Bunga Jepun
Sebulan sesudah bom meledak di Legian, Luh Manik belum memutuskan apa-apa. Saban petang ia masih suka menyusuri jalan setapak, melintasi beberapa petak sawah dan kebun pisang, untuk kemudian tiba di bangunan berbentuk los, di mana dulu ia biasa berlatih menari. Dulu, di sekitar petak sawah terakhir, di dekat sebuah pura kecil, Luh Manik senantiasa memetik bunga jepun. Ia tak perlu naik karena di batang pohon jepun entah oleh siapa, telah tersedia sebatang bambu lengkap dengan kait untuk menggaet bunga. Lalu, bunga-bunga jepun berwarna putih itu, setelah digaet memutar seperti baling-baling helikopter sebelum menyentuh tanah.
Luh Manik membayangkan dirinya tengah berada di dalam sebuah pesawat yang melaju ke luar negeri. “Aku mestinya sudah menari di luar negeri,” selalu ia mengakhiri khayalannya dengan kata-kata itu. Bergegas kemudian dipungutnya bunga-bunga yang berjatuhan menerpa belukar liar.
Waktu itu, Luh Manik sungguh menikmati hari-hari yang riang. Petang hari, setelah memetik bunga-bunga, biasanya bersama rombongan yang telah menunggunya di los dari bambu, ia berangkat menuju Nusa Dua. Ia selalu diberikan tempat di samping sopir dengan seorang penari lainnya. Sementara para penabuh berjejalan di bak truk bercampur dengan perangkat gamelan. Dalam cuaca hujan, mereka tak pernah takut. Cukup dengan menarik terpal untuk kemudian memfungsikannya seperti atap rumah, dan mereka akan terlindung dari guyuran air hujan sederas apa pun. Perjalanan dari Desa Poh menuju Nusa Dua biasa ditempuh dalam dua setengah jam. Sepanjang jalan, tak henti para penabuh menembangkan lagu-lagu pop Bali yang sedang digemari. Sembari memukul kendang, mereka menyanyikan lagu-lagu karangan Widi Widiana, penyanyi pop Bali yang lagi populer itu.
Meski hanya diberi honor antara Rp 7.000 sampai Rp 10.000, Luh Manik bersama kelompok joged bungbung Teruna Mekar menjalani petang dengan riang selama hampir tiga tahun terakhir. Setidaknya kehidupan rata-rata warga Desa Poh yang hanya menggantungkan harapan pada kebun pisang dan sawah tadah hujan, agak tertolong dengan kontrak menari di beberapa hotel di kawasan wisata Nusa Dua. Selalu sebagian warga mendahului duduk-duduk di los sembari menunggu jemputan. Duduk-duduk di los seperti menunggu rezeki mengalir ke Desa Poh. Kedatangan truk pun lama kelamaan seperti kedatangan dewa penyelamat yang mengangkat mereka dari keterpurukan ekonomi.
Petang ini jalanan licin. Di bulan November, desa-desa di Bali sedang memasuki musim gerimis. Ini pertanda tak lama lagi musim hujan akan tiba. Semak belukar yang meranggas selama kemarau belum tumbuh sepenuhnya. Tanah yang kehitaman berkilau-kilau diterangi kilat dari langit di barat desa. Di dekat pohon jepun, Luh Manik berhenti sejenak, menelusuri batang, dahan, serta ranting yang bulat bergerigi sampai ke pucuk. Bunga jepun yang putih seperti malas mekar. Batang bambu yang dulu selalu digunakan untuk mengait kuntum-kuntum bunga sudah tidak ada lagi.
“Ah…,” gadis belasan tahun ini melenguh. Ia tak dapat menyembunyikan kegelisahannya. Saban petang, setelah bom meledak di Legian, Luh Manik nekad memanjat batang pohon jepun untuk menemukan kuntum bunga. Batang pohon yang lembut itu seperti merasakan gesekan kulit Luh Manik yang halus. Mereka seperti dua kekasih yang lama terpisah. Dan hari ini, di petang yang dingin keduanya saling memeluk untuk melepas rindu. Daun-daun jepun yang bergoyang karena terpaan angin mengusap-usap rambut Luh Manik. Keduanya saling berbisik mengenangkan hari-hari menyenangkan.
“Aku masih ingat waktu kau petik berpuluh-puluh bungaku,” ujar pohon.
“Aku juga masih ingat saat kau menjatuhkan bunga, melayang seperti baling-baling pesawat…” jawab Luh Manik.
