Angin dari Ujung Angin
“Sudahlah Herma, kau tak perlu membayangkan lagi warna wajah ayahmu saat dia menghilang dengan menunggang kuda ke tenggara kota. Yang kutahu, mengenakan topeng emas mirip penunggang kuda dari atas angin 1), sayap di kedua bahunya berkibar-kibar membelah malam. Aku pun tak bisa melihat wajahnya. Mungkin dia telah menjelma iblis. Punggungnya berkilat-kilat, menusuk-nusuk, memisau mata,” kata Hilda, perempuan bergaun tidur hijau muda itu sambil membereskan meja belajar Herma yang dipenuhi lukisan-lukisan pria berkuda berwajah tanpa warna.
Tetapi, teman-temanku bisa mewarnai wajah ayahnya, Ibu. Meskipun Niko melukis wajah ayahnya menyerupai harimau, tetapi dia bisa mengoleskan wara merah di kedua pipinya yang menggelembung,” suara Herma melayang, mendengung di telinga Hilda.
Tak kehilangan akal, Hilda kemudian mengoleskan warna emas di wajah lukisan pria bersayap berkuda gagah itu. “Inilah wajah ayahmu. Dan Ibu harap kau tak bertanya lagi dengan warna apa harus mengoles wajah ayahmu.”
Herma, perempuan kencur itu, tak puas. Sejak usianya mengelopak dan nyala sepuluh lilin di kue ulang tahunnya berkilau-kilau, dia memang berusaha menyangkal setiap cerita aneh tentang ayahnya. Karena itu, dia pun memprotes lukisan Hilda. “Itu bukan wajah, Ibu. Teman-temanku pun akan bilang, ’itu lukisan pria bertopeng!’ Bagaimana kalau wajah Ayah kuanggap berwarna biru?” desis Herma seraya menggambar kuda perkasa yang ditunggangi dua perempuan bersayap dan seorang laki-laki berwajah biru.
Hilda tercengang. Kilau matanya melesat ke tubuh dua perempuan kuning gading yang melamun di punggung kuda yang tengah meringkik di atas buku gambar. “Apakah kedua perempuan itu: aku dan Mama Leli?” Hilda mendesah tak keruan.
Herma mengangguk.
“Mengapa seperti orang-orang bodoh yang suka melamun?”
“Karena Ibu dan Mama Leli memang suka melamun. Tetapi sudahlah, Ibu tak perlu bertanya tentang mata kosong dua perempuan itu. Aku hanya butuh persetujuan Ibu untuk mengoles wajah Ayah dengan warna biru,” sergah Herma.
Hilda menghela napas. “Ibu harus bilang apalagi? Yang jelas, kau atau aku tak bisa mereka-reka sesuatu dari kehampaan 2), Herma.”
Herma pusing mendengar kata-kata ibunya yang meluncur seperti bola biliar yang disodok dengan kecepatan penuh. Meski demikian, sekali lagi Herma merasa perlu mendesak Hilda agar mengizinkan dirinya mengoles wajah sang ayah dengan warna biru. “Kalau tak diizinkan, aku akan minta Mama Leli mencipratkan warna hitam ke seluruh wajah Ayah,” kata Herma ketus.
Mendengar letupan-letupan suara Herma yang bagai mercon cabai rawit, habislah kesabaran Hilda. Sambil memelototkan mata, perempuan beranting-anting warna magenta itu mencerocoskan sumpah serapah, “Dengar, Herma… mulai sekarang kau harus mengerti siapa ayahmu. Dia tak lebih dari kelelawar busuk yang suka bersembunyi bersama kelelawar busuk lain di dalam gua.”
“Kelelawar busuk? Bersembunyi di dalam gua? Buat apa Ayah bersembunyi di dalam gua? Aku tak mengerti maksud Ibu,” ringkik Herma, setengah berteriak sehingga suaranya menenggelamkan dengung musik Der Mond Im Wassertropfen 3) yang mengalun dari kamar lain.
O, tidak mungkin Hilda menjawab pertanyaan Herma dengan jujur. Karena itu, sambil terus-menerus menata meja belajar Herma yang memang berantakan dia hanya mendesah dalam hati, “Kenyataannya begini, anakku, pada musim yang busuk, Ibu memergoki ayahmu mengendarai mobil ke tenggara kota bersama perempuan lain. Asal kau tahu, melewati jalan penuh pinus yang berkelok-kelok, mereka berhenti di halaman luas sebuah gua saat senja melabrak sekujur bebatuan yang melumut. Tak banyak yang mereka percakapkan. Mereka hanya bergandengan tangan, saling memeluk, dan menuruni undak-undakan yang menghubungkan dunia luar penuh kicau burung dan dunia gua sarat kelelawar, kercik sungai, dan tumbuh-tumbuhan hijau yang menjalar bagai ular.”
Merasa pertanyaan-pertanyaannya tak digubris, Herma merajuk. Dia cium kening ibunya dan mulai melontarkan rayuan yang mematikan, “Ayolah, Ibu. Kalau Ibu masih mau bercerita tentang Ayah, aku mau belajar terus. Aku mau membantu Ibu di dapur, memasak sup, menggoreng telor mata sapi, dan….”
Hilda tetap bergeming. Dalam hentakan kendang Banjar Gruppe Berlin yang kian mencekik, pandangan matanya menerawang ke jendela. Dalam pikiran yang kian kalut, dia melolong-lolong lagi, “O, seandainya kau tahu apa yang dilakukan ayahmu dan perempuan itu, Herma. Seandainya dari kejauhan dan semak-semak yang rimbun kau bisa menyaksikan sepasang kekasih menuntaskan kasmaran yang menggelora di keremangan gua, kau akan memahami mengapa Ibu menganggap ayahmu tak lebih dari seekor kelelawar yang tak sanggup menyembunyikan kebusukannya.”
Sekali lagi Hilda menghela napas. “Tetapi, tidak! Tidak! Dalam pandangan yang samar, kulihat mata ayahmu begitu tulus mencintai perempuan itu. Dan untuk cinta, tak ada kelelawar yang busuk, tak ada sunyi yang berkhianat, tak ada lumut yang meracun sukma. Maka, kurelakan mereka merahasiakan cinta yang kusangka busuk itu. Kurelakan mereka mereguk lendir cinta di kegelapan gua yang senantiasa dialiri oleh wangi kercik sungai itu.”
Dan, karena kata-kata itu tak pernah membuncah dari bibir Hilda yang senantiasa dioles lipstik ungu, Herma menganggap Hilda tak bisa lagi diajak bercakap tentang ayahnya. Sampai saat itu, sampai Paul di compact disk melengkingkan desah, menatah kesengsaraan dunia…, Herma mengira kuda gagah itu menjelma putri cantik dan dengan mulutnya yang menganga melebihi lubang gua, dia mengisap sang ayah tanpa sisa. “Ayah hanya tersesat. Suatu saat dia pasti kembali, Ibu.”
Suara Herma yang mencericit tanpa diduga itu membuat Hilda putus asa. Dan, itu menimbulkan energi dahsyat yang menyebabkan Hilda bergegas merapikan tempat tidur Herma dan menjawab segala pertanyaan anaknya dengan jawaban yang asal kena. “Baiklah, Herma… kau boleh mengoles wajah ayahmu dengan warna apa saja. Mau kuning, hijau, ungu, atau biru, Ibu tak akan mempermasalahkan lagi. Sekarang tidurlah! Tidurlah, agar kau bisa bangun pagi dan lebih awal bermain-main dengan teman-temanmu di sekolah.”
Lalu percakapan pun terkunci. Diiringi lengking suara-suara aneh dalam Incantation yang melarat-larat, Herma pura-pura tidur sambil memeluk guling bergambar Harry Potter, sedangkan Hilda bergegas memasuki kamarnya sendiri, memasuki dunia sunyi bersama Leli. “Herma mulai mempertanyakan ayahnya, Leli. Dia menyangka kita tak akan mampu menatah kehidupannya dengan segala peluk dan penghiburan.”
Leli tak menjawab. Teriakan-teriakan para pemusik dalam nada aneh dan asap rokok dari bibirnya yang merekah lebih menenggelamkan sukmanya ke negeri yang jauh, ke gua purba yang tak teraba oleh kesedihan yang paling perih sekalipun.
Namun, Leli dan Hilda keliru besar jika menganggap Herma sudah mengembara ke alam mimpi. Sambil menggigit ujung bantal, dia masih mereka-reka warna ganjil wajah ayahnya. “Jangan-jangan wajah Ayah memang tak bewarna biru,” pikir Herma, “Jangan-jangan Ayah memang selalu mengenakan topeng kuning keemasan?”
Karena pikirannya senantiasa mendengung-dengung di kamarnya yang bercat biru, dia tak menemukan jawaban memuaskan.
Meski demikian, dia tetap mereka-reka wajah ayahnya hingga ingatannya melenting-lenting ke percakapan-percakapan seru bersama Niko di kolam belakang sekolah beberapa hari lalu.
“Niko, mengapa kau olesi wajah ayahmu dengan warna merah?” tanya Herma saat itu.
“Sebenarnya aku juga kesulitan menggambar wajah ayahku, Herma. Dia pergi sebelum aku bangun tidur dan pulang setelah aku nyaris terlelap. Yang jelas-jelas kutahu, setiap malam dengan tubuh sempoyongan, ayah menggoyang-goyangkan wajahnya yang selalu memerah.”
“Dan, mengapa wajahnya kaugambar seperti harimau?”
“Dengan suara menggelegar, dia selalu menjambak rambut ibuku. Setelah ibuku menangis sesenggukan, dia merokok di sudut ruangan sambil terus-menerus menenggak minuman langsung dari botol. Wajahnya terus memerah dan menyeringai seperti harimau, Herma. Dan, itu membuatku ketakutan setengah mati.”
“Ibumu tidak melawan?”
Niko menggeleng.
“Ayahmu suka mengajak kau bermain sepak bola?”
“Ya, dia juga mengajariku berkelahi, mengajakku menembak tikus di selokan-selokan, dan menendang anjing yang sedang menjilat-jilat kepala anaknya.”
Saat itu ingatan Herma melenting-lenting ke wajah Leli. Leli juga suka merokok dan menenggak minuman langsung dari botol. Perempuan gagah itu juga kerap mengajarinya menendang bola keras-keras.
“Mama Leli juga kerap mengajak aku dan Ibu berburu celeng ke tenggara kota. Malah kami juga sering diajak menembak dan mengacak-acak sarang kelelawar di gua-gua yang gelap.”
“Kamu tidak takut?”
Herma menggeleng. Gelengan itu di luar dugaan bisa menggigilkan Niko dan membuat bocah cilik itu tiba-tiba berdiri, meninggalkan Herma yang masih tafakur memandang gelombang transversal yang melingkar-lingkar di kebiruan kolam. “Aku benci Ibu. Aku benci Mama Leli. Mereka membuat teman-temanku takut bermain-main denganku,” pikir Herma.
Dan, pikiran-pikiran berbahaya itu terus-menerus melenting-lenting di kamar malam itu dan kian membuat Herma tak bisa memicingkan mata. “Ibu pasti masih menyimpan wajah Ayah di album keluarga. Aku harus mencarinya,” desah Herma.
Lalu perempuan kencur itu pun berjingkat-jingkat ke ruang tamu. Karena takut kepergok, dia mengintip apa yang tengah dilakukan Hilda dan Leli dari lubang kunci. “Jangan-jangan mereka belum tidur?”
Dan, benar… Hilda dan Leli memang belum tidur. Mereka tengah berpelukan. Berpelukan? Ya, tetapi dalam pandangan yang samar, Herma seperti melihat kedua perempuan itu saling menggigit. Dia kasihan kepada Hilda karena tampaknya Leli terus-menerus menjambak rambut ibunya.
“Mengapa ibuku tak melawan? Mengapa wajah Ibu berbinar-binar? Mengapa mereka malah tertawa cekikan?”
Pertanyaan-pertanyaan itu hanya melenting-lenting di kepala Herma. Karena takut kepergok, dia bergegas mencari album keluarga.
“Ini dia!” desis Herma sambil setengah berlari ke kamarnya, “Tetapi, kenapa tak satu pun potret Ayah terpasang di album ini?”
Cukup lama Herma membolak-balik album itu. Yang dia lihat hanya Hilda dan Mama Leli yang terus-menerus berpelukan di sembarang tempat di sembarang waktu. Kadang-kadang mereka tertawa-tawa di jalan-jalan sambil menggandeng dirinya. Ada pula foto Leli memanggul senapan sambil menyeret bangkai celeng.
“Jangan-jangan wajah Ayah disembunyikan Ibu di dalam gua,” pikir Herma.
Karena itu, dia pun mencari foto-foto yang mengabadikan keindahan gua-gua di tenggara kota. Tak ada sepotong wajah lelaki terpampang di album warna pink itu. Sayang sekali, di tengah-tengah kesuntukan mencari wajah ayahnya yang mungkin tersembunyi di dalam gua, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar. “Kau belum tidur, Herma? Kalau tak tidur, Pangeran Kelelawar 4) akan mencekikmu!” suara Leli menggelegar.
