Friday, 25 February 2011

Angin dari Ujung Angin

Angin dari Ujung Angin



“Sudahlah Herma, kau tak perlu membayangkan lagi warna wajah ayahmu saat dia menghilang dengan menunggang kuda ke tenggara kota. Yang kutahu, mengenakan topeng emas mirip penunggang kuda dari atas angin 1), sayap di kedua bahunya berkibar-kibar membelah malam. Aku pun tak bisa melihat wajahnya. Mungkin dia telah menjelma iblis. Punggungnya berkilat-kilat, menusuk-nusuk, memisau mata,” kata Hilda, perempuan bergaun tidur hijau muda itu sambil membereskan meja belajar Herma yang dipenuhi lukisan-lukisan pria berkuda berwajah tanpa warna.

Tetapi, teman-temanku bisa mewarnai wajah ayahnya, Ibu. Meskipun Niko melukis wajah ayahnya menyerupai harimau, tetapi dia bisa mengoleskan wara merah di kedua pipinya yang menggelembung,” suara Herma melayang, mendengung di telinga Hilda.

Tak kehilangan akal, Hilda kemudian mengoleskan warna emas di wajah lukisan pria bersayap berkuda gagah itu. “Inilah wajah ayahmu. Dan Ibu harap kau tak bertanya lagi dengan warna apa harus mengoles wajah ayahmu.”

Herma, perempuan kencur itu, tak puas. Sejak usianya mengelopak dan nyala sepuluh lilin di kue ulang tahunnya berkilau-kilau, dia memang berusaha menyangkal setiap cerita aneh tentang ayahnya. Karena itu, dia pun memprotes lukisan Hilda. “Itu bukan wajah, Ibu. Teman-temanku pun akan bilang, ’itu lukisan pria bertopeng!’ Bagaimana kalau wajah Ayah kuanggap berwarna biru?” desis Herma seraya menggambar kuda perkasa yang ditunggangi dua perempuan bersayap dan seorang laki-laki berwajah biru.

Hilda tercengang. Kilau matanya melesat ke tubuh dua perempuan kuning gading yang melamun di punggung kuda yang tengah meringkik di atas buku gambar. “Apakah kedua perempuan itu: aku dan Mama Leli?” Hilda mendesah tak keruan.

Herma mengangguk.

“Mengapa seperti orang-orang bodoh yang suka melamun?”

“Karena Ibu dan Mama Leli memang suka melamun. Tetapi sudahlah, Ibu tak perlu bertanya tentang mata kosong dua perempuan itu. Aku hanya butuh persetujuan Ibu untuk mengoles wajah Ayah dengan warna biru,” sergah Herma.

Hilda menghela napas. “Ibu harus bilang apalagi? Yang jelas, kau atau aku tak bisa mereka-reka sesuatu dari kehampaan 2), Herma.”

Herma pusing mendengar kata-kata ibunya yang meluncur seperti bola biliar yang disodok dengan kecepatan penuh. Meski demikian, sekali lagi Herma merasa perlu mendesak Hilda agar mengizinkan dirinya mengoles wajah sang ayah dengan warna biru. “Kalau tak diizinkan, aku akan minta Mama Leli mencipratkan warna hitam ke seluruh wajah Ayah,” kata Herma ketus.

Mendengar letupan-letupan suara Herma yang bagai mercon cabai rawit, habislah kesabaran Hilda. Sambil memelototkan mata, perempuan beranting-anting warna magenta itu mencerocoskan sumpah serapah, “Dengar, Herma… mulai sekarang kau harus mengerti siapa ayahmu. Dia tak lebih dari kelelawar busuk yang suka bersembunyi bersama kelelawar busuk lain di dalam gua.”

“Kelelawar busuk? Bersembunyi di dalam gua? Buat apa Ayah bersembunyi di dalam gua? Aku tak mengerti maksud Ibu,” ringkik Herma, setengah berteriak sehingga suaranya menenggelamkan dengung musik Der Mond Im Wassertropfen 3) yang mengalun dari kamar lain.