“Lalu…. lalu kau selalu merasa sedang menari di sebuah negeri yang jauh dari desa ini dengan merangkai bungaku di rambutmu.”
“Aku selalu mengidamkan menari di luar negeri, seperti para penari dari kota.”
“Bukankah menari di hotel juga untuk para bule itu?”
“Tetapi… aku ingin menikmati kepakkan baling-baling yang menebarkan wangi, hingga mengantarkan aku ke negeri bersalju.”
“Bukankah dari mulut para bule yang menciummu seusai menari senantiasa meluncurkan aroma harum anggur? Lalu, kau suntingkan bungaku di telinga mereka?”
“Sekarang tidak lagi. Kita hanya bunga belukar yang selalu mengidam-idamkan pergi ke luar negeri bersama-sama.”
Luh Manik memetik sekuntum bunga untuk kemudian diikatkan pada rambutnya yang panjang. Sambil berlari-lari kecil di atas pematang, ia memasuki setapak di bawah rimbunan kebun pisang.
Di dalam los selalu sudah ada beberapa lelaki yang dengan lesu memukul bilah-bilah bambu gamelan. Suaranya terdengar terseok-seok dari celah-celah batang pisang, di mana Luh Manik sedang berjalan. Dari jarak dua puluh lima meter, lapangan di depan los yang biasa digunakan Luh Manik berlatih menari, sudah ditumbuhi rerumputan. Batang bambu yang digunakan menggantung petromak di tengah-tengah lapangan, juga sudah tampak miring. Bahkan, kalau saja tidak ada batu yang mengganjalnya, mungkin batang bambu itu sudah lama roboh.
Luh Manik menerawang ke ambang petang. Langit di barat masih berkabut. Gerimis baru saja berhenti. Asap bergulung-gulung meluncur dari atap daun kelapa rumah beberapa warga. Petang begini mereka baru memutuskan untuk merebus pisang muda. Sejak kontrak menari di hotel-hotel diputus, sebagian besar warga seperti kehilangan pegangan. Mereka terlanjur menggantungkan diri pada kegiatan Teruna Mekar.
“Kudengar kamu akan kerja di Jakarta, Luh?” tanya lelaki setengah baya yang biasa menjadi pemukul kendang di Teruna Mekar. Luh Manik yang disambut dengan pertanyaan sewaktu memasuki los tercekat. Ia berpikir, begitu cepatnya kabar menyebar. Padahal, rencana itu baru ia kemukakan kepada Kadek Sukasti, temannya sesama penari.
“Kami sangat mengerti kemauanmu itu,” kata lelaki yang lain lagi.
“Hidup di sini sudah hampir tak ada harapan. Kami juga sedang memikirkan untuk menjual saja gamelan ini,” ujar lelaki pemukul bilah-bilah bambu dengan nada putus asa.
“Tetapi keputusanmu itu, menurutku sangat egois. Kemarin, baru kudengar kamu ingin terus tinggal di desa apa pun yang terjadi. Kedua orang tuamu sudah tidak ada, Luh. Mengapa mesti nekat hidup di kota keras seperti Jakarta?” berkata lelaki muda dengan sangat emosional.
“Kemarin, sewaktu aku melewati pohon jepun di pinggiran sawah, aku memutuskan untuk pergi saja,” jawab Luh Manik tegas. Meski baru berumur belasan tahun, tetapi Luh Manik jauh tampak lebih dewasa dalam berbicara. Mungkin karena ia terbiasa hidup mandiri. Ia tak pernah merasa rikuh ngomong bersama sekumpulan lelaki yang jauh lebih tua dari dirinya.
“Aku dengar pula kamu mulai bicara-bicara sambil memeluk pohon jepun di pinggiran sawah itu. Sebaiknya, Luh, kamu di sini saja tenangkan diri dahulu, sembari memikirkan langkah nanti…” kali ini berkata seorang kakek yang dianggap sebagai tetua kelompok Teruna Mekar.
Luh Manik terdiam. Ia merasa sedang diadili. Lelaki, pikirnya, seringkali terlalu egois dengan mengatasnamakan kelompok. Padahal, sesungguhnya mereka sendiri takut kehilangan pegangan, takut kehilangan perempuan seperti dirinya yang selama ini menjadi primadona Teruna Mekar. Mereka juga takut kehilangan sandaran hidup, hingga semuanya mesti dihadapi bersama-sama.
