menggebrak biliknya, mata lintah itu membilas-bilas wajah-wajah para perempuan yang hendak memuntahkan rasa geram penuh dendam itu. Sekelebat, sekelebat, sekelebat, mata itu menghisap seluruh tenaga para perempuan yang awalnya berkacak pinggang bahkan siaga menantang.
Gemerincing pedang, dentang keris, kelentang kelewang, denting belati, juga senapan, beradu dengan tanah tak jauh dari kaki-kaki para perempuan itu karena terlepas dari genggaman.
Dendam itu pelahan teredam dan terendam. Rasa geram itu diam-diam makin temaram, untuk kemudian dipendam dalam-dalam.
Ketika pintu kembali menyuarakan derit ditutup bersamaan dengan lelaki itu membalikkan badan-menuju biliknya lagi dan meneruskan percintaannya dengan perempuan pilihan-para perempuan itu juga membalik badan, kembali ke masing-masing muasal mereka, sementara belati, kelewang, senapan, dan senjata lainnya mereka biarkan tetap bergeletakan di halaman bilik lelaki dan perempuan pilihan.
Esoknya, lelaki itu mendatangi satu demi satu para perempuan yang melabrak biliknya bersama perempuan pilihan. Tumpukan dendam itu terbasuh hilang di hari-hari kemudian. Itu bukan semata lantaran libasan mata lelaki yang menghunjam, tapi karena sejak saat itu masing-masing menjadi perempuan pilihan.
dari mana datangnya lintah
dari mana datangnya cinta
“Matanya itu telaga. Dalam, tenang, menyejukkan. Aku suka berendam hingga terbenam tanpa aku sadari aku tenggelam. Belatiku jatuh ke dalamnya dan aku tak bisa lagi meranggehnya.”
“Matanya itu matahari. Panas suam-suam menghangatkan. Aku selalu tergoda direnanginya karena dengan begitu seluruh jangatku tersengat dan aku mengejang-ngejang setelah berabad-abad disungkup kedinginan. Senapanku meleleh karena cahayanya.”
“Matanya adalah lazuardi biru membentang. Langitnya menyerapku pada petualangan tak terbataskan. Kelewangku bahkan lebih kecil dari sekadar ujung jarum: tumpul, getas terpatahkan, kehilangan tajam.”
“Matanya adalah lintah: menyedot seluruh darah kotorku, menderaskan segenap darah dalam tubuhku. Aku melayang-layang dalam kepasrahan yang menggairahkan.”
Lelaki itu akhirnya percaya bahwa matanya adalah keberuntungan sekaligus kemalangan. Para perempuan pilihan menjadi berkah sekaligus bencana bagi lelaki itu. Saat dini hari, setelah beberapa belas menit salah seorang perempuan pilihan melahirkan jabang bayi, lelaki itu meninggalkan perempuan pilihan dan bayinya. Bayi perempuan.
“Aku tak boleh saling berhadapan. Anakku perempuan, aku harus menjauhkan mataku dari matanya,” bisik lelaki itu pada perempuan pilihan.
Lelaki itu kemudian menembus dini hari.
Lelaki itu kemudian memasuki pagi.
Lelaki itu kemudian mengembara dari pagi ke pagi, dari dini hari ke dini hari, dan dari malam demi malam.
Lelaki itu kemudian berkelana dari hari ke hari. Kacamata kelam tak pernah lepas dari matanya. Dengan kacamata hitam dia menghindar dari tatapan langsung mata perempuan yang berpapasan.
Ada kalanya kacamata itu berhasil membantu lelaki itu dari kemungkinan bersitatap langsung dengan orang-orang, terutama perempuan. Ada kalanya usaha itu gawal pula, setidaknya itu terjadi pada saat-saat awal. Karena bingkai kacamata itu kian hari kian memberati pelipis dan tulang matanya, dia coba geser kacamata itu. Pada saat yang sama, begitu kacamata itu membukakan matanya, sesosok perempuan sedang menatap di hadapannya. Dan di hadapan perempuan itu terhampar telaga, cakrawala, matahari, lintah….
“Ah, entahlah, aku tak paham apa persisnya di hadapanku. Tubuhku langsung lunglai, darahku langsung tersedot, dan – tahu-tahu – aku sudah telanjang di pembanreingan di sampingnya.”
Lelaki itu, akhirnya terus menerus memejamkan matanya dan kacamata gelap tetap saja menutupi matanya yang terpejam. Sepanjang trotoar orang-orang menganggap lelaki itu buta. Orang-orang yang keluar dari resto dan mendapati lelaki itu terduduk di dekat pintu resto memastikan lelaki buta itu membutuhkan sedekah; itu sebabnya orang-orang yang keluar dari resto atau hendak memasuki resto melemparkan kepingan uang logam uang ke hadapannya.
Ketika dia menyeberang jalan, tetap dalam pejam, dia rasakan ada yang memegang tangannya. Rupanya seseorang itu berniat menuntun lelaki itu menyeberang jalan yang lalulintasnya memang padat kendaraan. Karena terkagetkan, lelaki itu membuka matanya sekaligus membuka kacamatanya dan menoleh ke samping, ke seseorang yang menyeberangkan. Lelaki itu mendadak terhenyak karena seseorang itu adalah seorang perempuan – yang di saat yang sama juga menatap mata telanjang tanpa tabir kacamata.
“Aku tak yakin lagi apakah aku yang menyeberangkannya ataukah aku yang dia seberangkan ke dunia yang sama sekali belum pernah kutapaki. Dan karenanya aku kemudian merasa menjadi seorang perempuan sejati. Dan dia adalah lelaki sejati.”
dari mana datangnya lintah
jiwa manis indung disayang
dari mana datangnya cinta
ooo…
Di tepian dunia, di gigir matahari senja, lelaki itu berjumpa dengan seorang perempuan buta. Di hadapan perempuan buta ini lelaki itu tidak merasa menyandang kayu silang dan memanggul beban. Dia sudah merasa letih terus menerus memejamkan mata atau mengenakan kacamata hitam baik kala siang bahkan malam.
“Kamu butuh jatuh cinta,” kata perempuan buta itu sambil meraba garis-garis wajah lelaki itu.
Lelaki itu tersindir. Selama ini, selalu orang lain yang menyatakan cintanya jatuh pada lelaki itu. Lelaki itu tak memiliki rasa simpati, empati, peduli….
“Kamu butuh terkaing-kaing karena jatuh cinta. Kamu belum pernah melata dan mengemis-ngemis karena asmara….”
Lelaki itu ingat, beberapa perempuan yang jatuh cinta padanya tak hanya menggonggong dan melolong, tapi juga meratap dan memburaikan gerimis air mata.
Malamnya, lelaki itu mendengar suara kaingan, meongan, dan ratapan yang mengiris-iris. Bukan anjing yang terkaing-kaing melolong. Bukan pula kucing yang meradang kesakitan. Juga bukan para perempuan itu yang meratap-ratap karena kehilangan-entah apa yang hilang. Itu suara lelaki. Lelaki itu mendengar, itu suara dari dalam dirinya sendiri. Dia raba dadanya. Ulu hatinya semplak. Dia raba lambungnya. Ususnya terbelit-belit. Dia merasa dadanya merekah hendak pecah.
Lelaki itu mendadak merasakan suara gemuruh yang belum pernah dia rasakan sebelum-sebelumnya. Ada debaran aneh yang tiba-tiba menyelinap dalam rongga dadanya. Lelaki itu merasa, ia jatuh cinta pada pada perempuan buta itu.
Ketika dia menyadari seluruh tubuhnya basah, ternyata dia sedang berada dalam dekapan perempuan buta itu. Langit kelam, memang, tapi sama sekali tak ada hujan. Langit begitu dekat. Mereka tinggal di rumah tanpa atap, rumah tanpa asap. Lelaki itu merasa tenteram dalam sekapan perempuan buta. Dia merasa ada getaran yang menandakan dia tak ingin berjauhan dari perempuan buta. Bahkan dia merasa geletar kepedihan merayapi dadanya saat sedikit saja perempuan buta itu beringksut. Tak bisa dia bayangkan jika perempuan itu tiada dalam dekapnya. Lelaki itu tak tahu perempuan buta itu kini sedang tertidur ataukah terjaga.
“Kamu tak pernah paham berapa usiamu,” suara perempuan buta itu berkata lirih.
Masih juga perempuan ini menyindir-nyindir! Lelaki itu merutuk dalam hati. Lelaki itu paham, perempuan itu hendak mengatakan bahwa usia lelaki itu sudah di ambang waktu sementara perempuan itu berusia teramat muda. Mata lelaki itu menyisiri garis-garis wajah perempuan itu. Tak ada parit dalam wajahnya, kecuali parut-parut kecil di sekitar matanya yang buta. Apakah perempuan ini menyindirku, aku tak tahu diri karena umurku tak sepadan dengan umurnya?
“Tadi, kucabut lima uban,” kata perempuan itu sambil menjumputkan serpihan rambut putih yang kemudian diterbangkan angin yang mendadak melintas.
Lelaki itu meraba kepalanya. Tanpa harus melihatnya siapapun bisa menemukan uban di kepalanya karena semua rambut lelaki sudah putih seluruhnya.
“Kubutakan mataku agar bisa melihat,” lagi-lagi ucapan perempuan itu dianggap lelaki itu sebagai sindiran. Lelaki itu merasa, perempuan itu hendak menegaskan: matanya memang buta tapi dia tak harus mempergunakan matanya untuk memandang.
“Bukan uban di kepalamu yang kubetot,” sambung perempuan itu.
Lelaki itu mendadak merasakan ada yang gatal di sela pangkal pahanya. Dia telanjang. Memang bukan air hujan yang membasahi badannya. Tubuhnya basah keringat. Di kelangkangnya basah bukan hanya karena keringat. Dalam gelap, lelaki itu melihat perempuan buta itu juga tanpa pakaian. Juga basah mengkilap.
dari mana datangnya cinta
darilah mata turun ke hati
“Karena mataku, banyak perempuan ingin menyekapku dan kudekap mereka. Karena perempuan buta yang tak bisa langsung menatap mataku, justru aku yang ingin mendekap dan selalu erat dalam sekapnya. Aku ingin menyudahi perjalanan panjang ini. Aku alangkah letih. Aku berniat menyunting perempuan buta yang telah membangkitkan hasrat. Justru karena kebutaannya dia melihat kedalaman batinku, bukan kedangkalan badan dan mataku.”
kalau ada sumur di ladang
jiwa manis indung disayang….
Di bumi belahan lain, seorang perempuan tua yang sepanjang hidupnya menjaga ladang peninggalan lelakinya sedang menganyam kenangan. Kenangan itu begitu saja membuncah-buncah di saat-saat penyakit makin menggerogoti badannya. Belasan tahun lampau anak gadisnya terpaksa meninggalkan desanya dalam usia yang masih belia. Anak gadisnya diusir penduduk desa karena senantiasa memancing keonaran terutama setelah para lelaki desa bersitatap dengan matanya.
“Mata anak dara itu jahat,” kata penduduk desa.
Sorotan mata dara belia itu bukan saja penuh pesona tapi juga gegap dengan tipu daya sehingga setiap lelaki yang bersitatap dengannya senantiasa ingin lelap dalam peluknya. Karena dara belia itu tak pernah menyambut hasrat berdekap-dekap, para lelaki itu lalu berusaha memperkosanya.
Saat menjelang ajal sebagaimana kini, perempuan tua itu tak tahu adakah dia masih menunggu anak gadisnya kembali. Dulu, belasan tahun lampau, anak gadisnya mencucuk matanya agar buta sehingga tak membuhulkan pukau dan tipu daya yang memancing niat jahat para lelaki untuk memperkosanya. Perempuan tua itu juga tak yakin apakah lelaki yang meninggalkannya di saat beberapa belas menit jabang bayinya lahir itu bakal kembali ke hadapananya untuk menguburkannnya jika ajal benar-benar menjagalnya.
dari mana datangnya…
uggffhhh…
dari mana datangnya Mata!
Yogya, paruh awal 1980
Jakarta, Maret 2004
Veven Sp Wardhana
Showing posts with label Cerpen Populer. Show all posts
Showing posts with label Cerpen Populer. Show all posts
Friday, 25 February 2011
Monday, 31 January 2011
Sirajatunda
Sirajatunda
Oleh : Nukila Amal
Ibarat pohon, benakku saat ini adalah sebuah pohon pengetahuan yang besar dan kokoh, dedaunannya rimbun hijau, sepanjang cecabangnya sarat bergelantungan dengan buah-buah pikiranku. Matang dan siap petik. Sebuah panen raya dengan tari-tarian dan lagu rakyat, penuh hidangan di meja panjang, begitulah aku membayangkan, saat duduk di depan meja kerja dan menyalakan komputer. Kutegakkan punggungku. Kurasakan kebulatan tekad dan ketangguhan, bahkan militansi yang segar. Aku telah lebih dari siap melahirkan sebuah karya utama kesusastraan yang tiada tara: novel tentang Rakai Garung alias Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra.
Delapan tahun lamanya kubaktikan diriku untuk mempersiapkan mahakarya ini; kukunjungi banyak perpustakaan, kukumpulkan buku-buku dan artikel, kuwawancarai para pakar yang paham sejarah dan fasih berbahasa Sansekerta atau Jawa Kuno, bahkan di tahun kelima ketika menikah, bulan maduku adalah wisata ke Candi Borobudur yang sang raja rampungkan. Dengan keseriusan dan gelora membara yang demikian, aku yakin tulisanku—yang pasti bakal epik—niscaya menjulang tinggi di antara segala karyaku yang lain, baik yang tidak diterbitkan atau yang ditelantarkan. Satu-satunya bukuku pernah terbit sembilan tahun lalu, yaitu sebuah novel yang tak laku. Setelah itu belum ada lagi, dan ini gara-gara istriku.
Sekian ratus upayaku menulis selalu digagalkannya. Setiap kali aku sedang asyik membayangkan plot, intrik, dan hampir sampai pada poin-poin penting kemungkinan cerita novelku, setiap kali itu pula istriku muncul dan bicara hal-hal remeh. Selalu tepat waktu. Seakan dia bisa mengendus dari jauh kapan saja kumulai proses imajinatif benakku, lalu datang menghancurkan bakal buah pikiranku di saat-saat genting. Seakan dia tahu kapan waktunya memperalat pikiranku untuk hal-hal tak penting. Perangai buruknya sama saja dengan orang-orang di kantor yang gemar mengajakku bicara ini itu, melibatkanku dalam sejuta urusan. Terlalu. Kupikir semua mereka lahir ke dunia untuk bersekongkol memberantas karya artistik manusia.
Baru tadi sore kubilang pada istriku, kenapa kau begini anti-Hawa? Semua orang tahu, Hawa yang menggoda Adam ke pohon pengetahuan, kenapa kau justru ingin aku jauh-jauh dari pohonku, malah ingin menghancurkannya? Kenapa kau selalu membasmi buah pikiranku dan menyabot proses penciptaan bukuku?
Diam-diam aku senang, setelah sekian kali mengancam akan pulang, setelah menjerit-jerit padaku hampir sejam lamanya, sore tadi istriku sungguhan pulang ke rumah orang tuanya. Tak sadar dirinya telah memberkahiku sebuah malam Minggu bersejarah untuk akhirnya kumulai novel sejarahku, sejak maghrib hingga subuh nanti. Aku menatap kertas putih di layar laptop dan berpikir, sebaiknya kumulai dengan mempersiapkan semacam suasana yang tepat bagi kerja intelektualku ini, apalah arti sejam dua jam di malam ini dibanding delapan tahun persiapanku.
Aku lalu sibuk mencari paduan pencahayaan yang tepat antara lampu kuning di sudut ruangan (untuk melembutkan suasana), lampu duduk neon putih di atas meja (untuk mencegah kantuk dan menerangi berkas), dan lampu neon di tengah ruangan (agar tetap waspada). Kuputar-putar tombol lampu kuning untuk menyetel tingkat ketemaraman yang tepat, kulengkung-lengkungkan gagang lampu duduk untuk mencari derajat yang pas bagi jatuhnya sinar agar mataku tak silau. Kemudian kurapikan sebukit referensiku; buku-buku, berkas dan bundel catatan yang berantakan lantaran telah ditendang istriku sebelum dia keluar—kukira kakinya pasti agak sakit oleh tendangan sekeji itu. Istriku lalu pergi ke kamar mengepak baju dengan berisik dan menyemprotkan minyak wangi pada dirinya secara berlebihan. Dia tahu aku tak suka wangi parfumnya. Bau musykil itu kini merebak di dalam rumah, khususnya di kamar kerjaku, sebab dia sempat masuk menenteng koper untuk menjerit lagi sebelum banting pintu –mungkin jeritan jangan cari aku atau semacam itulah. Bahkan ketika dia sudah tak ada, baunya sengaja ditinggalkan untuk berkuasa, seakan diberi mandat khusus untuk terus menggangguku.
Aku membuka lebar-lebar pintu dan jendela, mengangin-anginkan ruang. Empat jam lamanya aku bersibuk dalam persiapan menulis. Referensiku sudah rapi, malah aku sempat menikmati secangkir kopi sebagai pelepas lelah sambil memutar lagu-lagu, hingga suatu saat kusadari betapa cepat waktu berlalu. Buru-buru aku kembali ke depan meja.
Aku mulai memikirkan kalimat pertamaku. Ini kalimat yang sungguh penting, penentu seluruh isi buku, begitu pikirku, mesti orisinal. Saat kupikirkan perkara pentingnya kalimat pertamaku, tiba-tiba kupikir ada baiknya minum segelas air putih terlebih dulu. Aku perlu menenangkan diri, lagi pula banyak minum air putih itu baik, seperti pesan para dokter. Aku pergi menenggak segelas air di atas rak, tiba-tiba membayangkan jus nanas dari kulkas. Kuomeli diriku sendiri, jangan tergoda, sekali keluar dari kamar, aku sangat mungkin akan berkeliaran di seantero rumah. Maka dengan bijaksana, kuputuskan duduk lagi. Lima menit menatap karser kelap-kelip dengan agak jemu, kuputuskan mengecek email sebentar. Aku terbawa suasana, klik sana-sini ke berbagai situs internet. Sejam lebih aku wara-wiri sebelum tiba-tiba ingat novelku. Kuomeli lagi diriku, kekurangdisiplinan semacam ini tak boleh dipiara.
Aku duduk tegak dan mulai mengerahkan segenap kemampuan imajinatif dan intuitifku untuk kalimat pertama. Ketika salah satu bakal pikiranku tengah genting menguntum, mendadak sikuku gatal. Saat kugaruk, melesatlah seekor nyamuk menuju kupingku, berdenging nyaring. Tahu-tahu sepasukan nyamuk datang menyerang sekujur badanku, menukik dalam pelbagai manuver semahir pilot pesawat tempur. Nyamuk patriot sialan, keluhku dalam hati sambil bangkit menutup pintu jendela.
Melanjutkan berpikir, dudukku tak lagi bisa tegak. Aku dibikin sibuk menepuk dan menggaruk badanku yang gatal dan merah di sana-sini oleh terjangan nyamuk. Aku pura-pura tak peduli. Namun dalam batinku, aku merasa sangat dirugikan sebab kini mesti berpikir sambil mewaspadai mereka. Kewaspadaanku yang kian meningkat, di saat yang sama, telah menindas pikiranku. Bagaimana aku bisa memunculkan buah karya, jika para nyamuk begitu beringas memberantas buah pikiranku? Jangankan sempat berbuah-buah, berbunga saja tidak, kuntum pun belum. Aku sebal memikirkan nyamuk komplotan istriku, sebal badanku gatal-gatal. Kesebalan berganda itu membuatku merasa perlu istirahat sejenak. Aku keluar menuju teras, menarik nafas dalam-dalam.
Di langit ada bulan purnama. Menatapnya membuatku ingat istriku, padahal aku tak ingin. Aku tak ingin mengingat pertama kali ketemu istriku di acara pernikahan dan terpesona dengan suara seraknya ketika dia menyanyikan lagu Bob Tutupoly diiringi organ tunggal. Kubilang pada diriku sendiri, berapa orang wanita yang menyanyikan lagu Bob Tutupoly di depan khalayak ramai? Hanya bisa dihitung jari. Baru kali ini kusaksikan wanita menyanyikan lagu Bob Tutupoly, apalagi Widuri, apalagi dengan begitu merdu dan syahdu. Wanita macam apa ini, yang begitu serius menyanyi Widuri, tanyaku dalam hati, apa dia tidak khawatir dikira lesbian oleh orang-orang? Jangan-jangan benar lesbian? Dan dia sedang menatap, di antara para hadirin, seorang Widuri (atau Bob Tutupoly?) yang elok bagai rembulan oh sayang seperti kata Bob Tutupoly kepada Widuri? Menelusuri arah tatapannya, kutetapkan lima orang tersangka rembulan. Penasaran, kuhampiri biduanitaku seusai menyanyi, saat dia mengambil minuman. Kukenalkan diri dan langsung kutanya, Anda senang perempuan atau laki-laki? Biduanitaku tertawa keras, mesti kubilang keras sekali, sampai aku terpesona yang kedua kali, sebab baru kali ini kudengar ada wanita tertawa begitu keras –semacam tawa tak melengking seperti umumnya wanita, pun bukan tawa membahana lelaki, tapi lebih serupa tawa suatu makhluk tak berjenis kelamin yang bukan dari dunia ini. Dia tampak surgawi, wujudnya bermandi sinar matahari, suaranya mengalun masih biduan padahal dia tidak sedang menyanyi Widuri, bagai musik cinta yang turun dari langit bersemilir ke telingaku mengenyahkan organ tunggal.
Aku jadi kangen pada istriku, agak murung dengan prospek hari-hari bujangan; keluyuran cari makan, memasak untuk satu orang, siapa yang akan mengantar ke dokter kalau mag-ku kambuh. Menatap bulan, kuputuskan akan datang menjemput istriku besok pagi-pagi sekali. Mungkin tidak pagi benar sebab aku perlu tidur sebentar, mungkin besok malam, atau lusa—nantilah, seketika kalimat pertamaku selesai. Aku harus memikirkan kalimatku terlebih dulu, hanya dengan cara itu aku bisa datang padanya. Akan kubuktikan aku akhirnya telah menulis novelku, supaya dia tak lagi menjerit-jerit seperti sore tadi. Kamu selalu menunda segala-gala, jerit istriku, menunda mencicil rumah, punya anak, mengirim pos paketku, berangkat ke kantor, menunda makan sampai mag lalu empat bulan menunda ke dokter, mau belok mobil saja kamu tunda sampai mobil motor sepi. Tunda ini tunda itu, besok ya say minggu depan ya say—kamu penunda sejati di segala bidang, lihat nasib bukumu yang tak jelas itu, kalimat pertama saja tak ada, raja siapa tu namanya, Siramatungga. Dan kamu Sirajatunda! Maharaja! Prabu! Begitulah, dalam salah satu rentetan jeritnya, dengan tak senonoh dia mengata-ngataiku.
Tanpa menunda-nunda, aku masuk lagi. Jika ingin istriku kembali, aku harus serius memikirkan kalimat pertama. Aku duduk dan mulai berpikir keras. Begitu keras aku berpikir, entah berapa lama, hingga kurasakan semacam lelah pikiran yang membekukan. Ketika pikiranku hampir mendekati titik beku, tiba-tiba melintaslah sebuah kalimat –buru-buru kuketik.
Panggil aku Samaratungga.
Aku girang, kalimat pertamaku telah tertera di layar. Dengarlah bunyinya: nggi-ngga, ai-au-aaaa, tiga kata senada seirama, musik sempurna. Daya desaknya begitu telak, menggoda, bahkan memerintah. Kalau seseorang sudah memerintahkan panggil namanya dengan desak semantap itu, niscaya banyak kejadian akan mengikuti. Kuucapkan kalimat itu berulang-ulang dengan berwibawa.Di ulangan ke sekian, kudengar suaraku tertunda.
Panggil aku Samaratungga.
Tunggu, berhenti! kuhardik diriku. Aku mencurigai sesuatu, tetapi belum jelas benar. Lima menit kemudian tiba-tiba jelaslah: oh tidak, itu Ishmael! Moby Dick! Herman Melville telah duluan memikirkan dan menuliskan kalimat pertamaku! Orang itu mencoleng buah pikiranku yang cemerlang, buah kalamku yang pertama di malam ini setelah berjam-jam. Tidakkah Herman Melville tahu delapan tahun lamanya kupersiapkan diriku untuk kalimat itu, tidakkah dia tahu kalau nasib rumah tanggaku ada di situ, tega betul Herman Melville datang dengan mesin waktu dan merampas kesempurnaan kalimatku.
Dengan getir kuhapus kalimat yang cuma sesaat jadi milikku. Aku bersandar di kursi, menatap lesu layar yang kembali putih kosong. Aku merasa tak berdaya. Dan tak orisinal. Dan frustrasi. Semua hal yang bisa diperkatakan oleh manusia di dunia ini, telah pernah dikatakan seseorang dalam sesuatu buku. Semua kalimat pertama yang mungkin, telah habis dipikirkan dan dituliskan orang-orang. Sisanya adalah daur ulang. Batinku menjerit pilu, oh buah pena, mahakarya, oh susastra!
Di antara jerit batinku, sayup-sayup kudengar suara mengaji dari mesjid. Aku tersentak, sebentar lagi subuh. Jangan menyerah! kuperingatkan diriku sendiri, ingat, istrimu taruhannya. Aku kembali mulai berpikir keras.
Kuterus berpikir, hingga kurasakan taraf kekerasanku dalam berpikir hampir baja. Aku memikirkan, jika tak kupikirkan kalimat pertamaku, aku takkan bisa menjemput istriku, dan aku menderita dibuatnya. Tapi jika kupikirkan kalimat pertamaku, aku juga menderita, sebab sambil memikirkan kalimat pertamaku, di saat yang sama, aku juga memikirkan bahwa jika tak kupikirkan kalimat pertamaku, aku takkan bisa menjemput istriku, dan aku menderita berganda dibuatnya –lalu jika kuterus pikirkan, aku akan menderita berganda-ganda. Seakan ke arah mana pun aku berpikir, apa pun buah pikiranku, semata terantuk buah simalakama. Tak cuma sebuah, namun berlipat ganda, dalam panen raya buah- buah Simalakama Sirajatunda Samaratungga—kalimat pertama mahakaryaku menyelip entah di mana. Memikirkan semua ini membuatku mengantuk dan ingin tidur saja. Tidur yang lama.
Oleh : Nukila Amal
Ibarat pohon, benakku saat ini adalah sebuah pohon pengetahuan yang besar dan kokoh, dedaunannya rimbun hijau, sepanjang cecabangnya sarat bergelantungan dengan buah-buah pikiranku. Matang dan siap petik. Sebuah panen raya dengan tari-tarian dan lagu rakyat, penuh hidangan di meja panjang, begitulah aku membayangkan, saat duduk di depan meja kerja dan menyalakan komputer. Kutegakkan punggungku. Kurasakan kebulatan tekad dan ketangguhan, bahkan militansi yang segar. Aku telah lebih dari siap melahirkan sebuah karya utama kesusastraan yang tiada tara: novel tentang Rakai Garung alias Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra.
Delapan tahun lamanya kubaktikan diriku untuk mempersiapkan mahakarya ini; kukunjungi banyak perpustakaan, kukumpulkan buku-buku dan artikel, kuwawancarai para pakar yang paham sejarah dan fasih berbahasa Sansekerta atau Jawa Kuno, bahkan di tahun kelima ketika menikah, bulan maduku adalah wisata ke Candi Borobudur yang sang raja rampungkan. Dengan keseriusan dan gelora membara yang demikian, aku yakin tulisanku—yang pasti bakal epik—niscaya menjulang tinggi di antara segala karyaku yang lain, baik yang tidak diterbitkan atau yang ditelantarkan. Satu-satunya bukuku pernah terbit sembilan tahun lalu, yaitu sebuah novel yang tak laku. Setelah itu belum ada lagi, dan ini gara-gara istriku.
