Monday 14 February 2011

MADILOG (1)

MADILOG
Tan Malaka (1943)
________________________________________
Sumber: Terbitan Widjaya, Jakarta, tahun 1951. Bab III diambil dari terbitan Pusat Data Indikator, 1999.
Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague. Dimuat di MIA pada tanggal 13 Juni 2007.
________________________________________
DAFTAR ISI
SEJARAH MADILOG
PENDAHULUAN
I. LOGIKA MISTIKA
II. FILSAFAT
III. ILMU PENGETAHUAN - SCIENCE
IV. SCIENCE (SAMBUNGAN)
V. DIALEKTIKA
VI. LOGIKA
VII. PENINJAUAN DENGAN MADILOG

MADILOG
Tan Malaka (1943)
________________________________________
SEJARAH MADILOG

Ditulis di Rawajati dekat pabrik sepatu Kalibata Cililitan Jakarta. Disini saya berdiam dari 15 juli 1942 sampai dengan pertengahan tahun 1943, mempelajari keadaan kota dan kampung Indonesia yang lebih dari 20 tahun ditinggalkan. Waktu yang dipakai buat menulis Madilog, ialah lebih kurang 8 bulan dari 15 juli 1942 sampai dengan 30 maret 1943 (berhenti 15 hari), 720 jam, ialah kira-kira 3 jam sehari.
Buku yang lain ialah Gabungan Aslia sudah pula setengah di tulis. Tetapi terpaksa ditunda. Sebab yang pertama karena kehabisan uang. Kedua sebab sang Polisi, Yuansa namanya diwaktu itu, sudah 2 kali datang memeriksa dan menggeledah rumah lebih tepat lagi “pondok’’ tempat saya tinggal. Lantaran huruf madilog dan Gabungan Aslia terlampau kecil dan ditaruh di tempat yang tiada mengambil perhatian sama sekali, maka terlindung ia dari mata polisi. Terpeliharalah pula kedua kitab itu dan pengarangnya sendiri seterusnya dari mata dan tongkat kempei Jepang.
Lantaran hawa kediaman saya itu sudah agak panas dan bahaya kelaparan sudah mengintip, maka terpaksalah saya memberhentikan pekerjaan saya meneruskan menulis Gabungan Aslia. Saya bertualang di daerah Banten mencari nafkah sambil memperlindungkan diri pula.
Akhirnya saya dapat pekerjaan tetap di Tambang Arang, Bayah. Disinilah saya mendapat pekerjaan sedikit lebih tinggi dari romusha biasa, (maklumlah orang tak punya diploma dan surat keterangan!) sampai menjadi pengurus semua romusha dan penduduk kota Bayah dan sekitarnya dalam hal makanan, kesehatan, pulang-pergi dan sakit matinya romusha ribuan orang, dengan perantaraan kantor urusan prajurit pekerja.
Sebagai ketua Badan Pembantu Pembelaan (BPP) dan Badan Pembantu Prajurit Pekerja (BP3), saya akhirnya sampai dipilih menjadi wakil daerah Banten ke kongres Angkatan Muda yang dijanjikan di Jakarta, tetapi tak jadi itu (bulan Juni 1945). Disinilah saya berjumpa dengan pemuda seperti Sukarni, Chairul Saleh, dll. yang sekarang mengambil bagian dalam pergerakan Persatuan Perjuangan. Juga dengan pemuda lainnya umpamanya seorang jurnalis yang amat dikenal di sekitar Bayah ketika itu, tak lebih dan tak kurang dari Bang Bejat, alias Anwar Tjokroaminoto dan saudaranya. Resan minyak ke minyak, resan air ke air, kata pepatah.
Demikianlah pengarang ini yang pada masa Jepang itu memperkenalkan dirinya dengan nama ILJAS HUSSEIN, dengan jalan memutar sampai juga ke golongan yang dicari yang mulai mengambil bagian besar dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945, ialah golongan pemuda. Pekerjaan revolusioner di samping pemuda itu sampai sekarang terus berlaku, yakni Persatuan Perjuangan yang sudah mulai menulis sejarah. Atas permintaan pemuda pulalah Madilog sekarang akan disebarkan di antara mereka yang rasanya sanggup menerimanya.
Pena merayap di atas kertas dekat Cililitan, di bawah sayapnya pesawat Jepang yang setiap hari mendengungkan kecerobohannya di atas pondok saya. Madilog ikut lari bersembunyi ke Bayah Banten, ikut pergi mengantarkan romusha ke Jawa tengah dan ikut menggeleng-geleng kepala memperhatikan proklamasi Republik Indonesia. Di belakang sekali ikut pula ditangkap di Surabaya bersama pengarangnya, berhubung dengan gara-gara Tan Malaka palsu………………bahkan hampir saja Madilog hilang.
Baru 3 tahun sesudah lahirnya itu, Madilog sekarang memperkenalkan dirinya kepada mereka yang sudi menerimanya. Mereka yang sudah mendapat minimum latihan otak, berhati lapang dan seksama serta akhirnya berkemauan keras buat memahamkannya.
TAN MALAKA
Lembah Bengawan Solo, 15 Maret 1946.

MADILOG
Tan Malaka (1943)
________________________________________
PENDAHULUAN

IKLIM
Mokojobi, 15-6-2602. tanggal opisil kini, waktu saya menulis “Madilog’’. Dalam perhitungan “tuan’’ yang sekarang sedang jatuh dari tahta pemerintahan Indonesia itu bersamaan dengan Donderdag Juli 15, 1942. Murid bangsa Indonesia yang bersekolah Arab dekat tempat saya menulis ini, menarikkan pada hari kamis, bulan Radjab 30, 1362.
Semua itu memberi gambaran, bahwa Indonesia sebenarnya belum bertanggal berumur sendiri. Indonesia tulen belum timbul dari tenggelamnya berabad-abad itu.
11 Juli 1942 petang, saya sampai di Jakarta. Saya meninggalkan Telokbetong pada 7 Juli. Rupanya sama dengan tanggal Ir Sukarno meninggalkan Palembang. Tetapi ada perbedaan. Kapal yang saya tumpangi cuma perahu layar tak lebih dari 4 ton, tua dan bocor walaupun namanya merdu bunyinya "Sri Renyet’’. Perahu layar ini sama sekali menjadi permainan angin saja. Kalau angin dari belakang majulah dia. Kalau dari muka berlabuhlah dia, walaupun dekat karang, kalau dia tak mau dibalikkan kembali atau ditenggelamkan. Kapal Ir. Sukarno kabarnya ditarik oleh kapal motor Jepang. Sebab itu walaupun sama waktu berjalan dan saya dua kali lebih dekat dari Ir. Sukarno ke tempat yang dituju, saya dua kali selama dia di jalan baru sampai.
Ada lagi perbedaan. Walaupun pembuangan saya dua kali pula selama pembuangan Ir. Sukarno yang 10 tahun itu dan saya sebetulnya bukan dikembalikan dengan resmi, melainkan kembali sendiri saya belum boleh bekerja dengan terbuka. Sedangkan Ir. Sukarno sudah "diberi’’ izin buat membikin "propaganda’’. Dalam "Sinar Matahari’’ diterbitkan oleh Kepala Bagian Umum dari barisan propaganda Dai Nippon Palembang dalam No. 49, Kayobi atau Selasa, 23-6-2602, dalam artikel "Di Barisan Depan’’ tuan Sukarno menganjurkan pada Rakyat Indonesia bekerja bersama-sama sekuat-kuat tenaga dengan Dai Nippon. Sebab, hanya dengan bekerja bersama-sama dengan Nippon, kita akan dapat mencapai cita-cita kita Indonesia Raya dalam lingkungan Asia Raya’’. Senin 13 Juli (jangan takut sama angka 13), Ir. Sukarno berjabatan tangan dengan Drs. Muhammad Hatta pemimpin Nasionalis Indonesia yang setingkat tingginya dengan Ir. Sukarno sama-sama cerdik pandai, terpelajar, berani, tahan dan rela menderita kesukaran hidup, yakni sampai Jepang masuk.
Disamping gambar tertulis : “Ir. Sukarno dan Drs. Muhammad Hatta berjabatan tangan sebagai pengakuan bekerja bersama-sama guna masyarakat.”
Dengan hampa tangan saya cari tulisan kedua pemimpin tadi yang bersangkutan dengan persoalan. 1. bagaimana tata negara Asia Raya, 2. Bagaimana kedudukan Indonesia Raya dalam Asia Raya cetakan militer Jepang itu, 3. Bagaimana tata negara Indonesia Merdeka sendiri, 4, 5…………ad.infinitum, yakni tidak berhenti seterusnya …………Kesimpulan: kedua pemimpin nasionalis sudah mulai menjalankan cita-citanya, ialah di bawah ujung pedang Samurai.
Akhirnya perbedaan yang ketiga. Sedangkan kedua pemimpin tersebut disambut dengan kegirangan oleh pengikutnya secara resmi, seperti "bever’’ (berang-berang – catatan editor) yang terkenal tinggal di lubang yang dibikinnya di bawah air itu, saya masuk mesti memakai segala anggota keawasan, yang memang sudah terlatih dalam pelarian yang lebih dari 20 tahun lamanya. Apabila kelak sudah pasti bahwa golongan (klas) yang saya pertahankan selama ini boleh menjalankan haknya, maka barulah kelak saya akan meninggalkan "sarang’’.
Tetapi sarang sekarang memang lebih baik tempatnya dari yang sudah-sudah. Letaknya tidak lagi di Tiongkok atau di tepi tapal batas Jajahan Belanda, walaupun di Indonesia juga seperti 4 tahun yang lalu, tetapi di tengah-tengah Rakyat dan kaum yang sebentuk badan dan mukanya dengan saya dan yang lekas saya bisa mengerti perkataan dan tingkah lakunya. Tetangga saya tiada lagi cerewet mencampuri, siapa saya, dan dari mana saya datang sebab bentuk badan, muka dan bahasa semuanya sama………..
Dari sini saya bisa mempelajari sikap dan perbuatan tentara Jepang, serta sikap dan perbuatan pemimpin Indonesia Raya dalam lingkungan Asia raya. Tetapi saya tiada boleh mengharapkan lebih dari mempelajarinya saja.
Saya kenal Rakyat Jelata Jepang di masa damai. Mereka tahu membedakan yang buruk dengan yang baik tentang hal yang datang dari barat. Mereka bersifat berani dan berlaku ramah tamah terhadap bangsa lain. Tetapi tentara Jepang yang sekarang mengawasi musuh dengan pedang terhunus, dan sering hilang kesabaran terhadap kaum pekerja bangsa Indonesia, tiadalah satu organisasi yang patut diajak berembuk tentang politik yang berdasarkan ke-proletar-an.
Ketua Kota Jakarta (H. Dachlan Abdullah) ini duduk sebangku dengan saya, ketika belajar di Indonesia dan sering sekamar tidur dan makan di Indonesia dan Eropa. Drs Mohammad Hatta bukan asing buat saya. Saya belum bertemu muka dengan Ir. Sukarno. Tetapi perkataan simpati terhadap saya dulu banyak saya baca. Ketiganya mereka ada disini, dekat dan kalau saya menemui mereka, saya bisa ambil kembali uang saya yang dulu tersimpan dalam Bank Belanda (Javasche Bank) sebelum pergi keluar negeri. Saya bisa longgarkan kehidupan saya, dijumpai keluarga saya yang masih hidup dan cari kuburan ibu dan bapa yang keduanya meninggal di waktu saya bertualang. Tetapi tentu susah, mungkin mustahil buat saya melalui pagar Besi Dai Nippon berkeliling rumah mereka. Seandainya bisa, tentulah "sarang’’ saya tak akan aman lagi …………..
Begitulah iklim, suasana politik ketika saya mulai melahirkan "Madilog’’ di atas kertas. Saya berada di tengah-tengah rakyat Jelata Indonesia, dekat keluarga dan para sahabat. Tetapi keadaan dan paham saya memaksa saya tinggal sendiri di tengah-tengah masyarakat yang sering menyebut-nyebut nama, tetapi tak mengenal rupa saya.
Terbitlah mulanya pertanyaan dalam diri saya; buku manakah yang pertama mesti ditulis yang paling cocok dengan keadaan diri dan luar diri saya.
Ada tiga buku yang sudah bertahun-tahun saya kandung dalam fikiran, tetapi belum bisa dilahirkan.
1. Undang kaum Proletar berpikir, yang sekarang saya namai Madilog.
2. Federasi Aslia ialah potongan dari Asia-Australia, yakni Federasi dari segala Negara pada jembatan antara Asia dan Australia dengan kepalanya di Asia dan Australia.
3. Beberapa pengalaman saya yang boleh menjadi pengetahuan dan nasehat buat mereka yang suka menerima.
Dalam keadaan biasa, ketiganya boleh dicetak pada satu waktu, yaitu berdikit-dikit. Karena memang isinya sudang dikandung, Cuma belum diatur sebab waktu dan tempat selamanya ini tak mengijinkan buat melahirkan.
Dalam hal menghasilkan buah fikiran, kita juga berjumpa dengan soal-soal seperti yang dijumpai kalau orang menghasilkan barang dagangan. Orang tidak saja mesti memikirkan perkara belanja (ongkos) buat menghasilkan, tetapi juga perkara permintaan orang ramai (demand). Ongkos boleh saya cari. Di Tiongkok saya mempunyai pencaharian sendiri. Ketika kapal terbang Jepang sampai di Amoy penghabisan bulan Agustus 1937, saya mesti tinggalkan "School of Foreign Languages’’ yang saya dirikan sendiri, yang pesat majunya itu. Saya mesti pindah ke Selatan, terutama sebab semua murid saya lari dan penduduk Amoy cerai-berai.
Di Singapura dalam masyarakat Tionghoa dengan nama dan pasport Tionghoa (sudah tentu di luar pengetahuan Inggris yang asik mencium jejak saya), saya beruntung bisa memanjat dari sekolah rendah sampai kepala sekolah menengah tinggi yang tertinggi di Asia Selatan, yaitu Nanyang Chinese Normal School (NCNS). Disini saya menyamar sebagai Tan Ho Seng jadi guru bahasa Inggris, sampai sekolahnya ditutup ketika Jepang masuk. Jadi kalau perkara ongkos saja saya dapat mencetak buku-buku yang perlu. Pendapatan (uang) saya sebagai guru inggris siang dan malam lebih dari cukup buat diri sendiri.
Tetapi perkara pembagian ada lain hal. Ini rapat bergantung pada kekuatan di luar diri saya.
Walaupun dari tahun 1925-1935 otak saya seolah-olah lumpuh, karena kesehatan sangat terganggu, tetapi karena permintaan ramai ada keras, saya, dalam kesehatan dan keamanan hidup amat terganggu dan terpaksa saja lari kesana-sini, bisa juga mencetakkan "Naar de Republiek Indonesia’’, "Massa Aksi’’ dan "Semangat Muda’’. Semuanya perlu buat nasehat para pergerakan di Indonesia.
Sukarnya perhubungan dan jauh tempat saya, maka sedikit sekali buku-buku itu sampai di tangan yang mempertanggung jawabkan di Indonesia. Barangkali 99 % dari semua buku tersebut masih cerai berai atau lapuk di luar Indonesia. Tetapi di mana sampai, hasilnya ada juga menyenangkan.
Demikianlah sesudah saya sendiri ditangkap di Hongkong pada penghabisan tahun 1932 – inilah yang ke-3 kali – dan semua teman seperjuangan ditangkap di Singapura dan di-Digulkan (diasingkan – catatat editor) maka perhubungan saya dengan sahabat dan teman seperjuangan di semua tempat sama sekali terputus. Beberapa kali saya coba mengadakan perhubungan dengan Rakyat Indonesia dari Singapura, tetapi semuanya itu gagal. Di Singapura dari tahun 1937 sampai 1942 saya saksikan dan sedihi bagaimana besarnya kesukaran yang dihadapai oleh Rakyat dan proletar dalam hal mendirikan susunan politik, terlebih-lebih pula dalam hal mengatur susunan tersembunyi. Jauh terbelakangnya Indonesia dalam hal mengatur susunan tersembunyi dari Tiongkok umpamanya.
Saya percaya permintaan kepada buku-buku ada cukup keras serta nafsu dan keberanian buat mencari atau membagikan buku-buku terlarang cukup besar, tetapi Rakyat Indonesia belum lagi sanggup mengatasi tamparan reaksi Belanda. Percumalah kalau buku itu dicetak, walaupun semua alat pencetak dan ongkos bisa didapat. Berhubung dengan itu terpaksalah saya mengundurkan maksud saya, bertahun-tahun sampai sekarang.
Banyak Proletar mesin (baca buruh industri – catatan editor) dan tanah (baca buruh pertanian – catatan editor) di Indonesia dan kekuatannya yang tersembunyi memang sudah cukup kuat buat merebut kekuasaan dari imperialisme Belanda. Tetapi didikannya masih sangat tipis dan tiada cocok dengan keperluan dan kewajiban klasnya di hari depan. Mereka kekurangan pandangan dunia (Weltanschauung). Kekurangan Filsafat. Mereka masih tebal diselimuti ilmu buat akhirat dan tahyul campur aduk. Mereka tiada sadar akan kekuasaan klasnya. Belum insyaf sendiri, bahwa tak dengan pertolongan proletar mesin, semuanya percobaan buat merebut dan membentuk Indonesia merdeka adalah perbuatan sia-sia belaka. Dua puluh tahun dulu saya sudah yakin akan kekuatan kaum proletar yang tersembunyi itu. Kini tiada kurang malah lebih yakin dari itu.
Filsafat kaum proletar memang sudah ada, yaitu di barat. Tetapi dengan menyalin semua buku dialektis-materialisme dan menyorongkan buku-buku itu pada proletar Indonesia kita tiada akan dapat hasil yang menyenangkan. Saya pikir otak proletar mesin Indoensia tak bisa mencernakan paham yang berurat dan tumbuh pada masyarakat Indonesia dalam hal iklim, sejarah, keadaan jiwa dan idamannya.
Proletar Indonesia mesti setidaknya dalam permulaan ini, mempunyai pembacaan yang berhubungan dengan pahamnya sekarang, pembacaan yang kelak bisa menjadi jembatan kepada filsafatnya Proletar Barat.
Saya percaya ada otak di Indonesia sekarang yang lebih terlatih dari saya dan pena yang lebih tajam dari pena yang berkarat, karena tiada dipakai lebih dari 10 tahun belakangan ini. Akhirnya ada ahli bahasa Indonesia yang bisa lebih tangkas merebut jiwa dan semangat Indonesia dari bahasa saya yang terpendam di luar negeri dalam lebih dari setengah umur saya.
Tetapi karena otak, pena dan bahasa semacam itu saya belum lihat keluarnya, maka terpaksalah saya mempelopori. Tentulah saya berharap akan hati lapang dan sikap menolong memperbaiki dari pihak umum, kalau berjumpa dengan kesalahan.
PERPUSTAKAAN
Kita masih ingat berapa sindiran dihadapkan pada almarhum Leon Trotsky, karena ia membawa buku berpeti-peti ke tempat pembuangan yang pertama di Alma Ata. Saya masih belum lupa akan beberapa tulisan yang berhubungan dengan peti-peti buku yang mengiringi Drs. Mohammad Hatta ke tempat pembuangannya. Sesungguhnya saya maklumi sikap kedua pemimpin tersebut dan sebetulnya saya banyak menyesal karena tiada bisa berbuat begitu dan selalu gagal kalau mencoba berbuat begitu.
Bagi seseroang yang hidup dalam pikiran yang mesti disebarkan, baik dengan pena maupun dengan mulut, perlulah pustaka yang cukup. Seorang tukang tak akan bisa membikin gedung, kalau alatnya seperti semen, batu tembok dan lain-lain tidak ada. Seorang pengarang atau ahli pidato, perlu akan catatan dari buku musuh, kawan ataupun guru. Catatan yang sempurna dan jitu bisa menaklukan musuh secepat kilat dan bisa merebut permufakatan dan kepercayaan yang bersimpati sepenuh-penuhnya. Baik dalam polemik, perang-pena, baik dalam propaganda, maka catatan itu adalah barang yang tiada bisa ketinggalan, seperti semen dan batu tembok buat membikin gedung. Selainnya dari pada buat dipakai sebagai barang bahan ini, buku-buku yang berarti tentulah besar faedahnya buat pengetahuan dalam arti umumnya.
Ketka saya menjalankan pembuangan yang pertama, yaitu dari Indonesia, pada 22 Maret 1922, saya cukup diiringi oleh buku, walaupun tiada lebih dari satu peti besar. Disini ada buku-buku agama, Qur’an dan Kitab Suci Kristen, Budhisme, Confusianisme, Darwinisme, perkara ekonomi yang berdasar liberal, sosialistis, atau komunistis, perkara politik juga dari liberalisme sampai ke komunisme, buku-buku riwayat Dunia dan buku sekolah dari ilmu berhitung sampai ilmu mendidik. Pustaka yang begitu lama jadi kawan dan pendidik terpaksa saya tinggalkan di Nederland karena ketika saya pergi ke Moskow saya mesti melalui Polandia yang bermusuhan dengan Komunisme. Dari beberapa catatan nama buku di atas, orang bisa tahu kemana condongnya pikiran saya.
Di Moskow saya cocokkan pengetahuan saya tentang komunisme. Dalam waktu 8 bulan disini saya sedikit sekali membaca, tetapi banyak mempelajari pelaksanaan komunisme dalam semua hal dengan memperhatikan segala perbuatan pemerintah komunis Rusia baik politik ataupun ekonomi, didikan ataupun kebudayaan dan dengan percakapan serta pergaulan dengan bermacam-macam golongan. Disini saya juga banyak menulis perkara Indonesia buat laporan Komintern. Ketika saya meninggalkan Rusia, memang saya tiada membawa buku apapun, sedang buku peringatanpun tidak. Pemeriksaan di batas meninggalkan Rusia keras sekali.
Tetapi sampai di Tiongkok dan kemudian di Indonesia, saya dengan giat mengumpulkan buku-buku yang berhubung dengan ekonomi, politik, sejarah, ilmu pengetahuan, science (sajans), buku-buku baru yang berdasar sosialisme dan komunisme. Mengunjungi toko buku adalah pekerjaan yang tetap dan dengan giat saya jalankan. Nafsu membeli buku baru, lebih-lebih yang berhubungan dengan ekonomi Asia, membikin kantong saya seperti boneka yang tiada berdaya apa-apa. Tetapi tiada banyak bahagia yang saya peroleh. Sebab kelumpuhan otak seperti saya sebutkan di atas, maka tak lebih dari satu jam sehari saya bisa membaca buku bertimbun-timbun itu. Saya terpaksa menunggu sampai kesehatan membenarkan, tetapi rupanya pustaka tak bisa mengawani saya.
Pada perang Jepang – Tiongkok di Shanghai penghabisan tahun 1937, tiga hari lamanya saya terkepung di belakang jalan bernama "North Su Chuan Road’’, tepat di tempat peperangan pertama meletus. Dari North Su Chuan Road tadi Jepang menembak kearah Pao Shan Road dan tentara Tiongkok dari sebaliknya. Di antaranya di kampung Wang Pan Cho saya dengan pustaka saya terpaku. Sesudah dua atau tiga hari tentara Jepang memberi izin kepada kampung tempat saya tinggal berpindah rumah, pergi ke tempat yang lebih aman dalam waktu 5 menit saja. Saya turut pindah tergopoh-gopoh. Tentulah pustaka saya mesti tinggal. Ketika saya kunjungi rumah saya sesudah habis perang yakni sesudah sebulan lamanya, maka sehelai kertaspun tak ada yang tinggal. Begitulah rapinya "lalilong’’ alias tukang copet bekerja. Hal ini tidak membikin saya putus asa. Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.
Sampai saya ditangkap di Hongkong pada 10-10-1932, saya sudah punya satu peti pula. Sesudah dua bulan di dalam penjara, saya dilepaskan buat dipermainkan seperti kucing mempermainkan tikus. Maka dekat Amoy, saya bisa melepaskan diri. Tetapi dengan melepaskan pustaka saya sendiri. Pustaka saya, tanpa saya, berlayar menuju ke Foechow. Saya terlepas dari bahaya, tetapi juga terlepas dari pustaka. Saya berhasil menyamar masuk ke Amoy dan terus ke daerah dalam Hok Kian tiga-empat-tahun lamanya, terputus dengan dunia luar sama sekali, beristirahat, berobat sampai sembuh sama sekali.
Pustaka baru yang saya kumpulkan di Amoy dari tahun 1936 sampai 1937, juga sekarang, juga sekarang terpendam disana, ketika tentara Jepang masuk pada tahun 1937. Malah dua tiga buku-buku peringatan yang penting sekali yang bahannya diperoleh dengan mata sendiri, ialah: catatan penting, buat buku-buku yang sekarang saya mau tulis, mesti saya lemparkan ke laut dekat Merqui, sebelum sampai di Ranggoon.
Putusan bercerai dengan dua buku catatan itu diambil dengan duka cita sekali. Tetapi putusan itu belakangan ternyata benar. Duanne Ranggoon memeriksa buku-buku saya yang masih ada dalam peti seperti "English Dictionary’’ dengan teliti sekali, malah kulitnya diselidiki betul-betul. Kantongpun tak aman. Di antara Merqui dan Ranggoon di pantai laut, disanalah terletak beberapa buku peringatan cukup dengan rancangan, catatan dan suggesti atau nasehat buat pekerjaan sekarang.
Dalam permulaan 3 tahun di Singapura saya amat miskin sekali. Gaji yang diperoleh sedikit sekali - enam setengah rupiah sebulan. Dengan tak ada diploma-Singapura, tak lahir di Singapura, memakai pasport Tiongkok, walaupun bisa bercakap Tionghoa, tetapi tiada bisa membaca huruf Tionghoa susah mendapat kerja yang berhasil besar pada perusahaan Tionghoa. Susah pula mendapat izin mengajar bahasa Inggris dari tuan Inspektur, sedangkan masyarakat Indonesia tak berarti sama sekali di bekas kota "Tumasek’’ (nama Singapura sekarang di Jaman Majapahit) Ini uang buat makan secukupnya saja, pakaian jangan disebut lagi. Masuk jadi anggota pustaka (Library) tiada mampu. Disini pengetahuan saya walaupun kesehatan sempurna kembali, cuma bisa ditambah dengan isi surat kabar, dan pengamatan mata dan telinga sendiri. Tetapi lama kelamaan atas usaha sendiri saya mendapatkan pekerjaan dan hasil pekerjaan yang baik sekali.
Seperti saya sebut diatas, akhirnya saya dapat bekerja pada sekolah Normal Tinggi (Nanyang Chinese Normal School) sebagai guru Inggris dan belakangan juga sebagai guru Matematika dalam dan luar sekolah tersebut. Saya mulai kumpulkan catatan buat buku-buku yang mau saya tulis sekarang. Rafles Library memberi kesempatan dan minat yang besar. Buku yang paling belakang saya pinjam ialah Capital, Karl Marx. Tetapi armada udara Jepang tak berhenti datangnya hari-hari. Sebentar-sebentar saya mesti lari sembunyi. Cuma dalam lubang perlindungan saya bisa baca Capital, buat mengumpulkan bahan yang sebenarnya saya ulangi membacanya. Sampai 15 Febuari 1942 saya masih pegang Capital itu dengan beberapa catatan. Tetapi sesudah Singapura menyerah, semua penduduk laki-perempuan, tua-muda dihalaukan dengan pedang terhunus kiri-kanan, dengan ancaman tak putus-putusnya menuju ke satu lapangan. Disini ratusan penduduk Tionghoa ditahan satu hari buat diperiksa. Disini saya juga turut menghadapi senapan mesin. Di belakang hari kami mendengar bahwa maksud tentara jepang yang bermula ialah memusnahkan semua penduduk Tionghoa yang ada di Singapura. Tetapi dibatalkan oleh pihak Jepang yang masih mempunyai pikiran sehat dan rasa tanggung jawab terhadap dunia lainnya.
Sebelum kami dikirim ke padang tersebut, saya sudah maklum bahwa tak ada pelosok rumah atau halaman rumah yang mesti kami tinggalkan selama pemeriksaan diri dijalankan, yang kelak akan dilupakan oleh Kempei Jepang. Sepeninggalan kami rumah tempat saya tinggal diperiksa habis-habisan. Barang berharga habis di copet.
Sebelum meninggalkan rumah menuju ke lapangan pemeriksaan saya beruntung mendapat kesempatan menyembunyikan buku Capital ke dalam air. Di "upper Seranggoon Road’’ di muka rumah tuan Tan Kin Tjan, disanalah sekarang di dalam tebat (empang) bersemayam buku Capital terjemahan "Das Kapital’’ ke bahasa Inggris, pinjaman saya, Tan Ho Seng, dari Raffles Library di Singapura.
Sesudah dua atau tiga minggu Singapura menyerah, saya coba dengan perahu menyebrang ke Sumatra, tetapi gagal karena angin sakal. Saya terpaksa mengambil jalan Penang-Medan. Hampir dua bulan saya di jalan antara Singapura dengan Jakarta, melalui semenanjung Malaka, Penang, selat Malaka (perahu layar) Medan, Padang, Lampung, selat Sunda (perahu) dan Jakarta. Di jalan saya bisa beli buku karangan Indonesia. Di antaranya Sejarah Indonesia, yang mesti saya sembunyikan pula baik-baik, sebab dalamnya ada potret saya sendiri.
Inilah pustaka saya dulu dan sekarang. Ada niatan buat membeli sekarang, tetapi banyak keberatan. Pertama uang, kemudian banyak buku mesti datang dari luar negeri, dan ketiga dari pada dicatat dari satu atau dua buku lebih baik jangan dicatat atau catat dari luar buku ialah ingatan sama sekali, seperti maksud saya tentang Madilog ini. Biasanya buku-buku reference yang dipetik, atau pustaka itu ditulis di bawah pendahuluan. Biasanya diberi daftar pustaka yang dibaca oleh pengarang. Tetapi dalam hal saya, dimana perpustakaan tak bisa dibawa, saya minta maaf untuk menulis pasal terkhusus tentang perpustakaan itu.
Dengan ini saya mau singkirkan semua persangkaan bahwa buku Madilog ini semata-mata terbit dari otak saya sendiri. Sudah tentu seorang pengarang atau penulis manapun juga dan berapapun juga adalah murid dari pemikir lain dari dalam masyarakatnya sendiri atau masyarakat lain. Sedikitnya ia dipengaruhi oleh guru, kawan sepaham, bahkan oleh musuhnya sendiri.
Ada lagi! Walaupun saya tidak akan dan tidak bisa mencatat dengan persis dan cukup, perkataan, kalimat, halaman dan nama bukunya, pikiran orang lain yang akan dikemukakan, saya pikir tiada jauh berbeda maknanya dari pada yang akan saya kemukakan.
Al Gazali pemikir dan pembentuk Islam, kalau saya tiada keliru pada satu ketika kena samun. Penyamun juga rampas semua bukunya. Sesudah itu Al Gazali memasukan semua isi bukunya ke dalam otaknya dengan mengapalkannya. Bahagia (gunanya) mengapal itu buat Al Gazali, sekarang sudah terang sekali kepada kita.
Pada masa kecil memang saya juga mengapal, tetapi bukan dalam bahasa ibu, melainkan dalam bahasa Arab dan Belanda. Tetapi ketika sudah sedikit berakal, saya sesali dan saya bantah kebisaan saya itu. Pada ketika itu saya sadar, bahwa kebiasaan mengapal itu tiada menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin. Yang saya ingat bukan lagi arti sesuatu kalimat, melainkan bunyinya atau halaman buku, dimana kalimat tadi tertulis. Pula kalau pelajaran itu terlalu banyak, sudahlah tentu tak bisa diapalkan lagi. Tetapi saya juga mengerti gunanya pengetahuan yang selalu ada dalam otak. Begitulah saya ambil jalan tengah: padu yang baik dari kedua pihak.
Apalkan, ya, apalkan, tetapi perkara barang yang sudah saya mengerti betul, saya apalkan kependekan "intinya’’ saja. Pada masa itulah di sekolah Raja Bukit Tinggi, saya sudah lama membikin dan menyimpan dalam otak, perkataan yang tidak berarti buat orang lain, tetapi penuh dengan pengetahuan buat saya.
Buat keringkasaan uraian ini, maka perkataan yang bukan perkataan ini, saya namakan "jembatan kedelai’’ (ezelbruggece) walaupun tidak sama dengan ezelbruggece yang terkenal. Buat menjawab pertanyaan siapa yang akan menang di antara dua negara umpamanya, saya pakai jembatan keledai saya : "AFIAGUMMI’’.
A huruf yang pertama mengandung perkataan Inggris, ialah (A)rmament. Artinya ini kekuatan udara kekuatan darat, dan laut. Masing-masing tentu mempunyai cerita sendiri dan A huruf pertama itu bisa membawa "jembatan keledai’’ yang lain seperti ALS, ialah susunan huruf pada perkataan (A)ir (udara), (L)and (darat) dan (S)ea (laut) forces (tentara). Sesudah dibandingkan perkara Armament diantara kedua negeri itu, maka harus diuji perkara yang kedua, yakni Finance, terpotong oleh huruf "F’’. keuangan dsb.
Demikianlah "jembatan keledai’’ AFIAGUMMI ini saja boleh jadi meminta seperempat atau setengah brosure kalau dituliskan. Dalam ekonomi, politik, muslihat perang, science dan sebagainya saya ada menyimpan "jembatan keledai. Kalau buku penting yang saya baca ada dalam bahasa Inggris, maka "jembatan keledai’’ saya, susunannya tentu dari permulaan atau sebagian perkataan inggris.
Kalau tidak beratus, niscaya berpuluh ada "jembatan keledai’’ di dalam kepala saya. "ONIFMAABYCI AIUDGALOG’’ yang berbunyi bahasa Sanskreta, bukanlah bahasa Sanskreta atau bahasa Hindu, melainkan teori ekonomi yang bertentangan dengan teori ekonomi Mahatma Gandhi.
Kalau badan saya ada sehat, maka perkataan guru itu biasanya mudah saya tangkap. Isinya saya ternakkan dan masukkan ke dalam "jembatan keledai’’. Kalau kertas atau buku peringatan saya umpamanya dibeslah (disita – catatan editor) di Manila atau Hongkong oleh polisi, maka hal itu tiada berarti dia tahu membaca perkataan itu, malah sudah pernah menjadikan mereka pusing kepala berhari-hari, mengira yang tidak-tidak.
Dalam buku yang akan ditulis di belakang hari (kalau umur panjang!) saya kelak bisa meneruskan cerita "jembatan keledai’’ saya ini. Saya angap "jembatan keledai’’ itu penting sekali buat pelajar di sekolah dan paling penting buat seseorang pemberontak pelarian-pelarian. Bukankah seseorang pelarian politik itu mesti ringan bebannya, seringan-ringannya? Ia tak boleh diberatkan oleh benda yang lahir, seperti buku ataupun pakaian. Hatinya terutama tak boleh diikat oleh anak isteri, keluarga serta handai tolan. Dia haruslah bersikap dan bertindak sebagai "marsuse’’ (angkatan militer siap gempur – catatan editor) yang setiap detik siap sedia buat berangkat, meninggalkan apa yang bisa mengikat dirinya lahir dan batin.
Ringkasnya walaupun saya tiada berpustaka, walaupun buku-buku saya terlantar cerai-berai dan lapuk atau hilang di Eropa, Tiongkok, Lautan Hindia atau dalam tebat di muka rumah tuan Tan King Cang di Upper Seranggoon Road, Singapura, bukanlah artinya itu saya kehilangan "isinya’’ buku-buku yang berarti.
Tetapi barang yang lama itu tentu boleh jadi rusak. Catatan atau makna yang saya kemukakan dari pikiran orang lain boleh jadi tiada cukup atau bertukar arti. Dalam hal ini sekali lagi saya minta maaf dan simpati.
INGATAN
Kitab ini adalah bentuk dari paham yang sudah bertahun-tahun tersimpan di dalam pikiran saya, dalam kehidupan yang bergelora. Disinilah dikerangkakan arti dan daerahnya materialisme, arti dan daerahnya dialektika, serta arti dan daerahnya Logika. Selain dari pada itu, akan dijelaskan pula seluk-beluk dan kena-mengenanya materialisme, dialektika dan logika, satu sama lainnya.
Baikpun materialisme ataupun dialektika, bahkan juga logika, masing-masing mempunyai lapangan dan tafsiran berjenis-jenis. Materialisme itu bisa ditafsirkan dengan cara yang mekanis secara mesin mati atau kematian mesin. Malah kaum mistika, kaum gaibpun bisa mempergunakan materialisme itu, buat memperlihatkan keulungan-sulapnya atau sulap-keulungannya.
Dialektika yang berdasarkan pikiran dan kegaiban, yang pada Hegelisme melambung sampai ke puncak, masih terus menerus dipakai sebagai perkakas buat meluhurkan rohani dan merohanikan keluhuran. Pemikir borjuis dan pemikir feodal bergantung pada dialektika mistika itu seperti seekor semut hanyut bergantung pada sepotong rumput yang diayun-ayunkan gelombang.
Logika memuncak pada ilmu bukti (Science) zaman sekarang dengan berjenis-jenis cabangnya ilmu itu. Hasilnya berjenis-jenis ilmu itu meulungkan dan menunggalkan kemanjurannya logika sebagai cara berpikir. Dengan begitu logika menyilaukan mata para pemakai penonton logika itu serta melupakan batas dan kelemahannya logika itu.
Sebaliknya pula beberapa kitab yang berdasarkan materialisme dialektika di Eropa dalam keadaan menantang logika itu, lupa akan atau sedikit sekali memperhatikan kepentingan logika itu. Buat Timur umumnya dan Indonesia khususnya, yang sampai pada saat saya menulis kitab ini, masih gelap gulita, diselimuti macam-macam ilmu kegaiban, maka logika itu masih barang baru, hangat perlu diketahui dan dipahamkan bersama-sama dengan dialektika dan materialisme.
Tetapi jangan pula kita sesat karena me-ulung logika dan menunggalkan logika itu dengan tidak mengenal batas dan kelemahannya. Dalam kita ini logika dibentuk di dalam iklim dialektik! keduanya, logika dan dialektika bergantung pada materialisme. Sebaliknya pula materialisme ini bersangkut paut dengan logika dan dialektika, seperti: materi, benda itu mempunyai sifat bergerak dan berhenti, takluk pada hukumnya gerakan, yakni dialektika, serta hukum berhenti, yakni logika.
Sampai lebih dari pertengahan kitab ini, sampai kira-kira ke ujung bahagian logika, satu bukupun, buat reference – catatan - tiada dipakai, karena memang tidak ada. Semua catatan dipetik dari ingatan semata-mata. Di belakangnya saya mendapatkan bermacam-macam buku yang perlu buat dipetik, dari peringatan tadi, bukunya tiada terdapat di seluruh Jakarta. Bermula saya sandarkan seluruh isi kitab ini pada ingatan jembatan keledai semata-mata, karena memang saya tiada berjumpa dengan buku yang berkenaan. Tetapi sesudah lebih dari seperdua buku ditulis, saya mendapatkan bahan tulisan yang bisa diperiksa benar tidaknya sewaktu-waktu, yang bisa dipanjangkan atau dipendekkan menurut pilihan.
Dengan berlainnya keadaan memilih dan menguji bahan itu sudahlah tentu isi seluruh buku bukan sifatnya, melainkan bentuknya saja tidaklah lagi seimbang, harmonis dan tiada lagi sesuara. Walaupun saya mau merubah, saya tiada berdaya, karena bermacam-macam buku buat bahan dari bahagian pertama itu, memang tiada bisa didapatkan. Saya mesti menunggu sampai perang selesai, baru bisa didapatkan beberapa buku itu …….yaitu kalau ada bahan penting pula fulus.
Tetapi kalau Madilog masih kekurangan bentuk, saya pikir dia tidak kekurangan sifat.
MENINJAU KE MUKA
Baru saya sampai di Jakarta, masuki sebuah toko buku Belanda salah satu toko buku yang terbesar di Asia Timur ini. Saya mau beli sebuah buku tentang logika. Di kota besar mana saja di Asia Timur ini. Di Shanghai atau Manila, Hongkong atau Singapura, gampang sekali kita dapatkan buku semacam itu. Di toko buku tuapun tak perlu lama kita mencari buku logika karangan Jevons atau Mill (Inggris) atau pun Jones (Amerika) dsb-nya. Di Jerman, lebih-lebih rusia, mudah sekali mendapatkan buku perkara dialektika.
Tetapi dalam toko buku Belanda di ibu kota "Hindia Belanda’’ yang berpenduduk 70.000.000 jiwa itu, tak ada satupun buku (popular atau tidak) perkara undang berpikir, logika. Apalagi dalam toko-toko yang lebih kecil! Satu gambar dari semangatnya suatu negara yang hanya menghasilkan keju dan bloembollen itu, tetapi terkaya di dunia. Saya percaya bahwa dalam sekolah tinggi di Belanda dan di Indonesia ada terkhusus atau tersambil diajarkan logika. Tetapi saya pikir saya tak jauh dari kebenaran kalau berkata bahwa English speaking nations (bangsa-bangsa yang berbicara bahasa Inggris terutama Amerika) lebih mementingkan didikan buat rakyat murba, buat pemuda yang berotak, tetapi tak mampu, baik dengan jalan Sekolah Tinggi Rakyat ataupun kursus dan buku popular. Salah satu sifat rakyat Belanda yang terlihat pada saya adalah sifat demogogisch, ialah sifat berkilah, sifat suka mempertentangkan perkara kecil-kecil dengan melupakan pokok yang besar. Tiada heran kalau negara kecil berpenduduk kira-kira seperdua puluh dari Amerika dan berkeluasan sepertiga ratus tujuh puluh lima (1/375) dari Amerika mempunyai partai politik lima puluh dua buah (menurut berita seorang jurnalis Inggeris yang berada di Holland ketika diserang oleh Jerman (10-5-1940), jadi kira-kira 17 kali sebanyak partai yang ikut dalam pemilihan di Amerika. Menurut ukuran Belanda, Amerika itu mestinya mempunyai lebih kurang 1040 partai, baru ia bsia menyamai Belanda dalam hal percekcokan perkara tetek benger. Logika, apalagi dialektika, bukanlah ilmu yang dipopulerkan, dijadikan ilmu umum, dimana raja minyak (Colyn) dan raja tembakau (Cremer) bersimaharajarela.
Sudah bertahun-tahun saya tak punya buku, tak ada salahnya buat saya sekarang, sebelum menulis buku "Madilog’’ ini, sebentar mengincarkan mata pada daftar, isi dan halaman buku-buku yang mengandung dialektika dan logika. Tetapi sebab toko buku yang terbesar di Asia Timur dan toko-toko buku nyamuk di Jakarta tak punya satupun buku perkara itu saya sama sekali disesakkan kepada "Jembatan keledai’’ yang tersimpan dalam otak saya. Sekali lagi maaf ! Tetapi perlu pula dicatat disini dalam bibliotheek Bataviase Genootshap, sesudah hampir habis "Madilog’’ ditulis berjumpa juga dengan beberapa buku tentang logika dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman dan Perancis.
MADILOG, ialah paduan dari permulaan suku kata : (MA)-TTER, (DI)-ALECTICA dan (LOG)-ICA "Mater’’ saya terjemahkan dengan "benda’’,dialektika dengan pertentangan atau pergerakan dan logika dengan undang berpikir. Paduan dalam bahasa Indonesia tiadalah begitu enak didengar dan tiada pula membuka pikiran baru seperti "jembatan keledai’’ saya. Sebab segala kata di atas sudah begitu umum dalam bahasa negara besar-besar di Eropa, walaupun bahasa cangkokan dari bahasa Latin dan Yunani, maka tiadalah perlu kita segan mencangkok kata itu ke dalam bahasa kita.
"Madilog’’ saya maksudkan terutama ialah cara berpikir. Bukanlah suatu Waltanschauung, pemandangan dunia walaupun cara berpikir dan pemandangan dunia atau filsafat adalah seperti tangga dengan rumah, yakni rapat sekali. Dari cara orang berpikir itu kita dapat duga filsafatnya dan dari filsafatnya kita dapat tahu dengan cara dengan methode apa dia sampai ke filsafat itu.
Murid yang cerdik juga insyaf, bahwa kalau dia sudah tahu satu cara, satu undang, satu kunci buat menyelesaikan satu golongan persoalan, maka tiadalah ia mengapal berpuluh-puluh persoalan atau jawabannya puluhan atau ratusan persoalan itu, tetapi dia pegang cara atau kuncinya persoalan tadi saja.