Baginya pohon jepun itulah sampai kini yang paling mengerti akan kesusahan warga Desa Poh. Selama bertahun-tahun, pohon jepun telah merelakan bunganya untuk dipetik, dirangkai, dan menjadi penarik para wisatawan. Bentuknya yang berbilah-bilah bisa menjadi aksen yang menarik jika disematkan pada rambut atau disuntingkan di telinga. Sebagai penari joged bungbung Luh Manik sadar benar, ia tidak akan bisa menari dengan baik tanpa bunga jepun.
“Luh, semua kita sekarang sedang stress. Tapi, kami minta tenang dulu, jangan pergi dalam keadaan pikiran masih kacau ya…” tambah lelaki tua tadi.
“Terima kasih, Kek,” Luh Manik selalu memanggil lelaki tua itu dengan sebutan “kakek”. “Aku hanya sedang mencoba mencari kemungkinan baru dari hidup ini. Hidup mesti terus berjalan, kendati kita hampir-hampir kehilangan sandaran untuk berdiri.”
“Jadi, kamu tetap ingin pergi ke Jakarta, tanpa memikirkan nasib kami?” kata lelaki emosional lagi.
“Nasib kita tergantung di tangan masing-masing, dan bukan pada bilah-bilah bambu gamelan itu. Ia hanya benda dan alat untuk memperbaiki nasib…” kata Luh Manik. Kata-kata ini meluncur begitu saja dari bibir perempuan berambut sepinggang ini tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Bahkan, di ujung perkataannya, Luh Manik seringkali kaget, mengapa ia berkata-kata sebegitu lancar dan bijak, bahkan jauh melebihi lelaki tua itu.
Percakapan itu akhirnya berakhir karena gerimis telah mengalirkan gelap sampai ke dalam los. Luh Manik bergegas kembali ke rumahnya. Malam terlelap dalam gemerisik suara jangkrik yang sesekali ditingkahi lolong anjing di kejauhan. Suaranya sayup-sayup menyusup di sela pepohonan. Desa Poh yang ringkih seperti lelaki tua yang terseok berjalan dalam hitam malam.
Pagi-pagi sekali Kakek mendatangi rumah Luh Manik. Dari celah pohon jambu tampak pula Kadek Sukasti bersungut-sungut di belakangnya. Sekelompok ayam yang sedang mengais makanan di halaman meloncat berhamburan. Tetapi, setelah Kakek dan Kadek Sukasti lewat, ayam-ayam itu kembali berkumpul saling berebut makanan dari singkong kering yang ditaburkan Luh Manik.
Setelah melewati deretan semak di jalan setapak sebelah barat rumah Luh Manik, makin jelas terlihat wajah keduanya sangat tegang. Bahkan, kepala Kakek tampak terguncangguncang karena ia memaksakan diri untuk berlari-lari kecil. Buntalan kainnya tak keruan, hampir-hampir saja melorot dari pinggangnya yang ceking.
Dengan bibir bergetar, Kakek berkata, “Luh… kali ini harapan kita satu-satunya habis sudah. Mereka sudah memutuskan untuk menjual gamelan. Warga menolak untuk memberitahu kamu. Dan tadi malam, seorang lelaki dari kota telah mengangkutnya. Semua, sampai alat pemukulnya. Katanya untuk koleksi….begitu.”
“….Kalau memang itu satu-satunya jalan meneruskan hidup, mengapa tidak?” jawab Luh Manik enteng. Pembicaraan mereka berlangsung di halaman, tepat ketika matahari berkilauan menembusi pucuk pohon kelapa tua di timur rumah.
“Luh…!” Kakek mengucapkan nama Luh Manik dengan mata membelalak penuh ketidakpercayaan. “Bukankah dulu kamu dan ayahmu yang bersikeras membangun kembali kelompok joged ini? Dan, kamu bersedia menjadi joged pada saat kita sulit menemukan penari. Bahkan, kamu rela berhenti dari sekolah untuk serius menekuni tari. Mengapa sekarang kamu seperti menyerah saja ketika kita menghadapi kesulitan…”
“Kek, apalah yang bisa saya perbuat lagi, kalau itu sudah menjadi keputusan mereka. Dan menurutku, desa ini tak memberi pilihan lain agar kita tetap hidup.”
“Bukan itu persoalannya. Kakek sendiri tidak tahu pasti entah siapa dulu yang menciptakan perangkat gamelan joged itu. Kakek pun hanya tahu bahwa gamelan itu sudah tersimpan di los, hingga kita tak berhak menjualnya, Luh…”
Meski kaget, Luh Manik berusaha bersikap wajar. Ia ingin berpikir realistis… “Mungkin maksud Kakek gamelan ini warisan dari leluhur?”
“Mungkin begitu.”
