Friday, 25 February 2011

Lontarak

Lontarak



Tidak jauh dari tempat memarkir mobil, saya melihat kakak sepupu saya bersama suaminya duduk di atas tumpukan barang bawaannya. Penumpang kapal di Pelabuhan Tanjung Priok yang baru tiba dari Makassar, sepertinya sudah turun semua. Mereka tentu telah pergi ke tujuannya masing-masing di Jakarta ini.

Wajah kakak sepupu suaminya tampak begitu cerah menghampirinya. Kami pun berpelukan, saling melepaskan rindu karena baru bertemu kembali setelah sepuluh tahun lampau, saat terakhir sekeluarga pulang kampung. Kali ini mereka datang, untuk pertama kalinya ke Jakarta, kota yang diidamkan setiap penduduk kampung, seperti juga saya dan lainnya.

“Semula kami tidak mau merepotkan, karena ada teman saya yang sudah sering ke Jakarta bisa mengantar kami ke rumah. Tetapi dia tiba-tiba batal berangkat, dan kami sudah tidak punya kesempatan lagi untuk menelepon, mengabari Ndi,” ujar sepupu saya. Suaminya pun membenarkan.

Belum saya tanggapi, sepupu saya yang memang terkenal cerewet itu nyerocos lagi. “Bagaimana kabar Andi dan anak-anak di rumah. Sehat saja toh,” katanya menanyakan kondisi istri dan anak-anak saya. Ia pun menyampaikan salam orang sekampung, seperti paman, tante, sepupu, nenek, kakek, tetangga, kepada saya dan keluarga. Sementara suaminya yang memang pendiam, hanya tersenyum terus mendengarkan ocehan istrinya.

“Baik, semuanya sehat,” kata saya, sembari meraih sepotong barang bawaannya. Kami pun berjalan menuju mobil saya.

Mereka memperhatikan ketika saya mencabut selembar uang seribu rupiah untuk tukang parkir. Begitu juga ketika memberikan jumlah yang sama lagi di pintu pemeriksaan karcis parkir. Dua lembar seribuan lagi untuk membayar karcis tol. Tak lama kemudian, di pintu tol lain, empat lembar ribuan lagi.

“Eh, de… de… de…. Mengapa kita harus membayar begitu banyak?” tanya dia heran, karena tak pernah menemukan hal-hal semacam itu di kampung. Orang dengan bangga plus ikhlas memandu dan menjaga kalau kita memarkir kendaraan.

“Karena jalan mulus ini dibangun oleh swasta, bukan oleh pemerintah, sehingga kita harus membayar. Kalau tidak mau membayar, kita bisa lewat jalan di bawah yang macet seperti itu. Tetapi, bisa-bisa seharian baru kita sampai di rumah. Ya, begitulah di Jakarta ini. Kencing di toilet saja kita harus bayar. Hanya kentut yang gratis. Seandainya angin busuk itu pun berwujud, pasti sudah dikelola juga oleh orang-orang berduit dan menikmati pembayaran dari kita. Untungnya kentut itu tak bisa dilihat, sehingga tidak bisa dibisniskan oleh mereka yang lihai melihat peluang usaha,” kata saya.

Di rumah, istri saya tak kalah gesitnya, sudah siap dengan jamuan makan siang. Kami pun langsung menuju meja makan karena memang sudah lapar, hampir tiga jam baru sampai di rumah. Suasana menjadi semarak, karena istri saya menanyakan macam-macam tentang kampung halaman. Cerita kakak sepupu saya pun menjadi panjang lebar. Bagai tape recorder yang sedang memutar kaset rekaman cerita sejak sepuluh tahun silam, pada saat kami terakhir kali pulang kampung. Si anu sudah meninggal, si anu sakit-sakitan, dan si anu sudah menikahkan anak, anaknya si anu sudah bekerja di kantor kecamatan, anak si anu menjadi guru, dan si anu menjadi polisi. Semuanya membayar uang pelicin puluhan juta rupiah.