Sekian ratus upayaku menulis selalu digagalkannya. Setiap kali aku sedang asyik membayangkan plot, intrik, dan hampir sampai pada poin-poin penting kemungkinan cerita novelku, setiap kali itu pula istriku muncul dan bicara hal-hal remeh. Selalu tepat waktu. Seakan dia bisa mengendus dari jauh kapan saja kumulai proses imajinatif benakku, lalu datang menghancurkan bakal buah pikiranku di saat-saat genting. Seakan dia tahu kapan waktunya memperalat pikiranku untuk hal-hal tak penting. Perangai buruknya sama saja dengan orang-orang di kantor yang gemar mengajakku bicara ini itu, melibatkanku dalam sejuta urusan. Terlalu. Kupikir semua mereka lahir ke dunia untuk bersekongkol memberantas karya artistik manusia.
Baru tadi sore kubilang pada istriku, kenapa kau begini anti-Hawa? Semua orang tahu, Hawa yang menggoda Adam ke pohon pengetahuan, kenapa kau justru ingin aku jauh-jauh dari pohonku, malah ingin menghancurkannya? Kenapa kau selalu membasmi buah pikiranku dan menyabot proses penciptaan bukuku?
Diam-diam aku senang, setelah sekian kali mengancam akan pulang, setelah menjerit-jerit padaku hampir sejam lamanya, sore tadi istriku sungguhan pulang ke rumah orang tuanya. Tak sadar dirinya telah memberkahiku sebuah malam Minggu bersejarah untuk akhirnya kumulai novel sejarahku, sejak maghrib hingga subuh nanti. Aku menatap kertas putih di layar laptop dan berpikir, sebaiknya kumulai dengan mempersiapkan semacam suasana yang tepat bagi kerja intelektualku ini, apalah arti sejam dua jam di malam ini dibanding delapan tahun persiapanku.
Aku lalu sibuk mencari paduan pencahayaan yang tepat antara lampu kuning di sudut ruangan (untuk melembutkan suasana), lampu duduk neon putih di atas meja (untuk mencegah kantuk dan menerangi berkas), dan lampu neon di tengah ruangan (agar tetap waspada). Kuputar-putar tombol lampu kuning untuk menyetel tingkat ketemaraman yang tepat, kulengkung-lengkungkan gagang lampu duduk untuk mencari derajat yang pas bagi jatuhnya sinar agar mataku tak silau. Kemudian kurapikan sebukit referensiku; buku-buku, berkas dan bundel catatan yang berantakan lantaran telah ditendang istriku sebelum dia keluar—kukira kakinya pasti agak sakit oleh tendangan sekeji itu. Istriku lalu pergi ke kamar mengepak baju dengan berisik dan menyemprotkan minyak wangi pada dirinya secara berlebihan. Dia tahu aku tak suka wangi parfumnya. Bau musykil itu kini merebak di dalam rumah, khususnya di kamar kerjaku, sebab dia sempat masuk menenteng koper untuk menjerit lagi sebelum banting pintu –mungkin jeritan jangan cari aku atau semacam itulah. Bahkan ketika dia sudah tak ada, baunya sengaja ditinggalkan untuk berkuasa, seakan diberi mandat khusus untuk terus menggangguku.
Aku membuka lebar-lebar pintu dan jendela, mengangin-anginkan ruang. Empat jam lamanya aku bersibuk dalam persiapan menulis. Referensiku sudah rapi, malah aku sempat menikmati secangkir kopi sebagai pelepas lelah sambil memutar lagu-lagu, hingga suatu saat kusadari betapa cepat waktu berlalu. Buru-buru aku kembali ke depan meja.
Aku mulai memikirkan kalimat pertamaku. Ini kalimat yang sungguh penting, penentu seluruh isi buku, begitu pikirku, mesti orisinal. Saat kupikirkan perkara pentingnya kalimat pertamaku, tiba-tiba kupikir ada baiknya minum segelas air putih terlebih dulu. Aku perlu menenangkan diri, lagi pula banyak minum air putih itu baik, seperti pesan para dokter. Aku pergi menenggak segelas air di atas rak, tiba-tiba membayangkan jus nanas dari kulkas. Kuomeli diriku sendiri, jangan tergoda, sekali keluar dari kamar, aku sangat mungkin akan berkeliaran di seantero rumah. Maka dengan bijaksana, kuputuskan duduk lagi. Lima menit menatap karser kelap-kelip dengan agak jemu, kuputuskan mengecek email sebentar. Aku terbawa suasana, klik sana-sini ke berbagai situs internet. Sejam lebih aku wara-wiri sebelum tiba-tiba ingat novelku. Kuomeli lagi diriku, kekurangdisiplinan semacam ini tak boleh dipiara.
Aku duduk tegak dan mulai mengerahkan segenap kemampuan imajinatif dan intuitifku untuk kalimat pertama. Ketika salah satu bakal pikiranku tengah genting menguntum, mendadak sikuku gatal. Saat kugaruk, melesatlah seekor nyamuk menuju kupingku, berdenging nyaring. Tahu-tahu sepasukan nyamuk datang menyerang sekujur badanku, menukik dalam pelbagai manuver semahir pilot pesawat tempur. Nyamuk patriot sialan, keluhku dalam hati sambil bangkit menutup pintu jendela.
Melanjutkan berpikir, dudukku tak lagi bisa tegak. Aku dibikin sibuk menepuk dan menggaruk badanku yang gatal dan merah di sana-sini oleh terjangan nyamuk. Aku pura-pura tak peduli. Namun dalam batinku, aku merasa sangat dirugikan sebab kini mesti berpikir sambil mewaspadai mereka. Kewaspadaanku yang kian meningkat, di saat yang sama, telah menindas pikiranku. Bagaimana aku bisa memunculkan buah karya, jika para nyamuk begitu beringas memberantas buah pikiranku? Jangankan sempat berbuah-buah, berbunga saja tidak, kuntum pun belum. Aku sebal memikirkan nyamuk komplotan istriku, sebal badanku gatal-gatal. Kesebalan berganda itu membuatku merasa perlu istirahat sejenak. Aku keluar menuju teras, menarik nafas dalam-dalam.
Di langit ada bulan purnama. Menatapnya membuatku ingat istriku, padahal aku tak ingin. Aku tak ingin mengingat pertama kali ketemu istriku di acara pernikahan dan terpesona dengan suara seraknya ketika dia menyanyikan lagu Bob Tutupoly diiringi organ tunggal. Kubilang pada diriku sendiri, berapa orang wanita yang menyanyikan lagu Bob Tutupoly di depan khalayak ramai? Hanya bisa dihitung jari. Baru kali ini kusaksikan wanita menyanyikan lagu Bob Tutupoly, apalagi Widuri, apalagi dengan begitu merdu dan syahdu. Wanita macam apa ini, yang begitu serius menyanyi Widuri, tanyaku dalam hati, apa dia tidak khawatir dikira lesbian oleh orang-orang? Jangan-jangan benar lesbian? Dan dia sedang menatap, di antara para hadirin, seorang Widuri (atau Bob Tutupoly?) yang elok bagai rembulan oh sayang seperti kata Bob Tutupoly kepada Widuri? Menelusuri arah tatapannya, kutetapkan lima orang tersangka rembulan. Penasaran, kuhampiri biduanitaku seusai menyanyi, saat dia mengambil minuman. Kukenalkan diri dan langsung kutanya, Anda senang perempuan atau laki-laki? Biduanitaku tertawa keras, mesti kubilang keras sekali, sampai aku terpesona yang kedua kali, sebab baru kali ini kudengar ada wanita tertawa begitu keras –semacam tawa tak melengking seperti umumnya wanita, pun bukan tawa membahana lelaki, tapi lebih serupa tawa suatu makhluk tak berjenis kelamin yang bukan dari dunia ini. Dia tampak surgawi, wujudnya bermandi sinar matahari, suaranya mengalun masih biduan padahal dia tidak sedang menyanyi Widuri, bagai musik cinta yang turun dari langit bersemilir ke telingaku mengenyahkan organ tunggal.
Aku jadi kangen pada istriku, agak murung dengan prospek hari-hari bujangan; keluyuran cari makan, memasak untuk satu orang, siapa yang akan mengantar ke dokter kalau mag-ku kambuh. Menatap bulan, kuputuskan akan datang menjemput istriku besok pagi-pagi sekali. Mungkin tidak pagi benar sebab aku perlu tidur sebentar, mungkin besok malam, atau lusa—nantilah, seketika kalimat pertamaku selesai. Aku harus memikirkan kalimatku terlebih dulu, hanya dengan cara itu aku bisa datang padanya. Akan kubuktikan aku akhirnya telah menulis novelku, supaya dia tak lagi menjerit-jerit seperti sore tadi. Kamu selalu menunda segala-gala, jerit istriku, menunda mencicil rumah, punya anak, mengirim pos paketku, berangkat ke kantor, menunda makan sampai mag lalu empat bulan menunda ke dokter, mau belok mobil saja kamu tunda sampai mobil motor sepi. Tunda ini tunda itu, besok ya say minggu depan ya say—kamu penunda sejati di segala bidang, lihat nasib bukumu yang tak jelas itu, kalimat pertama saja tak ada, raja siapa tu namanya, Siramatungga. Dan kamu Sirajatunda! Maharaja! Prabu! Begitulah, dalam salah satu rentetan jeritnya, dengan tak senonoh dia mengata-ngataiku.
Tanpa menunda-nunda, aku masuk lagi. Jika ingin istriku kembali, aku harus serius memikirkan kalimat pertama. Aku duduk dan mulai berpikir keras. Begitu keras aku berpikir, entah berapa lama, hingga kurasakan semacam lelah pikiran yang membekukan. Ketika pikiranku hampir mendekati titik beku, tiba-tiba melintaslah sebuah kalimat –buru-buru kuketik.
Panggil aku Samaratungga.
Aku girang, kalimat pertamaku telah tertera di layar. Dengarlah bunyinya: nggi-ngga, ai-au-aaaa, tiga kata senada seirama, musik sempurna. Daya desaknya begitu telak, menggoda, bahkan memerintah. Kalau seseorang sudah memerintahkan panggil namanya dengan desak semantap itu, niscaya banyak kejadian akan mengikuti. Kuucapkan kalimat itu berulang-ulang dengan berwibawa.Di ulangan ke sekian, kudengar suaraku tertunda.
Panggil aku Samaratungga.
Tunggu, berhenti! kuhardik diriku. Aku mencurigai sesuatu, tetapi belum jelas benar. Lima menit kemudian tiba-tiba jelaslah: oh tidak, itu Ishmael! Moby Dick! Herman Melville telah duluan memikirkan dan menuliskan kalimat pertamaku! Orang itu mencoleng buah pikiranku yang cemerlang, buah kalamku yang pertama di malam ini setelah berjam-jam. Tidakkah Herman Melville tahu delapan tahun lamanya kupersiapkan diriku untuk kalimat itu, tidakkah dia tahu kalau nasib rumah tanggaku ada di situ, tega betul Herman Melville datang dengan mesin waktu dan merampas kesempurnaan kalimatku.
Dengan getir kuhapus kalimat yang cuma sesaat jadi milikku. Aku bersandar di kursi, menatap lesu layar yang kembali putih kosong. Aku merasa tak berdaya. Dan tak orisinal. Dan frustrasi. Semua hal yang bisa diperkatakan oleh manusia di dunia ini, telah pernah dikatakan seseorang dalam sesuatu buku. Semua kalimat pertama yang mungkin, telah habis dipikirkan dan dituliskan orang-orang. Sisanya adalah daur ulang. Batinku menjerit pilu, oh buah pena, mahakarya, oh susastra!
Di antara jerit batinku, sayup-sayup kudengar suara mengaji dari mesjid. Aku tersentak, sebentar lagi subuh. Jangan menyerah! kuperingatkan diriku sendiri, ingat, istrimu taruhannya. Aku kembali mulai berpikir keras.
Kuterus berpikir, hingga kurasakan taraf kekerasanku dalam berpikir hampir baja. Aku memikirkan, jika tak kupikirkan kalimat pertamaku, aku takkan bisa menjemput istriku, dan aku menderita dibuatnya. Tapi jika kupikirkan kalimat pertamaku, aku juga menderita, sebab sambil memikirkan kalimat pertamaku, di saat yang sama, aku juga memikirkan bahwa jika tak kupikirkan kalimat pertamaku, aku takkan bisa menjemput istriku, dan aku menderita berganda dibuatnya –lalu jika kuterus pikirkan, aku akan menderita berganda-ganda. Seakan ke arah mana pun aku berpikir, apa pun buah pikiranku, semata terantuk buah simalakama. Tak cuma sebuah, namun berlipat ganda, dalam panen raya buah- buah Simalakama Sirajatunda Samaratungga—kalimat pertama mahakaryaku menyelip entah di mana. Memikirkan semua ini membuatku mengantuk dan ingin tidur saja. Tidur yang lama.
Thursday, 27 January 2011
Senjakala Tamansari
Senjakala Tamansari
M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/
Hari ini adalah Kamis, di sore hari ketika darah telah bergejolak karena kabar angin yang memang selalu terdengar sebagai lagu duka bagi seorang lelaki pendosa. Dia memang selalu bangga menyebut dirinya sebagai lelaki pendosa, lelaki yang dilumuri dengan kesalahan di setiap tapak kehidupan. Memang, dia sengaja. Tapi, di dalam hatinya diniatkan agar namanya yang dia sematkan itu mampu mengingatkan, kalau dirinya hanya seorang lelaki pendosa dan musti berjalan jauh untuk menjadi pembenaran atas pemahaman sampai dia yakin ketika bertemu denganNya, bahwa dia bukan seorang lelaki pendosa. Bukan manusia yang dialiri darah kesalahan.
Hari Kamis, menjadi hari perjalanan bagi si Lelaki Pendosa untuk melewati perjalanan waktu bersama dengan seorang Perempuan Pendoa yang pernah dia temui ketika perjalanannya mengantarkan pada surau kecil yang bercahaya. Entah dalam alur yang bagaimana, Dia yang memiliki kuasa atas alur kehidupan telah menggariskan keduanya dalam pertemuan sunyi pada persetubuhan cinta yang akan mengkristal menjadi abadi. Lelaki Pendosa dan Perempuan Pendoa bertemu di Senin dan Kamis, pada senjakala yang memerah indah.
Lelaki Pendosa menapaki anak tangga yang terus membawanya pada dataran tinggi. Perempuan Pendoa di belakangnya, mengamit tangan kakasihnya dengan erat, sambil menahan lapar-dahaga yang bergejolak di dalam dada. Perempuan itu menahan segalanya. Hasrat di dalam dada dikekang, terantai oleh dirinya sendiri tanpa ada yang mampu mengusik. Itu lah perjuangan yang indah dalam perjalanan Perempuan Pendoa yang selalu tengadah memohon cinta yang memiliki kesempurnaan.
“Entah mulai kapan sayang, aku menjadi jatuh cinta dengan tanah kita pijak ini.” Ucap Lelaki Pendosa ketika mereka menapaki jalan ke atas dimana orang-orang bercanda, menatap matahari, mengambil foto berada di bawah keduanya. “Reruntuhan masa lalu di tengah kota. Perbukitan di tengah kota. Rumah-rumah yang padat, mengepung dalam pengabdian yang tidak terbayar oleh berjuta uang bahkan segunung Merapi emas yang berkilauan.”
Perempuan Pendoa tersenyum sambil menatap ke sekeliling dimana, lalu pada langit yang mulai memerah. “Kamu selalu memiliki kata-kata untuk setiap hal yang telah kau tangkap dan reguk, Mas!” sahut Perempuan Pendoa dalam pandangan teduh yang membuat dada Lelaki Pendosa bergetar.
“Dan kamu selalu memiliki senyuman yang manis, menyimpan semua duka dan kebahagiaanmu!” ungkap Lelaki Pendosa sampai mereka bertatapan untuk beberapa saat.
“Ah, Mas,” Perempuan Pendoa menundukkan kepala menahan senyuman yang semakin merekah.
Lelaki Pendosa menggelengkan kepala. Dia melemparkan pandangan jauh ke langit yang semakin memerah ketika matahari diam-diam merangkak untuk bersembunyi di dalam cakrawala. Pandangannya pun jatuh pada lingkaran masjid yang hanya bisa dirasakan dari atas puncak Tamansari. “Kalau kita berbuat dosa, berzina, apa yang paling kamu takutkan, sayang?” Lelaki Pendosa melemparkan pertanyaan sambil memandangi Masjid yang melingkar di bawahnya. “Adakah ketakutanmu pada Tuhan di sana?”
Seketika, pandangan Perempuan Pendoa berubah. Pandangan diarahkan ke langit yang luas. Tatapan mata perempuan itu menengadah begitu jauh. Sangat jauh sekali ke langit yang luas. Sementara itu, di dalam tubuhnya, rasa lapar memberondong benteng-benteng lambung yang begitu tipisnya. Di lorong gerbang yang lain, rasa kering kerontang menggelitik, menggerus rasa yang berbeda. Dan pada gerbang bibirnya yang tipis dan memerah, tertutup rapat untuk menggerakkan lidah yang tetap berusaha berdoa. Perempuan Pendoa itu pun kemudian menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan kekasih yang duduk di sampingnya.
“Ada, Mas, tapi baru aku sadari kalau Dia tidak menjadi ketakutan yang pertama.” Ucap Perempuan Pendoa dengan resah.
“Yah, kita masih sama, Sayangku, Kekasihku, Istriku, Pujaanku, Perempuan Pendoaku! Kita ini masih manusia. Dan bersyukurlah masih menjadi manusia!” ungkap Lelaki Pendosa dalam senyuman lebar yang di dalamnya tanpa ketakutan sedikit pun. “Pernah aku membuat suatu lingkaran, dimimpikan pada ajaran-ajaran lama yang berharga bahwa hidup manusia itu berputar. Aku mencintai simbol ini, ternyata, baru kali ini mata butaku ini mampu melihat. Bahwa dari nol akan kembali pada nol, yang dari satu akan kembali ke satu, yang dari tanah akan kembali ke tanah.”
“Mas?”
“Manusia berasal dari Tuhan, dan dia akan kembali kepadaNya!” ungkap Lelaki Pendosa yang masih dalam senyuman yang sama, senyuman tanpa ketakutan yang kemudian melemparkan pandangan pada Masjid yang melingkar di bawahnya.
Seruan telah melengking, mengalun di dalam angin dari masjid-masjid yang berdiri di sudut-sudut bumi. Perempuan Tersenyum, meraih tangan Lelaki Pendosa, Kekasihnya, dan Suaminya. Dia mencium tangan lelaki itu, “Terima kasih, Mas, Sayang!” ucap Perempuan Pendoa dalam senyuman manisnya yang telah meruntuhkan kepongahan Lelaki Pendosa.
Ketika sang Perempuan Pendosa meneguk air yang langsung menghujani tanah kering di dalam dirinya, dia memejamkan mata. Mulutnya bergetar, tentang sesuatu yang hanya dia sendiri dan Tuhannya yang tahu. Di dalam angin, sebuah tembang terdengar oleh Lelaki Pendosa yang memejamkan mata ketika senja mereka habiskan di puncak Tamansari:
Kemudian,
di puncak Tamansari kita memandang matahari
Kau memandang ke barat, berdoa dalam berbuka. *
Sang Lelaki Pendosa bangkit dari duduknya. Dia mengamit tangan kekasihnya untuk menuju ke temaram di Wijilan. Memuaskan hasrat dan kemudian untuk berdiri tegak menegakkan pelaksanaan kewajiban.
Bantul – Studio SDS Fictionbooks,
Minggu, 27 Juni 2010.
*) Dikutip dari sajak “Permata Air Mata” karya Dhian Hari M.D. Atmaja
Sumber: http://www.dhianhmda.wordpress.com/
M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/
Hari ini adalah Kamis, di sore hari ketika darah telah bergejolak karena kabar angin yang memang selalu terdengar sebagai lagu duka bagi seorang lelaki pendosa. Dia memang selalu bangga menyebut dirinya sebagai lelaki pendosa, lelaki yang dilumuri dengan kesalahan di setiap tapak kehidupan. Memang, dia sengaja. Tapi, di dalam hatinya diniatkan agar namanya yang dia sematkan itu mampu mengingatkan, kalau dirinya hanya seorang lelaki pendosa dan musti berjalan jauh untuk menjadi pembenaran atas pemahaman sampai dia yakin ketika bertemu denganNya, bahwa dia bukan seorang lelaki pendosa. Bukan manusia yang dialiri darah kesalahan.
Hari Kamis, menjadi hari perjalanan bagi si Lelaki Pendosa untuk melewati perjalanan waktu bersama dengan seorang Perempuan Pendoa yang pernah dia temui ketika perjalanannya mengantarkan pada surau kecil yang bercahaya. Entah dalam alur yang bagaimana, Dia yang memiliki kuasa atas alur kehidupan telah menggariskan keduanya dalam pertemuan sunyi pada persetubuhan cinta yang akan mengkristal menjadi abadi. Lelaki Pendosa dan Perempuan Pendoa bertemu di Senin dan Kamis, pada senjakala yang memerah indah.
Lelaki Pendosa menapaki anak tangga yang terus membawanya pada dataran tinggi. Perempuan Pendoa di belakangnya, mengamit tangan kakasihnya dengan erat, sambil menahan lapar-dahaga yang bergejolak di dalam dada. Perempuan itu menahan segalanya. Hasrat di dalam dada dikekang, terantai oleh dirinya sendiri tanpa ada yang mampu mengusik. Itu lah perjuangan yang indah dalam perjalanan Perempuan Pendoa yang selalu tengadah memohon cinta yang memiliki kesempurnaan.
“Entah mulai kapan sayang, aku menjadi jatuh cinta dengan tanah kita pijak ini.” Ucap Lelaki Pendosa ketika mereka menapaki jalan ke atas dimana orang-orang bercanda, menatap matahari, mengambil foto berada di bawah keduanya. “Reruntuhan masa lalu di tengah kota. Perbukitan di tengah kota. Rumah-rumah yang padat, mengepung dalam pengabdian yang tidak terbayar oleh berjuta uang bahkan segunung Merapi emas yang berkilauan.”
Perempuan Pendoa tersenyum sambil menatap ke sekeliling dimana, lalu pada langit yang mulai memerah. “Kamu selalu memiliki kata-kata untuk setiap hal yang telah kau tangkap dan reguk, Mas!” sahut Perempuan Pendoa dalam pandangan teduh yang membuat dada Lelaki Pendosa bergetar.
“Dan kamu selalu memiliki senyuman yang manis, menyimpan semua duka dan kebahagiaanmu!” ungkap Lelaki Pendosa sampai mereka bertatapan untuk beberapa saat.
“Ah, Mas,” Perempuan Pendoa menundukkan kepala menahan senyuman yang semakin merekah.
Lelaki Pendosa menggelengkan kepala. Dia melemparkan pandangan jauh ke langit yang semakin memerah ketika matahari diam-diam merangkak untuk bersembunyi di dalam cakrawala. Pandangannya pun jatuh pada lingkaran masjid yang hanya bisa dirasakan dari atas puncak Tamansari. “Kalau kita berbuat dosa, berzina, apa yang paling kamu takutkan, sayang?” Lelaki Pendosa melemparkan pertanyaan sambil memandangi Masjid yang melingkar di bawahnya. “Adakah ketakutanmu pada Tuhan di sana?”
Seketika, pandangan Perempuan Pendoa berubah. Pandangan diarahkan ke langit yang luas. Tatapan mata perempuan itu menengadah begitu jauh. Sangat jauh sekali ke langit yang luas. Sementara itu, di dalam tubuhnya, rasa lapar memberondong benteng-benteng lambung yang begitu tipisnya. Di lorong gerbang yang lain, rasa kering kerontang menggelitik, menggerus rasa yang berbeda. Dan pada gerbang bibirnya yang tipis dan memerah, tertutup rapat untuk menggerakkan lidah yang tetap berusaha berdoa. Perempuan Pendoa itu pun kemudian menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan kekasih yang duduk di sampingnya.
“Ada, Mas, tapi baru aku sadari kalau Dia tidak menjadi ketakutan yang pertama.” Ucap Perempuan Pendoa dengan resah.
“Yah, kita masih sama, Sayangku, Kekasihku, Istriku, Pujaanku, Perempuan Pendoaku! Kita ini masih manusia. Dan bersyukurlah masih menjadi manusia!” ungkap Lelaki Pendosa dalam senyuman lebar yang di dalamnya tanpa ketakutan sedikit pun. “Pernah aku membuat suatu lingkaran, dimimpikan pada ajaran-ajaran lama yang berharga bahwa hidup manusia itu berputar. Aku mencintai simbol ini, ternyata, baru kali ini mata butaku ini mampu melihat. Bahwa dari nol akan kembali pada nol, yang dari satu akan kembali ke satu, yang dari tanah akan kembali ke tanah.”
“Mas?”
“Manusia berasal dari Tuhan, dan dia akan kembali kepadaNya!” ungkap Lelaki Pendosa yang masih dalam senyuman yang sama, senyuman tanpa ketakutan yang kemudian melemparkan pandangan pada Masjid yang melingkar di bawahnya.
Seruan telah melengking, mengalun di dalam angin dari masjid-masjid yang berdiri di sudut-sudut bumi. Perempuan Tersenyum, meraih tangan Lelaki Pendosa, Kekasihnya, dan Suaminya. Dia mencium tangan lelaki itu, “Terima kasih, Mas, Sayang!” ucap Perempuan Pendoa dalam senyuman manisnya yang telah meruntuhkan kepongahan Lelaki Pendosa.
Ketika sang Perempuan Pendosa meneguk air yang langsung menghujani tanah kering di dalam dirinya, dia memejamkan mata. Mulutnya bergetar, tentang sesuatu yang hanya dia sendiri dan Tuhannya yang tahu. Di dalam angin, sebuah tembang terdengar oleh Lelaki Pendosa yang memejamkan mata ketika senja mereka habiskan di puncak Tamansari:
Kemudian,
di puncak Tamansari kita memandang matahari
Kau memandang ke barat, berdoa dalam berbuka. *
Sang Lelaki Pendosa bangkit dari duduknya. Dia mengamit tangan kekasihnya untuk menuju ke temaram di Wijilan. Memuaskan hasrat dan kemudian untuk berdiri tegak menegakkan pelaksanaan kewajiban.
Bantul – Studio SDS Fictionbooks,
Minggu, 27 Juni 2010.
*) Dikutip dari sajak “Permata Air Mata” karya Dhian Hari M.D. Atmaja
Sumber: http://www.dhianhmda.wordpress.com/
Ia dan Aku dalam Keterasingan Kota
Ia dan Aku dalam Keterasingan Kota
Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/
Meniatkan diri untuk merantau, sebab desa tak dapat membuat nasib menjadi baik. Mengupayakan diri untuk mendapatkan sangu buat berangkat ke kota. Hutang pun dilakukan. Impian besar di pundak menatap ruang hingar bingar bahwa nasib akan menjadi lebih baik. Dengan kereta yang melaju ternaik dirii, hingga sampailah pada kota yang di tuju. Tak ada sanak famili dan sendiri. Memulai menanya satu dua orang yang tertemui, tapi tak juga ada kabar gembira kemana melabuhkan diri.
Masa terlewati dengan harapan sia akan kota. Hutang di kampung halaman belum terlunasi. Apa mau di kata, menetap dengan upaya yang penuh jerih. Menawarkan diri mengangkut barang dari mobil yang membawa dagangan untuk ditaruhnya pada kios Juragan di pasar terbesar kota yang tersinggahi. Kadang juga tak ada hasil dalam sehari, dengan terpaksa meminta pada yang berpunya untuk sebungkus nasi.
Bulan tepat di atas kepala saat Ia duduk di taman kota. Tiap hari bila waktu tak bersahabat dengannya. Ia menghabiskan detik yang merambat di bangku tengah taman kota. Melamun memandang gedung-gedung megah. Hiruk pikuk orang-orang belanja dengan canda tawa. Ia mulai merindukan hidup saling sapa di desa walau tak berpunya. Hati sudah tentram dengan makan nasi jagung dansayur-sayuran walaupun tanpa lauk.