O, tidak mungkin Hilda menjawab pertanyaan Herma dengan jujur. Karena itu, sambil terus-menerus menata meja belajar Herma yang memang berantakan dia hanya mendesah dalam hati, “Kenyataannya begini, anakku, pada musim yang busuk, Ibu memergoki ayahmu mengendarai mobil ke tenggara kota bersama perempuan lain. Asal kau tahu, melewati jalan penuh pinus yang berkelok-kelok, mereka berhenti di halaman luas sebuah gua saat senja melabrak sekujur bebatuan yang melumut. Tak banyak yang mereka percakapkan. Mereka hanya bergandengan tangan, saling memeluk, dan menuruni undak-undakan yang menghubungkan dunia luar penuh kicau burung dan dunia gua sarat kelelawar, kercik sungai, dan tumbuh-tumbuhan hijau yang menjalar bagai ular.”

Merasa pertanyaan-pertanyaannya tak digubris, Herma merajuk. Dia cium kening ibunya dan mulai melontarkan rayuan yang mematikan, “Ayolah, Ibu. Kalau Ibu masih mau bercerita tentang Ayah, aku mau belajar terus. Aku mau membantu Ibu di dapur, memasak sup, menggoreng telor mata sapi, dan….”

Hilda tetap bergeming. Dalam hentakan kendang Banjar Gruppe Berlin yang kian mencekik, pandangan matanya menerawang ke jendela. Dalam pikiran yang kian kalut, dia melolong-lolong lagi, “O, seandainya kau tahu apa yang dilakukan ayahmu dan perempuan itu, Herma. Seandainya dari kejauhan dan semak-semak yang rimbun kau bisa menyaksikan sepasang kekasih menuntaskan kasmaran yang menggelora di keremangan gua, kau akan memahami mengapa Ibu menganggap ayahmu tak lebih dari seekor kelelawar yang tak sanggup menyembunyikan kebusukannya.”

Sekali lagi Hilda menghela napas. “Tetapi, tidak! Tidak! Dalam pandangan yang samar, kulihat mata ayahmu begitu tulus mencintai perempuan itu. Dan untuk cinta, tak ada kelelawar yang busuk, tak ada sunyi yang berkhianat, tak ada lumut yang meracun sukma. Maka, kurelakan mereka merahasiakan cinta yang kusangka busuk itu. Kurelakan mereka mereguk lendir cinta di kegelapan gua yang senantiasa dialiri oleh wangi kercik sungai itu.”

Dan, karena kata-kata itu tak pernah membuncah dari bibir Hilda yang senantiasa dioles lipstik ungu, Herma menganggap Hilda tak bisa lagi diajak bercakap tentang ayahnya. Sampai saat itu, sampai Paul di compact disk melengkingkan desah, menatah kesengsaraan dunia…, Herma mengira kuda gagah itu menjelma putri cantik dan dengan mulutnya yang menganga melebihi lubang gua, dia mengisap sang ayah tanpa sisa. “Ayah hanya tersesat. Suatu saat dia pasti kembali, Ibu.”

Suara Herma yang mencericit tanpa diduga itu membuat Hilda putus asa. Dan, itu menimbulkan energi dahsyat yang menyebabkan Hilda bergegas merapikan tempat tidur Herma dan menjawab segala pertanyaan anaknya dengan jawaban yang asal kena. “Baiklah, Herma… kau boleh mengoles wajah ayahmu dengan warna apa saja. Mau kuning, hijau, ungu, atau biru, Ibu tak akan mempermasalahkan lagi. Sekarang tidurlah! Tidurlah, agar kau bisa bangun pagi dan lebih awal bermain-main dengan teman-temanmu di sekolah.”

Lalu percakapan pun terkunci. Diiringi lengking suara-suara aneh dalam Incantation yang melarat-larat, Herma pura-pura tidur sambil memeluk guling bergambar Harry Potter, sedangkan Hilda bergegas memasuki kamarnya sendiri, memasuki dunia sunyi bersama Leli. “Herma mulai mempertanyakan ayahnya, Leli. Dia menyangka kita tak akan mampu menatah kehidupannya dengan segala peluk dan penghiburan.”

