Friday 25 February 2011

Dari Mana Datangnya Mata

Dari Mana Datangnya Mata



dari mana datangnya lintah
dari sawah turun ke kali

“Lintah itu ada dalam matanya. Lintah itu bukan menggerogoti matanya, tapi lintah itu bersarang dalam matanya. Dalam matanya yang teramat dalam. Lintah itu melata turun dan menggerus hati. Hatiku dia lumatkan. Hatiku terhisap dalam dekapnya. Aku tahu, lintah itu makhluk penghisap-termasuk menghisap darah-tapi hisapan matanya sama sekali tidak membuatku luka. Aku jadi lumpuh, memang, tapi sedotannya penuh pesona dan aku kena pukau karenanya.”

Saban kali lelaki itu menyisir rambutnya dan merapi-rapikan alis matanya, dia tatap wajahnya sendiri dalam cermin. Kornea matanya redup laiknya nyala dian yang berkeredap karena angin senantiasa meniup-niup. Jangankan angin, terhadap cahaya terlemah pun mata itu terasa enggan bersitatap. Karena itu lelaki itu tak pernah yakin jika ada perempuan yang kemudian tertarik padanya, jatuh cinta padanya, dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan guling tidur dan kemudian digulung-gulung.

Lelaki itu hanya menerka-nerka: pastilah ada yang tak mudah dirumuskan, apalagi yang harus dirumuskan adalah sebuah perasaan; jadi jika perempuan itu menjelaskan bahwa yang membuatnya kena pukau adalah pesona matanya, pastilah itu semata sebuah penyederhanaan perumusan alasan. Lelaki itu yakin, berabjad-abjad kalimat tak pernah cukup untuk dijadikan pengikat rumusan dan jabaran perasaan.

dari mana datangnya lintah

jiwa manis indung disayang

“Lintah itu bersarang dalam matanya. Atau…, ukhh… matanya adalah lintah itu sendiri. Aku tak pernah peduli pada lelaki yang kerap lalu-lalang itu. Aku tak pernah memperhatikannya. Ingatanku tentang lelaki hanya selintas-lintas. Begitu suatu waktu aku berhadapan dengannya, karena dia singgah di tempatku, tahulah aku matanya adalah lintah itu sendiri. Matanya adalah sarang itu sendiri. Rasanya, sudah lama aku merindukan istirahat dalam sungkupan sarang. Sudah saatnya aku mengeram. Rasanya, sudah lama kelenjar kelaminku – ya: indungku – teredam diam-diam. Rasanya! Ya, rasanya, karena aku baru menyadari belakangan.”

Lelaki itu kemudian hidup bersama dengan salah satu di antara berjajar perempuan yang terjerembab dalam matanya yang senantiasa berkeredap sebagaimana dian yang dihempas angin yang kerap berkelebat.

Lelaki itu tak ingat pasti perempuan yang akhirnya hidup bersama itu dia jumpai pada ketika apa dan keberapa. Perempuan yang pertama dia hadapi, juga kedua, juga ketiga, tak pernah merasa dia tinggalkan begitu lelaki itu memutuskan untuk memilih hidup bersama dengan salah seorang perempuan. Juga perempuan-perempuan lain yang dia temui sesudah perempuan yang hidup bersamanya, mereka juga tak pernah mendendam pada perempuan yang dipilih lelaki itu untuk hidup bersama.

Mata lelaki itu senantiasa meredam kemungkinan-kemungkinan kemurkaan para perempuan yang awalnya memang menjadi resah karena tak dijadikan pilihan. Kala itu, mereka berniat melabrak lelaki yang telah memilih lain perempuan itu, bahkan perempuan pilihan pun akan mereka terkam jika hendak bersepihak dengan lelaki yang bermata kelam.

Ada yang menyelipkan belati di balik kutang.

Ada yang melilitkan pedang di balik setagen di pinggang.

Ada yang menyembunyikan senapan di balik punggung.

Ada yang menenteng keris dalam cengkeraman.

Ada yang hanya mengepalkan genggam penuh dendam.

Ada yang hanya menggumpalkan kegeraman dalam degup dada yang bergelombang.