Kerinduannya membuat gerimis di matanya tak terbendung lagi. Mili sampai ke pipi menuju bibir. Tersadar ketika rasa asin menyusup ke lidah. Adalah hal biasa denganku untuk duduk melepas lelah ketika resah menyapa. Aku melihat tubuhnya tanpa daya di tengah taman kota. Tiada berfikir lama, kakiku menghampirinya. Sambil membawa sebotol minuman yang aku beli di pinggir taman kota. Aku sodorkan kepadanya.
Ia menatap heran, mungkin saja Ia beranggapan aku akan melukainya. Dengan cara lembut, kembali aku menawarkan air yang tinggal separoh padanya. Ia pun menerima dan meminumnya seperti orang kehausan. Mulailah kata demi kata keluar lewat katub bibirnya. Menceritakan tentang dirinya, harapannya, dan nasibnya.
Air dalam botol dihabiskannya sambil berkata: di desa air tak beli tinggal timba lalu masak sudah dapat kita minum sebagai pengobat dahaga. Tetapi di sini tak ada yang tak beli semuanya serba uang. Aku mengangukkan kepala. Ia mulai membaringkan tubuhnya di bangku sambil membenarkan letak sarung untuk menghalau angin malam menerpa dirinya.
Aku mengangkat pantatku lalu berjalan tak tenang. Sambil mengingat tingkah masyarakat modern. Kota dengan masyarakat yang individualis adalah ciri masyarakat modern. Hal tersebut aku alami sendiri ketika berada di rumah yang telah aku huni beberapa tahun ketika menekatkan diri untuk pindah dari desa ke kota. Aku punya tetangga tapi tak pernah saling sapa. Mungkin saja tetanggaku sibuk dengan segala aktivitasnya. Dan aku pun merasa kesepian. Mungkin sudah terbiasa akhirnya menjadi hal yang biasa.
Hingga aku menikmati segala individualis masyarakat kota dengan sadar. Beda dengan Ia yang terbaring di tengah taman kota. Kesadaranku semakin menajam pada ingatan masa lalu, ketika masih hidup di desa. Aku merindukan gotong royong, saling sapa, saling bantu tanpa pandang materi. Mungkin Ia kehilangan suasana itu serupa aku.
Mataku mulai menerawang, langkahku mulai gontai. Apa yang aku rasakan pernah juga temaktub dalam puisi Arab.yang di tulis oleh Baulnd Al-Haidari. Penyair yang lahir di Irak pada tahun 1926 dari keluarga Kurdish dan pernah juga di asingkan akibat keterlibatannya dalam aktivitas politik (Puisi Arab Modern: disusun dan diterjemahkan oleh Hartojo Andangdjaja. Pustaka Jaya 1983).
LANGKAH SUMBANG
Mata pisau musim dingin yang tajam menembus peron,
Angin-ribut mengeong bagai kucing,
Dan di atas rel-rel
Berayun lampu kuno,
Dan dusun kami yang sederhana
Gemetar di bawah sinarnya.
“Mau apa aku di kota?”
Dia bertanya kepada:
“Mau apa kau di kota?”
Menuruni jalan-jalan yang panjang itu
Akan tersesat langkahmu yang dungu,
Dan gang-gang yang buntu
Akan menelanmu.
Malam akan menyala di dalam hatimu yang dingin-beku,
Dan sangsi rindu pun timbul dari hatimu.
Mau apa kau di sana, tak berkawan?
“Tidak, di kota itu tak mungkin kau dapat kawan”
Kau tertawakan aku,
Namun ku tunggu juga kereta yang menuju ke kota.
Kau pergi dariku,
Dan aku darimu.
Di seberang jendela kereta-kereta
Berlintasan desa-desa
Bangkit dan tengelam di pasir kembali,
Dan aku menunggu pagi
Di kota
Buat siapa mesti kembali aku?
Baut dusunku?
Baut peron yang ditembut mata pisau dingin yang tajam itu?
Sinar lampu di mana dusun kami yang papa gemetar?
Atau perempuan-perempuan yang keranjingan sopan dan malunya?
Tidak, aku tak akan kembali
Buat siapa aku mesti kembali?
Dusunku tengah menjadi kota.
Dan di tiap sudut
Sinar tajam lampu baru
Akan berseru kepadaku
“Apa maumu?”
Ya, apa mauku?
Di sini tak ada yang kukenal
Dan tak ada yang mengenalku;
Tak ada yang kuingat
Dan tak ada yang mengingatku.
Aku akan menyeret langkahku yang pendek ini
Menuruni jalan-jalan yang panjang itu,
Dan akan tertelan aku
Hilang di gang-gang buntu.
Tidak, aku tak akan kembali.
Buat siapa aku mesti kembali?
Dusunku telah menjadi kota.
Merambatlah waktu dari titik tumpuan masa ke masa yang melaju. Tak aku dengar lagi degub jantung desaku dulu. Mereka yang pernah menetap di kota kembali dengan segala gaya ke desa. Tak beda laku dan hidupnya, membawa kota ke desa desa. Aku pun kini kehilangan jejak sejarah.Hidup di gang-gang sempit di himpit bangunan-bangunan mall dan perkantoran yang tak ramah. Pada alam, pada diriku, pada mereka yang tak berpunya. Ia dan Aku terasing dalam kota.
Malang, Mei 2010
Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/
Meniatkan diri untuk merantau, sebab desa tak dapat membuat nasib menjadi baik. Mengupayakan diri untuk mendapatkan sangu buat berangkat ke kota. Hutang pun dilakukan. Impian besar di pundak menatap ruang hingar bingar bahwa nasib akan menjadi lebih baik. Dengan kereta yang melaju ternaik dirii, hingga sampailah pada kota yang di tuju. Tak ada sanak famili dan sendiri. Memulai menanya satu dua orang yang tertemui, tapi tak juga ada kabar gembira kemana melabuhkan diri.
Masa terlewati dengan harapan sia akan kota. Hutang di kampung halaman belum terlunasi. Apa mau di kata, menetap dengan upaya yang penuh jerih. Menawarkan diri mengangkut barang dari mobil yang membawa dagangan untuk ditaruhnya pada kios Juragan di pasar terbesar kota yang tersinggahi. Kadang juga tak ada hasil dalam sehari, dengan terpaksa meminta pada yang berpunya untuk sebungkus nasi.
Bulan tepat di atas kepala saat Ia duduk di taman kota. Tiap hari bila waktu tak bersahabat dengannya. Ia menghabiskan detik yang merambat di bangku tengah taman kota. Melamun memandang gedung-gedung megah. Hiruk pikuk orang-orang belanja dengan canda tawa. Ia mulai merindukan hidup saling sapa di desa walau tak berpunya. Hati sudah tentram dengan makan nasi jagung dansayur-sayuran walaupun tanpa lauk.
Kerinduannya membuat gerimis di matanya tak terbendung lagi. Mili sampai ke pipi menuju bibir. Tersadar ketika rasa asin menyusup ke lidah. Adalah hal biasa denganku untuk duduk melepas lelah ketika resah menyapa. Aku melihat tubuhnya tanpa daya di tengah taman kota. Tiada berfikir lama, kakiku menghampirinya. Sambil membawa sebotol minuman yang aku beli di pinggir taman kota. Aku sodorkan kepadanya.
Ia menatap heran, mungkin saja Ia beranggapan aku akan melukainya. Dengan cara lembut, kembali aku menawarkan air yang tinggal separoh padanya. Ia pun menerima dan meminumnya seperti orang kehausan. Mulailah kata demi kata keluar lewat katub bibirnya. Menceritakan tentang dirinya, harapannya, dan nasibnya.
Air dalam botol dihabiskannya sambil berkata: di desa air tak beli tinggal timba lalu masak sudah dapat kita minum sebagai pengobat dahaga. Tetapi di sini tak ada yang tak beli semuanya serba uang. Aku mengangukkan kepala. Ia mulai membaringkan tubuhnya di bangku sambil membenarkan letak sarung untuk menghalau angin malam menerpa dirinya.
Aku mengangkat pantatku lalu berjalan tak tenang. Sambil mengingat tingkah masyarakat modern. Kota dengan masyarakat yang individualis adalah ciri masyarakat modern. Hal tersebut aku alami sendiri ketika berada di rumah yang telah aku huni beberapa tahun ketika menekatkan diri untuk pindah dari desa ke kota. Aku punya tetangga tapi tak pernah saling sapa. Mungkin saja tetanggaku sibuk dengan segala aktivitasnya. Dan aku pun merasa kesepian. Mungkin sudah terbiasa akhirnya menjadi hal yang biasa.
Hingga aku menikmati segala individualis masyarakat kota dengan sadar. Beda dengan Ia yang terbaring di tengah taman kota. Kesadaranku semakin menajam pada ingatan masa lalu, ketika masih hidup di desa. Aku merindukan gotong royong, saling sapa, saling bantu tanpa pandang materi. Mungkin Ia kehilangan suasana itu serupa aku.
Mataku mulai menerawang, langkahku mulai gontai. Apa yang aku rasakan pernah juga temaktub dalam puisi Arab.yang di tulis oleh Baulnd Al-Haidari. Penyair yang lahir di Irak pada tahun 1926 dari keluarga Kurdish dan pernah juga di asingkan akibat keterlibatannya dalam aktivitas politik (Puisi Arab Modern: disusun dan diterjemahkan oleh Hartojo Andangdjaja. Pustaka Jaya 1983).
LANGKAH SUMBANG
Mata pisau musim dingin yang tajam menembus peron,
Angin-ribut mengeong bagai kucing,
Dan di atas rel-rel
Berayun lampu kuno,
Dan dusun kami yang sederhana
Gemetar di bawah sinarnya.
“Mau apa aku di kota?”
Dia bertanya kepada:
“Mau apa kau di kota?”
Menuruni jalan-jalan yang panjang itu
Akan tersesat langkahmu yang dungu,
Dan gang-gang yang buntu
Akan menelanmu.
Malam akan menyala di dalam hatimu yang dingin-beku,
Dan sangsi rindu pun timbul dari hatimu.
Mau apa kau di sana, tak berkawan?
“Tidak, di kota itu tak mungkin kau dapat kawan”
Kau tertawakan aku,
Namun ku tunggu juga kereta yang menuju ke kota.
Kau pergi dariku,
Dan aku darimu.
Di seberang jendela kereta-kereta
Berlintasan desa-desa
Bangkit dan tengelam di pasir kembali,
Dan aku menunggu pagi
Di kota
Buat siapa mesti kembali aku?
Baut dusunku?
Baut peron yang ditembut mata pisau dingin yang tajam itu?
Sinar lampu di mana dusun kami yang papa gemetar?
Atau perempuan-perempuan yang keranjingan sopan dan malunya?
Tidak, aku tak akan kembali
Buat siapa aku mesti kembali?
Dusunku tengah menjadi kota.
Dan di tiap sudut
Sinar tajam lampu baru
Akan berseru kepadaku
“Apa maumu?”
Ya, apa mauku?
Di sini tak ada yang kukenal
Dan tak ada yang mengenalku;
Tak ada yang kuingat
Dan tak ada yang mengingatku.
Aku akan menyeret langkahku yang pendek ini
Menuruni jalan-jalan yang panjang itu,
Dan akan tertelan aku
Hilang di gang-gang buntu.
Tidak, aku tak akan kembali.
Buat siapa aku mesti kembali?
Dusunku telah menjadi kota.
Merambatlah waktu dari titik tumpuan masa ke masa yang melaju. Tak aku dengar lagi degub jantung desaku dulu. Mereka yang pernah menetap di kota kembali dengan segala gaya ke desa. Tak beda laku dan hidupnya, membawa kota ke desa desa. Aku pun kini kehilangan jejak sejarah.Hidup di gang-gang sempit di himpit bangunan-bangunan mall dan perkantoran yang tak ramah. Pada alam, pada diriku, pada mereka yang tak berpunya. Ia dan Aku terasing dalam kota.
Malang, Mei 2010
Wangi Bunga Di Atas Makam
Wangi Bunga Di Atas Makam
Sabrank Suparno
http://www.sastra-indonesia.com/
Mendamba, adalah puncak do’a bathin nan serius, yang dilakukan orang tua pada anaknya, guru pada muridnya, dosen terhadap mahasiswanya, kiai pada santrinya, agar kelak anak didik dan anak asuhnya menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Tak heran jika kemudian para orang tua rela mengucurkan jutaan rupiah demi pendidikan anaknya, dengan harapan agar kelak di kemudian hari tidak bernasib seperti bapaknya. Namun tentu saja lebih baik dari segi apapun; moral, intelektual, spiritual sebagai harkat martabat hidupnya.
Sejajar ungkapan jawa; ‘anak polah, bopo kepradah’ anak berulah, orang tua menanggung akibatnya. Baik-buruk perilaku anak, sangat berpengaruh terhadap kredibilitas orang tuanya. Dalam ungkapan lain, anak diharapkan ‘mikul duwur, mendem jeru’ terhadap orang tua. Mikul duwur: menghargai jasa-jasanya, mempraktekkan pitutur orang tua. Mendem jeru: tidak mengungkit-ungkit kesilapan orang tuanya.
Gus Zainal Arifin Thoha, semasa hidupnya dapat dijadikan acuhan cetak tebal bagi debut kepenyairannya di belantara sastra Indoesia. Kiai muda yang akrab dipanggil Gus Zainal itu, tidak sekedar ekstase atas keberhasilannya sebagai penyair, bahkan pondok pesantrennya di dermakan bagi para mahasiswa di Yogyakarta, lebih-lebih yang ingin mendalami dunia tulis-menulis dan kepenyairan, padahal taraf kehidupan rumah tangga Gus Zainal sendiri masih serba kekurangan.
Di pesantren Hasyim Asy’ari Yogyakarta inilah, sembari memimpin pondoknya, Gus Zainal menelorkan buku-bukunya: Aku Menulis Maka Aku Ada, Jagatnya Gus Dur, Runtuhnya Singgasana Kiai NU, dll. Bagai ayam bertelor di lumbung padi, para mahasiswa dapat mondok dengan bebas iuran, juga dibimbing mendalami dunia kepenulisan.
Disadari atau tidak, semasa hidupnya Gus Zainal, seolah mengukir guratan nisan di atas makamnya kelak. Betapa tidak, anak-anak yang bergiat di “Sastra Kutub,” yang note bene mencecap sum-sum kepenyairan Gus Zainal, serempak berhamburan mengepakkan berbagai bendera kepenyiaran.
Buku Antologi Puisi Mazhab Kutub ini dihuni 14 sastrawan muda jebolan sarang bergerumunnya Sastra Kutub. Barisan nama: Selendang Sulaiman, Mahwi Air Tawar, Ahmad Muchlis Amrin, Ala Roa, Jufri Zaituna, Mohammad Ali Mahmudi, AF Denar Deniar, Bernando J. Sujibto, Salman Rusydi Anwar, Matroni El-Moezany, Ahmad Maltuf Syamsury, Muhammad Ali Faqih, Imam S Arizal dan Alfian Harfi, menyuguhkan puisi-puisi yang menggelinjang di era sekarang.
Secara keseluruhan puisi-puisi mereka, menorehkan jenis ornamental mozaik baru dari transisi konversi dogmatis struktur kepenyairan lampau. Pematahan tradisi ritmatik, adalah simbol baju khas penyair anak jaman yang lahir pada dekaden 80’an. Kecenderungan ‘bebas’ namun dalam kadar tekstur kepuisian, tidak lantas dituding sebagai pembelotan arah, lebih dari itu merupakan ramuan padu semerbak harum aneka warna bunga yang mungkin didambakan Gus Zainal semasa hidupnya, dan kini harum mewangi bunga itu di tebarkan para santrinya dalam Mazhab Kutub.
Larik-larik puisi Mazab Kutub sengaja disuguhkan dengan tehnik observasi terbaru sebagai pilihan sikap mewakili anak zaman. Seperti merubahnya Mother Thereza dari jargon: aku bukan orang yang ‘anti kekerasan’, melainkan lebih lentur digubah menjadi: aku ingin menjadi bagian dari ‘pro perdamaian’. Bedanya pada jargon pertama, kata ‘kekerasan’ masih disertakan dalam meng-anti-kannya, tetapi pada jargon kedua kata ‘kekerasan’ sudah tidak ditemukan lagi, meski dua jargon itu berkapasitas nilai setara.
Kehati-hatian tercermin di setiap gelitik puisi pada antologi ini. Kebebasan berekspresi yang dilepaskan dari kerangkeng orde baru, tidak lantas dilakukan 14 penyair tersebut dengan berlarat-larat atas nama mengisi kebebasan, namun lebih ke elevasi nilai dalam kebebasan itu sendiri.
Kekuatan unsur filsafat, dapat kita jumpai dalam puisi-puisi Matroni El-Moezany; engkau boleh sombong//asal masih ada sebiji sadar di jiwamu// (Adalah Engkau,) penyair adalah separuh semesta//dan separuhnya adalah kata-kata (Risalah Batu-Batu), penyair adalah orang pertama yang memberi bantuan//memberi tanpa laba//memberi tanpa unsur apa-apa. Puisi “Malam Kian Panjang,” karya Imam S Arizal: aku membaca malam//ditubuhmu kian panjang//serupa sungai-sungai musim hujan.
Refleksi repertoal sebagai ciri pengabdian sekaligus kesetiaan penyair tatkala melebur dengan alam, juga dihadirkan dalam Antologi Puisi Mazhab Kutub ini. Hiruk pikuk polesai kehidupan di seputaran Malioboro misalnya, disuguhkan Muhammad Alif Mahmudi bertitel: “Sepanjang Malioboro”, sebagai potret nyata antara “ada” dan harapan. Hal yang sama dilakukan Imam S Arizal dalam “Narasi Laut Kenjeran,” sedangkan Ahmad Maltuf Syamsury melarikkan deretan “Warung Tunggu”.
Disamping warna ekstase diri penyair kala menyelami kedalaman samudera jiwanya, ada juga beberapa puisi profaitik dan pemberontakan sosial. Yang menarik di buku ini, pemberontakan yang dilakukan, ibarat ujung pedang bermata dua. Satu sisi ketimpangan sosial harus disingkap, di sisi lain, penyingkapannya tidak diperlukan jatuhnya sudut pandang yang curam. Bagi para penyair ini merumuskan, bahwa metode kritik curam dan tajam terbukti gagal mengatasi ketimpangan sejarah. Selanjutnya, landai-landai saja.
JUDUL BUKU: Antologi Puisi Mazhab Kutub
PENULIS: Sastrawan Kutub
PENERBIT: PUstaka puJAngga
CETAKAN: 1 Juni 2010
TEBAL: 108 halaman
Peresensi: Sabrank Suparno*
*) Penggiat literasi di Lincak Sastra Jombang. Beralamat di RT/TW:08/02, Desa Plosokerep, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang. HP: 081-359-913-627/ 085-645-085-745.
Sabrank Suparno
http://www.sastra-indonesia.com/
Mendamba, adalah puncak do’a bathin nan serius, yang dilakukan orang tua pada anaknya, guru pada muridnya, dosen terhadap mahasiswanya, kiai pada santrinya, agar kelak anak didik dan anak asuhnya menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Tak heran jika kemudian para orang tua rela mengucurkan jutaan rupiah demi pendidikan anaknya, dengan harapan agar kelak di kemudian hari tidak bernasib seperti bapaknya. Namun tentu saja lebih baik dari segi apapun; moral, intelektual, spiritual sebagai harkat martabat hidupnya.
Sejajar ungkapan jawa; ‘anak polah, bopo kepradah’ anak berulah, orang tua menanggung akibatnya. Baik-buruk perilaku anak, sangat berpengaruh terhadap kredibilitas orang tuanya. Dalam ungkapan lain, anak diharapkan ‘mikul duwur, mendem jeru’ terhadap orang tua. Mikul duwur: menghargai jasa-jasanya, mempraktekkan pitutur orang tua. Mendem jeru: tidak mengungkit-ungkit kesilapan orang tuanya.
Gus Zainal Arifin Thoha, semasa hidupnya dapat dijadikan acuhan cetak tebal bagi debut kepenyairannya di belantara sastra Indoesia. Kiai muda yang akrab dipanggil Gus Zainal itu, tidak sekedar ekstase atas keberhasilannya sebagai penyair, bahkan pondok pesantrennya di dermakan bagi para mahasiswa di Yogyakarta, lebih-lebih yang ingin mendalami dunia tulis-menulis dan kepenyairan, padahal taraf kehidupan rumah tangga Gus Zainal sendiri masih serba kekurangan.
Di pesantren Hasyim Asy’ari Yogyakarta inilah, sembari memimpin pondoknya, Gus Zainal menelorkan buku-bukunya: Aku Menulis Maka Aku Ada, Jagatnya Gus Dur, Runtuhnya Singgasana Kiai NU, dll. Bagai ayam bertelor di lumbung padi, para mahasiswa dapat mondok dengan bebas iuran, juga dibimbing mendalami dunia kepenulisan.
Disadari atau tidak, semasa hidupnya Gus Zainal, seolah mengukir guratan nisan di atas makamnya kelak. Betapa tidak, anak-anak yang bergiat di “Sastra Kutub,” yang note bene mencecap sum-sum kepenyairan Gus Zainal, serempak berhamburan mengepakkan berbagai bendera kepenyiaran.
Buku Antologi Puisi Mazhab Kutub ini dihuni 14 sastrawan muda jebolan sarang bergerumunnya Sastra Kutub. Barisan nama: Selendang Sulaiman, Mahwi Air Tawar, Ahmad Muchlis Amrin, Ala Roa, Jufri Zaituna, Mohammad Ali Mahmudi, AF Denar Deniar, Bernando J. Sujibto, Salman Rusydi Anwar, Matroni El-Moezany, Ahmad Maltuf Syamsury, Muhammad Ali Faqih, Imam S Arizal dan Alfian Harfi, menyuguhkan puisi-puisi yang menggelinjang di era sekarang.
Secara keseluruhan puisi-puisi mereka, menorehkan jenis ornamental mozaik baru dari transisi konversi dogmatis struktur kepenyairan lampau. Pematahan tradisi ritmatik, adalah simbol baju khas penyair anak jaman yang lahir pada dekaden 80’an. Kecenderungan ‘bebas’ namun dalam kadar tekstur kepuisian, tidak lantas dituding sebagai pembelotan arah, lebih dari itu merupakan ramuan padu semerbak harum aneka warna bunga yang mungkin didambakan Gus Zainal semasa hidupnya, dan kini harum mewangi bunga itu di tebarkan para santrinya dalam Mazhab Kutub.
Larik-larik puisi Mazab Kutub sengaja disuguhkan dengan tehnik observasi terbaru sebagai pilihan sikap mewakili anak zaman. Seperti merubahnya Mother Thereza dari jargon: aku bukan orang yang ‘anti kekerasan’, melainkan lebih lentur digubah menjadi: aku ingin menjadi bagian dari ‘pro perdamaian’. Bedanya pada jargon pertama, kata ‘kekerasan’ masih disertakan dalam meng-anti-kannya, tetapi pada jargon kedua kata ‘kekerasan’ sudah tidak ditemukan lagi, meski dua jargon itu berkapasitas nilai setara.
Kehati-hatian tercermin di setiap gelitik puisi pada antologi ini. Kebebasan berekspresi yang dilepaskan dari kerangkeng orde baru, tidak lantas dilakukan 14 penyair tersebut dengan berlarat-larat atas nama mengisi kebebasan, namun lebih ke elevasi nilai dalam kebebasan itu sendiri.
Kekuatan unsur filsafat, dapat kita jumpai dalam puisi-puisi Matroni El-Moezany; engkau boleh sombong//asal masih ada sebiji sadar di jiwamu// (Adalah Engkau,) penyair adalah separuh semesta//dan separuhnya adalah kata-kata (Risalah Batu-Batu), penyair adalah orang pertama yang memberi bantuan//memberi tanpa laba//memberi tanpa unsur apa-apa. Puisi “Malam Kian Panjang,” karya Imam S Arizal: aku membaca malam//ditubuhmu kian panjang//serupa sungai-sungai musim hujan.
Refleksi repertoal sebagai ciri pengabdian sekaligus kesetiaan penyair tatkala melebur dengan alam, juga dihadirkan dalam Antologi Puisi Mazhab Kutub ini. Hiruk pikuk polesai kehidupan di seputaran Malioboro misalnya, disuguhkan Muhammad Alif Mahmudi bertitel: “Sepanjang Malioboro”, sebagai potret nyata antara “ada” dan harapan. Hal yang sama dilakukan Imam S Arizal dalam “Narasi Laut Kenjeran,” sedangkan Ahmad Maltuf Syamsury melarikkan deretan “Warung Tunggu”.
Disamping warna ekstase diri penyair kala menyelami kedalaman samudera jiwanya, ada juga beberapa puisi profaitik dan pemberontakan sosial. Yang menarik di buku ini, pemberontakan yang dilakukan, ibarat ujung pedang bermata dua. Satu sisi ketimpangan sosial harus disingkap, di sisi lain, penyingkapannya tidak diperlukan jatuhnya sudut pandang yang curam. Bagi para penyair ini merumuskan, bahwa metode kritik curam dan tajam terbukti gagal mengatasi ketimpangan sejarah. Selanjutnya, landai-landai saja.
JUDUL BUKU: Antologi Puisi Mazhab Kutub
PENULIS: Sastrawan Kutub
PENERBIT: PUstaka puJAngga
CETAKAN: 1 Juni 2010
TEBAL: 108 halaman
Peresensi: Sabrank Suparno*
*) Penggiat literasi di Lincak Sastra Jombang. Beralamat di RT/TW:08/02, Desa Plosokerep, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang. HP: 081-359-913-627/ 085-645-085-745.
Rendez-Vous
Rendez-Vous
Dina Oktaviani
http://entertainmen.suaramerdeka.com/
DIA sudah tidak tahan lagi. Beratnya sudah turun sebanyak dua belas kilo selama sepuluh bulan ini. Tapi dia masih harus menahan diri sampai pertemuan itu tiba. Baru pukul empat. Terdengar suara motor berhenti di depan rumahnya. Dia berdebar-debar. Tapi lalu terdengar suara pintu pagar digeser; pintu pagar milik tetangga rumahnya tidak berpagar, dan dia harus kembali bekerja.
Siang tadi dia pergi ke toko daging dan membeli kikil sapi. Uangnya masih banyak, upah terjemahan yang turun kemarin karena dia memaksa pihak penerbit menurunkannya meski pekerjaannya belum selesai diedit, tapi dia hanya membeli kikil. Dan sepanjang perjalanannya, semua orang menoleh dan menyapanya hanya karena rambutnya yang dicat merah, dan bukan karena rok pendek yang memperlihatkan kakinya yang cokelat.
Di meja dapur, cabe hijau, bawang putih dan bawang merah telah selesai dipetik dan dikupas. Dia mengiris bawang merah terlebih dahulu dan menggesernya sehingga berada di deretan paling depan di atas talenan. Air matanya deras, dia dapat melihatnya di cermin yang menempel di dinding dapur ke arah mana dia menghadap. Dan dia mengeluh karena, meski orang Sumatera, dia tidak bisa memasak rendang. Padahal dia hanya mau makan daging sapi yang direndang, terutama bila dibuat oleh ibunya sendiri yang kini entah di mana.
Bawang merah telah selesai diiris. Dia menatap cermin sekali lagi, hening dan kaku, seolah mencoba memahami arti dari wajahnya yang sembab, seolah air mata itu muncul dari perasaan tertentu dan tak ada hubungannya dengan bawang merah. Kemudian dia mengelap air mata dengan lengan kaus katunnya, mengiris bawang putih dan cabe hijau lalu beranjak menyalakan kompor.