Setelah suasana semakin cair, saya pun mulai menanyakan keperluan mereka datang ke Jakarta.

“Begini… Ndi. Dua bulan lalu, ada tim dari Pusat (begitu biasa orang desa menyebut pejabat atau orang Jakarta) yang datang ke kampung menanyakan kepada kami sekiranya keluarga kita memiliki lontarak. Katanya mereka adalah tim penyelamat naskah kuno, seperti lontarak keluarga kita itu. Ya, saya jawab jujur saja bahwa saya pun menyimpan lontarak sebagai warisan keluarga,” paparnya.

Saya sendiri tak pernah mendengar cerita apa pun dari orangtua saya, sampai mereka meninggal, soal lontarak keluarga itu. Bahwa orang-orang tua, nenek moyang kami sejak dahulu kala sudah mengenal tradisi menuliskan apa pun yang terjadi di kampung, kejadian pada keluarga, di atas gulungan daun lontar yang kemudian disebut lontarak, itu sudah sering saya dengar. Ada lontarak pertanian, adat istiadat, silsilah keluarga, perbintangan, pengobatan. Pendeknya, macam-macam lontarak yang ditulis berdasarkan keperluannya.

Ah, saya teringat waktu kecil, ketika saya belajar memanjat pohon lontar dan kaki saya gemetaran di ketinggian empat meter, lalu saya turun sembari memeluk batang lontar, dan dada saya harus luka-luka tergores batang lontar yang kasar. Celakanya, ternyata ibu saya marah besar. Saya harus menerima hukuman cambuk kuda ayah saya sebanyak tiga kali di betis.

Sepupu saya pun lalu bercerita mengenai wasiat orangtuanya sebelum meninggal. Kata dia, bapaknya sebelum meninggal, berpesan bahwa ada lontarak, naskah kuno nan keramat yang disimpannya. Lontarak itu diselamatkan oleh kakeknya ketika kampung orangtua kami dibakar oleh penjajah Belanda. Penjajah itu membakar kampung karena Arung (raja kecil) di kampung kami termasuk pemberontak yang tidak mau kompromi dengan penjajah. Akan tetapi, lontarak itu baru bisa dibuka kalau wakil dari tujuh orang bersaudara, termasuk ibu saya dan ibunya hadir lengkap. Sebelum dibuka pun lontarak itu harus diupacarakan oleh para bissu dengan memotong tujuh ekor kambing sesuai jumlah saudara kandung ibuku, berikut ayam sejumlah anak-anak orangtua kami. Karena ibuku bersaudara kandung tujuh orang, dan masing-masing memiliki tujuh orang anak, sehingga kami bersepupu sekali sebanyak 49 orang, maka sebanyak itulah ayam harus dipotong saat mengupacarakan lontarak itu.

“Lalu kapan upacaranya?” tanya saya. Terlintas di pikiran saya pasti sepupu saya itu nanti ujung-ujungnya minta bantuan untuk perhelatan upacara membuka lontarak itu.

“Rencananya bulan depan. Tim itu menyanggupi membantu dana untuk keperluan upacara itu. Mereka pun katanya mendapat bantuan dana dari Pemerintah Belanda sebagai upaya melestarikan nilai-nilai budaya kita,” paparnya bersemangat.

Saya lega, ternyata sepupu saya tidak minta bantuan dana pada saya. Saya utarakan kemungkinan saya tidak bisa menghadiri upacara itu. Alasan saya karena anak saya mau ujian akhir di sekolah dasar, dan harus ada persiapan yang baik untuk masuk sekolah lanjutan pertama. “Persaingan di Jakarta ini sangat ketat. Urusan sekolah tidak segampang di kampung. Di sini, sudah urusannya repot, uang sekolah pun cukup besar.”

