Como Un Sueño
Aku ingin pulang ke Portugis. Atau ke Manhattan dulu. Kamu di sana, ’kan? Aku ingin pulang ke Portugis. Menggendong Nicole di muka Mom dan Dad. Tetapi Nicole sudah terlalu besar. Badannya mungkin sudah lebih berat dariku. Dan dia di Manhattan dengan kewarganegaraan yang mengancamnya di sana.
Ayolah mengingat- ingat masa lalu sebelum membicarakan apa-apa di masa sekarang.
Kelas berapa dia sekarang? Waktu pertama kali meninggalkan Bandung, bukankah dia sudah kelas empat? Lalu kamu mau aku dan dia ikut ke New York. Aku tak menolak. Bahkan kalau kamu memintanya hari ini, aku tetap tak akan menolak: kita hidup bersama.
Kemudian aku harus selalu terganggu dengan ingatan akan sebuah kisah cinta lamamu di dalam kereta bawah tanah karena setiap hari Sabtu kami ikut denganmu ke restoran milik si tua Meksiko. Kami duduk di meja paling sudut. Kita sudah sepakat untuk pura-pura tak saling kenal sampai waktunya pulang.
Jam enam sore mulai ramai. Orang-orang memanggilmu dengan sebutan “the flea” karena gerakanmu yang begitu cepat seperti kutu loncat. Kamu sudah siap beraksi. Kami tak dapat lagi melihat rambutmu yang panjang di dalam slayer merah bercorak bintang-bintang kecil yang mengingatkan pada bendera Amerika. Seragam putihmu bertepi merah, seperti Indonesia? Ah, sentimentil imigran. Celemekmu tak membuat kesan feminin. Kamu tetap lelaki Portugis yang gagah.
Dulu kamu orang Indonesia juga, sebelum Timor dilepaskan, dan akhirnya kamu melupakannya sama sekali. Kamu orang Portugis sekarang. Tidak denganku dan Nicole. Ah, kamu mulai beraksi. Membuat segalanya berlompatan di atas meja ajaibmu. Orang-orang bertepuk tangan. Tepuk tangan yang dingin, suara-suara yang beku. Aku menggigil. Nicole tak bisa menahan diri untuk tidak kencing.
Keluar dari toilet, meja kami sudah ditempati orang lain. Kami mencari meja lain dan mendapat tempat yang lebih dekat dengan tempatmu. Kamu melirik sedikit sambil tersenyum seperti kepada semua orang. Ada yang pesan lobster rupanya, Chef?
Semuanya kembali beterbangan. Lobster-lobster, bumbu-bumbu, pisau-pisaumu. Tapi semuanya segera kembali ke tempatnya lagi. Lalu pesanan tampak siap, dua lobster di sebuah piring besar.
“Siapa yang tahu, mana lobster jantan dan mana lobster betina?”
Suaramu yang kasar itu menerobos ke tengah-tengah keriuhan para pengunjung yang mengelilingimu dengan meja-meja di hadapannya. Nicole sudah mau meneriakkan bahwa yang kanan yang betina sebelum seorang lelaki gemuk berkoar-koar bahwa pasti yang kanan yang jantan. Tapi, aku mencegahnya dan mengalihkan perhatiannya dengan menanyakan mengapa yang kanan betina? Karena lebih merah dan lebih bungkuk, katanya. Aku tersenyum. Dia tidak. Dad belum menceritakan yang ini di rumah tadi, katanya lagi. Kukatakan barangkali sudah lama tak ada yang memesan lobster dan Dad tak mengira akan ada yang pesan lobster.
Setelah semua orang menunjuk yang kiri dan yang kanan, sebagai yang betina dan yang jantan, secara bolak-balik berulang-ulang dan semuanya salah, ruangan makin ribut. Tiba-tiba kamu meletakkan lobster yang kiri ke atas yang kanan dan berkata sambil menunjuk yang atas: Ini lobster yang jantan. He’s always on the top.
Kembali ribut. Lagi-lagi tepuk tangan yang dingin. Suara-suara yang beku. Aku menggigil lagi. Nicole ingin kencing lagi.
Jam sepuluh adegan-adegan penuh aksi ditutup. Kamu mengenakan kembali kaus hitam tanpa lengan di balik mantel abu-abu yang tak pernah kamu kancingi. Rambut panjangmu kelihatan lagi. Seorang lelaki tegap menghampirimu dan berbicara denganmu dalam bahasa Spanyol. Aku tak mengerti seluruhnya. Aku hanya ingat “komo en suenyo” sampai sekarang, yang kalian ucapkan hampir bersamaan sambil memandang kepadaku dari jauh. Lalu kamu menghampiri kami. Nicole marah-marah atas adegan lobster. Kita berada dalam kereta bawah tanah lagi. Aku terganggu lagi dengan ingatan akan sebuah kisah cinta di dalam kereta bawah tanah. Aku terdesak bayangan tentang Maraini.
Apartemen ini tidak menyenangkan, Yoe.
Kapan-kapan kita pindah, katamu.
Mereka juga tidak senang pada kita.
Enam bulan lagi kontrakku dengan Carlo selesai. Kita bisa pindah ke Manhattan, katamu lagi.
