Friday 25 February 2011

Laki-laki yang Tersedu

Laki-laki yang Tersedu



Ada sebuah peristiwa di mana aku tahu, semenjak itu terjadi, aku tidak akan lagi menemukan sebuah pagi yang membahagiakan. Peristiwa itu menggenapi rentetan peristiwa sebelumnya, menyempurnakannya dalam satu rumus kesedihan yang tidak terelakkan. Tidak ada lagi harapan. Tidak ada rumah yang hangat. Tidak ada anak-anak yang berteriak girang dan sehat. Tidak ada seorang laki-laki yang memelukku dari belakang, mencium punggungku, dan membisikkan kalimat sayang.

Aku tumbuh nyaris tanpa orangtua. Sejak kecil aku hanya hidup dengan seorang nenek yang keras kepala dan surat-surat dari jauh, kabar dari orangtuaku. Nenekku mempertahankanku sebagai cucu semata wayang untuk tidak bersama orangtuaku yang menempuh hidup di dunia yang jauh. Dunia yang jauh dari jangkauan dan alam pikir nenekku. Ia berpikir hidup adalah sesuatu yang bisa diteruskan. Ia, nenekku, berharap aku adalah sosok yang bisa meneruskan kehidupannya. Kehidupan yang tidak bisa kumengerti.

Dan aku hidup dalam hening dan sepi yang melilit. Di sana aku tumbuh, menjalar, menggapai sesuatu yang serba lamat-lamat. Rumah tua besar yang angkuh dan sepi. Seorang perempuan tua yang nyinyir, dan surat-surat yang tidak memberitakan apapun selain kabar bahwa mereka berdua, orangtuaku, baik-baik saja dan selalu rindu. Tapi apa yang kupahami dari surat-surat yang hampir sama itu? Tidak ada.

Lalu aku tumbuh menuju remaja. Seorang gadis, yang kata beberapa teman, cantik dan aneh. Pergi ke sekolah, pulang, pendiam, tidak banyak teman. Seorang gadis remaja yang menyusuri jam-jam penuh dengan kelelahan tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Aku merasa tidak punya modal untuk memulai sebuah pergaulan. Aku tidak mempunyai sesuatu sebagai tiket masuk dalam sebuah dunia yang renyah.

Hingga seorang laki-laki memasuki duniaku seperti petasan yang membangunkan seseorang dalam tidur resahnya. Aku merasakan waktu itu sebagai anak tangga baru yang bisa kutempuh. Aku berharap bisa menemukan sesuatu yang selama ini kuharap, semacam perlindungan dan rambatan. Tapi ternyata tidak. Aku justru memasuki pintu sedih berikutnya. Masuk ke dalam lorong gelap teror dan ketakutan.

Ia hanya memenuhi hidupku dengan ancaman-ancaman dan persetubuhan yang ganas. Ia membawaku lari dari kehidupan nenekku, meninggalkan sebuah ruang sepi yang kubenci tapi membawaku dalam gelap yang lain. Kamu tahu aku tidak mempunyai apa-apa bahkan sekadar kenangan yang menyenangkan tentang hidup ini. Harapan tentang seseorang yang melindungiku lenyap dan digantikan dengan perasaan bahwa hidup ini tak lebih dari rentetan kisah sedih yang terasa panjang. Laki-laki itu terus melempar teror dari segala yang ada di dirinya. Mulutnya mengeluarkan kalimat-kalimat pedih, penghinaan, ancaman maut, dan gigitan di tubuh saat ia meregang memuntahkan hasrat yang aku tidak pernah bisa merasakannya. Tangannya begitu ringan mampir di tubuhku meninggalkan bilur-bilur kesakitan. Aku larut di sana, dalam hari-hari yang penuh dengan siksaan.

Hingga kemudian aku hamil dan ia menikahiku. Secercah harapan muncrat. Siapa tahu dengan kehamilanku, ia bisa sedikit menganggapku bahwa aku masih manusia, setidaknya karena di dalam rahimku ada benih kehidupan darinya. Tapi ternyata tetap tidak. Aku adalah gelap itu sendiri.