Mendengar alasan saya itu, wajah kakak sepupu saya itu menampakkan rona kekecewaan. Ia pun membujuk, supaya saya mau datang. Kalau perlu, akan diusahakannya untuk membicarakan soal ini lagi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah agar Tim Pusat dan Mister Belanda itu mau menunda kedatangannya dan menyesuaikan dengan kesempatan saya pulang kampung. Pendeknya, dia ngotot menghadirkan saya, karena dia takut kualat jika membuka lontarak itu tanpa memenuhi wasiat ayahnya. Artinya, saya sebagai anak ibu saya, haruslah datang memenuhi syarat tadi. “Bisa-bisa saya tidak melihat terangnya dunia ini sampai tujuh turunan, kalau melanggar wasiat ayahku itu Andi,” katanya dengan nada memelas, penuh harap.

Istri saya pun menimpali perbincangan. “Kita pergi saja Pa. Toh sudah lama kita tidak pulang kampung,” katanya.

Ketika saya tiba di kampung dengan mobil sewaan dari Makassar, di rumah peninggalan ibu saya yang masih kekar yang bahan bangunannya terbuat dari pohon lontar, tampak sudah banyak orang yang berkumpul. Mereka tak bisa menyembunyikan rasa senangnya dengan kedatangan saya dan istri. Bagai dikomando, mereka serempak berdiri dari tempat duduknya dan bergerak mengerubungi mobil sewaan yang saya tumpangi. Sejumlah orang tua yang saya tidak kenal, bahkan menciumiku sembari berucap pujian betapa terobatinya kerinduan mereka. Menurut mereka, wajahku sama persis dengan ibuku. Bahkan Wa Laima dan anak-anaknya, keluarga yang dulu bertanggung jawab terhadap semua harta orangtuaku dan kini masih menempati dan menjaga rumah itu, silih berganti mencium tangan dan lutut saya, membuatku sangat rikuh. Dahulu, aku pernah melihat kakekku diperlakukan seperti itu, tetapi ayah dan ibuku tak pernah, karena mereka memang menghindari hal-hal semacam itu.

Semalaman saya tak bisa tidur, karena sanak saudara ramai berkumpul, bercerita nyaris tak putus-putusnya. Ada saja cerita yang sambung-menyambung mengenai kondisi kampung. Ada juga yang meminta diceritakan berbagai pengalaman hidup di Jakarta. Tidak sedikit pula yang meminta agar saya membawa anaknya ke Jakarta untuk dicarikan pekerjaan, atau sekadar tinggal di rumah membantu pekerjaan rumah. Tidak satu pun yang saya janjikan, karena bisa berabe. Harapannya sangat tinggi, apalagi kalau mereka menilai seseorang sukses di perantauan. Meski setengah teler karena kurang tidur semalaman, saya tetap berusaha tampak segar esok paginya.

“Upacara pembukaan lontarak yang suci ini akan membuktikan kita ini siapa sebenarnya. Kita adalah keturunan bangsawan yang harus dihormati. Kita akan tercatat dalam sejarah, dan akan terkenal sampai ke negeri Belanda, Andi,” kata kakak sepupuku, ketika mengantarkan aku kopi dan pisang goreng untuk sarapan.

Rupanya itulah tujuan kakak sepupuku itu. Mereka memang dikenal gila hormat. Padahal, tanpa lontarak itu pun orang sekampung juga sudah mengetahui siapa kami, sudah menaruh hormat pada keluarga kami. Namun, saya masih menyimpan pertanyaan, karena kedua orangtuaku, semasa hidupnya, tak pernah sekali pun menceritakan hal-ihwal lontarak warisan keluarga itu, tak pernah melakukan ritual-ritual seperti itu. Tetapi saya memendamnya saja, tak ingin menyinggung perasaan mereka, walaupun ada sedikit rasa penyesalan dan kedongkolan setelah mendengarkan ucapan kakak sepupuku tadi.