Kebanyakan persoalan bisa diselesaikan dengan logika, undang berpikir saja. Dalam kehidupan kita sehari-hari yang berhubungan dengan makan minum, pulang pergi, jual beli dan 1001 perkara berhubung dengan pergaulan kita dengan sahabat, anak dan istri, tiadalah kita dipusingkan oleh dialektika.
Kenyang tiadalah mengandung arti lapar, seperti menurut dialektika. Kalau si anak menangis, si ibu memberikan air teteknya dengan segera. Dia tiadalah pikirkan lebih dahulu bahwa pengertian menangis itu mengandung pengertian tertawa, dan lapar itu ada terkandung pengertian kenyang. Yang satu sama lainnya tiada boleh dipisahkan, seperti dalam cara berpikir yang berdasarkan dialektika.
Dalam sekolah rendah atau menengahpun kita berkali-kali bertarung pada cara berpikir yang berdasarkan logika. Hitungan yang kita mesti jalankan, pengalaman, experimenten, dalam ilmu alam dan ilmu pisah yang sang guru lakukan di depan kita, semuanya mengandung logika. Walaupun dalam dialektika pada satu saat uap itu sama dengan air jadi tiada berpisah melainkan berpadi, jadi air sama dengan uap tiadalah kita mengadakan perhitungan atas dasar dialektika ini. Air tetap air buat kita dan mempunyai sifat air, bukan uap yang mempunyai sifat uap pula.
Tetapi kalau kita mengaji lebih dalam, kalau kita mengaji ada atau tak-adanya barang, mengaji seluk-beluk, asal dan akibatnya sesuatu barang, tegasnya kalau kita tenggelam dalam ombak gelora filsafat, ke dalam persoalan yang berhubungan dengan alam, masyarakat politik, yang hilang atau timbul, bergerak dan berhenti, pada waktu yang singkat atau lama, pada perkara yang berseluk-beluk, maka kita tiada bisa sampai ke ujung dengan perkakas logika semata-mata. Kita mesti memakai dialektika. Malah dialektikalah yang terutama.
Ahli filsafat yang jawa, ahli politik atau ahli siasat yang cerdas ahli ekonomi yang sempurna, mesti memakai senjata-pertentangan, seperti senjata dalam pepatah Indonesia: yang tajam balik bertimbal, kalau tak ujung pangkal mengena. Ahli filsafat mesti selalu berjalan di antara kedua kutub, utara dan selatan, ujung dan pangkal, ya dan tidak, ada dan tak-ada. Sebentar dia bisa cemplungkan otaknya ke dalam ada, sebentar lagi ke dalam tak ada, dan pada tempat masing-masing memakai logika, tetapi pada pemandangan jauh mempunyai waktu lama, dia mesti pikirkan ada itu terletak di kutub tak-ada, tak boleh bercerai satu sama lainnya.
Si-ekonomis dan ahli politik, sebentar boleh memakai Logika, dalam menyelidiki beberapa perkara dalam golongan proletar atau kapitalis, tetapi dalam filsafat masyarakat sekarang, masyarakat kapitalisme, dia tidak boleh melupakan kedua kutub, kaum modal dikutub utara, kaum buruh di kutub selatan. Satu sama lain bertentangan, tak boleh dipadu. Disini dialektika yang merajalela.
Tetapi sebelum kita memilih cara berpikir mana yang terutama kita pakai, dialektika-kah atau logika-kah, maka haruslah lebih dahulu kita bertanya kepada diri sendiri, apakah persoalan itu berdasarkan matter, benda ataukah idea, bayangan pikiran semata-mata, roh semata-mata.
Kalau persoalan itu berdasar atas benda, barang yang nyata yang bisa diperiksa dengan panca indera anggota yang lima, boleh diperalamkan, diexperimentkan, barulah persoalan itu kita taruh di bawah pemeriksaan kita. Segala bukti yang nyata yang bisa diperalamkan itulah yang akan menjadi premisses, menjadi lantainya undang atau paham yang kita cari itu.
Sebab itulah kita namakan Madilog karena berdasarkan matter, benda. Dari penjuru matter inilah kita memandang. Inilah buat kita yang jadi lantai, yang menjadi tingkat pertama dalam sesuatu penyelidikan. Boleh jadi resultant atau hasil penyelidikan itu tiada mencukupi atau salah sama sekali. Tetapi hal ini tidak disebabkan salahnya cara berfikir. Boleh jadi kepala kita sedang pusing atau bukti belum semuanya terkumpul atau akhirnya kita salah memakai cara tadi.
Sudah lazim kita dengar dialektika-materialisme atau historisch-materialisme. Perkataan ini memang cukup tangkas dan selalu dipakai dalam kalangan Marxisten tetapi nama ini lahir di dunia barat di antara Marxisten di masa kebanyakan logika, buat menentang sikap yang terlampau banyak mengutamakan logika. Kita yang lahir di dunia mistika, mistika Hindu pula, mistika yang tak gampang dikikis, di cuci bersih, maka sebagai tongkat pertama dalam dunia berpikir, perlulah kita sekadarnya memajukan logika. Di antara ahli pikir borjuis barat ada yang menyanggah nama dialektika materialisme dan memajukan kritis-materialisme, ialah logisch-materialisme, tetapi nama ini sama sekali melenyapkan dialektika, jadi bertentangan dengan Madilog.
Walaupun dalam bagian badan kita, otak kita itu adalah barang yang perlu dan penting, hati, jantung, usus, dsb juga penting, tetapi kalau tak-bertulang belakang kita tak bisa berdiri. Klas tani itu penting, klas saudagar di dunia sekarang berguna, klas intelek berguna-penting, tetapi tak-ber-klas pekerja-mesin, Indonesia merdeka pasti tak akan bisa berdiri dan kalau berdiri tak akan bisa teguh dan lama.
Beginilah paham saya sebelum dibuang keluar Negara lebih dari 20 tahun yang lampau. Di bawah bendera Dai Nippon paham itu tak bertambah lemah, malah sebaliknya bertambah kuat. Perjuangan nasionalis setelah robohnya PKI (1927), yang dipimpin oleh kaum intelek sudah lebih dari pada cukup memberi bukti yang nyata, bahwa perjuangan yang tiada berdasarkan pekerja-murba tidak akan mendapat Indonesia Merdeka. Sikap keras terhadap para pemimpin prajurit pekerja, jauh lebih kejam dari pada sikap yang diambilnya terhadap para pemimpin nasionalis adalah sikap yang sangat jitu sekali menggambarkan taksirannya imperialisme Belanda terhadap berbagai golongan Masyarakat Indonesia yang mengancam dirinya itu.
Paham saya tentang segala golongan di Indonesia, sudah cukup saya terangkan dalam beberapa brosur, yang saya sebut diatas tadi. PARI, yang didirikan sesudah hancurnya PKI berdiri atas perhitungan kekuatan terbuka dan tersembunyi Rakyat Murba dan pekerja Indonesia.
Pentingnya, hidup matinya negara pada dunia kapitalisme dan imperialisme ini, bergantung pada bermacam-macam hal, persenjataan, perindustrian, terutama senjata, letak negara, persatuan serta banyak penduduknya, semangat rakyat, kecerdasan dsb.
Kalau semua hal yang lain bersamaan (letak negara, kecerdasan dan banyak penduduk dsb), maka dalam satu perjuangan keadaan perindustrianlah yang akan memberi putusan. Yang kuat perindustriannya, itulah pihak yang mesti menang. Perusahaan sekarang berdasar atas Ilmu-bukti (science) dan teknik, pesawat. Pesawat itu bendanya ialah besi baja dan kodrat atau rohaninya terutama minyak tanah. Kalau tak ada baja dan minyak, kapal terbang tak bisa naik, tank dan auto tak bisa lari dan kapal-selam tak bisa maju. Kalau besi dan baja itu tidak terdapat dalam negara, melainkan pada negara lain, maka buat menyampaikan maksud imperialismenya negara itu, dia mesti menguasai semua benda yang penting itu kalau satu negara penuh dengan benda tadi, tetapi lemah semangat rakyatnya, lemah intelek, tiada bersatu dan tiada pula merdeka, maka negara itulah yang akan menjadi umpan atau makanan negara yang gagah perkasa.
Di dunia ini tak ada letaknya negara yang lebih berbahagia dari letaknya Indonesia. Buat siasat perang tak ada tempat yang lebih teguh. Barang siapa yang mendudukinya, walaupun hal lain bersamaan, dia mesti menang perang. Siapa yang tiada mendapat kedudukan itu lambat laun akan kalah. Lihatlah saja peta bumi. Dulupun hal ini sudah saya majukan. Besi yang paling banyak dan paling baik sifatnya menurut laporan dalam Bataviasche Nieuwsblad tahun 1935 (?) – kalau saya tak lupa - ialah di Indonesia Utara, Filipina. Tambang besi di Malaka dan Filipina memang sudah berjalan. Sulawesi dan Kalimantan banyak sekali tanah mengandung besi.
Minyak di Sumatra, Kalimantan, Irian sudah begitu kesohor di seluruh dunia, tak perlu dibicarakan lebih panjang lagi. Bauksite dan aluminium keduanya buat melebur baja yang kuat keras sudah dikerjakan di Riau dan akan dikerjakan di Asahan. Benda perang yang lain-lain, seperti: timah, getah dan kopra (buat bom TNT yang maha dahsyat itu minyak kelapalah yang dipakai) didapati di Indonesia lebih dari di seluruh bagian dunia lain digabung jadi satu.
Sudah pernah seorang pengarang buku di Amerika meramalkan, bahwa kalau satu negara seperti Amerika mau menguasai samudra dan dunia, dia mesti rebut Indonesia lebih dahulu buat sendi kekuasaan. Si Amerika tadi tiada meramalkan mungkin kelak rakyat Indonesia sendiri menguasai negaranya sendiri, tak mau menjadi umpan atau makanan negara lain, seperti lebih dari 300 tahun belakangan ini.
Saya sudah kenal sama tambang besi di Malaka dan Indonesia utara, Filipina. Baru ini saja saya kagumi tambang minyak yang besar di Pangkalan bradan, Pelaju dan sungai Gerang. Saya tahu adanya tambang minyak di Tarakan dan Balikpapan, batu arang di Malaka, Sawah Lunto, Bukit Assam dsb, tambang timah di Bangka dan Belitung. Saya tahu ratusan ribu pekerja yang terikat oleh kereta api, tram, mobil, kapal laut dan udara, pos, telepon, telegram dan radio. Ratusan ribu pekerja pada bengkel, pabrik besi, kimia, gula, teh, kain, sabun, dan lain-lain. Pada masa saya berangkat ketika lebih dari 20 tahun dahulu jumlah kaum pekerja itu sudah 2 atau 3 juta orang. Sekarang sudah tentu lebih dari itu. Banyaknya dan sifatnya perusahaan dalam 20 tahun belakangan ini memang sudah bertambah. Begitu juga banyaknya serta sifatnya prajurit pekerja.
Pekerja di dalam tambang minyak, besi, timah, bengkel dan pabrik dan pada pengangkutan inilah tulang belakangnya ekonomi Indonesia. Inilah kaum yang bisa dikerahkan buat menyokong berdirinya dan majunya Indonesia Merdeka yang sejati dan terus-menerus mempertahankan kemerdekaan itu. Dekatilah golongan pekerja ini! Masuklah klasnya! Dengan klas ini bersama dengan golongan lain, maka klas pekerja seolah-olah akan menjadi klas, sebagai "teras’’ yang dikelilingi kayu dan kulit, kalau ia terus maju ke muka buat mencapai kemerdekaan sejati dan mendirikan negara yang cocok dengan kemakmuran sama-rata dan persaudaraan.
Tetapi tuan mesti kupas masyarakat sekarang, dengan cara berpikir yang beralasan benda, bukan roh, yang bertentangan, bukan perdamaian, memakai undang berpikir yang bukan fantastis, bertahyul, sembarangan. Jelaskan pentingnya benda buat kesehatan kecerdasan, kebudayaan, kemerdekaan dan kesenangan. Kupaslah pertentangan upah dan untung, pertentangan proletar dan kapitalis. Pertentangan politik buruh dan politik majikan dan akhirnya pertentangan kebudayaan kaum pekerja dengan kebudayaan kaum hartawan yang menganggur itu. Jelaskanlah kedudukan proletar dalam dunia kapitalisme ini. Peringatkanlah, bahwa mereka pekerjalah, yang menduduki lantai ekonomi perekonomian Indonesia. Bangunkanlah semangat kritis – menentang - dalam masyarakat yang memang berdiri atas beberapa golongan yang bertentangan. Dengan begitu bangunkanlah semangat menyerang buat meruntuhkan yang lama – usang – dan mendirikan masyarakat yang baru – kokoh – kuat.
Janganlah dihampiri mereka, pekerja ini dengan "logika mistika’’. Atau kalau tuan begitu gemar akan logika mistika atau dialektika mistika tuan berlaku jujur. Jalankanlah akibatnya yang sebenarnaya dari logika atau dialektika mistika tadi. Bilanglah saja terus terang, bahwa benda itu tak berarti apa-apa, kalau dibanding akhirat. Propagandakanlah bahwa benda dan nikmat di akhirat lebih banyak, lebih lezat dan lebih kekal. Atau cocok dengan filsafatnya Gautama Budha, katakanlah bahwa benda itu adalah satu rantai, satu karma yang merantai hidup kita, hidup sengsara ini. Dengan demikian cocokilah dan ikutilah sikap dan tindakannya beberapa sekte atau mashap mistika, yang mencari cara yang baik buat membatalkan dunia ini, cara yang baik buat………mati, yang buat mereka berarti mati-hidup. Bilanglah terus-terang mati lebih baik dari pada hidup. Berlakulah begitu, supaya teori cocok dengan praktek, kata dengan laku. Dengan terus terang dan konsekwen bercakap begitu, kaum pekerja bisa memilih mana yang baik di antara Madilog atau Logika Mistika.

MADILOG
Tan Malaka (1943)
________________________________________
BAB I
LOGIKA MISTIKA

Demikianlah Firmannya Maha Dewa Rah :
Ptah : maka timbullah bumi dan langit.
Ptah : maka timbullah bintang dan udara.
Ptah : maka timbullah sungai Nil dan daratan.
Ptah : maka timbullah tanah-subur dan gurun.
Jika saya silap mencatat (di luar kepala) Firmannya Maha Dewa Rah itu, maka silapnya itu tak akan beberapa. Tetapi saya pikir maknanya sudah tersimpul pada catatan di atas ini. Firman Maha Dewa Rah sudah tentu banyak juga kawannya di dunia sekarang. Firman Maha Dewa Rah sudah cukup, memberi gambarannya LOGIKA MISTIKA atau logika yang berdasarkan rohani.
Negara-kuno, yang kita kenal paling tua dan paling unggul, ialah Negara Egypte, yang sekarang juga dinamai Mesir. 6000-8000 tahun dahulu penduduk Mesir sudah tersusun di bawah perintahnya Pharao, yang juga menguasai hidup dan mati rakyatnya. Maha Dewa Rah yakni Dewa Matahari, ialah Dewa yang terkuasa di antara beberapa dewa.
Para pemirkir Egypte, yang di antaranya banyak sekali menurunkan ilmu dalam hal obat-obatan, hitung-menghitung dll, kepada beberapa negara lain di luar Egypte, seperti Punisa, Yunani dll, tentu juga memikirkan asalnya bumi dan bintang, memikirkan asalnya dunia yang terkembang.
Rah adalah Dewa Matahari, ialah Rohani, yang lebih dahulu adanya dari pada dunia, bumi, dan bintang dan langit. Maha Dewa Rah tentulah sempurna, yakni Maha Terkuasa, asal dari pada semua benda yang ada di dunia ini. Dengan Firman yang berbunyi Ptah saja Bumi, Langit, Bintang, beribu juta, sungai nil dan gurun Pasir bisa timbul. Timbulnya itu adalah pada satu saat saja, sesudah perkataan Ptah tadi difirmankan. Jadi rohanilah yang pertama, zatlah yang kedua. Zat ini berasal dari Rohani. Bukan sebaliknya, yakni rohani yang berasal dari zat
.
Rah tak perlu menunggu-nunggu, seperti pak tani menunggu-nunggu padinya sesudah benihnya ditanam. Kalau dia mesti menunggu, maka ini berarti, bahwa dia pasti takluk pada Sang Waktu. Jika begitu maka Maha Dewa Rah bukanlah terkuasa. Ringkasnya, Maha Dewa Rah itu terkuasa, tidak takluk kepada Zat dan waktu. Jika begitu, maka Maha Dewa Rah bukanlah terkuasa. Ringkasnya, Maha Dewa rah itu terkuasa, tidak takluk kepada Zat dan waktu
.
Firman RAH itulah yang menggambarkan jawab yang paling jitu dan konsekwen, jujur-dasar, atas pertanyaan yang maha penting dalam Filsafat: manakah yang pertama, dan mana yang kedua, mana yang asal dan mana yang akibat, di antara Zat dan Rohani?
Tetapi ilmu Pasti, seperti ilmu bintang, ilmu alam, ilmu pisah (kimia), ilmu matematika dll, yang semuanya sekarang diajarkan di sekolah di lima benua yang kita kenal ini, ialah berdasarkan Filsafat yang sebaliknya. Disini Rohani berupa Kodrat, Kracht, Force, tiadalah dianggap barang yang terpisah, barang yang berdiri sendirinya, barang yang bisa melahirkan Zat, dalam waktu yang lebih cepat dari sekejap mata. Disini Force, Kodrat itu, terkandung oleh Matter, oleh benda. Dimana ada benda disana baru ada Kodrat.
Benda yang oleh bangsa Yunani dahulu kala dinamai electron mengandung kodrat yang dinamai listrik. Besi-berani yang kita semuanya kenal, menarik besi biasa dsb. Benda mesti dahulu kita saksikan, barulah dibelakangnya bisa kita saksikan kodratnya. Kodrat listrik, tiadalah bisa kita lihat rupanya, tetapi kita saksikan kekuatannya. Kekuatannya ini bisa kita ukur dengan tepat. Kodrat listrik itu bisa menggerakkan mesin, bisa memberi panas dan cahaya. Tetapi kodrat listrik itu tak bisa membikin zat baru, seperti orang, hewan, malah sebutir beraspun listrik itu tak bisa bikin. Jadi buat ilmu Pasti Kodrat itu tak bisa terpisah dari benda. Lagi pula mesti ada benda dahulu, baru dibelakangannya timbul kodrat. Electron atau dynamo dahulu, baru dibelakangnya ada kodrat listriknya. Tidak ada bendanya, tak ada pula kodratnya. Energy, kodrat semata-mata tak bisa menimbulkan benda.
Cepatnya Maha Dawa RAH menimbulkan bumi dan langit; betul cepat sekali menggambarkan Maha-Kuasanya Dewa RAH! Tetapi hal ini bertentangan benar dengan Law Evolution inilah yang dipakai oleh Charles Darwin buat membentangkan timbul, tumbuh dan tumbangnya hewan serta tumbuhan. Kalau Law of Evolution Undang Pertumbuhan itu tumbang, maka tumbanglah pula ilmu biology, ilmu hidup tentang hewan dan tumbuhan. Tumbanglah pula gedung ilmu, yang sudah menimbulkan puluhan raksasa berpikir dari ilmu, yang sudah nyata sekali manfaatnya buat seluruhnya umat manusia. Gedung ilmu biology adalah amat permai sekali dan senantiasa ditambah permainya oleh para ahli pertumbuhan di dunia ini. Emanuel Kant, ahli Filsafat Jerman yang kesohor itu memakai undang pertumbuhan buat membentangkan timbul tumbuh dan tumbangnya bumi, matahari serta juta-juta bintang di langit. Sistem yang dibangunkan oleh Darwin dan Kant, boleh diperiksa dan dikritik, karena memangnya pula sifatnya ilmu pasti, ialah tahan uji. Kalau sistem itu tak bisa diperiksa kebenarannya dan tak bisa dikritik, maka matilah Ilmu Pasti itu. Tetapi walupun sesuatu sistem dari sesuatu ilmu itu bisa mati, Undang Pertumbuhan, The Law of Evolution akan tetap tinggal.
Syahdan menurut Darwin, maka tumbuhan-tumbuhan, hewan dan manusia itu adalah hasil dari pertumbuhan yang lama, beratus, beribu, malah berjuta-juta tahun, dari dua-tiga biji-asli (cells) sampai ke manusia. Menurut Kant dan para ahli bintang lainnya di zaman sekarang, maka ribuan juta-jutaan bintang dan bumi di langit itu, adalah pertumbuhan yang lama, juta-jutaan tahun pula dari permulaan molten Mass, benda lebur sampai ke bentuk dunia yang sekarang.
Semua perubahan dalam juta-jutaan tahun itu, dari leburan benda sampai bumi dan bintang di langit, dan beberapa biji-asal tadi sampai ke manusia ada mempunyai keadaan dan sebab. Oleh karena berlainan keadaan hidup, umpamanya berlainan iklim, maka biji asal tadi menjelma menjadi ikan. Lama kelamaan ikan menjelma menjadi amphibi (hewan yang hidup di air dan daratan, seperti kodok dll). Amphibi lama kelamaan menjadi reptil (bintang menjalar seperti ular). Reptil lambat laun menjelma menjadi binatang yang menyusukan anaknya, seperti lembu dan monyet. Monyet inilah yang menderita penjelmaan dalam jutaan tahun sampai timbul hewan berupa manusia. Semua penjelmaan itu berlaku menurut undang yang nyata dan sebab serta akibat yang nyata dan tetap, dalam waktu jutaan tahun. Maha Dewa Rah menjelmakan Bumi dan Bintang, sungai nil dan daratan dsb dalam sekejab mata saja, ialah selama membunyikan Firman PTAH saja. Tetapi menurut Undang Pertumbuhan maka penjelmaan tadi terjadi dalam dalam juta-jutaan tahun. Dalam penjelmaan itu bukan kodrat yang dahulu, melainkan benda, matter. Disinilah LOGIKA MISTIKA mendapat tantangan hebat dari ILMU PASTI dalam hal pelaksanaan UNDANG PERTUMBUHAN (The Law of Evolution). Dalam hal pelaksaan lainpun, dalam undang lain dari ilmu pasti, logika MISTIKA tadi mendapat tantangan pula.
Tiangnya ilmu kodrat (Mechanika), ialah satu cabang dari ilmu pasti, ialah "The Law of Conservation of Force’’, yakni Undang Tentang Ketetapan Jumlah Kodrat di dunia ini. Kawannya ialah Undang ketetapan Jumlah Benda di dunia ini. Syahdan menurut Undang Ketetapan Kodrat itu, maka kodrat yang hilang pada satu bentuk bisa didapat pada bentuk yang lain. Jadi jumlahnya kodrat tadi tinggal tetap saja. Undang ini dilaksanakan oleh Joule, seorang Ahli Ilmu Kodrat Inggris (1818-1889), seperti berikut :
Dengan empat cara, Joule membuktikan persamaan panas dan Kodrat (mechanica) energy. Dia dapatkan, bahwa buat menaikkan panasnya 1 pond air dengan 1 derajat, perlu dipakai 772 feet-pounds, kaki-pond. Artinya, ialah banyaknya kodrat yang perlu dipakai buat menaikkan 772 pond satu kaki ke atas.
Jadi Joule mendapat panas. Tetapi dia kehilangan kodrat. Jumlah kodrat di dunia tinggal tetap seperti dahulu. Cuma sekarang kodrat yang hilang itu berupa panas, yaitu satu bentuk dari kodrat juga. Banyak persamaannya dengan seorang hartawan yang umpamanya mempunyai uang yang nilainya R. 1.000.000., tetapi yang R. 500.000. dia belikan rumah, kapal dan sebagainya. Sebagian dari hartanya sudah bertukar rupa, ialah menjelma menjadi rumah, kapal dsb. Tetapi jumlah nilainya tetap R. 1.000.000. juga. Hartanya itu betul bertukar bentuk, uang mas bertukar menjadi rumah, kapal dan sebagainya, tetapi rumah dan kapal itupun harta juga. Begitu juga Joule mengadakan undangan tentang perhubungan panas listrik. Undang ini dipakai pada persoalan lampu.
Seperti jumlahnya kodrat itu tetap di alam ini, begitu juga jumlah benda (mass). Satu benda yang berupa Zat-Asli (element) bisa hilang. Tetapi yang timbul umpamanya kayu atau daging. Garam yang terkandung oleh bangkai hewan atau mayat manusia yang hilang, bisa dicari pada tumbuhan yang mengisap garam tadi. Yang hilang ialah garamnya atau airnya kucing atau manusia, yang timbul ialah bambu atau pohon kelapa. Jumlah zat atau benda di alam tetap, seperti dahulu juga. Kalau beratnya manusia yang hilang itu 50 kg, maka berat kayu yang berganti itu 50 kg pula.
Zat-Asli (element) yang dikenal di dunia sekarang ini adalah 92 buah. (Di zaman dulu cuma 4 buah saja, ialah tanah, air, udara, dan api. Tak heran kalau besok atau lusa angka 92 sekarang akan ditambah lagi). Bagaimana Zat-Asli yang 92 buah yang sekarang itu berpadu dan berpisah sudah banyak pula dikenal.
Seorang guru sekolah, di Inggris, bernama Dalton, mendapatkan satu Undang yang amat penting buat Ilmu Pisah. Undang itu dinamai "Law of Constant Composition’’, yakni Undang perpaduan dari Zat-Asli bernama Oxygen (Zuurstof) dan Hydrogen (Waterstof). Bagaimanapun air itu diperoleh, dalam kamar ilmu pisah (labolatorium) ataupun di udara, sebagai air hujan, air itu tetap satu perpaduan Oxygen dan Hydrogen, atas perbandingan yang tetap pula. Dalam kamar ahli pisah mesti dipakai 88,9 % Oxygen dan 11,1 % Hydrogen. Di udarapun perbandingan itu tetap begitu. Begitu juga perpaduan semua benda yang lain-lain, berlaku menurut undangnya Dalton tadi. Demikianlah garam dapur yang dibikin di kamar Ahli Pisah, ditambang ataupun di air laut takluk kepada undangnya Dalton.
Kalau keperluan satu benda atas 92 macam zat-asli tadi sudah diketahui, maka tambah atau susutnya benda itu sesudah beberapa lama dapatlah pula dihitung. Seorang bayi yang beratnya baru 3 kg, tetapi sesudah umpamanya 20 tahun menjadi 53 kg, maka tambahan yang 50 kg dalam 20 tahun itu bukanlah tambahan oleh kodratnya malaikat ataupun setan. Tambahannya itu ialah zat minyak (vet), putih telur (eiwet, protein), tepung (zetmeel, carbohydr) air dll, zat yang diterima oleh bayi tadi dalam waktu 20 tahun tadi.
Kalau satu mayat yang beratnya 50 kg sesudah beberapa tahun cuma tinggal 20 kg tulang belaka, maka daging yang hilang, yang terdiri dari beberapa zat-asli yang sudah diketahui itu, tiadalah melayang ke matahari, bulan ataupun lain tempat, melainkan tinggal dalam daerah bumi kita, dalam bumi dan udara dikelilingnya. Barangkali sebagian dikandung oleh tumbuhan disekitarnya tumbuhan tadi, di dalam tanah atau air yang disana sini atau di udara. Hilangnya zat-asli di alam ini bisa didapat kembali di tumbuh-tumbuhan atau hewan dalam alam kita juga. Tambahnya zat-asli itu boleh dihitung dari zat-asli yang bebas dari kandungannya hewan atau tumbuhan di tempat yang mendapat tambahan tadi. Jumlah di alam tetap saja seperti dahulu. Tak ada tambahnya dan tak ada pula kurangnya. Seandainya bumi kita sekarang ini mempunyai jumlah zat X kg, tetapi besok Cuma X-y kg, maka yang Y kg itu boleh kita cari pada tumbuhan, hewan ataupun manusia yang menerimanya. Jumlahnya di dunia tetap X kg juga.
92 elemen zat-asli yang dikenal sekarang, yang ada di bumi dan udara kita pulang pergi, tumbuh atau mati, menjelma menjadi tumbuhan, hewan dan manusia dan kembali pula ke tanah atau udara. Jumlahnya tetap, berpadunya atau berpisahnya berlaku menurut undang yang tetap. Hilang pada satu tempat, terdapat pada tempat yang lain. Tak ada tambah jumlahnya. Tak pula ada kurangnya. Benda itu tetap jumlahnya. Kodrat (energy) itu tetap pula jumlahnya, di dunia ini, di bumi dan sekalian bintang di langit, serta di udara yang terdapat di alam ini.
Tadi LOGIKA MISTIKA mendapat bantahan dari UNDANG PERTUMBUHAN (The Law of Evolution). Dalam uraian kita di atas ini, kita lihatlah perbantahan yang lain. Logika MISTIKA pertama berbantah dengan Undang Tentang Ketetapannya Jumlah Kodrat Di dunia ini (Joule). Bertentangan pula dengan kawannya ialah Undang Ketetapan Jumlah Benda. Sama sekali tiada bisa dicocokan dnegan Undang Perpaduan yang tetap (Dalton). Diperingatkan lagi, bahwa Maha Dewa RAH dalam kurang dari sekejap mata, dengan kata PTAH saja, menimbulkan berjuta-juta bintang, bumi dan langit.
Pertama disini kita lihat kejadian yang berlawanan dnegan common sense, pikiran sehat. Baik dalam kamarnya ahli pisah ataupun diluarnya tak pernah kita menyaksikan satu kata bisa menimbulkan benda. Dalam dongeng atau cerita memang kita cukup menjumpai kegaiban itu. Tetapi dalam 40 tahun belakangan ini saja, di antara 2.000.000.000 manusia itu belum pernah saya dengar satu makhluk yang bisa dengan kata saja menimbulkan seekor macan, jangankan lagi Bumi atau Bintang. Rohani, kata kosong, menurut pikiran sehat tak bisa menimbulkan benda. Tak ada itu tak bisa menimbulkan ada. Dalam dialektika Idealisme kita bisa menjumpakan kosong mengandung arti ada, atau tak ada mengandung arti ada. Tetapi dalam logika ataupun Dialektika yang berdasarkan kebendaan, hal itu adalah mustahil, satu omong kosong. Lapar tak berarti kenyang buat si miskin. Si Lapar yang kurus kering tak akan bisa kita kenyangkan dengan kata kenyang saja, walaupun kita ulang 1001 kali.
Kedua, sudah kita lihat, bahwa menurut Undang tentang Ketetapannya Jumlah Kodrat, satu rupa kodrat bisa menjelma mengambil rupa yang lain. Cuma jumlahnya di dunia tetap adanya. Jadi kalau Rohani atau kodrat panas, kodrat uap, kodrat listrik atau besi berani yang ada di dunia ini, mestinya kodratnya RAH kehilangan jumlah kodrat yang ada di seluruhnya dunia. Pendek kata, RAH itu sendiri tak mempunyai kodrat lagi, RAH sendiri sudah bertukar menjadi kodrat Alam, Natural Force, yang berupa panas, cahaya, listrik dll. Yang semuanya terkandung dalam benda di seluruh alam kita.
Ketika semua benda di alam ini : bumi, matahari, bintang, tumbuhan, hewan dan manusia – mestinya menurut Undang Ketetapan Jumlahnya Benda, datangnya dari benda juga. Cuma rupanya benda-asal itu berlainan dari benda-jadi ini. Bagaimana satu bentuk benda menjelma menjadi bentuk yang lain, berlaku menurut Undang Perpaduan seperti sudah ditetapkan oleh Dalton. Tegasnya benda-asal mesti ada lebih dahulu, baru benda yang ada di dunia sekarang bisa pula ada.
Benda asal itu menurut Kant adalah benda-lebur (molten-mass). Dari benda-lebur itu berjalan sepanjang Undang Perpaduan dan Perpisahan (Dalton dll). Sesudah juta-jutaan tahun kita sampai kepada beberapa cenkiemige cellen, yakni beberapa biji-asli yang bertunas satu. Beberapa biji-asli yang bertunas satu ini sesudah jutaan tahun pula, berhubung dengan perubahan iklim dsb. sepanjang Undang Pertumbuhan (Darwin) kita akhirnya sampai ke alam kita sekarang.
Sebagai kebulatan pemeriksaan kita sampai sekarang kita bisa tetapkan, bahwa penimbulan dunia benda dan kodratnya itu oleh Rohani atau Firman dalam sekejap mata saja adalah berlawanan sekali dengan segala undang yang dipakai dalam ilmu pasti.
Marilah sebentar mengendalikan, bahwa Rohani itu terdiri dari Zat. Inipun ada mengandung perbantahan diri sendiri. Bukankah Rohani itu dianggap suci, tidak kotor seperti zat. Terkuasa, artinya tidak takluk kepada undang dan sifat yang mengenai zat, Rohani tak bisa berubah, tumbuh atau susut, sakit atau senang, hidup atau mati, bersih ataupun kotor. MAHA DEWA RAH, ialah terkuasa, tersempurna, tersuci, tak bisa dikenal oleh undang yang mengenai zat. Kalau DIA masih bisa dikenal oleh undang yang mengenai zat, bukanlah ia RAH lagi, bukanlah ia tekuasa lagi, bukanlah pula DIA maha sempurna dan maha suci lagi !
Belumlah lagi habis saya tuliskan yang diatas ini, maka menjelmalah di depan saya rohnya para pemikir Egypte. Mereka dengan kawannya para ahli kegaiban yang ada di sekitar kita sekarang membantah dengan keras. Dewa RAH menimbulkan zat dengan segala undang yang dipakai dalam ilmu PASTI sekarang supaya sesudah ditimbulkan itu, alam bisa bekerja sendiri menurut undangnya sendiri. Buat menyelidiki yang di belakang ini saya tiada perlu memakai cara membantah dengan mengandaikan seperti di atas tadi, yang dalam Ilmu Logika dinamai cara reductio ad absurdum. Menurut cara itu tadi rohani itu sebentar diandaikan zat. Sekarang boleh saya pakai cara yang lazim dipakai oleh orang desa ialah menghitung dengan memakai jari.
Kini persoalan bukanlah lagi mana yang bermula Zat ataukah Roh, melainkan siapa yang terkuasa Dewa RAH ataukah ALAM? Tiga jawab yang mungkin, dan tiga jari pula yang perlu dipakai.
1. Dewa Rah lebih kuasa dari Alam dan Undangnya.
2. Dewa Rah sama kuasa dengan Alam dan Undang Alam.
3. Dewa Rah kurang kuasa dari Alam dan Undang Alam.

Balik kita kejari ke 1, yakni pada telunjuk yang mengatakan bahwa Dewa Rah lebih kuasa dari Alam dan Undangnya!
Menurut Ilmu Bintang zaman sekarang, maka jutaan Bintang dan Bumi beredar menurut Undang yang pasti, ialah undangnya Newton. Undang itu diakui syah, dipelajari di sekolah, dan dipakai oleh Ahli Bintang buat menghitung hal yang berkenaan dengan bumi dan bintang. Undang Newton tetap diakui syahnya, walaupun Einstein dalam beberapa perhitungan bisa mendapatkan hasil yang lebih jitu. Kalau undang alam yang dilukiskan oleh Newton itu jatuh, ataupun satu menit saja berhenti, maka kacau balaulah jutaan bumi dan bintang tadi. Tetapi selama Ilmu Pasti lahir dan ahli-ilmu-pasti memperhatikan jalannya Bumi dan Bintang ini, belumlah satu saat juga undang gerakan bintang itu dapat perkosaan. Belum pernah Maha Dewa RAH – yang mestinya masih ada menahan matahari naik, atau mencegah matahari turun Pasti Rah tak akan bisa.
Peralaman (Experimenten) yang dijalankan dalam Laboratorium pada 5 benua di muka bumi ini belum pernah memungkiri Undang yang dikenal, dalam Ilmu Kodrat (Mekanika) Ilmu Alam, Ilmu Pisah dll. Undang alam itu terus jalan dengan tetap pasti, tak perduli, di waktu mana ataupun tempat mana juga. Dimana saja, bila saja undang itu dilaksanakan, dia berjalan tetap terang. Seperti pepatah Indonesia: Terang, bersuluh bulan dan matahari, bergelanggang di mata orang banyak. Pasti pula Maha Dewa Rah tak akan bisa merubah jalannya undang itu, pasti tak bisa.
Seorang pemikir nakal pernah berkata: yang kuat di alam ini mengalahkan yang lemah. Undang Alam ini sudah termasuk ke dalam common sense. "Ini semut’’,katanya pula, "ini jari saya, lebih kuat dari semut itu’’, katanya terus. "Kalau ada Kodrat, yang bisa mencegah Alam menjalankan Undangnya, tolonglah semut ini’’, katanya yang penghabisan. Pada saat itu juga ditekankannya jari pada semut yang lemah tadi. Semut tadi pasti mati. Quot erat demonstandum. Demikianlah dibuktikan kebatalannya andaian ke 1 tadi.
2. pada jari tengah Dewa Rah sama kuasa dengan alam dan undang alam.
Kalau begitu apa gunanya menyembah Dewa Rah? Dewa Rah tidak diketahui jalannya. DIA adalah satu kegaiban yang maha besar. Sedangkan alam bukanlah semuanya gaib, sudah banyak diketahui undangnya, jalannya. Boleh dilihat akibatnya dan disimpulkan segala buktinya. Ditunjukkan kebenarannya dengan tak pernah mungkir. Boleh dipakai undangnya itu buah keselamatan dan kesenangan didup. Jadi lebih baik sembah junjung dan puja alam saja, barang yang nyata itu. Seandainya Maha Dewa RAH tak menyetujui hal ini, maka dia boleh parani alam dan kalau perlu berjuang, mengukur kekuatan dengan alam. Karena kekuatan RAH dan Alam itu seperti sudah kita andaikan tadi sama, maka kita makhluk yang hina ini boleh menjadi penonton saja. Kita tak perlu takut. Dewa Rah tak akan bisa berhenti memarani kita penonton. Karena DIA tak bisa lepas dari gelutan, sepak-terjang, terlak serta kuntauannya alam yang sama-kuat dengan Dewa Rah itu.
3. Pada jari manis : Dewa Rah kurang kuasa dari alam dan Undangnya.
Seandainya kemungkinan ini benar, maka kita ingat pada nasibnya Dr. Frankenstein. Dia, seperti kita tahu, membikin seorang raksasa. Dia menghidupkan kembali dengan jalan Ilmu Listrik satu mayat. Tetapi otaknya mayat itu, ialah otaknya seorang bangsat. Raksasa yang dihidupkan ini menjadi musuh mati-matian Dr. Frankenstein. Sang dokter terpaksa lari bersembunyi saja, tak sanggup menentang buatannya sendiri. Kasihan pula kita kalau Dewa Rah membikin Alam yang lebih berkuasa dari pembikin, ialah Rah sendiri, sampai terpaksa lari bersembunyi.
Dr. Frakenstein bisa mencari tempat bersembunyi. Tetapi kemanakah Dewa Rah akan bersembunyi? Bukankah semua yang ada ialah alam yang takluk pada undangnya alam? Demikianlah menurut kemungkinan yang terakhir ini Maha Dewa Rah mestinya takluk pada Alam. Sebagai bukti, ialah dimana saja dan pada waktu mana saja undangnya alam tak pernah dan tak bisa dapat bantahan.
Demikianlah kalau kita pakai pikiran yang jernih, hati berani dan jujur, memikirkan, bahwa zat berasal pada Rohani, kita mesti tersesat. Kita mesti akui, bahwa hakekat yang semacam itu bertentangan dengan akal.
Gauthama Budha yang saya anggap ahli filsafat MISTIKA yang terbesar, semenjak dunia ini diketahui, ahli filsafat yang lebih besar pengaruhnya dari ahli filsafat Barat, dari Plato sampai Hegel, lebih besar dari pada pengakuan Barat sendiri. Gauthama Budha yang sudah mengakui, bahwa Rohaninya sudah bersatu padu dengan Roh Alam, sudah sampai ke Nirwana jika disesakkan oleh muridnya dengan pertanyaan: apakah Roh Alam (Rohani) itu sama dengan Jiwa (manusia?), terpaksa menjawab: "Pertanyaan itu salah’’.
Artinya hal semacam itu jangan ditanyakan. Artinya Budha sendiri tak bisa menjawab. Tiada pula kita heran kalau ahli MISTIKA zaman sekarang, yang sebesar kaliber Mahatma Gandhi, kalau ditanyakan apakah ahimsa itu, maka Sang Mahatma memakai cara menjawab yang oleh Ahli Logika Yunani dinamai circulo in finiendo, ialah berputar-putar tak habis-habisnya, seperti menghesta kain sarung.
Seperti Asia di jaman sekarang, demikianlah Eropa di jaman tengah (tahun 478-1492) tak bisa bercerai dengan persoalan creation, yakni timbulnya dunia yang tak bisa dipisahkan pula dengan Deisme, ialah kerohanian. Pada zaman inilah scholastisme bersimaharajalela.
Tetapi pada masa dan sesudahnya Revolusi Perancis (1789), maka filsafat itu tiada lagi dimulai dan diakhiri dengan persoalan timbulnya dunia dan ke-Tuhanan.