Herma tak menjawab. Dia hanya mendengarkan suara kercik shower membelah keheningan malam. Kercik yang senantiasa dia dengar setelah Hilda dan Leli mendesah-desah tak keruan sambil mendengarkan lagu-lagu mistis yang dinyanyikan Paul Gutama, Deep Forest, atau Sarah Brightman.
HARI itu Herma tak ingin masuk sekolah. Leli sebagaimana biasa telah berangkat ke kantor mengendarai jip merah yang suara knalpotnya melengking-lengking sehingga menyebabkan sayap-sayap burung kenari yang dipelihara di teras rumah seakan-akan rontok. Hilda belum bangun. Biasanya, sebentar lagi dia bangkit dari ranjang, menyalakan tape recorder, bersenam, dan setelah itu mengetuk kamar Herma keras-keras.
Karena tak ingin didera suara-suara yang sangat dibenci, kali ini Herma bergegas menyusup ke kamar ibunya. Tahu ada yang berjingkat-jingkat ke ranjang, Hilda mendadak membenahi selimutnya. Rupa-rupanya dia masih telanjang. “Pukul berapa, Herma?”
Herma tak menjawab. Jari telunjuknya yang mungil menunjuk jarum jam dinding warna merah jambu yang telah menunjuk ke angka delapan dan dua belas.
“Ya, Tuhan, mengapa tak kau bangungkan Ibu? Mengapa tak meminta Mama Leli mengantar ke sekolah?” kata Hilda sambil melilitkan selimut hingga ke bahu.
“Aku tak ingin membuat teman-temanku ketakutan melihat Mama Leli, Ibu.”
“Takut? Mengapa harus takut?”
“Niko bilang wajah Mama Leli seperti serigala.”
“Dan, kau yakin wajah Mama Leli seperti serigala?”
Herma menggeleng.
“Syukurlah. Tetapi, mengapa kau menggigil, Herma?”
“Aku mendengar suara aneh dalam tidurku, Ibu.”
“Suara dalam tidur? Suara siapa?”
“Mungkin Ayah. Mungkin hantu. Ia muncul dari buku gambarku.”
“Ibu juga pernah mendengar suara-suara semacam itu. Kau tahu apa yang terjadi setelah suara-suara itu mengganggu tidur kita?”
Sekali lagi Herma menggeleng.
“Setelah itu Ibu mendapat surat dari ayahmu,” Hilda berbohong.
“Aku juga akan mendapat surat dari Ayah?”
“Ya, kau akan membacanya sampai senja tiba, sampai kau bisa mengoles warna paling pas untuk wajah dia di buku gambarmu. Sekarang, kembalilah ke kamarmu. Tunggulah sampai Pak Pos mengetuk pintu.”
Tak ada cara lain kecuali menipu Herma, pagi itu Hilda bergegas ke kantor pos. Dengan merengek-rengek, dia meminta seorang pengantar surat agar bersedia mengirimkan secarik surat dalam amplop biru ke Jalan Anyelir 205, ke rumah mungil yang dia tempati bersama Herma dan Leli. “Dalam surat yang kusemprot parfum paling wangi itu, aku telah menyertakan foto ayahnya. Katakan kepada anakku, surat itu berasal dari ujung angin.”
“Ayahnya? Dari ujung angin?” desah pengantar surat itu setengah bingung setengah takjub.
“Ya. Maaf… aku dan ayah Herma telah bercerai dan kini tak kutahu di mana suamiku tinggal. Jadi, katakan saja dari ujung angin atau kota yang jauh. Sampean tak keberatan bukan?”
Pengantar surat itu tercenung. Namun, dia sungguh-sungguh tak bisa menolak rengekan Hilda. “Tolonglah… dia sangat merindukan ayahnya,” desah Hilda memelas.
Begitulah, saat Hilda sibuk dengan dunia sayur-mayur di pasar, pengantar surat itu memacu sepeda motornya ke Jalan Anyelir. Masih takjub menimang-nimang surat, dia memencet bel di pagar bermotif daun-daun pisang yang menghijaukan rumah itu.
“Jalan Anyelir 205? O, bukan, bukan. Seingatku aku harus memberikan surat ini ke rumah nomor 207 atau 209. Ah, mengapa aku tiba-tiba berubah menjadi pria pikun?” pikir pengantar surat itu seraya menyesali kebimbangannya.
Namun, bel telah berbunyi dan menyebabkan Herma berlari ke beranda. “Surat dari Ayah?” teriak Herma kegirangan.
Tak ada jawaban. Pengantar surat itu merasa telah melakukan kesalahan. Tak ingin keliru, dia berharap bertemu Hilda atau siapa pun yang menitipkan surat beramplop biru yang sangat harum itu.
“Ibumu ada di rumah?”
Herma tak segera menjawab.
“Maaf, apakah ibumu ada di rumah?” desis pengantar surat itu sekali lagi.
“Ibuku?” lenguh Herma dalam nada tercekik, “Ibu Hilda atau Mama Leli?”
Mendengar pertanyaan balik Herma yang dia sangka kacau, pria berwajah keras itu kian bimbang memberikan surat. “Tidak! Tidak! Mungkin aku salah alamat, Tuan Putri. Mungkin tak seharusnya aku memencet bel di rumah ini. Aduh, lagi pula langit kian mendung, aku harus segera mengantar surat-surat lain. Jadi, masuklah ke rumah kembali. Tunggulah surat dari ayahmu besok, lusa, atau beberapa hari lagi….”
Herma hanya menunduk. Hanya merasakan angin dari ujung angin berhenti berembus.
Lalu, sambil menyaksikan pengantar surat itu melesat seperti pria bertopeng emas dengan sayap di bahu menunggang kuda gagah ke tenggara kota, dia menggores-goreskan jari telunjuknya ke tanah basah; membentuk wajah tanpa rupa, tanpa mata, tanpa jiwa…. Apakah pengantar surat itu juga akan kehilangan wajahnya, Ibu?
Semarang, 2003
Catatan:
1) Penunggang Kuda dari Atas Angin adalah judul patung karya pematung G Sidharta.
2) Ungkapan penyair Pablo Neruda kepada Mario Jimenez dalam novel Il Postino karya Antonio Skarmeta
3) Der Mond Im Wassertropfen adalah komposisi karya Paul Gutama yang dimainkan bersama Banjar Gruppe Berlin. Incantation adalah salah satu nomor magis lain yang juga mengesankan. Sayang compact disc pria asal Yogyakarta yang kini tinggal di Jerman itu tak beredar luas di Indonesia.
4) Pangeran Kelelawar adalah tokoh romantis pengisap darah yang kerap muncul dalam cerpen-cerpen Bre Redana.
Triyanto Triwikromo
Showing posts with label Maret 2004. Show all posts
Showing posts with label Maret 2004. Show all posts
Friday 25 February 2011
Kembar Buncing
Kembar Buncing
Tiga hari lalu, Luh Sarni melahirkan bayi kembar. Yang lebih mengejutkan, bayi tersebut bukan kembar biasa. Tapi kembar buncing, kembar laki-perempuan! Meski lahir di rumah sakit di kota kabupaten, berita telah menyebar dan menggegerkan warga desanya.
Tubuh Luh Sarni, yang masih lemas karena melahirkan, kini semakin lemas. Ia masih berbaring di ranjang rumah sakit. Tiga hari lagi dokter membolehkannya pulang. Dengan gundah, ia menatap kedua bayinya yang tidur lelap. Suaminya, Wayan Darsa, tercenung di tepi ranjang.
Ombak kebahagiaan di hati pasangan muda itu perlahan ditelan gelombang kecemasan. Darsa telah membayangkan bencana yang akan menimpa mereka jika pulang ke desa. Atas nama aturan adat, mereka tidak akan diperlakukan sebagaimana layaknya manusia.
“Apa yang harus kita lakukan, Bli?”
“Aku sendiri tidak tahu, Luh. Aku bingung, mesti harus berkata apa pada tetua adat dan warga desa? Kita tidak pernah meminta bayi ini lahir kembar buncing. Ini sudah kehendak Dewata!”
“Kenapa warga desa masih saja percaya dengan takhayul,” gumam Luh Sarni.
“Kau tahu sendiri, Luh, kita tinggal di sebuah desa di mana tidak satu pun warganya mengenyam pendidikan tinggi seperti kita. Mereka hanya akrab dengan sawah dan lumpur,” Darsa mencoba menghibur meski hatinya pedih.
“Beginilah akibatnya. Setahun lalu Bli sendiri yang memutuskan tinggal di desa? Saya sudah bilang, lebih nyaman di kota. Kita bisa bebas menentukan jalan hidup kita sendiri, jauh dari aturan adat dan berbagai beban upacara rumit.”
“Tapi, Luh, aku masih memiliki Ibu. Aku tidak tega meninggalkannya sendirian di desa. Aku anak lelaki satu-satunya. Kau tahu ’kan adik perempuanku sudah menikah. Aku tidak punya pilihan lain, selain bertahan di desa menemani Ibu. Selain itu, aku juga ditugasi mengelola tanah warisan Ayah.”
“Tanah warisan ’kan bisa dijual. Lalu, ajak saja Ibu tinggal di kota,” Luh Sarni mencoba menguasai emosinya. “Tapi sudahlah, percuma berdebat dengan Bli. Sekarang yang perlu dipikirkan, bagaimana menyelamatkan bayi ini agar tidak diasingkan di kuburan!”
“Begini saja, Luh tetap tinggal di sini. Bli akan pulang ke desa, mencoba berunding dengan tetua adat. Aku harap mereka mengerti bahwa zaman telah berubah.”
“Tidak ada gunanya berunding dengan orang-orang kolot itu. Bli akan sakit hati sendiri. Coba sesekali turuti kata-kata saya, kita tinggal di Denpasar. Sementara waktu bisa numpang di rumah bibiku.”
Darsa tidak menjawab. Ia hanya menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berbagai perasaan campur aduk. Kemudian ia mengecup kening istrinya. Menatap lembut kedua bayinya. Lalu melangkah meninggalkan ruangan dengan keyakinan yang berusaha dibangunnya.
Senja hampir pudar ketika Darsa tiba di desanya yang terpencil di lereng bukit. Untuk mencapai desanya dari kota kabupaten, hanya menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam. Sepanjang perjalanan pulang ia terus memikirkan nasib bayinya. Seingatnya, ia pernah membaca di koran bahwa sanksi adat bagi bayi kembar buncing dan keluarganya telah dihapuskan puluhan tahun lalu. Tapi, kenapa desanya masih menganggap bayi kembar buncing membawa aib? Kenapa aturan kuno itu belum dihapus dari awig-awig? Tidakkah mereka sadar hidup di abad dua puluh satu?
Darsa masih ingat, sekitar dua tahun lalu pernah terjadi peristiwa pengasingan bayi kembar buncing di desa tetangganya. Bayi dan orangtuanya diasingkan dekat kuburan. Seluruh isi rumah dianggap leteh dan harus disucikan dengan upacara khusus. Selama masa pengasingan, mereka juga tidak dibolehkan memasuki tempat-tempat suci atau bersembahyang di pura.
“Tidak manusiawi sekali!” gerutunya dalam hati.
Sampai di rumah Darsa disambut wajah cemas ibunya.
“Tadi pagi tetua adat datang menanyakan bayimu. Mereka ingin memastikan kebenaran kabar tentang bayi kembar buncing itu.”
“Lalu Meme ngomong apa?”
“Meme bilang berita itu tidak benar. Tapi, tetua adat tidak percaya. Mereka memaksa Meme berkata jujur. Kalau tidak, mereka akan melakukan tindakan yang lebih tegas.”
“Bayi itu tidak bersalah, Me. Kita tidak boleh membiarkan mereka membawa bayi itu ke kuburan untuk santapan leak.”
“Tapi kita bisa apa? Besok sore tetua adat bersama warga akan mengadakan paruman mendadak untuk memutuskan masalah ini.”
“Keluarga kita diundang?”
“Tidak.”
“Berarti mereka akan mengambil keputusan secara sepihak tanpa mau mendengar pembelaan dari kita.”
“Karena keluarga kita dianggap membawa aib. Kita hanya bisa pasrah dengan keputusan mereka.”
“Tidak bisa, Me! Saya harus bicara dalam paruman itu!”
“Kau tidak mengerti tabiat desa ini. Kau sama saja dengan ayahmu!”
Darsa menuju ke kamarnya. Pikirannya berputar-putar, seperti benang kusut. Ia merasa sanksi adat ini sangat tidak adil karena hanya berlaku bagi kalangan rakyat biasa. Hanya keluarga bangsawan yang boleh melahirkan bayi kembar buncing. Dan rakyat harus bergembira sebab kelahiran tersebut dianggap membawa berkah dan kemakmuran. Namun, kalau bayi tersebut lahir dari rakyat biasa dianggap aib karena menyamai raja.
“Sungguh tidak adil! Aturan ini harus dihapus dari awig-awig desa,” gumam Darsa kesal. Karena lelah jiwa dan raga, ia akhirnya tertidur pulas.
Balai dipenuhi warga. Paruman belum dimulai. Warga membentuk beberapa kerumunan kecil di pinggir jalan, di warung tuak, dan warung kopi. Mereka ngobrol sangat perlahan dan hati-hati, melihat kiri-kanan, seakan takut suara mereka akan membangunkan hantu-hantu kuburan.