Ketika mulai menumis, tiba-tiba dia merasa jengkel karena suara yang muncul dari penggorengan tidak dapat menimbulkan kesan akan apa pun, dan aromanya tidak bisa menggoda kekasihnya untuk datang tiba-tiba. Kekasihnya yang sibuk dengan keluarga besar dan tradisi-tradisinya. Kekasihnya yang pemikir, yang tergila-gila akan semangat klasik dalam belajar, yang menurutnya terobsesi pada gaya hidup kuno. Dia selalu berdebar-debar dan lunglai menatap layar ponselnya, tetapi laki-laki itu lebih senang menulis surat yang selama sepuluh bulan mereka berpacaran baru dua kali dikirimkan tukang pos kepadanya.
Selama sepuluh bulan itu, sudah sembilan kali mereka terpisah. Dan pada bulan-bulan terakhir, setiap perpisahan memakan waktu sampai satu bulan. Dan dalam satu bulan itu, hanya beberapa hari saja dia menerima pesan atau telepon dari laki-laki itu. Begitulah, dia mengharapkan komunikasi yang rutin dan tanpa hambatan, tapi kekasihnya lebih gemar memberi kejutan yang alamiah.
Di tengah perasaan jengkel itu dia teringat pada jahe dan menambahkannya pada tumisan setelah menumbuknya buru-buru. Setelah tumisan bumbu, kikil dan kecap asin menyatu, dia baru sadar masakan itu tidak akan habis dimakan selama tiga hari, mengingat dirinya cuma sendirian dan tak ada kawan yang bakal datang.
Nasi telah tanak secara elektrik. Tak ada orang lain di meja makan. Hari masih terang pula. Dia masih malas makan, dan duduk termenung menatap cermin. Kosong. Hanya terdengar suara motor behenti di depan rumahnya. Dia memasang telinga hati-hati dengan hati berdebar-debar. Hening. Tapi lalu terdengar suara pintu pagar digeser. Dia memaki dirinya sendiri. Konyol! Sudah berulang-ulang laki-laki itu memutuskan hubungan dengan alasan yang hebat-hebat: pengkhianatan, perbedaan dunia dan tradisi, sakit hati yang mendalam. Semuanya melewati pertengkaran-pertengkaran yang juga hebat. Tapi mereka selalu kembali bersama.
Dia merasa sudah tidak tahan lagi. Waktu bertindak begitu cepat dan kasar terhadap hubungan mereka, tapi begitu lambat dan dungu terhadap penantiannya. Oh, kerinduan! Dia sudah tak punya apa-apa lagi selain kerinduan. Tapi dia merasa harus melepaskan juga yang satu itu.
Bulan ini, sudah empat kali laki-laki itu berjanji untuk datang. Dan setiap kali batal, tak ada kabar yang datang dengan segera. Dan dia sudah mengutarakan kekecewaanya setiap kali karena bila tak ada kabar, dia akan selalu mengira akan mendapat kejutan. Tapi? Suara pintu pagar digeser itu membuatnya gila!
Namun kali ini mereka pasti bertemu. Laki-laki itu telah meneleponnya dari kereta tadi malam. Dan masing-masing telah berjanji akan mengatakan sesuatu. Tidak di rumah, tapi di kafe mahal tempat kali pertama mereka kencan dulu. Malam itu dia baru saja mendapat pinjaman uang untuk membayar sewa rumah, dan menghabiskan sebagian untuk membayar pesanan. Kali ini dia akan menggunakan upah terjemahannya untuk kembali ke kafe itu. Tapi entah kenapa dia membeli kikil dan memasaknya hari ini, dan entah kenapa dia masih saja terganggu dengan suara motor dan suara pintu pagar digeser itu.
Tiba-tiba sudah pukul lima. Jantungnya berdegup cepat, semangatnya naik drastis. Dia mandi dengan lulur dan mengenakan gaun yang dijahitnya sendiri dengan tangan. Gaun itu... Dia telah menyelesaikannya tiga minggu lalu, menyempurnakannnya setiap hari selama seminggu, dan telah menggantungnya selama dua minggu. Dia berencana mengenakannya untuk pergi menonton Festival Film Asia bersama kekasihnya sehingga menyimpan kegembiraan itu sampai kekasihnya datang. Tapi gaun itu tetap tergantung di balik pintu kamar, sampai festival habis, sampai kegembiraan itu terasa pahit. Dibikin pahit oleh kerinduan yang tak sabar. Tak pernah sabar.
Dia mencoba memaafkan ketidaksabarannya sendiri dan memusatkan kerinduan pada puncaknya. Terdengar suara motor, lalu jeda, lalu terdengar suara pintu pagar digeser. Segera ingatan-ingatan berkumpul dan menyerbunya.
Dia teringat jalan-jalan basah pada dini-dini hari, saat dia dan kekasihnya mengenakan jaket tebal dan syal dan berjalan kaki mencari warung makan. Laki-laki itu memegang payung dan berjalan di sisi kanannya sambil merangkul bahunya dengan tangan kirinya. Dini-dini hari itu, sesekali mereka menghentikan langkah karena perut dan pinggangnya terasa sakit dan laki-laki itu bertanya kepadanya dengan lembut namun galau: sakit? Kemudian mereka kembali berjalan di bawah gerimis, mencari sesuatu yang belum pasti mereka temukan.
Dia teringat suatu senja di swalayan saat kekasihnya menatapnya dari dekat pintu keluar ketika dia membayar sayuran dan pakaian dalam pria di kassa. Tatapan yang lurus dan tajam; tak ada jalan untuk berbelok, tak ada senjata apa pun untuk melawan ketajaman itu. Tatapan itu membakarnya bagai tatapan pertama yang membuatnya jatuh cinta pada laki-laki itu.
Dia ingat sebuah stasiun tempat mereka berkali-kali saling melambai tanpa menggerakkan sedikit pun tangan mereka. Dia teringat tempat tidur yang dingin di kamarnya, yang enggan sekali dia naiki sendirian pada malam-malam penantiannya. Dia teringat semuanya, tapi dia telah memutuskan untuk tidak berlarut-larut dengan semua itu lagi. Dia sudah memutuskan: untuk berdandan sempurna dan menemui kekasihnya di kafe, dan mengatakan sesuatu yang telah dijanjikannya. Tapi...ah, suara motor dan pintu pagar digeser itu lagi!
Laki-laki itu sampai di kafe terlebih dahulu, mengenakan kemeja yang dibelikan ibunya dan memandang kekasihnya penuh kekaguman ketika dia datang. Akhirnya: pertemuan! Seperti biasa, mereka hanya berjabat tangan pada pertemuan yang pertama: belum kuat melepaskan ledakan rasa kangen.
Laki-laki itu memulai percakapan dengan mengutarakan kekagumannya. Sedang kekasihnya memulai dengan mengeluh ketika mendengar suara motor lewat di sekitar kafe, mengingatkan kepada laki-laki itu pada kisah suara motor dan pintu pagar digeser yang lusinan kali dia dengar. Ya, jika kamu tidak pernah tidur dan pergi dari rumah, kamu akan tahu berapa lusin kali suara motor dan pintu pagar digeser terdengar selama sehari semalam. Dan seperti biasa, dengan nuansa bangga karena amat dirindu-rindukan, laki-laki itu meminta maaf atas penundaan-penundaan yang telah dilakukannya.
"Seperti biasa, cintaku memaafkan semua yang kamu lakukan padaku."
Laki-laki itu tersenyum. Kekasihnya menatapnya.
"Tapi kukatakan: aku sudah tidak tahan lagi."
Laki-laki itu menatap kekasihnya yang baru saja berbicara dengan sikap paling dingin yang pernah dilakukannya; mencari-cari cinta di matanya tapi tidak ketemu; tiba-tiba merasa seakan kekasihnya atau dirinya sendiri telah menggunakan mata yang salah selama ini.
"Bukankah kamu sudah memaafkan semua kejahatanku? Kamu tidak pernah mengungkitnya lagi, atau membicarakannya? Dan Darlin....kamu sudah berjanji tidak akan kembali kepadanya kan?"
"Bukan karena semua itu. Sungguh. Kamu tahu, sekarang, jika ada alasan yang membuat kita harus berpisah, itu hanyalah..."?
"Apa, Sayang? Bilang."
"Suara motor dan pintu pagar digeser itu..."
Oh! Laki-laki itu mengharapkan dia berteriak-teriak memakinya sambil menangis, membeberkan semua kejahatannya dalam hubungan ini. Ia mengharapkan perempuan itu melemparkan gelas ke mukanya dan membanting meja sampai semua orang memperhatikan mereka. Ia mengharapkan kekasihnya merengek dengan kasar: aku mencintaimu... coba mengerti aku sedikit, bajingan! Tapi hanya penampilan yang anggun dan kata-kata ini yang keluar dari mulut perempuannya:
"Sekarang giliranmu."
"Tidak mungkinkah kita memulainya dari awal lagi?"
Dia menggeleng sedikit saja sambil mengedipkan kedua matanya pelahan.
"Sekarang giliranmu."
Laki-laki itu menyedot napas lewat hidungnya kuat-kuat, menimbulkan suara seakan ada cairan di dalamnya. Tetapi wajahnya tidak apa-apa, juga matanya: tetap kaku, bahkan ketika mulai berbicara kembali.
"Aku datang untuk mengatakan: aku sudah siap mengambil risiko, dan mengajakmu menikah."
Mereka bertatapan, masing-masing dengan ketegaran yang pucat. Lalu perempuan itu menundukkan wajahnya. Dia menangis, akhirnya, terisak-isak. Dia menangis, karena tak tahu laki-laki itu baru saja berbohong.
Begitulah, mereka berpisah. Malam jatuh. Kesedihan yang hebat naik ke wajah laki-laki itu sepanjang malam, sublim oleh cahaya bulan, menjadi kaca-kaca di matanya. Namun kesedihan itu terlalu berat, dan akhirnya jatuh mengikuti perilaku malam, membasahi jalan-jalan: gu gu gu... Tak tahu kenapa. Pada saat itulah aku bertemu dengannya. Aku ingin ia menatapku, tapi aku takut ia akan mengatakan yang sebenarnya: sebuah keputusan.
Dina Oktaviani
http://entertainmen.suaramerdeka.com/
DIA sudah tidak tahan lagi. Beratnya sudah turun sebanyak dua belas kilo selama sepuluh bulan ini. Tapi dia masih harus menahan diri sampai pertemuan itu tiba. Baru pukul empat. Terdengar suara motor berhenti di depan rumahnya. Dia berdebar-debar. Tapi lalu terdengar suara pintu pagar digeser; pintu pagar milik tetangga rumahnya tidak berpagar, dan dia harus kembali bekerja.
Siang tadi dia pergi ke toko daging dan membeli kikil sapi. Uangnya masih banyak, upah terjemahan yang turun kemarin karena dia memaksa pihak penerbit menurunkannya meski pekerjaannya belum selesai diedit, tapi dia hanya membeli kikil. Dan sepanjang perjalanannya, semua orang menoleh dan menyapanya hanya karena rambutnya yang dicat merah, dan bukan karena rok pendek yang memperlihatkan kakinya yang cokelat.
Di meja dapur, cabe hijau, bawang putih dan bawang merah telah selesai dipetik dan dikupas. Dia mengiris bawang merah terlebih dahulu dan menggesernya sehingga berada di deretan paling depan di atas talenan. Air matanya deras, dia dapat melihatnya di cermin yang menempel di dinding dapur ke arah mana dia menghadap. Dan dia mengeluh karena, meski orang Sumatera, dia tidak bisa memasak rendang. Padahal dia hanya mau makan daging sapi yang direndang, terutama bila dibuat oleh ibunya sendiri yang kini entah di mana.
Bawang merah telah selesai diiris. Dia menatap cermin sekali lagi, hening dan kaku, seolah mencoba memahami arti dari wajahnya yang sembab, seolah air mata itu muncul dari perasaan tertentu dan tak ada hubungannya dengan bawang merah. Kemudian dia mengelap air mata dengan lengan kaus katunnya, mengiris bawang putih dan cabe hijau lalu beranjak menyalakan kompor.
Ketika mulai menumis, tiba-tiba dia merasa jengkel karena suara yang muncul dari penggorengan tidak dapat menimbulkan kesan akan apa pun, dan aromanya tidak bisa menggoda kekasihnya untuk datang tiba-tiba. Kekasihnya yang sibuk dengan keluarga besar dan tradisi-tradisinya. Kekasihnya yang pemikir, yang tergila-gila akan semangat klasik dalam belajar, yang menurutnya terobsesi pada gaya hidup kuno. Dia selalu berdebar-debar dan lunglai menatap layar ponselnya, tetapi laki-laki itu lebih senang menulis surat yang selama sepuluh bulan mereka berpacaran baru dua kali dikirimkan tukang pos kepadanya.
Selama sepuluh bulan itu, sudah sembilan kali mereka terpisah. Dan pada bulan-bulan terakhir, setiap perpisahan memakan waktu sampai satu bulan. Dan dalam satu bulan itu, hanya beberapa hari saja dia menerima pesan atau telepon dari laki-laki itu. Begitulah, dia mengharapkan komunikasi yang rutin dan tanpa hambatan, tapi kekasihnya lebih gemar memberi kejutan yang alamiah.
Di tengah perasaan jengkel itu dia teringat pada jahe dan menambahkannya pada tumisan setelah menumbuknya buru-buru. Setelah tumisan bumbu, kikil dan kecap asin menyatu, dia baru sadar masakan itu tidak akan habis dimakan selama tiga hari, mengingat dirinya cuma sendirian dan tak ada kawan yang bakal datang.
Nasi telah tanak secara elektrik. Tak ada orang lain di meja makan. Hari masih terang pula. Dia masih malas makan, dan duduk termenung menatap cermin. Kosong. Hanya terdengar suara motor behenti di depan rumahnya. Dia memasang telinga hati-hati dengan hati berdebar-debar. Hening. Tapi lalu terdengar suara pintu pagar digeser. Dia memaki dirinya sendiri. Konyol! Sudah berulang-ulang laki-laki itu memutuskan hubungan dengan alasan yang hebat-hebat: pengkhianatan, perbedaan dunia dan tradisi, sakit hati yang mendalam. Semuanya melewati pertengkaran-pertengkaran yang juga hebat. Tapi mereka selalu kembali bersama.
Dia merasa sudah tidak tahan lagi. Waktu bertindak begitu cepat dan kasar terhadap hubungan mereka, tapi begitu lambat dan dungu terhadap penantiannya. Oh, kerinduan! Dia sudah tak punya apa-apa lagi selain kerinduan. Tapi dia merasa harus melepaskan juga yang satu itu.
Bulan ini, sudah empat kali laki-laki itu berjanji untuk datang. Dan setiap kali batal, tak ada kabar yang datang dengan segera. Dan dia sudah mengutarakan kekecewaanya setiap kali karena bila tak ada kabar, dia akan selalu mengira akan mendapat kejutan. Tapi? Suara pintu pagar digeser itu membuatnya gila!
Namun kali ini mereka pasti bertemu. Laki-laki itu telah meneleponnya dari kereta tadi malam. Dan masing-masing telah berjanji akan mengatakan sesuatu. Tidak di rumah, tapi di kafe mahal tempat kali pertama mereka kencan dulu. Malam itu dia baru saja mendapat pinjaman uang untuk membayar sewa rumah, dan menghabiskan sebagian untuk membayar pesanan. Kali ini dia akan menggunakan upah terjemahannya untuk kembali ke kafe itu. Tapi entah kenapa dia membeli kikil dan memasaknya hari ini, dan entah kenapa dia masih saja terganggu dengan suara motor dan suara pintu pagar digeser itu.
Tiba-tiba sudah pukul lima. Jantungnya berdegup cepat, semangatnya naik drastis. Dia mandi dengan lulur dan mengenakan gaun yang dijahitnya sendiri dengan tangan. Gaun itu... Dia telah menyelesaikannya tiga minggu lalu, menyempurnakannnya setiap hari selama seminggu, dan telah menggantungnya selama dua minggu. Dia berencana mengenakannya untuk pergi menonton Festival Film Asia bersama kekasihnya sehingga menyimpan kegembiraan itu sampai kekasihnya datang. Tapi gaun itu tetap tergantung di balik pintu kamar, sampai festival habis, sampai kegembiraan itu terasa pahit. Dibikin pahit oleh kerinduan yang tak sabar. Tak pernah sabar.
Dia mencoba memaafkan ketidaksabarannya sendiri dan memusatkan kerinduan pada puncaknya. Terdengar suara motor, lalu jeda, lalu terdengar suara pintu pagar digeser. Segera ingatan-ingatan berkumpul dan menyerbunya.
Dia teringat jalan-jalan basah pada dini-dini hari, saat dia dan kekasihnya mengenakan jaket tebal dan syal dan berjalan kaki mencari warung makan. Laki-laki itu memegang payung dan berjalan di sisi kanannya sambil merangkul bahunya dengan tangan kirinya. Dini-dini hari itu, sesekali mereka menghentikan langkah karena perut dan pinggangnya terasa sakit dan laki-laki itu bertanya kepadanya dengan lembut namun galau: sakit? Kemudian mereka kembali berjalan di bawah gerimis, mencari sesuatu yang belum pasti mereka temukan.
Dia teringat suatu senja di swalayan saat kekasihnya menatapnya dari dekat pintu keluar ketika dia membayar sayuran dan pakaian dalam pria di kassa. Tatapan yang lurus dan tajam; tak ada jalan untuk berbelok, tak ada senjata apa pun untuk melawan ketajaman itu. Tatapan itu membakarnya bagai tatapan pertama yang membuatnya jatuh cinta pada laki-laki itu.
Dia ingat sebuah stasiun tempat mereka berkali-kali saling melambai tanpa menggerakkan sedikit pun tangan mereka. Dia teringat tempat tidur yang dingin di kamarnya, yang enggan sekali dia naiki sendirian pada malam-malam penantiannya. Dia teringat semuanya, tapi dia telah memutuskan untuk tidak berlarut-larut dengan semua itu lagi. Dia sudah memutuskan: untuk berdandan sempurna dan menemui kekasihnya di kafe, dan mengatakan sesuatu yang telah dijanjikannya. Tapi...ah, suara motor dan pintu pagar digeser itu lagi!
Laki-laki itu sampai di kafe terlebih dahulu, mengenakan kemeja yang dibelikan ibunya dan memandang kekasihnya penuh kekaguman ketika dia datang. Akhirnya: pertemuan! Seperti biasa, mereka hanya berjabat tangan pada pertemuan yang pertama: belum kuat melepaskan ledakan rasa kangen.
Laki-laki itu memulai percakapan dengan mengutarakan kekagumannya. Sedang kekasihnya memulai dengan mengeluh ketika mendengar suara motor lewat di sekitar kafe, mengingatkan kepada laki-laki itu pada kisah suara motor dan pintu pagar digeser yang lusinan kali dia dengar. Ya, jika kamu tidak pernah tidur dan pergi dari rumah, kamu akan tahu berapa lusin kali suara motor dan pintu pagar digeser terdengar selama sehari semalam. Dan seperti biasa, dengan nuansa bangga karena amat dirindu-rindukan, laki-laki itu meminta maaf atas penundaan-penundaan yang telah dilakukannya.
"Seperti biasa, cintaku memaafkan semua yang kamu lakukan padaku."
Laki-laki itu tersenyum. Kekasihnya menatapnya.
"Tapi kukatakan: aku sudah tidak tahan lagi."
Laki-laki itu menatap kekasihnya yang baru saja berbicara dengan sikap paling dingin yang pernah dilakukannya; mencari-cari cinta di matanya tapi tidak ketemu; tiba-tiba merasa seakan kekasihnya atau dirinya sendiri telah menggunakan mata yang salah selama ini.
"Bukankah kamu sudah memaafkan semua kejahatanku? Kamu tidak pernah mengungkitnya lagi, atau membicarakannya? Dan Darlin....kamu sudah berjanji tidak akan kembali kepadanya kan?"
"Bukan karena semua itu. Sungguh. Kamu tahu, sekarang, jika ada alasan yang membuat kita harus berpisah, itu hanyalah..."?
"Apa, Sayang? Bilang."
"Suara motor dan pintu pagar digeser itu..."
Oh! Laki-laki itu mengharapkan dia berteriak-teriak memakinya sambil menangis, membeberkan semua kejahatannya dalam hubungan ini. Ia mengharapkan perempuan itu melemparkan gelas ke mukanya dan membanting meja sampai semua orang memperhatikan mereka. Ia mengharapkan kekasihnya merengek dengan kasar: aku mencintaimu... coba mengerti aku sedikit, bajingan! Tapi hanya penampilan yang anggun dan kata-kata ini yang keluar dari mulut perempuannya:
"Sekarang giliranmu."
"Tidak mungkinkah kita memulainya dari awal lagi?"
Dia menggeleng sedikit saja sambil mengedipkan kedua matanya pelahan.
"Sekarang giliranmu."
Laki-laki itu menyedot napas lewat hidungnya kuat-kuat, menimbulkan suara seakan ada cairan di dalamnya. Tetapi wajahnya tidak apa-apa, juga matanya: tetap kaku, bahkan ketika mulai berbicara kembali.
"Aku datang untuk mengatakan: aku sudah siap mengambil risiko, dan mengajakmu menikah."
Mereka bertatapan, masing-masing dengan ketegaran yang pucat. Lalu perempuan itu menundukkan wajahnya. Dia menangis, akhirnya, terisak-isak. Dia menangis, karena tak tahu laki-laki itu baru saja berbohong.
Begitulah, mereka berpisah. Malam jatuh. Kesedihan yang hebat naik ke wajah laki-laki itu sepanjang malam, sublim oleh cahaya bulan, menjadi kaca-kaca di matanya. Namun kesedihan itu terlalu berat, dan akhirnya jatuh mengikuti perilaku malam, membasahi jalan-jalan: gu gu gu... Tak tahu kenapa. Pada saat itulah aku bertemu dengannya. Aku ingin ia menatapku, tapi aku takut ia akan mengatakan yang sebenarnya: sebuah keputusan.
SUNRISE
SUNRISE
AS Sumbawi
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
“Yap. Selesai sudah.” Kucoba mengangkat tas ransel yang memuat segala kebutuhan. Lumayan berat. Dari luar kudengar Bondan memanggil. Aku keluar.
“Bagaimana? Sudah beres?” katanya.
“Sip. Beres.”
“Ayo, sudah ditunggu yang lain!” katanya memberi isyarat menunjuk ke jalan. Di sana kulihat sebuah mobil van parkir.
“Ya, sebentar.” Aku kemudian mengambil tas ransel di kamar. Sebentar kami sudah berjalan menuju mobil.
Siang ini langit cerah. Matahari nyalang bersinar. Udara terasa gerah membuat tubuhku segera berkeringat. Dari kaca mobil yang terbuka aku melihat beberapa orang berada di dalamnya.
Kemarin ketika aku berada di kostnya, Bondan mengatakan dirinya akan mendaki gunung Lawu bersama teman-temannya.
“Kebetulan kami masih berlima. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Kalau kau ikut berarti pas tiga pasang. Bagaimana, mau tidak?” Bondan tertawa sejenak, kemudian menghisap rokoknya.
“Ya, aku ikut,” kataku. Dalam kepalaku, acara mendaki ini akan memunculkan suasana yang baru. Refreshing bagiku. Ya, beberapa hari ini pikiranku bleng. Aku tak bisa mengerjakan apa-apa yang sudah menjadi pekerjaan sehari-hari. Kuliah? malas. Menulis? pikiran buntu. Mau membaca? tiba-tiba langsung tertidur. Main game? aku tak begitu suka. Sepanjang hari aku hanya duduk dan mataku terus menerawang. Hanya kehabisan rokok yang membuat aku tersentak. Aku kemudian menyulut sebatang lagi. Dan lagi. Lantas pergi ke warung membeli lagi. Dan lagi. Sementara asbak sudah menyerah tak mampu memuat lagi putung-putungnya. Akhirnya berserakan di lantai kamar. Begitu juga dengan sepai-sepai abunya berjatuhan ke mana-mana.
Aku juga sudah mencoba pergi ke mana-mana. Ke kost teman-teman, ke bioskop, ke alun-alun kota, ke toko buku, ke mall. Namun, setiap berada di tempat-tempat tersebut, sebentar kemudian aku sudah merasa bosan. Kemudian pindah ke tempat lain. Akan tetapi, rasa bosan segera mendera lagi. Terus berulang-ulang. Begitu juga dengan ketika aku berada di kost Bondan. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar, aku lantas pamit pergi.
“Jangan lupa, besok habis Dzuhur,” katanya.
“Ya,” kataku kemudian pergi.
Sepanjang perjalanan pulang ke kost, kurasakan rencana mendaki gunung Lawu menguasai pikiranku. Aku cukup senang. Ya, paling tidak aku sudah punya rencana menghabiskan waktu di hari besok. Dua hari. Sabtu dan minggu. Di samping itu, apa yang dikatakan Bondan tentang kami yang menjadi tiga pasang itu, tiga laki-laki tiga perempuan pun memberi semangat tersendiri.
Sebelumnya aku dan beberapa orang teman sudah pernah mendaki gunung Lawu. Sayang, dini hari itu, saat kami berada di pos terakhir sebelum mencapai puncak, kami terserang hujan deras disertai angin yang cukup kencang. Memang saat pagi tiba dan arloji menunjukkan sekitar pukul delapan, langit masih mendung, matahari bersinar lebih baik daripada purnama di malam hari, dan angin kencang sudah reda. Namun, hujan masih mengguyur deras sehingga kami kemudian sepakat menggagalkan perjalanan ke puncak. Kami memilih turun daripada kedinginan di tengah gunung dengan baju-baju yang basah. Saat itu aku semester 2. Sejak saat itu, aku belum pernah mendaki gunung lagi. Dan kini, aku sudah semester 6.
*
Aku masuk mobil dan berkenalan dengan mereka satupersatu. Tiga perempuan itu masing-masing bernama Shofa, Diah, dan Meyvita. Sementara yang laki-laki bernama Han. Aku berkenalan dengannya di luar mobil. Sebentar kemudian mobil mulai melaju.
*
Sepanjang perjalanan kami bercakap-cakap. Aku sering menjadi pendengar. Maklum seperti itu. Aku masih baru di lingkungan mereka. Meskipun aku dan Bondan sendiri sudah akrab sejak kelas 1 SMU. Namun, aku cukup senang karena mereka cantik-cantik. Dan dalam diam itulah aku diam-diam memperhatikan ketiga perempuan tersebut. Kemudian dengan diam-diam pula muncul dalam pandanganku bahwa Diah yang paling menarik di antara ketiganya. Kulitnya yang putih bersinar, rambut hitamnya yang panjang dan halus, bulu matanya yang melengkung, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah dan sedikit tebal, serta dagunya yang lancip terpadu rapi menampakkan sebuah kecantikan yang pas menurut seleraku. Namun sayang, Diah duduk di samping Han yang memegang setir.
*
Setelah melewati Solo, percakapan di mobil mereda digantikan dengan percakapan dua orang-dua orang sesuai dengan tempat duduknya. Bondan dengan Meyvita. Aku dengan Shofa. Sementara Diah, tentu saja dengan Han.
Aku senang bercakap-cakap dengan Shofa. Sepertinya segala sesuatu diketahui olehnya. Di samping itu, suaranya yang merdu terasa begitu enak masuk ke telingaku. Shofa juga tak kalah cantik dengan Meyvita ataupun Diah. Dan barangkali karena kerap bertatapan mata, dia bertambah cantik di mataku. Meskipun begitu, pesona Diah tak tertandingi. Tak bisa kubendung lagi. Diam-diam aku kerap mencuri-curi pandang memperhatikan dirinya.
*
Sebentar lagi kami mencapai Tawang Mangu. Di depan mata kami, gunung Lawu menjulang dengan pesonanya yang terpadu dari keindahan dan kengerian yang terkandung di dalamnya. Dulu, ketika kami mendaki gunung Lawu untuk pertama kali dan gagal mencapai puncak, sesampai di bawah aku mendengar kabar bahwa sudah lima hari empat orang dinyatakan hilang dan dua orang ditemukan meninggal. Memang, saat itu musim penghujan dengan curah hujan yang cukup tinggi dan disertai angin kencang. Membentuk badai. Dan kini, entah, sudah berapa banyak nyawa tercabut selama gunung Lawu dibuka untuk pendakian. Namun begitu, masih banyak juga yang ingin mendakinya. Termasuk kami saat ini.