Leli tak menjawab. Teriakan-teriakan para pemusik dalam nada aneh dan asap rokok dari bibirnya yang merekah lebih menenggelamkan sukmanya ke negeri yang jauh, ke gua purba yang tak teraba oleh kesedihan yang paling perih sekalipun.

Namun, Leli dan Hilda keliru besar jika menganggap Herma sudah mengembara ke alam mimpi. Sambil menggigit ujung bantal, dia masih mereka-reka warna ganjil wajah ayahnya. “Jangan-jangan wajah Ayah memang tak bewarna biru,” pikir Herma, “Jangan-jangan Ayah memang selalu mengenakan topeng kuning keemasan?”

Karena pikirannya senantiasa mendengung-dengung di kamarnya yang bercat biru, dia tak menemukan jawaban memuaskan.

Meski demikian, dia tetap mereka-reka wajah ayahnya hingga ingatannya melenting-lenting ke percakapan-percakapan seru bersama Niko di kolam belakang sekolah beberapa hari lalu.

“Niko, mengapa kau olesi wajah ayahmu dengan warna merah?” tanya Herma saat itu.

“Sebenarnya aku juga kesulitan menggambar wajah ayahku, Herma. Dia pergi sebelum aku bangun tidur dan pulang setelah aku nyaris terlelap. Yang jelas-jelas kutahu, setiap malam dengan tubuh sempoyongan, ayah menggoyang-goyangkan wajahnya yang selalu memerah.”

“Dan, mengapa wajahnya kaugambar seperti harimau?”

“Dengan suara menggelegar, dia selalu menjambak rambut ibuku. Setelah ibuku menangis sesenggukan, dia merokok di sudut ruangan sambil terus-menerus menenggak minuman langsung dari botol. Wajahnya terus memerah dan menyeringai seperti harimau, Herma. Dan, itu membuatku ketakutan setengah mati.”

“Ibumu tidak melawan?”

Niko menggeleng.

“Ayahmu suka mengajak kau bermain sepak bola?”

“Ya, dia juga mengajariku berkelahi, mengajakku menembak tikus di selokan-selokan, dan menendang anjing yang sedang menjilat-jilat kepala anaknya.”

Saat itu ingatan Herma melenting-lenting ke wajah Leli. Leli juga suka merokok dan menenggak minuman langsung dari botol. Perempuan gagah itu juga kerap mengajarinya menendang bola keras-keras.

“Mama Leli juga kerap mengajak aku dan Ibu berburu celeng ke tenggara kota. Malah kami juga sering diajak menembak dan mengacak-acak sarang kelelawar di gua-gua yang gelap.”

“Kamu tidak takut?”

Herma menggeleng. Gelengan itu di luar dugaan bisa menggigilkan Niko dan membuat bocah cilik itu tiba-tiba berdiri, meninggalkan Herma yang masih tafakur memandang gelombang transversal yang melingkar-lingkar di kebiruan kolam. “Aku benci Ibu. Aku benci Mama Leli. Mereka membuat teman-temanku takut bermain-main denganku,” pikir Herma.

Dan, pikiran-pikiran berbahaya itu terus-menerus melenting-lenting di kamar malam itu dan kian membuat Herma tak bisa memicingkan mata. “Ibu pasti masih menyimpan wajah Ayah di album keluarga. Aku harus mencarinya,” desah Herma.

Lalu perempuan kencur itu pun berjingkat-jingkat ke ruang tamu. Karena takut kepergok, dia mengintip apa yang tengah dilakukan Hilda dan Leli dari lubang kunci. “Jangan-jangan mereka belum tidur?”

Dan, benar… Hilda dan Leli memang belum tidur. Mereka tengah berpelukan. Berpelukan? Ya, tetapi dalam pandangan yang samar, Herma seperti melihat kedua perempuan itu saling menggigit. Dia kasihan kepada Hilda karena tampaknya Leli terus-menerus menjambak rambut ibunya.