“Mengerikan! Desa kita akan ditimpa kekeringan berkepanjangan.”
“Panen akan gagal lagi.”
“Sebulan lalu ada anak anjing lahir berkaki lima. Seminggu lalu bunga bangkai mekar di jaba pura. Sekarang bayi kembar buncing! Duh… Dewa Ratu, bencana apa yang akan menimpa desa ini?”
“Beberapa malam lalu saya melihat sinar biru melesat dari arah bukit.”
“Aku juga melihatnya.”
“Ya, aku juga lihat. Tapi, sinarnya biru bercampur merah.”
“Akhir-akhir ini memang sering terjadi siat peteng di pinggir desa.”
“Kemarin malam aku malah mendengar suara burung gagak di atap rumah Darsa.”
“Kau tahu, hujan sudah hampir tiga bulan tidak turun di desa kita?”
“Semoga desa kita diberi kekuatan mengatasi aib ini.”
Begitulah, wajah warga desa diliputi berbagai kecemasan dan kengerian. Mereka mengalungkan benang tridatu di pergelangan tangan masing-masing, sebagai penolak bala, pengusir roh jahat yang mengganggu.
Suasana desa benar-benar dicekam ketakutan. Warga sudah mengunci pintu rumah mereka sekitar pukul delapan malam. Mereka merasa lebih aman berkumpul di dalam rumah ketimbang berkeliaran di jalan yang sampai saat ini belum dipasangi penerangan jalan oleh pemerintah.
Tetua adat memasuki balaidesa. Warga menghentikan bisik-bisiknya. Paruman berjalan alot. Dari mulut klian adat meluncur berbagai petatah-petitih dan nasihat agar ketenangan desa dijaga, agar warga bersatu mengusir roh jahat yang mengganggu serta bersama-sama mengatasi aib yang menimpa desa.
Sampai pada pokok masalah, dengan wibawa yang dibuat-buat, klian angkat bicara. “Awig-awig harus ditegakkan. Keluarga Darsa harus diasingkan dekat kuburan selama 42 hari. Mereka harus menggelar upacara caru agung yang akan dipimpin oleh pemangku desa.” Warga desa mendengar dengan santun sambil manggut-manggut.
Untuk memancing reaksi warga, klian kembali angkat bicara, “Ada pertanyaan dari warga sekalian?” Para peserta paruman menundukkan kepala. Klian menatap mereka satu per satu. “Kalau tidak ada pertanyaan, paruman akan…!”
“Saya bertanya, Pak Klian!” Warga kaget seperti melihat leak. Tidak terkecuali para tetua adat. Mereka serentak mengalihkan pandangan ke arah Darsa yang dengan tenang menaiki tangga balaidesa dan mengambil posisi duduk di depan warga menghadap klian. Warga saling berbisik seperti dengung kerumunan lebah.
“Saudara sekalian harap tenang!” Pak Klian menatap Darsa lekat-lekat. “Kenapa kamu datang ke paruman ini?! Menurut awig-awig kamu…”
“Maafkan kelancangan saya, Pak Klian. Saya hanya mohon penjelasan kenapa sanksi adat mengenai bayi kembar buncing belum juga dihapuskan di desa ini, sementara pemerintah telah melarangnya puluhan tahun lalu?”
Warga desa tersentak mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut Darsa. Sebagian geram dengan kelancangannya yang dianggap tidak menghormati paruman. Sebagian lagi diam-diam mendukung dan bangga dengan keberaniannya, meski hanya dalam hati. Mereka takut dengan tetua adat.
Beberapa warga sadar bahwa keluarga Darsa dan bayinya tidak bersalah. Bayi tersebut tentu tidak minta lahir dari rahim Luh Sarni, tapi semata-mata hanya karena kehendak Dewata. Sekarang Darsa yang mengalami nasib seperti ini, besok bisa saja menimpa warga lainnya. Namun, warga tidak mampu berbuat apa-apa di bawah aturan awig-awig yang walau kolot, tapi harus tetap dipatuhi agar terhindar dari sanksi adat yang lebih parah.
Dengan wajah disabar-sabarkan, klian menjawab pertanyaan Darsa yang dianggapnya terlalu lancang. “Kami tidak bisa berbuat apa-apa, Nak. Peraturan itu sudah tersurat dalam awig-awig desa jauh sebelum saya atau kamu lahir. Awig-awig ini sudah di-pasupati. Jadi, kita tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali mematuhinya. Dan, menurut awig-awig kamu semestinya tidak boleh menghadiri paruman ini karena masih leteh. Atas kelancanganmu, kau wajib membayar denda…,” klian menarik napas mencoba mengendalikan diri. “Nah, warga sekalian, paruman diakhiri sampai di sini. Sekarang silakan kembali ke rumah masing-masing!”
Klian mengemasi tumpukan lontar yang berisi awig-awig, alat tulis, dan buku catatan, kemudian meninggalkan balaidesa diiringi tetua adat yang lain. Satu per satu warga pun kembali ke rumah masing-masing. Sekejap balaidesa menjadi senyap. Hanya Darsa yang masih duduk tercenung di tangga balaidesa. Darah mudanya mendidih. Ia merasa menjadi pecundang di desa kelahirannya sendiri. Ia merasa tidak dipedulikan, pembelaannya tidak didengar oleh tetua adat.
Bulan hampir penuh menyembul dari rerimbun pepohonan. Kenangan demi kenangan masa kanak-kanak kembali berkelebat dalam benak Darsa. Bermain petak umpet di bawah purnama dengan kawan sebaya. Mandi di kali yang berair jernih hingga sampai lupa waktu. Bersama kakek mengembalakan sapi di sawah sambil mengerjakan PR yang diberikan guru. Darsa begitu mencintai desanya. Desa yang menyimpan manis kenangan masa kanak-kanak.
Masih membekas dalam kenangannya bagaimana ia menangis menatap hamparan desanya dari jalan yang melingkari punggung bukit. Saat itu ia baru lulus SMP dan akan berangkat ke kota untuk melanjutkan sekolah dan kuliah. Darsa beruntung mempunyai ayah seorang guru, meski hanya guru SD di desa. Ayahnya yang terus-menerus mendorong Darsa agar sekolah dan kuliah di kota.
Namun, sukses menyekolahkan anak di kota berbuntut pada tumbuh suburnya rasa iri hati sejumlah warga yang tidak senang pada keluarga Darsa. Apalagi ayahnya dikenal sebagai warga yang paling suka bertanya dalam setiap paruman dan paling kritis dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tetua adat yang sering kali mengatasnamakan awig-awig yang tidak boleh dibantah.
Karena dianggap mengangkangi awig-awig dan wibawa tetua adat, ayahnya dikucilkan dari desa adat sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Bahkan, ketika ayahnya meninggal, mayatnya tidak boleh dikubur di pekuburan desa adat, kecuali pihak keluarga bersedia mengakui kesalahan almarhum dan membayar denda yang besarnya telah ditentukan oleh awig-awig.
Demi penguburan mayat ayahnya, Darsa bersedia mengakui kesalahan ayahnya di hadapan warga dan membayar denda sesuai ketentuan. Dalam hati, Darsa tidak mengerti apa kesalahan ayahnya? Apakah hanya karena bersikap kritis terhadap awig-awig dan suatu kebijakan adat dianggap kesalahan?
Dendam tetua adat rupanya belum juga surut. Kini keluarganya kembali dikenakan sanksi adat, hanya karena melahirkan bayi kembar buncing. Sebagai seorang sarjana, Darsa merasa malu karena tidak berdaya menghadapi awig-awig desa adatnya sendiri. Ia merasa tidak mampu berbuat apa-apa untuk membenahi atau meluruskan awig-awig yang kolot dan sering kali dibengkokkan oleh tetua adat untuk kepentingannya sendiri.
Hasil paruman telah diputuskan. Luh Sarni beserta bayinya akan diasingkan di pinggiran desa dekat kuburan. Selain itu, keluarga Darsa diwajibkan menggelar upacara bersih desa. Memikirkan hal itu ia ngeri sendiri, membayangkan kedua bayinya akan hidup di kuburan selama sebulan lebih.
Tiada cara lain kecuali harus menentukan pilihan, meski berat harus dijalankan. Pagi-pagi sekali Darsa menjelaskan rencananya pada ibunya. Perempuan paruh baya itu kaget dan sedih mendengar keputusan anaknya.
“Kau tidak mau menghadapi kenyataan. Kau tahu ayahmu masih di kubur di sini dan belum di-aben?”
“Me, ini pilihan terakhir. Tidak ada jalan lain lagi. Di kota tidak ada sanksi adat yang kolot seperti ini!”
“Kalau itu kehendakmu, silakan kau berangkat sendiri. Biarlah Meme tinggal di sini merawat kuburan ayahmu. Meme masih mencintai desa ini, kau mengerti? Meme yakin suatu saat desa ini akan berubah menjadi lebih baik.”
Darsa tidak mampu berkata apa lagi. Untuk kedua kalinya ia menangis meninggalkan desa kelahirannya. Kini batinnya luka parah karena harus berpisah dengan ibunya.
Kalau keputusan awig-awig itu masih disebut kebenaran, Darsa pun telah memilih kebenarannya sendiri: mengikuti saran istrinya, hidup di kota, bila perlu melepas agama yang diwarisinya sejak lahir. Ia tidak pernah tahu, entah kapan akan kembali ke desa yang sangat dicintainya itu. *
Denpasar, 29 Januari 2004
Keterangan:
Awig-awig: aturan-aturan adat yang diwarisi turun-temurun.
Aben/ngaben: upacara pembakaran mayat
Bli: abang, kangmas, kakak
Benang tridatu: benang tiga warna (hitam, merah, dan putih) sebagai penolak bala.
Caru agung: upacara besar/bersih desa untuk mengusir roh jahat, wabah, dan menetralkan desa dari pengaruh aib
Jaba: luar.
Kembar buncing: kembar laki dan perempuan. Konon, raja Bali kuno pernah memiliki anak kembar buncing, Sri Masula-Masuli. Karena diyakini telah melakukan hubungan intim selama dalam kandungan, mereka akhirnya dikawinkan dan menjadi raja-ratu yang membawa Bali ke arah kemakmuran. Sanksi adat bagi kelahiran bayi kembar buncing telah dihapus oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali dalam Paswara Nomor 10/DPRD tertanggal 12 Juli 1951, yang ditandatangani oleh Ketua Dewan, I Gusti Putu Merta. Namun, sampai kini beberapa desa di pedalaman Bali masih memberlakukan sanksi adat tersebut.
Klian: ketua
Leteh: cemar, aib
Leak: orang yang mempraktikkan ilmu hitam
Meme: mama, ibu
Paruman: rapat/sidang adat
Pasupati: pemberkatan atau pengesahan senjata pusaka, awig-awig, melalui ritual khusus
Pemangku: pemimpin upacara agama Hindu di Bali
Siat peteng: perang malam bagi yang suka menguji kesaktian, biasanya perang tanding antarleak berupa benturan-benturan bola api di langit malam.
Wayan Sunarta
Tiga hari lalu, Luh Sarni melahirkan bayi kembar. Yang lebih mengejutkan, bayi tersebut bukan kembar biasa. Tapi kembar buncing, kembar laki-perempuan! Meski lahir di rumah sakit di kota kabupaten, berita telah menyebar dan menggegerkan warga desanya.
Tubuh Luh Sarni, yang masih lemas karena melahirkan, kini semakin lemas. Ia masih berbaring di ranjang rumah sakit. Tiga hari lagi dokter membolehkannya pulang. Dengan gundah, ia menatap kedua bayinya yang tidur lelap. Suaminya, Wayan Darsa, tercenung di tepi ranjang.
Ombak kebahagiaan di hati pasangan muda itu perlahan ditelan gelombang kecemasan. Darsa telah membayangkan bencana yang akan menimpa mereka jika pulang ke desa. Atas nama aturan adat, mereka tidak akan diperlakukan sebagaimana layaknya manusia.
“Apa yang harus kita lakukan, Bli?”
“Aku sendiri tidak tahu, Luh. Aku bingung, mesti harus berkata apa pada tetua adat dan warga desa? Kita tidak pernah meminta bayi ini lahir kembar buncing. Ini sudah kehendak Dewata!”
“Kenapa warga desa masih saja percaya dengan takhayul,” gumam Luh Sarni.
“Kau tahu sendiri, Luh, kita tinggal di sebuah desa di mana tidak satu pun warganya mengenyam pendidikan tinggi seperti kita. Mereka hanya akrab dengan sawah dan lumpur,” Darsa mencoba menghibur meski hatinya pedih.
“Beginilah akibatnya. Setahun lalu Bli sendiri yang memutuskan tinggal di desa? Saya sudah bilang, lebih nyaman di kota. Kita bisa bebas menentukan jalan hidup kita sendiri, jauh dari aturan adat dan berbagai beban upacara rumit.”
“Tapi, Luh, aku masih memiliki Ibu. Aku tidak tega meninggalkannya sendirian di desa. Aku anak lelaki satu-satunya. Kau tahu ’kan adik perempuanku sudah menikah. Aku tidak punya pilihan lain, selain bertahan di desa menemani Ibu. Selain itu, aku juga ditugasi mengelola tanah warisan Ayah.”