“Kek, cobalah beri mereka pilihan untuk melanjutkan hidup. Bukan warisan itu yang penting benar sekarang, kan? Kita semua terlanjur tergantung pada kontrak itu, hingga lupa mengurus ladang.”
“Berarti, kamu telah memangkas pohon kehidupan di desa ini sampai ke akarnya. Justru gamelan itulah gantungan hidup kita, siapa tahu situasi di Nusa Dua cepat pulih…. dan kontrak-kontrak dilanjutkan lagi.”
“Itu perkara nanti, Kek. Keadaan sekarang terus mendesak. Mereka perlu makan hari ini!”
Dengan wajah kesal, kecewa, dan marah, tanpa mengucap kata sepatah pun Kakek menggamit ujung kainnya dan berlalu dari hadapan Luh Manik. Sebelum lenyap di balik rerimbunan pohon, masih terdengar ia menggerutu. “Dasar anak kecil…! Entengkan soal berat.”
Sementara Kadek Sukasti, memilih tetap tinggal dan duduk di beranda menemani Luh Manik. Ia juga sedang berpikir turut serta mencari kerja ke Jakarta. Kebetulan, menurut ayahnya, seorang saudara jauh yang dulu tinggal di Denpasar, sudah dua tahun ini pindah tugas di Jakarta. Bisa saja ia tinggal di sana, sementara menunggu pekerjaan.
Luh Manik menerawang seakan tak percaya pada apa yang barusan ia ungkapkan. Ketika Kadek Sukasti menyentuh tangannya, mata Luh Manik berkaca-kaca. Sekarang, ia malah berbalik tak yakin kalau menjual gamelan menjadi satu-satunya jalan keluar dari kesulitan hidup di sini. Benar kata Kakek, bahwa ia telah memotong pohon sampai ke akarnya, hingga tak ada lagi yang bisa dijadikan sandaran warga desa.
Selama bertahun-tahun, warga telah meninggalkan kebiasaan mengolah tanah. Mereka percaya benar joged lebih banyak mendatangkan hasil. Selain uangnya bisa dinikmati langsung, setidaknya suara gamelan dan lenggak-lenggok Luh Manik dan Kadek Sukasti di saat menari, menjadi pelipur kemelaratan. Tingkah polah para bule yang turut menari bersama Luh Manik selalu membuat mereka terbahak. Bahkan, seringkali perawakan rata-rata lelaki bule yang tinggi besar diolok-olok sebagai Rahwana yang sedang mengintai Dewi Sinta. Tertawa berderai kemudian terdengar dari bak truk ketika mereka kembali ke desa.
Setelah sebentar masuk ke kamarnya, Luh Manik menggamit tangan Kadek Sukasti, “Ayo kita jalan-jalan…” ajaknya. Kadek Sukasti tak menolak. Ia mengikuti langkah Luh Manik menyusuri setapak sebelum akhirnya lenyap di balik rimbun bambu.
Tubuh dua perempuan muda itu tampak kecil dan ringkih dipandang dari perbukitan di selatan persawahan. Mereka sesekali saling pegang untuk menghindari jalan menurun yang licin. Rambut Luh Manik yang panjang, ia lilitkan begitu saja di lehernya.
Di petak sawah terakhir, keduanya duduk sembari menyandarkan tubuhnya pada batang pohon jepun. Sekuntum bunga jepun yang lepas dari ranting berputar-putar seperti baling-baling helikopter sebelum akhirnya menyentuh pangkuan Luh Manik.
“Apa rencanamu Luh?” tanya Kadek Sukasti memecah kebisuan. Luh Manik tak segera menyahut. Ia masih memperhatikan bilah-bilah bunga jepun yang layu di pangkuannya.
“Kamu jadi ke Jakarta, Luh?”
“Seperti yang sudah aku katakan, aku akan ikut saudaranya Nyonya Lin yang punya toko di Negara. Saudaranya itu juga punya toko onderdil sepeda motor di Jakarta. Mungkin aku akan kerja di sana…”
“Jadi pembantu?”
“Jadi pelayan toko.”
Tangan Luh Manik meremas bunga jepun, yang tadi melayang, berputar-putar, bagai pesawat yang dulu sering membawa ia bermimpi tentang negeri-negeri bersalju. Ia bermimpi menari di depan ratusan orang asing dengan pakaian gemerlap, lalu mendapatkan tepuk tangan dan ciuman beraroma harum anggur…
Ziarah ke Bali Jakarta, November 2002
Putu suta wijaya
Putu Fajar Arcana
No comments:
Post a Comment