Mereka gedor pintu bilik tempat tinggal lelaki itu. Mereka tahu, di balik pintu bilik itu lelaki itu sedang bercinta dengan perempuan pilihan. Ketika kemudian daun pintu berderit karena dibuka dari dalam dan kemudian muncul sesosok lelaki yang matanya senantiasa berkeredap karena cahaya yang mengerjap-ngerjap dan ketika mata lelaki itu memastikan siapa saja yang berdatangan dan menggebrak biliknya, mata lintah itu membilas-bilas wajah-wajah para perempuan yang hendak memuntahkan rasa geram penuh dendam itu. Sekelebat, sekelebat, sekelebat, mata itu menghisap seluruh tenaga para perempuan yang awalnya berkacak pinggang bahkan siaga menantang.

Gemerincing pedang, dentang keris, kelentang kelewang, denting belati, juga senapan, beradu dengan tanah tak jauh dari kaki-kaki para perempuan itu karena terlepas dari genggaman.

Dendam itu pelahan teredam dan terendam. Rasa geram itu diam-diam makin temaram, untuk kemudian dipendam dalam-dalam.

Ketika pintu kembali menyuarakan derit ditutup bersamaan dengan lelaki itu membalikkan badan-menuju biliknya lagi dan meneruskan percintaannya dengan perempuan pilihan-para perempuan itu juga membalik badan, kembali ke masing-masing muasal mereka, sementara belati, kelewang, senapan, dan senjata lainnya mereka biarkan tetap bergeletakan di halaman bilik lelaki dan perempuan pilihan.

Esoknya, lelaki itu mendatangi satu demi satu para perempuan yang melabrak biliknya bersama perempuan pilihan. Tumpukan dendam itu terbasuh hilang di hari-hari kemudian. Itu bukan semata lantaran libasan mata lelaki yang menghunjam, tapi karena sejak saat itu masing-masing menjadi perempuan pilihan.

dari mana datangnya lintah

dari mana datangnya cinta

“Matanya itu telaga. Dalam, tenang, menyejukkan. Aku suka berendam hingga terbenam tanpa aku sadari aku tenggelam. Belatiku jatuh ke dalamnya dan aku tak bisa lagi meranggehnya.”

“Matanya itu matahari. Panas suam-suam menghangatkan. Aku selalu tergoda direnanginya karena dengan begitu seluruh jangatku tersengat dan aku mengejang-ngejang setelah berabad-abad disungkup kedinginan. Senapanku meleleh karena cahayanya.”

“Matanya adalah lazuardi biru membentang. Langitnya menyerapku pada petualangan tak terbataskan. Kelewangku bahkan lebih kecil dari sekadar ujung jarum: tumpul, getas terpatahkan, kehilangan tajam.”

“Matanya adalah lintah: menyedot seluruh darah kotorku, menderaskan segenap darah dalam tubuhku. Aku melayang-layang dalam kepasrahan yang menggairahkan.”

Lelaki itu akhirnya percaya bahwa matanya adalah keberuntungan sekaligus kemalangan. Para perempuan pilihan menjadi berkah sekaligus bencana bagi lelaki itu. Saat dini hari, setelah beberapa belas menit salah seorang perempuan pilihan melahirkan jabang bayi, lelaki itu meninggalkan perempuan pilihan dan bayinya. Bayi perempuan.

“Aku tak boleh saling berhadapan. Anakku perempuan, aku harus menjauhkan mataku dari matanya,” bisik lelaki itu pada perempuan pilihan.

Lelaki itu kemudian menembus dini hari.

Lelaki itu kemudian memasuki pagi.

Lelaki itu kemudian mengembara dari pagi ke pagi, dari dini hari ke dini hari, dan dari malam demi malam.

Lelaki itu kemudian berkelana dari hari ke hari. Kacamata kelam tak pernah lepas dari matanya. Dengan kacamata hitam dia menghindar dari tatapan langsung mata perempuan yang berpapasan.

Ada kalanya kacamata itu berhasil membantu lelaki itu dari kemungkinan bersitatap langsung dengan orang-orang, terutama perempuan. Ada kalanya usaha itu gawal pula, setidaknya itu terjadi pada saat-saat awal. Karena bingkai kacamata itu kian hari kian memberati pelipis dan tulang matanya, dia coba geser kacamata itu. Pada saat yang sama, begitu kacamata itu membukakan matanya, sesosok perempuan sedang menatap di hadapannya. Dan di hadapan perempuan itu terhampar telaga, cakrawala, matahari, lintah….