MADILOG
Tan Malaka (1943)
________________________________________
BAB II
F I L S A F A T

Apabila kita menonton satu pertandingan sepakbola, maka lebih dahulu sekali kita mesti pisahkan si pemain, mana yang masuk klub ini, mana pula yang masuk kumpulan itu. Kalau tidak begitu bingunglah kita. Kita tak bisa tahu siapa yang kalah, siapa yang menang. Mana yang baik permainannya, mana yang tidak.
Begitulah kalau kita masuki pustaka filsafat yang mempunyai ratusan, ya, ribuan buku itu. Kita lebih dahulu mesti pisahkan arah-pikiran para ahli filsafat. Kalau tidak, niscaya bingunglah kita, tak bisa memisahkan siapa yang benar, siapa yang salah. Seperti para pemain sepak bola tadi kacau balau di mata kita, tak tahu apa maksudnya masing-masing, begitulah di mata kita para ahli filsafat berkata semau-maunya saja, kalau tak ada pangkal tak ada ujung.
Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi.
Sebagai co-creator Engels melanjutkan dan mendalamkan paham Dialektis Materialisme dan komunisme, dengan bahasa yang terang, populer, jitu dan merdu. Engels memisahkan para ahli filsafat dari jaman Yunani sampai pada masa hidupnya Marx-Engels dalam dua barisan. Pada satu barisan terdapat kaum Idealis yang bertentangan dengan barisan kedua, kaum materialis. Kaum Idealis "umumnya" memihak pada kaum yang berpunya dan berkuasa, sedangkan kaum materialis berpihak pada proletar dan kaum tertindas. Kadang-kadang perlawanan tinggal tersembunyi tetapi kadang-kadang terbuka terus-terang, cocok dengan riwayatnya perjuangan proletar dan kapitalis dalam politik. Kadang-kadang idealis di luarnya itu, materialis di dalamnya, sarinya; Spinoza, kadang-kadang materialis di luarnya, tetapi di dalamnya idealis.
Menurut pemisahan yang diadakan oleh Engels, maka pada barisan idealis, kita dapati penganjur terkemuka sekali seperti Plato, Hume, Berkeley yang berpuncak pada Hegel. Pada barisan materialis, kita dapati Heraklit, Demokrit dan Epikur, di masa Yunani, Diderot, Lamartine di masa revolusi Perancis yang berpuncak pada Marx-Engels. Di antaranya itu didapati banyak ahli filsafat campur aduk scientists, setengah idealis setengah materialis.
Biasanya musuh proletar, menerjemahkan dan menyamarkan "materialisme" itu sebagai ilmu yang berdasar atas daya upaya mencari kesenangan hidup tak terbatas; makan sampai muntah, minum sampai mabuk, kawin dan cerai sesukanya saja. Sedangkan idealisme itu diterjemahkan dan dijunjung tinggi sebagai satu ilmu berdasarkan kesucian yang paling tinggi, lebih memperhatikan berpikir dari pada makan, dan kebudayaan yang sampai menjaduhi kaum ibu seperti seorang santri, resi. Dalam keadaan yang benar, dalam kehidupan mereka, kita tidak sekali dua kali berjumpa, dengan seorang yang memangku paham idealis berlaku sebaliknya dari persangkaan itu, sedangkan dalam kalangan materialis banyak kita dapati orang hidup dengan segala sederhana dan seperti suami dan bapak yang setia.
Idealis dan materialis yang dijadikan Engels sebagai ukuran buat memisahkan para ahli filsafat dalam dua barisan, semata-mata berdasarkan atas sikap yang diambil si pemikir, ahli filsafat dalam persoalan yang sudah kita tuliskan lebih dahulu, yakni mana yang pertama, primus, mana yang kedua. Benda atau fikiran, matter atau idea. Yang mengatakan pikiran lebih dahulu, itulah pengikut idealisme, itulah yang idealis. Yang mengikut materialisme, itulah yang materialis. Hidup segala sederhana, atau mau segala lebih dengan tiada memperdulikan kesehatan diri sendiri, dan kebaikan buat masyarakat itu bergantung kepada watak masyarakat, dan didikan masing-masing orang.
Dengan memakai pemisahan yang diadakan oleh Engels, filsafat menjadi persoalan yang mudah bagi kita. Dengan mengambil satu contoh, satu model saja, kita bisa ketahui seluk beluknya perkara yang bersamaan dan bersangkutan. Dengan David Hume sebagai ahli filsafat idealis, kita bisa gambarkan semua ahli filsafat idealis dari Plato sampai Hegel.
"If I go into myself", "kalau saya masuki diri saya sendiri", kata Hume, maka saya jumpai "bundles of conceptions", bergulung-gulung pengertian, bermacam-macam gambaran dari pada benda.

Kalau Hume hendak mengetahui apakah benda yang bernama buah jeruk itu umpamanya, maka yang ia insyafi cuma rasanya yang manis itu, kulitnya yang licin itu, beratnya yang 1/2 atau ¼ kilo itu, warnanya yang hijau atau kuning itu, bunyinya yang nyaring atau lembek itu. Bunyi itu ada di telinga, dalam badan Hume, bukan pada jeruk, beratnya di tangan Hume, bukan pada jeruk, rupanya pada mata, rasanya di lidah atau di ujung jari Hume. Semuanya bunyi, rupa dan rasa itu dengan perantaraan saraf, nerve, berjalan ke pusat ke centre, ke otak.
Otak mencatat bunyi, rupa dan rasa tadi menjadi pengertian, conception, seperti pengertian merdu, kuning, berat, lezat dan licin. Semua pengertian ini " dalam" saya, kata Hume, bukan di luar saya. Jeruk itu sebagai benda, tak ada bagi saya. Yang ada Cuma "ide", pikiran, pengertian, tentang benda itu dalam otak saya. Otak saya penuh dengan pengertian "bundles of conceptions" kata Hume. Jeruk sebagai benda, lembu sebagai benda, tak ada buat saya. Yang ada cuma ide, pikiran, pengertian, gambaran dari jeruk, lembu, bumi, bintang dan engkau. "Engkau" kata Hume, cuma "ide" buat saya.
Tetapi Engkau buat Hume adalah saya buat tuan Smith umpamanya, dan saya buat Hume, adalah engkau buat Smith. Jadi engkau cuma ide, cuma gambaran buat Hume itu mestinya juga gambaran buat Smith. Hume yang dipandang dari pihak Smith ialah engkau mestinya satu gambaran, satu ide saja. Tak ada Hume itu buat Smith sebagai orang, sebagai ahli filsafat. Yang ada cuma gambaran dalam otak Smith.
Dengan begitu Hume yang membatalkan benda dan mengaku ide saja, membatalkan adanya dirinya sendiri, mengakui bahwa sebetulnya dia sendiri tak ada. Beginilah akibatnya yang konsekwen dari Idealisme, dengan membatalkan adanya benda, ia membatalkan dirinya sendiri.
Demikianlah David Hume dengan memisahkan ide dari benda, abstraction dan menganggap ide yang pertama, dalam menentang benda sebagai dasar yang pertama, tewas dalam tentangannya membatalkan adanya diri sendiri. Dengan begitu ia sebetulnya membatalkan filsafat idealisme itu.
Sesudah Hume, boleh dibilang filsafat idealisme sudah mati. Tetapi barang yang mati itu acapkali menjelma hidup kembali dengan memakai bentuk baru, seperti Pharao Rah dan Ptah tadi, sekarangpun masih ada bentuknya.
Emmanuel Kant ahli filsafat Jerman kesohor itu, mengangkat naik kembali bendera Hume, tetapi tidak dengan konsekwensi Hume. Kant tidak berjalan terus jujur seperti Hume, tetapi maju mundur. Seperti kata Lenin, filsafat Kant tidak boleh dipakai buat berkelahi, bukan filsafat berkelahi. Menurut Kant, kita bisa ketahui dengan pancaindera kita sesuatu benda, tetapi "Ding an Sich" benda sendirinya, kita tidak bisa ketahui.
"Kalau sudah kita ketahui sesuatu barang dengan pancaindera apa juga lagi yang mesti kita ketahui tentang barang itu“ begitulah kaum materialis bertanya. Buat kaum materialis hal itu sudah cukup. Tetapi buat Kant itu belum cukup. Ia tak sepenuhnya memihak pada Hume dan bilang terus terang, bahwa benda itu buat dia tak ada, yang ada cuma gambaran dalam otaknya. Tetapi ia cari rumput buat sembunyi dengan memakai "Ding an Sich" benda itu sendiri.
Jawab Engles dalam hal ini, pendek dan jitu. Kata Engels: dari hari ke sehari "Ding an Sich" itu, sudah menjadi "Ding an Furuns". Benda yang sendirinya itu tidak diketahui, dari sehari ke sehari sudah menjadi "benda kita". Keterangan Engels tentang "Ding Fur Uns" itu dulu banyak saya cari tapi tak berjumpa. Tetapi menurut pikiran saya, jawab Engels yang pendek ini mesti diterjemahkan sebagai berikut:
"Air" umpamanya, yang dahulu kala dianggap oleh nenek moyang kita seperti suatu barang yang ajaib, sekarang kita sudah ketahui "zat asalnya", ialah Hydrogen dan oxygen. Sudah diketahui, menurut undang mana dia berpadu, ialah menurut Undang Dalton. Apa rasanya air itu kalau diraba atau diminum. Berapa beratnya 1 L. Apa gunanya buat kita, buat tumbuhan dan hewan. Bagaimana sifatnya, dsb. Apa juga lagi yang mesti di "Ding an Sich"kan tentang air, nenek moyang kita cuma mengetahui 4 zat saja di alam ini ialah :tanah, air, api, udara. Sekarang sudah diketahui 92 zat asli, elementen. Yang diketahui sudah boleh kita periksa dengan pancaindera kita, dengan perkakas yang kita bikin, seperti microoskop, telescoop dan teropong, perkakas yang bisa membesarkan kuman, beratus ribu kali dan mendekatkan bintang beratus ribu kali. Perkakas yang dari tahun ke tahun, dari abad ke abad, bisa ditambah kepastiannya dan kejituannya. Semua zat yang kita ketahui itu boleh kita pada satu sama lainnya, kita buat makanan dan kesehatan kita, kita pakai kodratnya buat kehidupan dan kesenangan kita. Kaum penakluk memakai buat menerpedo dan membom. Yang belum kita ketahui, sedang kita cari dengan giat dan dengan lebih besar pengharapan mendapatkannya karena teori, cara berpikir dan perkakas kita makin banyak, makin baik.
Dimana lagi "Ding an Sich" itu tempatnya, pada zaman, di mana alam yang dahulu kala, dianggap gaib itu, sebagian besar sudah diketahui dan dikontrole, dikemudikan dipakai menjadi "Sing fur Uns", yakni benda kita, seperti kata Engels tadi. Idealis yang lebih licin, karena ia memakai Dialektika dan Logika dengan cara dan bahasa yang tiada ada bandingnya selama ini, ialah Hegel. Lama Marx, walaupun ia sudah Marxis, sesudah meninggalkan gurunya, Hegel, dilekati Hegelisme.

Dengan dua sayap thesis di kanan, anti thesis di kiri dan badan synthesis di tengah, Hegel terbang makin lama makin tinggi sampai silau mata si pemandang.
Buat Hegel "absolute Idee" ialah, yang membikin benda "Realitat". "Die absolute Idee macht die Gesichte" absolute idee yang membikin sejarah, histori, dan membayang pada filsafat. Bukan filsafat yang membikin sejarah, katanya, melainkan Absolute Idee "deren nachdrucklichen Ausdruck, die Philosophie ist" yang tergambar nyata pada filsafat. Jadi menurut Hegel, sejarah ialah sejarah dunia dan masyarakat dibikin Absolute Idee, dan hal ini tergambar pada filsafat. Pada lain tempat Hegel mengatakan, bahwa Negara dan Saat ialah "verwieklichung" penjelmaan, absolute idee itu. Absolute Idee itu sama dengan Metaphysik, Idee sendirinya, idee yang tak dibikin, yang tunggal tak jatuh pada undang sebab dan akibat, hidup dan mati, tak melahirkan atau dilahirkan, tak takluk pada tempo dan tempat, melainkan tunggal, terkuasa dan sempurna. Absolute Idee itu tergambar jitu dan pasti pada filsafat. Absolute Idee akhirnya sama dengan metaphysik, yakni gaib di luar Ilmu Alam, rohani, Ammon kata Egypte purbakala, Dewa Rah.
Rohani inilah yang dicari oleh mystikus, murid tarekat Hindu, kalau ia memandang puncak hidungnya saja, menyebut omm, omm, omm, lepas dari semua yang lahir, pikiran pada perempuan, pada badannya sendiri, lepas dari makanan, ya, lepas dari suaranya sendiri, omm, omm, omm tadi. Kalau beruntung seperti Gautama Budha, maka leburlah Rohani, Jiwanya dengan Rohani yang mengisi Alam ini.
Feurbach, materialis besar, yang dianggap jembatan antara Hegel dan Marx, mula-mula memakai Dialektika juga. Buah pikirannya ketika itu banyak memberi alat pelajaran pada Marx dan Engles. Tetapi setelah Feurbach melemparkan Dialektika sebagian besar disebabkan hidup terpencil, seolah-olah terbuang dari pergaulan, maka hasil pemeriksaannya jauh terbelakang dari Hegel. Hegel dianggap oleh kaum materialis sebagai ujung filsafat yang negatif, yakni ujung yang membatalkan, ujung yang buntu. Feurbach dianggap sebagai ujung yang positif, yakni pembuka jalan yang baru ke jalan Dialektis Materialistis. Kaum Marxis sepenuh-penuhnya mengakui kemanjuran senjata Dialektika, tetapi membuang Idealisme Hegel.
Marx, sesudah beberapa lama dikagumi dan dipengaruhi Hegel, (sebagai pelajar ia bisa hapalkan pasal-pasal yang penting dari Hegelisme), akhirnya memasang Hegelisme di atas kakinya. Hegelisme yang selama ini dianggap berkepala di kaki dan berkaki di kepala, dibalikkan sebagai mana mestinya. Bukan pikiran yang menentukan pergaulan, melainkan pergaulan yang menentukan pikiran.
"Negara kata", kata Marx "ialah satu akuan dan hasil dari perjuangan klas". Perjuangan klaslah yang menjadi "Motive-Force", kodrat pergerakan sejarah masyarakat, kodrat mengubah bentuk Negara, jadi bukanlah "Absolute Idee", seperti kata Hegel. Zaman berbudak bertukar menjadi Zaman Feodal, Zaman Ningrat. Zaman Feodal itu sesudah Revolusi Perancis pada tahun 1789 bertukar menjadi Zaman-Kuno dalam pandangan sekarang. Dialektika, yakni pertentangan yang berlaku pada zaman Berbudak, ialah pertentangan budak dan tuan. Pada zaman feodal, pertentangan Ningrat dan Tani, pertentangan pemimpin gilde dengan anggota gilde. Pada zaman Kapitalisme sekarang pertentangan buruh dan kaum modal. Pertentangan klas yang berdasar atas pertentangan ekonomi itulah yang menjadi kodrat buat menumpu masyarakat pada satu bentuk ke bentuk yang lain, dari satu tingkat ke tingkat yang lain. Dari masyarakat berdasarkan perbudakan ke masyarakat berdasar keningratan, ke masyarakat berdasar kemodalan. Jadi pertentangan itu bukan pertentangan ide saja, seperti menurut paham Hegel – nanti akan diteruskan – tetapi pertentangan barang yang nyata, pertentangan antara dua klas besar yang berjuang, yang sekarang terus berjuang.
Pertentangan klas, ialah klas manusia, ialah barang yang nyata itu, berdasar atas pertentangan ekonomi yang dipertajam oleh kemajuan tehnik. Tehnik yakni perkakas yang dipakai dalam pergaulan, perkakas yang pada zaman ini dimiliki oleh kaum berkuasa dan kaum berpunya, menjadi alat adanya perjuangan klas itu. Semua perkakas dan klas manusia, yang menjalankan peranan dalam sejarah kita manusia ini adalah barang yang nyata semuanya. Peranan sejarah itu, tiadalah dibikin dan dikemudikan oleh Absolute Idee itu, sebagaimana juga sejarah tumbuhan-hewan-manusia, bumi dan binatang tidak dikemudikan oleh Dewa Rah, Rohani, Ahimsa dsb.
Sebagaimana bumi dan bintang berjalan, bersejarah, menurut undang tarik menarik yang didapat oleh Newton, sebagaimana tumbuhan-hewan dan manusia bersejarah menurut undang-evolusinya Darwin, beginilah sejarahnya masyarakat manusia bersejarah menurut undangnya Historisch-Materialisme (Sejarah Materialisme), yang juga dinamai Dialektika Materialisme.
Dengan lahirnya Marxisme, maka Hegelisme berbelah dua: Dialektika Idealistis dan Dialektika Materialistis. Yang pertama dipegang oleh kaum yang bermodal dan berkuasa dengan pengikutnya, yang kedua, oleh kaum proletar yang revolusioner. Di antara dua filsafat bertentangan tadi, sudah tentu ada bermacam-macam filsafat bukan buat bertarung. Hegelisme yang memang revolusioner terhadap kaum Ningrat Jerman, tetapi kontra revolusioner terhadap kaum Proletar, sudah tentu baik buat tempat berlindungnya kaum reaksioner seperti kata Marx: "Dalam bentuknya yang reaksioner, Hegelisme menjadi adat, sebab bentuk ini menerjemahkan keadaan yang ada".
Idealisme tak akan mati selama masih ada perjuangan klas ini, selama ada kaum yang menghisap dan menindas. Kaum hartawan yang berkuasa pada satu pihak, mengemukakan ide, intelek, pikiran, terhadap kaum terhisap dan tertindas, pada lain pihak ia memakai kemegahan, majiat rohani buat meninabobokan kaum pekerja, supaya nanti mendapat nikmat, bidadari, yang matanya seperti mata burung merpati dan kesenangan kekal akhirat.
Demikianlah sesuai dengan perjuangan kelas, idealisme atau tak berdialektika, membentuk dirinya supaya cocok dengan keadaan klas yang memegangnya. Dimana Kapitalisme masih muda, kokoh karena sedang naik seperti Amerika, maka lahirlah idealisme berupa "pragmatisme" yang dikemukakan oleh John Dewey. Filsafat pemikir dari negara yang mempunyai "the biggest of all", semuanya paling jempol, ini katanya berdasarkan "objective truth", hakekat yang obyektif, yang tenang, tetapi kalau diperiksa lebih dalam, maka nyatalah bahwa "objective truth", tadi bergantung pada paham, cita-cita dan perasaan borjuasi Amerika "the country of the free", negara merdeka ialah buat borjuasi amerika. John Dewey mengambil masyarkat borjuis dan paham borjuis sebagai titik permulaan berpikir, ketika Amerika dalam kaya raya. Sekarang, sampai sebelum perang ini kemakmuran Amerika, yang disangka akan tinggal kekal tadi, sudah menyusuli kawannya di Eropa Barat. Krisis sudah bersimaharajalela dan tetap.
Sekarang buat 11.000.000 buruh, jadi buat kira-kira 33.000.000 buruh dengan anak bininya, "obyective truth" tadi, tidaklah begitu "obyective", tidaklah begitu tenang. Semua barang yang memberi ketenangan buat borjuis seperti harta benda, justisi, polisi dan hak milik turun menurun, adalah benda yang mengacaukan paham, perasaan dan penghidupan kaum proletar Amerika sekarang.
Dimana pergerakan buruh berpengaruh sekali seperti di Jerman sebelum perang 1914-1918, maka dalam kalangan proletar sendiri idealisme itu tiadalah berani keluar terang-terangan. Dalam kalangan kaum proletar sendiri masuk bermacam-macam isme, yang diluarnya berupa materialisme, tetapi pada dasarnya terdapat idealisme. Lenin dalam bukunya: "Empiris-Critism" dengan terang dan jitu mengemukakan, pemisahan kaum ahli filsafat atas dua partai, seperti pertama kali dikemukakan oleh Engels, ialah partai ahli filsafat idealis dan partai materialis. Dengan sempurnanya Lenin membuka kedok yang dipakai oleh Empiris-Critism, Machinisme Neo Vitalisme, dll. Dan memperlihatkan idealisme yang sebetulnya jadi dasar filsafat mereka.
Di Rusia usahanya Lenin dan Plechanoff, (yang dalam kalangan Marxisten di Rusia sendiri sering saya dengar bahwa Plechanoff lebih besar dalam ilmu filsafat dari pada Lenin), usahanya dua ahli filsafat Materialis ini akhirnya menjatuhkan kekuasaan filsafat Idealisme di Rusia dan memaksa dia bekerja diam-diam. Dialektis Materialisme ialah Ilmu Pemandangan Dunia, “Weltanschauung" yang resmi, opisil di Sovyet Rusia.
Di sebelah Barat Eropa, idealisme masih sangat berkuasa dan pada masa ini idealisme-lah yang resmi. Idealisme Barat mendapat bentuk baru, dan pakaian baru, ialah anarchisme palsu, dari ahli filsafat Bergson dan syndikalisme dari Serel. Anachisme Bergson bukanlah anarchisme beraksi, seperti ilmu yang dipeluk oleh anarchis besar, ialah Bakunin. Bergson, Spengler dan Nietsche (yang belakang ini ialah satu filosoof krachtpatser, siapa kuat, siapa raja, Ubermensch) inilah yang dipeluk oleh Adolf Hitler dan Nazi. Filsafat Fasisme dianjurkan oleh pemikir Geovani Gentile.
"Facisme", kata pemikir ini "bukanlah New System, tata filsafat yang baru, melainkan aksi-baru dan paham-baru". "Manusia" katanya pada hakekatnya beragama. Manusia dan Tuhan selalu dalam "ewige Bewegung der Selbstverwirklichung", pergerakan kekal buat berpaduan.
Sedikit kita selidiki, filsafat partai fasis, yang sebetulnya pertama sekali menaikkan bendera reaksi di Eropa Barat, apabila partai Bojuis liberal kacau, partai Sosialis maju-mundur dan partai Komunis sebagian tak berpengalaman, tetapi terutama juga "sangsi" sebab negara Italia, kalau dikomuniskan gampang dikepung dan dijauhkan oleh Kapitalisme Eropa Barat dan Amerika.
Fasisme kata Geovani Gentile, bukan tata filsafat baru memang tidak, kalau dipandang dari kaca-mata idealisme. "aksi-baru dan paham-baru" katanya pula. Aksi kaum tengah dan paham kaum tengah terhadap proletar dengan pertolongan kapitalis, memang baru dalam perjuangan proletar – kapitalis model baru. Tetapi kalau kita baca Marx dalam buku "18th Brumaire of Louise Bonaparte", tentang aksi dan paham Louise Bonaparte di Perancis, maka aksi dan paham Facisme Italia tadi cuma bentuk baru dari aksi dan paham tua. Mussolini, bapak fasisme juga amat tertarik oleh Napoleon Besar "ommpya" dari Louse Bonaparte sampai ia mentonilkan Napoleon, yang katanya orang Italia itu.
Bahwa manusia dalam batinnya beragama, ini dibatalkan oleh beberapa penyelidikan yang tenang, yang membuktikan beberapa bangsa di dunia tak mengetahui agama. Akhirnya kalau kita baca "pergerakan kekal buat perpaduan manusia dan Tuhan" menurut filsafat fasis itu, kita ditarik lagi ke negara Kapilawastu, ke kaki gunung Himalaya; mengagumkan percobaan Gautama Budha, mempersatukan rohnya dengan roh Alam buat masuk ke Nirwana. Cuma Gautama Budha tak seperti Mussolini memakai tongkat dan "kastor-olie" buat mematahkan semangat dan paham musuhnya Mateotti, pemimpin sosialis Italia, musuh besar Mussolini yang hilang lenyap selama-lamanya buat melakukan "paduan dengan Tuhan itu" dengan lekas.
Perjuangan klas tertutup dan terbuka. Inilah arti filsafat yang sebenarnya dari arti Dialektika yang sebetulnya. Ia boleh melayang tinggi seperti Hegelis dan tinggal di tanah, di perut, seperti dialektis materialisme (orang mesti makan dahulu sebelum berpikir, kata Engels), tetapi filsafat itu adalah bayangan masyarakat yang bertentangan, bukan bayangan Absolute Idee seperti kata Hegel.
Pada permulaan, filsafat itu timbul pokok, yang jadi persoalan, ialah "semua ini". Ahli filsafat bertanya: "semuanya ini, bumi, langit dan pikiran itu sendiri, apakah artinya?" Lama-lama persoalan "semua ini" cerai-berai. Bumi dan langit sudah jatuh menjadi ilmu Bintang, yang sesudah Galilei, Copernicus, Newton, Einsten dll. Mendapat undang yang sementara boleh dikatakan sempurna.
Bumi kita ini jatuh kepada Ilmu Bumi, Geography dan Ilmu Tanah, Geology, yang sendirinya mempunyai daerah dan mempunyai undang pula. Perkara yang berhubungan dengan Zat dan Kodrat, jatuh pada Ilmu Alam. Perkara yang berhubungan dengan berpaduan beberapa zat, sehingga mendapatkan sifat baru, termasuk pada Ilmu Kimia. Ilmu Alam yang mulanya memeluk Ilmu Kimia, sekarang menceraikan dirinya dari Ilmu Listrik, yang sekarang karena besar daerahnya dan dalam artinya mesti dipelajari sendirinya.
Pemeriksaan atas tumbuhan jatuh pada Ilmu Tumbuhan, dan pemeriksaan atas hewan dan manusia jatuh pada Ilmu Hewan dan Ilmu Manusia. Ilmu Hidupnya asal dan penjelmaannya Tumbuhan, Hewan dan Manusia, jatuh pula pada Biology, satu Ilmu yang boleh dikatakan muda, dan banyak sekali mengandung arti buat kita. Umpamanya perkara evolusi atau pertumbuhan otak dan Pikiran dari otak binatang sampai ke otak manusia.
Sudahlah tentu satu Ilmu dengan yang lain, ada seluk beluk dan perhubungannya, Ilmu Alam dan Ilmu Kimia, mesti diketahui ahli yang mempelajari Ilmu Kedokteran. Begitu pula agriculture, Ilmu Pertanian tak bisa berpisah dari Ilmu Alam dan Ilmu Kimia tadi. Demikianlah pula seorang Insinyur, jatuh dan berdiri dengan Ilmu Alam dan Matematika.
Syahdan, maka masing-masing Ilmu di atas tadi, disebabkan kemajuan pergaulan kita, kemajuan industri, perniagaan dan pesawat terpaksa dipecah-pecah lagi, terpaksa di-"specialiceer" lagi, terpaksa dipencilkan dan diistimewakan lagi. Dengan begitu perkara yang tiada berkenaan bisa disingkirkan dan waktu itu boleh dipakai buat memeriksa dan memperdalam perkara yang diistimewakan itu. Ilmu Kedokteran sudah pecah menjadi kedokteran umum, perkara gigi, telinga, mata, kanak-kanak dsb. Adalah bahaya buat Science, kalau pecah-pecahan itu (pada Ilmu yang sudah banyak itu) akan pecah terus, dengan tidak lagi mengetahui perhubungan satu Ilmu dengan Ilmu yang lain.
Bahaya itu kebetulan sudah diketahui dan amat dipelajari muslihat buat menjauhkannya. Kalau saya tak salah, maka perkataan filsafat sekarang diterjemahkan juga buat menggambarkan daya upaya mempersatukan Ilmu bermacam-macam itu, jadi buat memeriksa seluk beluk dan perhubungannya. Dengan begitu, maka si Scientist, si Ahli mungkin kehilangan hutan, karena sangat memperhatikan pohon-pohon saja.
Lupa garis besar, karena senantiasa memperhatikan garis yang kecil-kecil saja. Daya upaya semacam inilah sekarang yang sering diartikan oleh perkataan filsafat. Bukan lagi sikap yang diambil oleh ahli filsafat purbakala, yang dengan memangku tangan dan tafakur, bertanyakan: "Apakah artinya Alam dan apakah artinya pikiran itu?" Demikianlah kalau kita peramati kemajuan Ilmu Filsafat tadi, maka kita lihat pada Zaman Tengah tahun 478-1492 si pencari Hakekat dilekati oleh Ketuhanan. Kaum Scolastic, namanya di Eropa Barat tak bisa mencari hakekat itu, kalau persoalan itu tiada digarami, dilimaui (dijeruki) dan dimasak dengan God dan agama ialah agama Nasrani. Sesudah itu, pada zaman borjuis filsafat tadi sudah susut pada persoalan "Jasmani dan Rohani", badan dan pikiran. Sudah lama pula filsafat ini jatuh ke tangan psychology, Ilmu jiwa, Ilmu yang memeriksa "the working of the mind" kerjanya otak. Ilmu ini tidak lagi direnungkan oleh si pemikir di atas kursi malas dalam otaknya saja, melainkan sudah dimasukkan ke laboratorium. Disinilah otak binatang dan manusia dipisah, diperiksa, diexperimentkan, diperalamkan. Disinilah instinct, yakni pikiran hewan, perasaan, kemauan hewan dan kecakapan hewan dalam belajar, diperiksa, diperalamkan, diuji dan dibandingkan dengan akal, perasaan dan kemauan manusia. Experimentalis William James dan Thorndyke di Amerika, Pavlov di Rusia dan experimentalis yang lain, banyak mengumpulkan pengalaman yang berharga dan masih banyak persoalan yang mesti diperalamkan dan diuji oleh Ilmu yang muda tetapi sangat menarik hati. "Ketahuilah dirimu sendiri “. Inilah sari persoalan dari seorang ahli filsafat Yunani yang terkenal ialah Socrates.
Sekarang persoalan ini sudah menjelma menjadi pemeriksaan atas "the working of the mind", kerjanya otak, yang sudah dimasukkan ke laboratorium bersama dengan Ilmu lain-lain yang berdasarkan experiment, pengalaman.
Filsafat bertukar, artinya bertukar rupanya dan pecah belah menjadi beberapa ilmu yang berdasarkan experiment.
Engels sudah mendapat kesimpulan, bahwa sisanya filsafat ialah Dialektika dan Logika. Semua cabangnya yang lain jatuh pada bermacam-macam Ilmu Alam dan sejarah, ialah sejarah masyarakat Indonesia.
Marx memandang dari sudut pertarungan klas, berkata dalam 11 thesis : Die Phylosophen haben die Welt nur verschienden interpretiert. Es komt aber daraufan die Welt zu veraendern. Para ahli filsafat sudah memberi bermacam-macam pemandangan tentang dunia itu. Yang perlu ialah menukar (merubah) dunia itu!
MADILOG
Tan Malaka (1943)
________________________________________
BAB III
ILMU PENGETAHUAN - SAINS

SUDAH kita bicarakan, bahwa timbul, tumbuh, dan tumbangnya Indonesia Merdeka di dunia (“besar hendak melindih, lemah makanan yang kuat, bodoh makanan yang cerdik”) terutama tergantung pada industri. Pada industri kita jumpai perkawinan sains dan teknik, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sains dan teknik tak bisa dipisahkan, seperti juga energi dan materi. Sains dilaksanakan di teknik dan kemajuan atau kemunduran teknologi memajukan atau memundurkan ilmu pengetahuan pula.
Kalau Indonesia tidak merdeka, maka ilmu pengetahuan akan terbelenggu. Semua negara merdeka sekarang menasionalkan, merahasiakan penemuan, guna dipakainya sendiri untuk persaingan dalam perniagaan atau peperangan! Saintis (ilmuwan) Indonesia, janganlah bermimpi akan bisa leluasa berkembang selama pemerintah Indonesia dikemudikan, dipengaruhi, atau diawasi oleh negara lain berdasarkan kapitalisme, negara apapun juga di bawah kolong langit ini. Kemerdekaan sains itu sehidup dan semati dengan kemerdekaan negara. Begitu juga kemerdekaan sains bagi satu kelas, sehidup dan semati dengan kemerdekaan kelas itu.
Walaupun Indonesia terkaya di dunia, tetapi selama sains tiada merdeka, seperti politik negaranya, maka kekayaan Indonesia tidak akan menjadikan penduduk Indonesia senang, melainkan semata-mata akan menyusahkannya, seperti 350 tahun belakangan ini. Politik dan kecerdasan bangsa asing akan memakai kekuatan Indonesia untuk memastikan belenggu Indonesia seperti ular kobra memeluk mangsanya.
Begitulah ekonomi politik dan sains itu satu paduan yang tidak boleh dipecah-pecahkan. Bibit sains yang diakui kebenarannya di seluruh dunia, sekarang kita dapati pada bangsa Yunani. Sepanjang pikiran saya bangsa inilah bangsa purbakala terbesar jika dipandang dari penjuru ilmu pengetahuan. Ilmu apa saja, kalau kita gali asalnya, kita berjumpa dengan Aristoteles yang menjadi guru besar pemikir Arab. Marx, tak jemu memberi pujian kepada “singa-pikiran” Yunani itu. Galen menanam biji kedokteran. Euclides mengumpulkan matematika. Phytagoras pasti kita pelajari dalam sekolah, kalau kita belajar matematika. Archimedes tak bisa dilupakan dalam ilmu alam. Demokritus dan Heraklitos, bapak teori molekul dan atom, bapak dialektika, menjadi makin berarti seiring dunia yang bertambah tua.
Pada bangsa Arab orang Barat berterima kasih, karena bangsa ini menyimpan dan memajukan kecerdasan Yunani. Al Kimia adalah pusaka dari Arab, yang dimajukan jauh oleh bangsa Barat. Tetapi selain ini, bibit sains tak berapa tumbuh bermula (orisinal) di dunia Arab. Aljabar yang besar sekali artinya dalam sains sekarang, bukan terbit di dunia Arab, melainkan di India. Seperti halnya kompas, ilmu mencetak buku, dan obat bedil, dipindahkan oleh saudagar Arab dari Tiongkok ke Eropa, begitu juga aljabar diambil dari India dan dipindahkan ke Barat. Di sana dia tumbuh dari bibit sampai ke pokok yang bercabang-cabang di masa sekarang.
Sudah tentu mustahil menguraikan sains yang bercabang dan ber-ranting begitu banyak satu per satunya pada buku ini. Satu cabang seperti biologi saja bisa menawan seumur seseorang manusia dengan belum bisa menghabiskan persoalan yang ditimbulkan oleh Biologi itu saja. Tetapi barang siapa di antara pembaca ini berniat mendalami pengetahuan tentang suatu cabang ilmu pengetahuan, maka di masa sekarang cukup jalan untuk memenuhi maksudnya. Dan lagi, maksud buku ini terutama ialah mengemukakan “cara” berpikir tangkas yang dipakai oleh sains. Walaupun cara yang dipakai dalam sains memasukkan juga dialektika dan logika, tetapi sains tentulah mengistimewakan “metode”, cara yang dipakainya sendiri. Dalam sains sendiripun ada berlainan metode yang diutamakan oleh masing-masing cabang.
Matematika (ilmu dan bilangan) memakai cara dan nama lain dari ilmu alam dan biologi, walaupun semangat dan pokok besar kedua cara yang dipakai sebetulnya sama juga. Sebagaimana ilmu alam dan kimia dan lain-lain, sekarang dipengaruhi oleh dan didasarkan atas elektronika, begitulah pula semua cabang ilmu sekarang, dipengaruhi dan disandarkan pada matematika.
Sudah diketahui, bahwa ilmu teknik sipil, kimia atau listrik, sehidup semati dengan matematika. Setelah Mendelisme diakui kebenarannya, maka biologi Darwinisme yang bersandar pada logika dan dialektika saja, sudah tak berpisah lagi dengan matematika. Begitulah pula ilmu sosial, seperti ekonomi, tidak merasa sempurna kalau tidak disandarkan pada statistika, yang merupakan bagian matematika pula. Kita sudah ketahui, bahwa ahli bintang yang terbesar seperti Newton, Laplace, dan Einstein juga ahli matematika terbesar.
Buat pemikir sosial, walaupun dialektika dan logika yang diutamakannya, tetapi cara berpikir yang dipakai oleh ahli matematika juga tiada percuma kalau diketahuinya. Seperti pemain sepak bola yang tiada rugi kalau dia mempelajari tenis atau berenang, begitulah juga pemikir sosial pada siapa Madilog dipusatkan, akan bertambah kecerdasannya, kalau ia mempelajari dan memahami cara yang dipakai matematika.
Seorang bertubuh baik dan kuat, kalau sudah dilatih dengan silat yang baik, akan berbeda pandang langkah sikap dan tangkisannya terhadap serangan lawannya dari pada ketika ia masih hijau, belum dilatih. Begitulah juga otak yang sudah dilatih oleh matematika, lain sikapnya terhadap suatu persoalan daripada otak mentah. Tiada percuma orang barat mendasarkan sekolah rendah dan menengah pada matematika. Tiada percuma Euclides, ahli matematika Yunani, dijadikan guru pemuda di seluruh dunia beradab masa sekarang. Pendidikan Indonesia, saya pikir baru sempurna kalau pemuda putra dan putri, atas belanja negara mesti tamatkan SMP, kecuali satu dua yang betul tak kuat otaknya untuk menjalankan.
Entah dari mana, buku, majalah, atau surat kabar apa, saya sudah lupa, tetapi dalam pelarian saya yang lebih dari 20 tahu itu, tiga definisi yang pendek dan jitu yang saya ingat tentang sains adalah:
1. Sains ialah accurate thought, ilmu empiris, ialah cara berpikir yang jitu, tepat, atau paham yang nyata.
2. Sains, ialah organizations of fact, penyusunan bukti.
3. Sains, ialah simplification by generalisation, penyerderhanaan generalisasi.
Ketiga definisi ini satu sama lainnya berhubungan dan isi mengisi, tambah menambah. Dipandang dari satu penjuru, yang pertamalah definisi yang jitu. Dari penjuru yang lain yang kedualah dan seterusnya.
Bermula sekali diatas saya memakai kata definsi, artinya ketentuan, kepastian. Definisi penting sekali untuk segala macam sains, buat accurate thought. Penting buat matematika, ilmu alam dan logika.