“Mengapa ibuku tak melawan? Mengapa wajah Ibu berbinar-binar? Mengapa mereka malah tertawa cekikan?”

Pertanyaan-pertanyaan itu hanya melenting-lenting di kepala Herma. Karena takut kepergok, dia bergegas mencari album keluarga.

“Ini dia!” desis Herma sambil setengah berlari ke kamarnya, “Tetapi, kenapa tak satu pun potret Ayah terpasang di album ini?”

Cukup lama Herma membolak-balik album itu. Yang dia lihat hanya Hilda dan Mama Leli yang terus-menerus berpelukan di sembarang tempat di sembarang waktu. Kadang-kadang mereka tertawa-tawa di jalan-jalan sambil menggandeng dirinya. Ada pula foto Leli memanggul senapan sambil menyeret bangkai celeng.

“Jangan-jangan wajah Ayah disembunyikan Ibu di dalam gua,” pikir Herma.

Karena itu, dia pun mencari foto-foto yang mengabadikan keindahan gua-gua di tenggara kota. Tak ada sepotong wajah lelaki terpampang di album warna pink itu. Sayang sekali, di tengah-tengah kesuntukan mencari wajah ayahnya yang mungkin tersembunyi di dalam gua, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar. “Kau belum tidur, Herma? Kalau tak tidur, Pangeran Kelelawar 4) akan mencekikmu!” suara Leli menggelegar.

Herma tak menjawab. Dia hanya mendengarkan suara kercik shower membelah keheningan malam. Kercik yang senantiasa dia dengar setelah Hilda dan Leli mendesah-desah tak keruan sambil mendengarkan lagu-lagu mistis yang dinyanyikan Paul Gutama, Deep Forest, atau Sarah Brightman.

HARI itu Herma tak ingin masuk sekolah. Leli sebagaimana biasa telah berangkat ke kantor mengendarai jip merah yang suara knalpotnya melengking-lengking sehingga menyebabkan sayap-sayap burung kenari yang dipelihara di teras rumah seakan-akan rontok. Hilda belum bangun. Biasanya, sebentar lagi dia bangkit dari ranjang, menyalakan tape recorder, bersenam, dan setelah itu mengetuk kamar Herma keras-keras.

Karena tak ingin didera suara-suara yang sangat dibenci, kali ini Herma bergegas menyusup ke kamar ibunya. Tahu ada yang berjingkat-jingkat ke ranjang, Hilda mendadak membenahi selimutnya. Rupa-rupanya dia masih telanjang. “Pukul berapa, Herma?”

Herma tak menjawab. Jari telunjuknya yang mungil menunjuk jarum jam dinding warna merah jambu yang telah menunjuk ke angka delapan dan dua belas.

“Ya, Tuhan, mengapa tak kau bangungkan Ibu? Mengapa tak meminta Mama Leli mengantar ke sekolah?” kata Hilda sambil melilitkan selimut hingga ke bahu.

“Aku tak ingin membuat teman-temanku ketakutan melihat Mama Leli, Ibu.”

“Takut? Mengapa harus takut?”

“Niko bilang wajah Mama Leli seperti serigala.”

“Dan, kau yakin wajah Mama Leli seperti serigala?”

Herma menggeleng.

“Syukurlah. Tetapi, mengapa kau menggigil, Herma?”

“Aku mendengar suara aneh dalam tidurku, Ibu.”

“Suara dalam tidur? Suara siapa?”

“Mungkin Ayah. Mungkin hantu. Ia muncul dari buku gambarku.”

“Ibu juga pernah mendengar suara-suara semacam itu. Kau tahu apa yang terjadi setelah suara-suara itu mengganggu tidur kita?”

Sekali lagi Herma menggeleng.

“Setelah itu Ibu mendapat surat dari ayahmu,” Hilda berbohong.

“Aku juga akan mendapat surat dari Ayah?”

“Ya, kau akan membacanya sampai senja tiba, sampai kau bisa mengoles warna paling pas untuk wajah dia di buku gambarmu. Sekarang, kembalilah ke kamarmu. Tunggulah sampai Pak Pos mengetuk pintu.”