Masih pagi-pagi benar, mereka sudah lengkap dan siap menyambut kedatangan tamu yang mereka sebut Tim dari Pusat dan Mister Belanda itu. Benar, tak lama kemudian, tamu yang ditunggu-tunggu itu pun akhirnya muncul. Bau sedap dari masakan yang dimasak di pekarangan belakang rumah, seolah berhamburan naik rumah, bercampur dengan bau asap dupa yang sejak tadi malam dibakar di sudut-sudut rumah sebagai bagian dari ritual membuka lontarak. Sementara sejumlah bissu sejak fajar belum menyingsing, terus melantunkan syair-syair Bugis kuno yang semakin banyak kata-katanya yang tak dapat saya mengerti.

Kakak sepupuku sendiri sibuk luar biasa, menyajikan kopi dan aneka kue tradisional kepada tamunya itu. Setelah istirahat sejenak, Tim dari Pusat dan Mister Belanda itu mulai memasang komputer dan scanner yang mereka bawa. Saya hanya memperhatikan dari jauh. Dan tak lama kemudian, muncullah kakak sepupu saya dengan baju bodo membawa lontarak di atas baki kuningan yang mengkilap bagai emas, karena digosok dengan asam jawa semalaman. Warna baki yang kuning sangat kontras dengan pembungkus lontarak, kain merah dan hitam kusam. Entah sudah berapa puluh tahun tak pernah sekalipun dibuka.

Si Belanda dengan hati-hati dan khusyuk, seolah sudah sangat terbiasa, menerima lontarak itu dari kakak sepupu saya. Semua yang hadir seolah menahan napas. Hanya suara bissu yang melantun naik turun dengan irama nan syahdu, diiringi pukulan gendang dan simbal pelan, memecah kekhusyukan ritual itu. Perlahan-lahan Mister Belanda itu membuka tali pengikat pembungkus lontarak. Setelah gulungan daun lontar yang bertuliskan huruf Bugis terlihat, mulut orang-orang tua yang hadir berdesis. Saya tidak mengerti apa yang mereka ucapkan. Tanpa sadar, saya pun ikut tegang, dan berkeringat.

Mister Belanda itu perlahan melepaskan gulungan dan meletakkannya di atas scanner. Mesin pembaca huruf lontarak itu pun mulai menjalankan fungsinya. Baris demi baris naskah lontarak itu mulai terekam ke layar monitor komputer. Perlahan tapi pasti, dalam beberapa saat saja, sudah ratusan kalimat yang terekam.

Saya melihat Si Bule dan seorang yang diperkenalkan sebagai seorang profesor ahli sejarah dan antropologi, terlihat beberapa kali menggelengkan kepalanya, saling berpandangan, dan sesekali saling bisik. Saya memperhatikan semua gerak-geriknya. Tetapi, lama kelamaan saya semakin menangkap gelagat kurang baik. Keringat terus bercucuran di wajah Si Bule, akibat pengapnya ruangan karena penuh sesak, dan hawa panas yang disemburkan scanner di depannya. Lontarak yang selesai di-scanning terus membentuk gulungan besar di ujung lain. Saya mendengar semua anggota keluarga yang hadir dan membisu sejak tadi, menarik napas panjang, seolah beban berat di pundak mereka lepas seketika, saat proses scanning selesai.

Setelah mematikan mesin scanner-nya, Si Bule mengamati huruf-huruf lontarak di layar monitor komputer, membolak-balik lembar-lembar print-out naskah kuno itu, sembari sesekali menggelengkan kepalanya. Akhirnya ia menutup komputer itu. Para ahli itu pun lalu berdiskusi dengan rombongannya dalam bahasa Inggris campur bahasa Belanda. Tentu saja tujuannya supaya perbincangan mereka tidak ketahuan orang kampung yang hadir. Saya pun pura-pura tidak memperhatikan mereka, tetapi konsentrasi saya pusatkan untuk menangkap betul percakapan mereka.