“O, indah sekali,” kata Diah.
“Dan besok pagi kita ada di atas sana,” kata Shofa tersenyum ke arahku.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Ketika itu kami hendak mendaki gunung Lawu untuk pertama kali. Pada saat seperti ini kudengar salah seorang teman berkata meremehkan.
“Ah, cuma segini tingginya?! Kecil,” katanya tentang gunung Lawu. Entahlah, sampai sekarang aku menganggap bahwa kegagalan kami saat itu disebabkan oleh rasa sombong yang ada pada diri kami. Meremehkan ciptaan Tuhan. Maka seketika itu juga, aku berdoa semoga kali ini kami berhasil sampai di puncak. Ya, aku tak ingin gagal lagi.
Arloji menunjukkan sekitar pukul empat sore ketika kami sampai di Tawang Mangu. Kami kemudian berhenti di depan sebuah rumah makan. Istirahat, makan, shalat, dan lain-lain. Satu jam kemudian, kami melanjutkan perjalanan ke Cemoro Sewu.
*
Malam hari setelah sholat Isya’, kami mengecek segala peralatan. Hawa begitu dingin dan terasa menusuk tulang. Kami pun memakai jaket, meskipun aku yakin bahwa sebelum mencapai pos pertama nanti kami sudah berkeringat.
Setelah melapor ke pos penjaga, kami berkumpul kembali. Berdoa bersama. Semoga selamat sampai di puncak. Dan selamat pula sampai di bawah. Kemudian kami memulai langkah memasuki gerbang. Aku berjalan di depan. Kemudian Shofa, Diah, Han, Meyvita, dan Bondan paling belakang.
*
Sepanjang perjalanan dari pintu gerbang ke pos pertama, kemudian dari post pertama ke pos kedua, lantas dari pos kedua ke pos ketiga, suasana hutan masih terasa sama—langit cerah. Suara binatang malam saling bersahut-sahutan dan kunang-kunang yang bersinar kekuningan terbang di sekitar kami—kecuali rute-nya yang tambah menanjak dan pohon-pohon yang bertambah padat. Di pos-pos itulah kami berhenti. Istirahat sejenak, kemudian meneruskan perjalanan. Dan di pos pertama, kami sudah menanggalkan jaket kami karena tubuh sudah terasa hangat. Sepanjang perjalanan itu pula, kami dilewati beberapa rombongan pendaki lain.
*
Di tengah perjalanan menuju pos keempat, terakhir sebelum puncak, tiba-tiba keadaan cuaca berubah. Langit menjadi gelap. Di sekitar tak terdengar lagi suara binatang malam. Dan tak jauh di atas kepala kami, angin bertiup terdengar bagai gemuruh. Terasa mencekam. Dalam hati ada yang terasa tidak enak. Khawatir sesuatu akan terjadi. Sebentar kemudian hujan mengguyur deras. Kemudian di bawah sebatang pohon kami berteduh sejenak. Memakai jaket dan mantel dan mulai berjalan kembali. Dengan disinari cahaya senter, kulihat arloji menunjukkan pukul setengah dua dini hari.
Setengah jam berjalan, dari arah depan kemudian kulihat cahaya senter diarahkan ke arah kami disertai teriakan.
“Pos empat. Pos empat. Selamat datang.” Sebentar kami sudah sampai di sana.
Setelah bersalaman dan berbasa-basi dengan rombongan lain yang terdiri empat orang laki-laki, sebentar kemudian kami istirahat. Aku cukup bersyukur dengan hal itu. Ya, lebih baik di sini daripada kehujanan di jalan setapak yang cukup terjal dan licin. Di samping itu, tubuh kami pun terasa letih. Akan tetapi setelah beberapa menit beristirahat, aku merasakan sesuatu yang buruk. Ya, pos empat ini menghadap ke tempat yang terbuka. Dari arah depan angin bertiup cukup kencang disertai hujan menghempas tubuh kami.
Tak lama kemudian, aku melihat semua yang ada di situ rebah dengan melipat tubuhnya untuk menahan dingin. Aku bergabung bersama mereka. Barangkali karena dingin yang sangat di samping rasa letih, tanpa sengaja sebentar kemudian kami sudah berpelukan dengan berselimut mantel. Dan aku enggan untuk mencoba melihat siapa yang kupeluk erat waktu itu. Dalam hati aku tak putus-putus berdoa semoga badai ini cepat-cepat reda. Semoga kami selamat dan tidak mati kedinginan di sini. Sebenarnya aku ingin bangun dan menyalakan api membakar parafin. Akan tetapi, untuk membuka sarung tangan saja aku merasa sangat kesulitan.
Entah, sudah berapa lama? Dan selama itu, aku tak yakin bahwa kami bisa tidur. Akan tetapi, berada di antara keadaan tidur dan sadar. Tiba-tiba aku mendengar suara lirih meluncur di depanku. Sangat dekat. Terasa menempel. Suara seorang perempuan. Aku menduga ia adalah Diah. Ya, aku yakin itu.
“Ayah, ibu, kakak dan adikku. Kalau aku mati di sini, relakan aku, ya. Aku ke sini untuk melihat keindahan ciptaan-Nya. Maafkan aku tak minta izin kalian,” begitu katanya. Dalam hati aku ingin tertawa. Namun, rasa dingin tak mengizinkan hal itu.
Segera kueratkan pelukanku di tubuhnya. Aku tak ingin ia kedinginan dan mati membeku. Dia masih muda dan cantik. Hatiku tertawan olehnya.
Memang, selama ini aku pernah berpacaran dua kali. Namun, aku tak pernah mengalami keadaan yang begitu dekat seperti ini. Wajah kami saling menempel seperti ini. Kalau saja saat ini bukan karena rasa dingin dan letih yang sangat, barangkali akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di antara aku dan Diah. Namun, tidak. Sekali lagi tidak. Libidoku tetap berada di level bawah. Di samping itu, untuk kencing saja aku sudah tak punya keinginan untuk menghindar mencari tempat. Akhirnya kualirkan saja membasahi celanaku yang sudah basah. Dan terasa hangat di paha.
*
Entah, berapa lama berselang. Kudengar beberapa orang berteriak membangunkan kami. Saat terbangun aku melihat langit pucat. Matahari bersinar lebih baik daripada purnama di malam hari. Angin kencang sudah reda. Namun, hujan masih mengguyur. Kulihat arloji menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit. Kemudian kuperhatikan mereka satupersatu. Kusut, tentu saja. Ketika aku dan Diah bertatapan mata, kami saling melempar senyum. Ah, masih saja ia tampak menawan, pikirku. Sebentar kemudian, parafin telah terbakar dan kami duduk menjerang tangan.
Karena hujan belum juga reda, dalam kesempatan itu kami kemudian bersepakat menggagalkan perjalanan ke puncak. Untuk mengobati rasa kecewa, kami akhirnya pergi melihat Grojogan Sewu. Dan aku sangat gembira karena di Grojogan Sewu kami selalu berdekatan. Aku dan Diah.
*
Sore itu Shofa meneleponku. Dalam kesempatan itu, ia tak bosan-bosannya menceritakan pengalaman mendaki gunung Lawu kemarin. Ia sangat senang bisa mencapai puncak. Tentu saja, aku tak percaya. Bukankah kami turun setelah diserang badai? Namun, ia terus-menerus meyakinkan bahwa kami pagi itu sampai di puncak. Dan sebelum menutup telepon, tiba-tiba ia mengatakan apakah aku tak ingin pergi ke kostnya? Aku kemudian minta maaf karena masih terasa letih.
Setelah menutup telepon, aku pergi ke kost Bondan. Sepanjang perjalanan aku masih belum percaya tentang apa yang dikatakan oleh Shofa itu.
*
Aku tersentak. Bondan menunjukkan kepadaku foto-foto kami ketika berada di puncak Lawu. Aku tak bisa mengelak lagi.
“Kau begitu mesra dengannya,” kata Bondan ketika aku memperhatikan foto aku dan Shofa sedang berangkulan dengan background Grojogan Sewu.
Seperti tersadar, lemaslah tubuhku. Ternyata, beberapa hari ini pikiranku tidak hanya bleng. Tapi, sudah menciptakan halunisasi. Memang, ini bukan pertama kali kualami. Namun, aku kecewa. Kenapa hal itu terjadi saat moment penting itu muncul? O, Sunrise yang begitu indah. Lagi-lagi aku gagal menikmati keindahannya. Dan Shofa, apa yang telah terjadi dengannya? (*)
AS Sumbawi
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
“Yap. Selesai sudah.” Kucoba mengangkat tas ransel yang memuat segala kebutuhan. Lumayan berat. Dari luar kudengar Bondan memanggil. Aku keluar.
“Bagaimana? Sudah beres?” katanya.
“Sip. Beres.”
“Ayo, sudah ditunggu yang lain!” katanya memberi isyarat menunjuk ke jalan. Di sana kulihat sebuah mobil van parkir.
“Ya, sebentar.” Aku kemudian mengambil tas ransel di kamar. Sebentar kami sudah berjalan menuju mobil.
Siang ini langit cerah. Matahari nyalang bersinar. Udara terasa gerah membuat tubuhku segera berkeringat. Dari kaca mobil yang terbuka aku melihat beberapa orang berada di dalamnya.
Kemarin ketika aku berada di kostnya, Bondan mengatakan dirinya akan mendaki gunung Lawu bersama teman-temannya.
“Kebetulan kami masih berlima. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Kalau kau ikut berarti pas tiga pasang. Bagaimana, mau tidak?” Bondan tertawa sejenak, kemudian menghisap rokoknya.
“Ya, aku ikut,” kataku. Dalam kepalaku, acara mendaki ini akan memunculkan suasana yang baru. Refreshing bagiku. Ya, beberapa hari ini pikiranku bleng. Aku tak bisa mengerjakan apa-apa yang sudah menjadi pekerjaan sehari-hari. Kuliah? malas. Menulis? pikiran buntu. Mau membaca? tiba-tiba langsung tertidur. Main game? aku tak begitu suka. Sepanjang hari aku hanya duduk dan mataku terus menerawang. Hanya kehabisan rokok yang membuat aku tersentak. Aku kemudian menyulut sebatang lagi. Dan lagi. Lantas pergi ke warung membeli lagi. Dan lagi. Sementara asbak sudah menyerah tak mampu memuat lagi putung-putungnya. Akhirnya berserakan di lantai kamar. Begitu juga dengan sepai-sepai abunya berjatuhan ke mana-mana.
Aku juga sudah mencoba pergi ke mana-mana. Ke kost teman-teman, ke bioskop, ke alun-alun kota, ke toko buku, ke mall. Namun, setiap berada di tempat-tempat tersebut, sebentar kemudian aku sudah merasa bosan. Kemudian pindah ke tempat lain. Akan tetapi, rasa bosan segera mendera lagi. Terus berulang-ulang. Begitu juga dengan ketika aku berada di kost Bondan. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar, aku lantas pamit pergi.
“Jangan lupa, besok habis Dzuhur,” katanya.
“Ya,” kataku kemudian pergi.
Sepanjang perjalanan pulang ke kost, kurasakan rencana mendaki gunung Lawu menguasai pikiranku. Aku cukup senang. Ya, paling tidak aku sudah punya rencana menghabiskan waktu di hari besok. Dua hari. Sabtu dan minggu. Di samping itu, apa yang dikatakan Bondan tentang kami yang menjadi tiga pasang itu, tiga laki-laki tiga perempuan pun memberi semangat tersendiri.
Sebelumnya aku dan beberapa orang teman sudah pernah mendaki gunung Lawu. Sayang, dini hari itu, saat kami berada di pos terakhir sebelum mencapai puncak, kami terserang hujan deras disertai angin yang cukup kencang. Memang saat pagi tiba dan arloji menunjukkan sekitar pukul delapan, langit masih mendung, matahari bersinar lebih baik daripada purnama di malam hari, dan angin kencang sudah reda. Namun, hujan masih mengguyur deras sehingga kami kemudian sepakat menggagalkan perjalanan ke puncak. Kami memilih turun daripada kedinginan di tengah gunung dengan baju-baju yang basah. Saat itu aku semester 2. Sejak saat itu, aku belum pernah mendaki gunung lagi. Dan kini, aku sudah semester 6.
*
Aku masuk mobil dan berkenalan dengan mereka satupersatu. Tiga perempuan itu masing-masing bernama Shofa, Diah, dan Meyvita. Sementara yang laki-laki bernama Han. Aku berkenalan dengannya di luar mobil. Sebentar kemudian mobil mulai melaju.
*
Sepanjang perjalanan kami bercakap-cakap. Aku sering menjadi pendengar. Maklum seperti itu. Aku masih baru di lingkungan mereka. Meskipun aku dan Bondan sendiri sudah akrab sejak kelas 1 SMU. Namun, aku cukup senang karena mereka cantik-cantik. Dan dalam diam itulah aku diam-diam memperhatikan ketiga perempuan tersebut. Kemudian dengan diam-diam pula muncul dalam pandanganku bahwa Diah yang paling menarik di antara ketiganya. Kulitnya yang putih bersinar, rambut hitamnya yang panjang dan halus, bulu matanya yang melengkung, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah dan sedikit tebal, serta dagunya yang lancip terpadu rapi menampakkan sebuah kecantikan yang pas menurut seleraku. Namun sayang, Diah duduk di samping Han yang memegang setir.
*
Setelah melewati Solo, percakapan di mobil mereda digantikan dengan percakapan dua orang-dua orang sesuai dengan tempat duduknya. Bondan dengan Meyvita. Aku dengan Shofa. Sementara Diah, tentu saja dengan Han.
Aku senang bercakap-cakap dengan Shofa. Sepertinya segala sesuatu diketahui olehnya. Di samping itu, suaranya yang merdu terasa begitu enak masuk ke telingaku. Shofa juga tak kalah cantik dengan Meyvita ataupun Diah. Dan barangkali karena kerap bertatapan mata, dia bertambah cantik di mataku. Meskipun begitu, pesona Diah tak tertandingi. Tak bisa kubendung lagi. Diam-diam aku kerap mencuri-curi pandang memperhatikan dirinya.
*
Sebentar lagi kami mencapai Tawang Mangu. Di depan mata kami, gunung Lawu menjulang dengan pesonanya yang terpadu dari keindahan dan kengerian yang terkandung di dalamnya. Dulu, ketika kami mendaki gunung Lawu untuk pertama kali dan gagal mencapai puncak, sesampai di bawah aku mendengar kabar bahwa sudah lima hari empat orang dinyatakan hilang dan dua orang ditemukan meninggal. Memang, saat itu musim penghujan dengan curah hujan yang cukup tinggi dan disertai angin kencang. Membentuk badai. Dan kini, entah, sudah berapa banyak nyawa tercabut selama gunung Lawu dibuka untuk pendakian. Namun begitu, masih banyak juga yang ingin mendakinya. Termasuk kami saat ini.
“O, indah sekali,” kata Diah.
“Dan besok pagi kita ada di atas sana,” kata Shofa tersenyum ke arahku.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Ketika itu kami hendak mendaki gunung Lawu untuk pertama kali. Pada saat seperti ini kudengar salah seorang teman berkata meremehkan.
“Ah, cuma segini tingginya?! Kecil,” katanya tentang gunung Lawu. Entahlah, sampai sekarang aku menganggap bahwa kegagalan kami saat itu disebabkan oleh rasa sombong yang ada pada diri kami. Meremehkan ciptaan Tuhan. Maka seketika itu juga, aku berdoa semoga kali ini kami berhasil sampai di puncak. Ya, aku tak ingin gagal lagi.
Arloji menunjukkan sekitar pukul empat sore ketika kami sampai di Tawang Mangu. Kami kemudian berhenti di depan sebuah rumah makan. Istirahat, makan, shalat, dan lain-lain. Satu jam kemudian, kami melanjutkan perjalanan ke Cemoro Sewu.
*
Malam hari setelah sholat Isya’, kami mengecek segala peralatan. Hawa begitu dingin dan terasa menusuk tulang. Kami pun memakai jaket, meskipun aku yakin bahwa sebelum mencapai pos pertama nanti kami sudah berkeringat.
Setelah melapor ke pos penjaga, kami berkumpul kembali. Berdoa bersama. Semoga selamat sampai di puncak. Dan selamat pula sampai di bawah. Kemudian kami memulai langkah memasuki gerbang. Aku berjalan di depan. Kemudian Shofa, Diah, Han, Meyvita, dan Bondan paling belakang.
*
Sepanjang perjalanan dari pintu gerbang ke pos pertama, kemudian dari post pertama ke pos kedua, lantas dari pos kedua ke pos ketiga, suasana hutan masih terasa sama—langit cerah. Suara binatang malam saling bersahut-sahutan dan kunang-kunang yang bersinar kekuningan terbang di sekitar kami—kecuali rute-nya yang tambah menanjak dan pohon-pohon yang bertambah padat. Di pos-pos itulah kami berhenti. Istirahat sejenak, kemudian meneruskan perjalanan. Dan di pos pertama, kami sudah menanggalkan jaket kami karena tubuh sudah terasa hangat. Sepanjang perjalanan itu pula, kami dilewati beberapa rombongan pendaki lain.
*
Di tengah perjalanan menuju pos keempat, terakhir sebelum puncak, tiba-tiba keadaan cuaca berubah. Langit menjadi gelap. Di sekitar tak terdengar lagi suara binatang malam. Dan tak jauh di atas kepala kami, angin bertiup terdengar bagai gemuruh. Terasa mencekam. Dalam hati ada yang terasa tidak enak. Khawatir sesuatu akan terjadi. Sebentar kemudian hujan mengguyur deras. Kemudian di bawah sebatang pohon kami berteduh sejenak. Memakai jaket dan mantel dan mulai berjalan kembali. Dengan disinari cahaya senter, kulihat arloji menunjukkan pukul setengah dua dini hari.
Setengah jam berjalan, dari arah depan kemudian kulihat cahaya senter diarahkan ke arah kami disertai teriakan.
“Pos empat. Pos empat. Selamat datang.” Sebentar kami sudah sampai di sana.
Setelah bersalaman dan berbasa-basi dengan rombongan lain yang terdiri empat orang laki-laki, sebentar kemudian kami istirahat. Aku cukup bersyukur dengan hal itu. Ya, lebih baik di sini daripada kehujanan di jalan setapak yang cukup terjal dan licin. Di samping itu, tubuh kami pun terasa letih. Akan tetapi setelah beberapa menit beristirahat, aku merasakan sesuatu yang buruk. Ya, pos empat ini menghadap ke tempat yang terbuka. Dari arah depan angin bertiup cukup kencang disertai hujan menghempas tubuh kami.
Tak lama kemudian, aku melihat semua yang ada di situ rebah dengan melipat tubuhnya untuk menahan dingin. Aku bergabung bersama mereka. Barangkali karena dingin yang sangat di samping rasa letih, tanpa sengaja sebentar kemudian kami sudah berpelukan dengan berselimut mantel. Dan aku enggan untuk mencoba melihat siapa yang kupeluk erat waktu itu. Dalam hati aku tak putus-putus berdoa semoga badai ini cepat-cepat reda. Semoga kami selamat dan tidak mati kedinginan di sini. Sebenarnya aku ingin bangun dan menyalakan api membakar parafin. Akan tetapi, untuk membuka sarung tangan saja aku merasa sangat kesulitan.
Entah, sudah berapa lama? Dan selama itu, aku tak yakin bahwa kami bisa tidur. Akan tetapi, berada di antara keadaan tidur dan sadar. Tiba-tiba aku mendengar suara lirih meluncur di depanku. Sangat dekat. Terasa menempel. Suara seorang perempuan. Aku menduga ia adalah Diah. Ya, aku yakin itu.
“Ayah, ibu, kakak dan adikku. Kalau aku mati di sini, relakan aku, ya. Aku ke sini untuk melihat keindahan ciptaan-Nya. Maafkan aku tak minta izin kalian,” begitu katanya. Dalam hati aku ingin tertawa. Namun, rasa dingin tak mengizinkan hal itu.
Segera kueratkan pelukanku di tubuhnya. Aku tak ingin ia kedinginan dan mati membeku. Dia masih muda dan cantik. Hatiku tertawan olehnya.
Memang, selama ini aku pernah berpacaran dua kali. Namun, aku tak pernah mengalami keadaan yang begitu dekat seperti ini. Wajah kami saling menempel seperti ini. Kalau saja saat ini bukan karena rasa dingin dan letih yang sangat, barangkali akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di antara aku dan Diah. Namun, tidak. Sekali lagi tidak. Libidoku tetap berada di level bawah. Di samping itu, untuk kencing saja aku sudah tak punya keinginan untuk menghindar mencari tempat. Akhirnya kualirkan saja membasahi celanaku yang sudah basah. Dan terasa hangat di paha.
*
Entah, berapa lama berselang. Kudengar beberapa orang berteriak membangunkan kami. Saat terbangun aku melihat langit pucat. Matahari bersinar lebih baik daripada purnama di malam hari. Angin kencang sudah reda. Namun, hujan masih mengguyur. Kulihat arloji menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit. Kemudian kuperhatikan mereka satupersatu. Kusut, tentu saja. Ketika aku dan Diah bertatapan mata, kami saling melempar senyum. Ah, masih saja ia tampak menawan, pikirku. Sebentar kemudian, parafin telah terbakar dan kami duduk menjerang tangan.
Karena hujan belum juga reda, dalam kesempatan itu kami kemudian bersepakat menggagalkan perjalanan ke puncak. Untuk mengobati rasa kecewa, kami akhirnya pergi melihat Grojogan Sewu. Dan aku sangat gembira karena di Grojogan Sewu kami selalu berdekatan. Aku dan Diah.
*
Sore itu Shofa meneleponku. Dalam kesempatan itu, ia tak bosan-bosannya menceritakan pengalaman mendaki gunung Lawu kemarin. Ia sangat senang bisa mencapai puncak. Tentu saja, aku tak percaya. Bukankah kami turun setelah diserang badai? Namun, ia terus-menerus meyakinkan bahwa kami pagi itu sampai di puncak. Dan sebelum menutup telepon, tiba-tiba ia mengatakan apakah aku tak ingin pergi ke kostnya? Aku kemudian minta maaf karena masih terasa letih.
Setelah menutup telepon, aku pergi ke kost Bondan. Sepanjang perjalanan aku masih belum percaya tentang apa yang dikatakan oleh Shofa itu.
*
Aku tersentak. Bondan menunjukkan kepadaku foto-foto kami ketika berada di puncak Lawu. Aku tak bisa mengelak lagi.
“Kau begitu mesra dengannya,” kata Bondan ketika aku memperhatikan foto aku dan Shofa sedang berangkulan dengan background Grojogan Sewu.
Seperti tersadar, lemaslah tubuhku. Ternyata, beberapa hari ini pikiranku tidak hanya bleng. Tapi, sudah menciptakan halunisasi. Memang, ini bukan pertama kali kualami. Namun, aku kecewa. Kenapa hal itu terjadi saat moment penting itu muncul? O, Sunrise yang begitu indah. Lagi-lagi aku gagal menikmati keindahannya. Dan Shofa, apa yang telah terjadi dengannya? (*)
Seketsa Kabut Kabut Silam
Seketsa Kabut Kabut Silam
Sabrank Suparno
http://www.sastra-indonesia.com/
*) Raja Malaikat Kepincut Bumi
Seperti biasanya, Arsy, istana langit tak pernah sepi. Milyatan malaikat berkumpul mengelilingi Alloh. Tak ada pemandangan lain. Sejauh hamparan mata memandang ruang tak terbatas hanya dipenuhi wajah malaikat. Suara bergemuruh, berkumandang menggema. Tak lain lagi lantunan irama tasbih. Pagi, siang tiada henti. Malaikat itu makhluk statis. Susunan tubuhnya hanya satu jenis partikel zat yang di sebut cahaya. Statis-tetep, tidak bisa berkembang atau memuai. Barangkali kalau dunia ilmuwan modern sekarang menemukan dua zat yang baru lagi yang disebut Bozon dan Firmon. Mungkin partikel sel kromosom malaikat lebih tercipta zat Firmon tersebut. Firmon bukan cahaya dalam bentuk cahaya fisik berkilauan. Tetapi menjelma wujut sang malaikat atau bidadari penolong yang benderang dalam hati, fikiran buntu, judeg, BeTe, kemudian tiba-tiba merasa lega, semangat hidup tumbuh kembali, masalah dengan mudah di atasi, itu lebih karena cahaya Firmon. Cahaya yang bukan cahaya lampu atau matahari. Cahaya fisik hanya menerangi ruang pandangan mata, tetapi cahaya Firmon menerangi hati dan fikiran yang ”notabenenya” tak meruang dan tak mewaktu.
Suatu hari Alloh mengumumkan hari libur, cuti, kepada para malaikat. “ Wahai para malaikatKu, hari ini Aku izinkan kalian semua berlibur. Bertamasyahlah ke seluruh planet yang telah Aku sebarkan. Terbanglah semampumu untuk mengetahui luasnya ruang yang telah Aku bentangkan “. Suruh Alloh sang raja Theokrasi. Ketika itu malaikat masih diwakili lima staf tertinggi. Yakni Azazil, Jibril, Mikail, Izro’il, dan yang terakhir Isro’fil. Karena kehidupan bumi belum ada, manusia belum tercipta, staf Rokib, Atid belum ada. Sebab belum ada tugas nyatat amal baik buruk manusia. Begitu juga Munkar-Nakir juga belum terbentuk. Sebab belum di tugasi mencabut nyawa kehidupan. Pun jua demikian Malik dan Ridwan. Mereka masih tercipta di alam angan untuk mengawasi sorga dan neraka.. Dari 5 malaikat tersebut diatas ada salah satu malaikat yang paling dibanggakan dan di kagumi Alloh. Dia di juluki “ Syayyidul Malaikah “, sesepuh para malaikat. Dia adalah Azazil. Alloh memberi Azazil kelebihan khusus di segala bidang dari pada 4 saudaranya. Azazil di kenal malaikat yang paling taat kepada Alloh. Sedang yang lain hanya berada dibawah stratanya Azazil.
Bersemburatlah para malaikat. Mereka keluar dari Arsy tempat Alloh bersemayam, Melesat cepat dari pintu-pintu Sidrotul Muntaha. Mereka meluncur keberbagai penjuru mata angin dan dua arah vertikal-horisontal. Karena malaikat tercipta dari cahaya dan berbentuk cahaya, maka tak heran jika kecepatan terbang malaikat bisa mencapai 10 x 1010 km/dt. Dalam beberapa jam saja para malaikat itu sudah menempuh jarak sejauh bermilyar-milyar tahun cahaya. Akan tetapi saking luasnya cakrawala yang digelar Alloh, tak sanggup juga malaikat merampungkan perjalanannya. Tak sanggup dan tak pernah sanggup. Sangking luasnya jajaran century dan sangking banyaknya gugusan ganesa.
Terhitung sekian milyart tahun cahaya, para malaikat itu berdatangan pulang kembali ke haribaan Alloh. Yakni Jibril, Mikail, Izro’il dan Isro’fil. Tetapi Azazil tak kelihatan batang hidungnya. Kemana gerangan Azazil? Karena tidak ada yang mengetahui, akhirnya Jibril disuruh pergi kembali mencari keberadaan Azazil kakak tuanya.