Pasal 1. DEFINISI.
SAYA terjemahkan dengan penetapan, pembatasan, pemastian. Artinya ialah untuk menentukan batas-batas yang tepat suatu perkataan atau hukum atau paham. Lebih dahulu mesti kita definisikan definisi itu sendiri. Lebih dahulu kita pastikan kepastian itu “Apakah definisi itu?” adalah pertanyaan yang kita lebih dahulu mesti jawab. Tanpa definisi, tak bisa ada sains, seperti sebetulnya keadaan di seluruh dunia Asia sebelum Barang datang. Tak beres definisinya, maka morat marit, cantang perenang dan kacau balaulah sains. Cabang sains yang mau diuraikan seperti ilmu bumi umpamanya, mesti dipastikan dibatasi, didefinsikan lebih dahulu. Kalau tidak, pembicaraan bisa meluap, mengembara kian kemari, melampaui dan meninggalkan cakupannya. Madilog ini umpamanya, ialah satu perkara tentang cara berpikir. Perkara lain, tetapi berhubungan kena mengena dengan Madilog boleh dan mesti diuraikan, tetapi tak boleh melewati dan menyesatkan Madilog dari pokoknya, dari tujuannya, yaitu perkara cara berpikir.
Sesudah cabang sebuah ilmu pengetahuan yang mau diuraikan itu didefinisikan, maka perlulah dipastikan materi bahannya lebih dahulu, yakni segala bukti yang menjadi sendir dari ilmu pengetahuan itu.
Akhirnya, hukum yang diperoleh sebagai hasil pemeriksaan yang tenang mesti dipastikan betul-betul. Demikianlah pentingnya definisi dalam ilmu pengetahuan.
Satu definisi mesti cocok dengan perkara pertama, seperti disebut di atas mesti accurat, jitu, tepat. Apakah yang bisa dinamai jitu, tepat, dan akurat itu? Kalau materi yang dipastikan, didefinisikan itu terbatas, terpagar, dan semuanya berada dalam batas-batas itu (Inggrisnya : mark of the thing, refer to all things). Kalau pagar pembatasannya tak rapi dan tak semua materi berada dalam pagar itu, maka definisi itu gagal.
Dari materi yang mana ia dipagari? Dari materi yang satu golongan, satu kelas dengannya, tetapi mempunyai perbedaan.
Jadi definisi itu bermaksud: pertama, menentukan golongan kelas suatu barang. Dan kedua, perbedaan barang itu dengan barang lain yang satu kelas, satu golongan dengannya. Definisi itu mesti menampakkan essential attributes, sifat-sifat utama. Sifat-sifat yang utama ialah kelas dan perbedaan.
Contoh: kita mau memastikan, mendefinisikan manusia. Lebih dahulu kita mesti mencari golongan, kelas manusia, yaitu hewan. Tetapi hewan itu cukup luas cakupannya. Di dalamnya termasuk ular, kerbau, monyet, dll. Kita tahu monyet itu hewan, dan manusia itu termasuk golongan hewan. Dalam hal ini manusia dan monyet tadi memang bersamaan. Tetapi kanak-kanak pun tahu bahwa manusia bukan monyet, dan monyet bukan manusia. Jadi definisi kita tadi, bahwa manusia itu hewan belumlah pas. Kita mesti mencari perbedaan dengan monyet yang satu kelas dengan manusia itu. Kita tahu, atau sekarang ini kita percya (mesti belum tentu besok keyakinan ini tetap benar) bahwa manusia itu mempunyai akal, dan monyet tidak, cuma berinsting.
Manusia pandai berpikir menurut hukum yang kita namai hukum berpikir atau logika, tetapi monyet cuma berinsting, berkecerdasan yag diberikan alam padanya. Pendeknya, menurut pengetahuan kita sekarang, perbedaan manusia dengan monyet adalah bahwa yang pertama pandai berpikir dan yang kedua tidak.
Definisi, kepastian yang sempurna tentang manusia, sekarang ada seperti berikut :”manusia ialah hewan yang berpikir”. Definisi semacam ini sudah bisa menjawab dua syarat definisi: golongan atau kelas sebuah benda, dan perbedaan antara benda itu.
1. Masuk golongan apa manusia itu? Jawab: masuk golongan hewan.
2. Apa perbedaan manusia dengan monyet yang masuk golongan hewan juga? Jawab: manusia pandai berpikir, monyet tidak.
Selama kita belum mendapat kepastian bahwa monyet tak pandai berpikir, maka tingkat daya upaya kita yang pertama untuk mendapatkan definisi tadi sudah selesai. Dalam hal ini kita mesti naik ke tingkat kedua. Kita mesti uji terus apakah definisi tadi betul memadai. Sekarang mesti kita periksa. Pertama, apakah semua barang yang mau kita definisikan itu (dalam hal ini manusia) masuk ke dalam pagar pembatas atau tidak semuanya. Kedua, apakah ada barang lain yang bukan manusia masuk ke dalam batas itu.
Kalau kita tahu bahwa semua A = B maka sebaliknya, kita mesti bertanya apakah semua B = A. Kalau jawabnya ya, barulah selesai. Tegasnya, kalau kita tahu semua manusia adalah hewan yang berpikir, maka kita mesti bertanya apakah semua hewan yang berpikir itu manusia? Kalau jawabannya ya, maka benarlah definisi itu. Kalau tidak, gagallah percobaan kita.
Marilah kita periksa apakah semua manusia itu adalah hewan yang berpikir.
Kita tahu umpamanya, tetangga kita selalu dipasung. Apa yang dia bilang, kita tidak mengerti. Menggelikan atau menyedihkan hati kita. Orang bilang tetangga ini “gila”. Otaknya sakit, tak beres lagi kerjanya. Dulu beres, Sekarang tidak.
Tidak apa, ini adalah satu exception, satu perkecualian. Sains pun mempunyai exeption. Lagi satu keberatan. Wak Gaib nama kenalan kita itu, cakapnya lain dari orang biasa. Tadi malam katanya ia “naik nafas” pergi ke Kairo berjumpakan Sultan Farouk. Tadi malam juga dia balik ke desa Sawarga, tempatnya tinggal. Cerita semacam ini memang tak masuk pada akal kita manusia biasa. Ini pun satu exeption dari manusia dipasung tadi. Wak Gaib dari desa Sawarga, juga satu perkecualian dari manusia biasa. Tetapi, perkecualian ini tidak seperti perkecualian biasa. Kedua manusia di atas berotak juga dan otaknya berpikir juga, walaupun hasil pikirannya tak sama dengan buah pikiran orang normal.
Untuk sementara, ujian kita lulus, ujian tentang “semua manusia adalah hewan yang berpikir” itu bisa dipakai. Sekarang mesti kita periksa sebaliknya, apakah semua hewan yag berpikir itu manusia.
Walaupun banyak cerita dari pemburu, penggembara, naturalisten, ahli hewan dan tumbuhan yang membuktikan kecerdasan binatang seperti serigala, gajah, monyet, kancil dan pelanduk dalam peri kehidupan mereka, sementara boleh kita putuskan: tak ada di antara hewan yang bukan manusia itu pandai berpikir. Malaikat umpamanya, pandai berpikir. Tetapi kita manusia biasa belum pernah berjumpa malaikat dan kita tak bisa memanggil malaikat pada tempat dan waktu yang kita pilih, seperti kita bisa nyalakan api asal ada latnya pada waktu dan tempat yang kita kehendaki.
Untuk sementara, tak kita dapati barang yang bukan manusia termasuk dalam golongan hewan yang berpikir. Semua manusia termasuk hewan yang berpikir. Sebaliknya tak ada yang bukan hewan berpikir termasuk jadi manusia. Semua hewan berpikir itu manusia belaka (A=B dan B=A). Jadi sementara benarlah definsi kita. Luluslah ujian pada tingkat kedua. Tetapi kerja kita belum lagi sempurna. Kita mesti naik ke tingkat tiga, tingkat penghabisan.
Pada tingkat ini kita mesti periksa, apakah definisi kita mencukupi segala syarat berikut :
1. Definisi sebisa-bisanya singkat, tetapi jangan terlalu luas atau terlalu sempit.
2. Definisi tak boleh circular atau berputar-putar.
3. Definisi itu mesti general atau umum.
4. Definisi tak boleh memakai metafor, ibarat, kata figuratif, penggambaran, kata yang obscurate, menggunakan perkataan gaib, samar.
5. Definisi tak boleh memakai kalimat negatif.
Marilah kita jelaskan satu persatu.
1. Definisi itu sebisa-bisanya singkat. Sebisa-bisanya!
Ada kalanya tidak bisa dipendekkan. Kalau dipendekkan maknanya menjadi sempit. Definisi tak boleh terlalu sempit dan tak boleh terlalu luas. Kalau saya bilang “manusia itu hewan”, maka betul definisi singkat tapi juga monyet dan ular termasuk hewan. Jadi kalau definisi ini kita balik, kita dapati “hewan itu manusia”. Tegasnya, ular, kerbau dan monyet itu manusia. Begitu juga kalau saya bilang “manusia itu hewan bermata dua sebab kera dan ikan bermata dua.”
Definisi itu tak boleh sempit, ia mesti punya essential attributes: segala sifat penting yang tak boleh lupa. Kalau kita katakan kuda itu binatang memamah, maka definisi itu terlalu luas sebab kerbau juga binatang memamah. Tetapi jika kita berkata “kuda itu binatang memamah buat ditunggangi Pangeran Diponegoro”, maka artinya menjadi terlalu sempit sebab selain untuk ditunggangi Pangeran Diponegoro, dia juga dipakai buat penarik delma, bajak dsb.
Dalam matematika kita lebih mudah mencari contoh. Sebab memang matematika adalah buah pikiran yang pasti berdasar bukti yang didefinisikan lebih dahulu.
Demikianlah square, bujursangkar ialah satu gambar datar tertutup dibatasi oleh 4 garis lurus yang sama panjang, mempunyai 4 sudut siku-siku. Di sini bukan satu saja sifat yang penting. Pertama, dia mesti “gambar datar tertutup”, bukan gambar pada tempat bertinggi rendah. Bukan terbuka, melainkan semua sisinya bertemu. Kedua, dia mesti dibatasi oleh 4 garis lurus yang sama panjang, bukan 3 atau 5. Garisnya lurus tak boleh bengkok, panjang garis itu sama pula. Ketiga, 4 sudutnya mesti siku-siku. Satu pun dari ketiga sifat diatas tak boleh tertinggal. Kalau tertinggal bukan square yang kita peroleh.
Memang definsi sebisa-bisanya pendek, tapi mesti mengandung semua sifat penting.
2. Definisi itu tak boleh circular, berputar-putar.
Kesalahan ini didapat kalau kita memakai perkataan lain yang bersamaan artinya. Contoh dari Aristoteles. “Tumbuhan ialah benda hidup yang mempunyai jiwa vegetable”. Sedangkan vegetable itu artinya tumbuhan juga. Jadi sebenarnya definisi ini: “tumbuhan ialah barang hidup yang mempunyai jiwa tumbuhan”. Di sini nyata, tumbuhan balik artinya pada tumbuhan. Setali tiga uang. Dengan begitu kita tak mendapat kepastian penjelasan tentang tubuhan. Demikianlah kalau Mahatma Gandhi mendefinisikan bahwa “ahimsa itu soul force”, kekuatan jiwa yang berdasar kasihan, seperti simpati, rohani. Apakah “kekuatan jiwa itu”? Itulah yang perlu lagi dibuktikan dengan mengganti nama baru yang mesti diterangkan pula, maka pekerjaan itu berputar-putar di sana saja, seperti menghesta kain sarung. Begitulah seorang kenalan saya tak akan memberi keterangan apa-apa, kalau definition itu dia jelaskan begini : “Definition, ialah satu ketentuan yang pasti, yang ditentukan oleh ketentuan yang tentu”. Disini dia pakai perkataan “ketentuan” dan “pasti” berulang-ulang, artinya sama dengan definisi. Meskipun definisinya itu panjang, dia tak memberi keterangan baru, karena keterangan yang diberikannya itu tak berpangkal tak berujung.
3. Definisi itu mesti general atau umum.
Dia mesti umum, biasa, lebih dikenal dari para barang yang hendak didefinisikan. Hewan lebih umum, lebih luas cakupannya daripada manusia. Sebab ke dalam daerah hewan termasuk juga monyet, ular, ikan, dan bukan saja manusia. Tetapi walaupun cakupannya lebih luas, pengertian umum itu sebisa-bisanya lebih dikenal, jangan diketahui oleh kaum istimewa saja, kaum terpelajar saja umpamanya. Contohnya definisi berikut ini. Walaupun betul, cuma diketahui oleh sebagian kecil manusia saja. “Jam adalah sebuah kronometer untuk mengukur waktu dengan jitu”. Cukuplah kalau dibilang “jam adalah perkakas buat mengukur waktu”. Tak perlu kita pergi ke kapal, dimana orang pakai semacam jam istimewa yang bernama kronometer untuk pekerjaan yang kurang dikenal khalayak! Kecuali kalau tak ada cara alin daripada cara khusus ini tadi.
4. Definisi tak boleh memakai metafor, perumpamaan, kata figuratif dan kata yang obscurate, gaib.
Kita dengan definisi hendak memastikan, membuktikan dan menerangkan suatu barang. Dengan memakai ibarat saja, penggambaran saja dan memakai perkataan gaib yang tidak bisa dikenali panca indera, barang yang mau kita definisikan itu tak akan bertambah nyata. Malah sebaliknya.
Demikianlah kalau seorang penyair, tukang metafor yang tulen, mengumpamakan dirinya sebagai “sepantun anak ikan yang di waktu pasang besar hanyutlah ia”. Dalam satu hal dia memiliki persamaan dengan ikan. Ikan dihanyutkan pasang dan si penyair dihanyutkan sengsara hidup, walaupun sengsara hidupnya itu seringkali cuma didapat di ujung pena Parker-nya saja. Tapi lain dari itu tak banyak persamaan anak ikan tadi dengan penyair kita. Kalau dalam mendefinisikan penyair kita definisikan anak ikan sebagai gantinya, maka masuklah pula segala sifat anak ikan yang tak ada pada si penyair. Umpamanya kepala si anak ikan selalu dingin, kecuali kalau sudah masuk kuali. Sedangkan kepala si penyair belum tentu dingin, adem selalu.
Begitu juga dengan memakai gambaran atau memakai kata-kata gaib, barang yang akan dipastikan tak akan bertambah pasti, malah sebaliknya bertambah gaib.
Demikianlah kalau sekiranya saya sajikan definisi tentang Rohani kepada pembaca yang terhormat: “Rohani itu ialah satu kodrat, laksana Sang Garuda Rajawali yang mengendari bulan dan matahari, dan menerbitkan bintang dan bumi yang bisa menjelma menjadi Kuman Pasopati memasuki Pagar Jasmani”.
5. Definisi tak boleh memakai kalimat negatif (tak ber-).
Kalau saya definisikan orang miskin sebagai orang ynag tak kaya, maka definisi itu negatif. Tak bersifat yang nyata, yang positif. Bandingkanlah dengan definisi ini: orang miskin ialah orang yang tak punya harta benda apa-apa. Kadang dalam matematika sebuah definisi bersifat negatif, tapi ia sebenarnya positif. Umpamanya: satu garis lurus itu tak mengubah tujuannya. Di sini kata “tak mengubah” berarti “menetapkan”. Jadi definisi itu boleh diganti menjadi: satu garis itu menetapkan tujuannya. Kadang-kadang tak ada akal lain kecuali memberikan definisi yang negatif, umpamanya: gelap itu ialah tak terang.
Apabila Gautama Budha disesakkan oleh muridnya dengan pertanyaan yang berhubungan dengan sifat nirwana, rohani, atau jiwa, maka dia jawab: 1. Bukan ini. 2 Bukan itu, 3. Bukan ini atau itu (either this or that, Inggrisnya). 4. Bukan tak ini dan tak itu (not neither this or that).
Barangkali sebagai pusaka dari putera raja kapilawastu yang memang pandai sekali memakai logika, walaupun berdasar mistika, maka di masyarakat Indonesia pun kita berjumpa dengan “jawaban main tidak” itu dalam ilmu gaib.
Terlampau panjanglah sudah uraian kita tentang definisi. Tetapi definisi itu kita anggap sebagai wilayah sains, ilmu pengetahuan. Tak berdefinisi, maka semua ilmu tinggal satu onggok bukti saja, seperti seonggok pasir, tak ada pertalian masing-masing pasir. Baru kalau didefinisikan, yang berarti juga diorganisir, disusun, digenalisir, baru segala bukti yang teronggok tadi jadi sains. Onggokan pasir tadi baru bersatu dan kokoh, kalau diikat dengan semen.

Pasal 2. MATEMATIKA
ILMU tentang bidang dan bilangan yang kita pakai sekarang pada semua sekolah yang berdasar peradaban barat ialah matematika, yang disusun oleh Euclides. Walaupun aljabar amat penting dalam semua ilmu pengetahuan, sekarang tiadalah dia akan saya ambil sebagai model, contoh untuk menjelaskan cara berpikir yang dipakai dalam matematika. Barangkali di antara para pembaca tentu ada seperti saya yang selalu diingatkan oleh guru, kalau menjawab perhitungan aritmetika janganlah memakai cara aljabar. Peringatan dari guru itu bermakna sekali.
Memakai jalan aljabar tidak menambah kecerdasan, di masa kita masih memanjat tingkat yang pertama sekali dalam matematika. Bisa jadi cara berpikir aljabar itu membatasi otak kita. Menjadikan kita berpikir mekanis, seperti mesin, tiada memakai penyelidikan lebih dahulu.
Seperti mesin berhitung yang sekarang ini banyak dipakai begitulah jadinya otak kita. Memindahkan persoalan berhitung aritmetika tadi pada persoalan aljabar yang memang memudahkan semua persoalan dan lekas mendapatkan hasil. Tiadalah lagi dipikirkan jalan, cara, metode mana yang dipakai dan cara mana yang pendek dan jitu di antara beberapa cara. Yang dipikirkannya ialah lekas mendapat hasil, pendapatan yang betul, result. Sedangkan sebetulnya cara mendapatkan hasil itulah yang lebih penting dari pada hasil itu sendiri. Begitulah menurut pendapat penulis ini.
Belakang hari di kelas sekolah yang lebih tinggi, penulis juga tiada begitu lagi memperhatikan hasil itu. Kalau sudah terlihat cara yang baik di antara dua atau lebih cara, maka sering penulis tiada lagi menyelesaikan persoalan itu sampai mendapatkan result dan tidak perdulikan beberapa soal yang bisa diselesaikan dengan hanya satu cara. Dengan begitu, banyak waktu terpelihara dan saya pikir kecerdasan berpikir bisa maju. Pada matematika yang tinggi, hasil itu memang tidak begitu penting lagi.
Memang aljabar lebih abstrak dari aritmetika, lebih terpisah dari pada benda. Pada aritmetika saja kalau kita lihat 2 + 2 = 4, maka tiada lagi kita pikirkan bahwa dua itu cuma bilangannya, nomornya, salah satu dari sifat barang itu, bukan benda itu sendiri. Seperti juga hitam, ialah warna barang, bukan barang itu.
Bilangan itu sudah terpisah dari benda dan bisa mewakili semua benda. 2 itu bisa jadi 2 kerbau atau 2 telur. Kita tahu, kalau 2 kerbau + 2 telur, kita tidak akan mendapatkan 4 kerbau atau 4 telur. Yang 4 itu cuma bilangan. Satu hal yang terpisah dari benda, Cuma ada dalam pikiran abstrak belaka. Syahdan alajabar lebih terpisah, lebih abstrak lagi. Marilah kita ambil formula.
(a+b) (b-a) = a² - b². Kalau a itu 3 dan b itu 2 maka (3+2)(3-2) = 3 ² - 2 ². Di sebelah kiri tanda = kita peroleh 5 x 1 = 5. Di kanan 9 – 4 = 5 pula. Jadi yang di kiri bersatu, sama dengan di kanan. inilah juga asal makna aljabar dalam bahasa Arab. Kalau 4 bukan 3 seperti diatas melainkan 5 dan b bukan 2 melainkan 3 umpamanya, maka kita peroleh (5+3) (5-3) = 5 ² - 3 ². Di kiri tanda = kita peroleh 8 x 2 = 16. Di kanan juga 16, yaitu 25 – 9.
Begitulah seterusnya a itu mewakili tak berbatasnya angka, unlimited, bisa 2, 3, 4 ....begitu juga b, mewakili tak berbatasnya. A itu tak perlu lebih besar dari b, umpamanya (2+3) (2-3) = 2 ² - 3 ² atau 5 x (-1) = 4 – 9 = -5. Q,E, D.
Seperti angka-angka tadi mewakili benda, 2 kerbau atau 2 telur, begitu juga a yang mewakili angka, 2, 3, 4 dsb. Adalah hal yang abstrak, terpisah dari benda. Sedangkan angka itu sendiri sudah abstrak, apalagi huruf a dan b dalam aljabar tadi. Aljabar adalah ilmu yang lebih abstrak dari aritmetika, begitu terpisah dari benda.
Bukan maksud saya mengatakan, bahwa karena matematika terpisah dari benda, maka ia tak berguna. Jadi aljabar tinggi yang lebih abstrak tadi adalah lebih tak berguna. Sudah tentu tidak. Bagaimanapun abstraknya aljabar, dia berdasarkan aritmetika juga, dan aritmetika itu berdasarkan benda juga. Tetapi guna mengambil contoh untuk menjelaskan cara berpikir, tentu kita tak boleh mulai dari ilmu yang sudah abstrak, yang sudah sampai ke tingkat atas itu. Kita mesti ambil permulaan atau pertengahan. Di mana cara berpikir itu masih didasarkan pada barang yang nyata, pada bukti, facts. Kita ambil contoh geometri. Geometri tidak diajarkan di sekolah rendah, melainkan di sekolah menengah.
Bukti, facts, dalam geometri memang tak selalu begitu nyata seperti pada ilmu alam atau kimia. Tetapi cukup nyata dan bisa digambarkan dalam otak atau di atas kertas. Pentingnya geometri terletak pada definisinya yang jitu dan “cara” yang pasti. Keduanya menambah kecerdasan berpikir. Dari geometri kita bisa memanjat ke tangga yang lebih tinggi. Lulusan SMP kalau punya otak sedikit lebih dari rata-rata, saya pikir dengan belajar sendiri bisa sampai ke langit matematika, bila ia cukup sabar dan mempunyai waktu. Tetapi susah, kalau bukan mustahil, mempelajari dan memahami logika dan dialektika kalau tidak lebih dahulu dilatih, dididik dengan geometri.

Pasal 3. GEOMETRI.
BERMULA sekali dalam buku sekolah menengah, kita bertemu dengan definisi geometri kira-kira seperti berikut: ilmu yang mempelajari sifat bentuk tiga dimensi, bidang, garis, dan titik. Sifat yang dipakai dan dipelajari dari badan, tentulah sifat yang berkenaan dengan ilmu geometri saja, bukan yang berkenaan dengan ilmu lainnya, misalnya ilmu alam. Geometri tidak memperdulikan zat berat, panas, dan energi suatu bentuk tiga dimensi.
Satu per satunya didefinsikan pula. Beginilah dipastikan :
Isi adalah bagian dari ruang alam yang berbatas ke semua penjuru.
Bidang adalah batas massa.
Garis adalah batas bidang.
Titik adalah batas garis.
Marilah kita periksa definisi di atas ini dengan melaksanakan pengetahuan ktia tentang definisi.
Isi, katanya, ialah sebagian dari ruang alam, space. Jadi isi masuk golongan, kelas yang lebih umum, yaitu “sebagian ruang alam”. Sebagian itu bukan berarti seluruhnya dari ruang alam yang luas itu. Tetapi 1 m³ udara, juga masuk golongan “sebagian ruang alam”. Kita tahu badan, seperti kerbau, manusia dsb, bukan 1m³ udara yang juga sebagian dari ruang alam. Jadi definisi di atas mesti dipagari, karena terlampau luas. Pagarnya, adalah perbedaan badan dengan barang lain yang sama golongannya.
Anak kalimat “yang berbatas ke semua penjuru” inilah yang menjadi pagar. Isi yang masuk golongan “sebagian dari ruang alam” itu harus berbatas ke semua penjuru. Baik di atas maupun di bawah. Di kiri maupun di kanan. di depan atau di belakang. Isi itu seperti peti dsb. Mempunyai batas bidang. Sedangkan udara yang juga termasuk golongan “sebagian dari ruang alam” tak terbatasi oleh bidang. Seterusnya, semua isi bernyawa atau tidak ialah sebagian dari ruang alam yang berbatas ke semua penjuru. Dan sebaliknya, sebagian dari ruang alam yang berbatas ke semua penjuru ialah isi.
Jadi definisi tentang isi cukup jitu. Golongan dan perbedaan adalah essential attributes. Pula definisi itu pendek, tak berputar-putar, umum, tak mengandung ibarat, kata gaib, dan tidak pula negatif. Pendek kata, definisi itu sempurna menurut sains.
Seterusnya, bidang ialah batas isi.
Begitulah definisi tentang bidang, garis, dan titik contoh dengan sains, jadi sainstifik. Tetapi akan terlalu panjang kalau saya mesti periksa satu persatunya. Terserah kepada pembaca untuk memeriksanya sendiri. untuk menerapkan yang sudah dipelajari.

Sesudah menerangkan tentang geometri dan bukti yang dipakainya, sesudah mengingatkan bahwa definisi itu cocok dengan definisi pertama yang saya kemukakan tentang sains, yaitu akurat, maka saya ingatkan definisi kedua dan ketiga. Sains itu ialah organization of facts, penyusunan segala bukti dan simplification by generalisation, penyederhanaan dengan generalisasi bukti. Kedua definisi ini pun kena mengena, isi mengisi dan keduanya berdasar atas facts, bukti.
Organisasi atau generalisasi dalam matematika berupa teori dan dalam ilmu bintang atau ilmu alam berupa law atau hukum. Kita bisa dengar teorema Fermat dan Euler, Binomium of Newton, Laws of Motion (Hukum Gerak) Newton, Daltons Law (Hukum Kimia Dalton), dll. Teori atau hukum tadi keduanya hasil dari penyusunan dan generalisasi beberapa bukti, berdasarkan atas bukti. Tetapi bukti yang kita pakai dalam geometri, seperti isi, bidang, garis, dan titik berlainan dengan bukti yang diladeni oleh ahli bintang, tumbuhan, binatang, manusia, dan zat.
Isi bisa kita pastikan dengan panca indera kita, tetapi bidang, garis, dan titik cuma bisa kita “hampiri” keadaanya dengan gambaran. Bidang itu tidak bisa berdiri sendiri. Bidang peti tidak bisa kita potong jadi peti tadi. Kalau kita potong berapapun tipisnya, maka jadilah badanlah dia dan mengambil “sebagian dari ruang alam”. Selain itu, maka mesti kita pikirkan sifat yang lekat pada bidang yakni dua dimensi, dua ukuran, dua besaran: panjang dan lebar. Sedang badan itu mempunyai tiga dimensi : panjang, lebar, dan tinggi.
Garis ialah batas bidang. Garis hanya mempunyai satu dimensi, yakni panjang. Jadi ia tak punya lebar. Berapa pun runcingnya pena kita, garis yang kita bikin itu mesti masih punya lebar. Kita tahu yang punya lebar dan panjang ialah bidang. Garis cuma satu dimensi saja yaitu panjang.
Titik ialah batas garis, satu titik berada di ujung dan yang lain berada di pangkal garis. Suatu titik tak punya ukuran, besaran. Bagaimanapun halusnya ujung pensil kita, titik yang kita bikin di atas kertas tadi masih punya 3 dimensi : panjang, lebar dan tinggi.
Nyatalah sudah, bahwa bidang, garis, dan titik yang kita namakan bukti, tidak seperti bukti biasa yang bisa kita saksikan dengan panca indera kita. Tetapi kita bisa hampiri dengan gambaran, seperti molekul, atom, walaupun dalam teorinya menjadi benda yang tak berbatas kecilnya, asalnya dari benda juga. Kita tak perlu lari ke dunia kegaiban. Bidang, garis, dan titik yang mesti kita dekati dengan gambaran walaupun tidak seperti bintang bagi ahli astronomi atau kuman bagi ahli biologi, bukanlah barang yang semata-mata kosong, nothing, seperti rohani.
Kita bisa mendekatinya dengan gambaran dan bisa menggambarkannya dalam otak. Dan semenjak Rutherford, memang sudah bisa dilihat dengan teropong. Walaupun alam tiada memperhatikan dan jarang sekali memberikan kepada kita benda seperti kubus, silinder, bujur sangkar, lingkaran, segitiga, dan garis lurus, tetapi sebagai hasil dari otak, maka ahli matematika, kaum insinyur dan seniman sudah memberikan bermacam-macam gedung, rumah, dan kesenian yang permai kepada kita. Menambah kesehatan dan mempertinggi peradaban kita.
“Cara berpikir” jitu yang melayani bukti, yang teristimewa masuk dalam wilayah geometri tadi saja juga dipakai dalam memikirkan perkara-perkara lain. Atau cara itu berkenan langsung atau tidak dengan cara yang dipakai untuk melayani perkara di luar ilmu ukur. Sebab itu, cara berpikir dalam ilmu ukur penting sekali buat latihan otak.
Pasal 4. TEORI DAN UJIAN.
TEORI mesti diuji. Teori dalam bahasa Inggris bisa didefinisikan sebagai “satu hipotesis yang sudah diuji”. A proved hypothesis. Satu hipotesis ialah satu paham yang sementara dipakai tetapi belum nyata kebenarannya: satu persangka, satu kepercayaan semata-mata. Kalau sudah nyata kebenarannya, ia bernama teori.
Selama atom masih tinggal dalam otak Democritus saja, maka atom tadi dalam ribuan tahun masih tinggal sebagai hipotesis. Tetapi sesudah atom itu sekarang bisa dilihat dengan mikroskop, maka atom itu bukan barang kepercayaan, dugaan lagi, melainkan bukti. Kadang-kadang teori itu juga dipakai untuk ditentangkan dengan praktek. Teori yang tidak bisa dipraktekkan semata-mata tinggal sebagai teori belaka. Teori yang kita maksud di sini adalah teori yang nyata kebenarannya, teori yang sudah diuji dan dilaksanakan sehari-hari.
Disini mesti diingat, bahwa perkataan Latin atau Yunani yang pindah ke bahasa Belanda dan Inggris sudah tidak berubah lagi pengertiannya. Asalnya sama, tetapi perkembangannya berlainan. Begitulah perbedaan terjemahan dan pemakaian kata-kata “teori” dan “probelm” dalam dua bahasa tersebut.
Yang penting buat saya, buat Madilog, ialah metode atau cara yang dijalankan untuk menguji benar tidaknya suatu teori. Metode yang dipakai :
1. Metode sintesis.
2. Metode analitis.
3. Metode reductio ad absurdum.
Ketiga metode ini sukar dilaksanakan dengan tepat kalau tiada mengambil contoh dari geometri sendiri. Sebab itu kita rasa perlu di sini berlaku sebagai murid sekolah menengah untuk menguji benar tidaknya suatu teori (Bagi pembaca yang tidak mempelajari geometri, bagian ini bisa dilampaui saja).
1. Metode sintesis
Untuk melaksanakan metode ini saya ambil teori Pythagoras, filsuf Yunani yang masyhur lebih dari 2.500 tahun yang lampau. Bukan saja teori ini memberi contoh yang baik guna melaksanakan metode sintesis. Tetapi juga sebagai penghormatan kepada pemikir besar zaman purbakala yang dengan beberapa pemikir Yunani lain, boleh dianggap perintis sains. Teori Pythagoras adalah satu anak tangga yang mesti dinaiki pada jenjang geometri, menurut sistem Euclides. Beberapa cara ujian bisa dilakukan. Dulu saya tahu beberapa jalan. Sekarang sudah lupa. Tetapi ujian yang di bawah ini cukup baik buat maksud kita.
TEORI PYTAHGORAS :
“Jumlah kuadrat (lipat dua) dari dua garis sudut siku = kuadrat dari garis miring

Terbukti ABC bersiku (90º) pada A.
Mesti di uji : AC ² + AB ² = BC ²

Ujian: Kita tarik garis tinggi AD (artinya AD membentuk sudut (90º) pada BC
ADC sama bentuk dengan ADB.
Jadi, ADC sama bentuk dengan ADB
(menurut teori sama sebangun) – tingkat I
CD : AC = AC : BC
DB : AB = AB : BC
(menurut teori sudut siku) – tingkat II
Jadi AC ² = CD x BC
AB ² = DB x BC
(menurut teori hukum aritmetika) – tingkat III
AC ² + BC ² = (CD + DB) x BC
= BC x BC
= BC ²
(menurut hukum aritmetika) – tingkat IV
Empat tingkat I, II, III, IV, kita mesti jalani baru sampai ke penghabisan. Masing-masing dari 4 tingkat itu ialah teori geometri juga, tetapi III dn IV ialah teori atau hukum yang dipakai pada aritmetika yang bisa dipakai pula dalam aljabar. Tiap-tiap teori yang dipakai bisa dipecah lagi menjadi teori yang dipelajari lebih dahulu.
Nyatalah sifat atau metode cara sintetis itu memasang teori yang sudah dikenal, sampai teori yang mesti diuji nyata kebenarannya. Kita berjalan dari yang dikenal kepada yang baru. Kita pasang segala teori yang sudah dikenal guna menyatakan yang belum dikenal. Seolah-olah kita berjenjang naik!
Kalau kita pakai jalan analitis, kita berlaku sebaliknya. Kita bertangga turun.
2. Metode analitis
Teori = soal : kalau salah satu dari 2 sisi sudut siku itu setengah dari sisi yang miring (hypotenusa), maka di depan sisi itu ada sudut 30º

Diketahui : sudut CAB = 90 º
AC = ½ BC = CD
Mesti di uji sudut ABC = 30 º
Disini kita tidak kenal atau tak lekas kenal teori yang bisa dipasang guna mencapai maksud kita. Bisa jadi kalau lama kita renungkan atau kita pendam soal ini dalam kepala, maka sesudah satu atau dua jam, satu atau dua hari, sedang mandi atau menyepak bola, sedang minum es atau makan gado-gado, jawabnya tiba-tiba keluar. Tetapi sikap ini tak bisa dipakai dalam ujian. Kalau jalan sintetis tak lekas membawa hasil, maka andaikan teori ini benar.
Jadi sudut ABC yang mesti kita uji itu betul 30 º
Kita bertanya, apakah akibatnya? Kalau akibatnya tidak berlawanan dengan hukum geometri umumnya dan fakta-fakta soal, yaitu bukti teori yang khususnya mesti kita wujudkan, maka benarlah soal itu.
Demikianlah kalau ABC = 30º, maka ACB = 60º. Kalau begitu ADC = 60º sebab AC = CD menurut bukti-bukti soal. Kalau ADC = 60º, maka ADB = 180º - 60º = 120º.
Kalau ADB = 120º, maka BAD = 180º - (120º+30º) = 30º
Kalau BAD = 30º, maka DAC = 60º
Dan ini benar, menurut yang berbukti bermula. Quot Erat Demonstrandum. Demikianlah sudah terbukti.
Nyatalah di atas, kita bermain dengan “kalau” dan main “andai”. Dari ujung yakni perkara yang mesti ktia uji sampai ke pangkal, ke dasar geometri, kita main “andai”. Bila kita tak bertemu dengan hal yang berlawanan, dengan geometri umumnya dan bukti-bukti yang didasarkan pada soal itu sendiri khususnya, maka benarlah jalan kita. Betullah teori atau soal itu tadi.
Dengan metode sintesis kita berjalan dari yang dikenal ke yang belum atau yang mau kita kenal. Dengan metode analitis sebaliknya. Kita berjalan dari yang mau tetapi belum kita kenal, kepada jalan yang sudah kita kenal. Kita ungkap segala yang tersembunyi dalam rahasia baru, dalam teori atau soal baru.
3. Metode reduciton ad absurdum
Ada kalanya kita tak lekas atau tak dapat jalankan 2 metode di atas. Dalam hal ini kita pakai perkakas terakhir, metode reduciton ad absurdum. Kita jerumuskan, sengaja sesatkan siapa yang tak percaya pada teori itu supaya insyaf, bahwa teori itu saja yang benar.

Teori atau soal berkata :
Cuma satu garis siku bisa dijatuhkan dari titik C pada garis AB.
Terbukti : garis AB
Sudut CDA = 90º
Mesti diuji : cuma CD saja yang bersiku (90º) pada AB.

Ujian : kita kerok otak kita mencari teori dan hukum yang kita kenal untuk menyelesaikan soal ini. Tak dapat! kita bermain “pengandaian” dan coba berjalan dari yang belum dikenal pada yang nyata dikenal. Gagal! Kita buntu, keringat sudah keluar, kita sedang dalam examen dan sang waktu hampir berlalu. Sekarang, mau tak mau, lari pada jalan ketiga : reduction ad absurdum.
Seandainya ada garis kedua, bersiku, jatuh dari C pada AB, umpamanya garis CE. Kalau begitu sudut CED = 90º. Maka jumlah 3 sudut CDE = 90º + 90º + Xº, atau 180º + Xº lebih besar dari 180º, maka bertentangan dengan hukum yang sudah dikenal dalam geometri, yaitu: jumlah semua sudut dalam sebuah segitiga selalu 180º. Maka pengandaian tadi absurd. Bertentangan dengan hukum yang dikenal. Karenanya teori yang mau kita uji di atas itu benar.
Pada jalan ketiga ini, pertama kali mengandaikan akibat teori itu salah. Kita berjalan membelakang dari akibat ke pangkal. Akhirnya kita sesat, sebab kita berjumpa dengan hal yang bertentangan dengan hukum atau teori geometri yang sudah diakui kebenarannya lebih dahulu. Jadi akhirnya kita yakin bahwa akibat teori yang mau diuji itu sendiri tidaklah salah. Semua jalan lain malah menyesatkan kita. Kalau akibat disalahkan, maka “dasar-dasar” geometri yang sudah diakui kebenarannya mesti disahkan pula.
PROBLEMA
Dalam problema, yaitu soal-soal membuat sebuah gambar geometri (geometry figure) dengan penggaris dan jangka, kita juga memakai dua cara pertama dalam menguji teori tadi: sintesis dan analitis.
Ada lagi satu cara yang bisa dipakai, yaitu intersection of logic, atau pertemuan jalan. Sesudah gambar geometri tadi dibuat, maka seperti pada teori, kita mesti menguji kebenaran gambar yang kita peroleh. Uji, apakah gambar itu memenuhi syarat yang dituntut oleh problema. Jadi sebuah problema mesti mula-mula dipecahkan baru kemudian di uji.
Untuk meringkas, maka sekarang tidaklah perlu kita membuat gambar untuk menjelaskan dua cara yang pertama, karena sudah masuk pembicaraan kita terdahulu. Untuk memudahkan pengertian, lebih baik kita mulai dengan cara yang baru itu.
INTERSECTION OF LOGIS

Problema: Tariklah garis menyinggung pada satu lingkaran di luar titik tadi.
Diketahui: Lingkaran M lingkaran N
Dikehendaki: Menarik garis menyinggung dari P ke lingkaran dari P ke lingkaran N
Konstruksi : Sambungkan P dengan M
Buat lingkaran penolong M dengan memakai titik M sebagai titik pusat.
Lingkaran N memotong lingkaran pada titik A dan titik B
Hubungkan titik A dan B dengan P.
Jadilah garis PA dan PB sebagai garis singgung yang dikehendaki.
Ujian: Tarik garis penolong MA dan MB. Nyata bahwa sudut MAP dan MBP bersiku 90º, karena masing-masing berdiri pada lingkaran. Garis PA dan PB berdiri tegak lurus atas straal MB dan MA. Jadinya kedua garis PA dan PB adalah dari singgung.
Amatilah sudut MBP. Sudut itu 90º sebab berdiri menentang ½ lingkaran PBM. Ia adalah pertemuan garis PB dan NB di titik B. Titik B pada dua garis PB berlocus, bertempat di seluruh lingkaran M. Dimana dua lingkaran itu bertemu, berselang, seperti di B, disanalah titik B dari garis PB dan B dari garis MB berpadu.
Amatilah sendiri sudut MAP.