Aku girang, tak mengira bahwa akhirnya aku tak pernah jadi pindah ke Manhattan.
Berita-berita buruk berdatangan dari Indonesia. Kasus-kasus internasional hingga kabar Lydia meninggal. Kita tak bisa pulang. Tepatnya, kamu tidak mau. Musim sedang tak baik. Pergi-pulang bikin capek saja.
Suatu hari Sabtu yang lain, sebuah koran dengan sebuah headline yang kacau-balau tentang Indonesia bergeletakan di meja-meja restoran. Aku duduk di sudut sendirian. Nicole sedang ikut perkemahan terakhir dalam musim panas. Orang-orang berkerumun mendekatimu dan berbicara dengan berapi-api sambil menunjuk-nunjuk halaman satu koran-koran itu. Aku penasaran dan dengan malas mengambil juga satu koran. Ada berita yang menjatuhkan negaraku habis-habisan. Di negeri orang, manusia sentimentil dan emosional sepertiku pun bisa menjadi begitu nasionalis dan terpukul.
Aku baru mau membaca ulang berita itu ketika kudengar kamu berkata dengan sangat defensif: Don’t ask me. I was in Malay. Dan tiba-tiba orang-orang itu menoleh ke mejaku.
Jam sepuluh lebih empat puluh Sabtu itu, kita pulang dan kamu tidak berkata apa-apa. Dan ingatan akan sebuah kisah cinta di dalam kereta bawah tanah jadi kelewat mengganggu malam itu.
Masuk bulan Desember, segalanya makin kacau. Salju-salju menyiksa. Kamu tak pernah mengajak kami ke restoran. Merepotkan. Nicole mulai sakit-sakitan. Dan aku selalu disalahkan. Kita bertengkar hampir setiap malam. Sampai pada puncak yang pada waktu itu tampak jelas, tapi begitu kabur di kemudian hari, kita memutuskan bercerai. Soalnya, aku menambah rumit seluruh situasi yang ada. Pada saat itu aku begitu menyesal mengapa kita harus menikah, dulu. Bukankah lebih menarik kita tinggal bersama saja sebagai sepasang anak nakal?
Tetapi mengurus perceraian di pengadilan luar negeri, terlebih untuk pasangan Katolik, sungguh menyiksa. Nicole semakin parah dan kita tak bisa egois untuk terus-terusan mengurus perceraian. Kuputuskan berpisah saja. Karena kutahu juga kewarganegaraanku menjadi beban tambahan buatmu. Aku tahu arti lirikan orang-orang di restoran setelah membaca koran suatu Sabtu itu. Aku tahu kenapa kau dan seorang lelaki tegap memperdengarkan “komo en suenyo” sambil memandang kepadaku. Aku tak ingin menyusahkanmu. Aku pulang ke Bandung. Kita tak usah bercerai. Pada saat itu aku tak tahu mengapa merasa begitu bersyukur bahwa kita adalah sepasang suami-istri.
Tak ada yang istimewa dari perjalanan pulang. Aku sendirian. Tak bisa mengauskan perasaan menyesal. Dari atas, salju tak kelihatan. Bumi tak jelas berwarna apa. Burung-burung tak kelihatan-justru tak kelihatan di saat-saat kita sama-sama bisa terbang.
Pesawat transit satu malam di Singapura. Aku menginap di Le Meridien, hotel yang ingin sekali kumasuki sejak kulihat foto seorang Maraini dengan sepatu bot duduk di tangga depannya. Aku pernah sesumbar akan berfoto di tempat yang sama dengan sepatu kaca. Ketika melangkah di atas tangga pertama muka hotel itu, aku ingin sekali berfoto. Tapi, aku tak mengenakan sepatu kaca dan jika tetap berfoto juga akan jadi sama saja. Tak beda dengan Maraini. Tak ada istimewanya. Kakiku dibungkus sepatu bot yang kasar.
Tak ada yang istimewa. Tapi aku lupa harus tinggal di mana di Indonesia. Rumah di Dago sudah kita jual. Tapi aku sudah sampai Jakarta. Tak mungkin pulang ke Ibu-Bapak dengan tato salib di telinga kiri.
Aku menginap di Hotel Indonesia satu minggu, kemudian mendapat kontrakan di Jalan Adam Jakarta Barat. Lingkungan yang berisik. Orang-orang Betawi yang kelewat riang.
Aku mulai menulis lagi: pekerjaan yang paling tak kausukai. Tulisanku makin banyak dan makin sering muncul di surat kabar. Buku pertamaku belum juga terbit, padahal umur tiga puluh lima harus sudah mendapat nobel. Sekarang sudah tiga puluh dan hanya berguna untuk diundang membaca cerita dan diskusi.