Ia tetap datang dengan kelakuan iblis yang sama, bahkan ketika aku melahirkan, ia hanya menengokku sebentar, tak ada kecupan selamat dan wajah bahagia yang kutangkap. Kelahiran itu tidak memberiku berkah apa-apa. Tidak ada tangan gaib yang membelaiku sesaat karena aku telah menimang buah kehidupan yang lain. Tidak ada janji Tuhan pada umatnya seperti yang ada di kitab-kitab. Tidak pernah ada buah dari kesabaran dan penderitaan yang panjang. Tidak pernah ada.

Kelahiran bayiku itu justru hanya semakin mengukuhkan aku tidak punya apa-apa, juga hak untuk membunuh diriku sendiri. Ketika perasaan ingin mengakhiri hidup ini datang padaku, wajah bayi itu mengurungkannya. Aku berpikir, bayi itu juga tidak akan punya siapa-siapa dan tidak punya apa-apa jika aku meninggalkannya. Kemudian aku belajar menaruh harapan pada bayi itu. Aku mencoba merawatnya dengan baik di tengah kepungan marabahaya yang bisa datang kapan saja dari laki-laki itu.

Laki-laki itu bisa datang pada tengah malam, membangunkanku dengan paksa, menyetubuhiku, meregang lalu tidur dalam lelah. Laki-laki itu bisa datang di pagi benar, membanting piring sebab tidak ada makanan di meja makan, menyetubuhiku, meregang lalu tidur dalam lelah. Laki-laki itu bisa datang di siang hari, menghinaku karena aku tidak mendatangkan uang, karena aku tidak punya bentuk tubuh yang bagus, kemudian menyetubuhiku, meregang lalu tidur dalam lelah. Laki-laki itu bisa datang di sore hari, memukuliku hanya karena aku habis mandi dan dia mengatakan bahwa pasti aku berdandan karena sedang berselingkuh dengan laki-laki lain, menyetubuhiku, meregang lalu tidur dalam lelah. Laki-laki itu bisa datang…

Jika kamu bilang bahwa hidup itu jalinan antara kesedihan dan kebahagiaan, katakan saja itu pada orang lain. Jangan katakan padaku. Jangan pernah. Aku tidak percaya.

Ketika bayiku mulai tidak menyusu, aku sempatkan diri untuk bekerja membuat kue dan mengedarkannya di warung-warung terdekat. Usahaku itu mulai tumbuh membesar seiring dengan besarnya anakku. Aku pikir, ini saatnya aku bisa menapaki hal baru dalam hidupku, setidaknya untuk anakku kelak. Tapi tetap saja tidak. Ketika aku pulang dari mengantarkan kue, dari pintu depan aku dengar suara anakku yang menangis kencang, dan ketika kubuka pintu kamar… laki-laki itu sedang bercinta dengan seorang perempuan di samping anaknya yang menangis karena kehausan. Aku mendatangi mereka dan kutampar wajah laki-laki itu, lalu kubawa pergi anakku. Selesai sudah.

Selesai sudah? Ah, tidak. Aku pergi jauh. Berpindah dari satu kota ke kota yang lain dengan dikuntit oleh perasaan tak aman dan teror hitam kenangan, dengan uang yang tak seberapa di tangan. Hingga kemudian aku memutuskan untuk menetap di sebuah kota, berharap bisa membangun sesuatu yang baru bersama dengan anakku yang baru bisa menyebut kata: mama…

Aku membuat lagi kue, mengedarkannya sambil tetap membawa anakku kemana saja. Hingga kemudian aku bisa menyewa rumah, menggaji orang untuk sebentar saja menjaga anakku sebab bisnisku mulai berkembang dan semakin jauh edarannya. Sedikit demi sedikit biji harapan mulai keluar dari tanah kenangan yang kejam dan tandus. Tapi itu semua belum juga berakhir.

Seperti kepulangan yang dulu, ada suara berdengung di telingaku yang memaksaku pulang lebih dulu, dan kudengar tangis anakku dari jauh sambil menyeru-nyeru kata “mama” berulang-ulang. Orang yang menjagaku menggigil di depan pagar, ketakutan. Aku masuk rumah dan kudapati beberapa orang berada di dalamnya. Salah satunya adalah laki-laki itu yang sedang mendekap keras anakku yang berusaha meronta dan menangis tapi tetap tidak bisa lepas dari dekapan laki-laki itu. Aku tahu, sesuatu yang lebih buruk sedang menungguku. Rombongan orang itu membawaku pergi dengan pesan yang terngiang dari laki-laki itu agar aku menyelesaikan urusan perceraianku dengannya.