Pasal 5. CARA BERPIKIR MATEMATIS DAN KEHIDUPAN
SEBETULNYA cara berpikir dalam geometri tadi, walaupun sedikit lain bentuknya, termasuk juga ke dalam cara kita berpikir sehari-harinya. Makin cerdas otak kita dilatih oleh matematika, makin besar harapan kita akan ketetapan dan kebenaran buah pikiran kita, yakni kalau kita perhatikan syarat lainnya bagi kesempurnaan berpikir.
Kalau seorang bapak yang berpengalaman mengingatkan anaknya yang keras hati bahwa uang yang ada dalam kantongnya itu tidak cukup buat perjalanan yang begitu jauh, maka sebetulnya ia memasang alasan, seperti ahli matematika tadi ketika sedang menguji benar tidaknya suatu persoalan. Si bapak menghitung berapa hari jauhnya perjalanan, berapa belanja seharinya dsb. Kalau dalam perhitungannya, ia menemukan uang yang diperlukan jauh lebih banyak dari uang yang ada di kantong anaknya, maka ia memutuskan bahwa uang anaknya tak cukup. Si anak terburu nafsu, salah perkiraan.
Kalau seorang advokat mengajukan, memasang beberapa hukum untuk membenarkan perbuatan orang yang ia lindungi atau untuk menyalahkan lawannya, maka ia sebenarnya memakai cara yang sehari-harinya juga dipakai oleh ahli matematika.
Makin tersusun alasannya, makin benar satu per satu alasan itu. Makin tangkas ia membentuk alasannya, makin besarlah pengaruhnya pada pendengar.
Lenin, sesaat sebelum Oktober 1917, sesudah ia memperhatikan materialisme dialektis dan mengingatkan pertentangan kelas dalam sejarah dunia dan sejarah Rusia, mendesak pada pengikutnya untuk merebut pemerintahan dengan alasan seperti: 1. Suasana revolusioner – ekonomi dan politik – memang cukup. 2. Partainya memang berdisiplin keras., 3. Seluruh rakyat Rusia memang sudah berada di bawah pengaruh partai Komunis, dan 4. Musuh di dalam dan di luar Rusia sedang bercekcok. Ia memasang semua alasan yang benar dan tepat, karenanya percobaan itu akan berhasil. Teorinya, dalam hal ini teori itu berarti perhitungan, sudah benar. Hasilnya semata-mata tergantung pada kecerdikan dan keberanian yang menjalankan.
Sebaliknya kalau kita mau mengemukakan bahwa Gandhiisme, kalau dipraktekkan sedikit mesti meruntuhkan banyak penduduk dan kecerdasan rakyat India maka susah kita memakai cara sintetis (memasang) alasan untuk menguji paham kita. Dalam hal ini baik kita pakai jalan analitis. Kita misalkan Gandhi dan gandhiisme sekarang mengemudikan India merdeka. Kita tahu bahwa Gandhi menganggapp mesin sebagai setan dan kota tempat berkumpulnya mesin sebagai neraka. Kita tahu, bahwa dia percaya pada “perkakas tenun tangan” yang diangkutnya sampai ke London dan dijadikan syarat hidup bagi pengikutnya. Sekarang kita periksa akibatnya, kalau Gandhi dan Gandhiisme mengendalikan ekonomi Hindustan.
Setan mesin tak dipakai lagi. Dengan begitu pabrik kain, kereta api, pabrik kimia, dan pabrik mesin sendiri tak berguna. Tambang arang, tambang besi, dll mesti ditutup. Ilmu alam, kimia, matematika, dll apa gunanya? Sekoah yang mengajarkan semua ilmu barat itu tak pula akan berguna lagi. Seperti buat Gandhi, satu mangkok susu lembu sehari dengan dua atau tiga biji pisang, barangkali sedikit nasi tak berdaging, cukuplah buat hidup sementara menunggu perpaduan dengan yang Rohani, begitulah mestinya dia anggap besar kecilnya keperluan manusia.
Dengan jatuhnya mesin, jatuhnya ilmu pengetahuan. Dengan jatuhnya ilmu pengetahuan, jatuhlah ilmu kedokteran yang sehidup semati. Semaju mundur dengan ilmu pengetahuan. Dengan begitu tak ada daya upaya lagi untuk memberantas malaria, kolera, pes, atau penyakit baru yang mesti berjangkit akibat pengangguran dan kelaparan yang mesti hebat dahsyat. Dengan jatuhnya ilmu kimia, jatuhlah pertanian. Dan kalau kekurangan makanan, maka seperti dulu, tak ada kapal atau kereta pengangkut makanan dari tempat kaya makanan ke tempat miskin dengan lekas. Matinya manusia seperti dulu lagi, bertimbun-timbun dengan datangnya bahaya kelaparan berulang-ulang. Jadi penduduk India, walaupun boleh jadi suci dan alim seperti Mahatma Gandhi, akan surut anjlok ke bawah kurang lebih 400 juta sekarang.
Dengan jalan memisahkan Gandhiisme sungguh dijalankan, kemudian memeriksa akibatnya seperti seorang ahli matematika, kita sampai pada tesis yang kita majukan, bahwa Gandhiisme mesti setidaknya menyusutkan penduduk India, kalau tidak melenyapkannya sama sekali. Lenyap, sebab jangan lupa, dunia sekarang cuma buat yang kuat saja, bukan dunia impiannya mahatma Gandhi.
Kalau seterusnya kita mau ajukan bahwa “ahimsa” Mahatma gandhi itu tak bisa menciptakan perdamaian dunia, seperti Mahatma sendiri pernah akui bisa, maka jitu dan pendek sekali kita gunakan cara ketiga. Menguji teori dengan penyesatan.
Kita mulai! Kalau ada orang yang bertentangan dengan paham kita mengadakan bisa, maka ikutilah dia sampai di sesat. “Kalau bisa”, kata kita, “tentu perdamaian dunia sudah lama datang”. Tetapi perdamaian sekarang lenyap, sebab itu “ahimsa” tak bisa menciptakan perdamaian dunia. Jadi paham lawan kita salah dan kita benar QED.
Gandhi sudah terkenal di dunia fana ini sejak tahun 1919. Lebih dari 20 tahun melalui radio atau jalan lain, dia sampaikan “ahimsa” pada mereka yang berkewajiban memegang perdamaian. Tetapi walaupun Gandhi hadir dengan “ahimsa”, perdamaian dunia tak pernah ada dan pasti tak akan ada selama kapitalisme ada!
Memang dalam perdebatan politik acapkali dipakai metode ad absurdum ini!
Jalan ada menyelesaikan problem, yaitu “perjumpaan titik dari dua jalan”, intersection of logis, sebenarnya tak asing bagi kita. Perhatikanlah ke mana perginya pemburu macan yang cerdik. Ia pergi ke suatu tempat (titik) dimana jalan macan bersilang, memutus jalan mangsanya, babi umpamanya. Pada seluruh jalan macan itu bisa jadi ia menjumpai macan, tetapi seluruh jalan itu (lingkar pertama) begitu panjang. Kalau ia ikuti seluruh jalan babi, boleh jadi ia akan bertemu macan yang hendak memangsa babi. Tetapi seluruh jalan babi itu (lingkar kedua) terlalu panjang pula. Adalah lebih dekat dan lebih besar harapan si pemburu kalau ia pergi ke titik dimana dua lingkaran tadi berselang bertemu. Di sini bisa jadi sekali ia berjumpa macan.
Pelarian karena mencuri atau membunuh pelarian karena politik ada banyak perbedan tetapi ada pula persamaan. Perbedaannya tentu mudah dicari. Tetapi persamaanya, selain melarikan diri, tiada selalu dikenal. Tetapi detektif, resersir yang bijaksana mesti tahu akan persamaannya. Lebih-lebih kalau perlarian politik tadi berdarah filsafat pula. Dalam hal ini si pelarian filsafat tertarik oleh tempat yang sunyi, ini pun menarik si pencuri seperti magnet menarik besi. Disinilah pertemuan logis kedua mahluk yang berakal tadi.
Si resesir yang ahli bijaksana tak perlu ketahui dan ikut seluruhnya jalan si pencuri atau si pelarian politik berdarah filsafat. Dua jalan mereka biasanya berselang, bertemu pada satu tempat, yaitu tempat yang sunyi. Inilah rahasia buat resersir yang cerdik.
Tetapi buat pelarian yang cerdik, rahasia ini bukan rahasia lagi. Bagaimanapun juga yang kita mau ajukan disini ialah pandangan bahwa cara berpikir intersection of logis bukan semata-mata perangkat berpikir ahli matematika saja.
Pasal 6. PERKEMBANGAN MATEMATIKA
TIAP-TIAP barang itu memang ada lawannya. Lawan plane geometry (geometri bidang datar) tidak saja sudah terbit, tetapi juga pesat majunya. Di Jerman dirintis oleh Riemann, di Rusia oleh Minkofsky. Geometry baru itu tidak lagi berdasarkan atas bidang datar seperti geometri Euclides sekarang, tetapi atas bidang melengkung. Bumi ini, begitulah uraian ahli geometri baru ini, bulat seperti bola. Kita tahu di dua kutub bumi kita ini sedikit data. Jadi berapapun kecilnya bagian bumi ini kita ambil, ia tidak mungkin datar, melainkan melengkung. Jadi garis atau sudut pada bidang melengkung in sebenarnya tidaklah lurus.
Kebenaran uraian ahli geometri baru itu sudah tentu tak bisa dibantah. Tetapi dalam perhitungan sehari-hari, geometri Euclides sudah memadai. Kalau salah, maka salahnya itu tak seberapa. Begitulah juga cara yang dipakai oleh Einstein untuk menghitung gerhana umpamanya, berlainan dengan cara Newton. Tetapi beda hasilnya tidaklah seberapa, cuma beberapa menit atau detik saja. Bagi ahli bintang dan matematika perbedaan hasil perhitungan yang sedikit itu tentu berarti besar, tetapi buat kita tidak seberapa artinya.
Bagaimana nasib geometri Euclides kelak tentulah tak seorang pun bisa menaksir. Bisa jadi Euclides tetap dipakai buat matematika rendahan umpamanya. Sedangkan matematika tinggi dipakai buat dasar non Euclides. Tetapi tak mustahil non Euclides dipakai buat seluruh matematika. Mungkin pula dua sistem cara itu berpadu, diambil yang baik dari masing-masing. Nasib ilmu pengetahuan tidak ditentukan oleh sifat ilmu pengetahuan itu sendiri saja, tetapi juga oleh industri dan kelas yang membutuhkan ilmu itu. Siapa tahu perusahaan baru atau pesawat baru lebih cocok dengan sistem Riemann. Kalau begitu maka sistem inilah yang akan dikembangkan oleh satu golongan atau negara baru.
Bagaimana pun hari depan plane geometry, ilmu ini cukup baik untuk dipakai mengasah otak. Selain itu, yang bisa memberi obat haus pada otak kita manusia umumnya dan pada penagih pemadat matematika khususnya, ialah rasa ingin tahu. Kita manusia, memang hewan yang ingin tahu. Curious, niewsgiering. Dalam hal ini kita lebih ingin tahu dibanding monyet, tikus, dan binatang apapun juga.
Sedikit menyimpang, tetapi berbalik kesana juga! Penulis ini tegasnya, dalam pelariannya yang lama itu bukan saja kesehatannya yang turun naik, tetapi kantongnya pun merasakan pasang naik dan pasang surut itu. Tetapi dalam perasaan kekurangan materi, penulis banyak mendapatkan materi pada ilmu tak bermateri. Pada matematika ini. Persoalan matematika melupakan banyak perkara lain-lain yang tidak diharapkan lekas datang.
Jawaban atas soal matematika yang diperoleh sendiri memberi kepercayaan pada diri sendiri dan kegiatan untuk meneruskan. Terutama bahasa yang dipakai dalam matematika – bahasa Inggrisnya umpamanya- jitu tajam, terang, dan merdu! Ya, merdu buat si penulis. Semerdu-merdunya, sebab memenuhi sifat-sifat sains.
Memang masyarakat kita kekurangan pimpinan dan kebutuhan pendidikan. Kegemaran berhitung dan berpikir memang umum di Indonesia. Di daerah yang saya kenal ketika saya masih pemuda, kegiatan untuk berhitung itu memang luar biasa. Di tanah Batak dan Minangkabau kegiatan itu sampai ke puncak. Di lain tempat di Jawa Tengah umpamanya, saya dengar begitu juga. Tetapi kita tak mempunyai pimpinan. Pendidikan ala sekolah Belanda tak menambah, bahkan membunuh kegiatan matematika. Kalau si murid mempelajari matematika, bukan karena ia suka pada ilmu itu, melainkan karena ia terpaksa mempelajari, untuk mendapatkan pangkat yang tinggi, seperti opzicthter atau insinyur. Tetapi kalau ia sudah mendapat angka yang memuaskan, matematika sebagai pelatih otak dia lemparkan sama sekali.
Perhatiannya dari mula sampai akhir semata-mata pada gaji. Selain itu, ribuan pemuda yang bersemangat pada matematika khususnya dan sains pada umumnya tidak mendapat kesempatan sama sekali. Akibat kemiskinan.
Apabila soerang murid kelas bawah dari sekolah rakyat kebetulan masuk ruang kelas tertinggi dari sekolah itu dan melihat satu soal aritmetika di papan tulis, maka kagumlah dia. Berapa kali pun ia baca, dia tak akan mengerti persoalan itu. Apalagi menyelesaikannya. Apabila murid kelas tertinggi dari sekolah rakyat tadi melihat satu problem matematika di sebuah papan tulis sekolah menengah, maka kekaguman yang kita sebutkan tadi bertukar ketakjuban. Ia merasa kepandaiannya picik sekali. Dirinya tak berarti, Angka, huruf, garis, dan sudut kacau balau di matanya. Sama sekali rahasia baginya. Membingungkan.
Sebenarnya matematikalah yang paling gampang kalau dibandingkan dengan sains yang lain, yaitu bagi mereka yang berpikir logis dan cerdik memakai cara. Bagi mereka semacam ini, tak perlu banyak menghafalkan. Sedangkan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu bumi dan sejarah, perlu hafal menghafal berulang-ulang. Acapkali buktinya tak terorganisir dan tidak umum layaknya matematika dan ilmu alam. Untuk matematika, cukup kalau teori yang tak seberapa banyak itu dipegang dan terutama sekali berpegang teguh pada cara berpikir seperti yang sudah diuraikan. Berbeda dengan ilmu-ilmu lain, matematika sangat teratur tingkatnya, dari yang paling mudah ke yang sedikit lebih susah, dari sedikit susah ke tingkat sedikit lebih tinggi, begitulah terus sampai ke puncak setinggi-tingginya. Bagi pemuda yang berdarah logis dan cerdik, maka sekalian tingkat itu bisa dinaiki dengan gampang. Tidak sadar mereka tiba-tiba sudah sampai ke puncak.
Kalau sekiranya pemuda yang tidak begitu beruntung dalam masyarakat ini, tetapi sudah punya sedikit dasar matematika, umpamanya lepasan SMP, mau belajar sendiri, hal ini bukanlah percobaan si cebol hendak mencapai hulan. Dari geometri bidang datar ia bisa terus ke stereometri yang mempelajari titik dan garis tidak lagi pada satu bidang datar melainkan beberapa bidang datar (kubus, silinder, dsb). Dari sini, sesudah mempelajari aljabar, tak berapa susahnya naik ke tingkat yang lebih tinggi seperti trigonometri, geometri analitis, geometri Rieman atau Minkofsky pun.
Memang pada stereometri, kita mesti berlaku lebih abstrak daripada geometri. Di geometri kita menghadapi sudut atau bidang yang bisa digambarkan di atas kertas, tetapi pada stereometri acapkali gambaran sudut atau bidang itu mesti digambarkan dalam otak saja.
Memang, dengan Minsofsky kita mesti lebih abstrak lagi bila menggambarkan 4 dimensi, karena 4 dimensi itu bersandar atas 3 dimensi seperti atap kubus yang sudah kita kenal. Kalau 2 dimensi itu terjadi dari 2 garis yang bersiku satu sama lainnya (perpendicular upon each other) seperti bidang, maka gambar ini bisa kita buat di atas kertas. Kalau tiga bidang siku yang bersiku pula satu sama lainnya seperti kubus, maka gambar kubus semacam ini masih juga bisa kita bikin di atas kertas. Tetapi 4 dimensi, yaitu tiga dimensi ditambah dimensi waktu, time, akan gambar semacam ini tak bisa dibikin si atas kertas dan tak bisa lagi digambarkan dalam otak. Pisahan abstraksi semacam ini sudah sampai ke puncaknya.
Tetapi dengan memakai hukum yang diberikan oleh matematika mana juga, dengan cara sintetis, analitis, atau reductio ad absurdum, kita biasanya dapat menyelesaikan satu persoalan, bahkan teori relativitas Einstein pun. Sebagian saja kalau tidak seluruhnya. Sistemnya saja, kalau sisanya tidak bisa kita pahami.
Sedikit tentang teori relativitas ini. saya tidak ahli dalam hal ini. Beberapa buku sudah saya baca tentang teori ini dalam bahasa Inggris. Kebanyakan penulisnya sendiri, saya ingat, tidak bisa menjelaskan teori baru ini. Ya, bahkan ada yang mengatakan Einstein sendiri tak tahu apa sebetulnya teori ini. Buku Einstein sendiri, seperti Relativitas Khusus dan Relativitas Umum (Spezielle Relativitat dan Algemeine Relativitat) belum saya baca. Sudah atau belum bisa didefinisikannya teori relativitas pada saat saya menulis ini tidaklah begitu penting. Teori ini sudah diakui oleh ahli seluruh dunia. Teori ini bisa dipakai dan hasilnya lebih jitu dari yang sudah, katanya. Barangkali karena teori ini masih muda maka ia belum bisa didefinisikan, seperti juga listrik umpamanya. Listrik bisa ditimbulkan, diukur dan dipakai kekuatannya, tetapi kalau ditanyakan “apa” lsitrik itu, maka jawabnya masih berupa hipotesis. Hal ini saya pikir tidaklah merugikan. Sepanjang perkiraan saya, selama masih ada pemikir dan pikiran di dunia ini, selama itu pula akan terus menerus adanya hypotheses, azioma, postulates, dugaan sebagai pangkalan berpikir. Seperti sebuah pangkalan kapal bisa diganti, begitu juga hipotesis tadi bisa diganti.
Maksud saya mengemukakan teori relativitas ini adalah untuk sekali lagi menasehati pemuda kita yang punya otak dan waktu, agar mempelajari teori yang dianggap paling penting ini. Cuma berhubung dengan nasehat ini, maka saya sedikit hendak menguraikan kesan yang saya peroleh tentang teori muda ini.
Lima belas tahun lalu saya pelajari sendiri teori ini sewaktu di Tiongkok. Sesudah itu saya sama sekali tak membaca buku tentang itu. Sekarang sudah tentu bukan waktunya dan sama sama sekali tak ada pustaka buat mempelajarinya sekali lagi. Memang dulu saya sudah bisa memahami beberapa rumus Lorentz yang dipakai oleh Einstein. Tapi tak satu pun rumus itu masuk ke dalam jembatan keledai ingatan saya. Kesan terpenting yang saya dapatkan dari teori ini adalah kesan yang berhubungan dengan maksud buku ini, yakni reaksi persinggungan “arah” dan kecepatan”, suatu pergerakan dengan “titik pandang”.
Contoh (dari saya sendiri): sebuah kereta api berjalan dari Timur ke Barat. Seorang penumpuang dalam kereta api itu berjalan dari Barat ke Timur, jadi arah penumpang itu bertentangan dengan arah kereta api. Tetapi dipandang dari satu titik di atas rel kereta, maka si penumpang sama arahnya dengan kereta, ialah dari Timur ke Barat (kecuali kalau si penumpang berjalan lebih cepat dari kereta). Dipandang dari satu titik pada lingkaran bumi mengelilingi matahari, maka orang tadi dengan bumi ini berjalan dari Barat ke Timur. Demikianlah arah tadi bergantung pada “titik” memandang.
Kecepatan juga begitu! Dua orang, A dan B berjalan bersongsongan. A berjalan menuju B dan B berjalan menuju A. Kecepatan A 7 km/jam dan B 6 km/jam. Jadi dalam 1 jam A 13 km menghampiri B. Sekarang mereka bertemu pada satu titik. Dari titik ini mereka sama-sama berjalan, umpamanya dari Barat ke Timur. Kalau sekarang A melihat pada B, maka tiap-tiap jam A meninggalkan B 1 km (7-6). Kalau dibandingkan dengan posisi B, seolah-olah A berjalan 1 km saja tiap jam. Umpamanya ada orang lain, C, berjalan juga dari Barat ke Timur, searah dengan A dan sama cepat dengannya (7 km/jam). Maka A melihat C seolah-olah tak bergerak. Kalau ia melihat pada C saja, maka ia sangka ia berjalan 0 km dalam 1 jam. Dipandang dari titik baru ini, ia tak maju dan tak mundur.
Dalam hal ini titik memandang adalah pangkal berpikir. Arah dan kecepatan kita pergi berkaitan relatif dengan titik kita memandang.
Dalam hal ini, kalau saya tak salah, maka teori relativitas itu berhubungan dengan Dialektika. Sepintas lalu saya mau katakan seolah-olah cara berpikir dalam geometri itu berbanding dengan logika, seperti cara relativitas dengan dialektika.
Peringatan!
Perkara teori relativitas ini pada hampir penghabisan buku akan dilanjutkan. Tetapi apa yang sudah saya tulis diatas, cuma beberapa kalimat yang tidak berkenaan dengan teori itu sendiri. saya yang ubah. Isinya sendiri sedikit pun tidak diubah karena memang tidak perlu diubah. Contoh yang saya berikan pada tingkat uraian ini tentang teori relativitas saya pikir memadai, yang akan diuraikan kelak sebagai tambahan buat memperdalam ilmu yang sudah diketahui.
Sebelumnya saya bilang bahwa 15 tahun yang lampau saya pelajari teori relativitas itu dan sekarang saya tak mempunyai pustaka dan waktu mempelajarinya sekali lagi.
Pernyataan ini mesti dikoreksi. Sesudah lebih kurang setengah buku ini saya tulis, saya mendapatkan pustaka. Walaupun tergesa-gesa, bisa juga mendapatkan bahan baru, untuk menambah contoh dan memperdalam ilmu ini. Contoh di atas ini boleh dianggap seperti tinjauan pendek dan populer.
MADILOG
Tan Malaka (1943)
________________________________________
BAB IV
S C I E N C E
( L A N J U T A N)

Sekarang kita menoleh kembali kepada definisi yang kita berikan pada science. Sampai kini definisi itu kita laksanakan pada cabang science Matematika, tegasnya Geometri. Disana sudah kita saksikan bagaimana science itu sebagai: cara berpikir yang jitu dengan menyusun dan mengumumkan bukti berlaku. Disini kita mau uraikan bagaimana dasar science itu menyesuaikan dirinya pada science, yang mempunyai berlainan bukti dari pada Matematika, terutama pada Ilmu Alam, Physical Science.
Masih kita ingat, bahwa Matematika maksudnya ialah menyusun dan mengumumkan buktinya pada suatu teori, menguji betulnya teori ini dengan cara memasang, mengungkai dan menyesatkan. Dalam pokok besarnya maksud dan cara Ilmu Alam dan kawannya, sama juga dengan matematika. Tetapi buktinya matematika ialah barang yang lebih kurang abstract, seperti titik, baris dan sudut. Sedangkan Ilmu Bukti yang lain melayani benda seperti Bintang, Bumi, Matahari, Udara, Tumbuhan, Hewan, Logam, Garam, Zat, kuman dsb. Ilmu masyarakat seperti Sejarah, Ekonomi, Politik, dll, sama juga maksudnya dengan Matematika. Tetapi pada Ilmu Alam & Co, teori itu ada berupa LAW, ialah undang yang diperoleh dengan cara induction, yang dilaksanakan dengan Deduction dan selanjutnya dipastikan dengan cara verifikation.
Tentulah akan terlampau panjang kalau kita mesti periksa bagaimana science melaksanakan caranya bekerja pada semua cabangnya seperti tersebut diatas. Tetapi dalam pokok besarnya coraknya Ilmu Bintang, Kodrat, Fisika dan Kimia bekerja tiada berapa bedanya. Sedangkan pada Ilmu yang mengandung sejarah seperti Biology dan Ilmu Masyarakat, ya terutama masyarakat terbukti keperluan memakai Dialektika. Kita kembali kepada Ilmu Alam & Co, yakni pusat penyelidikan kita pada bagian ini.
1. Bukti.
2. Law, undang.
3. Cara, Induction, Deduction, Verification.

Pasal 1. BUKTI
Pacts, bukti, inilah lantainya science, terutama Ilmu Alam (Bintang, Kodrat dan Kimia). Atas lantai bukti inilah satu Scientist, yakni Ahli Bukti mendirikan "degung undang-nya" Law. Undang ini jatuh atau berdiri dan dengan lemah atau tegasnya segala bukti atau beberapa bukti yang dipakai. Sebab itu satu Scientist, awas sekali memeriksa dan memilih buktinya. Bagaimanakah mendapatkan bukti yang pasti? Inilah yang pertama sekali terbit dalam fikiran seseorang scientist sebelum ia menyusun dan mengumumkan buktinya sampai jadi satu undang, walaupun caranya menyusun bukti itu sudah sempurna, tetapi kalau buktinya lemah atau salah, maka gagallah akibat, yakni undang yang dia peroleh.
Dua jalan yang terutama buat memperoleh bukti yang sah, pertama dengan jalan observation, memperamati. Kedua dengan jalan experimentation, peralaman.
Apakah perbedaan yang nyata pada dua cara mendapatkan bukti ini? Entah dongeng entah sejarah, tetapi saya harap satu sejarah, bahwa ada seorang kakek kita dari Jawa pada masa dahulu, yang karena ia begitu ingin hendak mengetahui sifatnya matahari, maka ia tantang Sang Matahari itu dengan mata telanjang saja berjam-jam lamanya.
Saya tiada dapat tahu apakah hasilnya pekerjaannya, terutama terhadap dirinya sendiri. Tetapi inilah contoh yang tepat buat menggambarkan semangat seorang Scientist, ialah "ingin tahu". Inilah pula contoh yang tulen dari satu experiment disertai oleh keberanian disebabkan ingin tahu. Kalau semangat ingin tahu yang disertai oleh keberanian itu, dibantu pula oleh pengetahuan yang dalam dan perkakas yang cukup, maka dari bibit Indonesia tadi bisa tumbuh seorang professor Piccard, si pengerbang ke Strastosphere buat mengetahuinya.
Biasanya si-ingin tahu masa dahulu berlaku sebaliknya dari orang Indonesia tadi. Aristoteles, ahli Yunani, dalam segala-gala Ptolemeus, Ahli Bumi dan Bintang Yunani ternama, Democritus dan Heraclitus, Ahli Bintang, Alam dan Dialektika, tiada sampai mempelajari sesuatu bukti itu dengan membahayakan anggota atau dirinya, melainkan menjauhi saja benda itu, memperamati saja benda itu atau bukti yang mau diperiksa itu. Mereka pilih cara observation, peramatan. Kalau mereka mau mempelajari bintang, maka malam hari mereka keluar, peramati banyak golongan, letaknya dan besarnya bintang. Kalau mereka mau mempelajari hewan atau tumbuhan, maka mereka dekati saja dan peramati saja tumbuhan dan hewan tadi.
Newton tiada lain memperamati saja Bintang atau kodrat yang ia mau ketahui, tetapi, tiada pula meniru perbuatan kakek kita tadi. Cukuplah buat dia, kalau sinar matahari yang putih menyilaukan mata itu dimasukkan pada lobang kecil ke dalam bilik dan dengan prisma dia pisahkan pula sinar matahari yang sudah dikecilkan tadi atas 7 warna yang kita pelajari di sekolah. Buah apel kecil yang jatuh pada hidupnya, sudah cukup menyebabkan sakit dan peringatan, supaya jangan lagi dibiarkan sesuatu barang dari tempat yang tinggi meskipun kecil jatuh pada hidungnya. Dengan inclined plane, satu papan yang dimiringkan pada letaknya, bersiku +30 derajat dengan lantai, digulingkannya bola kecil pada papan miring tadi. Dengan begitu cepatnya benda tadi jatuh, dikurangi dan bisa diperiksa. Sedangkan kalau benda itu jatuh tegak ke bawah, cepat jatuhnya terlalu besar dan tak bisa dipelajari.
Disinilah letaknya watak experiment. Pertama keadaan iklimnya atau kelilingnya barang atau kodrat yang mau dipelajari itu ditukar. Sinar yang mau dipelajari itu tiada lagi diperiksa pada tempat asalnya, yakni di langit dan lekat pada matahari, melainkan dalam bilik kecil dan gelap. Sinar yang kuat yang bisa membutakan mata kita itu, tiada lagi dibiarkan seluruhnya mengenai panca indera, mata kita, melainkan sebagian kecil yang sudah dikendalikan dengan lobang kecil. Selainnya dari pada itu, sifat yang lain dari sinar tadi umpamanya cepat berjalan, zatnya, dll. Tiada kita perdulikan pada masa itu. Kalau hendak memeriksa cepatnya sesuatu benda jatuh, yakni memeriksa kuatnya bumi menarik benda, maka tiada kita suruh, seekor beruk memetik kelapa dan kita taruh kepala kita persis di bawah kelapa jatuh itu, melainkan kita pakai papan miringnya Newton dalam bilik dan kita gulingkan bola kecil di atasnya, dan kita kurangi lagi cepatnya. Apa warnanya, gunanya, zatnya, dll. Dari bola itu pada waktu ini tiada masuk pemeriksaan kita.
Jadi kalau kita melakukan experiment, kita biasanya lebih dahulu membikin model. Iklim benda yang mau kita periksa itu ditukar, kodratnya dikurangkan dan segala sifat yang tiada berkenaan dengan pemeriksaan, kita jauhkan sama sekali. Model sekarang sudah di kamar atau di kebun kita, kekuatannya tiada membahayakan lagi, sifat yang mau kita periksa itu sudah dikhususkan, diistimewakan, dengan mata, telinga dan perkakas kita boleh perhatikan dan kita tuliskan apa yang kita saksikan, berulang-ulang sampai jelas.
Ahli listrik tak perlu lagi menaikkan layangan pada waktu petir dan bahaya atas dirinya seperti Benjamin Franklin. Satu battery kecil atau dinamo kecil sudah cukup buat menguji pendapatan kita tentang listerik, menguji hypothesis, persangkaan kita tentang listerik.
Pengiraan yang tidak-tidak tentang tumbuhan, hewan atau manusia, sekarang boleh disingkirkan dengan menanam tumbuhan, memelihara hewan atau membelai mayat yang kita mau periksa. Tumbuhan boleh dicangkokkan, binatang boleh dicampurkan, diberi vitamin a atau b, dsb. Ditilik serta dituliskan hasil experimen, pengalaman kita. Kuman dibesarkan beribu kali oleh microskoop dan bintang didekatkan beribu kali oleh telescoop!
Socrates Zaman sekarang, tak perlu lagi berkata pada dirinya sendiri "ketahuilah dirimu (jiwamu sendiri)", lantas bermenung berhari, berbulan dan bertahun-tahun. Ahli jiwa mengambil otak manusia, monyet atau binatang lain, memisahkan dalam laboratorium. Memeriksa zatnya dengan mata dan microskoop. Mempelajari laku, tabiat sifat anak-anak, anak hewan, dsb. Dan menuliskan apa yang dilihat.
Sekarang adalah zaman experimenteel Science, zaman Ilmu Bukti. Bukti itu diperalamkan, betul-betul terbukti, tak sangsi buktinya pada tempat dan tempo manapun juga. Zaman ini masih baru. Sungguhpun begitu ahli experiment tentang zat, tumbuhan, hewan, otak dll. Sudah mengumpulkan begitu banyak bukti sehingga bukti itu belum lagi semuanya tersusun dengan sepatutnya, buat dijadikan undang.
Mencari bukti dengan experiment, tentulah tiada sama sekali baru. Yang baru cuma terutamanya, teristimewanya dalam semua Ilmu Bukti. Dahulu experiment itu tiada begitu diutamakan, tiada dijadikan dasarnya sesuatu pemeriksaan. Dahulu kalapun experiment itu sudah dijalankan.
Seorang Yunani bernama Heron, sudah memperlihatkan kekuatan uap dengan perkakas seperti cerek ketel, yang berputar ke belakang, sedangkan uap air panas mengembus kemuka. Jadi dia inilah sebetulnya bibit Stephenson, pendapat mesin locomotive (100 tahun dahulu!) yang dipakai sekarang sesudah diperbaiki beberapa kali.
Lebih-lebih ahli kimia bangsa Arab, tiada putus-putusnya menjalankan experiment buat menukar logam jadi emas dan mendapatkan obat buat hidup kekal. Bukti yang mereka dapat dan tuliskan adalah menjadi dasar Lavoisier buat mendapatkan undang Ilmu Pisah pada permulaan abad yang lalu.
Akhirnya walaupun sekarang peralaman, experimentlah, yang menaiki tahta Ilmu Bukti, tetapi ini tiada berarti, bahwa peramatan, observation sekarang sama sekali mati dan dahulu tiada diketahui atau tiada berhasil sama sekali. Dalam Ilmu sejarah umpamanya, kita tiada bisa menjalankan experiment seperti pada Ilmu Alam dan Kimia. Kita mesti menunggu bertahun-tahun bagaimana akibatnya sesuatu undang masyarakat. Kita sudah perlihatkan, berapa hasil yang didapatkan oleh Demokritus dalam hal Ilmu Alam sebagai buah pikiran berdasarkan Dialektika. Raksasa fikiran, seperti gelar yang diberikan oleh Marx pada Aristoteles, betul-betul raksasa dalam hal berpikir yang tiada atau sedikit sekali beralasan experiment. Tetapi sekarang dan pada hari depan sudahlah pasti, bahwa experimentlah yang akan terus menduduki tahta dalam daerah mencari bukti yang sah.
Bukti dalam Ilmu Alam, berdasarkan benda, Matter. Apakah benda itu?
Benda, matter, kata Science, yaitu yang mengenai panca indera kita. Yang pasti panca indera kita ada lima, mata buat melihat, telinga buat mendengar, lidah buat mengecap, hidung buat pencium dan kulit perasa.
Menurut kaum mystikus ada lagi pancaindera yang ke 6, bernama intuition, perasaan gaib. Tetapi pada anggota mana dia berurat dan di bagian badan mana letaknya, tak pernah mereka terangkan. Juga akibat anggota ke-6 itu tiadalah pada semua orang dan sembarang tempoh boleh dipastikan. Pendeknya anggota ke-6 itu ada di luar pemeriksaan science dan common sense, pikiran biasa. Kita kembali kepada anggota yang lima tadi, maka menurut Ilmu Jiwa, Psychology, mata, telinga, hidung, lidah dan kulit kita menerima kesan impression, dari luar badan kita. Kesan dibawa oleh sensory nerve, saraf pancaindera, terus ke otak, seperti tali kawat membawa kabar dari pengetok kepada pendengar. Otak menggambarkan kesan yang diterima itu. Yang datang dari mata berupa besar atau kecil, hitam atau putih, tinggi atau rendah, aman atau berbahaya, dsb. Yang datang dari telinga berupa nyaring atau lembek. Yang dari lidah manis atau pahit, sedap atau ringan, halus atau kasar. Sesudah otak mendapat gambaran, maka ia beri perintah pada anggota yang berkenan. Kalau mata umpamanya melihat macan, maka otak dengan jalan motor-nerve, syaraf penunda, memerintahkan diri melepaskan pesawat senapan atau memerintahkan kaki membuat langkah seribu. Begitulah seluk-beluknya, kena-mengenanya, hati dan benda di luar kita dengan perantaraan pancaindera yang lima.
Benda, kata ahli bukti, Scientist, seterusnya bisa melayani 3 keadaan. 1. Solid, ialah padat. 2. liquid, cair. 3. gasceus, uap. Kebanyakan benda bisa memasuki 3 keadaan itu. Air umpamanya boleh padat beku, cair dan menguap. Benda seterusnya menduduki ruang alam, mempunyai berat dan kodrat buat menggerakannya.
Ilmu Alam, yaitu adalah penyusunan dengan mengumumkan beberapa sifat serta seluk-beluk Benda dan Kodratnya. Ilmu Alam mempelajari segala sifat dan seluk-beluknya Benda dan Kodratnya dalam keadaan tersebut di atas. Beratnya barang dengan kilogram, hectogram, sampai miligram.
Panjangnya barang dan kembangnya benda kalau dipanaskan, cepatnya benda jatuh atau menjalankan bunyinya diukur dengan kilometer sampai milimeter. Lamanya suatu barang menjalankan kerjanya diukur dengan tahun, bulan sampai dengan jam, menit dan detik.
Ukur mengukur inilah yang menjadi kawannya satu experiment. Ukuran itu mesti pasti. Panjang itu mesti tetap, tiada dipermainkan tempat atau tempoh. Tetapi sejengkal umpamanya buat orang Indonesia, tiada sama dengan sejengkal orang Shantung dan lebih kurang lagi dari sejengkalnya orang Benggali. Ukuran jengkal semacam itu tak berguna buat Ilmu Bukti.
Meter mesti pasti, yakni mendekati kepastian yang sempurna. Meter mulanya 1/10.000.000 dari antara khatulistiwa ke Kutub Utara, jadi ¼ bundaran bumi. Satu tongkat dari platinum sepanjang meter itu, yang punya panas sama dengan air es menjadi cair (smelting) disimpan di Paris. Inilah yang jadi ukuran buat seluruh dunia, semua tempat dan tempoh, buat si pendek Indonesia, orang Shantung atau Hindustan pada segenap tempoh. Itulah yang tetap dan tepat kata Science, ilmu bukti.
Kita sekarang tahu, bahwa menurut pengukuran baru, bahwa antara khatulistiwa dan Kutub Utara itu, ada sedikit berbeda dengan hasil pengukuran lama. Tetapi perbedaan itu ada sedikit sekali, atau kesalahan kita ada sedikit sekali. Jadi meter kita di Paris itu tak pula berapa salahnya dari 1/10.000.000 dari ¼ bundaran bumi.
Kita tahu, bahwa perkakas penimbang yang kita pakai itu makin tua makin tak betul kerjanya. Tetapi kesalahan ada sedikit. Dan sekarang ada pula Ilmu buat membetulkan kesalahan yang sudah dikecilkan itu. Penghitung panas, thermometer, juga bisa membuat kesalahan. Begitu juga barometer pengukur tekanan (presure) udara.
Yang semata-mata persis, jitu tentulah tak bisa kita peroleh di dunia ini. Tetapi dengan Science yang berkewajiban membetulkan kesalahan yang kecil yang biasanya tak kelihatan oleh mata itu, kesalahan kecil tadi bisa dikecilkan pula.
Dengan 5 pancaindera kita, yang dibantu oleh perkakas penglihatan seperti telescoop dan microscoop, pengukur panas seperti thermometer, pengukur tekanan seperti barometer, maka bukti yang kita peroleh tentang benda yang dihitung beratnya dengan pertolongan Kg ……… mG, cepatnya dengan Km ……..mM, bolehlah kita katakan pasti. Kalau ada salah tiadalah akan berapa salahnya dan boleh dikecilkan pula salahnya itu oleh matematika. Tiadalah kita main agak-agak, terka menerka dan nujum menujum.