“Ah, entahlah, aku tak paham apa persisnya di hadapanku. Tubuhku langsung lunglai, darahku langsung tersedot, dan – tahu-tahu – aku sudah telanjang di pembanreingan di sampingnya.”

Lelaki itu, akhirnya terus menerus memejamkan matanya dan kacamata gelap tetap saja menutupi matanya yang terpejam. Sepanjang trotoar orang-orang menganggap lelaki itu buta. Orang-orang yang keluar dari resto dan mendapati lelaki itu terduduk di dekat pintu resto memastikan lelaki buta itu membutuhkan sedekah; itu sebabnya orang-orang yang keluar dari resto atau hendak memasuki resto melemparkan kepingan uang logam uang ke hadapannya.

Ketika dia menyeberang jalan, tetap dalam pejam, dia rasakan ada yang memegang tangannya. Rupanya seseorang itu berniat menuntun lelaki itu menyeberang jalan yang lalulintasnya memang padat kendaraan. Karena terkagetkan, lelaki itu membuka matanya sekaligus membuka kacamatanya dan menoleh ke samping, ke seseorang yang menyeberangkan. Lelaki itu mendadak terhenyak karena seseorang itu adalah seorang perempuan – yang di saat yang sama juga menatap mata telanjang tanpa tabir kacamata.

“Aku tak yakin lagi apakah aku yang menyeberangkannya ataukah aku yang dia seberangkan ke dunia yang sama sekali belum pernah kutapaki. Dan karenanya aku kemudian merasa menjadi seorang perempuan sejati. Dan dia adalah lelaki sejati.”

dari mana datangnya lintah

jiwa manis indung disayang

dari mana datangnya cinta

ooo…

Di tepian dunia, di gigir matahari senja, lelaki itu berjumpa dengan seorang perempuan buta. Di hadapan perempuan buta ini lelaki itu tidak merasa menyandang kayu silang dan memanggul beban. Dia sudah merasa letih terus menerus memejamkan mata atau mengenakan kacamata hitam baik kala siang bahkan malam.

“Kamu butuh jatuh cinta,” kata perempuan buta itu sambil meraba garis-garis wajah lelaki itu.

Lelaki itu tersindir. Selama ini, selalu orang lain yang menyatakan cintanya jatuh pada lelaki itu. Lelaki itu tak memiliki rasa simpati, empati, peduli….

“Kamu butuh terkaing-kaing karena jatuh cinta. Kamu belum pernah melata dan mengemis-ngemis karena asmara….”

Lelaki itu ingat, beberapa perempuan yang jatuh cinta padanya tak hanya menggonggong dan melolong, tapi juga meratap dan memburaikan gerimis air mata.

Malamnya, lelaki itu mendengar suara kaingan, meongan, dan ratapan yang mengiris-iris. Bukan anjing yang terkaing-kaing melolong. Bukan pula kucing yang meradang kesakitan. Juga bukan para perempuan itu yang meratap-ratap karena kehilangan-entah apa yang hilang. Itu suara lelaki. Lelaki itu mendengar, itu suara dari dalam dirinya sendiri. Dia raba dadanya. Ulu hatinya semplak. Dia raba lambungnya. Ususnya terbelit-belit. Dia merasa dadanya merekah hendak pecah.

Lelaki itu mendadak merasakan suara gemuruh yang belum pernah dia rasakan sebelum-sebelumnya. Ada debaran aneh yang tiba-tiba menyelinap dalam rongga dadanya. Lelaki itu merasa, ia jatuh cinta pada pada perempuan buta itu.

Ketika dia menyadari seluruh tubuhnya basah, ternyata dia sedang berada dalam dekapan perempuan buta itu. Langit kelam, memang, tapi sama sekali tak ada hujan. Langit begitu dekat. Mereka tinggal di rumah tanpa atap, rumah tanpa asap. Lelaki itu merasa tenteram dalam sekapan perempuan buta. Dia merasa ada getaran yang menandakan dia tak ingin berjauhan dari perempuan buta. Bahkan dia merasa geletar kepedihan merayapi dadanya saat sedikit saja perempuan buta itu beringksut. Tak bisa dia bayangkan jika perempuan itu tiada dalam dekapnya. Lelaki itu tak tahu perempuan buta itu kini sedang tertidur ataukah terjaga.