Tentu, aku menceraikannya. Tapi bukan itu, ia juga mempermasalahkan hak asuh anakku. Dan itu artinya aku harus melalui proses peradilan yang panjang dan bertele-tele. Aku sudah tidak punya tenaga lagi, dan terutama, aku tidak punya uang. Lalu kuputuskan untuk pergi melayang tanpa arah. Setiap kali aku mencoba untuk membunuh diriku sendiri, wajah anakku memberatiku. Padahal aku tahu, aku tidak pernah bisa bertemu dengannya lagi.

Ini adalah dua tahun kepergianku, dan baru kali ini aku bisa menceritakan kisahku. Hanya padamu.

Aku tidak tahu kenapa aku harus bercerita padamu. Dan aku tidak tahu untuk apa aku menceritakan ini semua. Kamu mungkin bisa mendapatkan kisah-kisah yang jauh lebih sedih di buku-buku cerita atau di film-film. Tapi… Ah, aku tidak tahu… seharusnya kata “tidak” saja sudah cukup.

Semua hal di atas kuceritakan pada seorang laki-laki yang belum begitu kukenal. Semua itu berawal dari ketika aku akan menyeberang jalan menuju ke sebuah stasiun. Dari stasiun kulihat dua laki-laki, yang satu kemudian menyeberangi lalu lintas yang padat, sementara aku masih sibuk untuk berusaha mencari celah agar aku bisa segera menyeberang. Rupanya agak jauh dari tempatku ada seorang perempuan tua yang juga sedang berusaha untuk menyeberang jalan. Ternyata laki-laki itu hendak menolong perempuan itu untuk menyeberang. Waktu itu aku hanya membatin, ternyata masih ada orang yang agak baik di dunia ini.

Di peron, aku melihat lagi dua laki-laki itu. Kemudian kulihat laki-laki yang tadi membantu menyeberangkan jalan perempuan tua, berjalan menuju pojok stasiun menghampiri seorang nenek penjual kacang rebus. Laki-laki itu kulihat balik dengan membawa bungkusan penuh dengan kacang. Aku mendengar kawannya bertanya, “Untuk apa membeli kacang sebanyak itu?” Dan aku mendengar jawaban yang keluar dari mulut laki-laki itu, “Kamu bawa pulang untuk teman-teman. Nenek itu hebat, ia perempuan hebat.” Selanjutnya, pengumuman kereta yang kutunggu datang.

Ternyata laki-laki itu satu gerbong denganku bahkan ia berada satu deret di sampingku. Di antara kami hanya dipisahkan oleh seorang ibu berkerudung yang duduk di sampingku, sebuah lorong, dan seorang laki-laki tua yang sering batuk di sampingnya. Kami sama-sama dekat dengan jendela. Dari bayang jendela di sampingku, aku melihat ia melambaikan tangan pada temannya yang ternyata hanya mengantar.

Aku tergeragap dari lamunanku ketika ibu di sampingku berteriak setengah menangis pada kondektur yang sedang memeriksa tiket, ternyata tiket ibu itu ketinggalan. Aduh, sungguh kasihan sekali, dan tentu ibu itu tidak mungkin berbohong. Sebelum suasana bertambah runyam, laki-laki itu berdiri lalu mengajak kondektur dan ibu itu ke arah belakang untuk berbicara bertiga. Entah apa yang mereka bicarakan di sekat antargerbong, semua orang yang duduk di gerbong itu ingin tahu. Tapi tentu kami tidak bisa mendengar apa-apa. Hingga kemudian mereka bertiga berjalan kembali, pemeriksaan tiket dilanjutkan, ibu itu mengucapkan terima kasih berkali-kali ke laki-laki itu, lalu tertidur. Dan laki-laki itu tetap terlihat tenang seperti tidak ada kejadian apa-apa dan di sepanjang perjalanan ia membaca buku. Sedangkan aku terus dibawa oleh pikiran ke masa lalu yang rasanya tidak akan pernah selesai membuntutiku.

Kereta berhenti. Orang-orang bersiap turun. Aku agak kesulitan menurunkan barang bawaanku yang kutaruh di atas, sebuah tas besar berisi pakaian yang akan kujual di kota ini. Aku memang berdagang pakaian untuk mempertahankan hidupku dan mengisi hari-hariku. Tapi tiba-tiba sebuah tangan mengambil tasku sambil sebuah suara mengiringi, “Saya bantu, Mbak.”

Aku menoleh kaget. Laki-laki itu seperti tidak peduli lalu menurunkan bawaanku, ia menoleh ke arahku sambil berkata lagi, “Mau keluar lewat pintu depan?” Sambil bingung aku mengangguk. “Kalau begitu biar saya bawakan saja.” Dan aku menurut tanpa bisa berkata apa-apa.

Sampai di depan stasiun, ia bertanya, “Mau naik taksi atau ada yang menjemput?” Aku masih belum bisa mengatasi rasa bingungku dan berusaha menjawab, “O, tidak, saya naik angkot saja.”

Kulihat ia mengernyitkan mukanya, lalu tersenyum sambil berkata, “Hari ini angkot di kota ini mogok.” Aku bingung, lalu buru-buru bertanya, “Anda tahu dari mana?”

Ia meletakkan tasku di lantai lalu duduk dan menjawab, “Dari koran.” Aku belum sempat memberi respons atas jawabannya ketika ia kembali bertanya, “Mbak mau ke arah mana? Sebentar lagi saya dijemput oleh teman dengan mobil. Kalau kita satu arah, bareng saja, Mbak.” Aku masih belum menjawab ketika seorang laki-laki datang lalu mereka berpelukan erat dan berbagi kabar. Mungkin ia yang dimaksud dengan kawan yang akan menjemputnya. Lalu ia berbisik ke temannya, dan kemudian temannya menghampiriku dengan senyum dan bertanya, “Mau ke arah mana, Mbak?” Dengan agak gugup aku memberitahu tempat yang kutuju. Lalu laki-laki itu berkata, “O, itu satu arah dengan kami, Mbak. Mari bareng saja.” Aku belum juga sempat berkata apa-apa ketika laki-laki yang satu kereta denganku itu kembali membawakan tasku dan memberi anggukan untuk mengikuti mereka berdua.

Dari pertemuan itulah, aku mengenal laki-laki yang sekarang sedang kuhadapi. Semenjak peristiwa itu, kami sering berhubungan, kadang ia menelepon, bahkan kadang ia mampir di tempat tinggal sementaraku jika aku ada di kota ini. Beberapa hari yang lalu, ia bertanya, apakah suatu saat aku bersedia untuk diajak makan malam? Dan seperti sebelumnya, aku tidak punya jawaban apa-apa selain mengangguk.

Malam ini, ia mengajakku untuk keluar makan malam. Di sebuah ruang yang agak sepi, sebuah kalimat yang sungguh mengagetkan meluncur dari mulutnya: ia menginginkanku menjadi kekasihnya! Aku seperti sesak napas seketika. Duniaku terasa kembali dalam gelap. Ah, tidak, aku tidak boleh mempunyai harapan lagi pada hidupku kali ini. Aku tidak ingin ada yang ikut menanggung lukaku. Tetapi sepasang mata yang tajam dan tulus itu menggedor-gedor pintu harapanku, dan keinginan untuk hidup dalam hari yang menyenangkan menekan kuat dari dalam diriku. Ah, tapi tidak. Dan kata “tidak” itu yang kemudian keluar dari mulutku.

Ia angluh. Mukanya tertunduk. Tapi kemudian kembali tegak, berusaha tersenyum. Dan ah… ada air mata di kedua sudut matanya. Lalu dari mulutnya meminta sedikit alasan dariku mengapa menolak permintaannya.

Aku kemudian menata perasaanku. Dengan perasaan yang tidak menentu, aku membuka sejarah yang ingin kubuang dalam hidupku. Di depanku, laki-laki itu tersedu sembari sesekali menggenggam tanganku. Tapi aku tahu, setelah cerita ini semua, ia hanya bisa tersedu. Tidak akan lebih dari itu sebab ini bukan kisah di buku-buku cerita dan di film-film. Dan ia memang hanya bisatersedu. Tidak lebih.



Puthut EA

No comments:

Post a Comment