“Tanah warisan ’kan bisa dijual. Lalu, ajak saja Ibu tinggal di kota,” Luh Sarni mencoba menguasai emosinya. “Tapi sudahlah, percuma berdebat dengan Bli. Sekarang yang perlu dipikirkan, bagaimana menyelamatkan bayi ini agar tidak diasingkan di kuburan!”
“Begini saja, Luh tetap tinggal di sini. Bli akan pulang ke desa, mencoba berunding dengan tetua adat. Aku harap mereka mengerti bahwa zaman telah berubah.”
“Tidak ada gunanya berunding dengan orang-orang kolot itu. Bli akan sakit hati sendiri. Coba sesekali turuti kata-kata saya, kita tinggal di Denpasar. Sementara waktu bisa numpang di rumah bibiku.”
Darsa tidak menjawab. Ia hanya menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berbagai perasaan campur aduk. Kemudian ia mengecup kening istrinya. Menatap lembut kedua bayinya. Lalu melangkah meninggalkan ruangan dengan keyakinan yang berusaha dibangunnya.
Senja hampir pudar ketika Darsa tiba di desanya yang terpencil di lereng bukit. Untuk mencapai desanya dari kota kabupaten, hanya menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam. Sepanjang perjalanan pulang ia terus memikirkan nasib bayinya. Seingatnya, ia pernah membaca di koran bahwa sanksi adat bagi bayi kembar buncing dan keluarganya telah dihapuskan puluhan tahun lalu. Tapi, kenapa desanya masih menganggap bayi kembar buncing membawa aib? Kenapa aturan kuno itu belum dihapus dari awig-awig? Tidakkah mereka sadar hidup di abad dua puluh satu?
Darsa masih ingat, sekitar dua tahun lalu pernah terjadi peristiwa pengasingan bayi kembar buncing di desa tetangganya. Bayi dan orangtuanya diasingkan dekat kuburan. Seluruh isi rumah dianggap leteh dan harus disucikan dengan upacara khusus. Selama masa pengasingan, mereka juga tidak dibolehkan memasuki tempat-tempat suci atau bersembahyang di pura.
“Tidak manusiawi sekali!” gerutunya dalam hati.
Sampai di rumah Darsa disambut wajah cemas ibunya.
“Tadi pagi tetua adat datang menanyakan bayimu. Mereka ingin memastikan kebenaran kabar tentang bayi kembar buncing itu.”
“Lalu Meme ngomong apa?”
“Meme bilang berita itu tidak benar. Tapi, tetua adat tidak percaya. Mereka memaksa Meme berkata jujur. Kalau tidak, mereka akan melakukan tindakan yang lebih tegas.”
“Bayi itu tidak bersalah, Me. Kita tidak boleh membiarkan mereka membawa bayi itu ke kuburan untuk santapan leak.”
“Tapi kita bisa apa? Besok sore tetua adat bersama warga akan mengadakan paruman mendadak untuk memutuskan masalah ini.”
“Keluarga kita diundang?”
“Tidak.”
“Berarti mereka akan mengambil keputusan secara sepihak tanpa mau mendengar pembelaan dari kita.”
“Karena keluarga kita dianggap membawa aib. Kita hanya bisa pasrah dengan keputusan mereka.”
“Tidak bisa, Me! Saya harus bicara dalam paruman itu!”
“Kau tidak mengerti tabiat desa ini. Kau sama saja dengan ayahmu!”
Darsa menuju ke kamarnya. Pikirannya berputar-putar, seperti benang kusut. Ia merasa sanksi adat ini sangat tidak adil karena hanya berlaku bagi kalangan rakyat biasa. Hanya keluarga bangsawan yang boleh melahirkan bayi kembar buncing. Dan rakyat harus bergembira sebab kelahiran tersebut dianggap membawa berkah dan kemakmuran. Namun, kalau bayi tersebut lahir dari rakyat biasa dianggap aib karena menyamai raja.
“Sungguh tidak adil! Aturan ini harus dihapus dari awig-awig desa,” gumam Darsa kesal. Karena lelah jiwa dan raga, ia akhirnya tertidur pulas.
Balai dipenuhi warga. Paruman belum dimulai. Warga membentuk beberapa kerumunan kecil di pinggir jalan, di warung tuak, dan warung kopi. Mereka ngobrol sangat perlahan dan hati-hati, melihat kiri-kanan, seakan takut suara mereka akan membangunkan hantu-hantu kuburan.
“Mengerikan! Desa kita akan ditimpa kekeringan berkepanjangan.”
“Panen akan gagal lagi.”
“Sebulan lalu ada anak anjing lahir berkaki lima. Seminggu lalu bunga bangkai mekar di jaba pura. Sekarang bayi kembar buncing! Duh… Dewa Ratu, bencana apa yang akan menimpa desa ini?”
“Beberapa malam lalu saya melihat sinar biru melesat dari arah bukit.”
“Aku juga melihatnya.”
“Ya, aku juga lihat. Tapi, sinarnya biru bercampur merah.”
“Akhir-akhir ini memang sering terjadi siat peteng di pinggir desa.”
“Kemarin malam aku malah mendengar suara burung gagak di atap rumah Darsa.”
“Kau tahu, hujan sudah hampir tiga bulan tidak turun di desa kita?”
“Semoga desa kita diberi kekuatan mengatasi aib ini.”
Begitulah, wajah warga desa diliputi berbagai kecemasan dan kengerian. Mereka mengalungkan benang tridatu di pergelangan tangan masing-masing, sebagai penolak bala, pengusir roh jahat yang mengganggu.
Suasana desa benar-benar dicekam ketakutan. Warga sudah mengunci pintu rumah mereka sekitar pukul delapan malam. Mereka merasa lebih aman berkumpul di dalam rumah ketimbang berkeliaran di jalan yang sampai saat ini belum dipasangi penerangan jalan oleh pemerintah.
Tetua adat memasuki balaidesa. Warga menghentikan bisik-bisiknya. Paruman berjalan alot. Dari mulut klian adat meluncur berbagai petatah-petitih dan nasihat agar ketenangan desa dijaga, agar warga bersatu mengusir roh jahat yang mengganggu serta bersama-sama mengatasi aib yang menimpa desa.
Sampai pada pokok masalah, dengan wibawa yang dibuat-buat, klian angkat bicara. “Awig-awig harus ditegakkan. Keluarga Darsa harus diasingkan dekat kuburan selama 42 hari. Mereka harus menggelar upacara caru agung yang akan dipimpin oleh pemangku desa.” Warga desa mendengar dengan santun sambil manggut-manggut.
Untuk memancing reaksi warga, klian kembali angkat bicara, “Ada pertanyaan dari warga sekalian?” Para peserta paruman menundukkan kepala. Klian menatap mereka satu per satu. “Kalau tidak ada pertanyaan, paruman akan…!”
“Saya bertanya, Pak Klian!” Warga kaget seperti melihat leak. Tidak terkecuali para tetua adat. Mereka serentak mengalihkan pandangan ke arah Darsa yang dengan tenang menaiki tangga balaidesa dan mengambil posisi duduk di depan warga menghadap klian. Warga saling berbisik seperti dengung kerumunan lebah.
“Saudara sekalian harap tenang!” Pak Klian menatap Darsa lekat-lekat. “Kenapa kamu datang ke paruman ini?! Menurut awig-awig kamu…”
“Maafkan kelancangan saya, Pak Klian. Saya hanya mohon penjelasan kenapa sanksi adat mengenai bayi kembar buncing belum juga dihapuskan di desa ini, sementara pemerintah telah melarangnya puluhan tahun lalu?”
Warga desa tersentak mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut Darsa. Sebagian geram dengan kelancangannya yang dianggap tidak menghormati paruman. Sebagian lagi diam-diam mendukung dan bangga dengan keberaniannya, meski hanya dalam hati. Mereka takut dengan tetua adat.
Beberapa warga sadar bahwa keluarga Darsa dan bayinya tidak bersalah. Bayi tersebut tentu tidak minta lahir dari rahim Luh Sarni, tapi semata-mata hanya karena kehendak Dewata. Sekarang Darsa yang mengalami nasib seperti ini, besok bisa saja menimpa warga lainnya. Namun, warga tidak mampu berbuat apa-apa di bawah aturan awig-awig yang walau kolot, tapi harus tetap dipatuhi agar terhindar dari sanksi adat yang lebih parah.
Dengan wajah disabar-sabarkan, klian menjawab pertanyaan Darsa yang dianggapnya terlalu lancang. “Kami tidak bisa berbuat apa-apa, Nak. Peraturan itu sudah tersurat dalam awig-awig desa jauh sebelum saya atau kamu lahir. Awig-awig ini sudah di-pasupati. Jadi, kita tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali mematuhinya. Dan, menurut awig-awig kamu semestinya tidak boleh menghadiri paruman ini karena masih leteh. Atas kelancanganmu, kau wajib membayar denda…,” klian menarik napas mencoba mengendalikan diri. “Nah, warga sekalian, paruman diakhiri sampai di sini. Sekarang silakan kembali ke rumah masing-masing!”
Klian mengemasi tumpukan lontar yang berisi awig-awig, alat tulis, dan buku catatan, kemudian meninggalkan balaidesa diiringi tetua adat yang lain. Satu per satu warga pun kembali ke rumah masing-masing. Sekejap balaidesa menjadi senyap. Hanya Darsa yang masih duduk tercenung di tangga balaidesa. Darah mudanya mendidih. Ia merasa menjadi pecundang di desa kelahirannya sendiri. Ia merasa tidak dipedulikan, pembelaannya tidak didengar oleh tetua adat.
Bulan hampir penuh menyembul dari rerimbun pepohonan. Kenangan demi kenangan masa kanak-kanak kembali berkelebat dalam benak Darsa. Bermain petak umpet di bawah purnama dengan kawan sebaya. Mandi di kali yang berair jernih hingga sampai lupa waktu. Bersama kakek mengembalakan sapi di sawah sambil mengerjakan PR yang diberikan guru. Darsa begitu mencintai desanya. Desa yang menyimpan manis kenangan masa kanak-kanak.
Masih membekas dalam kenangannya bagaimana ia menangis menatap hamparan desanya dari jalan yang melingkari punggung bukit. Saat itu ia baru lulus SMP dan akan berangkat ke kota untuk melanjutkan sekolah dan kuliah. Darsa beruntung mempunyai ayah seorang guru, meski hanya guru SD di desa. Ayahnya yang terus-menerus mendorong Darsa agar sekolah dan kuliah di kota.
Namun, sukses menyekolahkan anak di kota berbuntut pada tumbuh suburnya rasa iri hati sejumlah warga yang tidak senang pada keluarga Darsa. Apalagi ayahnya dikenal sebagai warga yang paling suka bertanya dalam setiap paruman dan paling kritis dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tetua adat yang sering kali mengatasnamakan awig-awig yang tidak boleh dibantah.
Karena dianggap mengangkangi awig-awig dan wibawa tetua adat, ayahnya dikucilkan dari desa adat sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Bahkan, ketika ayahnya meninggal, mayatnya tidak boleh dikubur di pekuburan desa adat, kecuali pihak keluarga bersedia mengakui kesalahan almarhum dan membayar denda yang besarnya telah ditentukan oleh awig-awig.
Demi penguburan mayat ayahnya, Darsa bersedia mengakui kesalahan ayahnya di hadapan warga dan membayar denda sesuai ketentuan. Dalam hati, Darsa tidak mengerti apa kesalahan ayahnya? Apakah hanya karena bersikap kritis terhadap awig-awig dan suatu kebijakan adat dianggap kesalahan?
Dendam tetua adat rupanya belum juga surut. Kini keluarganya kembali dikenakan sanksi adat, hanya karena melahirkan bayi kembar buncing. Sebagai seorang sarjana, Darsa merasa malu karena tidak berdaya menghadapi awig-awig desa adatnya sendiri. Ia merasa tidak mampu berbuat apa-apa untuk membenahi atau meluruskan awig-awig yang kolot dan sering kali dibengkokkan oleh tetua adat untuk kepentingannya sendiri.
Hasil paruman telah diputuskan. Luh Sarni beserta bayinya akan diasingkan di pinggiran desa dekat kuburan. Selain itu, keluarga Darsa diwajibkan menggelar upacara bersih desa. Memikirkan hal itu ia ngeri sendiri, membayangkan kedua bayinya akan hidup di kuburan selama sebulan lebih.
Tiada cara lain kecuali harus menentukan pilihan, meski berat harus dijalankan. Pagi-pagi sekali Darsa menjelaskan rencananya pada ibunya. Perempuan paruh baya itu kaget dan sedih mendengar keputusan anaknya.
“Kau tidak mau menghadapi kenyataan. Kau tahu ayahmu masih di kubur di sini dan belum di-aben?”
“Me, ini pilihan terakhir. Tidak ada jalan lain lagi. Di kota tidak ada sanksi adat yang kolot seperti ini!”
“Kalau itu kehendakmu, silakan kau berangkat sendiri. Biarlah Meme tinggal di sini merawat kuburan ayahmu. Meme masih mencintai desa ini, kau mengerti? Meme yakin suatu saat desa ini akan berubah menjadi lebih baik.”