Jibril kini mendapat misi ke dua meluncuri jagat raya. Tetapi bertugas mencari kakak tuanya, Azazil, dan bukan seperti tugas semula, bertamasya. Jibril memasang strategi ultra modern. Hal ini karena intensitas proyek yang ditanganinya tergolong mega-sulit. Tak hanya teknologi infra-red, Bluetoot, Wi-fi saja yang diandalkan. Tetapi juga memakai teknik bias pikrometer dan blue energi yang belum dan masih akan ditemukan ilmuwan tahun 2020 mendatang. Kecanggihan mega teknologi Jibril ini tak pelak dengan cepat, Jibril mendapatkan deteksi yang akurat mengenai keberadaan Azazil. Ternyata Azazil sedang asyik bersantai di planet yang bernama bumi. Pada waktu yang bersamaan seolah hand phon Jibril dapat SMS dari Alloh, agar Jibril kalau beretemu Azazil, Jibril diberi kewenangan memaksa Azazil pulang. “ Mas Azazil! aku disuruh Alloh untuk memaksa panjenengan pulang “. Azazil berkomentar untuk tidak bersedia pulang. “ Jibril, sampaikan kepada Alloh meskipun aku di bumi, tetap saja aku bertasbih dan bersujud ke Alloh. Kita ini kan makhluk statis. Meskipun di bumi tetap saja yang kita kerjakan kebaikan. Aku gak krasan di langit, jenuh. Bril……… apa kamu gak merasa! Bumi ini planet masa depan yang mengasyikkan. Di bumi ini nanti akan ada, dan dihuni makhluk yang tingkahnya harmoni dan bersahaja. Ada panjang-ada pendek, tinggi-rendah, tua-muda, atas-bawah, sedih-suka, laki-laki dan perempuan, ada cowok-cewek yang saling berpandangan dan kemudian jatuh cinta. Woww…asyik men….! “ Jadi mas Azazil membantah disuruh Alloh pulang “! Tegas Jibril. Tak urung perkelahian terjadi. Akan tetapi karena Azazil terlalu sakti, Jibril dengan mudah dilempar begitu saja.
Akhirnya Jibril kembali melapor perihal yang terjadi pembangkangan Azazil tersebut. Rapat sidang pleno istana langit kembali digelar. “Rupanya Azazil kesengsem, tertarik dengan bumi yang Aku ciptakan. Dia rupanya jatuh cinta terhadap ciptaanku dan melupakan Aku. ”Oke!, sekarang giliranmu Mikail, turun ke bumi, ambil tanah lempung yang paling baik. Posisi tanah yang baik berada di sekitar kutub selatan dan dekat katulistiwa. Aku hendak membikin saingan cinta untuk menandingi Azazil di bumi. Ayo kita bikin manusia dengan nama Adam“.
*) Tanah Lempung Adam Terbuat Dari Tanah Jawa
Bergegaslah Mikail meluncur ke bumi. Diincarlah tanah subur se-dunia yang posisinya dekat dengan kutub selatan. Dijumpailah tanah yang bernama Jawa. Jauh sebelumnya sudah di adakan study riset di laboratorium of cakrawala. Tanah yang paling subur sedunia diakui negara manapun adalah hamparan Nusantara. Di wilayah nusantara inipun masih di mainset lagi arahnya untuk bisa disebut tanah unggul dan produktif, syaratnya harus ada banyak gunung berapi dan sungai. Maping area di kecilkan lagi dan di temukanlah Jawa Timur. Sebuah wilayah kecil dengan jumlah gunung merapi terbanyak, tanahnya subur, gembur gemah ripah loh jinawi, toto tentrem karto raharjo. Jenis tanaman apa saja tumbuh dengan baik. Kala pagi, sunrise mengintip di ufuk timur. Sinarnnya menerpa dahan-dahan dan dedaunan. Memancar senyum menyaput embun. Jika kilau mentari menerpa bumi pagi itu, sesungguhnya adalah sinar yang telah terpancarkan sejak berjuta-juta tahun lalu di suralaya. Kalau si muka bumi manusia mengalami apa saja hari ini, ketemu jodoh atau kekasih misalnya, sesungguhnya itu sudah di mainset langit sejak di alam ruh dahulu. Burung pagipun mencandai pagi dengan ocehnya. Sambil berloncat, bertelanting diantara dahan. Sesekali menukik bawah, incar ulat, serangga melata. Beraneka bunga mekar tebarkan semerbak harum aneka warna, penuhi pelupuk mata. Tiada negeri seindah Nusantara Jawa ini. Tidak ada sinar mentari dibelahan bumi manapun yang sinarnya sesumringah di bumi Nusantara. Sungguh sorga seakan pernah bocor, dan cipratannya menjadi Nusantara raya ini. Kemungkinan besar tanah lempung yang di bikin sebagai Adam dahulu adalah tanah Jombang. Kalau kita menggeledah, melihat kamus Bahasa Indonesia arti makna Jombang adalah “ tampak elok/cantik. Artinya bakal makhluk yang paling sempurna, paling cantik, yang di lengkapi dengan akal dan budi. Lantas Jombang bagian mana ? Desa apa namanya ? Ilmuan dan ahli kebatinan harus meriset secara ilmiyah, sebab sejauh ini hanya kabut tebal pekat menghalau daras pandangan .
Misi Mikail sebagai penerus gerakan Jibril tidak segampang itu. Sebab seluruh ion-ion atom bumi rupanya sudah didoktrin Azazil untuk memberontak. Indoktrinisasi Azazil berhasil rapi, hingga seluruh jajaran bumi sepakat kalau sebagian tubuhnya di ambil dan di jadikan bahan mentah Adam, bumi menolak.Bumi juga bentangkan sepanduk berdemonstrasi menolak perihal keberadaan manusia di bumi. Bumi meyakini manusia kelak hanya berpotensi merusak bumi dan mengalirkan pertumpahan darah.
Yang dihadapi Mikail lebih berat dari pada Jibril, sebab Azazil menerapkan politik double standtar. Di satu sisi harus menghadapi Azazil, di sisi lain menghadapi bumi itu sendiri. Kekuatan Mikail belumlah sebanding dengan kesaktian Azazil, kecerdikan Mikail dalam berpolitik praktis juga belum sepiawai Azazil. Akhirnya Mikail mengalami kekalahan yang sama dengan Jibril. Ia terpental dan terpukul mundur. Alloh pun segera kirimkan delegasi ke tiga.Yakni Izro’il. Tetapi usahanya serasa sia-sia. Nasib Izro’il tak beda jauh dengan Jibril dan Mikail. Seolah Alloh sudah putus asa. Pasukan langit tinggal satu batalion lagi. Yakni pasukan yang dipimpin Isrofil. Agar Isrofil tidak membikin malu dan membuahkan hasil, Alloh membombardir gerakan Isrofil dengan keras. Alloh juga mengklaim Isrofil, jika gagal dalam misinya. “ Wahai Isrofil…..! Kalau engkau kalah juga dalam melawan kakakmu Azazil, maka tidak Saya perkenankan kembali ke istana langit ini, ingat! camkan baik-baik! “ ancam Alloh. Isrofilpun berangkat. Belajar dari kekalahan tiga kakaknya membuat Isrofil berfikir. Serangan Isrofil berbeda haluan dengan kakak-kakaknya. Isrofil menitik beratkan dengan cara diplomasi dari pada pertumpahan darah, adu kanuragan, dan perhelatan fisik. Konsep pertarungan Isrofil; sepandai-pandai tupai melompat pernah jatuh juga. Sekuat, sesakti apapun kedigjayaan Azazil pasti ada teledornya. Dalam satu hari saja hidup, ada kalanya “ kanggonan joyo “ ada kalanya “ kanggonan apes “. Aji sirep megananda dirapal. Ramuan bedak dioplos dengan asap mesiu dan dicampur obat bius segera ditaburkan. Agaknya tidak sia-sia usahanya. Pada jam yang sudah diperhitungkan berdasarkan pasaran neptu hari, Azazil mulai menguap, matanya merah, daya tahan tubuhnya lemes lunglai. Pada saat itulah Isrofil membujuk bumi untuk mengadakan pertemuan tertutup. Siapa saja dilarang meliput, termasuk wartawan dan media masa. Dalam perjanjian tertutup itu disepakati naskah draf perjanjian, Adapun salah satu konsesi perjanjian itu; Isrofil berjanji mengambil tanah lempung dari bumi dan untuk dibikin adam. Dan apabila Adam sudah mati, jasadnya dipersembahkan lagi sebagai santapan bumi. Kesepakatan ini ditanda tangani kedua belah pihak.
Mengingat keadaan genting, takut keburu Azazil tersadar dari tidurnya, dengan cepat kilat Isrofil menyaut sebat tanah lempung. Sebelum mengepal segenggam tanah di olak-alik lebih dulu. Dilihatlah semua jenis tanah di Jombang. Mula-mula Isrofil menggali tanah di desa Mojokuripan. Namun waktu itu pohon mojonya mati, dan baru di hidupkan kembali, makanya disebut Mojokuripan. Kalau pohonnya mati berarti tanahnya tandus dan kurang bagus. Terus Isrofil bergeser ke timur. Tetapi jenis tanahnya jeblok, lemor atau terlalu becek, tentu sulit jika dibuat patung Adam nanti. Isrofil bergeser ke barat, tetapi tanahnya tambah padas dan keras, makanya disebut desa Badas, kemudian bergeser ke utara, di temui desa Balongrejo, tanah yang berbentuk balong atau jublang, atau rawa-rawa. Isrofil bergeser ke barat, malah bertemu ikan lele. Makanya disebut desa Nglele. Lele adalah jenis makhluk biotik, padahal yang dibutuhkan adalah tanah, , makhluk abiotik. Isrofil meloncat ke barat. Namun cuma bertemu tanah yang berbentuk hutan ( wono ) yang rapi ( kerto ). Dari desa Wonokerto inilah kemudian Isrofil bergeser ke timur. Di sini ada tanah yang di tumbuhi jenis pohon ploso yang kerep(rindang berjajar). Tempat ini bernama desa Plosokerep. Dimungkinkan Isrofil mengambil tanah di Plosokerep ini, ia merasa aman dari jagaan Azazil. Sambil ngumpet di antara rerimbunan pohon ploso yang kerep, Isrofil beranggapan kecil tidak mudah diketahui Azazil. Isrofil menyelinap-nyelinap di antara pohon ploso. Sampailah Isrofil di Plosokerep bagian timur.
*) Penjaga Surga, si Naga & Burung Garuda
Ditempat ini terdapat parit sungai kecil. Sungai yang meskipun kemarau ranau kering kerontang mata airnya tetap mengalir bening. Sumber air yang mengalir berasal dari cela-cela pemulu serabut akar kambium pepohonan. Menetes demi setetes mengalir gemercik. Di tempat inilah Isrofil mengais dan meraup segenggam tanah. Setelah tanah tergenggam, segera beranjak cepat melesat menuju cakrawala. Layaknya pesawat super sonik buatan Rusia, Isrofil sekejap saja sudah sampai di perbatasan atmosfer dan ruang hampa udara. Karena terlalu cepat, tanah dalam genggaman Isrofil itu ada yang semburat dari sela jari-jemarinya. Punceratan tanah itu nyaris menjadi dataran tanah kecil sebuah desa. Isrofil berpesan pada bumi, agar suatu saat nanti desa itu diberi nama ”Dowong”. Yang berasal dari bahasa jawa “kondo o lek lemah iki biyen cikal bakale dadi wong”. Wong, dalam bahasa Indonesia sama artinya dengan manusia.
Perjalanan pulang Isrofil tidak segampang itu. Sesampai di perbatasan atmosfer dan ruang hampa, tiba-tiba Azazil terjaga dari tidurnya. Menyadari apa yang terjadi, bahwa bumi telah di curi, Azazil tersentak jenggirat mengejar Isrofil. Di perbatasan atmosfr nilah Isrofil tertangkap. Dalam pertempuran itu Isrofil lontarkan debat argumentasi. “ Aku ke bumi mengambil tanah lempung bukan keinginanku sendiri, melainkan disuruh Alloh, jadi aku tidak ada urusan dengan siapapun kecuali dengan Alloh. Kalau engkau tidak terima, jangan marah kepadaku, protes saja sendiri kepada Alloh “. Mendengar argumen diplomasi Isrofil selihai ini, Azazil tidak bisa menjawab. Azazil berfikir ”Isrofil dapat dengan mudah aku kalahkan, tetapi dengan Alloh..!”. Cara diplomasi model Isrfoil ini paling efektif bermutu dan rasional. Apalagi jika dipakai konsep toriqot hati. Mengerjakan seseatu dalam hidup hendaknya ihlas. Bukan karena cuma ingin dipandang makhluk. Sebab makhluk menilai kita hanya sebatas usianya saja. Jika makhluk sudah meninggal, berakhir pula penghargaan citra imag buildingnya ke amaliyah kita. Akan tetapi jika kita menyandarkan amal energi kita ke Alloh, maka sampai kiamatpun tetap kita jumpai, tidak hanya sebatas usia manusia saja.
Tanah lempung sudah berhasil dibawah ke istana langit. Semua malaikat dikumpulkan. Seperti niat awal, Alloh berkehendak membikin manusia di bumi sebagai saingan cinta terhadap Azazil. Para malaikat memulai proyeknya atas intruksi intensif Alloh. Karena Alloh adalah satu-satunya desain grafik calon gambar jadinya manusia. Di dalam desain interior dan exterior Adam, ditetapkan bahwa ukuran telapak kaki Adam sepanjang 60 dhiro’. Sedang 1 dhiro’nya lebih kurang sepanjang ujung kuku sampai siku tangan manusia dewasa. Penciptaan manusia ini adalah proyek langit yang paling berat. Perdebatan kesempurnaan terus terjadi di antara insinyur para melaikat mengenai kegunaan, fungsi serta sebab akibat. Proyek pengadaan Adam ini memakan waktu enam masa. Proyek ini juga berhasil menyabet gelar piala rekor aworld sebagai makhluk terbaik yang dilengkapi dengan akal. Perdebatan malaikat yang paling tajam adalah saat membikin kemaluan Adam. Usulan bertubi-tubi dari berbagai fraksi legislatif. Interupsi yang dilancarkan dari 75% fraksi yang hadir, agar ukurannya di perkecil dari ukuran sketsa semula. Alasan interupsi adalah “alat vital satu ini, yang akan menjadi biang kerok keributan dunia. Dibikin kecil saja sudah menghebohkan dunia dengan pemerkosaan dan perselingkuhan, apalagi jika dibikin besar”. Atas dasar perhitungan dan kebijaksanaan yang proporsional akhirnya usulan di setujui Alloh. Proses pembentukan Adam memasuki tahap finishing, ditiupkannya ruh jadilah Adam. Adam memang tercipta dari tanah lempung, akan tetapi bukan karena tanah lempung itu Adam dicipta. Karena apa ? Karena kreatifitas murni ide Alloh. Teori toriqoh ini dapat dikembangkan ke berbagai lelaku kehidupan. Semisal kalau manusia bisa sekolah dan kuliah itu bukan karena orang tuanya kaya, tetapi karna Alloh mengijinkanya. Layaknya manusia tidak perlu sombong. Banyak anak orang kaya yang tidak di takdirkan sekolah dan kuliah. Alloh memang berniat membikin Adam, tetapi hanya ide. Sedang team pelaksananya adalah malaikat. Artinya copyright pihak pertama belum tentu dan sah dilakukan UU oleh pihak kedua. Perusahaan McDonald, KFC dan lain-lain adalah copyright orang Amerika. Akan tetapi perusahaan McDonald dan KFC di Indonesia tidak harus dikerjakan orang Amerika, melainkan sah di masak anak-anak paribumi, asalkan resepnya sama dengan desain resep menu yang ada di Amerika.
Sementara itu Azazil makin akrab dengan bumi. Apalagi dengan pulau jawa. Di pulau jawa, untuk menyebut kata Azazil tentu sulit lidahnya. Di jawa Azazil diganti namanya menjadi Idhajil atau Dajjal. Makanya kalau ada orang yang bertingkah niru Azazil yang gampang kesemsem dengan ciptaannya Alloh, dan melupakan yang mencipta disebut gejajilan.
Kabar terciptanya Adam terdengar langsung sampai kepelosok bumi. Hal ini membuat Idhajil kebakaran jenggot, dan naik pitam. Idhajilpun naik ke langit hendak protes ke Alloh. Ia pergi ke surga tempat proyek pembuatan Adam dikerjakan. Semua media masa memuatnya, termasuk televisi gabungan BBC antariksa.
Tapi na’as bagi Idhajil. Di pintu sorga pertama dijaga oleh naga raksasa besar yang kejam dan bengis. Kesaktian Idhajil tak sangup menandinginya. Namun Idhajil cerdik, ditungunya naga itu dengan sabar. Ketika naga itu menguap, terbukalah mulutnya lebar-lebar. Idhajil kemudian menyelinap masuk melalui mulut naga. Setelah Idhajil dikeluarkan menjadi tai, barulah Idhajil berhasil masuk ke sorga pertama. Di pintu surga kedua, Idhajilpun kesulitan lagi, di pintu ini dijaga burung garuda besar yang kejam dan bengis. Idhajil harus mencari cara. Ia mengubah dirinya menjadi ulat. Di depan garuda ia berkeliat-keliat. Melihat ulat berkeloget, naluri Garuda sebagai pemangsa karnivora tergugah. Dipatoklah ulat tersebut. Setelah dikeluarkan menjadi tai, barulah Idhajil jatuh kesorga dan menemui Adam. Melihat seluruh jajaran malaikat lengkap, untuk menghargai karya besar Alloh yang berupa Adam, semua malaikat disuruh bersujud kepada Adam. Semuanya sujud menghormati Alloh, kecuali Idhajil. Idhajil malah sombong dengan pengingkaran kebodohannya. Bahwa dirinya mengira tercipta dari gen berkelas tinggi. Yakni gen cahaya yang merupakan bayangan Alloh. Alloh menyuruh malaikat bersujud pada Adam hanya untuk menghormati karya Alloh, dan bukan menyembah Adam sebagai Tuhan. Pada saatnya nanti Nusantara pasti akan menjadi central pusat dunia. Sebab ceceran negara kepulaun yang membentang dari Sabang sampai Merauke adalah akibat gempilnya retakan surga jaman alam malakut dulu. Ketika itu Azazil malakukan kesalahan pertamanya. Saat itu Alloh mengadakan kontes desain mode cahaya. Hal yang menakjubkan terjadi. Cahaya hasil desainan peserta dari para malaikat sangat memukau. Memanjang berwarna-warni, meliuk-liuk kilaunya, memancar ronanya dengan kilatan hingar bingar. Dan hasil kontes cahaya waktu itu diabadikan sampai sekarang. Dan akan dipertontonkan kemegahan cahaya surga itu bagi manusia kelak yang mampu memasukinya.
Sejak awal Idhajil memang dianugerahi kahebatan lebih oleh Alloh. Tetapi kehebatan itu sekaligus kekurangan dia. Dalam kontes cahaya inipun Idhajil meraih juara utama. Saking gembiranya, karena menjadi pemenang, Idhajilpun berpesta. Ia mabok sembari berdansa. Terlalu asyik berjoget, Idhajil tak sadar tangannya menyentuh dinding pagar tembok sorga. Pagar surga itu kemudian retak, ambrol, dan berjatuhan kebumi. Jejatuhan puing-puing pagar surga itulah yang berserakan dan menjadi jajaran pulau Nusantara raya ini.
Kapan mimpi manusia penghuni Nusantara ini menjadi kenyataan? Nusantara yang makmur bersahaja bagaikan di sorga. Untuk memasuki Sorga Nusantara baru tidaklah mudah, kecuali kita suatu saat penghuninya mampu menggabungkan dua kekuatan besar ’si Naga dan si Garuda’.
Sabrank Suparno
http://www.sastra-indonesia.com/
*) Raja Malaikat Kepincut Bumi
Seperti biasanya, Arsy, istana langit tak pernah sepi. Milyatan malaikat berkumpul mengelilingi Alloh. Tak ada pemandangan lain. Sejauh hamparan mata memandang ruang tak terbatas hanya dipenuhi wajah malaikat. Suara bergemuruh, berkumandang menggema. Tak lain lagi lantunan irama tasbih. Pagi, siang tiada henti. Malaikat itu makhluk statis. Susunan tubuhnya hanya satu jenis partikel zat yang di sebut cahaya. Statis-tetep, tidak bisa berkembang atau memuai. Barangkali kalau dunia ilmuwan modern sekarang menemukan dua zat yang baru lagi yang disebut Bozon dan Firmon. Mungkin partikel sel kromosom malaikat lebih tercipta zat Firmon tersebut. Firmon bukan cahaya dalam bentuk cahaya fisik berkilauan. Tetapi menjelma wujut sang malaikat atau bidadari penolong yang benderang dalam hati, fikiran buntu, judeg, BeTe, kemudian tiba-tiba merasa lega, semangat hidup tumbuh kembali, masalah dengan mudah di atasi, itu lebih karena cahaya Firmon. Cahaya yang bukan cahaya lampu atau matahari. Cahaya fisik hanya menerangi ruang pandangan mata, tetapi cahaya Firmon menerangi hati dan fikiran yang ”notabenenya” tak meruang dan tak mewaktu.
Suatu hari Alloh mengumumkan hari libur, cuti, kepada para malaikat. “ Wahai para malaikatKu, hari ini Aku izinkan kalian semua berlibur. Bertamasyahlah ke seluruh planet yang telah Aku sebarkan. Terbanglah semampumu untuk mengetahui luasnya ruang yang telah Aku bentangkan “. Suruh Alloh sang raja Theokrasi. Ketika itu malaikat masih diwakili lima staf tertinggi. Yakni Azazil, Jibril, Mikail, Izro’il, dan yang terakhir Isro’fil. Karena kehidupan bumi belum ada, manusia belum tercipta, staf Rokib, Atid belum ada. Sebab belum ada tugas nyatat amal baik buruk manusia. Begitu juga Munkar-Nakir juga belum terbentuk. Sebab belum di tugasi mencabut nyawa kehidupan. Pun jua demikian Malik dan Ridwan. Mereka masih tercipta di alam angan untuk mengawasi sorga dan neraka.. Dari 5 malaikat tersebut diatas ada salah satu malaikat yang paling dibanggakan dan di kagumi Alloh. Dia di juluki “ Syayyidul Malaikah “, sesepuh para malaikat. Dia adalah Azazil. Alloh memberi Azazil kelebihan khusus di segala bidang dari pada 4 saudaranya. Azazil di kenal malaikat yang paling taat kepada Alloh. Sedang yang lain hanya berada dibawah stratanya Azazil.
Bersemburatlah para malaikat. Mereka keluar dari Arsy tempat Alloh bersemayam, Melesat cepat dari pintu-pintu Sidrotul Muntaha. Mereka meluncur keberbagai penjuru mata angin dan dua arah vertikal-horisontal. Karena malaikat tercipta dari cahaya dan berbentuk cahaya, maka tak heran jika kecepatan terbang malaikat bisa mencapai 10 x 1010 km/dt. Dalam beberapa jam saja para malaikat itu sudah menempuh jarak sejauh bermilyar-milyar tahun cahaya. Akan tetapi saking luasnya cakrawala yang digelar Alloh, tak sanggup juga malaikat merampungkan perjalanannya. Tak sanggup dan tak pernah sanggup. Sangking luasnya jajaran century dan sangking banyaknya gugusan ganesa.
Terhitung sekian milyart tahun cahaya, para malaikat itu berdatangan pulang kembali ke haribaan Alloh. Yakni Jibril, Mikail, Izro’il dan Isro’fil. Tetapi Azazil tak kelihatan batang hidungnya. Kemana gerangan Azazil? Karena tidak ada yang mengetahui, akhirnya Jibril disuruh pergi kembali mencari keberadaan Azazil kakak tuanya.
Jibril kini mendapat misi ke dua meluncuri jagat raya. Tetapi bertugas mencari kakak tuanya, Azazil, dan bukan seperti tugas semula, bertamasya. Jibril memasang strategi ultra modern. Hal ini karena intensitas proyek yang ditanganinya tergolong mega-sulit. Tak hanya teknologi infra-red, Bluetoot, Wi-fi saja yang diandalkan. Tetapi juga memakai teknik bias pikrometer dan blue energi yang belum dan masih akan ditemukan ilmuwan tahun 2020 mendatang. Kecanggihan mega teknologi Jibril ini tak pelak dengan cepat, Jibril mendapatkan deteksi yang akurat mengenai keberadaan Azazil. Ternyata Azazil sedang asyik bersantai di planet yang bernama bumi. Pada waktu yang bersamaan seolah hand phon Jibril dapat SMS dari Alloh, agar Jibril kalau beretemu Azazil, Jibril diberi kewenangan memaksa Azazil pulang. “ Mas Azazil! aku disuruh Alloh untuk memaksa panjenengan pulang “. Azazil berkomentar untuk tidak bersedia pulang. “ Jibril, sampaikan kepada Alloh meskipun aku di bumi, tetap saja aku bertasbih dan bersujud ke Alloh. Kita ini kan makhluk statis. Meskipun di bumi tetap saja yang kita kerjakan kebaikan. Aku gak krasan di langit, jenuh. Bril……… apa kamu gak merasa! Bumi ini planet masa depan yang mengasyikkan. Di bumi ini nanti akan ada, dan dihuni makhluk yang tingkahnya harmoni dan bersahaja. Ada panjang-ada pendek, tinggi-rendah, tua-muda, atas-bawah, sedih-suka, laki-laki dan perempuan, ada cowok-cewek yang saling berpandangan dan kemudian jatuh cinta. Woww…asyik men….! “ Jadi mas Azazil membantah disuruh Alloh pulang “! Tegas Jibril. Tak urung perkelahian terjadi. Akan tetapi karena Azazil terlalu sakti, Jibril dengan mudah dilempar begitu saja.
Akhirnya Jibril kembali melapor perihal yang terjadi pembangkangan Azazil tersebut. Rapat sidang pleno istana langit kembali digelar. “Rupanya Azazil kesengsem, tertarik dengan bumi yang Aku ciptakan. Dia rupanya jatuh cinta terhadap ciptaanku dan melupakan Aku. ”Oke!, sekarang giliranmu Mikail, turun ke bumi, ambil tanah lempung yang paling baik. Posisi tanah yang baik berada di sekitar kutub selatan dan dekat katulistiwa. Aku hendak membikin saingan cinta untuk menandingi Azazil di bumi. Ayo kita bikin manusia dengan nama Adam“.
*) Tanah Lempung Adam Terbuat Dari Tanah Jawa
Bergegaslah Mikail meluncur ke bumi. Diincarlah tanah subur se-dunia yang posisinya dekat dengan kutub selatan. Dijumpailah tanah yang bernama Jawa. Jauh sebelumnya sudah di adakan study riset di laboratorium of cakrawala. Tanah yang paling subur sedunia diakui negara manapun adalah hamparan Nusantara. Di wilayah nusantara inipun masih di mainset lagi arahnya untuk bisa disebut tanah unggul dan produktif, syaratnya harus ada banyak gunung berapi dan sungai. Maping area di kecilkan lagi dan di temukanlah Jawa Timur. Sebuah wilayah kecil dengan jumlah gunung merapi terbanyak, tanahnya subur, gembur gemah ripah loh jinawi, toto tentrem karto raharjo. Jenis tanaman apa saja tumbuh dengan baik. Kala pagi, sunrise mengintip di ufuk timur. Sinarnnya menerpa dahan-dahan dan dedaunan. Memancar senyum menyaput embun. Jika kilau mentari menerpa bumi pagi itu, sesungguhnya adalah sinar yang telah terpancarkan sejak berjuta-juta tahun lalu di suralaya. Kalau si muka bumi manusia mengalami apa saja hari ini, ketemu jodoh atau kekasih misalnya, sesungguhnya itu sudah di mainset langit sejak di alam ruh dahulu. Burung pagipun mencandai pagi dengan ocehnya. Sambil berloncat, bertelanting diantara dahan. Sesekali menukik bawah, incar ulat, serangga melata. Beraneka bunga mekar tebarkan semerbak harum aneka warna, penuhi pelupuk mata. Tiada negeri seindah Nusantara Jawa ini. Tidak ada sinar mentari dibelahan bumi manapun yang sinarnya sesumringah di bumi Nusantara. Sungguh sorga seakan pernah bocor, dan cipratannya menjadi Nusantara raya ini. Kemungkinan besar tanah lempung yang di bikin sebagai Adam dahulu adalah tanah Jombang. Kalau kita menggeledah, melihat kamus Bahasa Indonesia arti makna Jombang adalah “ tampak elok/cantik. Artinya bakal makhluk yang paling sempurna, paling cantik, yang di lengkapi dengan akal dan budi. Lantas Jombang bagian mana ? Desa apa namanya ? Ilmuan dan ahli kebatinan harus meriset secara ilmiyah, sebab sejauh ini hanya kabut tebal pekat menghalau daras pandangan .