Pasal 2 LAW, UNDANG
Ambillah sembarang buku tentang Science yang dipakai di sekolah menengah, carilah defisininya Law. Satu definisi pada "Elementary Chemistry" oleh Littler berbunyi Law ialah "general statement that sums up a number of isolated facts". Undang yaitu satu pengumuman yang menyusun beberapa bukti yang terpencar-pencar. Beginilah kiranya definisi Law itu dan beginilah kira-kira bahasa Indonesianya. Lain buku lain pula kata-katanya dan lain pula susunannya. Tetapi maksudnya sama, ialah seperti maksud Science yang saya tuliskan lebih dahulu di atas, ialah penyusunan dengan pengumuman beberapa bukti.
Kita masih ingat, bahwa Dalton menghadapi beberapa bukti terpencil. Wujudnya hendak memadukan oxygen dengan hydrogen jadi air. Dia menghadapi perbedaan dan persamaan. Jalan percampuran itu ada berbeda-beda. Ada dengan jalan membakar hydrogen, ada dengan jalan memberi lalu hydrogen dekat tembaga-oxigen. Ada di dapat pada air hujan. Tetapi bagaimana juga perbedaan jalan mendapatkan itu, dia menghadapi satu persamaan atau keumuman. Keumuman ini mengatakan, bahwa oxigen dan hydrogen berpadu menjadi air dengan perbandingan 11,1 % dan 88,9 %. Dia coba memadukan barang lain dengan bermacam-macam jalan. Tetapi dalam hal inipun perpaduan berlaku atas bandingan yang tentu, seperti pada air tadi. Segala bukti terpencar itu disusun dalam satu Undang bernama "Undang dari perpaduan yang tetap bandingan". Menurut undang ini, maka dengan jalan apapun juga satu zat berpadu dengan zat yang lain, menjadi benda baru, dia mesti berpadu dengan perbandingan yang tetap. Kalau kita sudah punya daftar dari perpaduan bermacam-macam zat, maka dengan jalan timbang menimbang kita bisa bikin satu perpaduan (garam dll).
Setelah Newton mengadakan peramatan dan experiment peralaman tentang kodrat, maka ia simpulkan tiga Undang tentang gerakan "Laws of Motion“, undang Gerakan. Tiga undang ini diakui syahnya oleh para ahli bintang di seluruh dunia, dipelajari di sekolah menengah dan dipakai oleh yang bersangkutan dari hari kehari.
Undang pertama berbunyi: Tiap-tiap benda tetap berhenti atau tetap bergerak pada garis lurus, kecuali kalau benda itu dipaksa oleh kodrat lain, menukar keadaan itu.
Kelihatan jinak sekali undang ini, tetapi undang inilah yang menguasai seluruh alam kita ini. Semua yang berhenti mesti tetap berhenti. Kalau ia bergerak mesti ada sebab, mesti ada kodrat yang nyata, yang boleh diperiksa dan dihitung yang menggerakkannya. Sesuatu benda yang bergerak pada satu lapang itu, mesti terus bergerak, bergerak pada garis lurus di lapang itu. Kalau cepatnya atau arahnya bertukar, atau keduanya maka mesti ada sebab yang menukar cepat atau arah atau keduanya. Pendeknya tak ada akibat kalau tak ada sebab.
Papan atau besi itu mengembang karena (kodrat) panas, susut karena dingin. Tak ada dalam Alam ini yang bisa membantah hal ini. Kalau mengembang atau menyusutnya terhalang, maka mesti ada kodrat lain yang menghalangi. Semua barang di atas bumi ditarik ke bawah oleh bumi. Tak ada benda di alam bisa membantah, kalau benda itu tak jatuh ke bumi, seperti kapal udara, mesti ada kodrat lain yang membantah. Kita tahu kodrat yang lain itu, tiada saja tahu, kita bisa adakan kodrat lain yang menyebabkan kapal udara yang berat itu melambung, membantah kodrat bumi yang menarik kapal udara itu ke tanah.
Jadi apa juga benda dalam alam ini, kayu, batu, besi, tumbuhan, hewan, bumi, dsb. Kalau satu kali berhenti ia berhenti terus. Kalau dia bergerak mesti ada sebab yang menggerakkan. Kayu bergerak karena diangkat kodrat manusia atau lain sebab. Batu bergerak karena jatuh yaitu ditarik bumi. Besi bergerak karena umpamanya ditarik besi berani. Tumbuhan naik ke atas karena kodrat tumbuh. Hewan bergerak karena kodrat hewan atau ditarik manusia dsb. Berbagai-bagai benda yang sedang berhenti diambil sebagai contoh. Bermacam-macam kodrat yang boleh diambil jadi contoh. Tetapi walaupun bendanya berbagai-bagai dan kodratnya bermacam-macam, kita menghadapi satu persamaan, keumuman, satu undang, ialah: "Kalau benda bergerak, atau menukar arahnya bergerak, maka mesti ada sebab yang menggerakkan atau menukar arah geraknya." Semua benda dan semua kodrat dialam ini sudah tersusun (diorganisir). Pada satu penyusunan dan pengumuman, pada satu undang. Tak ada benda di alam ini, di atas bumi dan langit, tumbuhan, hewan logam, bumi dan bintang yang tiada takluk pada undang ini.
Disinipun kita pastikan, bahwa benda dan kodrat itu bisa dipancirkan. Walaupun undang ini bernama Laws of Motion, undang gerakan, tetapi gerakan dan kodrat itu berbedaan pada Benda. Tak ada simpulan science, undang science, yang berhubungan dengan kodrat, yang mengandung kodrat saja atau benda semata-mata. Kita ingat pada A = B. A diterjemahkan diartikan dengan B, dan B diartikan dengan A. begitu juga mestinya benda diartikan dengan kodrat dan kodrat dengan benda.
Putik apel yang kecil itu tetap pada ranting, sebab tampuk cukup kuat buat menahan apel itu jatuh disebabkan tarikan bumi. Jadi kekuatan tampuk bisa membantah kodrat bumi menarik. Tetapi karena tampuk busuk, maka kodratnya hilang. Sekarang kodrat bumi menang dan putik apel jatuh, kebetulan di atas hidung Newton. Apel yang begitu kecil bisa membikin berasa sakit. Hal ini menyebabkan Newton takjub berpikir, mengadakan experiment, dan menyimpulkan undang kedua. Undang yang kedua mengandung banyak technical terms, perkataan yang terkhusus artinya buat ahli mekanika.
Kita tiada bisa tuliskan saja undang itu disini dengan tiada memakai keterangan yang panjang sekali, keterangan mana tiada berkenaan dengan maksud bagian buku ini. Undang itu berguna sekali buat hitung menghitung benda yang bergerak, benda yang jatuh umpamanya. Buat seorang opsir umpamanya, formule yang mengandung kesimpulan undang itu, adalah seperti cangkul buat pak tani. Kalau opsir artileri tak ber-fomule itu, maka ia tak bisa menghitung berapa tinggi dan jauhnya peluru bisa melayang. Menaksir, bisa atau tidaknya ia mengenai tujuannya. Bomnya satu bomber akan percuma jatuh, kalau tiada mengakui dan menjalankan undang kedua ini. Pendeknya undang ini tersimpul pada perhitungan yang mesti, yang bernama formule.
Maknanya undang kedua ini tiada lain, melainkan barang yang jatuh itu bertambah cepat jatuhnya dari second ke second. Pada sekonde (detik) yang kedua jatuhnya lebih cepat dari yang pertama, yang ketiga lebih cepat dari yang kedua dsb. Formule yang sulit yang dikandung oleh undang kedua ini menggambarkan dengan huruf, berapa naiknya tambah kecepatan itu tiap-tiap sekonde. Makin lama barang jauh, makin cepat jatuhnya. Sehingga barang kecilpun kalau jatuh dari tempat yang tinggi, maka barang itu keras tekannya pada benda yang menerima, seperti putik apel atas puncak hidung Newton.
Dalam formule yang sudah pasti inipun, diadakan penyusunan dari benda apapun juga yang jatuh. Berupa apapun juga benda itu, berbentuk apapun, juga ia mesti takluk pada undang kedua ini. Tak ada benda yang jatuh yang bisa membatalkan undang yang tersimpul pada formule undang ini.
Disinipun terang seperti matahari, bahwa pada semua perhitungan yang dilakukan menurut formulenya undang, tak bisa disingkiri perpaduan benda dan kodrat.
Undang ketiga : Tiap-tiap aksi menimbulkan reaksi yang sama.
Berat badan kita menekan tanah dan tanah melambungkan kita ke atas dengan kodrat seberat badan kita pula. Kalau satu magnet (besi berani) menarik sepotong paku, maka paku itu menarik besi berani dengan kodrat yang sama pada arah bertentangan. Kalau satu benda tergantung pada palang dengan tali, maka tali tadi menarik benda ke atas dengan kekuatan beratnya benda menarik palang ke bawah.
Kita ikat satu batu pada sepotong tali dan kita putar batu itu berkeliling kita. Kekuatan batu menarik kita dengan tali tadi, sama dengan kekuatan kita menarik batu. Matahari menarik bumi dengan kodrat yang tentu pada arah ke Matahari, dan sebaliknya bumi menarik matahari dengan kekuatan yang sama pada bertentangan, ialah arah dari matahari.
Lagi satu contoh. B menarik A dengan kekuatan lebih dari A, kita andaikan kelebihan itu 20 x. Tentu A mesti jalan ke B, tetapi kalau ada C menolong A dengan kekuatan 20 x menarik ke arah bertentangan dengan B, tentu A berhenti. Tak maju mundur. Begitu juga bintang, tetap pada tempatnya sebagai result (hasil) tarik menarik. Bintang sama bintang. Tiap-tiap aksi menimbulkan reaksi yang sama. Satu penyusun pula dari sekalian benda dalam alam ini yang mengadakan aksi. Balasnya ialah reaksi yang sama dari benda yang lain pada arah bertentangan. Sekali lagi kita bertemu benda dan kodrat , dalam perjuangan dimana aksi dan reaksi tadi tak berpisah.
Sudahlah tentu di bagian Asia, dimana Kodrat dipisahkan dari Benda, dimana Rohani dipisahkan dari Jasmani, ya dimana Jasmani itu dianggap satu sengsara, satu bui satu kungkungan yang mesti dibatalkan, dibunuh supaya terjadi REINKARNASI, penjelmaan. Kelahiran yang akan datang tak lagi ke atas dunia sengsara terkutuk ini, melainkan terus ke Nirwana, padu dengan Rohani-Alam, Pati, dan sudahlah tentu di Hindustan, yakni Hindustannya Mahabrata Ramayana, Budhisme, dll. Tak akan lahir satu Newton. Saya mengaku penuh, bahwa Idealisme Hindustan bisa menerbitkan cara berpikir yang boleh dipakai., saya tahu, bahwa Matematika juga sedikit maju di Hindustan, walaupun saya tak bisa memeriksa berapa; adakah pengaruhnya Yunani dibawa Iskandar. Saya tahu artinya pengaruh filsafat Hindustan pada filosofi Barat seperti Schopenhauer dan Hegel. Tetapi hasil semacam itu didapat sebagai by product, hasil tersambil, bukan seperti hasil langsung, hasil langsung dari pemeriksaan yang berdasarkan Benda dan Kodrat keduanya. Diluar Matematika yang kurang lebih abstract itu, yakni pada Ilmu Bukti sejati boleh dikatakan tak ada penyusun atau undang science, yang diperoleh Hindustan Kuno itu.
Saya ada sedikit rapat dengan negara, bangsa, dan sejarah Tiongkok. Saya pikir, dari penjuru manapun ahli kuno Tiongkok memandang alam lebih dekat pada science dari pada ahli kuno Hindustan. Walaupun Budhisme, menjalarnya dari Hindustan ke Tiongkok, tetapi penguraian yang pasti tentang Budhisme dan madzabnya saya peroleh pada tulisan Budhist Tionghoa seperti Cuang Cu, I Cing dan Fah Hin. Pada tempat asalnya sendiri di Hindustan barang yang terang itu menjadi gelap, manusia jadi Dewa, ya, lebih dari Dewa, apa yang di bawah terpelanting ke atas yang di atas tercampak ke bawah. Logika Mystika berimaharajalela walaupun yang arif bijaksana bisa memperoleh cara berpikir yang berarti, dalam peninjauan orang Hindustan yang memandang benda itu sebagai kutuk. Filsafat Hindu kuno juga mengenal materialisme, tetapi resminya ialah idealisme.
Ahli Tionghoa, kakinya tetap di tanah, di atas bukti. Ahli fikir yang mencoba membalikkan kepala Tionghoa terletak di kaki itu seperti Lao Cu juga tak berapa pengaruhnya. Ahli Tionghoa tetap berdiri di atas fact, bukti, baik dalam filsafat, Ilmu Bintang ataupun obat-obatan. Kalau ada kekurangan ahli Tionghoa, maka bukan terletak pada penjuru pemandangan yang mesti buntu yang tak bisa mengadakan Ilmu Bukti, yakni pada penjuru Mystika, melainkan karena Ahli Tionghoa tak lebih maju dari pengetahuan tentang bukti, segala bukti yang diperolehnya tetap terpancir-pancir.
Berkali-kali saya saksikan jitunya penaksiran Alamak Tionghoa tentang keadaan hari hujan, panas, dingin atau topan dsb., keadaan musin, heran bin ajaib, malah kadang-kadang lebih jitu dari alamanak model Barat. Saya tahu, bahwa pendeta Katholik pada abad ke-17 banyak mengajarkan Ilmu Bintang pada Tionghoa. Juga kedatangan Marco-Polo pada abad ke-14 banyak memberi bahagia pada Tiongkok. Tetapi perhitungan Alamanak Tionghoa kuno itu, boleh jadi perhitungan sama sekali berdasarkan atas observasi, peramatan. Menurut keterangan terpelajar Tionghoa pada saya; dari dahulu kala He-Siu, pendeta Budhist Tionghoa, mendaftarkan kejadian Alam, hujan, panas, dingin dsb. Dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun. Jadi penaksiran yang jitu sama sekali berdasar atas perbandingan dengan yang sudah-sudah. Sebab dahulu begitu, sekarang tentu begitu juga, satu logika, yang sering mengandung bahaya yang bisa menyesatkan. Bukanlah akibat kesimpulan undang dari Ilmu Iklim, yang berhubung dengan pressure (tekanan udara) temperature (panas dingin). Jadi bukan perhitungan science, melainkan pengetahuan dari segala bukti yang sudah diperoleh, tetapi tidak disusun dan diumumkan, dijadikan science dan undang.
Begitu juga pengetahuan ahli Tionghoa tentang zat dan khasiatnya zat pada beberapa tumbuhan dan hewan. Saya sendiri mengalami jitunya obat Tionghoa. Terhadap diri saya pada tempoh yang lalu lebih mujarab dari obat Barat (saya bilang buat diri saya, jadi hal yang terkecuali dan penyakit yang terkecuali!). Tetapi pengobatan itu berdasarkan bukti saja, ialah pengetahuan khasiatnya tumbuhan atau hewan. Pengetahuan yang acap mengagumkan dan memberi kepercayaan saya pada obat Tionghoa yang tulen itu tak kena mengena dengan undang Biology dan kimia yang dipakai oleh kedokteran Barat.
Bukannya pula ahli Tionghoa tak mencoba menyusun dan mengumumkan Bukti mengadakan teori. Sedang Dokter Tionghoa sahabat saya, yang dapat didikan Barat menterjemahkan isi buku obat-obatan Tionghoa, yang lazim dipakai dukun lama, namanya saya sudah lupa! Tetapi ia tak bisa menyelesaikan terjemahan itu, karena ia tak bisa menahan tertawanya membaca tiap-tiap teori yang dimajukan oleh buku asli yang mahsyur tadi tentang jalannya darah dsb. Pendeknya teori itu tak lebih dari persangkaan semata-mata, tak berdasarkan experiment dan ujian logika, cara Barat.
Demikianlah dalam Ilmu lain-lain, ahli Tionghoa banyak mempunyai bukti-bukti yang betul. Ingat saja, obat bedil dan pedoman yang berasal dari Tionghoa! Tetapi bukti tadi tinggal bukti cerai-berai, tak disusun dan diperumumkan, tak digeneralisir sampai ke pintu science.
Sebabnya? Inilah yang menjadi persoalan bagi saya dan menimbulkan banyak percakapan dengan Tionghoa, yang berhak bercakap dalam hal itu. Hal ini saya pikir bukan karena otak Tionghoa kurang cerdas dari otak Barat, melainkan berhubung dengan keadaan masyarakat dan ekonomi Tionghoa. Begitu juga condongnya pikiran Hindu pada Logika mystika berkenaan dengan masyarakat dan ekonomi Hindustan. Tetapi saya tentu tak boleh menyimpang lebih jauh dari arah uraian saya.
Pada para ahli Baratlah kita mesti gantungkan bintang kehormatan sebagai penyusun segala bukti yang nyata tentang benda yang bergerak di ruang alam yang tidak terbatas ini. Tiadalah benda itu dari Bintang sampai ke Kuman bergerak kacau-balau semau-maunya, melainkan menurut undang yang pasti yang boleh diukur dan dilaksanakan.
Pada bangsa Yunanilah timbulnya semangat menyusun dan memperumumkan (generalizasi) segala bukti yang terpancir kacau-balau itu. Sekarang dari Barat semangat science ini menjalar dengan lambat, tetapi tetap ke seluruh pelosok bumi kita ini.
Semenjak Copernicus tiadalah lagi jutaan, ya, juta-jutaan bintang dan matahari, yakni salah satu bintang saja, beredar mengelilingi bumi kita ini melainkan sebaliknya, bumi yang cuma dari penjuru kita manusia saja berarti begitu penting, bumi kitalah yang mengedari matahari dengan kecepatan 2.560.000 KM satu hari pada lingkaran 937.000.000 KM. Mata kita salah, ini kalipun salah, disalahkan oleh science. Copernicus dengan beberapa alasan yang pasti dan Galilei dengan Matematika menyatakan kesalahan mata kita itu.
Dengan memakai undang-undang Newton kita boleh gambarkan alam yang teratur. Walaupun banyak bumi dan bintang berjuta-juta. Bumi yaitu bintang yang padam! Walaupun ada pula bumi lain dari bumi kita yang beredar pada matahari lain dari kita punya, walaupun ada pula bintang yang liar, mengembara, ialah Komet, walaupun banyak lagi bintang yang belum sampai kelihatan oleh teropong, sekarang kita bisa mengerti, bahwa semuanya bintang dan gerakan yang mahacepat takluk pada undang yang pasti.
Tak ada yang ajaib. Yang ajaib itu besok akan diketahui. Pada para ahli Ilmu Kimia dan Ilmu Kimia Barat pulalah kita mesti memandang kalau mau berjumpakan undang yang menetapkan bagaimana zat dan kodratnya dalam ini berpadu dan berpisah. Pada Biologist dan Geologist Barat pulalah kita mesti mendapatkan keyakinan, kalau hendak mengetahui seluk-beluknya evolusi, ketumbuhan benda yang berkeliling kita ini dari zat tak bernyawa sampai ke protein (putih telur) dari putih telur sampai kepada dua tiga sel-asli bernyawa dan dari sel-asli sampai ke monyet dan manusia, dalam tempo beratus ribu tahun lamanya. Boleh jadi undang sekalian itu cuma didapat dengan jalan science, jalan yang sudah dirintis oleh Newton, Einstein, Darwin, Mendel, Dalton, Ruterford, Faraday, Ohm, Pascal dan Boyle, serta banyak ahli pemikir dalam segala cabangnya Ilmu Bukti.

Pasal 3. CARA : INDUCTION, DEDUCTION, VERIFICATION.
Bagian 1. INDUCTION
Insyinyur Sukarno dibuang kira-kira 10 tahun. Ini adalah satu bukti sah, pasti, tetapi ini tiadalah undang. Cuma satu bukti, satu saja, bukti terpancir. Dari satu bukti terpancir tentu kita tak dapat mengadakan penyusunan dan perumpamaan. Cuma benar atau tidaknya bukti semacam itu boleh kita uji. Tetapi, kalau saya bilang, semua insinyur yang memimpin perkumpulan politik mesti diintenir oleh pemerintah Belanda.
Simpulan di atas bukan lagi satu bukti yang terpancir. Kalau betul ia boleh menjadi salah satu penyusunan, satu undang. Kalau betul semua insinyur, dari insinyur A sampai Z yang memimpin perkumpulan politik di buang oleh pemerintah Belanda, maka benar simpulan itu.
Tetapi kita tahu tiada beberapa banyaknya insinyur di Indonesia, kalau dibanding dengan penduduknya sendiri. Lebih-lebih kalau dibanding dengan negeri sopan. Apalagi insinyur yang menyeburkan diri dalam pergerakan politik boleh dibilang dengan jari tangan saja.
Maksud dan contoh kedua ini juga, supaya yang memeriksa betul atau tidaknya simpulan (proposisition, bukan kalimat, sentence Inggrisnya) ini memeriksa dengan memakai jari, yang sudah diketahui banyaknya itu, yaitu cuma 10, maknanya cuma sedikit. Sebab sedikitnya bukti itu kita bisa main hitung, seperti orang desa ialah dengan jari saja. Marilah kita periksa. Saya ingat akan Ir. Baars, yang memimpin perkumpulan politik. Dia juga diintenir, baca extenir. Jadi bukti baru ini menyokong bukti pertama, ialah berhubung dengan Ir. Sukarno.
Saya tahu lagi satu insinyur lain yang memimpin perkumpulan poltik, yaitu almarhum Ir. Anwari. Tetapi dia walaupun memimpin perkumpulan politik, tiadalah diinteernir. Dengan bukti ini saja simpulan di atas sudah gagal. Kebetulan saya tak kenal satu dua insinyur Indonesia lain yang memimpin perkumpulan politik. Tetapi dengan bukti yang berhubung dengan almarhum Ir. Anwari saja simpulan kedua sudah gagal, karena tiada semuanya insinyur yang memimpin perkumpulan politik itu dibuang.
Kalau lebih banyak bukti yang diketahui dan belum diketahui maka lebih susahlah memeriksa benar atau tidaknya kesimpulan itu. Dalam hal ini kita tak bisa main hitung jari lagi, tetapi selamanya bukti yang kita ketahui adalah takluk pada simpulan itu maka lebih susahlah memeriksa benar atau tidaknya kesimpulan betul buat segala bukti yang ada dalam daerahnya, penyusunannya
dalam Matematika umpamanya: X (kuadrat) – X + 41 mesti odd number, yakni angka yang tak boleh dipisahkan atas faktornya, tunggal.
Kalau umpamanya X itu kita anggap 2, maka X (kuadrat) – X + 41 = 43, juga tunggal.
Sekarang kita anggap sembarang saja umpamanya 100. Kita dapati X (kuadrat) – X + 41 = 9941. Bilangan mana saja kita anggap sampai bilangan yang kita ambil terjadi dari 7 angka, X (kuadrat) – X + 41 tetap tunggal. Kita sekarang hampir percaya akan formule ini, dan kita condong mau angkat calon undang ini jadi undang baru. Kebetulan ada kawan ahli Matematika datang dengan angka 41.
Kalau X kita anggap 41, maka X (kuadrat) – X + 41 = 1681, yakni 41x41, jadi boleh dipisah atas factornya ialah 41, jadi bukannya tunggal. Dengan begini gagallah kebenaran, bahwa X (kuadrat) – X + 41, satu angka yang tunggal.
Pada semua contoh yang kita pakai di ataslah terpendamnya, bagaimana cara membikin satu simpulan itu jadi undang, yakni penyusunan dengan perumuman sekalian bukti terpancir tak ada yang diketahui yang tiada takluk pada undang itu. Kita tiada menghadapi satu bukti saja, atau lebih dari satu, tetapi boleh dihitung dengan jari, sehingga kita bisa memeriksa satu persatunya. Tetapi kita menghadapi bukti yang tak berbatas, banyak kawannya. Semua bukti yang tak berbatas itu meski masuk, mesti tersusun dalam undang kita.
Jalan induction mengambil jalan tengah, yakni di antara jalan yang memeriksa cuma satu bukti saja dan jalan yang menghitung lebih dari satu, tetapi boleh dihitung semuanya satu persatu. Induction mengandaikan, bahwa karena beberapa (tiada semuanya) di antara bukti yang diperiksanya itu benar, maka sekalian bukti lain yang sekawan, sekelas dengan dia benar pula.
Buat contoh penegasan kita kembali pada masyarakat Yunani, masyarakat yang sebenarnya merintis kesopanan manusia. Lama sudah terpendam dalam otaknya Archimedes, pemikir Yunani yang hidup 250 tahun sebelum Masehi, persoalan: apa sebab badan yang masuk barang yang cair itu, jadi enteng kekurangan berat? Ketika mandi, maka jawab persoalan tadi tiba-tiba tercantum di matanya dan kegiatan yang memasuki jiwanya menyebabkan dia lupa akan adat istiadat negara dan bangsanya. Dengan melupakan pakaiannya, ia keluar dari tempat mandinya dengan bersorak-sorakkan "heureuka" saya dapati, saya dapati, adalah satu contoh lagi dari kuatnya nafsu ingin tahu dan lazatnya obat haus "ingin" tahu itu. Archimedes menjalankan experiment yang betul, ialah badannya sendiri, yang jadi benda yang dicemplungkan ke dalam air buat mandi. Dengan cara berpikir, yang biasa dipakainya sebagai pemikir besar, ia bisa bangunkan satu undang yang setiap pemuda yang mau jadi manusia sopan mesti mempelajari dalam sekolah di seluruh pelosok dunia sekarang.
Menurut undang Archimedes, maka kalau benda yang padat (solid) terbenam pada barang cair, maka benda tadi kehilangan berat sama dengan berat zat cair yang dipindahkan oleh benda itu.
Tegasnya kalau berat Archimedes di luar air umpamanya B gram dan berat air yang dipindahkan oleh badan Achimedes b gram, maka berat Archimedes dalam air tidak lagi B gram, melainkan (B-b) gr.
Dengan contoh dirinya sendiri sebagai benda dan air sebagai barang cair, maka simpulan yang didapatkan Archimedes dalam tempat mandi itu belumlah boleh dikatakan undang. Semua benda dalam alam, kalau dicemplungkan ke dalam semua zat cair mestinya kekurangan berat sama dengan berat-zat cair yang dipindahkan oleh benda itu. Kalau semuanya takluk pada kesimpulan tadi, barulah kesimpulan itu akan jadi Undang dan barulah Archimedes tak akan dilupakan oleh manusia sopan, manusia yang betul-betul terlatih sebagai bapak undang itu.
Tiada saja undang itu membetulkan bukti yang diketahui pada zaman Archimedes, tetapi undang itu sekarang sudah kembang biak, menyusun semua benda dan zat cair yag diketahui zaman sekarang, sehingga undang Archimedes adalah satu tiang yang tak boleh runtuh (dalam Ilmu Alam). Insinyur pembikin kapal air, atas atau bawah air, dan pembikinan kapal udara mesti mengakui dan memakai undang itu.
Sebelumnya Archimedes memastikan undangnya, maka tentulah lebih dahulu ia coba dengan benda lain dari badannya. Ia coba dengan besi, batu, kayu dan lain-lainnya semuanya dibenamkan ke dalam air dan tentu semuanya takluk dalam simpulan yang diperolahnya.
Archimedes tentu belum coba masukkan benda tadi ke dalam bensin atau spiritus atau air raksa yang lebih berat dari kayu, karena memang zat cair semacam ini belum diketahui pada zaman dia atau seandainya sudah diketahui, Archimedes belum merasa perlu mencobanya.
Jadi dia pasti mengambil cuma beberapa bukti, karena tidak semua bukti di ruang Alam ini dipakai buat menetapkan undangnya. Inilah jalan induction, mengakui sahnya satu kesimpulan sebagai undang, walaupun belum semua bukti yang berkenaan, diuji.

Bagian 2 DEDUCTION
Kawannya Induction adalah Deduction. Satu sama lain tak boleh berpisah. Induction yang tetap induction saja, sangat tak boleh dipercaya.
Kalau dilaksanakan dan pelaksanaan ini membenarkan undang tadi, maka barulah boleh undang itu diaku syahnya, walaupun sementara. Banyak hypothesisnya pemikir zaman dulu tinggal hypothesis tentang keadaan kita sesudah mati umpamanya, adalah persangkaan yang tinggal persangkaan, karena belum ada orang yang sudah mati balik ke dunia fana ini. Dan experiment yang berhubungan dengan mati, berbahaya sekali kalau tiada mustahil dijalankan, yakni pada masa sekarang.
Pada induction kita berjalan dari bukti naik ke undang. Pada cara deduction adalah sebaliknya. Kita berjalan dari Undang ke bukti. Kalau kita bertemu kecocokan antara undang dan bukti, maka barulah kita bisa bilang, bahwa undang itu benar.
Kalau kita sudah terima, bahwa semua benda kehilangan berat dalam semua cair, maka kita ambil satu benda dan satu zat cair buat penglaksanaan. Kita ambil sepotong timah, kita timbang beratnya di udara. Kita dapat B gram. Kita masukkan timah tadi ke dalam air. Kita timbang beratnya air yang dipindahkan oleh timah tadi, kita dapati b gram. Menurut undang Archimedes timah tadi mesti kehilangan berat b gram. Jadi ditimbang dalam air, beratnya menurut Archimedes mestinya (B-b) gram. Sekarang kita ambil beratnya dan timbangan timah yang terbenam tadi. Betul kita dapat (B-b) gr. Jadi betul cocok dengan undang Archimedes. Sekarang induction sudah beralasan deduction, kebenaran undang sudah di sokong oleh penglaksanaan. Berulang-ulang kita lakukan pemeriksaan kita dengan benda dan zat cair berlainan dan berulang-ulang kita saksikan kebenaran undangnya Archimedes, pemikir Yunani itu.

Bagian 3. VERIFICATION

Pada suatu hari terbentang di muka kita satu persoalan. Bagaimana kalau zat cair itu bukan air, tetapi udara. Kalau begitu, menurut undang Archimedes, benda di udara itu juga mesti kehilangan berat sama dengan berat udara yang dipindahkan oleh benda tadi. Jadi menurut bacaan lain pada undang Archimedes, benda tadi ditolak ke atas oleh kodrat yang sama dengan berat udara yang dipindahkan oleh benda tadi. Mesti lebih berat dari benda di udara, karena pada tempat kosong benda itu tak menerima tekanan, jadi tak kehilangan berat apa-apa.
Ini bukti ada baru, seperti di luar daerah bukti yang sudah dikenal di luar penglaksanaan kita yang sudah-sudah. Kalau bukti yang baru dikenal ini membenarkan undang jago tua dari Yunani itu, maka undang itu akan dapat verification, ialah pemastian baru.
Sekarang kita laksanakan undang Archimedes pada udara. Kita timbang sepotong tembaga, dalam kaca yang sudah kita pompa udaranya. Disini beratnya umpamanya T gram. Kemudian kita timbang tembaga itu juga di udara.
Disini dia mesti alamkan tolak ke atas dari kodrat yang sama beratnya dengan berat udara yang dipindahkan oleh tembaga, umpamanya t gram. Jadi kalau undang Archimedes benar, maka di udara berat tembaga tadi mestinya (T-t) gram.
Dengan gugup kita ambil neraca buat menimbang, gugup karena kita takut undangnya jago tua kita akan gagal. Tetapi pengiraan kita tiada salah. Kita betul dapati (T-t) gram. Dan kita senang dan bangga karena jago tua mendapat kehormatan baru. Bukti baru, tetapi masuk daerah bukti yang lama juga tiada membatalkan undang Archimedes tadi. Demikianlah banyak kali undang Archimedes mendapat verification, pemastian baru, sesudah undang tadi dilahirkan di Yunani. Pemastian baru boleh jadi mengubah formulenya, kalimatnya undang itu, tetapi tiada mengubah semangatnya.
Verification ini besar artinya dalam science. Dia bisa membatalkan dirinya sendiri, seperti nasibnya X(kuadrat) – X + 41 tadi.
Menurut undang Newton, maka satu bIitang menari bitang lai dengan kodrat yang berbandig nai (right proportional) dengan masa (jumlah zat) dan berbanding turun (inverse ratio) dengan pangkat dua (kwadrat) antara.
Dengan memakai undang ini, maka si penghitung satu lingkaran jalan (baan) yang dijalani oleh satu planet (bumi), mendapatkan hasil yang mungkin dari mestinya. Kesalahan ini menyebabkan dapatnya planet baru yang mengganggu jalannya bintang yang dihitung baannya tadi. Jadi planet baru tadilah yang selamanya ini tiada diketahui. Yang menarik planet yang mau dihitung baannya tadi, sebab itu baannya terganggu. Bukannya terganggu karena salahnya undang Newton, melainkan karena benarnya undang Newton. Kesalahan menghitung tadi menyebabkan terdapatnya planet baru yang memastikan sekali lagi benarnya undangnya Newton.
1001 Hypothesis buatan Timur (baca impian), kalau betul-betul dilaksanakan dan diverifikasi, nasibnya akan sama dengan formule X (kuadrat) – X + 41 tadi. Tetapi undang yang betul berdasarkan bukti yang diperoleh dengan experiment, yang sesuai dengan caranya science, bisa mendapatkan perluasan daerah atau bukti baru karena verification tadi.
Si-inventer, si pendapat-baru, seperti Edison atau ahli teori baru, seperti Eninstein, mendapatkan yang baru itu, tentulah tiada semata-mata sebagai hasil otaknya semata-mata, melainkan sebagai hasil dari penglaksanaan (deduction) dan pemastian (verification) dari undang atau teori yang lama, gurunya atau teman sejawatnya.
Semenjak Bacon (dari Verulam?), maka induction, deduction dan verification ini sudah menjadi CARA-TIGA-SERANGKAI dalam SCIENCE, salah satunya tiada boleh dilupakan, kalau hendak mengadakan sesuatu pemeriksaan yang beralasan bukti.

Pasal 4. BATASAN SCIENCE
Kalau kita meninjau ke daerah bagian science yang sudah kita uraikan ini, maka nyata kita lihat dua macam cara, methode yang sudah kita uraikan dnegan panjang lebar. Pertama cara yang dipakai pada Matematika umumnya dan Geometry & Co. Khususnya, ialah : synthetic, analytic dan ad absurdum buat menguji benar salahnya satu teori. Cara synthetic, analytic dan Intersection of logics buat menyelesaikan dan menguji benar salahnya satu problema, persoalan.
Kedua cara yang dipakai pada Ilmu Alam (natural science) umumnya dan Ilmu fisika & Co, terkhususnya ialah pertama induction, kedua deduction, ketiga verification.
Semua kata tadi yang berasal dari kata Yunani dan Latin, yang umum dipakai di dunia sekarang, mengandung arti, ilmu, maka sementara kata-kata itu kita pakai, buat terjemahan sementara kita pakai perkataan Indonesia pertama, memasang, kedua mengungkai, ketiga menyesatkan buat synthetic, analytic dan ad absurdum.
Persilangan garis buat intersection dari logics buat 1 induction, 2 deduction dan 3 verification, sementara belum dapat yang lebih jitu kita pakai untuk 1 menyusun, 2 melaksanakan, 3 memastikan. Apakah bahasa barat itu kelak akan diterima mentah atau tercangkok dalam masyarakat bahasa Indonesia atau akan diganti dengan bahasa Indonesia sendiri, baiklah kita serahkan kepada sejarah.
Tetapi sebelum artinya yang betul belum jadi umum dan sebelumnya pikiran-pikiran umum belum bisa memeriksa benar salahnya maka besar sekali bahayanya memakai salinan kata-kata yang mangandung pengertian yang berilmu itu (scientific). Lagi pula kalau Barat sopan sendiri masih memakai kata latin dan Yunani tadi tiadalah perlu kita malu memakainya, malu ditertawakan karena kemiskinan bahasa.
Syahdan kalau kita bandingkan cara yang dipakai dalam Geometri & Co. dengan cara yang dipakai dalam ilmu Fisika & Co., maka nyatalah perkenaannya kedua cara itu. Syntetic dalam Geometri Co., dan Induction dalam Ilmu Alam & Co., keduanya berarti naik ke undang yang disyahkan, ialah naik dari bukti, walaupun bukti pada Geometry & Co. berlainan sifat dengan bukti dalam ilmu kodrat & Co. keduanya mau menyusun, memasang, segala atau sebagian bukti yang diketahui sampai ke undang, walaupun dalam Geometry & Co. bukti itu disusun buat menguji teori dan dalam Ilmu Alam & Co, buat membikin undang.
Cara Analytic dalam Geometry pun ada berkenaan dengan cara Deduction dalam Ilmu alam & Co.
Keduanya turun dari mengumumkan kepada bukti. Pada Geometery & Co. turun itu, mengukai teori buat memeriksa salah benarnya satu teori. Pada Ilmu Alam & Co. turun itu berarti penglaksanaan buat menguji salah benarnya satu undang yang sudah diperoleh.
Akhirnya cara ketiga, cara Absurdum dalam Geometry & Co. dan cara Verification dalam Ilmu Alam & Co., tiadalah sama sekali lepas satu sama lainnya. Dengan jalan menyesatkan, kita lihat Geometry & Co. membenarkan teorinya.
Sesudah disangka sesat seperti pada perhitungan yang berdasarkan undang Newton, kita bertemu dengan verification, kepastian undang Newton tadi. Dengan meng-experimentkan memperalamkan (kebetulan dalam bahasa Tagalog Filipina, alam itu artinya tahu!), dengan peralamkan semua persangkaan hypothesis, dengan ukur mengukur, timbang menimbang buktinya sebelum dianggap hypotesis tadi, maka dengan cara kita sebutkan di atas. Science, maju dengan pesat sekali dalam 100 tahun dibelakang ini dari 500.000 tahun sebelum itu.
Tetapi ada batasnya science. Batasnya menyebabkan dia tak tahu belum bisa mengembang semestinya. Batas limitnya itu, pertama terdapat pada dirinya sendiri, kedua diluar dirinya sendiri. Pada dirinya sendiri, yaitu kekurangan perkakas, instrument, yang dapat dengan seksama membesarkan yang kecil dan mendekatkan yang jauh, dan kekurangan memakai cara yang lebih jitu, ialah Dialektika. Kekurangan diluar dirinya sendiri, terdapat pada aturan masyarakat kita sekarang pada politik, ekonomi dan sosial. Kekurangan pertama berseluk beluknya dan tergantung pada kekurangan pada batas yang diadakan oleh yang kedua.
Kekurangan instrument atau batas memakai Dialektika itu akan hilang, kalau masyarakat membenarkan. Dengan segera instrument yang kurang akan sempurna dan cara berpikir yang lebih jitu akan tercapai.
Politik dan Ekonomi masyarakat tak membenarkan melambungnya dan mengembangnya seperti kebiasaannya, kesanggupannya. Terlampau panjang dan tiada pada tempatnya kalau sepenuhnya diuraikan disini, bagaimana masyarakat kemodalan menghambat majunya science, walaupun mesti diakui, bahwa masyarakat kemodalan lebih memajukan science dari masyarakat feodalisme manapun juga di bumi ini. Tetapi dengan pendek bisa dan mesti diterangkan batas yang diadakan oleh masyarakat itu.
Dimana-mana kapitalisme itu (berpolitik demokratis atau autocratis), condong kepada monopoli. Dimana-mana monopoli condong pada ekonomi berdasarkan restriction, yaitu membatasi penghasilan. Dengan membatasi penghasilan, mengurangi hasil dari kekuatan (pabrik) dan mesinnya, dan monopoli punya sendiri hasil itu, maka si monopolist bisa menaikkan harga dan menetapkan untang. Dengan politik monopoli dan restrictie itu, maka mesti dibatasi pula invention, yaitu pendapatan teknik baru dari science. Berapa puluh, ya berapa ratus invention baru yang dibeli oleh monopoli besar buat dipendam atau dirusakkan di Amerika. Monopoli tadi takut kalau konkurensinya memakai invention tadi buat memurahkan harga barang dan dengan begitu menjatuhkan untuk dan perusahaannya. Kaum pekerja akan terlempar dari pabrik, kalau mesin baru yang lebih efficient berhasil dipakai.
Monopoli dan Restriction pembatasan inilah yang maha kuasa. Politik dagang dan ekonomi yang beralasan Free Trade perdagangan merdeka, membikin banyak dan menjual obral dan murah, kandas oleh politik monopoli dan restriction, yakni bikin sedikit buat dijual mahal.
Akibat politik restriction dan monopoli, terutama membatas banyaknya buruh terpakai. Jadi mengadakan pengangguran yang hebat dan tetap. Tetapi kita disini tiada berkenaan dengan akibat ini. Yang berkenaan, ialah dengan akibat, bahwa monopoli dengan politik restrictionnya, membatasi majunya teknik dan membatasi maju suaminya teknik, ialah science. Begitulah kita samapi pada titik bermula dalam penguraian ini. Masyarakat membatasi majunya Teknik dan Science.
Selama Matematika masih melayani titik, garis dan sudut atau badan seperti KUBUS, CYLINDER dsb., yang semua masih bisa digambarkan di kertas, selama itu cara berpikir yang dipakai oleh Matematika, cara yang tepat berkenaan dengan Logika! Cara itu cukup memadai. Tetapi kalau Matematika melambung lebih tinggi, maka ia berjumpa dengan TIME-FACTOR, sebagai DIMENSION, pengukuran ke-4 dari Minkofsky.
Disini cara berpikir yang lebih kita kenal, dipakai pada Matematika tak memadai lagi. Pada teori Relativity perkara tempoh ini penting sekali dan seperti kita uraikan lebih dahulu, maka teori relativity itu banyak sekali berkenaan dengan DIALEKTIKA.
Selama ilmu Fisika & Co. masih melayani benda dan kodrat yang bisa ditimbang dan diukur, selama itu cara berpikir yang kita sebutkan dahulu sama sekali memadai. Tetapi kalau ia melambung pada langit filsafat, maka cara yang dipakai dalam ilmu Alam & Co. Tadi tak memadai lagi.