“Apa yang terjadi?” tanya saya dalam bahasa Inggris, ketika mendengar perkataan yang nyaris saya tak percayai.

Semua yang hadir kaget, seolah tidak menyangka di antara orang kampung lugu dan “bodoh” itu ada yang paham bahasa Inggris. Sekilas, saya melihat rasa heran di wajah sanak saudara saya, melihat tingkah saya menyerbu masuk ke dalam lingkaran kecil tamu terhormat tersebut.

Tim Pusat bersama Si Bule menjelaskan kepada saya dalam bahasa Inggris mengenai apa yang sesungguhnya mereka temukan dalam naskah kuno itu. Saya hanya mengangguk-angguk mendengarkan penjelasannya. Saya sendiri memang bisa membaca huruf lontarak, tetapi tidak paham jika sudah terangkai menjadi kalimat panjang. Apalagi dengan tata bahasa kuno, karena banyak menggunakan kata-kata simbolik.

Mereka meminta saya untuk menjelaskan kepada sanak saudara mengenai temuannya. Sejenak saya berpikir, menimbang pantas-tidaknya saya menyampaikan sekarang, atau nanti setelah tamu itu pulang. Tetapi, saya memilih menjelaskan sekarang saja. Dengan berat hati, akhirnya saya tampil menjelaskan kandungan naskah kuno yang mereka keramatkan itu.

“Saudara-saudaraku yang saya cintai. Menurut bapak-bapak yang sangat ahli ini, naskah yang baru saja kita upacarakan dengan memotong kambing dan sekian banyak ayam, yang menurut kalian keramat, ternyata tidak menjelaskan harta karun. Tidak juga menjelaskan pembagian warisan. Pendeknya, mungkin jauh dari harapan kalian. Naskah tua ini hanyalah catatan sejumlah transaksi kuda, kerbau, sapi, dari sejumlah orang yang juga sudah mati semua.”

Mendengar penjelasan saya itu, semuanya tertunduk. Tak satu pun yang hadir di ruang pengap itu, yang berani mengangkat wajahnya, apalagi menatap saya.

“Kita semua yang hadir di sini harus mengambil hikmah, pelajaran yang sangat berharga. Sekiranya di antara yang hadir di sini masih menyimpan lontarak, janganlah disimpan terus dan dikeramatkan. Tolong dibaca, supaya kalian mengetahui isinya. Kalau cuma catatan jual-beli kuda seperti ini, mengapa harus disimpan, mengapa harus dikeramatkan, tentu tidak ada gunanya. Nah, sekiranya lontarak itu merupakan ilmu pertanian, ilmu perbintangan, ilmu perdagangan, ilmu pengobatan, tentu saja banyak gunanya. Bisa kita amalkan, kalau kita memahaminya. Tentu saja kita harus baca. Bacalah…!” kata saya.

Kakak sepupu saya yang punya hajat, yang sangat bersemangat sampai mengenakan pakaian adat, tak tampak lagi olehku. Bagai kilat, tiba-tiba saja ia menghilang dari tempat duduknya. Dia pasti malu pada saya, pada Tim Pusat dan Si Bule itu. Sementara suaminya hanya tertunduk lesu, tak sekalipun mengangkat wajahnya.

“Inilah kesalahan orang-orang tua yang kita warisi pula, turun-temurun sampai sekarang. Kita bangga sekali memiliki naskah kuno, tetapi apa isinya sama sekali tidak tahu. Orang tua kita menyimpan naskah kuno seperti ini, hanya dijadikan alat legitimasi bahwa dirinya adalah bagian dari kerajaan. Tak lebih dari itu. Ya, begini jadinya. Kita semua membodohi diri kita sendiri…!” kata saya.

Pamulang, 240304

Catatan:

lontarak: naskah yang ditulis dengan huruf-huruf Bugis di atas gulungan daun lontar;
Andi, ndi panggilan akrab buat anggota keluarga yang lebih muda.



Andi Suruji

No comments:

Post a Comment