Darsa tidak mampu berkata apa lagi. Untuk kedua kalinya ia menangis meninggalkan desa kelahirannya. Kini batinnya luka parah karena harus berpisah dengan ibunya.
Kalau keputusan awig-awig itu masih disebut kebenaran, Darsa pun telah memilih kebenarannya sendiri: mengikuti saran istrinya, hidup di kota, bila perlu melepas agama yang diwarisinya sejak lahir. Ia tidak pernah tahu, entah kapan akan kembali ke desa yang sangat dicintainya itu. *
Denpasar, 29 Januari 2004
Keterangan:
Awig-awig: aturan-aturan adat yang diwarisi turun-temurun.
Aben/ngaben: upacara pembakaran mayat
Bli: abang, kangmas, kakak
Benang tridatu: benang tiga warna (hitam, merah, dan putih) sebagai penolak bala.
Caru agung: upacara besar/bersih desa untuk mengusir roh jahat, wabah, dan menetralkan desa dari pengaruh aib
Jaba: luar.
Kembar buncing: kembar laki dan perempuan. Konon, raja Bali kuno pernah memiliki anak kembar buncing, Sri Masula-Masuli. Karena diyakini telah melakukan hubungan intim selama dalam kandungan, mereka akhirnya dikawinkan dan menjadi raja-ratu yang membawa Bali ke arah kemakmuran. Sanksi adat bagi kelahiran bayi kembar buncing telah dihapus oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali dalam Paswara Nomor 10/DPRD tertanggal 12 Juli 1951, yang ditandatangani oleh Ketua Dewan, I Gusti Putu Merta. Namun, sampai kini beberapa desa di pedalaman Bali masih memberlakukan sanksi adat tersebut.
Klian: ketua
Leteh: cemar, aib
Leak: orang yang mempraktikkan ilmu hitam
Meme: mama, ibu
Paruman: rapat/sidang adat
Pasupati: pemberkatan atau pengesahan senjata pusaka, awig-awig, melalui ritual khusus
Pemangku: pemimpin upacara agama Hindu di Bali
Siat peteng: perang malam bagi yang suka menguji kesaktian, biasanya perang tanding antarleak berupa benturan-benturan bola api di langit malam.
Wayan Sunarta
Como Un Sueño
Como Un Sueño
Aku ingin pulang ke Portugis. Atau ke Manhattan dulu. Kamu di sana, ’kan? Aku ingin pulang ke Portugis. Menggendong Nicole di muka Mom dan Dad. Tetapi Nicole sudah terlalu besar. Badannya mungkin sudah lebih berat dariku. Dan dia di Manhattan dengan kewarganegaraan yang mengancamnya di sana.
Ayolah mengingat- ingat masa lalu sebelum membicarakan apa-apa di masa sekarang.
Kelas berapa dia sekarang? Waktu pertama kali meninggalkan Bandung, bukankah dia sudah kelas empat? Lalu kamu mau aku dan dia ikut ke New York. Aku tak menolak. Bahkan kalau kamu memintanya hari ini, aku tetap tak akan menolak: kita hidup bersama.
Kemudian aku harus selalu terganggu dengan ingatan akan sebuah kisah cinta lamamu di dalam kereta bawah tanah karena setiap hari Sabtu kami ikut denganmu ke restoran milik si tua Meksiko. Kami duduk di meja paling sudut. Kita sudah sepakat untuk pura-pura tak saling kenal sampai waktunya pulang.
Jam enam sore mulai ramai. Orang-orang memanggilmu dengan sebutan “the flea” karena gerakanmu yang begitu cepat seperti kutu loncat. Kamu sudah siap beraksi. Kami tak dapat lagi melihat rambutmu yang panjang di dalam slayer merah bercorak bintang-bintang kecil yang mengingatkan pada bendera Amerika. Seragam putihmu bertepi merah, seperti Indonesia? Ah, sentimentil imigran. Celemekmu tak membuat kesan feminin. Kamu tetap lelaki Portugis yang gagah.
Dulu kamu orang Indonesia juga, sebelum Timor dilepaskan, dan akhirnya kamu melupakannya sama sekali. Kamu orang Portugis sekarang. Tidak denganku dan Nicole. Ah, kamu mulai beraksi. Membuat segalanya berlompatan di atas meja ajaibmu. Orang-orang bertepuk tangan. Tepuk tangan yang dingin, suara-suara yang beku. Aku menggigil. Nicole tak bisa menahan diri untuk tidak kencing.
Keluar dari toilet, meja kami sudah ditempati orang lain. Kami mencari meja lain dan mendapat tempat yang lebih dekat dengan tempatmu. Kamu melirik sedikit sambil tersenyum seperti kepada semua orang. Ada yang pesan lobster rupanya, Chef?
Semuanya kembali beterbangan. Lobster-lobster, bumbu-bumbu, pisau-pisaumu. Tapi semuanya segera kembali ke tempatnya lagi. Lalu pesanan tampak siap, dua lobster di sebuah piring besar.
“Siapa yang tahu, mana lobster jantan dan mana lobster betina?”
Suaramu yang kasar itu menerobos ke tengah-tengah keriuhan para pengunjung yang mengelilingimu dengan meja-meja di hadapannya. Nicole sudah mau meneriakkan bahwa yang kanan yang betina sebelum seorang lelaki gemuk berkoar-koar bahwa pasti yang kanan yang jantan. Tapi, aku mencegahnya dan mengalihkan perhatiannya dengan menanyakan mengapa yang kanan betina? Karena lebih merah dan lebih bungkuk, katanya. Aku tersenyum. Dia tidak. Dad belum menceritakan yang ini di rumah tadi, katanya lagi. Kukatakan barangkali sudah lama tak ada yang memesan lobster dan Dad tak mengira akan ada yang pesan lobster.
Setelah semua orang menunjuk yang kiri dan yang kanan, sebagai yang betina dan yang jantan, secara bolak-balik berulang-ulang dan semuanya salah, ruangan makin ribut. Tiba-tiba kamu meletakkan lobster yang kiri ke atas yang kanan dan berkata sambil menunjuk yang atas: Ini lobster yang jantan. He’s always on the top.
Kembali ribut. Lagi-lagi tepuk tangan yang dingin. Suara-suara yang beku. Aku menggigil lagi. Nicole ingin kencing lagi.
Jam sepuluh adegan-adegan penuh aksi ditutup. Kamu mengenakan kembali kaus hitam tanpa lengan di balik mantel abu-abu yang tak pernah kamu kancingi. Rambut panjangmu kelihatan lagi. Seorang lelaki tegap menghampirimu dan berbicara denganmu dalam bahasa Spanyol. Aku tak mengerti seluruhnya. Aku hanya ingat “komo en suenyo” sampai sekarang, yang kalian ucapkan hampir bersamaan sambil memandang kepadaku dari jauh. Lalu kamu menghampiri kami. Nicole marah-marah atas adegan lobster. Kita berada dalam kereta bawah tanah lagi. Aku terganggu lagi dengan ingatan akan sebuah kisah cinta di dalam kereta bawah tanah. Aku terdesak bayangan tentang Maraini.
Apartemen ini tidak menyenangkan, Yoe.
Kapan-kapan kita pindah, katamu.
Mereka juga tidak senang pada kita.
Enam bulan lagi kontrakku dengan Carlo selesai. Kita bisa pindah ke Manhattan, katamu lagi.
Aku girang, tak mengira bahwa akhirnya aku tak pernah jadi pindah ke Manhattan.
Berita-berita buruk berdatangan dari Indonesia. Kasus-kasus internasional hingga kabar Lydia meninggal. Kita tak bisa pulang. Tepatnya, kamu tidak mau. Musim sedang tak baik. Pergi-pulang bikin capek saja.
Suatu hari Sabtu yang lain, sebuah koran dengan sebuah headline yang kacau-balau tentang Indonesia bergeletakan di meja-meja restoran. Aku duduk di sudut sendirian. Nicole sedang ikut perkemahan terakhir dalam musim panas. Orang-orang berkerumun mendekatimu dan berbicara dengan berapi-api sambil menunjuk-nunjuk halaman satu koran-koran itu. Aku penasaran dan dengan malas mengambil juga satu koran. Ada berita yang menjatuhkan negaraku habis-habisan. Di negeri orang, manusia sentimentil dan emosional sepertiku pun bisa menjadi begitu nasionalis dan terpukul.
Aku baru mau membaca ulang berita itu ketika kudengar kamu berkata dengan sangat defensif: Don’t ask me. I was in Malay. Dan tiba-tiba orang-orang itu menoleh ke mejaku.
Jam sepuluh lebih empat puluh Sabtu itu, kita pulang dan kamu tidak berkata apa-apa. Dan ingatan akan sebuah kisah cinta di dalam kereta bawah tanah jadi kelewat mengganggu malam itu.
Masuk bulan Desember, segalanya makin kacau. Salju-salju menyiksa. Kamu tak pernah mengajak kami ke restoran. Merepotkan. Nicole mulai sakit-sakitan. Dan aku selalu disalahkan. Kita bertengkar hampir setiap malam. Sampai pada puncak yang pada waktu itu tampak jelas, tapi begitu kabur di kemudian hari, kita memutuskan bercerai. Soalnya, aku menambah rumit seluruh situasi yang ada. Pada saat itu aku begitu menyesal mengapa kita harus menikah, dulu. Bukankah lebih menarik kita tinggal bersama saja sebagai sepasang anak nakal?
Tetapi mengurus perceraian di pengadilan luar negeri, terlebih untuk pasangan Katolik, sungguh menyiksa. Nicole semakin parah dan kita tak bisa egois untuk terus-terusan mengurus perceraian. Kuputuskan berpisah saja. Karena kutahu juga kewarganegaraanku menjadi beban tambahan buatmu. Aku tahu arti lirikan orang-orang di restoran setelah membaca koran suatu Sabtu itu. Aku tahu kenapa kau dan seorang lelaki tegap memperdengarkan “komo en suenyo” sambil memandang kepadaku. Aku tak ingin menyusahkanmu. Aku pulang ke Bandung. Kita tak usah bercerai. Pada saat itu aku tak tahu mengapa merasa begitu bersyukur bahwa kita adalah sepasang suami-istri.
Tak ada yang istimewa dari perjalanan pulang. Aku sendirian. Tak bisa mengauskan perasaan menyesal. Dari atas, salju tak kelihatan. Bumi tak jelas berwarna apa. Burung-burung tak kelihatan-justru tak kelihatan di saat-saat kita sama-sama bisa terbang.
Pesawat transit satu malam di Singapura. Aku menginap di Le Meridien, hotel yang ingin sekali kumasuki sejak kulihat foto seorang Maraini dengan sepatu bot duduk di tangga depannya. Aku pernah sesumbar akan berfoto di tempat yang sama dengan sepatu kaca. Ketika melangkah di atas tangga pertama muka hotel itu, aku ingin sekali berfoto. Tapi, aku tak mengenakan sepatu kaca dan jika tetap berfoto juga akan jadi sama saja. Tak beda dengan Maraini. Tak ada istimewanya. Kakiku dibungkus sepatu bot yang kasar.
Tak ada yang istimewa. Tapi aku lupa harus tinggal di mana di Indonesia. Rumah di Dago sudah kita jual. Tapi aku sudah sampai Jakarta. Tak mungkin pulang ke Ibu-Bapak dengan tato salib di telinga kiri.
Aku menginap di Hotel Indonesia satu minggu, kemudian mendapat kontrakan di Jalan Adam Jakarta Barat. Lingkungan yang berisik. Orang-orang Betawi yang kelewat riang.
Aku mulai menulis lagi: pekerjaan yang paling tak kausukai. Tulisanku makin banyak dan makin sering muncul di surat kabar. Buku pertamaku belum juga terbit, padahal umur tiga puluh lima harus sudah mendapat nobel. Sekarang sudah tiga puluh dan hanya berguna untuk diundang membaca cerita dan diskusi.
Di suatu kesempatan, dalam sebuah pesta pengarang, aku bertemu Dewi, kawan mainmu di Bandung dulu. Seperti yang sempat kita gosipkan malam-malam di tempat tidur, dia sudah jadi artis betulan. Tapi dia juga sastrawan sekarang, apa kamu tahu itu? Apa dia tahu siapa aku? Tidak. Dia tak tahu aku istrimu, bahkan dia tak akan pernah mengira aku pernah kenal denganmu. Kami berkenalan sebagai penulis. Malam itu aku tak pernah berada lebih jauh dari tiga meter darinya. Entah mengapa aku ingin terus-terusan berdekatan dengannya dalam pesta itu. Aku tak tahu dan tak peduli kalau dia akan jengah dengan tingkahku itu.
Baru kutahu hari ini bahwa itu tak ada gunanya. Perang sudah dimulai lagi. Bangsa kita sudah tak punya muka. Bangsa lain menghabisi pribumi seperti Nazi mengganyang Yahudi. Malah lebih buruk dari itu. Yahudi, bagaimanapun, dianugerahi kepintaran yang lebih dari bangsa-bangsa lain. Tapi bangsa ini benar-benar parah. Beruntung aku seorang aktivis kebudayaan, peran yang membuatku bisa mendapatkan fasilitas komputer, telepon dan Internet di bekas kantor dewan kesenian yang sekarang jadi salah satu markas penjajah. Mereka mengharap aku bisa mendapat nobel di bawah pimpinan mereka. Tapi, ruangan tetap dijaga ketat tentara Sekutu. Ada dua komputer lain yang dipakai Chairil dan Arthur, penyair dari bangsa penjajah. Chairil diawasi betul, Arthur dan aku tidak karena aku pandai bicara dalam bahasa mereka. Di luar berisik suara tembakan dan teriakan.
Yang berguna saat ini adalah mencari alamat Mom dan Dad, ketika kutahu kamu sudah kelewat sakit sebagai penderita pneumonia. Kamu belum sempat dan kini sudah tak mampu mencarikan kewarganegaraan yang aman buat Nicole. Mungkin, sama sepertiku, kamu tak pernah menyangka akan begini jadinya di sini, dan akan begitu buruk nasib orang-orang seperti aku dan anakmu di negeri mana pun hingga kamu lengah dan membiarkan ia berlama-lama menjadi pesakit seperti kami di sini. Siapalah yang mengira bangsa sudah mulai maju begini bisa dijajah lagi. Tapi, memang benar pepatah lama itu: masih ada langit di atas langit-apalagi di atas bumi yang jelek ini. Benar-benar tak menyangka. Kenapa tak kamu biarkan aku menjemputnya dan membawanya ke Mom dan Dad? Biar mereka bisa menganugerahkan kewarganegaraan lain buatnya. Beri aku alamatmu di Manhattan.
Kudengar Mom orang Flores dan Dad orang Portugis tulen. Tapi kamu pernah bilang mereka menyukai Australia. Tempat kamu tumbuh setelah Timor dilepas. Tempat kamu dan Maraini bertemu di sekolah tinggi memasak. Aku tak tahu di mana kedua mertuaku itu. Aku bahkan belum pernah bertemu mereka. Apakah mereka di kampung halaman Portugis? Ataukah mereka selalu menyukai Australia dan tinggal di sana? Atau mereka merindukan Timor? Aku tak tahu.
Tapi aku tahu, sekarang, mengapa aku begitu bersyukur bahwa kita adalah sepasang suami-istri. Kubaca di mana-mana buku-buku Maraini. Dia sudah jadi penulis terkemuka di Italia. Karya-karyanya sudah diterjemahkan ke dalam sebelas bahasa. Cerita sindirannya tentang seprai kesayangannya yang akhirnya tak sengaja kubolongi dengan rokok diterjemahkan dan dikumpulkan bersamaan dengan karya Hesse, Maupassant, bahkan Borges dalam satu buku. Aku memang tak sehebat dia, tapi aku istrimu juga, bukan Elena pacar gelap suaminya dalam ceritanya. Tokoh “aku” dalam cerita itu hanya untuk menguntungkan posisinya.
Aku ingin pulang ke rumah keluarga suamiku.
Entah itu Portugis, Australia, Timor, atau apalah.
Aku tak peduli siapa Marainimu dan darah daging siapa si Nicole itu. Aku tak peduli apakah perang yang kusebut-sebut itu benar-benar terjadi atau tidak. Kamu juga tak usah peduli, ya? Aku juga sebenarnya tidak yakin apakah sakitmu separah itu.
Ups! Pokoknya kamu jangan peduli dengan semua yang kukatakan tadi.
Jangan!
Aduh…!
Pokoknya di sini semuanya berantakan. Kalau kamu tak bisa menerimaku kembali, aku minta alamat Mom dan Dad, Yoe.
Aduh, maaf kalau cerita ini jadi kelihatan berantakan, ngawur, tidak waras dan mengada-ada, bahkan seperti sebuah mimpi saja. Ya, como un sueño. Habis, aku stres. Tapi aku serius butuh alamat itu. Juga Nicole, tentu. Aku hanya tak tahan sendirian dan tanpa pegangan.
Tapi…
Tapi kalau kamu memang tidak rela melepaskan Nicole, aku tetap bisa pulang kepada Mom dan Dad dengan copy surat nikah kita dari Vatikan, ’kan…?
Yogyakarta, Januari 2004
Dina Oktaviani
Aku ingin pulang ke Portugis. Atau ke Manhattan dulu. Kamu di sana, ’kan? Aku ingin pulang ke Portugis. Menggendong Nicole di muka Mom dan Dad. Tetapi Nicole sudah terlalu besar. Badannya mungkin sudah lebih berat dariku. Dan dia di Manhattan dengan kewarganegaraan yang mengancamnya di sana.
Ayolah mengingat- ingat masa lalu sebelum membicarakan apa-apa di masa sekarang.
Kelas berapa dia sekarang? Waktu pertama kali meninggalkan Bandung, bukankah dia sudah kelas empat? Lalu kamu mau aku dan dia ikut ke New York. Aku tak menolak. Bahkan kalau kamu memintanya hari ini, aku tetap tak akan menolak: kita hidup bersama.
Kemudian aku harus selalu terganggu dengan ingatan akan sebuah kisah cinta lamamu di dalam kereta bawah tanah karena setiap hari Sabtu kami ikut denganmu ke restoran milik si tua Meksiko. Kami duduk di meja paling sudut. Kita sudah sepakat untuk pura-pura tak saling kenal sampai waktunya pulang.
Jam enam sore mulai ramai. Orang-orang memanggilmu dengan sebutan “the flea” karena gerakanmu yang begitu cepat seperti kutu loncat. Kamu sudah siap beraksi. Kami tak dapat lagi melihat rambutmu yang panjang di dalam slayer merah bercorak bintang-bintang kecil yang mengingatkan pada bendera Amerika. Seragam putihmu bertepi merah, seperti Indonesia? Ah, sentimentil imigran. Celemekmu tak membuat kesan feminin. Kamu tetap lelaki Portugis yang gagah.
Dulu kamu orang Indonesia juga, sebelum Timor dilepaskan, dan akhirnya kamu melupakannya sama sekali. Kamu orang Portugis sekarang. Tidak denganku dan Nicole. Ah, kamu mulai beraksi. Membuat segalanya berlompatan di atas meja ajaibmu. Orang-orang bertepuk tangan. Tepuk tangan yang dingin, suara-suara yang beku. Aku menggigil. Nicole tak bisa menahan diri untuk tidak kencing.
Keluar dari toilet, meja kami sudah ditempati orang lain. Kami mencari meja lain dan mendapat tempat yang lebih dekat dengan tempatmu. Kamu melirik sedikit sambil tersenyum seperti kepada semua orang. Ada yang pesan lobster rupanya, Chef?
Semuanya kembali beterbangan. Lobster-lobster, bumbu-bumbu, pisau-pisaumu. Tapi semuanya segera kembali ke tempatnya lagi. Lalu pesanan tampak siap, dua lobster di sebuah piring besar.
“Siapa yang tahu, mana lobster jantan dan mana lobster betina?”
Suaramu yang kasar itu menerobos ke tengah-tengah keriuhan para pengunjung yang mengelilingimu dengan meja-meja di hadapannya. Nicole sudah mau meneriakkan bahwa yang kanan yang betina sebelum seorang lelaki gemuk berkoar-koar bahwa pasti yang kanan yang jantan. Tapi, aku mencegahnya dan mengalihkan perhatiannya dengan menanyakan mengapa yang kanan betina? Karena lebih merah dan lebih bungkuk, katanya. Aku tersenyum. Dia tidak. Dad belum menceritakan yang ini di rumah tadi, katanya lagi. Kukatakan barangkali sudah lama tak ada yang memesan lobster dan Dad tak mengira akan ada yang pesan lobster.
Setelah semua orang menunjuk yang kiri dan yang kanan, sebagai yang betina dan yang jantan, secara bolak-balik berulang-ulang dan semuanya salah, ruangan makin ribut. Tiba-tiba kamu meletakkan lobster yang kiri ke atas yang kanan dan berkata sambil menunjuk yang atas: Ini lobster yang jantan. He’s always on the top.
Kembali ribut. Lagi-lagi tepuk tangan yang dingin. Suara-suara yang beku. Aku menggigil lagi. Nicole ingin kencing lagi.
Jam sepuluh adegan-adegan penuh aksi ditutup. Kamu mengenakan kembali kaus hitam tanpa lengan di balik mantel abu-abu yang tak pernah kamu kancingi. Rambut panjangmu kelihatan lagi. Seorang lelaki tegap menghampirimu dan berbicara denganmu dalam bahasa Spanyol. Aku tak mengerti seluruhnya. Aku hanya ingat “komo en suenyo” sampai sekarang, yang kalian ucapkan hampir bersamaan sambil memandang kepadaku dari jauh. Lalu kamu menghampiri kami. Nicole marah-marah atas adegan lobster. Kita berada dalam kereta bawah tanah lagi. Aku terganggu lagi dengan ingatan akan sebuah kisah cinta di dalam kereta bawah tanah. Aku terdesak bayangan tentang Maraini.
Apartemen ini tidak menyenangkan, Yoe.
Kapan-kapan kita pindah, katamu.
Mereka juga tidak senang pada kita.
Enam bulan lagi kontrakku dengan Carlo selesai. Kita bisa pindah ke Manhattan, katamu lagi.
Aku girang, tak mengira bahwa akhirnya aku tak pernah jadi pindah ke Manhattan.
Berita-berita buruk berdatangan dari Indonesia. Kasus-kasus internasional hingga kabar Lydia meninggal. Kita tak bisa pulang. Tepatnya, kamu tidak mau. Musim sedang tak baik. Pergi-pulang bikin capek saja.
Suatu hari Sabtu yang lain, sebuah koran dengan sebuah headline yang kacau-balau tentang Indonesia bergeletakan di meja-meja restoran. Aku duduk di sudut sendirian. Nicole sedang ikut perkemahan terakhir dalam musim panas. Orang-orang berkerumun mendekatimu dan berbicara dengan berapi-api sambil menunjuk-nunjuk halaman satu koran-koran itu. Aku penasaran dan dengan malas mengambil juga satu koran. Ada berita yang menjatuhkan negaraku habis-habisan. Di negeri orang, manusia sentimentil dan emosional sepertiku pun bisa menjadi begitu nasionalis dan terpukul.
Aku baru mau membaca ulang berita itu ketika kudengar kamu berkata dengan sangat defensif: Don’t ask me. I was in Malay. Dan tiba-tiba orang-orang itu menoleh ke mejaku.
Jam sepuluh lebih empat puluh Sabtu itu, kita pulang dan kamu tidak berkata apa-apa. Dan ingatan akan sebuah kisah cinta di dalam kereta bawah tanah jadi kelewat mengganggu malam itu.
Masuk bulan Desember, segalanya makin kacau. Salju-salju menyiksa. Kamu tak pernah mengajak kami ke restoran. Merepotkan. Nicole mulai sakit-sakitan. Dan aku selalu disalahkan. Kita bertengkar hampir setiap malam. Sampai pada puncak yang pada waktu itu tampak jelas, tapi begitu kabur di kemudian hari, kita memutuskan bercerai. Soalnya, aku menambah rumit seluruh situasi yang ada. Pada saat itu aku begitu menyesal mengapa kita harus menikah, dulu. Bukankah lebih menarik kita tinggal bersama saja sebagai sepasang anak nakal?
Tetapi mengurus perceraian di pengadilan luar negeri, terlebih untuk pasangan Katolik, sungguh menyiksa. Nicole semakin parah dan kita tak bisa egois untuk terus-terusan mengurus perceraian. Kuputuskan berpisah saja. Karena kutahu juga kewarganegaraanku menjadi beban tambahan buatmu. Aku tahu arti lirikan orang-orang di restoran setelah membaca koran suatu Sabtu itu. Aku tahu kenapa kau dan seorang lelaki tegap memperdengarkan “komo en suenyo” sambil memandang kepadaku. Aku tak ingin menyusahkanmu. Aku pulang ke Bandung. Kita tak usah bercerai. Pada saat itu aku tak tahu mengapa merasa begitu bersyukur bahwa kita adalah sepasang suami-istri.
Tak ada yang istimewa dari perjalanan pulang. Aku sendirian. Tak bisa mengauskan perasaan menyesal. Dari atas, salju tak kelihatan. Bumi tak jelas berwarna apa. Burung-burung tak kelihatan-justru tak kelihatan di saat-saat kita sama-sama bisa terbang.
Pesawat transit satu malam di Singapura. Aku menginap di Le Meridien, hotel yang ingin sekali kumasuki sejak kulihat foto seorang Maraini dengan sepatu bot duduk di tangga depannya. Aku pernah sesumbar akan berfoto di tempat yang sama dengan sepatu kaca. Ketika melangkah di atas tangga pertama muka hotel itu, aku ingin sekali berfoto. Tapi, aku tak mengenakan sepatu kaca dan jika tetap berfoto juga akan jadi sama saja. Tak beda dengan Maraini. Tak ada istimewanya. Kakiku dibungkus sepatu bot yang kasar.
Tak ada yang istimewa. Tapi aku lupa harus tinggal di mana di Indonesia. Rumah di Dago sudah kita jual. Tapi aku sudah sampai Jakarta. Tak mungkin pulang ke Ibu-Bapak dengan tato salib di telinga kiri.
Aku menginap di Hotel Indonesia satu minggu, kemudian mendapat kontrakan di Jalan Adam Jakarta Barat. Lingkungan yang berisik. Orang-orang Betawi yang kelewat riang.
Aku mulai menulis lagi: pekerjaan yang paling tak kausukai. Tulisanku makin banyak dan makin sering muncul di surat kabar. Buku pertamaku belum juga terbit, padahal umur tiga puluh lima harus sudah mendapat nobel. Sekarang sudah tiga puluh dan hanya berguna untuk diundang membaca cerita dan diskusi.
Di suatu kesempatan, dalam sebuah pesta pengarang, aku bertemu Dewi, kawan mainmu di Bandung dulu. Seperti yang sempat kita gosipkan malam-malam di tempat tidur, dia sudah jadi artis betulan. Tapi dia juga sastrawan sekarang, apa kamu tahu itu? Apa dia tahu siapa aku? Tidak. Dia tak tahu aku istrimu, bahkan dia tak akan pernah mengira aku pernah kenal denganmu. Kami berkenalan sebagai penulis. Malam itu aku tak pernah berada lebih jauh dari tiga meter darinya. Entah mengapa aku ingin terus-terusan berdekatan dengannya dalam pesta itu. Aku tak tahu dan tak peduli kalau dia akan jengah dengan tingkahku itu.
Baru kutahu hari ini bahwa itu tak ada gunanya. Perang sudah dimulai lagi. Bangsa kita sudah tak punya muka. Bangsa lain menghabisi pribumi seperti Nazi mengganyang Yahudi. Malah lebih buruk dari itu. Yahudi, bagaimanapun, dianugerahi kepintaran yang lebih dari bangsa-bangsa lain. Tapi bangsa ini benar-benar parah. Beruntung aku seorang aktivis kebudayaan, peran yang membuatku bisa mendapatkan fasilitas komputer, telepon dan Internet di bekas kantor dewan kesenian yang sekarang jadi salah satu markas penjajah. Mereka mengharap aku bisa mendapat nobel di bawah pimpinan mereka. Tapi, ruangan tetap dijaga ketat tentara Sekutu. Ada dua komputer lain yang dipakai Chairil dan Arthur, penyair dari bangsa penjajah. Chairil diawasi betul, Arthur dan aku tidak karena aku pandai bicara dalam bahasa mereka. Di luar berisik suara tembakan dan teriakan.
Yang berguna saat ini adalah mencari alamat Mom dan Dad, ketika kutahu kamu sudah kelewat sakit sebagai penderita pneumonia. Kamu belum sempat dan kini sudah tak mampu mencarikan kewarganegaraan yang aman buat Nicole. Mungkin, sama sepertiku, kamu tak pernah menyangka akan begini jadinya di sini, dan akan begitu buruk nasib orang-orang seperti aku dan anakmu di negeri mana pun hingga kamu lengah dan membiarkan ia berlama-lama menjadi pesakit seperti kami di sini. Siapalah yang mengira bangsa sudah mulai maju begini bisa dijajah lagi. Tapi, memang benar pepatah lama itu: masih ada langit di atas langit-apalagi di atas bumi yang jelek ini. Benar-benar tak menyangka. Kenapa tak kamu biarkan aku menjemputnya dan membawanya ke Mom dan Dad? Biar mereka bisa menganugerahkan kewarganegaraan lain buatnya. Beri aku alamatmu di Manhattan.
Kudengar Mom orang Flores dan Dad orang Portugis tulen. Tapi kamu pernah bilang mereka menyukai Australia. Tempat kamu tumbuh setelah Timor dilepas. Tempat kamu dan Maraini bertemu di sekolah tinggi memasak. Aku tak tahu di mana kedua mertuaku itu. Aku bahkan belum pernah bertemu mereka. Apakah mereka di kampung halaman Portugis? Ataukah mereka selalu menyukai Australia dan tinggal di sana? Atau mereka merindukan Timor? Aku tak tahu.
Tapi aku tahu, sekarang, mengapa aku begitu bersyukur bahwa kita adalah sepasang suami-istri. Kubaca di mana-mana buku-buku Maraini. Dia sudah jadi penulis terkemuka di Italia. Karya-karyanya sudah diterjemahkan ke dalam sebelas bahasa. Cerita sindirannya tentang seprai kesayangannya yang akhirnya tak sengaja kubolongi dengan rokok diterjemahkan dan dikumpulkan bersamaan dengan karya Hesse, Maupassant, bahkan Borges dalam satu buku. Aku memang tak sehebat dia, tapi aku istrimu juga, bukan Elena pacar gelap suaminya dalam ceritanya. Tokoh “aku” dalam cerita itu hanya untuk menguntungkan posisinya.
Aku ingin pulang ke rumah keluarga suamiku.
Entah itu Portugis, Australia, Timor, atau apalah.
Aku tak peduli siapa Marainimu dan darah daging siapa si Nicole itu. Aku tak peduli apakah perang yang kusebut-sebut itu benar-benar terjadi atau tidak. Kamu juga tak usah peduli, ya? Aku juga sebenarnya tidak yakin apakah sakitmu separah itu.
Ups! Pokoknya kamu jangan peduli dengan semua yang kukatakan tadi.
Jangan!
Aduh…!
Pokoknya di sini semuanya berantakan. Kalau kamu tak bisa menerimaku kembali, aku minta alamat Mom dan Dad, Yoe.
Aduh, maaf kalau cerita ini jadi kelihatan berantakan, ngawur, tidak waras dan mengada-ada, bahkan seperti sebuah mimpi saja. Ya, como un sueño. Habis, aku stres. Tapi aku serius butuh alamat itu. Juga Nicole, tentu. Aku hanya tak tahan sendirian dan tanpa pegangan.
Tapi…
Tapi kalau kamu memang tidak rela melepaskan Nicole, aku tetap bisa pulang kepada Mom dan Dad dengan copy surat nikah kita dari Vatikan, ’kan…?
Yogyakarta, Januari 2004
Dina Oktaviani
Belatung
Belatung
Belatung itu seperti ulat ya, Bu? Ya seperti ulat. Apakah ia juga bisa berubah jadi kupu-kupu? Tidak, belatung tak bisa berubah jadi kupu-kupu. Kenapa tidak bisa, Ibu? Entahlah, Ibu tak tahu. Kasihan ya, Bu? Aku ingin melihat ia jadi kupu-kupu. Tetapi kita tidak bisa. Tapi aku ingin.
Tidak bisa. Aku ingin.
“Tidak bisa…,” dan Warni melihat ratusan belatung, ribuan belatung, merayap melata ke arah mereka. Melata? Tidak, makhluk kecil basah menjijikkan itu lebih tampak seperti melayang (atau terbang?) dalam satu barisan teratur mirip selendang. Saat selendang itu bergerak sentak bagai dikibaskan, belatung-belatung itu berhamburan bersama percikan lendir. Dan Warni gelagapan. Tangannya sibuk: membersihkan lendir, mungkin juga belatung, yang menempel di wajah dan tubuhnya.
Aku ingin.
“Tidak!” dan Warni tersentak. Sadar. Dibukanya mata, nanar. Tak ada belatung. Tak ada percikan lendir. Ditolehkannya kepala ke samping dan menemukan tubuh kecil itu, Suci, anaknya, bergelung nyenyak dengan satu tangan menyelusup ke ketiak. Warni mengembuskan napas, lega. Tetapi, kalimat Suci itu, aku ingin, aku ingin, bagai masih menggema….
“Kupu-kupu itu indah ya, Bu?”
“Ya, indah.”
“Maukah Ibu menangkapkannya untukku?”
“Tidak. Tidak boleh.”
“Kenapa tidak boleh, Ibu?”
“Kau lihatlah tubuhnya, sayapnya. Tipis dan rapuh. Ia bisa mati di tangan kita.”
Suci terdiam. Sejenak. Mata bocah perempuan lima tahunan itu mengerjap- ngerjap bagai berusaha memahami kalimat Warni. “Kenapa di tempat kita sangat banyak, Bu?”
“Apa yang sangat banyak?”
“Kupu-kupu.”
Warni-lah yang kemudian balas terdiam. Memang mengherankan. Kenapa di tempat seperti ini, di tempat yang sama sekali tak indah, di perumahan kumuh yang bagai terperosok ke rawa-rawa, bisa dilalulalangi begitu banyak kupu-kupu? Ataukah justru karena adanya rawa-rawa itu? Entah, Warni tak pernah memikirkannya. Atau lebih tepat: Warni tak sempat memikirkannya. Hal itu terlalu sepele. Terlalu sepele bagi hidupnya yang….
“Padahal, ulat jelek ya Bu?”
“Apa?”
“Ulat. Jelek. Kenapa bisa berubah jadi kupu-kupu yang indah?”
“Eh,” Warni tertegun, “siapa yang memberitahumu?”
“Memberitahu apa, Bu?”
“Kupu-kupu, dari ulat.”
“Bukankah Ibu?”
“Oh…,” begitulah, Warni sering lupa. Ya, begitulah aku selalu lupa. Kenapa aku bisa melupakan banyak hal tentang dirimu, anakku? Sungguh tak ada niatku untuk begitu. Semua semata karena jejalan persoalan di kepalaku. O kalau saja kau mengerti. Kalau saja kau tahu. Apa yang terbayang olehmu, apa yang akan terjadi pada dirimu, kalau kau tahu beberapa waktu lagi kita mungkin bakal tak punya tempat tinggal?
Kau lihatlah truk-truk sampah itu. Truk-truk sampah yang telah beberapa minggu ini tak henti datang membuang sampah ke rawa-rawa. Tahukah kau sampah itu sampah seluruh pelosok kota? Beratus-ratus ton, beribu-ribu ton setiap hari. Lihatlah, sampah itu menggunung, dan gunungan itu akan menjalar sampai ke mari. Tetapi konon kita takkan sempat melihat gunungan sampah itu menimbun rumah kita. Karena kata orang, saat itu, rumah kita telah digusur.
Kau memang takkan mengerti. Dan memang tak perlu tahu. Bahkan, apa yang kau dapatkan dariku (malam-malam sunyimu, malam-malam saat kau kutinggalkan) adalah perlakuan tak pantas dari seorang ibu. Bermainlah, anakku. Bermainlah saja. Dan kupu-kupu… mungkin kupu-kupu itu memang diutus tangan-tangan suci menemanimu. Tetapi ah, truk-truk itu, sampah-sampah itu telah membawa air lindi, larva lalat hijau, dan belatung-belatung ke rumah kita. Dan semua makhluk menjijikkan itu telah mengusir makhluk indahmu: kupu-kupu.
Maafkan aku yang tak segera menyadari itu. Maafkan aku yang lebih peduli pada air lindi yang menggenangi dapur, pada belatung-belatung yang merayapi lantai dan dinding, dibanding wajah sedihmu kehilangan kupu-kupu. Dan betapa, betapa aku baru terkejut ketika suatu hari, kemudian, bibirmu yang mungil menanyakan itu: Belatung itu seperti ulat ya, Bu? Apakah ia juga bisa berubah jadi kupu-kupu? Betapa aku….
Kenapa ya? Kenapa belatung tak bisa berubah jadi kupu-kupu? Huh! Coba kalau bisa. Tentu kupu-kupu yang kata Ibu telah pindah ke tempat jauh itu kembali ada. Huh, inginnya aku. Bukankah belatung itu seperti ulat? Kalau betul kata Ibu kupu-kupu dari ulat, tentu belatung juga bisa berubah jadi kupu-kupu. Ataukah Ibu bohong? Ataukah Ibu tak tahu?
Mungkin sebenarnya Ibu tak tahu. Bukankah Ibu pernah berkata: banyak hal yang kita tak tahu. Ataukah mungkin Ibu lupa? Huh, Ibu memang pelupa. Bahkan, Ibu sering lupa pada apa yang dikatakan kepadaku. Kenapa ya? Apakah karena sudah tua? Ibu pernah berkata orang akan pelupa kalau tambah tua. Tapi Ibu belum tua. Tapi kadang Ibu memang tampak tua, kalau siang. Kalau senja, kalau Ibu sudah tukar pakaian, pakai lip dan bedak mau pergi kerja, Ibu tampak muda. Cantik. Bahkan, Oya pernah bilang padaku Ibu kupu-kupu. Bukankah itu karena Oya melihat Ibu indah? Tapi Oya memang baik, tidak seperti orang-orang tua dan ibu-ibu lain yang sering kasar kepadaku. Aku benci, aku tak suka pada mereka. Bagaimana kalau tak ada Oya ya?
“Oya di sebelah. Teriak kalau ada apa-apa,” begitu selalu kata Ibu sebelum berangkat kerja. “Kau takut?”
Aku menggeleng. “Tidak.” Aku tak takut, ada Oya. Ya, ada Oya, Warni menguatkan hati dan menutup pintu. Dipasangnya gembok, memastikan telah terkunci, lalu melangkah ke sebelah. Di rumah serupa-mirip gubuk juga-yang dibatasi hanya selapis tripleks, di situlah Oya: perempuan tua 70-an tahun, dengan kompor gorengan (kadang pisang, kadang ketela, ada saja) bagai terjulur dari jendela yang lebar dan rendah. “Titip ya Oya?” kata Warni menyerahkan anak kunci. Seperti biasa, titipan anak kunci itu juga berarti “menitipkan” Suci.