“Kamu tak pernah paham berapa usiamu,” suara perempuan buta itu berkata lirih.

Masih juga perempuan ini menyindir-nyindir! Lelaki itu merutuk dalam hati. Lelaki itu paham, perempuan itu hendak mengatakan bahwa usia lelaki itu sudah di ambang waktu sementara perempuan itu berusia teramat muda. Mata lelaki itu menyisiri garis-garis wajah perempuan itu. Tak ada parit dalam wajahnya, kecuali parut-parut kecil di sekitar matanya yang buta. Apakah perempuan ini menyindirku, aku tak tahu diri karena umurku tak sepadan dengan umurnya?

“Tadi, kucabut lima uban,” kata perempuan itu sambil menjumputkan serpihan rambut putih yang kemudian diterbangkan angin yang mendadak melintas.

Lelaki itu meraba kepalanya. Tanpa harus melihatnya siapapun bisa menemukan uban di kepalanya karena semua rambut lelaki sudah putih seluruhnya.

“Kubutakan mataku agar bisa melihat,” lagi-lagi ucapan perempuan itu dianggap lelaki itu sebagai sindiran. Lelaki itu merasa, perempuan itu hendak menegaskan: matanya memang buta tapi dia tak harus mempergunakan matanya untuk memandang.

“Bukan uban di kepalamu yang kubetot,” sambung perempuan itu.

Lelaki itu mendadak merasakan ada yang gatal di sela pangkal pahanya. Dia telanjang. Memang bukan air hujan yang membasahi badannya. Tubuhnya basah keringat. Di kelangkangnya basah bukan hanya karena keringat. Dalam gelap, lelaki itu melihat perempuan buta itu juga tanpa pakaian. Juga basah mengkilap.

dari mana datangnya cinta

darilah mata turun ke hati

“Karena mataku, banyak perempuan ingin menyekapku dan kudekap mereka. Karena perempuan buta yang tak bisa langsung menatap mataku, justru aku yang ingin mendekap dan selalu erat dalam sekapnya. Aku ingin menyudahi perjalanan panjang ini. Aku alangkah letih. Aku berniat menyunting perempuan buta yang telah membangkitkan hasrat. Justru karena kebutaannya dia melihat kedalaman batinku, bukan kedangkalan badan dan mataku.”

kalau ada sumur di ladang

jiwa manis indung disayang….

Di bumi belahan lain, seorang perempuan tua yang sepanjang hidupnya menjaga ladang peninggalan lelakinya sedang menganyam kenangan. Kenangan itu begitu saja membuncah-buncah di saat-saat penyakit makin menggerogoti badannya. Belasan tahun lampau anak gadisnya terpaksa meninggalkan desanya dalam usia yang masih belia. Anak gadisnya diusir penduduk desa karena senantiasa memancing keonaran terutama setelah para lelaki desa bersitatap dengan matanya.

“Mata anak dara itu jahat,” kata penduduk desa.

Sorotan mata dara belia itu bukan saja penuh pesona tapi juga gegap dengan tipu daya sehingga setiap lelaki yang bersitatap dengannya senantiasa ingin lelap dalam peluknya. Karena dara belia itu tak pernah menyambut hasrat berdekap-dekap, para lelaki itu lalu berusaha memperkosanya.

Saat menjelang ajal sebagaimana kini, perempuan tua itu tak tahu adakah dia masih menunggu anak gadisnya kembali. Dulu, belasan tahun lampau, anak gadisnya mencucuk matanya agar buta sehingga tak membuhulkan pukau dan tipu daya yang memancing niat jahat para lelaki untuk memperkosanya. Perempuan tua itu juga tak yakin apakah lelaki yang meninggalkannya di saat beberapa belas menit jabang bayinya lahir itu bakal kembali ke hadapananya untuk menguburkannnya jika ajal benar-benar menjagalnya.
dari mana datangnya…

uggffhhh…

dari mana datangnya Mata!

Yogya, paruh awal 1980

Jakarta, Maret 2004




Veven Sp Wardhana

No comments:

Post a Comment