Tak ada cara lain kecuali menipu Herma, pagi itu Hilda bergegas ke kantor pos. Dengan merengek-rengek, dia meminta seorang pengantar surat agar bersedia mengirimkan secarik surat dalam amplop biru ke Jalan Anyelir 205, ke rumah mungil yang dia tempati bersama Herma dan Leli. “Dalam surat yang kusemprot parfum paling wangi itu, aku telah menyertakan foto ayahnya. Katakan kepada anakku, surat itu berasal dari ujung angin.”

“Ayahnya? Dari ujung angin?” desah pengantar surat itu setengah bingung setengah takjub.

“Ya. Maaf… aku dan ayah Herma telah bercerai dan kini tak kutahu di mana suamiku tinggal. Jadi, katakan saja dari ujung angin atau kota yang jauh. Sampean tak keberatan bukan?”

Pengantar surat itu tercenung. Namun, dia sungguh-sungguh tak bisa menolak rengekan Hilda. “Tolonglah… dia sangat merindukan ayahnya,” desah Hilda memelas.

Begitulah, saat Hilda sibuk dengan dunia sayur-mayur di pasar, pengantar surat itu memacu sepeda motornya ke Jalan Anyelir. Masih takjub menimang-nimang surat, dia memencet bel di pagar bermotif daun-daun pisang yang menghijaukan rumah itu.

“Jalan Anyelir 205? O, bukan, bukan. Seingatku aku harus memberikan surat ini ke rumah nomor 207 atau 209. Ah, mengapa aku tiba-tiba berubah menjadi pria pikun?” pikir pengantar surat itu seraya menyesali kebimbangannya.

Namun, bel telah berbunyi dan menyebabkan Herma berlari ke beranda. “Surat dari Ayah?” teriak Herma kegirangan.

Tak ada jawaban. Pengantar surat itu merasa telah melakukan kesalahan. Tak ingin keliru, dia berharap bertemu Hilda atau siapa pun yang menitipkan surat beramplop biru yang sangat harum itu.

“Ibumu ada di rumah?”

Herma tak segera menjawab.

“Maaf, apakah ibumu ada di rumah?” desis pengantar surat itu sekali lagi.

“Ibuku?” lenguh Herma dalam nada tercekik, “Ibu Hilda atau Mama Leli?”

Mendengar pertanyaan balik Herma yang dia sangka kacau, pria berwajah keras itu kian bimbang memberikan surat. “Tidak! Tidak! Mungkin aku salah alamat, Tuan Putri. Mungkin tak seharusnya aku memencet bel di rumah ini. Aduh, lagi pula langit kian mendung, aku harus segera mengantar surat-surat lain. Jadi, masuklah ke rumah kembali. Tunggulah surat dari ayahmu besok, lusa, atau beberapa hari lagi….”

Herma hanya menunduk. Hanya merasakan angin dari ujung angin berhenti berembus.

Lalu, sambil menyaksikan pengantar surat itu melesat seperti pria bertopeng emas dengan sayap di bahu menunggang kuda gagah ke tenggara kota, dia menggores-goreskan jari telunjuknya ke tanah basah; membentuk wajah tanpa rupa, tanpa mata, tanpa jiwa…. Apakah pengantar surat itu juga akan kehilangan wajahnya, Ibu?

Semarang, 2003

Catatan:
1) Penunggang Kuda dari Atas Angin adalah judul patung karya pematung G Sidharta.
2) Ungkapan penyair Pablo Neruda kepada Mario Jimenez dalam novel Il Postino karya Antonio Skarmeta
3) Der Mond Im Wassertropfen adalah komposisi karya Paul Gutama yang dimainkan bersama Banjar Gruppe Berlin. Incantation adalah salah satu nomor magis lain yang juga mengesankan. Sayang compact disc pria asal Yogyakarta yang kini tinggal di Jerman itu tak beredar luas di Indonesia.
4) Pangeran Kelelawar adalah tokoh romantis pengisap darah yang kerap muncul dalam cerpen-cerpen Bre Redana.


Triyanto Triwikromo

No comments: