Friday 25 February 2011

Biji Mata untuk Seorang Lelaki

Biji Mata untuk Seorang Lelaki



Lelaki itu samar-samar melihat seraut wajah yang hanya memiliki bibir dan hidung. Ia memicingkan mata agar dapat melihat lebih jelas. Bibir itu tersenyum. Tapi tarikan di ujung bibir terlalu dalam sehingga senyuman itu terlihat seperti sedang mengejek. Sinis. Dan seolah tak ingin diamati, tiba-tiba wajah itu berubah menjadi kecil, semakin kecil, bertambah kecil lagi…, hingga menjadi satu biji mata yang kemudian meloncat dan menempel di dinding!

Lelaki itu tersentak dari lelap tidurnya. Mimpi aneh itu memaksanya untuk bangun dan duduk bersila di atas tempat tidurnya. Sambil menopangkan dagu di atas lengannya, ia membuka kelopak mata. Sesaat ia terperanjat. Matanya bertabrakan dengan satu biji mata di dinding! Lalu ia memejamkan mata kembali sambil menarik nafas panjang. “Tak mungkin! Tak mungkin!” gumamnya berulang kali. Dengan mata yang masih terpejam, ia mengeleng-gelengkan kepala beberapa kali, berusaha menghalau mimpi yang mungkin masih tersisa di benaknya. Setelah membuka mata kembali, bibirnya tersenyum. Mimpi itu telah berlalu, katanya dalam hati. Lalu ia merebahkan tubuhnya sambil menghembuskan nafas lega. Tapi sebelum hembusan nafas lega itu berakhir, matanya terbelalak. Ada satu biji mata di langit-langit! Ia segera bangkit dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan kamar tidurnya. Sambil berjalan, ia menoleh ke belakang beberapa kali. Menatap percaya!

Walau suara azan subuh telah terdengar sayup dari mesjid yang terletak di ujung jalan, lelaki itu masih duduk gelisah di teras rumahnya. Ia merenung sambil menatap lantai. Tak dapat dipahaminya mengapa biji mata yang dilihatnya dalam mimpi dapat menjelma menjadi kenyataan. Ada kebimbangan untuk mempercayai apa yang telah dilihatnya. Ingin diperiksanya dinding dan langit-langit kamar tidurnya sekali lagi. Ia sangat ingin melakukan hal itu tetapi khawatir menerima kenyataan yang akan dilihatnya. Bagaimana bila biji mata itu ternyata masih berada di kamarnya? Mungkin sudah tidak berada di langit-langit. Mungkin sudah di atas meja lampu di samping tempat tidur, atau bahkan mungkin tergeletak di atas kasur. Benaknya terasa panas dan pengap dipenuhi oleh banyak pertanyaan. Semakin berusaha untuk menjawab, semakin tak ada jawaban yang memuaskan hatinya. Hanya ada satu hal yang dapat ia simpulkan; ia merasa mengenal biji mata itu. Mirip dengan biji mata seseorang. Ia merasa pernah menyelam ke dalam bagian tengahnya yang berwarna hitam. Biji mata seorang perempuan!

Mungkinkah itu biji mata Nita? Mata yang selalu mengundang sekaligus menantang. Mengundang lewat tatapan nakal yang disertai beberapa cubitan manja di lengan dan pinggangnya. Bila tatapan itu dibalas dengan bungkusan kecil berisi serbuk-serbuk putih, maka ia merasa berhak – dan tak akan pernah ditolak – untuk memeluk sambil meliuk-liukkan badan di lantai disko. Tantangan pun ditebarkan di bawah siraman warna-warni bola lampu kristal dan sambaran sinar laser. Dituntun oleh dentuman musik yang agak menusuk ulu hati, perut perempuan muda itu tak pernah mengelak ketika ia mengentak-entakkan bagian bawah pusarnya. Lengan mulus yang bergayut di tengkuknya turut menebarkan sihir yang memaksa lelaki itu untuk tetap menunduk, bersiap menyelam ke dalam telaga birahi yang di biaskan bola matanya.

Sambil mengusap-usap kelopak matanya yang terasa pedih, lelaki itu bergumam, “Mungkin itu bukan Nita!!”

Lelaki itu berdiri sejenak di ambang pintu untuk mengamati semua furniture di dalam kamar tidurnya. Tak ada yang berubah. Semua tetap bersih dan tak ada yang bergeser dari tempatnya. Perempuan tua yang menjadi pembantu di rumahnya telah mengganti bed-cover dengan warna biru. Warna kesukaannya. Sebelum melangkah, ia mengamati dinding dan langit-langit. Bersih. Tak ada biji mata yang menempel!

Telah seminggu lelaki itu tidak tidur di kamarnya. Malam dilewatinya dari satu kamar hotel ke kamar hotel lainnya. Selalu berpindah-pindah. Tapi, semakin lama menginap di hotel, semakin menggumpal kegelisahan di hatinya. Ia merasa direndahkan. Satu biji mata telah mengusirnya dari sebuah ruang yang sangat pribadi baginya. Ia bebas tidur di mana saja terkecuali di kamar tidurnya sendiri. Ia bebas dalam ketidakbebasan. Ia mulai merasa terhina. Akhirnya ia memutuskan untuk merampas kembali kebebasan yang pernah ia miliki. Aku harus melawan, katanya dalam hati sambil mengepalkan jari-jari tangannya. Aku tak akan menghindar, apa lagi melarikan diri.

“Biji mata itu hanya sebuah halusinasi yang berhasil menancap ke dalam benak. Seolah ada, padahal tidak ada. Tak ada tempat bagimu untuk bercokol di benakku!” gumam lelaki itu. Akan kau rasakan perlawananku!

Lelaki itu membaringkan tubuhnya. Menarik nafas panjang untuk meredakan debar jantungnya. Ia belum sempat memejamkan mata ketika satu biji mata tiba-tiba menempel di dinding. Dengan sigap, ia bangkit untuk meraih sebatang pipa besi yang telah ia persiapkan. Ia sengaja meletakkan pipa besi itu di samping tempat tidurnya.

“Siapa kau?” bentak lelaki itu sambil membidikkan bagian runcing di ujung pipa, mengancam hendak menusuk.

Bulatan hitam di bagian tengah biji mata itu tiba-tiba berubah warnanya. Menjadi merah. Seperti warna bara api. Mengkilap. Sesaat kemudian, biji mata itu meloncat ke lobang udara dan menghilang.

Lelaki itu tersenyum. Matanya berbinar-binar. Embusan nafas lega beberapa kali mengalir dari kerongkongannya. Persis seperti yang diduganya. Tak akan ada perlawanan. Benda lembek itu hanya bisa menampakkan diri untuk menakut-nakuti. Baru digertak dengan ujung pipa besi, sudah terbirit-birit melarikan diri. “Keberanian yang dipersiapkan dan diperhitungkan dengan baik akan selalu membawa kemenangan,” katanya lirih.

Belum lewat tengah malam, lelaki itu tersentak dari lelap tidurnya. Matanya terbelalak melihat satu biji mata yang melayang-layang di kamar tidurnya. Dengan gesit, diraihnya kembali pipa besi itu. Ia langsung menyerang. Ujung pipa yang runcing ditusukkannya berulang kali. Tapi biji mata itu selalu berhasil mengelak. Ketika biji mata itu berhenti melayang-layang, lalu menempel di bagian atas dinding, lelaki itu memburunya dengan amarah yang meluap. Lengannya terangkat tinggi, membidik, siap untuk menombak! Lalu pipa besi ditombakkan! Biji mata mengelak. Berulang kali ditombakkan. Berulang kali pula biji mata itu berhasil mengelak. Dan ketika melayang melintasi jendela, lelaki itu menombak kembali. Byaaar…! Ia berdiri kaku. Terpana. Keheningan malam dikoyak oleh suara kaca pecah. Pecahannya berserakan di lantai. Dinding dipenuhi lubang-lubang bekas tombakan!

Lelaki itu terduduk di lantai. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Nafasnya tersengal-sengal. Tersirat keputusasaan di raut wajahnya. Dengan tatapan resah, ia mengamati biji mata yang melayang persis ke hadapannya. Baru disadarinya bahwa biji mata itu ukurannya lebih kecil dari biji mata yang ia lihat sebelumnya. Bagian yang putih terlihat sangat putih. Bulatan hitam dibagian tengah sangat hitam. Pekat. Dan ketika bulatan hitam itu melirik ke sudut kamar, lelaki itu pun menoleh. Di atas pintu, ada menggantung satu lagi biji mata yang bulatan tengahnya berwarna merah!

“Kau pembunuh!”

Tuduhan itu berasal dari biji mata berukuran kecil yang masih melayang-layang di hadapannya. Suara itu jelas terdengar, lembut dan bening, seperti suara bayi. Lelaki itu menjadi kalut. Dengan tergesa-gesa, ia bangkit dan berlari meninggalkan kamar tidurnya.

Lewat tengah malam, Satpam yang duduk mengantuk di posnya dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki yang baru turun dari taksi. Ia menatap tak percaya. Di hadapannya berdiri seorang lelaki dengan rambut acak-acakan dan piyama sutra yang menggantung di bahu. Lelaki yang harus diberi hormat dengan anggukan kepala setiap kali mobil mewahnya melintasi Pos Jaga.

“Buka pintu office, ada hal penting yang harus segera kukerjakan!”

Ruang kecil itu terletak di bagian samping gereja. Terisolasi. Ruang itu terbagi menjadi dua bilik. Salah satu dari bilik itu sering dipergunakan umat-Nya untuk mengakui dosa. Pada bagian tengah pembatas bilik, ada sejenis jendela kawat. Bentuk jendela itu seolah disengaja untuk membatasi pandangan mata, menghambat pikiran untuk mengembara, menuntun hati untuk pasrah. Hanya ada satu lampu yang bersinar redup tergantung di langit-langit. Ruang kecil itu terasa khusuk. Sepi. Orang yang sedang mengaku dosa menjadi merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang akan mendengar pengakuannya terkecuali seorang pastor yang duduk di bilik sebelahnya.

Lelaki itu sempat mempertimbangkan untuk mengunjungi seorang psikolog. Ia ingin menceritakan semua kejadian yang ia alami, ingin mendengar saran agar ia dapat menghindar dari halusinasi yang sedang mengganggu dirinya. Ia merasa yakin biji mata yang mengganggunya hanyalah sisa sebuah mimpi yang belum sirna walau ia telah terjaga. Ia juga ingin mendapat penjelasan mengapa ada mimpi yang seperti itu. Tapi ada bisikan dari hatinya melarang untuk melakukan hal itu. Psikolog itu akan mengajukan banyak pertanyaan, bertubi-tubi. Dan bila ia menjawab dengan jujur, jawaban-jawabannya dapat membahayakan dirinya sendiri. Ia tidak boleh berkata jujur kepada orang yang belum dapat dipercaya!

Sambil berlutut, mata lelaki itu menerawang melalui lubang-lubang kawat. Dalam keremangan, masih dapat dilihatnya senyum di bibir pastor itu. Tapi senyum itu tidak cukup kuat untuk menenteramkan kegelisahannya. Jari-jari tangan lelaki itu mencengkeram kusen jendela. Bola matanya menatap penuh harap. Kesunyian di ruang kecil itu membuat debar-debar di dadanya terasa lebih keras.

“Romo, sebulan yang lalu aku membayar seseorang untuk menabrak mobil Rosa, istriku!” kata lelaki itu lirih. Sambil menarik nafas panjang, ia menoleh ke kiri dan kanan. Lalu mengamati sudut-sudut bilik untuk memastikan bahwa tidak ada sebuah benda yang sedang mengintainya.

“Sebenarnya Rosa sedang hamil. Akibat tabrakan itu, ia keguguran dan akhirnya meninggal. Tapi anak yang dikandungnya bukan berasal dari benihku. Aku memang mengawini perempuan sundal. Aku bosan menjadi bawahannya, Romo. Bosan hidup dalam kemiskinan. Aku mengawininya karena ingin mengubah jalan hidupku. Tapi dasar sundal, dibuatnya aku sebagai boneka mainan. Aku harus selalu mengatakan ya. Bila mengatakan tidak, ia mengancam untuk bercerai. Berulang kali ia mengancam seperti itu!”

Lelaki itu terdiam sejenak. Ada bayangan yang melintas di hadapannya. Muncul berganti-ganti. Wajah pucat pasi di atas kereta dorong di Ruang Emergency, darah yang masih mengalir dari selangkangan, darah yang menggumpal di atas jok mobil, dan… senyum kemenangan yang sengaja ia sembunyikan dari bibirnya!

“Romo, aku tak bersedia menjadi bola yang dapat ia tendang kapan dan ke arah mana ia suka”.

Lelaki itu terdiam lagi. Ia menundukkan kepala. Entah mengapa, tiba-tiba dadanya berdebar-debar kembali. Bergemuruh. Butir-butir keringat mulai mengkristal di pori-pori dahinya.

“Apakah dosaku masih dapat diampuni, Romo?” sambil bertanya ia mengangkat kepala. Tapi bola matanya bertabrakan dengan satu biji mata yang terselip di lubang kawat. Biji mata yang bulatan tengahnya berwarna merah!

Dengan sigap lelaki itu berdiri, dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan Bilik Pengakuan Dosa. Beberapa langkah kemudian, ia berlari secepatnya. Ia tidak berani menoleh ke belakang. Sekali pun tidak! Sekarang ia dapat memastikan bahwa biji mata berwarna merah itu adalah biji mata Rosa!

Lelaki itu mengempaskan dirinya di atas kursi empuk di ruang kerjanya. Tubuhnya seolah tenggelam ditelan besarnya sandaran kursi yang terbuat dari kulit halus. Matanya memandang liar. Dinding-dinding dan langit-langit diamati dengan teliti. Bola matanya bergerak-gerak ke segala arah. Rongga dadanya terasa sesak. Dinginnya ac tak mampu menghentikan cucuran keringat di sekujur tubuhnya. Dan tiba-tiba, satu biji mata jatuh di atas meja kerjanya. Persis di hadapannya! Ia tahu itu adalah biji mata Nita. Mata yang terbelalak akibat overdosis, yang memiliki bibir indah, yang selalu mendesah meminta serbuk-serbuk putih disuntikkan ke urat darah di siku lengannya.

Lelaki itu memejamkan mata. Ia merasa heran, mengapa biji mata Nita berani muncul di hadapannya. Tantangan apa lagi yang sedang ditebarkan? Padahal tantangan terakhir telah dijawabnya setengah jam sebelum perempuan muda itu terkapar tak bernyawa. Ia terus menghujamkan pinggulnya, tidak menyadari tubuh telanjang yang ditindihnya sebenarnya sedang sekarat, sedang meronta membebaskan diri dari serbuk-serbuk putih yang menari-nari meregang nyawa. Maka ketika membuka matanya, lelaki itu memutuskan untuk melawan. Bila ia menghindar, biji mata itu akan terus mengejarnya. Mungkin mengejar sambil tertawa mengejek.

“Hai biji mata, kau tak akan pernah bisa menakuti dan mempermalukan diriku! Aku bukan seorang pecundang!” teriak lelaki itu sambil mengayunkan lengannya. Dengan cepat, ia menampar biji mata itu. Tapi dengan cepat pula biji mata meloncat ke atas, menghindar, dan jatuh kembali ke tempat semula. Sesaat kemudian, sebelum sempat mengulang tamparannya, tiba-tiba satu biji mata lain yang bagian tengahnya berwarna merah-entah datang dari arah mana-jatuh pula di atas meja kerjanya.

Lelaki itu terhenyak. Ia sedang ditantang. Dipermalukan. Dihina. Dengan kemarahan yang meluap, ia mengayunkan lengannya kembali. Menampar berkali-kali dengan kedua belah tangannya, kiri dan kanan, silih berganti! Kertas-kertas, map, rak kertas in dan out, buku, jam meja, telepon, semua berserakan di lantai akibat tamparannya. Tapi dua biji mata masih tetap tergeletak di atas meja! Mengejek!

Dengan nafas tersengal-sengal, tatapan tak percaya, lelaki itu melangkah terhuyung-huyung ke arah pintu. Ia ingin segera berlari meninggalkan ruang kerjanya. Berlari sekencang-kencangnya, berlari…, berlari…, entah ke mana. Tapi sebelum tangannya meraih gerendel pintu, langkahnya terhenti. Di gerendel pintu ada satu biji mata lainnya. Ukurannya lebih kecil.

“Kau pembunuh!”

Suara itu terdengar lembut, tetapi mampu membuat getaran panjang di gendang telinga lelaki itu, seolah ada gaung yang menghantam benaknya berulang kali!

Di trotoar di pusat kota, ada seorang lelaki perlente yang selalu berjalan terburu-buru. Ia selalu menoleh ke segala arah. Matanya menatap curiga. Bibirnya selalu bergumam. Kadang-kadang ia berlari sambil berteriak sekeras-kerasnya seolah ingin mengalahkan kebisingan lalu lintas. Kadang-kadang ia berdiri terpaku mengamati jendela dan dinding kaca gedung-gedung yang menjulang di hadapannya. Sambil menunjuk bagian tertentu, ia berseru: “Mata! Mata! Ada mata…!” Beberapa orang yang berada di sekitarnya berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah dinding kaca. Merasa tak melihat apa-apa, pandangan mereka berpindah ke telunjuk lelaki itu, kemudian menoleh kembali untuk mengamati dinding kaca yang ditunjuknya. Mereka tetap tak melihat apa-apa!

Lelaki perlente itu masih mengenakan dasi dan sepatu kulit yang sudah berdebu. Pada malam hari ia tidur di trotoar atau di bawah pohon rindang di taman kota. Sebelum tidur, kadang-kadang ia menangis terisak-isak!

Jakarta, April 2004



Timbul Nadeak

No comments:

Post a Comment