Tanpa menoleh, seperti biasa pula, Warni melangkah jinjit di gang yang kini (air lindi itu!) selalu becek. Di mulut gang ia masih harus jalan kaki kira-kira empat ratus meter ke simpang jalan aspal tempat ia biasa naik ojek. Ia menepi, dan lebih menepi ketika iring-iringan truk itu lewat, memenuhi nyaris seluruh badan jalan yang sempit. Ia berdesah, iring-iringan truk sampah ini muncul hampir tiap sepuluh menit….
Telah siang. Warni turun dari ojek bagai melompat, membayar cepat-cepat, lalu melangkah tergopoh-gopoh ke pintu rumah. Sial! Seharusnya kuturuti nasihat Asih, jangan sekali-kali melayani mahasiswa. Mereka suka aneh-aneh, tak ada uang, dan banyak maunya. Beginilah jadinya. Warni disekap semalaman dan baru dilepas ketika pagi. Padahal, biasanya, ia sudah pulang pukul tiga dini hari dan masih bisa tidur di sebelah Suci. Bagaimanakah reaksi Suci, ketika bangun, mendapatkanku tidak ada?
Tetapi semua tenang-tenang saja. Bagai tak ada apa-apa. Apakah Suci belum bangun? Berkali-kali kunci cadangan Warni gagal membuka gembok karena terburu-buru. Ketika gembok berhasil lepas dan daun pintu ia dorong, Warni terkejut, terlompat surut. Kupu-kupu? Ya, kupu-kupu! Putih, kecil-kecil, belasan (o, bukan, puluhan!), keluar bagai menghambur dari dalam rumah….
Ada beberapa detik Warni terpana. Ketika perlahan kakinya ia langkahkan masuk, Warni lebih terkejut lagi. Kupu-kupu itu bukan puluhan, tetapi ratusan (atau mungkin ribuan!), memenuhi ruangan! “Suci…?” Buru-buru Warni melangkah ke bilik. Tetapi, di pintu bilik, ia kembali tertegun.
Di situ, di lantai di pintu bilik itu, walau pandangannya terhalang oleh silang-selimpat kelebat kupu-kupu, Warni melihat ratusan (atau mungkin juga ribuan!) belatung bagai berbaris melata ke dalam bilik. Dan, di dalam bilik, barisan belatung itu… satu demi satu, langsung, tidak dari kepompong, berubah jadi kupu-kupu!
“Betul kan, Bu? Lihatlah belatung bisa berubah jadi kupu-kupu.”
Suara Suci itu…. Dengan kaki jinjit menguak belatung, dengan tangan menepis mengibas kupu-kupu, Warni melangkah mendekati tempat tidur. Dan, di situ, di atas tempat tidur, dalam keremangan bilik yang jendelanya masih tertutup, Warni melihat anaknya, Suci, tersenyum, menatapnya: dengan kedua bola mata merah, mencorong, menyala… bagai mata iblis dari neraka…. *
Payakumbuh, 2004
Gus tf Sakai
Belatung itu seperti ulat ya, Bu? Ya seperti ulat. Apakah ia juga bisa berubah jadi kupu-kupu? Tidak, belatung tak bisa berubah jadi kupu-kupu. Kenapa tidak bisa, Ibu? Entahlah, Ibu tak tahu. Kasihan ya, Bu? Aku ingin melihat ia jadi kupu-kupu. Tetapi kita tidak bisa. Tapi aku ingin.
Tidak bisa. Aku ingin.
“Tidak bisa…,” dan Warni melihat ratusan belatung, ribuan belatung, merayap melata ke arah mereka. Melata? Tidak, makhluk kecil basah menjijikkan itu lebih tampak seperti melayang (atau terbang?) dalam satu barisan teratur mirip selendang. Saat selendang itu bergerak sentak bagai dikibaskan, belatung-belatung itu berhamburan bersama percikan lendir. Dan Warni gelagapan. Tangannya sibuk: membersihkan lendir, mungkin juga belatung, yang menempel di wajah dan tubuhnya.
Aku ingin.
“Tidak!” dan Warni tersentak. Sadar. Dibukanya mata, nanar. Tak ada belatung. Tak ada percikan lendir. Ditolehkannya kepala ke samping dan menemukan tubuh kecil itu, Suci, anaknya, bergelung nyenyak dengan satu tangan menyelusup ke ketiak. Warni mengembuskan napas, lega. Tetapi, kalimat Suci itu, aku ingin, aku ingin, bagai masih menggema….
“Kupu-kupu itu indah ya, Bu?”
“Ya, indah.”
“Maukah Ibu menangkapkannya untukku?”
“Tidak. Tidak boleh.”
“Kenapa tidak boleh, Ibu?”
“Kau lihatlah tubuhnya, sayapnya. Tipis dan rapuh. Ia bisa mati di tangan kita.”
Suci terdiam. Sejenak. Mata bocah perempuan lima tahunan itu mengerjap- ngerjap bagai berusaha memahami kalimat Warni. “Kenapa di tempat kita sangat banyak, Bu?”
“Apa yang sangat banyak?”
“Kupu-kupu.”
Warni-lah yang kemudian balas terdiam. Memang mengherankan. Kenapa di tempat seperti ini, di tempat yang sama sekali tak indah, di perumahan kumuh yang bagai terperosok ke rawa-rawa, bisa dilalulalangi begitu banyak kupu-kupu? Ataukah justru karena adanya rawa-rawa itu? Entah, Warni tak pernah memikirkannya. Atau lebih tepat: Warni tak sempat memikirkannya. Hal itu terlalu sepele. Terlalu sepele bagi hidupnya yang….
“Padahal, ulat jelek ya Bu?”
“Apa?”
“Ulat. Jelek. Kenapa bisa berubah jadi kupu-kupu yang indah?”
“Eh,” Warni tertegun, “siapa yang memberitahumu?”
“Memberitahu apa, Bu?”
“Kupu-kupu, dari ulat.”
“Bukankah Ibu?”
“Oh…,” begitulah, Warni sering lupa. Ya, begitulah aku selalu lupa. Kenapa aku bisa melupakan banyak hal tentang dirimu, anakku? Sungguh tak ada niatku untuk begitu. Semua semata karena jejalan persoalan di kepalaku. O kalau saja kau mengerti. Kalau saja kau tahu. Apa yang terbayang olehmu, apa yang akan terjadi pada dirimu, kalau kau tahu beberapa waktu lagi kita mungkin bakal tak punya tempat tinggal?
Kau lihatlah truk-truk sampah itu. Truk-truk sampah yang telah beberapa minggu ini tak henti datang membuang sampah ke rawa-rawa. Tahukah kau sampah itu sampah seluruh pelosok kota? Beratus-ratus ton, beribu-ribu ton setiap hari. Lihatlah, sampah itu menggunung, dan gunungan itu akan menjalar sampai ke mari. Tetapi konon kita takkan sempat melihat gunungan sampah itu menimbun rumah kita. Karena kata orang, saat itu, rumah kita telah digusur.
Kau memang takkan mengerti. Dan memang tak perlu tahu. Bahkan, apa yang kau dapatkan dariku (malam-malam sunyimu, malam-malam saat kau kutinggalkan) adalah perlakuan tak pantas dari seorang ibu. Bermainlah, anakku. Bermainlah saja. Dan kupu-kupu… mungkin kupu-kupu itu memang diutus tangan-tangan suci menemanimu. Tetapi ah, truk-truk itu, sampah-sampah itu telah membawa air lindi, larva lalat hijau, dan belatung-belatung ke rumah kita. Dan semua makhluk menjijikkan itu telah mengusir makhluk indahmu: kupu-kupu.
Maafkan aku yang tak segera menyadari itu. Maafkan aku yang lebih peduli pada air lindi yang menggenangi dapur, pada belatung-belatung yang merayapi lantai dan dinding, dibanding wajah sedihmu kehilangan kupu-kupu. Dan betapa, betapa aku baru terkejut ketika suatu hari, kemudian, bibirmu yang mungil menanyakan itu: Belatung itu seperti ulat ya, Bu? Apakah ia juga bisa berubah jadi kupu-kupu? Betapa aku….
Kenapa ya? Kenapa belatung tak bisa berubah jadi kupu-kupu? Huh! Coba kalau bisa. Tentu kupu-kupu yang kata Ibu telah pindah ke tempat jauh itu kembali ada. Huh, inginnya aku. Bukankah belatung itu seperti ulat? Kalau betul kata Ibu kupu-kupu dari ulat, tentu belatung juga bisa berubah jadi kupu-kupu. Ataukah Ibu bohong? Ataukah Ibu tak tahu?
Mungkin sebenarnya Ibu tak tahu. Bukankah Ibu pernah berkata: banyak hal yang kita tak tahu. Ataukah mungkin Ibu lupa? Huh, Ibu memang pelupa. Bahkan, Ibu sering lupa pada apa yang dikatakan kepadaku. Kenapa ya? Apakah karena sudah tua? Ibu pernah berkata orang akan pelupa kalau tambah tua. Tapi Ibu belum tua. Tapi kadang Ibu memang tampak tua, kalau siang. Kalau senja, kalau Ibu sudah tukar pakaian, pakai lip dan bedak mau pergi kerja, Ibu tampak muda. Cantik. Bahkan, Oya pernah bilang padaku Ibu kupu-kupu. Bukankah itu karena Oya melihat Ibu indah? Tapi Oya memang baik, tidak seperti orang-orang tua dan ibu-ibu lain yang sering kasar kepadaku. Aku benci, aku tak suka pada mereka. Bagaimana kalau tak ada Oya ya?
“Oya di sebelah. Teriak kalau ada apa-apa,” begitu selalu kata Ibu sebelum berangkat kerja. “Kau takut?”
Aku menggeleng. “Tidak.” Aku tak takut, ada Oya. Ya, ada Oya, Warni menguatkan hati dan menutup pintu. Dipasangnya gembok, memastikan telah terkunci, lalu melangkah ke sebelah. Di rumah serupa-mirip gubuk juga-yang dibatasi hanya selapis tripleks, di situlah Oya: perempuan tua 70-an tahun, dengan kompor gorengan (kadang pisang, kadang ketela, ada saja) bagai terjulur dari jendela yang lebar dan rendah. “Titip ya Oya?” kata Warni menyerahkan anak kunci. Seperti biasa, titipan anak kunci itu juga berarti “menitipkan” Suci.
Tanpa menoleh, seperti biasa pula, Warni melangkah jinjit di gang yang kini (air lindi itu!) selalu becek. Di mulut gang ia masih harus jalan kaki kira-kira empat ratus meter ke simpang jalan aspal tempat ia biasa naik ojek. Ia menepi, dan lebih menepi ketika iring-iringan truk itu lewat, memenuhi nyaris seluruh badan jalan yang sempit. Ia berdesah, iring-iringan truk sampah ini muncul hampir tiap sepuluh menit….
Telah siang. Warni turun dari ojek bagai melompat, membayar cepat-cepat, lalu melangkah tergopoh-gopoh ke pintu rumah. Sial! Seharusnya kuturuti nasihat Asih, jangan sekali-kali melayani mahasiswa. Mereka suka aneh-aneh, tak ada uang, dan banyak maunya. Beginilah jadinya. Warni disekap semalaman dan baru dilepas ketika pagi. Padahal, biasanya, ia sudah pulang pukul tiga dini hari dan masih bisa tidur di sebelah Suci. Bagaimanakah reaksi Suci, ketika bangun, mendapatkanku tidak ada?
Tetapi semua tenang-tenang saja. Bagai tak ada apa-apa. Apakah Suci belum bangun? Berkali-kali kunci cadangan Warni gagal membuka gembok karena terburu-buru. Ketika gembok berhasil lepas dan daun pintu ia dorong, Warni terkejut, terlompat surut. Kupu-kupu? Ya, kupu-kupu! Putih, kecil-kecil, belasan (o, bukan, puluhan!), keluar bagai menghambur dari dalam rumah….
Ada beberapa detik Warni terpana. Ketika perlahan kakinya ia langkahkan masuk, Warni lebih terkejut lagi. Kupu-kupu itu bukan puluhan, tetapi ratusan (atau mungkin ribuan!), memenuhi ruangan! “Suci…?” Buru-buru Warni melangkah ke bilik. Tetapi, di pintu bilik, ia kembali tertegun.
Di situ, di lantai di pintu bilik itu, walau pandangannya terhalang oleh silang-selimpat kelebat kupu-kupu, Warni melihat ratusan (atau mungkin juga ribuan!) belatung bagai berbaris melata ke dalam bilik. Dan, di dalam bilik, barisan belatung itu… satu demi satu, langsung, tidak dari kepompong, berubah jadi kupu-kupu!
“Betul kan, Bu? Lihatlah belatung bisa berubah jadi kupu-kupu.”
Suara Suci itu…. Dengan kaki jinjit menguak belatung, dengan tangan menepis mengibas kupu-kupu, Warni melangkah mendekati tempat tidur. Dan, di situ, di atas tempat tidur, dalam keremangan bilik yang jendelanya masih tertutup, Warni melihat anaknya, Suci, tersenyum, menatapnya: dengan kedua bola mata merah, mencorong, menyala… bagai mata iblis dari neraka…. *
Payakumbuh, 2004
Gus tf Sakai
Subscribe to:
Posts (Atom)