Di suatu kesempatan, dalam sebuah pesta pengarang, aku bertemu Dewi, kawan mainmu di Bandung dulu. Seperti yang sempat kita gosipkan malam-malam di tempat tidur, dia sudah jadi artis betulan. Tapi dia juga sastrawan sekarang, apa kamu tahu itu? Apa dia tahu siapa aku? Tidak. Dia tak tahu aku istrimu, bahkan dia tak akan pernah mengira aku pernah kenal denganmu. Kami berkenalan sebagai penulis. Malam itu aku tak pernah berada lebih jauh dari tiga meter darinya. Entah mengapa aku ingin terus-terusan berdekatan dengannya dalam pesta itu. Aku tak tahu dan tak peduli kalau dia akan jengah dengan tingkahku itu.
Baru kutahu hari ini bahwa itu tak ada gunanya. Perang sudah dimulai lagi. Bangsa kita sudah tak punya muka. Bangsa lain menghabisi pribumi seperti Nazi mengganyang Yahudi. Malah lebih buruk dari itu. Yahudi, bagaimanapun, dianugerahi kepintaran yang lebih dari bangsa-bangsa lain. Tapi bangsa ini benar-benar parah. Beruntung aku seorang aktivis kebudayaan, peran yang membuatku bisa mendapatkan fasilitas komputer, telepon dan Internet di bekas kantor dewan kesenian yang sekarang jadi salah satu markas penjajah. Mereka mengharap aku bisa mendapat nobel di bawah pimpinan mereka. Tapi, ruangan tetap dijaga ketat tentara Sekutu. Ada dua komputer lain yang dipakai Chairil dan Arthur, penyair dari bangsa penjajah. Chairil diawasi betul, Arthur dan aku tidak karena aku pandai bicara dalam bahasa mereka. Di luar berisik suara tembakan dan teriakan.
Yang berguna saat ini adalah mencari alamat Mom dan Dad, ketika kutahu kamu sudah kelewat sakit sebagai penderita pneumonia. Kamu belum sempat dan kini sudah tak mampu mencarikan kewarganegaraan yang aman buat Nicole. Mungkin, sama sepertiku, kamu tak pernah menyangka akan begini jadinya di sini, dan akan begitu buruk nasib orang-orang seperti aku dan anakmu di negeri mana pun hingga kamu lengah dan membiarkan ia berlama-lama menjadi pesakit seperti kami di sini. Siapalah yang mengira bangsa sudah mulai maju begini bisa dijajah lagi. Tapi, memang benar pepatah lama itu: masih ada langit di atas langit-apalagi di atas bumi yang jelek ini. Benar-benar tak menyangka. Kenapa tak kamu biarkan aku menjemputnya dan membawanya ke Mom dan Dad? Biar mereka bisa menganugerahkan kewarganegaraan lain buatnya. Beri aku alamatmu di Manhattan.
Kudengar Mom orang Flores dan Dad orang Portugis tulen. Tapi kamu pernah bilang mereka menyukai Australia. Tempat kamu tumbuh setelah Timor dilepas. Tempat kamu dan Maraini bertemu di sekolah tinggi memasak. Aku tak tahu di mana kedua mertuaku itu. Aku bahkan belum pernah bertemu mereka. Apakah mereka di kampung halaman Portugis? Ataukah mereka selalu menyukai Australia dan tinggal di sana? Atau mereka merindukan Timor? Aku tak tahu.
Tapi aku tahu, sekarang, mengapa aku begitu bersyukur bahwa kita adalah sepasang suami-istri. Kubaca di mana-mana buku-buku Maraini. Dia sudah jadi penulis terkemuka di Italia. Karya-karyanya sudah diterjemahkan ke dalam sebelas bahasa. Cerita sindirannya tentang seprai kesayangannya yang akhirnya tak sengaja kubolongi dengan rokok diterjemahkan dan dikumpulkan bersamaan dengan karya Hesse, Maupassant, bahkan Borges dalam satu buku. Aku memang tak sehebat dia, tapi aku istrimu juga, bukan Elena pacar gelap suaminya dalam ceritanya. Tokoh “aku” dalam cerita itu hanya untuk menguntungkan posisinya.
Aku ingin pulang ke rumah keluarga suamiku.
Entah itu Portugis, Australia, Timor, atau apalah.
Aku tak peduli siapa Marainimu dan darah daging siapa si Nicole itu. Aku tak peduli apakah perang yang kusebut-sebut itu benar-benar terjadi atau tidak. Kamu juga tak usah peduli, ya? Aku juga sebenarnya tidak yakin apakah sakitmu separah itu.
Ups! Pokoknya kamu jangan peduli dengan semua yang kukatakan tadi.
Jangan!
Aduh…!
Pokoknya di sini semuanya berantakan. Kalau kamu tak bisa menerimaku kembali, aku minta alamat Mom dan Dad, Yoe.
Aduh, maaf kalau cerita ini jadi kelihatan berantakan, ngawur, tidak waras dan mengada-ada, bahkan seperti sebuah mimpi saja. Ya, como un sueño. Habis, aku stres. Tapi aku serius butuh alamat itu. Juga Nicole, tentu. Aku hanya tak tahan sendirian dan tanpa pegangan.
Tapi…
Tapi kalau kamu memang tidak rela melepaskan Nicole, aku tetap bisa pulang kepada Mom dan Dad dengan copy surat nikah kita dari Vatikan, ’kan…?
Yogyakarta, Januari 2004
Dina Oktaviani
No comments:
Post a Comment