Disinilah ahli Alam (physicist), sebagai ahli filsafat, menjumpai Time-Factor, ialah perkara sejarah, sebagai ahli filsafat mesti berjumpa dan menjawab persoalan: Mana yang pertama, Benda atau Kodrat. Ia tiada bisa lagi memisahkan persoalan Benda dan Kodrat, yang dia alami dalam laboratorium tadi dengan persoalan Jasmani atau Rohani, Lahir dan Batin, Hidup dan Mati. Dia tak bisa lagi memisahkan persoalan Ilmu Alam tadi dengan masyarakatnya. Disini sebagai ahli filsafat, dia mesti pilih Logika atau Dialektika. Apabila dia pisahkan Benda dari Kodrat, jadi Kodrat yang utama dan Benda kedua, maka seperti David Hume, dia mesti batalkan adanya Benda, adanya dirinya sendiri, atau dia mesti akui seluk beluknya, kena mengenanya. Tak bisa berpisahnya, Benda dan Kodrat, Jasmani dan Rohani. Dalam hal ini dia mesti akui DIALEKTIKA.
Dalam ilmu bukti yang berhubung dengan hidup dan asal usulnya Tumbuhan, Hewan dan manusia, tegasnya dalam Biology, maka TIME-FACTOR itu tentulah barang yang penting sekali. Disini TIME-FACTOR ialah sejarahnya barang yang hidup dan mati dengan nyata tiada bisa disingkirkan. Pada Biologylah nyata pertentangan cara berpikir dari ahlinya.
Kita ambil saja sistem, tata-lenxeus, tata yang dipelajari di sekolah. Tak perlulah pula disini kita terangkan tata Biology itu seluruhnya. Yang perlu diterangkan ialah bagaimana Lenxeus & Co. mendekati persoalan Biology. Dianggapnya jenis (species), yang ada di bumi ini, baik Tumbuhan atau Hewan, dibikin dalam sekejab mata saja, seperti diajarkan oleh agamanya. Bagaimana menerbitkan tumbuhan dan hewan itu tak berapa bedanya dengan hypothesisnya, filsafat Egypt yang sudah kita kenal. Karena kita hanya hendak menggambarkan bagaimana creation pembikin tumbuhan dan hewan terjadinya dan kita hendak menyingkiri semua rasa kefanatikan kaum yang bersangkutan, maka sekali lagi kita ambil lampu ajaibnya Aladin dan memanggil Dewa Rah dan minta dengan hormat, supaya DIA berfirman dari puncak gunung Himalaya di muka dia. Demikianlah firmannya :
Ptah: maka timbullah ikan (ikan cumi-cumi, sepat, gabus, gurami, bukan ikan paus). Sebetulnya semua suku (pecahan jenis) mesti diptahkan pula masing-masingnya. Seperti ikan gabus, iju (cucut dsb) sebab menurut lenxeus cuma individunya badan dirinya saja yang sama asalnya. Tetapi cukuplah kalau di-ptahkan jenis binatangnya saja.
Ptah: maka timbullah Amphibien, kodok (yang hidup di air dan di darat).
Ptah: maka timbullah Reptiel, binatang menjalar (ular, biawak, cecak, buaya, dsb).
Ptah: maka timbullah Burung (enggang, belatuk sampai buruh onta).
Ptah: maka timbullah binatang yang menyusukan anaknya (seperti tikus, kucing, monyet dsb.)
Kita tahu, bahwa sistem peraturan Lenxeus tiada sama semacam ini. Tetapi yang mau kita gambarkan, ialah sifatnya sistem Lenxeus dan terutama bagaimana adanya, timbulnya Hewan sekarang menurut Lenxeus. Seperti Tumbuhan, maka menurut Lenxeus hewan itu terbikin pada suatu saat. Satu jenis terpilih dari yang lain. Tiap-tiap jenis itu tetap begitu, tak akan bertukar sekalipun dalam 1.000.000 tahun. Karena masing-masing kehendak Dewa Rah. Kalau mau memeriksa hewan (dan tumbuhan) itu, maka mesti diperiksa satu-satu jenis yang tak berkenaan satu sama lainnya.
Tegasnya ikan tak berkenaan dengan kodok, kodok tak berkenaan dengan biawak, biawak terpisah dari burung dan burung sama sekali tak ada berkenaan dengan tikus dsb. Semua jenis tadi terbikin (created) satu persatu. Begitulah antara segala suku ikan, seperti gabus, cumi-cumi dll. Satu sama lainnya tak berkenaan. Satu-satunya ialah pembikinan Rohani pada lain-lain saat.
Jadi menurut Lenxeus satu sama lainnya terpisah seperti Hume menganggap Jasmani dan Rohani ialah terpisah. Semua jenis tadi masing-masing dibikin pada satu ketika, seperti Dewa Rah membikin Bintang dan Langit. Jadi dari kosong. Disini juga rohani yang bermula jadi seperti pemandangan Hume juga.
Sekarang datang Darwin & Co. Darwin menganggap jenis itu tiada terpisah satu dengan yang lain. Begitu juga suku-jenis. Ikan umpamanya tiada sama sekali terpisah dari kodok, burung dengan binatang menjalar, persamaan gerundang (anak kodok) dengan ikan. Bandingkanlah tengkorak ular dengan burung, monyet dengan manusia. Satu jenis kena mengena dan banyak persamaan dengan lain jenis. Semua jenis tadi bukanlah hasilnya creation bikinan pada satu saat, melainkan hasil evolution, beratus, ribuan, dan jutaan tahun.
Jadi satu jenis terpisah dari yang lain menurut Lenxeus, dibatalkan oleh Darwin. Karena menurut Darwin ADA hubungan satu jenis dengan yang lain seperti Benda dan Kodrat juga. Dibikin pada satu saat, kata Lenxeus. Hasil evolution menurut undang Biology sendiri beratus, beribu tahun, kata Darwin.
Bukan di negara Inggris dalam buku saja Darwin mempelajari Tumbuhan dan Binatang, tetapi ia bikin observatie dan experiment tentang Tumbuhan dan Binatang dari hampir seluruh pelosok dunia bertahun-tahun. Bukan satu contoh yang dia masukkan buat menyokong satu persatu teori atau Hypothesisnya melainkan bermacam-macam. Pengikut Darwin melakukan kalau tidak puluh ribuan tentu sudah ratusan experiment.
Mendel, yang bekerja lepas dari Darwin, menjatuhkan dengan angka apa yang digambarkan oleh Darwin dengan teori, yaitu tentang undang yang menentukan sifat yang akan diperoleh turunan, kalau sifat ibu bapa (hewan) sudah diketahui.
Dengan pendek menurut Darwin: Segala jenis di bumi tidak terbikin, melainkan maju menurut undang Evolution, undang pertumbuhan, beribu dan berjuta tahun. Undang itu menguasai Tumbuhan dan Hewan, seperti undang Newton menguasai jalannya Bintang dan Bumi. Dari Protein dan Protoplasma sampai ke beberapa sel bertunas-satu, Evolution tadi terjadi menurut undang kimia. Dari sel-bertunas-satu sampai ke tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.
1. struggle-existence, pertarungan buat hidup.
2. adaptability, kodrat menyesuaikan diri dan
3. natural menurut selection, pilihan alam.
1. Pertarungan buat hidup dilihat dengan mata sendiri, bahwa dalam alam ini semua mahluk memerlukan makanan dan sex (laki-bini). Tak ada makanan, maka matilah mahluk hidup manapun dan tak ada sex, maka punahlah jenis mahluk itu. Kurang diketahui, tetapi tak kurang benarnya, bahwa sex itulah salah satu dari motive ujut pertarungan yang hebat. Bangunan kesusasteraan, seperti Ilyas dalam bahasa Yunani dan Ramayana di Hindustan. Cindur mata di Minangkabau, selainnya pada politik juga bertiang pada panggilan sex. Panggilan sex itulah yag menjadi kodrat yang penting sekali dalam penghidupan hewan. Dalam persoalan mencari makanan dan persoalan laki-bini, maka semua mahluk mengadakan pertarungan. Dan pertarungan itu adalah :
a. dengan alam sendiri.
b. Pertarungan dengan sesamanya atau dengan jenis yang lain, yang musuhnya dimakan musuh dan tiada dapat keturunan dsb.
Dalam ilmu bumi kita pelajari, bahwa bumi kita ini sudah menjalani beberapa perubahan dan masih selalu dalam perubahan. Kita pelajari, bahwa Eropa sekarang selama dahulunya diselimuti salju saja. Gurun pasir di Mongolia sekarang, bernama Gobi, boleh jadi dahulunya tanah subur yag didiami manusia. Indonesia dahulunya berlainan sekali dengan sekarang. Sumatra, Malaka, Borneo, Jawa dan Filipina bertaut satu dengan lainnya dan bertaut dengan Indo-Cina dan Australia, pendeknya keadaan bagian bumi yang sejuk boleh menjadi panas dan sebaliknya. Danau atau laut menjadi kering.
Tumbuhan dan binatang yang hidup di atas dan di bawahnya bertarung dengan pertukaran alam yang kadang-kadang berupa perubahan besar, revolusi. Selain dari itu hewan bertarung dengan keluarganya sendiri dan dengan musuhnya. Binatang dan Tumbuhan yang biasa hidup pada tempat dingin, sekarang berjumpa dengan hawa panas. Yang biasa hidup di hutan rimba, berjumpa dengan gurun pasir. Yang hidup di daratan, berjumpakan air tawar atau air laut. Selain dari itu hewan bertarung dengan sesamanya, jago dengan jago berebut makanan dan bini. Singa laut tak putusnya berkelahi dengan singa yang lain buat mempertahankan bininya. Tikus dengan kucing, burung merpati dengan elang, ikan tengiri dengan ikan hiu. Di udara, di daratan, dan di lautan terjadi setiap jam, tiap menit pertarungan mati-matian antara hewan sama sejenis karena makanan dan sex, dan di antara satu hewan dengan hewan musuhnya. (pembantah Darwin memajukan tolong-bertolong di antara hewan dan manusia. Tetapi perkara ini juga amat dipentingkan oleh Darwin. Tetapi sifat tolong-menolong itu berlaku dalam daerah pertarungan yang maha hebat !).
2. Adaptability, kodrat menyesuaikan diri.
Dalam menghadapi pertarungan perubahan alam, matilah tumbuhan atau hewan yang tiada mempunyai anggota sesuai dengan perubahan tadi. Tumbuhan yang perlu hawa panas dan banyak air, sudah tentu tak bisa menyesuaikan diri dengan hawa dan tanah dingin atau kering. Binatang yang tak berbulu tebal sudah tentu mati, punah semuanya kalau hawa bertukar sejuk dan tanah diselimuti salju. Binatang yang perlu banyak air dan lumpur tak akan bisa hidup pada tempat yang sudah bertukar jadi gurun pasir. Binatang yang perlu tanah kering tentulah akan punah, kalau tanah bertukar jadi paya atau danau. Binatang yang tak punya anggota luar biasa sebentar akan habis diterkam binatang musuhnya. Ada macam hewan yang luar biasa cepat larinya, yang lain luar biasa penciumannya, yang lain lagi luar biasa pendengarannya, atau banyak sekali anaknya, sehingga tak apalah kalau satu dua mati. Dengan anggota begitu ia bisa menyesuaikan dirinya dengan kelilingnya dalam persoalan mencari makanan dan sex.
3. Natural selection, pilihan alam
Alam yang ganas bertukar sejuk memilih tumbuhan dan hewan yang bisa mencocokkan diri dengan keadaan yang baru itu. Tumbuhan yang berdaun seperti ranting, seperti pokok cemara bisa tambah sejuk. Binatang seperti rendier (kijang) bisa hidup dengan rumput dua tiga potong saja dan bulunya yang tebal bisa menahan kedinginan. Tumbuhan yang berurat kuat dan dalam, berdaun mengandung air bisa tumbuh pada gurun pasir. Alam memilih binatang yang berwarna sama dengan warnanya guna memelihara dirinya dari musuhnya. Burung gagak pada salju atau di padang pasir sudah tentu mudah kelihatan oleh musuhnya. Bangsa burung yang berjari dipertautkan oleh kulit seperti itik (bebek) sudah tentu terpilih oleh alam buat tinggal pada daratan yang berganti paya atau danau. Rusa terpilih diantara jenis lain-lainnya, sebab ia bisa mendengar kedatangan musuhnya dan melarikan diri dari musuhnya.
Kita misalkan saja di sekeliling kita di Indonesia ini besok daratan bertukar menjadi danau atau paya. Marilah kita amati segala hewan yang ada di bagian bumi kita ini. Sudahlah tentu kambing, kerbau dan lembu kita tiada berapa lama akan bertahan hidupnya. Tetapi binatang seperti berangan dan kodok tentu akan dapat menahan sengsara pertukaran ini lebih lama. Berapa lamanya adalah bergantung pada banyak hal lain-lainnya, yang berhubung dengan susunan badan (struktur) hewan itu sendiri dan perubahan alam di luar susunan badan itu. Sebaliknya, jika air danau atau paya di keliling kita di Indonesia ini bertukar jadi darat, sudah tentulah keluarga ikan emas tak akan berapa lama bisa menunggu ajalnya. Sedangkan belut atau ikan gabus tidak akan mati begitu saja. Rupanya sejenis dengan ikan gabus kita di Amoy, Tiongkok bernama Nomoa, kabarnya ditangkap di air, di daratan, dimana ia mencari makanannya. Pun saya dengar kabar ikan gabus kita seirng dijumpai di luar air, di waktu malam hari.
Sekali lagi dalam pertukaran alam hewan yang mempunyai anggota yang cocok dengan keadaan baru tentulah lebih mempunyai pengharapan buat mempersesuaikan dirinya dengan pertukaran alam itu.
Apakah Alam akan memilih sesuatu hewan itu sama sekali bergantung pada bermacam-macam sifat yang perlu dalam susunan badan (struktur) hewan itu sendiri dan berbagai-bagai keadaan di luar hewan tadi, hawa makanan, musuh dsb. Tetapi nyatalah sudah anggota yang tahan uji dalam pertarungan dengan alam dan musuh itu akan diturunkan pada anak cucunya, disebabkan pilihan sex. Bahwa bini itu di kalangan hewan memilih laki, perhatikan sajalah jenis burung di keliling kita, berapa lamanya ayam belanda turkey mesti menari dimuka kekasihnya. Dan setelah payah barangkali ia mesti melihat kekasihnya berjalan bersama saingannya yang lebih bagus tari atau warna bulunya. Berapa pesat sang anjing mesti berkelahi, yang setelah tewas atau luka setengah mati ia melihat jodohnya bergandengan dengan lawannya yang menang. Diantara jago tua Singa laut yang tetap memegang kejagoannya dan dengan begitu tetap pula memegang keharumannya, ada yang badannya penuh dengan bekas luka seperti juara ulung di antara hulubalang yang sudah menang dalam beberapa peperangan.
Perhatikanlah bagaimana putri tekukur mendengarkan janji pertandingan yang merdu di antara beberapa calon suami, sama juga dengan putri kita di beberapa daerah melayani sahabat kekasihnya dalam satu pertandingan. Amatilah dengan tukang nyanyi yang mana si putri itu terbang buat hidup sampai mati.
Demikianlah dalam pertarungan sex tadi terpilih laki yang kuat, pandai menyanyi atau menari baik warna bulunya buat meneruskan cucunya, menurut undangnya Mendel. Begitulah pula anggota yang cocok dengan kehidupan bertarung dengan alam atas musuh yang sejenis diluar jenis akan terus menerus pada anak dan cucu, dengan perubahan sedikit demi sedikit. Sepasang burung dilepaskan pada satu pulau sesudah beberapa lama menimbulkan bermacam-macam suku dari jenis itu.
Perubahan alam menyebabkan perubahan struktur dan fungsi susunan dan bekerjanya badan sesuatu hewan. Dari cacing sampai ke manusia perubahan usus, hati jantung, rabu, otak, gigi, tengkorak dan tulang belulang, terjadi teliti sekali dan perlahan sekali. Biasanya alam berjalan perlahan-lahan, perubahan itu sedikit sekali, tetapi kadang-kadang juga mengadakan perubahan besar (sport, perlompatan). Kalau kita peramati segala perubahan dari semua anggota tadi dari cacing sampai ke manusia, maka kita mesti yakin, bahwa semuanya itu tiada satu kebetulan, satu bikinan pada satu saat, seperti menurut Logika Mistika atau Logika Lenxeus. Melainkan kemajuan (evolusi) yang berlaku menurut undang. Seperti peredaran bintang dan bumi dikuasai satu undang yang didapat oleh Newton, perpaduan zat menurut undang yang ditetapkan oleh Dalton. Begitulah evolusi tumbuhan dan hewan berjalan, sebab pilihan alam tadi pada pertarungan makhluk buat hidup.
Dengan membatalkan Logika Mistika, membatalkan terpisahnya satu jenis dengan jenis yang lain dan mengemukakan seluk-beluk kena-mengenanya satu jenis dengan jenis dalam tempo beribu juta tahun pada satu lapang pertarungan yang pesat jadinya. Dengan mengemukakan “perubahan kecil-kecilnya, akhirnya menjadi perubahan jenis" quantity into quality sebetulnya Darwin memakai perkakas berpikir Dialektika.
Bagaimanakah akibatnya ?
Dongeng atau sejarah, tetapi pasti pada salah satu tempat saya baca, bahwa Darwin memasuki gereja pada hari Minggu. Sebagai Kristen ia terus menjalankan agamanya.
Dia tiada atau belum sadar, atau pura-pura tak sadar, bahwa akibat teorinya berlainan dnegan Logika Mistika. Tetapi tuan pendeta berpendapat lain, segala kutuk yang ada dalam kitab injil dikumpulkan jadi satu dan ditiupkan seperti topan ke penjuru tempat Darwin duduk, disudut bilik gereja. Sudahlah tentu semua mata dipusatkan oleh topan-kutuk tadi ke penjuru Darwin, sehingga Darwin orang murtad ini terpaksa berdiri …….mengambil topinya.
Sudah tentu satu gereja bukannya tempat berdebat. Lagi pula boleh jadi Darwin berpikir: Lebih mudah buat seekor kerbau memasuki lubang jarum dari pada buat satu mystikus ………………….dan pulang.
Tiga jenis yang bisa kita pisahkan diantara para scientist dan ahli filsafat borjuis, kalau mereka mesti menentukan sikapnya dalam science atau filsafat, jikalau berhadapan dengan dialektika.
Pertama: Terang mentah dia memusuhi Dialektika yang beralasan Materialisme, dalam hal ini dia boleh jadi sekali pegang, dan bisa mempertahankan pangkatnya dalam masyarakat.
Kedua: Terang mentah dia menyetujui Dialektika beralasan Materialisme. Dalam hal ini dia mesti kehilangan pangkatnya.
Ketiga: Dia bermain putar belit, tolak-angsur, kong-ka-li-kong dengan Dialektika dan Materialisme. Dalam hal ini dia besar pengharapan buat memelihara kambing dan daun sirih.
Kecuali pada waktu yang tiada membiarkan kompromis, dia bisa selamat …………….memegang terus pangkatnya.
Begitu susah menyingkiri akibatnya Dialektika yang materialistis dalam Ilmu Bukti, apalagi susahnya dalam Ilmu Masyarakat.
MADILOG
Tan Malaka (1943)
________________________________________
BAB V
D I A L E K T I K A

Pasal 1 : TIMBULNYA PERSOALAN DIALEKTIKA
Sampai sekarang kita melayani perkara yang terutama berhubungan dengan Logika, Ilmu Berpikir. Semua pertanyaan yang dimajukan bolah dijawab dengan ya atau tidak. Syahdan menurut Logika, ya, bukan berarti tidak. Dan tidak itu sama sekali tidak, bukan berarti iya.
Dalam Geometri & Co dan Ilmu Alam & Co, yang sudah kita uraikan dahulu, kita mengadakan semua pertanyaan yang boleh dijawab ya atau tidak. Dalam biologi kita sudah sedikit meraba pertanyaan yang tiada bisa diputuskan dengan jawab ya dan tidak semata-mata, tetapi, kita tinggal meraba-raba saja dan segera menarik tangan kita kembali.
Sekarang sudah sampai waktunya buat memeriksa pertanyaan yang tiada bisa lagi dijawab dengan ya atau tidak. Sekarang sudah sampai waktunya buat memeriksa pertanyaan yang tiada bisa diselesaikan oleh Logika. Pertanyaan yang tiada bisa lagi diselesaikan oleh Logika itu, adalah bermacam-macam, masing-masing mengandung salah satu atau beberapa perkara yang dibawah ini.
Bagian 1. TEMPO
Pertanyaan umpamanya, apakah Edison bodoh atau pandai tiadalah bisa dijawab dengan pasti menurut Logika saja, dengan ya atau tidak begitu saja. Kita tahu, ketika berumur 6 tahun, Thomas Edison diusir pulang oleh gurunya karena bodoh. Tapi seluruh dunia sekarang mengetauhi pula bahwa Thomas Edison yang akil balig, betul-betul mencahayai dunia kita dengan hasil otaknya yang gilang gemilang itu.
Teranglah disini Sang Tempo mengubah Thomas dari murid yang goblok menjadi satu genius (maha cerdas) yang akan tetap dapat kehormatan sejarah dalam dunia seperti Faraday, Ohm, Ampire dan kawannya yang lain dalam ilmu Listerik. Kita diajar di sekolah menengah, bahwa “titik” kalau ditarik terus akan menjadi garis dan garis ditarik terus akan menjadi bidang dan bidang yang ditarik terus akan menjadi badan. Semua pekerjaan ini memakai tempo. Kita perlu memakai tempo buat mengubah titik menjadi garis atau garis menjadi bidang dan akhirnya bidang jadi badan. Kalau sudah cukup memakai tempo, kita bisa menjawab mana titik mana garis, mana garis dan mana bidang, mana bidang dan mana banda. Tetapi pada saat dimana titik belum menjadi garis, garis belum menjadi bidang dsb, kita tidak bisa jawab apakah ini titik atau garis dst. garis atau bidang.
Dalam ilmu alam kita mengetahui bahwa, air kalau dipanaskan sesudah beberapa lamanya, hilang menjadi uap. Dalam hal ini kita tahu benar, mana yang air, mana yang uap. Tetapi ada saatnya, dimana kita tak bisa menjawab apakah ia itu masih air atau sudah menjadi uap.
Dalam kehidupan sehari-haripun, kita berjumpa dengan bermacam-macam pertanyaan yang tiada bisa diputuskan dengan ya dan tidak saja, kalau sang Tempo campur. Mudah mengatakan orang itu tua, kalau memang sudah hampir atau lebih seratus tahun umurnya, bermata kabur, berambut putih dan bertelinga pekak dsb, atau masih bayi, kalau berumur tiga atau empat bulan. Tetapi jawablah dengan ya atau tidak tua kalau seseorang tetap kuat berupa muda, walaupun umpamanya sudah kira-kira 50 tahun.
Adalah saatnya dimana kita semua makhluk bernyawa ini, seorang dokter yang pintarpun, tak bisa menjawab dengan pasti bahwa kita sudah mati atau masih hidup.
Jadi jikalau pertanyaan itu dicampuri oleh tempo dimana campur perkara timbul dan hilang, hidup dan mati, disinilah Logika semata-mata menjadi gagal.

Bagian 2. BERKENA-KENAAN, BERSELUK-BELUK
Kia masih ingat bagaimana perbedaan besar diantara dua ahli Biologi besar, menghampiri persoalan tentang Tumbuhan dan Hewan. Lenxeus menganggap tiap jenis (spesies) baik Tumbuhan ataupun Hewan, sebagai berdiri sendirinya, tunggal. Tak berkenaan dan tak ada seluk-beluknya dengan jenis lain. Sedangkan Darwin menganggap sebaliknya, satu sama lain tak bisa dipisahkan, dipancirkan sendirinya. Lenxeus mengganggap masing-masing jenis, sebagai barang yang tetap yang pada satu saat dibuat yang Maha Kuasa. Sedangkan Darwin menganggap masing-masingnya jenis itu berubah sesudah beberapa lama disebabkan oleh Pilihan Alam (Natural Selection). Lenxeus berpendapat bahwa masing-masing jenis mesti diperiksa satu persatunya, terpancir sama sekali dari jenis yang lain-lain. Sebaliknya Darwin memeriksa peralamankan masing-masing jenis dengan seketikapun tak melupakan perkenaan dan seluk-beluknya jenis itu dnegan jenis yang lain.
Lenxeus setia pada Logika: Hewan ini masuk jenis ini, bukan jenis itu. Kodok ini tak ada seluk-beluk dan perkenannya dnegan burung dan seterusnya.
Darwin setia pada Logika, dimana Logika bisa berlaku. Tetapi meninggalkan Logika, kalau Logika tiada berdaya lagi: ini jenis berkenaan dengan itu, seluk-beluk dengan itu, bukan ini atau itu saja. Kodok berkenaan betul dengan burung. Perbandingkanlah tengkorak, tulang-belulang, hati, jantung, dan sebagainya diantara kedua jenis itu. Perhatikanlah tulang belulang dan sekalian anggota Hewan dan cacing sampai ke Manusia. Tiadalah tuan menjumpai seluk beluk, perkenaan satu sama lainnya?
Perhatikanlah jenis Hewan di Papua yang berada di antara binatang yang melahirkan anak hidup-hidup, dengan burung yakni binatang yang bertelur, tetapi menyusukan anaknya. Di Amerika Selatan ada barang setengah Tumbuhan dan setengah Hewan yakni Tumbuhan yang bisa menangkap mangsanya. Dalam laut ada barang setengah benda setengah Tumbuhan.
Hasil pekerjaan Lenxeus, ialah mencadangkan satu system (tata) tumbuhan dan Hewan mati, yang dipelajari oleh pengikut Logika saja terutama pengikut Logika Mistika. Sedangkan teori Darwin menjadi pedoman bekerja buat ahli kebun dan ahli hewan yang tak putus mencangkokkan tanaman dan memilih yang baik, membuang yang buruk, baik Tumbuhan ataupun tampang Hewan, sehingga makin lama, kita mendapat bunga yang lebih harum, buah yang lebih lezat dan hewan yang lebih tegap, kuat, gemuk, berfaedah dan kembang biak.

Bagian 3. PERTENTANGAN
Pada Matematika dan Ilmu Alam rendahan, ya dan tidak itu tak langsung berupa pertentangan yang terang, melainkan mula-mula berupa timbul atau hilang. Baru pada kedua perkataan timbul dan hilang ini (weden und vergehen) kata Engels, dia berupa pertentangan. Tetapi pada Ilmu Masyarakat berdasarkan Komunisme, ya dan tidak itu langsung dan nyata berdasarkan pertentangan.
Pencaharian Arab di daerah tempat saya menulis Madilog ini, yakni daerah Jakarta, terutama sekali memperbungakan uang umum dipasar-pasar dipinjamkan Arab pada Indonesia R 1,- dengan bunga 5 sen sehari.
Berupa kecil, tetapi menurut perhitungan Matematika bunga semacam itu dan 1,825% setahun. Ini menurut Logika, menurut hitungan bunga berbunga pula (samengestelde interest). Dengan kerja semacam itu dari turunan keterurunan, mereka menjadi kaya, ada kaya raya mempunyai tanah dan rumah. Tentulah bukan satu kali hal yang kita tuliskan dibawah ini sebagai contoh, yang terjadi semenjak bangsa ini meninggalkan Tanah Suci dan mencemarkan kaki pada tanah kita yang dianggap tidak suci ini.
Sebagai misal: Seorang tuan tanah Arab, kita namakan saja Halal bin Fulus, sudah lama meminjamkan uang pada seorang petani Indonesia. Petani menanggungkan tanah dan rumahnya atas pinjaman itu. Dia tak bisa melunaskan hutangnya, sebaliknya membeli makanan dan pakaian dan membayar pajak pada pemertintah Belanda saja, sebetulnya tak bisa ditutup dengan hasil tanahnya yang sebidang kecil itu. Keperluan luar biasa pada umat Islam, seperti menyunat dan mengawinkan anak dan merayakan Hari Besar Islam, Lebaran, menuntut ongkos luar biasa yang bagaimana juga rajinnya dia bekerja tak bisa dipenuhi lagi. Terpaksa ia meminjam uang lagi kepada tuan Halal bin Fulus dari Tanah Suci yang seagama dengan dia. Melunaskan hutang dan bunganya yang makin lama bertambah-tambah itu. Tuan Halal bin Fulus tahu pula akan sifatnya petani Indonesia, het zachte volk der aarde, itu bangsa yang semanis-manisnya. Gula Arabpun manis, dan tuan Fulus tak keberatan melebihi harga tanggungan. Tetapi pada satu ketika harga tanah pekarangan dan rumah petani sampai menjadi kurang atau hampir saja dengan hutang bunganya. Disini tuan Fulus baru sekarang petani ada semacam tikus di dalam cengkeraman kucing. Seagama atau tidak, dengan manis atau suara keras, namun hutang mesti dibayar.
Kalau kebetulan petani ada mempunyai anak perawan yang cocok sama perasaan tuan Fulus, suka atau tak suka si perawan, karena petani kebuntuan jalan, perkara hutang mungkin dihabiskan dengan perdamaian diantara tuan Fulus dengan petani Indonesia berdua saja. Tetapi kalau petani kebetulan punya anak bujang saja, atau kalau ada perawan yang cantik tetapi jika si ayah meskipun kemauan anaknya yang tak mau dikawinkan dengan tuan Fulus yang sudah tua dan beberapa kali kawin itu, maka disini timbullah percekcokan. Tuan Halal bin Fulus kita andaikan marah dan pergi mengadu ke Pengadilan.
Perkara diperiksa. Kalau perlu tuan Fulus mencari advokad yang pintar; arief bisaksana, yang tentu akan berusaha keras, menurut nilai pembayarannya. Dalam 99 diantara 100 perkara semacam itu, tentulah tuan Halal bin Fulus berasal dari tanah Suci, yang menang. Petani yang tak kuasa membeli beras atau sehelai pakaian buat anak bini masa Lebaran, kalau tak meminjam lebih dahulu pada tuan Fulus, manakah bisa bayar advokat. Pengadilan umpamanya memutuskan, bahwa si-tani mesti menjual tanah, pekarangan, rumah dan perabotan kalau ada; sapi atau ayampun kalau ada, buat membayar hutangnya.
Sedikit kepanjangan buat contoh, tetapi kependekan buat hal yang banyak sekali terjadi di pulau Jawa dan penting buat kehidupan orang Indonesia. Sekarang kita bertanya : Adilkah putusan Hakim Pengadilan tadi? Inilah salah satu dari pertanyaan yang tiada boleh dijawab dengan ya, dan tidak saja. Karena pertanyaan itu berkenaan dengan perkara yang berhubungan dengan masyarakat yang bertentangan diantara: Yang berpunya dengan Tak berpunya.
Tuan Fulus Muslimin yang Berpunya, sebagian besar dari kaum Ulama dan Pemerintah berdasar “kepunyaan sendiri”, tentulah 100% membenarkan putusan itu. Petani berhutang dan hutang mesti dibayar. Ini cocok dengan semua Undang kemodalan dan cocok dengan semua Agama.
Sebaliknya filsafat kaum Tak Berpunya atau Undang kaum Tak berpunya (dimana kaum Tak berpunya menguasai Negara) 100 % pula akan memutuskan bahwa putusan Hakim “tidak” adil.
Kalau penulis ini umpamanya berkuasa mengambil putusan, maka penulis akan menyuruh pilih saja satu dari dua putusan. Pertama, karena tuan Halal bin Fulus bukan bangsa Indonesia, supaya pulang kembali ke Tanah Suci denga diizinkan membawa sekedarnya dari harta bendanya, atau kedua: boleh tinggal disini, tetapi mesti mengembalikan semua hartanya pada Negara Indonesia. Dalam hal kedua dia lebih dahulu mesti dijadikan “manusia yang berguna buat masyarakat Indonesia”, yaitu dengan menukar dia sebagai paraciet, shylock, lintah-darat, menjadi “pekerja” sekurangnya 13 tahun. Sesudah itu baru boleh diterima menjadi penduduk yang sama haknya dnegan “pekerja” yang lain-lain.
Pendeknya dalam perkara diantara dua pokok yang bertentangan, kita tidak bisa menjawab dengan ya atau tidak (benar atau salah, adil atau dhalim), sebelum kita mengambil pendirian, mengambil penjuru dari mana kita mesti memandang, point of view. Apa yang dipandang adil dari satu pihak, berarti tak adil dipandang dari pihak yang lain, dan sebaliknya. Sebab itu kita mesti lebih dahulu berpihak pada yang lain, atau sebaliknya inilah artinya menentukan POINT OF VIEW. Dari salah satu sudut barulah kita bisa memandang dan memutuskan ya atau tidak.
Bagian 4. GERAKAN

Satu bola, berguling, bergerak, pada satu saat kita bertanya: Apakah bola ini pada saat ini disini atau tidak disini?
Inilah pertanyaan yang tiada boleh dijawab dengan ya atau tidak saja. Dari sinilah timbulnya Dialektika, yang juga pernah dinamakan Ilmu Berpikir dalam Gerakan. Dalam hal semacam ini kita mesti menjawab ya dan tidak. Bukan saja ya atau hanya tidak, tetapi ya dan tidak keduanya. sebab kalau kita jawab ya maka hal ini bertentangan dengan keadaan bola yang bergerak. Bola yang bergerak tentulah tidak disini lagi. Kalau sebaliknya kita jawab tidak, maka hal ini mesti bertentangan dengan pertanyaan kita sendiri. Karena kita bertanya, apakah pada saat ini boleh itu ada disini, dan memang ada disini.
Jadi dalam semua benda yang bergerak, kita mesti memakai Dialektika. Kita mesti ketahui, bahwa semua benda di dunia ini tak ada yang tetap, semuanya berubah, bergerak. Tumbuhan muncul dari bijinya, tumbuh, berbuah, dan mati, zatnya kembali ke tanah, ke air dan ke udara. Hewan lahir, tumbuh, beranak, tua, mati dan zatnya kembali ke tanah. Logam berkarat dan luntur. Bintang yang sebesar-besarnya bergerak pada sumbunya sendiri.
Bumi bergerak mengelilingi Bintang, ialah Matahari. Atom yang kecil itupun tiadalah tetap, melainkan bergerak juga. Begitu juga kodrat, berubah bentuknya dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Sekarang kodrat itu berupa panas, nanti dia berupa sinar, sebentar lagi bertukar berupa cahaya. Sekarang kodrat itu tersembunyi dalam air, nanti dalam uap. Disini kodrat panas atau sinar tersembunyi dalam listerik, disana pada benda menyala. Begitulah seterusnya, seperti kata Engels, saya ingat dalam Anti Duhring: “seluruhnya Gerakan Alam itu boleh diickhtiarkan dengan “peralihan” kodrat yang tiada putus-putusnya dari satu bentuk ke bentuk yang lain”. Banyak sekali pemikir mengichtisarkan Alam kita ini dengan: “Matter in move”, benda bergerak, karena gerakanlah yang jadi sifat benda yang terutama, maka Dialektikalah Hukum Berpikir yang terutama sekali.
Pada empat perkara tsb, diataslah timbulnya persoalan Dialektika. Kalau dipandang dari penjuru tempoh, maka Dialektika itu boleh juga kita namai Ilmu Berpikir Berlainan, yaitu dalam hal berpikir yang memperhatikan tempoh dimasa sesuatu benda, tumbuh dan hilang, hidup dan mati. Kalau dipandang dari penjuru kena-mengena dan seluk-beluknya sesuatu benda dengan benda lain, maka Dialektika tadi boleh pula dikatakan Ilmu Berpikir yang dalam hal kena-mengena, dalam hal berseluk-beluk (verkettung und Zusammenhang, kata Engels), bukan sendirinya. Sering sekali Dialektika dinamai Ilmu Berpikir pertentangan. Dan seperti sudah kita katakan diatas juga pernah dinamai Ilmu Berpikir dalam Gerakan. Kata Engels juga kita mesti mempelajari suatu benda dengan memperhatikan “pertentangannya, kena-mengenanya serta seluk-beluknya, pergerakannya, tumbuh dan hilangnya”.
Pasal 2. DIALEKTIKA DAN LOGIKA
Bilakah dipakai Dialektika dan bilakah dipakai Logika?
Sungguhpun Dialektika yang terutama menguasai daerah kita berpikir, tiadalah ini berarti bahwa Logika tiada berguna sama sekali. Disini belum tempatnya buat menguraikan Logika, tetapi kita tiada pula asing lagi sama Logika itu. Cara yang kita kemukakan yang dipakai dalam Ilmu Alam ialah cara yang diutamakan dalam Logika. Kita masih ingat yang cara tiga itu, yakni Induction, Deduction, dan Verification, seperti yang sudah kita terangkan dahulu. Tiga cara ini ada perkenaannya dengan 3 cara yang dipakai dalam Matematika, ialah Synthetic, Analytic dan ad Absurdum. Demikianlah kita sudah berkenalan dengan Logika itu.
Buat menjawab pertanyaan diatas, tiadalah perlu kita lebih dahulu menguraikan Logika yang lebar dan dalam. Sambil mengingat yang sudah-sudah, cukuplah kalau kita majukan disini sifat Logika yang terutama dan bertentangan dengan sifat Dialektika. Juga perkara ini tidak asing lagi. Sudah kita uraikan bahwa menurut Logika ya itu ya dan ya itu bukan tidak. Cuma bentuk yang tiada dipakai dalam buku Logika bukan bentuk yang kita majukan begitu, walaupun maknanya sama. Bentuk yang lazim dipakai buat menggambarkan Logika, yakni A = A ; A bukan Non A (tidak A). Jadi Hukum berpikir yang berbentuk A bukan Non A itu, sama maknanya dengan ya itu bukan tidak. Dalam buku Logika juga sering dikatakan “sesuatu barang bukanlah lawannya barang itu”, “a thing is not its opposite”. Tetapi diatas telah diterangkan, bahwa sesuatu barang itu boleh lawannya barang itu, A itu boleh Non A, ya itu boleh berarti tidak; bola bergerak itu pada satu saat boleh disini dan tak disini. Pada satu saat orang itu boleh hidup dan mati. Pada satu waktu air itu boleh air atau uap, dsb.
Bagaimana kita bisa damaikan kedua Hukum Berpikir yang berlawanan satu sama lainnya itu? Atau tiadakah mereka bisa didamaikan, sehingga kalau yang satu hidup yang lainnya mesti mati? Kalau yang satu dipakai yang lain mesti dibuang? Atau bolehkah masing-masing kita beri daerahnya, sehingga kita bisa mengatakan bahwa pada daerah ini kita pakai terutama Dialektika, dan pada daerah itu kita pakai terutama Logika?
Memang kita bisa menentukan daerah masing-masing dan pada daerah masing-masing berkuasa salah satunya Hukum Berpikir itu. Tetapi tiadalah masing-masing berkuasa dengan sewenang-wenang, melainkan mengakui kekuasaan pihak yang lain dan berseluk-beluk juga dengan yang lain itu. Bahwasanya dalam Ilmu Gerakan sendiri, yakni dalam Ilmu Kodrat sebenarnya dalam Mechanikal timbul Dialektika. Disinilah Dialektika mempunyai daerah yang luas sekali. Ilmu benda berhenti masuk ke daerah Statics. Pada benda yang berhenti yang boleh diperamati dengan tenang ini, berkuasa sekali Logika. A= A dan A bukan Non A.
Seperti pada uraian dahulu kita sudah perlihatkan, bahwa pada Matematika dan Ilmu Alam rendahan dan tengah, besar sekali kekuasaannya Logika. Sedangkan pada Matematika dan Ilmu Alam tertinggi, ktia terutama mesti lari pada Dialektika. Pemikir logika yang sering dimajukan oleh Plechanoff, sebelum bercerai, adalah guru dan kawan separtainya Lenin, ialah Ueberweg. Memang Ueberweg jitu sekali mendifinisikan Logika, sesudah Ilmu ini dia bandingkan dengan Dialektika. Kata Ueberweg: Pertanyaan yang pasti dan berpengertian pasti apakah satu sifat termasuk pada satu benda, mesti dijawab dengan ya atau tidak.
Marilah kita ambil satu misal buat menterjemahkan definisi Ueberweg ini. Dihadapan kita ada satu kotak. Kotak itu seperti biasa mempunyai enam (6) sisi. Sisi depan dan belakang dicat putih, serta sisi kiri dan kanan dicat hitam. Kalau kita mesti bertanya menurut Ueberweg, kita mesti menyusun persoalan kita seperti dibawah ini: Apakah warna kotak ini, kalau dipandang dari muka? Jawab putih. Kalau dipandang dari sisi kiri? Jawab hitam. Dengan begitu pertanyaan kita adalah pasti. Kita tanyakan warnanya kotak kalau dipandang dari satu pihak, bukan warna seluruhnya kotak itu, hanya warna sebagiannya dari kotak tadi. Jawabnya yaitu putih juga pasti, karena putih bukan hitam (A = A dan A bukan Non A). Dengan begitu kita memenuhi definisi Ueberweg seperti diatas. Warna kotak kalau dipandang dari muka, jadi sebagian kotak adalah putih bukan hitam.
Kalau pertanyaan itu mesti disusun buat seluruhnya kotak dan cocok pula dengan definisi Ueberweg, kita mesti susun: Apakah warna seluruh kotak itu kalau kita pandang dari sudut? Disini Ueberweg gagal. Dia tidak bisa menjawab secara Dialektika, sebab disini kita bertemu dengan perkara yang berseluk-beluk. Pertanyaan seperti ini kita mesti jawab dengan putih dan hitam, ialah putih dan tak putih, A dan Non A. Jawabnya kembar, tak bisa dipisahkan.
Tetapi Ueberweg juga cerdik dan bukan keras kepala. Pada tempat lain, sesudah berpengalaman lebih banyak, dia juga terangkan kira-kira: Kalau bertemu perkara yang simple, mudah, kita mesti pakai Logika, tetapi kalau berjumpakan yang sulit, complex, kita mesti pakai perpaduan dari dua pertentangan. Dia tiada menyatakan Dialaektika, melainkan perpaduan dua pertentangan, ialah perpaduan putih dan hitam, A dan Non A yang menurut definisi Ueberweg bermula, tiada boleh terjadi.
Begitu juga dalam perkara yang termasuk ke dalam daerah pertentangan, maka kita lebih dahulu mesti tentukan Dialektika dan Logika masing-masingnya. Kalau ditanya dengan pasti, bagaimanakah putusan Hakim terhadap tuan Halal bin Fulus dengan petani tadi, kalau dipandang dari pihak Kaum Berpunya, maka kita boleh jawab dengan pasti: ya. Kalau sebaliknya ditanya dengan pasti pula, apakah putusan itu, kalau dipandang dari pihak Kaum Tak Berpunya, kita juga bisa jawab dengan pasti pula: tidak. Kedua jawab itu pasti, cocok dengan Logika: ya itu ya ; tidak itu tidak; ya bukan tidak. (A = A ; A itu bukan Non A). Jadi dalam daerah yang pasti ini, ialah dalam daerah salah satu pihak di antara dua pihak yang bertentangan, maka kita boleh menjalankan Logika.
Tetapi dalam bulatnya, abstraknya, pertanyaan tadi sudah tak bisa lagi diselesaikan dengan Logika. Kita mesti lari kepada Dialektika. Jadi kalau kita bertanya bulatnya saja, apakah putusan Hakim tadi adil, maka tiadalah lagi bisa diajwab dengan ya atau tidak saja. Kita mesti jawab dengan ya dan tidak, dengan A dan non A, kembar. Satu penjawab berdarah Dialektika, walaupun belum dapat latihan Dialektika, juga menjawab pertanyaan semacam itu dengan pertanyaan pula. Dia bertanya dipandang dari pihak manakah adil atau tidaknya? Dalam pertanyaan yang semacam ini, sudah terkandung jawab yang pasti pula.
Buat penglaksanaan penghabisan, kita ambil perkara yang berkenaan dnegan tempoh. Memang tempoh penting dalam semua persoalan. Bukan saja Scientist yang tajam, tetapi juga Strategist, ahli perang, yang maha tangkas dan Diplomat yang piawai (ulung) tiada boleh melupakan Sang Tempoh. Buat contoh tiadalah perlu kita panggil kesini Strategis ataupun Diplomat.
Marilah kita ambil barang biasa saja, seperti air. Kita tahu air dapat memutar roda kincirnya orang Minangkabau, tetapi air saja berapapun kuatnya dialirkan, tak bisa memutar roda Lokomotif yang berat itu yang mesti menarik sepuluh atau lebih gerobak penuh muataan pula. Air itu mesti dimasak dahulu dalam ketelnya Lokomotif tadi, sampai jadi uap. Uap ini dengan memakai kecerdikan tehnik bisa memutar roda tadi terus-menerus, dari Jakarta sampai ke Surabaya, kalau perlu sepuluh kali lebih jauh. Jadi uap yang memutar roda Lokomotif tadi bukan air, walaupun uap tadi berasal dari air, dan air ini kalau dimasak cukup lama, jadi cukup membiarkan Sang Tempoh bekerja, akan jadi air uap. Sekarang akan kita pakai kunci-Ueberweg buat menyelesaiakn persoalan yang pasti seperti berikut: Bisakah air memutar roda lokomotif? Kita jawab dengan pasti, tidak. Kalau sebaliknya ditanya dengan pasti juga: bisakah uap keluar dari ketel lokomotif kita tadi, yakni kalau cukup banyak, memutar rodanya? Kita jawab dengan pasti pula, bisa (kalau lokomotif rusak tentu jawabnya pula rusak!). Tetapi pada saat Sang Tempoh, dimasa Sang Tempoh belum lagi berkesempatan menjalankan kewajibannya pada saat, dimasa air tadi sedang bertukar jadi uap, di masa sebagian air sedang jadi uap, dan uap masih lekat pada air, pada saat dimasa panasnya air tepat 100 derajat, disini Ueberweg gagal.
Kalau kita pakai Kunci-Ueberweg dan bertanya: Bisakah uap kita semacam ini memutar roda lokomotif, kita tidak bisa jawab dengan ya atau tidak saja, tetapi kita pakai Kunci-Dialektika dengan menyelesaikan jawabanya dengan ya dan tidak, kembar. Tidak bisa yakni pada saat ini, pada satu saat, persis, tepat pada panasnya air 100 º. Pada saat ini Sang Tempoh belum beres lagi kerjanya dan Sang Lokomotif masih mendesus-desus, seperti naga marah, dan Bung Masinis masih menunggu dengan sabar. Tetapi belum habis perkataan tidak bisa tadi dikeluarkan dari mulut si penjawab, roda lokomotif sudah bergerak, seolah-olah membatalkan jawab tak bisa tadi dengan perkataan bisa. Jadi pada saat panas air persis, tepat 100 º tadi (umpamanya saja) jawab pertanyaan kita mesti bisa dan tak bisa, ya dan tidak, kembar, berpadu. Pada saat ini berkuasalah Dialektika: A = Non A.
Penjawab yang berdarah Dialektika walaupun belum latihan juga tiada melupakan tempoh dalam perkara yang berkenaan dengan tempoh. Pertanyaan: Bisakah uap air dimasak memutar lokomotif, akan dijawabnya dengan pertanyaan pula; sesudah berapa lama? Sesudah Sang Tempoh dipastikan, barulah bisa dipastikan ya atau tidaknya. Pada daerah inilah berlaku Hukum Logika A = A ; A bukan Non A
Pasal 3. DIALETIKA IDEALISTIS DAN DIALEKTIKA MATERIALISTIS
Dahulu sudah kita sebutkan dua jenis Dialektika. Juga sudah kita cantumkan sifat yang terutama dari kedua jenis itu. Yang pertama berdasarkan Idee, pikiran belaka, impian belaka. Yang dibelakang berdasarkan benda. Yang pertama dimonopoli oleh kaum yang memonopoli kekuasaan, harta dan kecerdikan. Yang kedua memonopoli tindasan, kemiskinan dan kegelapan.
Yang diakui sebagai Ahli Dialektika berdasarkan pikiran pada Zaman Baru, ialah Hegel. Nama, arti dan cara Dialektika itu memang sudah tidak asing lagi pada zaman Yunani: tetapi di tangan Hegel, makna dan bentuknya sudah berlainan. ARIESTOTELES, HERACLIT dan DEMOCRIT yang digelari si gelap, sebab mulanya orang tak mengerti uraian yang dalam dan dialetis itu, banyak memakai perkara itu. Diantara pemikir Timur, baik di India ataupun di Tiongkok, ada juga yang sudah cakap memakai senjata berpikir ini.Tetapi sudah tentu, berdasarkan kegaiban semata-mata. Hegel menyandarkan nama dan pengertian Dialektika itu pada kata dialogue, soal jawab, terutama dalam persoalan filsafat. Soal jawab dalam persoalan tentang Hidup dan Alam, Life and Universe. Kuno Fischer yang dikutip oleh Plechanoff dalam buku “beberapa dasarnya Marxisme” berkata kira-kira: “Dengan bertambahnya umur dan pengalaman, maka pengetahuan manusia tentang Hidup dan Alam, bertambah-tambah seperti pengetahuan dua pihak pada satu soal-jawab yang hangat dan berguna.
Soal jawab yang hangat dan berguna, yang menambah pengetahuan kedua belah pihak inilah dialogue. Semacam inilah yang tergambar di otak manusia, yang dinamai DIALEKTIKA. DIALEKTIKA di tangan Hegel, pada abad ke XIX, dimana Science, Tehnik dan Kesenian, jauh berbeda dengan kebudayaan Yunani + 2.400 tahun dahulu, atau dengan Timur, sudahlah tentu lebih kaya dan lebih tersusun dari pada DIALEKTIKA Yunani atau Timur Asli itu.
Apakah perbedaan dan persamaan Dialektika Hegel & Co dan Marx-Engels & Co. Saya ingat bukunya ialah LOGIKA JILID I, tetapi saya lupa halamannya, dimana Hegel mendefinisikan Dialektika yang kalau di-Indonesiakan berbunyi kira-kira: Yang kita namakan Dialektika ialah gerakan pikiran, dimana yang seolah-olah tercerai itu, sendirinya oleh sifat sendiri, yang satu memasuki yang lain, dan dengan begitu membatalkan perceraian itu.
Pertama, Dialektika itu masuk jenis gerakan pikiran, geistiche bewegung. Buat Marx, Dialektika itu bukanlah semata-mata gerakan pikiran, melainkan Hukum dari Wirkliche Logik der wirkliche gegenstande, Hukum berpikir sebenarnya, tentang benda sebenarnya. Kata Engels juga berulang-ulang: Bayangan gerakan “benda sebenarnya” dalam otak kita, otak kita itu seolah-olah cermin membayangkan gerakan benda tadi. Atau pikiran kita menterjemahkan gerakan di luar itu dengan bahasanya sendiri.
Jadi perbedaan terutama diantara Dialektika Marx-Engels & Co dan gurunya Hegel, ialah: Hegel menganggap gerakan pikiran itu sebagai gerakan idee semata-mata (janganlah dilupakan absoluut Idee, Maha Rohani dari Hegel), sedangkan Marx dan Engels menganggap otak itu seolah-olah cermin yang membayangkan gerakan benda sebenarnya yang ada diluar otak kita. Dalam perbedaan diantara kedua jenis Dialektika, adalah pula persamaan. Kedua pihak berdiri atas gerakan, bukan pada ketetapan. Kedua yang seolah-olah tercerai itu, menurut Hegel oleh sifatnya sendiri, yang satu memasuki yang lain, dan getrennt scheinende, durch sich selbst, durch das, was sich sind in einander ubergehen.
Jadi “adil” itu adanya, karena ada “dhalim”, ya itu berkenaan dengan tidak. Keduanya berseluk-beluk, yang satu mengenai yang lain. Oleh karena adil dan dhalim tadi kena-mengenai, masuk-memasuki, maka perceraian tadi terbatas, yang berupa bercerai tadi, jadi berpadu. A jadi Non A; ya itu padu dengan tidak.
Pergerakan adil dan dhalim dalam otak kita semacam itu, juga diakui oleh Marx dan Engels. Disini juga ada persamaan: Kedua pengertian yang berupa terpisah itu, sebetulnya bisa berpadu. Tetapi oleh Marx dan Engels perpaduan itu dianggap sebagai hasil perjuangan dua benda yang nyata, ialah dua klas dalam masyarakat. Perpaduan itu bukan terjadi dengan damai, seperti diterjemahkan kebanyakan pengikut Hegel sendiri. Hegel sendiri seperti sudah dinyatakan, revolusioner terhadap kaum Ningrat, tetapi reaksioner terhadap kaum Tak Berpunya.
Perpaduan itu ialah sebagai hasil perjuangan, menurut Engels, sebagai hasil yang lebih tinggi derajatnya dari yang sudah, sebagai positive Result. “Negation der Negation” dari Hegel sendiri “Pembatalan dari Kebatalan” juga mempunyai derajat yang lebih tinggi dari thesis atau anti-thesis sendiri-sendirinya. Tetapi pembatalan kebatalan ini buat Hegel semata-mata berdasarkan pikiran. Sedangkan buat Marx-Engels yaitu berdasarkan benda.
Barangkali Thalheimer, yang pada masa belum ada perpecahaan Stalin-Trotsky dalam kalangan Komintern sebagai ahli Komunis Jerman yang terkemuka, dalam salah satu tulisan, mendefinisikan: Dialektika itu, bukanlah saja berbentuk Ilmu Berpikir, yakni Ilmu tentang Undangnya Gerakan Pikiran, tetapi juga Ilmu dari Undangnya Alam dan Sejarah Bergerak. Yang dibelakang inilah, yang pertama dan dimukalah, yang kedua. Definisi ini cocok dengan Engels, bahwa undang gerakan Alam dan sejarah itu, ialah yang pertama itu, terbayang diotak kita, seperti terbayang pada cermin.
Oleh karena berbeda dasar yang dipakai kedua pihak pemikir Dialektika itu (Hegel kontra Marx-Engels), yang satu berdasarkan Idealisme, yang lain berdasarkan Materialisme, maka berbeda pula kedua pihak menterjemahkan kebenaran yang terkandung dalam beberapa kalimat dibawah ini:
1. Hegel : Dialektika sama dengan Metaphysika, Ilmu gaip.
Dialektika Materialis: Dialetika itu berdasarkan Hukum Gerakan Gerakan Benda sebenarnya dalam alam.
2. Hegel: Absolute Idee ialah pembikin Benda yang nyata.