Misi Mikail sebagai penerus gerakan Jibril tidak segampang itu. Sebab seluruh ion-ion atom bumi rupanya sudah didoktrin Azazil untuk memberontak. Indoktrinisasi Azazil berhasil rapi, hingga seluruh jajaran bumi sepakat kalau sebagian tubuhnya di ambil dan di jadikan bahan mentah Adam, bumi menolak.Bumi juga bentangkan sepanduk berdemonstrasi menolak perihal keberadaan manusia di bumi. Bumi meyakini manusia kelak hanya berpotensi merusak bumi dan mengalirkan pertumpahan darah.
Yang dihadapi Mikail lebih berat dari pada Jibril, sebab Azazil menerapkan politik double standtar. Di satu sisi harus menghadapi Azazil, di sisi lain menghadapi bumi itu sendiri. Kekuatan Mikail belumlah sebanding dengan kesaktian Azazil, kecerdikan Mikail dalam berpolitik praktis juga belum sepiawai Azazil. Akhirnya Mikail mengalami kekalahan yang sama dengan Jibril. Ia terpental dan terpukul mundur. Alloh pun segera kirimkan delegasi ke tiga.Yakni Izro’il. Tetapi usahanya serasa sia-sia. Nasib Izro’il tak beda jauh dengan Jibril dan Mikail. Seolah Alloh sudah putus asa. Pasukan langit tinggal satu batalion lagi. Yakni pasukan yang dipimpin Isrofil. Agar Isrofil tidak membikin malu dan membuahkan hasil, Alloh membombardir gerakan Isrofil dengan keras. Alloh juga mengklaim Isrofil, jika gagal dalam misinya. “ Wahai Isrofil…..! Kalau engkau kalah juga dalam melawan kakakmu Azazil, maka tidak Saya perkenankan kembali ke istana langit ini, ingat! camkan baik-baik! “ ancam Alloh. Isrofilpun berangkat. Belajar dari kekalahan tiga kakaknya membuat Isrofil berfikir. Serangan Isrofil berbeda haluan dengan kakak-kakaknya. Isrofil menitik beratkan dengan cara diplomasi dari pada pertumpahan darah, adu kanuragan, dan perhelatan fisik. Konsep pertarungan Isrofil; sepandai-pandai tupai melompat pernah jatuh juga. Sekuat, sesakti apapun kedigjayaan Azazil pasti ada teledornya. Dalam satu hari saja hidup, ada kalanya “ kanggonan joyo “ ada kalanya “ kanggonan apes “. Aji sirep megananda dirapal. Ramuan bedak dioplos dengan asap mesiu dan dicampur obat bius segera ditaburkan. Agaknya tidak sia-sia usahanya. Pada jam yang sudah diperhitungkan berdasarkan pasaran neptu hari, Azazil mulai menguap, matanya merah, daya tahan tubuhnya lemes lunglai. Pada saat itulah Isrofil membujuk bumi untuk mengadakan pertemuan tertutup. Siapa saja dilarang meliput, termasuk wartawan dan media masa. Dalam perjanjian tertutup itu disepakati naskah draf perjanjian, Adapun salah satu konsesi perjanjian itu; Isrofil berjanji mengambil tanah lempung dari bumi dan untuk dibikin adam. Dan apabila Adam sudah mati, jasadnya dipersembahkan lagi sebagai santapan bumi. Kesepakatan ini ditanda tangani kedua belah pihak.
Mengingat keadaan genting, takut keburu Azazil tersadar dari tidurnya, dengan cepat kilat Isrofil menyaut sebat tanah lempung. Sebelum mengepal segenggam tanah di olak-alik lebih dulu. Dilihatlah semua jenis tanah di Jombang. Mula-mula Isrofil menggali tanah di desa Mojokuripan. Namun waktu itu pohon mojonya mati, dan baru di hidupkan kembali, makanya disebut Mojokuripan. Kalau pohonnya mati berarti tanahnya tandus dan kurang bagus. Terus Isrofil bergeser ke timur. Tetapi jenis tanahnya jeblok, lemor atau terlalu becek, tentu sulit jika dibuat patung Adam nanti. Isrofil bergeser ke barat, tetapi tanahnya tambah padas dan keras, makanya disebut desa Badas, kemudian bergeser ke utara, di temui desa Balongrejo, tanah yang berbentuk balong atau jublang, atau rawa-rawa. Isrofil bergeser ke barat, malah bertemu ikan lele. Makanya disebut desa Nglele. Lele adalah jenis makhluk biotik, padahal yang dibutuhkan adalah tanah, , makhluk abiotik. Isrofil meloncat ke barat. Namun cuma bertemu tanah yang berbentuk hutan ( wono ) yang rapi ( kerto ). Dari desa Wonokerto inilah kemudian Isrofil bergeser ke timur. Di sini ada tanah yang di tumbuhi jenis pohon ploso yang kerep(rindang berjajar). Tempat ini bernama desa Plosokerep. Dimungkinkan Isrofil mengambil tanah di Plosokerep ini, ia merasa aman dari jagaan Azazil. Sambil ngumpet di antara rerimbunan pohon ploso yang kerep, Isrofil beranggapan kecil tidak mudah diketahui Azazil. Isrofil menyelinap-nyelinap di antara pohon ploso. Sampailah Isrofil di Plosokerep bagian timur.
*) Penjaga Surga, si Naga & Burung Garuda
Ditempat ini terdapat parit sungai kecil. Sungai yang meskipun kemarau ranau kering kerontang mata airnya tetap mengalir bening. Sumber air yang mengalir berasal dari cela-cela pemulu serabut akar kambium pepohonan. Menetes demi setetes mengalir gemercik. Di tempat inilah Isrofil mengais dan meraup segenggam tanah. Setelah tanah tergenggam, segera beranjak cepat melesat menuju cakrawala. Layaknya pesawat super sonik buatan Rusia, Isrofil sekejap saja sudah sampai di perbatasan atmosfer dan ruang hampa udara. Karena terlalu cepat, tanah dalam genggaman Isrofil itu ada yang semburat dari sela jari-jemarinya. Punceratan tanah itu nyaris menjadi dataran tanah kecil sebuah desa. Isrofil berpesan pada bumi, agar suatu saat nanti desa itu diberi nama ”Dowong”. Yang berasal dari bahasa jawa “kondo o lek lemah iki biyen cikal bakale dadi wong”. Wong, dalam bahasa Indonesia sama artinya dengan manusia.
Perjalanan pulang Isrofil tidak segampang itu. Sesampai di perbatasan atmosfer dan ruang hampa, tiba-tiba Azazil terjaga dari tidurnya. Menyadari apa yang terjadi, bahwa bumi telah di curi, Azazil tersentak jenggirat mengejar Isrofil. Di perbatasan atmosfr nilah Isrofil tertangkap. Dalam pertempuran itu Isrofil lontarkan debat argumentasi. “ Aku ke bumi mengambil tanah lempung bukan keinginanku sendiri, melainkan disuruh Alloh, jadi aku tidak ada urusan dengan siapapun kecuali dengan Alloh. Kalau engkau tidak terima, jangan marah kepadaku, protes saja sendiri kepada Alloh “. Mendengar argumen diplomasi Isrofil selihai ini, Azazil tidak bisa menjawab. Azazil berfikir ”Isrofil dapat dengan mudah aku kalahkan, tetapi dengan Alloh..!”. Cara diplomasi model Isrfoil ini paling efektif bermutu dan rasional. Apalagi jika dipakai konsep toriqot hati. Mengerjakan seseatu dalam hidup hendaknya ihlas. Bukan karena cuma ingin dipandang makhluk. Sebab makhluk menilai kita hanya sebatas usianya saja. Jika makhluk sudah meninggal, berakhir pula penghargaan citra imag buildingnya ke amaliyah kita. Akan tetapi jika kita menyandarkan amal energi kita ke Alloh, maka sampai kiamatpun tetap kita jumpai, tidak hanya sebatas usia manusia saja.
Tanah lempung sudah berhasil dibawah ke istana langit. Semua malaikat dikumpulkan. Seperti niat awal, Alloh berkehendak membikin manusia di bumi sebagai saingan cinta terhadap Azazil. Para malaikat memulai proyeknya atas intruksi intensif Alloh. Karena Alloh adalah satu-satunya desain grafik calon gambar jadinya manusia. Di dalam desain interior dan exterior Adam, ditetapkan bahwa ukuran telapak kaki Adam sepanjang 60 dhiro’. Sedang 1 dhiro’nya lebih kurang sepanjang ujung kuku sampai siku tangan manusia dewasa. Penciptaan manusia ini adalah proyek langit yang paling berat. Perdebatan kesempurnaan terus terjadi di antara insinyur para melaikat mengenai kegunaan, fungsi serta sebab akibat. Proyek pengadaan Adam ini memakan waktu enam masa. Proyek ini juga berhasil menyabet gelar piala rekor aworld sebagai makhluk terbaik yang dilengkapi dengan akal. Perdebatan malaikat yang paling tajam adalah saat membikin kemaluan Adam. Usulan bertubi-tubi dari berbagai fraksi legislatif. Interupsi yang dilancarkan dari 75% fraksi yang hadir, agar ukurannya di perkecil dari ukuran sketsa semula. Alasan interupsi adalah “alat vital satu ini, yang akan menjadi biang kerok keributan dunia. Dibikin kecil saja sudah menghebohkan dunia dengan pemerkosaan dan perselingkuhan, apalagi jika dibikin besar”. Atas dasar perhitungan dan kebijaksanaan yang proporsional akhirnya usulan di setujui Alloh. Proses pembentukan Adam memasuki tahap finishing, ditiupkannya ruh jadilah Adam. Adam memang tercipta dari tanah lempung, akan tetapi bukan karena tanah lempung itu Adam dicipta. Karena apa ? Karena kreatifitas murni ide Alloh. Teori toriqoh ini dapat dikembangkan ke berbagai lelaku kehidupan. Semisal kalau manusia bisa sekolah dan kuliah itu bukan karena orang tuanya kaya, tetapi karna Alloh mengijinkanya. Layaknya manusia tidak perlu sombong. Banyak anak orang kaya yang tidak di takdirkan sekolah dan kuliah. Alloh memang berniat membikin Adam, tetapi hanya ide. Sedang team pelaksananya adalah malaikat. Artinya copyright pihak pertama belum tentu dan sah dilakukan UU oleh pihak kedua. Perusahaan McDonald, KFC dan lain-lain adalah copyright orang Amerika. Akan tetapi perusahaan McDonald dan KFC di Indonesia tidak harus dikerjakan orang Amerika, melainkan sah di masak anak-anak paribumi, asalkan resepnya sama dengan desain resep menu yang ada di Amerika.
Sementara itu Azazil makin akrab dengan bumi. Apalagi dengan pulau jawa. Di pulau jawa, untuk menyebut kata Azazil tentu sulit lidahnya. Di jawa Azazil diganti namanya menjadi Idhajil atau Dajjal. Makanya kalau ada orang yang bertingkah niru Azazil yang gampang kesemsem dengan ciptaannya Alloh, dan melupakan yang mencipta disebut gejajilan.
Kabar terciptanya Adam terdengar langsung sampai kepelosok bumi. Hal ini membuat Idhajil kebakaran jenggot, dan naik pitam. Idhajilpun naik ke langit hendak protes ke Alloh. Ia pergi ke surga tempat proyek pembuatan Adam dikerjakan. Semua media masa memuatnya, termasuk televisi gabungan BBC antariksa.
Tapi na’as bagi Idhajil. Di pintu sorga pertama dijaga oleh naga raksasa besar yang kejam dan bengis. Kesaktian Idhajil tak sangup menandinginya. Namun Idhajil cerdik, ditungunya naga itu dengan sabar. Ketika naga itu menguap, terbukalah mulutnya lebar-lebar. Idhajil kemudian menyelinap masuk melalui mulut naga. Setelah Idhajil dikeluarkan menjadi tai, barulah Idhajil berhasil masuk ke sorga pertama. Di pintu surga kedua, Idhajilpun kesulitan lagi, di pintu ini dijaga burung garuda besar yang kejam dan bengis. Idhajil harus mencari cara. Ia mengubah dirinya menjadi ulat. Di depan garuda ia berkeliat-keliat. Melihat ulat berkeloget, naluri Garuda sebagai pemangsa karnivora tergugah. Dipatoklah ulat tersebut. Setelah dikeluarkan menjadi tai, barulah Idhajil jatuh kesorga dan menemui Adam. Melihat seluruh jajaran malaikat lengkap, untuk menghargai karya besar Alloh yang berupa Adam, semua malaikat disuruh bersujud kepada Adam. Semuanya sujud menghormati Alloh, kecuali Idhajil. Idhajil malah sombong dengan pengingkaran kebodohannya. Bahwa dirinya mengira tercipta dari gen berkelas tinggi. Yakni gen cahaya yang merupakan bayangan Alloh. Alloh menyuruh malaikat bersujud pada Adam hanya untuk menghormati karya Alloh, dan bukan menyembah Adam sebagai Tuhan. Pada saatnya nanti Nusantara pasti akan menjadi central pusat dunia. Sebab ceceran negara kepulaun yang membentang dari Sabang sampai Merauke adalah akibat gempilnya retakan surga jaman alam malakut dulu. Ketika itu Azazil malakukan kesalahan pertamanya. Saat itu Alloh mengadakan kontes desain mode cahaya. Hal yang menakjubkan terjadi. Cahaya hasil desainan peserta dari para malaikat sangat memukau. Memanjang berwarna-warni, meliuk-liuk kilaunya, memancar ronanya dengan kilatan hingar bingar. Dan hasil kontes cahaya waktu itu diabadikan sampai sekarang. Dan akan dipertontonkan kemegahan cahaya surga itu bagi manusia kelak yang mampu memasukinya.
Sejak awal Idhajil memang dianugerahi kahebatan lebih oleh Alloh. Tetapi kehebatan itu sekaligus kekurangan dia. Dalam kontes cahaya inipun Idhajil meraih juara utama. Saking gembiranya, karena menjadi pemenang, Idhajilpun berpesta. Ia mabok sembari berdansa. Terlalu asyik berjoget, Idhajil tak sadar tangannya menyentuh dinding pagar tembok sorga. Pagar surga itu kemudian retak, ambrol, dan berjatuhan kebumi. Jejatuhan puing-puing pagar surga itulah yang berserakan dan menjadi jajaran pulau Nusantara raya ini.
Kapan mimpi manusia penghuni Nusantara ini menjadi kenyataan? Nusantara yang makmur bersahaja bagaikan di sorga. Untuk memasuki Sorga Nusantara baru tidaklah mudah, kecuali kita suatu saat penghuninya mampu menggabungkan dua kekuatan besar ’si Naga dan si Garuda’.
1876, Ruh Puisi Arthur Rimbaud di Salatiga
1876, Ruh Puisi Arthur Rimbaud di Salatiga
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=464
Ruh puisi sebelum dituangkan penyairnya, masih mengawang di langit-langit bathin penciptaan. Betapa menggumuli cahaya rasa itu amat payah. Laksana air direbus di atas tungku dengan nyala api keabadian.
Mematangkan zat-zat pengalaman hingga tiada bakteri tersisa. Dari sana hadir kejelasan awal, tersugesti jiwanya sendiri demi memuntahkan gejolak terkandung lama. Sekelahiran musti, sesudah rindu tak tahan terbebani.
Kepercayaan terbit memusnahkan pekabutan was-was, tenggelamkan keraguan. Sirna bayang ketakutkan selama ini menghantui percintaan. Dalam peleburan ruang-waktu yang selalu digembol bersama kesadaran.
Tercapailah kata-kata dari mulut pena, menggambar di lelembaran kertas, memahat kayu kesaksian. Takdirnya melayarkan sampan nurani demi pelita umat manusia.
Kala raga bathin sukmanya dibuncahkan kepenuhan, menjalarlah dinaya kepenyairannya melalui jari-jemari cekatan menari dan terus-menerus bergetar.
“Putra Shakespeare” julukan dari Viktor Hugo (1802-1885) kepada Arthur Rimbaud. Menatap bayang dirinya tertimpa cahaya silam. Berbinar-binar matanya diruapi ruh nenek moyang terdekat. Membimbing jiwa-jiwa tidak jerah, kian kukuh beriktiar dalam pencarian.
Sampai titian akhir dirampungkan karyanya, dipelototi berulangkali di sana-sini. Dipangkas disesuaikan lebih manusiawi atau indrawi dari keadaan sebelumnya. Disimpan dalam kotak rapi, sebelum jarak penantian mempelajari yang berkisaran antara dirinya selama ini.
Kesungguhan berlanjut setelah keraguan menghantui balik, kecemasan diangkat kewaspadaan. Diambilnya catatan lalu, dibacanya keras-keras dalam bathin dan bersuara lantang. Di sinilah penyesuaian akhir terjadi.
Penggalan tiada ampun pada diri sendiri, pilihan kata melebihi jatuhnya hukum pancung. Warna diselaraskan melodi diseiramakan. Mematangkan hembusan perubahan yang selalu dikendarai. Jika ragu disimpan lagi, kalau dirasa purna diyakini berkesaksian akhir seperti awal kelahiran.
Bernard Dorléans dalam bukunya “Les Français et I’Indonésie du XVIe au Xxe siécle” menyebutkan Arthur Rimbaud berada di Jawa tahun 1876 sebagai anggota tentara Belanda. Kini izinkan diriku menafsirkan salah satu puisinya bertitel “Chanson De La Plus Haute Tour” dari buku Sajak-Sajak Modern Prancis Dalam Dua Bahasa, disusun Wing Kardjo, Pustaka Jaya, 1972:
LAGU MENARA TERTINGGI
Arthur Rimbaud
Datanglah, ya datang
Saat bercinta.
Aku sudah begitu sabar
Hingga semua kulupa.
Derita dan gentar
Ke langit musnah.
Dan haus maksiat
Membuat darahku pucat.
Datanglah, ya datang,
Saat bercinta.
Bagai padang
Terbengkalai lupa,
Belukar dan kemenyan
Tumbuh dan berbunga
Dalam dengung liar
Lalar-lalar kotor
Datanglah, ya datang
Saat bercinta.
Rimbaud, membangkitkan masa-masa penuh gairah dari dasar dirinya. Dinayanya diangkat melambung memenuhi panggilan jauh. Atau pribadinya yang menyerukan sebab musabab.
Lantas wajah-wajah berdatangan, berduyun-duyun mendapati kemungkinan. Kasih sayang menggebu dilumati rindu terdalam. Bersamanya segala ucapan mencipta atmosfer besar dalam rahim semesta.
Menebali keyakinan pada semua insan, laksana takdir digariskan. Tidak goyah meski seluruh penjuru dunia hendak menggagalkan. Itu ruh bathin mematangkan suara-suaranya menuju relung terdalam, kalbu jaman.
Kesabarannya menanti melululantakkan bangunan sejarah silam di atas timbunan kenangan pedih. Bebunga karang ingatan disapu hantaman gelombang atas luka-luka menggaramkan diri.
Hingga rasa gentar jua was-was, hanyut terseret arus hasratnya tak terjamah kembali. Musnah kecuali kehendak sah dan peleburan nafsunya memucatkan wajah-wajah ayu seampas tebu.
Atau kekelopak kembang layu oleh angin sayu mendadak menuakan waktu. Buah apel keriput sebelum terjamah jemari halus. Rimbaud memanggil kedatangan bayu bukan kemanjaan, namun pesona sumringah seasmara maut.
Datang angin purba membentur-benturkan mata anak-anaknya, pada bebatuan tebing meruncing legam. Di sana lelempengan waktu bersimpan hikayat kerinduan.
Tanah longsor menimbuni suara-suara lama, kini tergerus bayu pantai meniup tulang-belulang ribuan tahun silam. Yang terpendam menjelma batuan kapur, sepucat getir hujan dini hari.
Melupakannya kesadaran akan berpindah atau telah muksa. Kematian kekasih membayangi tercinta, terus mengharumkan percumbuan lekati bibir mengatup bergetaran.
Beterbangan seawan hitam melahirkan masa-masa menggoyang rerimbun kekokohan. Menara tertinggi kehadiran kala percintaan: maut selalu dirindu para pencari jalan keabadian.
Menjalarkan api abadi ke lorong-lorong buram. Hantu-hantu dibangkitkan bukan kangen, tapi petaka menimpa lama tersia.
Ngeri derita luput ke langit merah. Di padang-padang binasa berlipat amarah, datang sewaktu bercinta penuh gairah.
Demikian tafsiranku kali ini. Untuk riwayatnya aku petik dari buku Puisi Dunia, jilid I disusun M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1952:
Jean Nicolas Arthur Rimbaud (20 Oktober 1854 - 10 November 1891) penyair Perancis lahir di Charleville, Ardennes. Seorang berpendidikan agama, mula pendiam tapi tiba-tiba berontak meninggalkan sekolah dan ibunya, muncul di Paris pada usia 15 tahun. Langsung mendapatkan Paul Verlaine bersama sekumpulan sajak yang menggemparkan penyair-penyair di Paris. Yang kelihatan sajaknya berpandangan hayali dramatis. Fantasi serta perasaan halus melamun. Sajak bebasnya lincah, kata-kata yang dipergunakan sewarna bunyi bergeraknya gambar, asosiasi di sekitar satu metafor sebagai pusat.
Dari kumpulan ini mengalir arus simbolik masuk kesusastraan Prancis. Dalam beberapa hal Rimbaud dianggap pelopor aliran surealis, menulis sajak antara usia 15 dan 19 tahun. Himpunannya yang terkenal “Poésies”, “Une Saison En Enfer” , “Illuminations.” Sajak tersohornya “Le Bateau Ivre” penuh lambang peristiwa nasib-nasiban serta lukisan daerah-daerah jauh yang aneh.
Rimbaud tidak normal ini seakan sanggup melihat dengan mata bathinnya. Paul Claudel (1868 –1955) menganggapnya penyair terbesar yang pernah hidup. Setelah hampir ditembak mati oleh Verlaine, tiba-tiba menghilang. Menempuh hidup nasib-nasiban, berbakat di lapangan yang kurang cocok dengan pembawaan sastrawan. Menjadi pedagang gading, menjual senjata kepada Negus. Rimbaud meninggal di Merseille karena jatuh dari kudanya. Kakinya terpaksa dipotong, radang darah menamatkan riwayatnya.
Petikan http://en.wikipedia.org/wiki/Arthur_Rimbaud: tertulis, Mei 1876 mendaftar prajurit Tentara Kolonial Belanda demi berjalan bebas biaya ke Jawa (Indonesia), melakukan desertir dan kembali ke Perancis dengan kapal. Di kediaman walikota Salatiga, sebuah kota kecil 46 km selatan Semarang, Jawa Tengah, ada piagam marmer yang menyatakan Rimbaud pernah tinggal di kota.
Rimbaud dan Verlaine bertemu terakhir, Maret 1875 di Stuttgart, Jerman, setelah bebasnya Verlaine dari penjara. Saat itu Rimbaud menyerah menulis, memutuskan bekerja atau sudah muak kehidupan liarnya. Ada yang menyatakan berusaha kaya agar mampu hidup satu hari sebagai sastrawan independen. Terus bepergian secara ekstensif di Eropa, sebagian besar jalan kaki.
Di rumah sakit di Marseille, kaki kanannya diamputasi. Diagnosis pasca operasi ialah kanker. Setelah tinggal sebentar di kediaman keluarganya di Charleville, melakukan perjalanan kembali ke Afrika. Di jalan kesehatannya memburuk, dibawa ke rumah sakit yang sama. Pembedahan dilakukan dihadiri saudarinya Isabelle. Rimbaud meninggal di Marseille, dimakamkan di Charleville.
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=464
Ruh puisi sebelum dituangkan penyairnya, masih mengawang di langit-langit bathin penciptaan. Betapa menggumuli cahaya rasa itu amat payah. Laksana air direbus di atas tungku dengan nyala api keabadian.
Mematangkan zat-zat pengalaman hingga tiada bakteri tersisa. Dari sana hadir kejelasan awal, tersugesti jiwanya sendiri demi memuntahkan gejolak terkandung lama. Sekelahiran musti, sesudah rindu tak tahan terbebani.
Kepercayaan terbit memusnahkan pekabutan was-was, tenggelamkan keraguan. Sirna bayang ketakutkan selama ini menghantui percintaan. Dalam peleburan ruang-waktu yang selalu digembol bersama kesadaran.
Tercapailah kata-kata dari mulut pena, menggambar di lelembaran kertas, memahat kayu kesaksian. Takdirnya melayarkan sampan nurani demi pelita umat manusia.
Kala raga bathin sukmanya dibuncahkan kepenuhan, menjalarlah dinaya kepenyairannya melalui jari-jemari cekatan menari dan terus-menerus bergetar.
“Putra Shakespeare” julukan dari Viktor Hugo (1802-1885) kepada Arthur Rimbaud. Menatap bayang dirinya tertimpa cahaya silam. Berbinar-binar matanya diruapi ruh nenek moyang terdekat. Membimbing jiwa-jiwa tidak jerah, kian kukuh beriktiar dalam pencarian.
Sampai titian akhir dirampungkan karyanya, dipelototi berulangkali di sana-sini. Dipangkas disesuaikan lebih manusiawi atau indrawi dari keadaan sebelumnya. Disimpan dalam kotak rapi, sebelum jarak penantian mempelajari yang berkisaran antara dirinya selama ini.
Kesungguhan berlanjut setelah keraguan menghantui balik, kecemasan diangkat kewaspadaan. Diambilnya catatan lalu, dibacanya keras-keras dalam bathin dan bersuara lantang. Di sinilah penyesuaian akhir terjadi.
Penggalan tiada ampun pada diri sendiri, pilihan kata melebihi jatuhnya hukum pancung. Warna diselaraskan melodi diseiramakan. Mematangkan hembusan perubahan yang selalu dikendarai. Jika ragu disimpan lagi, kalau dirasa purna diyakini berkesaksian akhir seperti awal kelahiran.
Bernard Dorléans dalam bukunya “Les Français et I’Indonésie du XVIe au Xxe siécle” menyebutkan Arthur Rimbaud berada di Jawa tahun 1876 sebagai anggota tentara Belanda. Kini izinkan diriku menafsirkan salah satu puisinya bertitel “Chanson De La Plus Haute Tour” dari buku Sajak-Sajak Modern Prancis Dalam Dua Bahasa, disusun Wing Kardjo, Pustaka Jaya, 1972:
LAGU MENARA TERTINGGI
Arthur Rimbaud
Datanglah, ya datang
Saat bercinta.
Aku sudah begitu sabar
Hingga semua kulupa.
Derita dan gentar
Ke langit musnah.
Dan haus maksiat
Membuat darahku pucat.
Datanglah, ya datang,
Saat bercinta.
Bagai padang
Terbengkalai lupa,
Belukar dan kemenyan
Tumbuh dan berbunga
Dalam dengung liar
Lalar-lalar kotor
Datanglah, ya datang
Saat bercinta.
Rimbaud, membangkitkan masa-masa penuh gairah dari dasar dirinya. Dinayanya diangkat melambung memenuhi panggilan jauh. Atau pribadinya yang menyerukan sebab musabab.
Lantas wajah-wajah berdatangan, berduyun-duyun mendapati kemungkinan. Kasih sayang menggebu dilumati rindu terdalam. Bersamanya segala ucapan mencipta atmosfer besar dalam rahim semesta.
Menebali keyakinan pada semua insan, laksana takdir digariskan. Tidak goyah meski seluruh penjuru dunia hendak menggagalkan. Itu ruh bathin mematangkan suara-suaranya menuju relung terdalam, kalbu jaman.
Kesabarannya menanti melululantakkan bangunan sejarah silam di atas timbunan kenangan pedih. Bebunga karang ingatan disapu hantaman gelombang atas luka-luka menggaramkan diri.
Hingga rasa gentar jua was-was, hanyut terseret arus hasratnya tak terjamah kembali. Musnah kecuali kehendak sah dan peleburan nafsunya memucatkan wajah-wajah ayu seampas tebu.
Atau kekelopak kembang layu oleh angin sayu mendadak menuakan waktu. Buah apel keriput sebelum terjamah jemari halus. Rimbaud memanggil kedatangan bayu bukan kemanjaan, namun pesona sumringah seasmara maut.
Datang angin purba membentur-benturkan mata anak-anaknya, pada bebatuan tebing meruncing legam. Di sana lelempengan waktu bersimpan hikayat kerinduan.
Tanah longsor menimbuni suara-suara lama, kini tergerus bayu pantai meniup tulang-belulang ribuan tahun silam. Yang terpendam menjelma batuan kapur, sepucat getir hujan dini hari.
Melupakannya kesadaran akan berpindah atau telah muksa. Kematian kekasih membayangi tercinta, terus mengharumkan percumbuan lekati bibir mengatup bergetaran.
Beterbangan seawan hitam melahirkan masa-masa menggoyang rerimbun kekokohan. Menara tertinggi kehadiran kala percintaan: maut selalu dirindu para pencari jalan keabadian.
Menjalarkan api abadi ke lorong-lorong buram. Hantu-hantu dibangkitkan bukan kangen, tapi petaka menimpa lama tersia.
Ngeri derita luput ke langit merah. Di padang-padang binasa berlipat amarah, datang sewaktu bercinta penuh gairah.
Demikian tafsiranku kali ini. Untuk riwayatnya aku petik dari buku Puisi Dunia, jilid I disusun M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1952:
Jean Nicolas Arthur Rimbaud (20 Oktober 1854 - 10 November 1891) penyair Perancis lahir di Charleville, Ardennes. Seorang berpendidikan agama, mula pendiam tapi tiba-tiba berontak meninggalkan sekolah dan ibunya, muncul di Paris pada usia 15 tahun. Langsung mendapatkan Paul Verlaine bersama sekumpulan sajak yang menggemparkan penyair-penyair di Paris. Yang kelihatan sajaknya berpandangan hayali dramatis. Fantasi serta perasaan halus melamun. Sajak bebasnya lincah, kata-kata yang dipergunakan sewarna bunyi bergeraknya gambar, asosiasi di sekitar satu metafor sebagai pusat.
Dari kumpulan ini mengalir arus simbolik masuk kesusastraan Prancis. Dalam beberapa hal Rimbaud dianggap pelopor aliran surealis, menulis sajak antara usia 15 dan 19 tahun. Himpunannya yang terkenal “Poésies”, “Une Saison En Enfer” , “Illuminations.” Sajak tersohornya “Le Bateau Ivre” penuh lambang peristiwa nasib-nasiban serta lukisan daerah-daerah jauh yang aneh.
Rimbaud tidak normal ini seakan sanggup melihat dengan mata bathinnya. Paul Claudel (1868 –1955) menganggapnya penyair terbesar yang pernah hidup. Setelah hampir ditembak mati oleh Verlaine, tiba-tiba menghilang. Menempuh hidup nasib-nasiban, berbakat di lapangan yang kurang cocok dengan pembawaan sastrawan. Menjadi pedagang gading, menjual senjata kepada Negus. Rimbaud meninggal di Merseille karena jatuh dari kudanya. Kakinya terpaksa dipotong, radang darah menamatkan riwayatnya.
Petikan http://en.wikipedia.org/wiki/Arthur_Rimbaud: tertulis, Mei 1876 mendaftar prajurit Tentara Kolonial Belanda demi berjalan bebas biaya ke Jawa (Indonesia), melakukan desertir dan kembali ke Perancis dengan kapal. Di kediaman walikota Salatiga, sebuah kota kecil 46 km selatan Semarang, Jawa Tengah, ada piagam marmer yang menyatakan Rimbaud pernah tinggal di kota.
Rimbaud dan Verlaine bertemu terakhir, Maret 1875 di Stuttgart, Jerman, setelah bebasnya Verlaine dari penjara. Saat itu Rimbaud menyerah menulis, memutuskan bekerja atau sudah muak kehidupan liarnya. Ada yang menyatakan berusaha kaya agar mampu hidup satu hari sebagai sastrawan independen. Terus bepergian secara ekstensif di Eropa, sebagian besar jalan kaki.
Di rumah sakit di Marseille, kaki kanannya diamputasi. Diagnosis pasca operasi ialah kanker. Setelah tinggal sebentar di kediaman keluarganya di Charleville, melakukan perjalanan kembali ke Afrika. Di jalan kesehatannya memburuk, dibawa ke rumah sakit yang sama. Pembedahan dilakukan dihadiri saudarinya Isabelle. Rimbaud meninggal di Marseille, dimakamkan di Charleville.
Wednesday, 19 January 2011
Masjid Penuh Malaikat
Masjid Penuh Malaikat
Cerpen Miftah Fadhli
“KI MA’UN, kenapa pintu masjid belum dibuka?” tanya Jawi ketika menghampiri Ki Ma’un yang hanya nongkrong di depan pagar masjid. “Lha, malah ngendhuk di sini. Kenapa belum dibuka masjidnya, Ki.”
Ki Ma’un tengadah. Kedua alisnya melorot membentuk kerut. Sambil membetulkan kopiah dan mengusap kerak ludah di ujung bibir, dia memberikan kunci mesjid kepada Jawi dengan wajah kusut. Jawi yang gelagapan karena saat itu dia belum siap melipat sarungnya terpaksa menerima dengan raut heran.
“Kenapa tho, Ki? Kenapa kuncinya diberikan ke saya tho?” ucap Jawi sambil sesekali mengusap matanya yang penuh belek.
Jawi berjalan agak terkantuk ke teras mesjid. Sepi meraup dingin yang tadi sempat Jawi rasakan di perjalanan. Tidak biasanya masjid setenang ini. Dingin yang memuncak tiba-tiba melorot tak berdaya berganti hangat, sekaligus suasana hening tanpa bunyi sedikit pun. Jawi mengintip dari jendela. Yang dapat ia lihat hanya bayangan samar kain pembatas di dalam mesjid yang dikuak ke atas. Lalu, dengan hati-hati sambil sebelumnya menoleh kepada Ki Ma’un yang tak meninggalkan duduknya, ia memasukkan kunci pada lubangnya. Ia putar ke kanan, lalu “klik”. Diputar ke kanan kedua kalinya, kemudian terdengar lagi “klik”. Ia tersenyum. Berbalik sebentar pada Ki Ma’un yang juga berbalik, namun cepat memalingkan muka dan menunduk cemberut.
“Wong aneh Ki Ma’un ini. Ndak ada apa-apa kok ngekengkreng begitu kayak ayam,” celoteh Jawi sambil memutar gagang pintu. Tidak ada suara “klik treeek” seperti biasa saat membuka pintu. Justru gagang pintu yang kembali pada posisinya semula sulit diputar untuk kedua kalinya. Jawi bingung. Diputarnya lagi berulang-ulang, namun hasilnya tetap sama saja. Gagang pintu tak bergerak.
“Pintunya rusak, Ki?”
“Ya ndak. Kemarin gagangnya baru diganti dengan yang paling baru dan mahal. Ndak mungkin rusak,” jawab Ki Ma’un tak bertenaga.
Jawi mencoba sekali lagi, tapi gagal. Ia berputar ke pintu samping, menjumput kunci kedua. Dimasukkannya kunci, diputarnya gagang pintu, kembali pada posisi semula, lalu diputar lagi. Hasilnya tetap sama. Dan, tak berubah pula ketika ia mencoba pada pintu ketiga.
“Atau kuncinya yang ndak pas, Ki?”
“Kamu dengar bunyi apa itu tadi? Kalau bisa diputar, ya berarti pas tho,” jawab Ki Ma’un kesal.
Akhirnya, Jawi bergabung dengan Ki Ma’un. Duduk di sebelahnya dan menyerahkan kunci itu padanya lagi.
“Memangnya sudah berapa lama Ki di sini?” tanya Jawi.
“Sejak sejam yang lalu,” ucap Ki Ma’un.
“Duh, kenapa bisa begitu ya? Masak pintu tiba-tiba ndak iso dibuka ya?” gerutu Jawi sambil menggaruk-garuk kepalanya. Ia mengapit kopiahnya di bilah ketiak sambil membetulkan lipatan sarung yang dari tadi terus melorot.
Ia memandang sekeliling. Hari ini aneh, sangkanya. Biasanya orang sering berseliweran di depan masjid meski masih pukul setengah lima. Setengah jam lagi seharusnya azan Subuh. Biasanya akan ada rombongan ibu-ibu pedagang menggondol dagangannya dengan tampah atau keranjang. Para jamaah juga seharusnya sudah ada yang datang ke masjid, tapi Jawi tak melihat satu pun muka mereka.
“Mustahil ndak bisa dibuka, Ki,” Jawi geram.
Kemudian, ia merebut kunci dari Ki Ma’un dan mencobanya lagi. Tetap tak terbuka. Jawi mengelilingi mesjid, bahkan sempat melongok ke dalam toilet. Sebentar ia berdiri di samping kanan masjid sembari mengedarkan pandangannya pada semua benda. Ia merasa aneh. Tak ada angin, tak ada sesuatu yang bergerak normal. Jika ia merasakan ada angin, itu karena ia merasa tengkuknya tiba-tiba dingin seperti diembus. Bulu kuduknya meradang. Ia menghampiri Ki Ma’un.
“Hari ini kok aneh ya, Ki?”
“Aneh bagaimana?”
“Kok ndak ada orang lewat, ndak ada angin, ndak ada apa gitu Ki. Tenang sekali di sini,” ucap Mail mengelus-elus tengkuknya yang masih terasa dingin.
Ki Ma’un hanya menoleh, menatapnya sayu, lalu berbalik mengusap wajahnya. Rasa kantuk sepertinya masih mengganjal Ki Ma’un, sebab sedari tadi ia terus mengucek-ucek kedua matanya. Kelopak matanya turun dan sepertinya ia sangat kelelahan.
“Tadi malam aku ngeronda sampai jam dua. Masih ada beberapa penduduk lewat kok.” Ucap Ki Ma’un.
Jawi mengangguk setuju, sebab ia juga sempat mendengar beberapa pemuda di warung samping rumahnya bernyanyi hingga pukul tiga. Juga terdengar alunan musik gondang dari rumah Ompu Manitir yang tak jauh dari rumahnya. Ia tahu di rumah Ompu Manitir sedang diadakan pesta perkawinan anak keduanya. Pesta itu sendiri sudah berlangsung sejak dua hari lalu.
Sebenarnya, keheranan Jawi sudah berlangsung sejak ia keluar dari pintu rumah. Bahkan, bunyi kancing kemejanya yang jatuh saja bisa ia dengar saking sunyinya. Langit tampak gelap. Sunyi membahana di sekeliling perkampungan. Ia pun bingung saat melewati rumah Ompu Manitir, tidak ada lagi peralatan pesta bertengger di situ. Sekadar sampah atau sisa-sisa kayu bekas api unggun saja tidak ia temukan. Biasanya Ompu Manitir membuat api unggun di depan rumahnya jika ada acara hingga larut malam.
Hal yang paling membuatnya merinding adalah ketika ia melintas di depan rumah Pakde Suryaman. Rumah lelaki dermawan itu gelap, sama sekali tak disinari cahaya. Lampu jalan sudah tak berfungsi sejak dua hari lalu dan tak diganti. Ia sempat berhenti sebentar melihat-lihat sekeliling rumahnya. Begitu tenang. Seakan ia pun ikut hanyut dalam ketenangan yang luar biasa itu.
Kemarin, Pakde Suryaman baru saja menggelar wiridan bersama anak-anak yatim. Padahal, kondisinya saat itu sedang sakit hingga ia mesti duduk di kursi roda, tapi tetap memaksakan ikut membagi-bagi sembako kepada anak-anak yatim itu. Jawi sendiri ikut membantu.
Jawi beranjak lagi dari samping Ki Ma’un. Kali ini ia mencoba melongok dari lubang ventilasi. Ia mengambil dingklik di samping tiang dan berusaha memanjang-manjangkan leher demi melihat ke dalam mesjid. Darahnya terkesiap. Jantungnya berdetak kencang saat ia menyaksikan di shaf imam terdapat Alquran terbuka di atas dudukannya dengan mikrofon duduk di depannya. Cahaya di atasnya menyala meski redup.
“Ki, sampeyan lupa membereskan masjid, ya?” katanya tanpa beranjak.
“Ndak mungkin aku lupa. Wong tadi sehabis Isya sudah kubereskan semua.”
“Ada Alquran di barisan imam, Ki. Masih terbuka. Juga ada mikrofon di situ.”
“Ndak mungkin ah. Aku yakin sekali sudah kubereskan semua Alquran dan mikrofon ke tempatnya.” Bantah Ki Ma’un sebal.
Jawi mengintip ke arah jam dinding. Sudah pukul lima. Seharusnya azan subuh sudah berkumandang, namun ia tak mendengar azan dari masjid manapun. Padahal, kampungnya dikelilingi tiga buah masjid yang selalu tepat waktu mengumandangkan azan.
“Ki, bawa jam ndak? Sudah jam piro?” tanya Jawi masih tak beranjak dari tempatnya.
“Jam limo lewat sikit. Kenapa ndak ada azan, ya?” Ki Ma’un ternyata menyadari hal yang sama.
“Aku juga ndak mengerti, Ki. Ono opo tho?” Jawi menghampiri Ki Ma’un. Sambil berjalan tergopoh-gopoh ia meminta lagi kunci masjid pada lelaki tua itu.
“Sudahlah. Ndak akan bisa dibuka. Wong aku sendiri sudah mencobanya lima kali, tetep ndak iso.” Kata Ki Ma’un urung memberikan kunci pada Jawi.
Bagai kena mantra sirep, Jawi dan Ki Ma’un tiba-tiba merasa tak dapat menggerakkan tubuhnya ketika angin berembus demikian kuat hingga mengempas kopiah keduanya. Langit tiba-tiba mengeluarkan cahaya kekuningan demikian perlahan. Mereka dapat melihat bayangan mereka sendiri diterpa cahaya fajar yang tiba-tiba saja menyembul dari balik ufuk. Barulah mereka dapat menggerakkan tubuh secara perlahan ketika Kades Darmadji datang menghampiri.
“Lho, kalian masih di sini rupanya. Sudah dimatikan kasetnya kan? Lho, pintu masjidnya kok ditutup lagi,” ujar Kades Darmadji menepuk pundak Ki Ma’un.
Jawi yang bingung setengah mati bertanya, “Ada apa ya, Pak?”
Kades Darmadji tertawa seloroh, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. “Kamu ini bagaimana tho, Jawi. Lha wong tadi kamu yang ngumumken Pak Suryaman meninggal. Ya, sudah jangan bercanda. Sudah kamu matikan kan kaset Yasinnya?”
“Kaset Yasin opo tho. Wong dari tadi masjidnya ndak iso dibuka,” sambung Ki Ma’un terheran-heran.
Kades Darmadji kembali tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala. Ia heran melihat kedua lelaki di depannya saling pandang dengan wajah kusut.
“Ki Ma’un ini pintar bercanda ya. Wong suara kaset sekeras geledek begitu kok malah nanya kaset opo. Sudahlah, Ki, Jawi, saya tunggu di rumah Pak Suryaman ya.” Kades Darmadji meninggalkan kedua lelaki yang masih tak mengerti apa-apa.
Mereka tetap saling pandang. Tak berkedip sekalipun. Mencoba mengingat-ingat kembali. Mereka yakin tak mendengar suara kaset apa pun, bahkan tak merasa mengumumkan berita apa pun karena memang sejak tadi mereka tak bisa masuk masjid.
Ki Ma’un memberikan kunci masjid pada Jawi. Jawi yang masih tak percaya berjalan agak gontai menuju pintu masjid. Ia masukkan kunci perlahan, lalu memutar gagang pintu. Sesaat pintu terbuka setelah Jawi mendorongnya sedikit. Dilihatnya kain pembatas jamaah terlipat ke atas. Tak ada Alquran dan mikrofon tergeletak di barisan imam seperti yang ia lihat tadi. (*)
Tumpatan, 2010
Sumber: Republika, 5 Desember 2010
Cerpen Miftah Fadhli
“KI MA’UN, kenapa pintu masjid belum dibuka?” tanya Jawi ketika menghampiri Ki Ma’un yang hanya nongkrong di depan pagar masjid. “Lha, malah ngendhuk di sini. Kenapa belum dibuka masjidnya, Ki.”
Ki Ma’un tengadah. Kedua alisnya melorot membentuk kerut. Sambil membetulkan kopiah dan mengusap kerak ludah di ujung bibir, dia memberikan kunci mesjid kepada Jawi dengan wajah kusut. Jawi yang gelagapan karena saat itu dia belum siap melipat sarungnya terpaksa menerima dengan raut heran.
“Kenapa tho, Ki? Kenapa kuncinya diberikan ke saya tho?” ucap Jawi sambil sesekali mengusap matanya yang penuh belek.
Jawi berjalan agak terkantuk ke teras mesjid. Sepi meraup dingin yang tadi sempat Jawi rasakan di perjalanan. Tidak biasanya masjid setenang ini. Dingin yang memuncak tiba-tiba melorot tak berdaya berganti hangat, sekaligus suasana hening tanpa bunyi sedikit pun. Jawi mengintip dari jendela. Yang dapat ia lihat hanya bayangan samar kain pembatas di dalam mesjid yang dikuak ke atas. Lalu, dengan hati-hati sambil sebelumnya menoleh kepada Ki Ma’un yang tak meninggalkan duduknya, ia memasukkan kunci pada lubangnya. Ia putar ke kanan, lalu “klik”. Diputar ke kanan kedua kalinya, kemudian terdengar lagi “klik”. Ia tersenyum. Berbalik sebentar pada Ki Ma’un yang juga berbalik, namun cepat memalingkan muka dan menunduk cemberut.
“Wong aneh Ki Ma’un ini. Ndak ada apa-apa kok ngekengkreng begitu kayak ayam,” celoteh Jawi sambil memutar gagang pintu. Tidak ada suara “klik treeek” seperti biasa saat membuka pintu. Justru gagang pintu yang kembali pada posisinya semula sulit diputar untuk kedua kalinya. Jawi bingung. Diputarnya lagi berulang-ulang, namun hasilnya tetap sama saja. Gagang pintu tak bergerak.
“Pintunya rusak, Ki?”
“Ya ndak. Kemarin gagangnya baru diganti dengan yang paling baru dan mahal. Ndak mungkin rusak,” jawab Ki Ma’un tak bertenaga.
Jawi mencoba sekali lagi, tapi gagal. Ia berputar ke pintu samping, menjumput kunci kedua. Dimasukkannya kunci, diputarnya gagang pintu, kembali pada posisi semula, lalu diputar lagi. Hasilnya tetap sama. Dan, tak berubah pula ketika ia mencoba pada pintu ketiga.
“Atau kuncinya yang ndak pas, Ki?”
“Kamu dengar bunyi apa itu tadi? Kalau bisa diputar, ya berarti pas tho,” jawab Ki Ma’un kesal.
Akhirnya, Jawi bergabung dengan Ki Ma’un. Duduk di sebelahnya dan menyerahkan kunci itu padanya lagi.
“Memangnya sudah berapa lama Ki di sini?” tanya Jawi.
“Sejak sejam yang lalu,” ucap Ki Ma’un.
“Duh, kenapa bisa begitu ya? Masak pintu tiba-tiba ndak iso dibuka ya?” gerutu Jawi sambil menggaruk-garuk kepalanya. Ia mengapit kopiahnya di bilah ketiak sambil membetulkan lipatan sarung yang dari tadi terus melorot.
Ia memandang sekeliling. Hari ini aneh, sangkanya. Biasanya orang sering berseliweran di depan masjid meski masih pukul setengah lima. Setengah jam lagi seharusnya azan Subuh. Biasanya akan ada rombongan ibu-ibu pedagang menggondol dagangannya dengan tampah atau keranjang. Para jamaah juga seharusnya sudah ada yang datang ke masjid, tapi Jawi tak melihat satu pun muka mereka.
“Mustahil ndak bisa dibuka, Ki,” Jawi geram.
Kemudian, ia merebut kunci dari Ki Ma’un dan mencobanya lagi. Tetap tak terbuka. Jawi mengelilingi mesjid, bahkan sempat melongok ke dalam toilet. Sebentar ia berdiri di samping kanan masjid sembari mengedarkan pandangannya pada semua benda. Ia merasa aneh. Tak ada angin, tak ada sesuatu yang bergerak normal. Jika ia merasakan ada angin, itu karena ia merasa tengkuknya tiba-tiba dingin seperti diembus. Bulu kuduknya meradang. Ia menghampiri Ki Ma’un.
“Hari ini kok aneh ya, Ki?”
“Aneh bagaimana?”
“Kok ndak ada orang lewat, ndak ada angin, ndak ada apa gitu Ki. Tenang sekali di sini,” ucap Mail mengelus-elus tengkuknya yang masih terasa dingin.
Ki Ma’un hanya menoleh, menatapnya sayu, lalu berbalik mengusap wajahnya. Rasa kantuk sepertinya masih mengganjal Ki Ma’un, sebab sedari tadi ia terus mengucek-ucek kedua matanya. Kelopak matanya turun dan sepertinya ia sangat kelelahan.
“Tadi malam aku ngeronda sampai jam dua. Masih ada beberapa penduduk lewat kok.” Ucap Ki Ma’un.
Jawi mengangguk setuju, sebab ia juga sempat mendengar beberapa pemuda di warung samping rumahnya bernyanyi hingga pukul tiga. Juga terdengar alunan musik gondang dari rumah Ompu Manitir yang tak jauh dari rumahnya. Ia tahu di rumah Ompu Manitir sedang diadakan pesta perkawinan anak keduanya. Pesta itu sendiri sudah berlangsung sejak dua hari lalu.
Sebenarnya, keheranan Jawi sudah berlangsung sejak ia keluar dari pintu rumah. Bahkan, bunyi kancing kemejanya yang jatuh saja bisa ia dengar saking sunyinya. Langit tampak gelap. Sunyi membahana di sekeliling perkampungan. Ia pun bingung saat melewati rumah Ompu Manitir, tidak ada lagi peralatan pesta bertengger di situ. Sekadar sampah atau sisa-sisa kayu bekas api unggun saja tidak ia temukan. Biasanya Ompu Manitir membuat api unggun di depan rumahnya jika ada acara hingga larut malam.
Hal yang paling membuatnya merinding adalah ketika ia melintas di depan rumah Pakde Suryaman. Rumah lelaki dermawan itu gelap, sama sekali tak disinari cahaya. Lampu jalan sudah tak berfungsi sejak dua hari lalu dan tak diganti. Ia sempat berhenti sebentar melihat-lihat sekeliling rumahnya. Begitu tenang. Seakan ia pun ikut hanyut dalam ketenangan yang luar biasa itu.
Kemarin, Pakde Suryaman baru saja menggelar wiridan bersama anak-anak yatim. Padahal, kondisinya saat itu sedang sakit hingga ia mesti duduk di kursi roda, tapi tetap memaksakan ikut membagi-bagi sembako kepada anak-anak yatim itu. Jawi sendiri ikut membantu.
Jawi beranjak lagi dari samping Ki Ma’un. Kali ini ia mencoba melongok dari lubang ventilasi. Ia mengambil dingklik di samping tiang dan berusaha memanjang-manjangkan leher demi melihat ke dalam mesjid. Darahnya terkesiap. Jantungnya berdetak kencang saat ia menyaksikan di shaf imam terdapat Alquran terbuka di atas dudukannya dengan mikrofon duduk di depannya. Cahaya di atasnya menyala meski redup.
“Ki, sampeyan lupa membereskan masjid, ya?” katanya tanpa beranjak.
“Ndak mungkin aku lupa. Wong tadi sehabis Isya sudah kubereskan semua.”
“Ada Alquran di barisan imam, Ki. Masih terbuka. Juga ada mikrofon di situ.”
“Ndak mungkin ah. Aku yakin sekali sudah kubereskan semua Alquran dan mikrofon ke tempatnya.” Bantah Ki Ma’un sebal.
Jawi mengintip ke arah jam dinding. Sudah pukul lima. Seharusnya azan subuh sudah berkumandang, namun ia tak mendengar azan dari masjid manapun. Padahal, kampungnya dikelilingi tiga buah masjid yang selalu tepat waktu mengumandangkan azan.
“Ki, bawa jam ndak? Sudah jam piro?” tanya Jawi masih tak beranjak dari tempatnya.
“Jam limo lewat sikit. Kenapa ndak ada azan, ya?” Ki Ma’un ternyata menyadari hal yang sama.
“Aku juga ndak mengerti, Ki. Ono opo tho?” Jawi menghampiri Ki Ma’un. Sambil berjalan tergopoh-gopoh ia meminta lagi kunci masjid pada lelaki tua itu.
“Sudahlah. Ndak akan bisa dibuka. Wong aku sendiri sudah mencobanya lima kali, tetep ndak iso.” Kata Ki Ma’un urung memberikan kunci pada Jawi.
Bagai kena mantra sirep, Jawi dan Ki Ma’un tiba-tiba merasa tak dapat menggerakkan tubuhnya ketika angin berembus demikian kuat hingga mengempas kopiah keduanya. Langit tiba-tiba mengeluarkan cahaya kekuningan demikian perlahan. Mereka dapat melihat bayangan mereka sendiri diterpa cahaya fajar yang tiba-tiba saja menyembul dari balik ufuk. Barulah mereka dapat menggerakkan tubuh secara perlahan ketika Kades Darmadji datang menghampiri.
“Lho, kalian masih di sini rupanya. Sudah dimatikan kasetnya kan? Lho, pintu masjidnya kok ditutup lagi,” ujar Kades Darmadji menepuk pundak Ki Ma’un.
Jawi yang bingung setengah mati bertanya, “Ada apa ya, Pak?”
Kades Darmadji tertawa seloroh, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. “Kamu ini bagaimana tho, Jawi. Lha wong tadi kamu yang ngumumken Pak Suryaman meninggal. Ya, sudah jangan bercanda. Sudah kamu matikan kan kaset Yasinnya?”
“Kaset Yasin opo tho. Wong dari tadi masjidnya ndak iso dibuka,” sambung Ki Ma’un terheran-heran.
Kades Darmadji kembali tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala. Ia heran melihat kedua lelaki di depannya saling pandang dengan wajah kusut.
“Ki Ma’un ini pintar bercanda ya. Wong suara kaset sekeras geledek begitu kok malah nanya kaset opo. Sudahlah, Ki, Jawi, saya tunggu di rumah Pak Suryaman ya.” Kades Darmadji meninggalkan kedua lelaki yang masih tak mengerti apa-apa.
Mereka tetap saling pandang. Tak berkedip sekalipun. Mencoba mengingat-ingat kembali. Mereka yakin tak mendengar suara kaset apa pun, bahkan tak merasa mengumumkan berita apa pun karena memang sejak tadi mereka tak bisa masuk masjid.
Ki Ma’un memberikan kunci masjid pada Jawi. Jawi yang masih tak percaya berjalan agak gontai menuju pintu masjid. Ia masukkan kunci perlahan, lalu memutar gagang pintu. Sesaat pintu terbuka setelah Jawi mendorongnya sedikit. Dilihatnya kain pembatas jamaah terlipat ke atas. Tak ada Alquran dan mikrofon tergeletak di barisan imam seperti yang ia lihat tadi. (*)
Tumpatan, 2010
Sumber: Republika, 5 Desember 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)