Dialektika Materialis: Absolute Idee itu adalah satu abstraksion, satu perpisahan impian dari gerakan dimana keadaan dan batasnya benda ditentukan.
3. Hegel: Keadaan maju, sesudah diketahui pertentangan dan penyelesaian pertentangan ini dalam pikiran.

Dialektika Materialisme: Pertentangan dalam pikiran ialah bayangan dalam otak kita, satu terjemahan dari pikiran kita, tentang pertentangan dalam Alam, pertentangan benda dalam Alam ini, disebabkan pertentangan dasarnya. Dasarnya itu ialah gerakan.
4. Hegel: Kemajuan Idee, pikiran itu mengemudikan kemajuan benda.
Dialektika Materialisme: Kemajuan benda itu menentukan kemjuan pikiran.
Sedikit Keterangan:
1. Hegel menyamakan paduan Dialektika itu dengan Metaphisika. Ini bukan saja pendapatan Hegel, tetapi pendapatan semua pemikir kegaiban. Dialektika, ialah hukum Berpikir berdasarkan pertentangan atas gerakan itu, asalnya dari dan berpadu dengan Rohani, dengan Yang Maha Kuasa.
Buat ahli Dialektika yang berdasarkan Benda, Hukum Berpikir pertentangan yang mengandung seluk-beluk, tempoh dan gerakan itu tiada lain, melainkan Hukum Gerakan Benda pada Alam kita yang membayang pada otak manusia, sepeti benda membayang pada cermin.
2. Hegel memulangkan semua benda yang nyata itu pada Absolute Idee. Absolute Idee itulah yang membikinnya seperti Maha Dewa Rah menitahkan, memfirmankan semua Benda yang ada.
Buat ahli Dialektika berdasarkan Benda, Absolute Ideenya Hegel itu tak lain, melainkan satu Abstraksi. Satu perimpian. Lebih tegas lagi satu pemisahan antara Benda dan Sifatnya, pemisahan Benda dan Pikiran, seperti dilakukan oleh David Hume. Pemisahan Benda dengan Gerakan inilah yang menentukan keadaan Benda. Semua Undang tentangan Gerakan yang membayang dalam otak manusia itulah yang diabstrakkan, dipisahkan dari Benda. Sebab satu-satunya orang itu fana, hidup dan mati, maka oleh Ahli Mystika dicarilah barang yang baka, tetap. Dari sinilah pemisahan abstraksi tadi berasal. Bukan asalnya dari Undang Gerakan Benda yang membayang pada otak kita, melainkan dari Absolute Idee, Rohani, Maha Kuasa, Maha Dewa, Maha Budha, dsb yang tak bergerak itu.
3. Menurut, Hegel, maka kemajuan masyarakat kita ini berasal dari kemajuan pikiran semata-mata. Pikiran kita ini berjumpakan pertentangan dalam otak, umpamanya adil dan lalim. Dalam bahasa Hegel ini berupa thesis dan anti-thesis, adil dan anti-adil ialah lalim. Pertentangan ini diselesaikan dalam otak, dengan mendapatkan pengertian baru sebagai synthesis, yakni peleburan dari thesis dan anti-thesis. Kita misalkan saja peleburan, synthesis itu “Kemakmuran bersama”. Pengertian “Kemakmuran Bersama”, yakni hasil pikiran yang didapat dalam otak ini, akhirnya memajukan benda, memajukan politik, ekonomi, didikan dan tehnik, pesawat dari masyarakat.
Menurut ahli Dialektika yang berdasarkan benda, kejadian itu berlaku sebaliknya. Bukan mulanya berlaku dalam otak semata-mata, melainkan permulaan dalam masyarakat. Pertentangan dalam Masyarakat itu diantara yang Berpunya dengan Tak Berpunya, dipertajam oleh pesawat yang pesat majunya. Kemajuan tehnik yang pesat itu menambah Kaya dan Kuasa yang Kaya dan yang Kuasa dalam masyarakat. Sebaliknya menambah miskin dan lemahnya Kaum Tak Berpunya. Perpaduan baru, synthesis itu didapat dalam masyarakat juga. Synthesis, perpaduan baru itu berupa “Kepunyaan Bersama”, atas perkakas menghasilkan buat mendapat: “Kemakmuran Bersama”. Synthesis inilah yang membayang dalam otak. Akhirnya politik buat mendatangkan Masyarakat Baru berdasarkan “Kepunyaan Bersama” buat “Kemakmuran Bersama” inilah yang mengemudikan klas Tak Berpunya.
4. Menurut Hegel kemajuan pikiran itulah yang mendorong kemajuan Ilmu, seperti Ilmu Alam, Kodrat, Kimia, Politik, Ekonomi, Sejarah dan Masyarakat sendiri.
Contoh dengan tiga kesetaraan diatas, ahli Dialektika berdasarkan benda berpendapatan sebaliknya. Kemajuan dalam masyarkat disebabkan kemajuan pesawat itulah maka kecerdasan itu bertambah-tambah. Kalau kemajuan pesawat itu tak ada, maka otak seperti kepunyaan Aristoteles dan Demokrit, tak bisa melampaui batas yang sudah dicapai oleh kedua manusia luar biasa ini. Pemikir besar di Timur seperti Budha Gautama, di kaki gunung Himalaya, Guru Kung di daerah Sungai Kuning, Ibnu Resj di Granada dll, walaupun berapa cerdas dibandingkan dengan orang dalam Tempoh dan Masyarakatnya, semuanya (terpaut pada) dibatasi oleh kemajuan pesawat dalam masyarakatnya. Otak cerdas semacam itu tentu akan mendapatkan hasil lain, kalau dilatih dan dilaksanakan dalam Zaman Listerik kita ini.
Cukuplah sampai disini keterangan. Walaupun Hegel mendasarkan Dialektika itu pada Idee, pikiran tiadalah ia melupakan barang yang nyata. Tentu dia tiada bisa melupakan sebab sifat Dialektika, seperti didefinisikan Hegel sendiri, masuk-memasuki, kena-mengenai, in einander ubergeben: Yang berupa tercerai itu kena mengenai dan dengan begitu membatalkan perceraian.
Sebab itu, meskipun Absolute Idee tadi, Rohani tadi, yang membikin, yang nyata pada salah satu tempat Hegel berkata: Keadaan Ekonomi itu menjadi sebab, yang memakai pikiran sebagai perkakasnya. Jadi pada satu tingkat atau tempoh, keadaan Ekonomi tadi mengemudikan pikiran Manusia. Disini Hegel berjumpa dengan ahli Dialektika atas benda.
Sebab Hegel konsekwen, terus memakai “kena mengenai” dalam pertentangan itu, maka hasil pemeriksaannya selalu mengambil perhatian, Feurbach, jembatan antara Hegel dan Marx, sesudah melemparkan Idealisme Hegel, melemparkan pula Dialektika, kurang hasilnya, jayanya, dari bermula, ketika ia masih memakai Dialektika.
Pun Marx tak meninggalkan pengaruh dan kepentingan pikiran. Pada satu tempat dia juga akui kepentingan pikiran itu dengan: “Pada satu ketika pikiran itu menjadi kodrat yang berlaku atas keadaan ekonomi”. Marx tak melupakan seluk-beluk, kena-mengena, pukul baliknya, antara pikiran dan benda, paham dan masyarakat. Bahwa Marx itu automatis, yakni Cuma memperhatikan pengaruh benda atas pikiran, tidak sebaliknya pikiran atas benda, ini datangnya dari Anti Marx, yang pernah membaca atau “cuma” mendengarkan Materialisme “masa dahulu”.
Pasal 4. MATTER DAN IDEE
Apakah Matter dan apakah Idee itu dalam Dialektika ? Yang Matter, yang benda dalam Ilmu Bukti seperti dulu sudah kita katakan, yaitu yang mengenai pancaindera kita. Jadi yang nyata, yang boleh dilihat, didengar, dikecap, diraba, dicium. Yang idee, ialah bentuk pengertian atau pikiran kita tentang benda tadi dalam otak kita! Benda adalah diluar otak kita dan pikiran itu sebagai bayangan dari benda tadi adalah dalam otak kita.
Dalam hal hari-hari mudahlah kita melaksanakan bayangan benda itu dalam otak. Bola itu berbentuk bulat dalam otak ktia. Salju mengandung pengertian putih dan dingin dalam pikiran kita. Kinine mengandung pengertian pahit. Keroncong mengandung pengertian bunyi yang merdu.
Tetapi berangsur-angsur terlaksanalah bayangan benda yang berhubungan dengan masyarakat dalam pikiran kita. Pertama: Apakah benda dalam masyarakat itu? Apakah yang jadi condition, benda yang penting, jadi alat adanya buat ada dan terus adanya pikiran dalam otak kita itu? (Dulu acapkali). Benda yang ditermine, artinya yang menentukan pikiran. Sekarang kata ditermine, menentukan itu, oleh ahli Dialektika dianggap amat mekanis, amat berupa mesti: berupa, kalau ada ini “sebab”, mesti ada itu kejadian, kalau tak ada itu “sebab”, maka tak timbul pula kejadian itu akibat. Disini “Rohani”, jadi berupa sebab dan “Jasmani” jadi bikinan. Ahli Dialektika sekarang memakai kata (nama pekerjaan) condition, artinya sebaagi alat yang penting saja.
Siapa yang pernah membaca karangan berdasarkan Dialektika, tentu sering bertemu dengan kalimat: Keadaan ekonomi itu jadi alat ada dan terus adanya pikiran itu. Jadi ekonomilah disini yang dianggap sebagai benda. Ekonomi itu adalah terdiri dari beberapa tiang, bagian penting, seperti : a. Produksi, penghasilan ; b. Distribusi.
1.Sifat khususnya bagian Bumi dan Iklim ; 2. Bentuknya pesawat ; 3. Keadaan Ekonomi ; 4. Klas yang memegang Politik Negara. Keempat bagian inilah yang menjadi benda. Memang semuanya barang yang nyata. Keempat bagian inilah yang jadi alat buat adanya pikiran, paham atau pengertian tentang masyarakat itu.
Apakah pula yang jadi bagian penting dari pikiran dalam otak itu, sebagai bayangan dari benda masyarakat tadi? Ini terdiri dari perkara : 1. Psychology, Tata Kodrat Jiwa ; 2. Impian, Idaman Manusia. Tata Kodrat jiwa itu terbagi pula atas Pengetahuan, Perasaan dan Kemauan. Idaman atau Impian itu terdiri atas Perasaan atau sentimen cara berpikir dan Pemandangan Hidup.

Dipasang menjadi kalimat Dialektika, maka sekarang kita peroleh: 1. Sifat terkhusus dari Bumi dan Iklim; 2. Bentuk Pesawat; 3. Keadaan Ekonomi; dan 4. Klas yang memegang Politik Negara. Keempat benda inilah yang jadi alat buat adanya: 1. Tata Kodrat Jiwa dan 2. Idaman ; atau keempat benda itulah yang jadi lantai dari bangunan fikiran. Atau, keadan masyarakat menjadi alat pikiran adanya paham masyarakat.
Tetapi ini berupa formule, simpulan mekanis, seperti mesin, berupa uraian Dr. Gorter, penulis Historisch Materialisme, salah ssatu dari komunis Belanda yang sebelum bercerai dengan Internasionale ke III dianggap sebagai Theorieticus, ahli Teori Eropa Barat.
Marx biasanya membalikkan perkara itu. Buat Marx tidak saja keadaan masyarakat menjadi alat adanya paham masyarakat, tetapi paham tadi pada satu ketika membalik mempengaruhi masyarakat. Pada tingkat pertama memang benda menentukan pikiran, tetapi sesudahnya itu pikiran itu melantun, membalik mempengaruhi benda. Lebih dahulu hal ini sudah kita sebutkan. Seperti pada Hegel juga pada kena-mengenanya benda dan pikiran. Cuma buat Hegel Idee, pikiran itulah yang pertama, sedangkan buat Marx ada sebaliknya.
Yang pura-pura tahu atau tiada tahu perkara itu, ialah mereka yang berkepentingan buat memusuhi Marxisme. Nanti akan saya laksanakan kena-mengenanya benda dan pikiran itu dengan beberapa kutipan dari tulisan Marx sendiri.
Sebelum penglaksanaan tersebut, diatas itu saya lakukan lebih dahulu, saya mesti uraikan satu perkara yang terkhusus, yang Marx anggap seperti benda. Oleh Feurbach, pemikir yang berjasa besar buat Materialisme dan buat Marx dan Engels terkecualinya, perkara ini tidak dianggap sebagai benda, melainkan sebagai Idee. Perselisihan paham itulah yang menimbulkan thesis, simpulan Marx yang amat masyhur. Inilah karangan pusaka Marx tentangan hal filsafat yang saya ketahui, dan inilah pula susunan yang terutama dipakai oleh pemikir sejawatnya, Co-creator Engels, Mohring dll. Marxisten.
Yang jadi perselisihan antara Marx dan Feuerbach pada ketika itu, ialah perkara yang dinamai Wirklichkeit, Sunlichkeit ialah yang nyata itu. Thesis pertama maksudnya: “Kesalahan semua ahli filsafat sampai sekarang ini diantaranya termasuk Feurbach, ialah memandag yang nyata itu sebagai objek, buat peramatan saja, tidak sebagai Fatigkeit, perbuatan manusia tidak sebagai Praktek-Manusia”.
Baginilah maksud thesis bagian bermula dan pertama. Jadi buat Marx menscheljk, Fatigekeit itu, perbuatan manusia, mesti dipandang sebagai yang nyata, jadi yang sebenarnya, Wirklichkeit, satu kenyataan sebagai benda. Perhubungan tani dan yang kalanya dengan tanah, mesti dianggap sebagai benda, tenaga yang keluar dari mata memandang-mandang bintang, dari pelajar Indonesia ke Madagaskar atau Amerika Tengah lebih dari 2.000 tahun dahulu, seperti juga pelajaran yang jauh dan berbahaya itu sendiri mesti dianggap sebagai yang nyata, yang sebenarnya. Bukan orang Indonesia dan sampannya saja mesti dianggap yang nyata, dianggap benda, tetapi begitu juga segala aksinya, pekerjaannya dan perbuatannya. Bahwa aksi kerja manusia itu benda yang nyata, tiadalah bisa dibantah sekarang karena Fatigketi. Kerja itu memang memakai energy, kodrat, labour atau tenaga.
Feuerbach memandang aksi manusia itu dari penjuru Idealisme, dari penjuru pikiran semata-mata. Sebab itu hasil pemandangannya juga abstrak, terpisah seperti hasil pemeriksaan Hume. Juga Feuerbach menghendaki yang nyata, tetapi dia tiada menganggap pekerjaan manusia itu sebagai yang nyata, yang sebenarnya, Wirklichkeit, Sinlichkeit. Sebab itu Feuerbach dalam bukunya bernama: “Das Wesen das Christentums” cuma “Theoritisch Verhalten”, perhubungan dalam teori yang suci, yang rechtmenschliche, yang cocok drngan kemanusiaan. Sedangkan praktek sehari-hari, pekerjaan atau kelakukan biasa, dia anggap seperti kotoran Yahudi saja.
Buat Marx tentulah pekerjaan, kelakuan, perbuatan sehari-hari yang berhubungan dengan percaharian hidup itulah yang nyata, yang sebenarnya. Bukan yang diimpikan dalam buku atau teori saja. Kotor atau bersihnya pekerjaan atau kelakuan Yahudi misalnya, tergantung pada penjuru pemandangan. Juga tergantung pada keadaan hidup.
Sebab Feuerbach tiada memandang pekerjaan manusia itu sebagai yang sebenarnya, maka ia tinggal memimpikan manusia yang suci, yang tercerai dari masyarakat, satu Resi. Sedangkan Marx menganggap yang ada itu, pekerjaan manusia itu sebagai yang sebenarnya, menuntut revolusi masyarakat dan ekonomi sebagai satu perjanjian buat manusia baru.
Begitulah kira-kira makna thesis pertama itu, walaupun seluruhnya thesis itu sudah lebih dari 20 tahun dalam “jembatan keledainya” peringatan, saya tiada mau menyalin begitu saja ke dalam bahasa Indonesia. Salinan rapi satu persatu kata, dari Jerman ke Inggris saja sudah begitu susah, dari Jerman ke bahasa Italia boleh dbilang perkara mustahil, apalagi dari Jerman ke Indonesia, satu bahasa Timur. Selain kesusahan salin-menyalin, juga kesusahan makna. Sepak terjangnya Marx menulis, tentulah sepadan dengan sepak terjangnya Pujangga Jerman dalam lingkunagn kesusasteraan dan filsafat Jerman. Sebab itu saya ambil isinya saja dengan tambahan disana-sini buat penjelasan. Perkara yang tak berhubungan dengan masyarkat kita dan ketenagaan panjang yang susah dimengerti, saya singkirkan saja. Dan saya kira arti yang tepat tiada saya lupakan.
Thesis ke-2 mempersoalkan apakah dalam berpikir ada termasuk gestandlichtkeit, yang nayta kebendaan, menurut kata Marx, yakni, bukanlah persoalan teori, bahwa melainkan persoalan praktek. Cuma dalam praktek, nyata atau tak nyata orang tahu manusia itu berpikir. Maksudnya Marx sudah tentu pikiran yang membawa aksi, membawa kekuasaan seperti pikiran revolusioner (atau pikiran yang berhasil membawa perubahan masyarakat seperti pikiran Edison dll) bukan impian satu Resi.
Bagian akhir dari Thesis ke-3 juga berarti: Mengubah masyarakat dan Fatigketi itu, yang hanya boleh diartikan dengan aksi revolusioner, pekerjaan pemberontakan.
Persoalan apakah manusia berpikir itu ada atau tidaknya Gegenstandlichkeit, kebendaan kata Marx seterusnya, adalah hasil yang semata-mata scholastic (cara berpikir Zaman Tengah yang selalu dihubungkan dengan agama Christen). Kita masih ingat, pada bagian bermula pada buku ini. disana pikiran itu berasal dari Rohani dan Jasmani, Dewa Rah yang kosong itu dengan firmannya Ptah bisa menimbulkan Bumi, Bintang, kodok ular, ya apa saja benda, Gegenstandlichkeit, di alam kita ini. Filsafat Christen pada Zaman Tengah yang mengasalkan pikiran manusia itu pada Rohani, Logosnya Plato, tentulah pula terganggu oleh persoalan: Adakah pikiran manusia itu mengandung zat atau benda pula?
Pada Thesis ke-5 kekurangan Feuerbach dikemukakan lagi. Bunyinya Thesis ini: Feuerbach yang tiada puas dengan berpikir terpisah “abstract denken” lari kepada yang nyata, tetapi dia tiada mengganggap perbuatan pekerjaan manusia itu sebagai perbuatan yang praktis dan nyata sebagai “Practisch critische Fatigkeit”.
Thesis ke-7 menerangkan bahwa: Kehidupan itu sebetulnya praktis berdasarkan pekerjaan manusia, nyata. Semua kegaiban tentang kehidupan itu, bisa dilemparkan kegaibannya kalau praktek hidup sehari-hari dipelajari. (Pendeknya tak ada yang gaib). Semua berasal dan berurat pada penghidupan mencari makanan, minum dan kesenangan. Kegaiban yang terdapat ialah bikinan Logika Mystika belaka.
Thesis ke-9 berarti : Materialisme kolot termasuk Materialisme Feuerbach, yakni materialisime yang tak mengakui perbuatan manusia itu sebagai yang nyata, berpuncak pada pemandangan seorang individu, pada masyarkat borjuis (Pemandangan semacam ini seperti pemandangan idealis Hume juga abstrak, terpisah dari masyarakat).
Pada Thesis ke-10 Marx mengambil kesimpulan yang penting. Menurut Marx maka Materialisme kolot itu ialah pemandangan borjuis yang individualistis, terpisah dari masyarakatnya. Sedangkan pemandangan Materialisme Baru berdasarkan masyarakat, berdasarkan seseorang dalam masyarakatnya bersama, kolektif.
Akhirnya pada Thesis ke-11 pada Thesis penghabisan, seperti biasa ia menutup karangannya dengan seruan gegap gempita, tidak saja lagi sebagai pemikir, tetapi sebagai pemimpin Proletar Dunia: “Ahli Filsafat sudah menterjemahkan Dunia ini berlainan satu dengan lainnya. Yang terpenting ialah mengubah dunia ini”.
Jadi sebagai Thesis penutup Marx kembali lagi pada perbuatan Fatigkeit. Begitulah pentingnya perbuatan manusia itu sebagai benda dianggap oleh Marx, sehingga 8 Thesis diantara 11 Thesis yang kita bicarakan diatas langsung berhubungan dengan perbuatan itu. Tiga Thesis sisanya dan sebagian dari beberapa Thesis yang saya majukan diatas, tiadalah langsung berhubungan. Sebab itulah diatas tiada pula kita uraikan maknanya.
Kembali kepada perkara kena-mengenanya perkara perlantunan benda dan paham, maka dibawah ini saya coba memberi diagram, gambaran tentang perlantunan itu:
DIAGRAM
1. Tata Kodrat Jiwa ..............................................................b) Idamanan Paham.
Perbuatan.
1. Sifat Bumi dan Iklim.
2. Bentuk Pesawat.
3. Keadaan Ekonomi.
4. Keadaan Politik.
KETERANGAN :
4 Perkara dibawah (1,2,3,4) yang dianggap benda menjadi dasar. Dua perkara (a dan b) menjadi Gedung pikiran. Yang 4 dibawah membayang ke atas, ke pikiran lihat panah ke 1. Pikiran melantun mengenai mengubah dasar dengan Perbuatan. Lihat panah ke 2. Perbuatan ditaruh diantara Benda dan Pikiran, sebab memang perbuatan yang berhasil mesti berpadu dengan pikiran berhasil pula. Jadi perbuatanlah yang mempertalikan benda dasar dengan pikiran, yakni pada tingkat ke 2.
Pasal 5. PELANTUNAN (MASYARAKAT DAN PAHAM).
Satu anak menjatuhkan bola dari tangannya ke tanah. Bola naik kembali memukul tangannya. Inilah yang saya maksudkan dengan “melantun”, Si anak memukul bola yang melantun tadi dengan telapak tangannya. Makin keras dia memukul, makin kuat perlantunannya.

Begitulah kira-kira kena-mengenanya benda masyarakat dengan pikiran manusia menurut Dialektika Materialisme.
Kedasar laut dekat Merqui, menjelang Rangoon, saya jatuhkan beberapa buku peringatan saya, di dalamnya bermacam-macam catatan dari buku berdasarkan Dialektika dan Science. Catatan itu mau saya pakai buat “misal” dalam buku seperti yang saya tulis sekarang. Dalam buku itu mesti banyak misal yang saya boleh pakai berhubung dengan pasal seperti diatas. Tetapi yang sudah hilang semacam itu tentulah tiada berguna disesali lagi. Apalagi kalau nyata kehilangan itu dibayar dengan keselamatan diri saya. Seperti sudah saya bilang pemeriksaan douane Rangoon teliti sekali.
Catatan yang dikumpulkan bertahun-tahun dari pelbagai macam buku, majalah dan surat kabar, tentulah tiada bisa dikumpulkan kembali dengan segera. Tetapi walaupun ada hak buat membaca kembali, pekerjaan itu tiada bisa dilakukan sekarang sebab memangnya bermacam-macam buku itu tak ada dan selama perang ini mustahil bisa diadakan. Kalau besokpun perang selesai, tak juga bisa diadakan lebih kurang dari 6 bulan, kalau uang ada pula.
Buat penglaksanaan pasal diatas, saya terpaksa pakai cuma tiga catatan, yang saya anggap cukup buat maksud ini. ketiganya cuma tersimpan dalam “jembatan keledai” peringatan saya, sudah bertahun-tahun. Tiada heran kalau sedikit mendapat perubahan. Bajapun berkarat kalau terlampau lama disimpan.
Pembaca yang terhormat tentulah akan berbaik hati memberi peringatan kepada saya. Dengan begitu kesalahan boleh dibetulkan pada cetakan kedua.
MISAL PERTAMA :
Pada Thesis ke 3 dari 11 Thesisnya Marx, yang sebagian sudah saya sebut dahulu, kita bejumpa dengan perlantunan itu. Bagian itu kira-kira berarti, Ilmu Materialisme, yang mengatakan bahwa seseorang itu ialah hasilnya dari suatu masyarakat, dan orang lain hasilnya masyarakat lain pula, lupa bahwa masyarakat itu hasil dari pekerjaan orang pula. Begitulah si pendidik dididik.
Bagaimana tepatnya perlantunan itu digambarkan oleh thesis, yang belum dikoreksi oleh Marx itu dan digali oleh Co-creatornya Frederich Engels. Mula-mula masyarakat itu menghasilkan satu bentuk orang. Seseorang yang berfaham begini atau begitu, berperasaan begini atau begitu, bertabiat begini atau begitu dan akhirnya beridaman begini atau begitu. Akhirnya idaman itu, cita-cita itu menyala berkobar begitu keras dalam hatinya sehingga bisa menggerakkan pesawat kemauannya buat bekerja mengubah masyarakatnya. Dengan perbuatan revolusioner itu timbullah pula masyarakat baru. Begitulah mula-mula masyarakat mendidik orang tadi menjadi revolusioner dan akhirnya revolusioner tadi mendidik masyarakat itu sendiri jadi masyarakat baru. Perlantunan itu sudah berlaku : Si pendidik dididik pula.
Contoh semacam ini tentulah dengan gampang bisa digali dari sejarah Dunia, terutama sejarah Inggris, Perancis dan Rusia. Tetapi tak ada salahnya kalau kita meninjau kemasyarakat mereka, yang dimata kita sekarang sangat turun derajatnya. Tiada sifat kita, cuma mengemukakan yang busuk saja.
Berabad-abad Lautan Utara yang dahsyat itu mengancam penduduk Tanah-rendah, rendah dari pada lautan Nederland. Berapa korban yang mesti diberi buat menduduki tanah berbahaya, tetapi subur itu. Demikianlah Sang Samudra mendidik Belanda menjadi pelayar, penangkap ikan dan akhirnya penjajah yang berani, tabah, dan insinyur air yang tak ada bandingannya di dunia. Setelah Belanda terdiri, maka kepintarannya dipakai buat menguasai lautan itu. Mereka tiada senang dengan dijknya, parti-lautnya saja dan tanah subur yang dilindungi dijk yang kukuh itu, melainkan dia dengan Ilmu Airnya yang tinggi mengeringkan laut Zuiderzee menjadi Propinsi yang baru. Juga disini si pendidik dididik.
MISAL KEDUA (MARX)
Kodrat menghasilkan pesawat itu mempertinggi kekuasaan manusia atas Alam kita ini. Ini membikin perhubungan baru antara manusia dan Alam. Pada zaman Julius Caesar orang Inggris bertabiat lain dari pada orang Inggris zaman sekarang, zaman Industri. Jadi tabiat manusia itu memang tiada tetap.
Beginilah salah satu catatan dari Karl Marx dalam buku Plechanoff: Fundamentals of Marxism. Tak usahlah kita pergi ke negeri Inggris buat memeriksa arti yang lebih dalam dari kalimat diatas. Memang bangsa Inggris pada zaman Caesar tiada aktif seperti zaman Industri ini. Mereka tiada memandang Alam itu sebagai benda yang bisa dirubah, melainkan sebagai benda yang mesti dijunjung, disembah saja. Marilah kita ambil misal dari bangsa yang dekat pada Bangsa Indonesia ini: Ialah Bangsa Jepang.
Belum selang berapa lama bangsa Jepang cuma tunggu saja apa kemauan Alamnya. Gempa bumi yang disana maha dahsyat itu memang datang semau-maunya saja, tak bisa diketahui oleh Jepang Zaman kolot. Selain dari berpangku tangan menunggu datangnya Sang Gempa, berterima kasih pada Yang Mahakuasa, kalau korban harta dan jiwa tiada lebih banyak dari yang dideritanya. Selain dari pada berserah itu Jepang Kolot tiada bisa berlaku! Tetapi industri yang pesat majunya dan berhubungan dengan ini ilmu Bukti dan Pesawat yang pesat pula mengembangnya, mengubah tabiat bangsa Jepang dari orang penunggu berpangku tangan “menjadi manusia” menyingsingkan lengan baju, bersiap sebelum hujan. Sekarang rumah dan gedung didirikan menurut pesawat dan ilmu baru, dan datangnya gempa itu bisa diketahui dengan perkakas gempa. Disini juga nyata pesawat itu mempertinggi kekuasaan bangsa Jepang atas Alam itu. Juga nyata pesawat itu mengubah sifat passief, penerima, menjadi aktif, penyerang.
Gempa pada tingkat bermula mendidik orang Jepang menjadi ahli gempa. Pada tingkat kedua daerahnya gempa itu oleh ahli gempa dijadikan daerah, dimasa sang gempa, walaupun belum lagi terbasmi, tetapi sudah berkurang, terkendali. Perlantunan juga berlaku di Jepang. Pada negeri yang dahulunya damai, penerima dengan senyum seperti senyumnya bunga Chrisantium, bangsa Sakura.
MISAL KETIGA (MARX).
Manusia itu dengan berlaku atas Alam diluar dirinya sendiri menukar Alam itu dan akhirnya menukar dirinya sendiri. Dalam beberapa ratus tahun dibelakang ini, penduduk Jawa tak perduli atas pimpinan bangsa lain atau tidak! Sudah menukar Jawa berhutan rimba lebat, menjadi “Kebun Asia”.
Dahulu Indonesia Jawa terkenal sebagai perantau, pemindah pelajar dan pedagang sampai ke benua Afrika dan Amerika Tengah. Sekarang itu ternama sebagai penduduk “honkvst blijft zitten in zijn dessa”, melekat pada desanya, sesudah bermacam tipuan halus atau kasar dijalankan, baru dia tinggalkan desanya buat pergi ke “Seberang”, sedangkan dahulu kala seberang ini dianggap tak berapa jauh dari dapurnya, sekarang Seberang itu berupa Negeri entah-berentah, entah dimana letaknya dan entah berapa jauhnya dari desanya.
Tiada mengherankan, pada Zaman dahulu dia meninggalkan desa juga, terutama juga sebab tiada jauh dari desa itu ada rawa yang selalu mengancam dia dengan penyakit demam kura atau hutan rimba yang penuh ular dan macan yang berbahaya kalau dilalui, laut Jawa yang boleh dibilang tenang dan penuh ikannya, melambaikan ombaknya putih-putih memanggil dia, mengombak mengayunkan dia ke pantai pulau lain di Indonesia dimana penghidupan sebagai petani, penangkap ikan atau pedagang cukup memadai. Pulang balik dari pantai ke pantai menjadikan dia pelajar yang berani, cakap dan cinta pada ombak dan hawa laut. Dengan berangsur-angsur ia menyeberangi kedua Samudera Besar di dunia ini, dan seberang-menyeberang itu menjadi kebiasaan yang tiada bisa lagi diceraikan dengan impian, idaman serta pemandangan dunianya.
Tetapi rawa, hutan dan rimba beberapa abad di belakang ini sudah bertukar menjadi sawah, ladang dan kebun. Pohon sawoh yang lebat buahnya, pohon manggis yang rindang itu disudut rumahnya, sawah dengan padi yang menghidupkan pengharapannya dan akan bininya, bunyi gamelan yang menghentikan lelahnya, semuanya ini mengikat hati dan pikirannya pada desanya. Walaupun desanya sudah sesak padat, tanah dan terkanya tak mencukupi lagi, dan kebun yang besar-besar bukan kepunyaan dia serta tindakan dan isapan merajalela, tetapi hatinya masih terikat oleh desanya.
Perubahan hutan rimba menjadi sawah, kebun tadi, menukar penduduk Jawa umumnya dari perantau menjadi pelekat desa. Tetapi perlantunan Dialektika masih berlaku dan syukurlah akan terus berlaku. Sekarang sudah kelihatan akibatnya.
Dengan semuanya sendiri atau tidak, pada beberapa puluh tahun di belakang ratusan ribu Indonesia Jawa terpaksa meninggalkan desanya buat pergi ke seberang. Di Seberang terutama Sumatera mereka sekarang banyak jadi tani makmur, yang lebih sehat dan pintar dari kawan sejawatnya di desa Jawa. Di jalan dari Medan sampai ke Lampung saya bertemu dengan mereka, yang sekarang “honkvast” terletak pula pada sawah ladang, rumah dan kebunnya yang baru, lebih besar dan lebih berhsil dari di Jawa. Banyak diantara mereka kalau “pulang” ke Jawa, lekas pulang kembali ke Sumatera, karena tiada senang lagi pada desanya dulu. Banyak pula yang balik “pulang” ke Seberang itu, walaupun dengan perahu layar saja. Kalau tiada begitu susah seperti sekarang di bawah pemerintah Balatentara Jepang ini dia akan membawa teman baru ke “Seberang” itu.
Desakan penduduk di Jawa, yang bertambah dengan 500.000 setahun, pada hari depan akan menjadi persoalan; pindah ke Seberang itu, satu persoalan yang hangat dan penting sekali. Pemindahan itu kelak akan menukar semangat “melekat pada desa itu” jadi perantau seperti penduduk Jawa sebelum Zaman Hindu, atau Minangkabau dan Bugis Sekarang.
Kita lihat pada perlantunan yang kedua. Jawa sebagai Kebun Asia menyebabkan penduduk sesak. Penghidupan bertambah susah dan pemindahan (walaupun diadakan industralisasi) menjadi persoalan penting dan hangat. Pemindahan akan berangsur-angsur mengubah sifat “pelekat” ke desa itu menjadi “perantau” mula-mula ke Seberang, kemudian siapa tahu ke seluruh pelosok dunia, seperti pada Zaman Besar Bangsa Indonesia Asli ialah zaman sebelum Hindu. Juga disini penduduk Jawa menukar sifat Alamnya dengan begitu menukar tabiatnya sendiri.
Marx tiada perlu menukar lain lagi. Tiga simpulan diatas saja sudah lebih dari cukup buat menggambarkan perlantunan antar Benda dan Pikiran dalam Dialektika Materialistis itu. Perlantunan antara Benda masyarakat dengan pikiran atau paham manusia adalah terang sekali. Tidak saja benda masyarakat jadi alat adanya pikiran itu, tetapi sebaliknya kelak Pikiran atau paham manusia dalam masyarkat itu melantun jadi alat adanya Masyarakat Baru.Tuduhan bahwa dalam Marxisme, pikiran itu semata-mata mekanis menerima saja seperti mesin jalan kalau ada kodrat dan berhenti kalau kodrat (uap atau listerik) itu berhenti, tuduhan semacam itu tak beralasan sama sekali.
Saya pikir perkataan kita perlantunan cukup jitu buat menggambarkan kena-mengenanya Benda dan Pikiran dalam masyarakat itu. “Tanah” dalam misal kita diatas, tiadalah menerima saja bola yang dijatuhkan atau dipukulkan si anak. Melainkan ia melantunkan bola itu kembali, makin kuat datangnya bola, makin deras lantunnya. Begitulah pikiran tadi tiada berhenti, berpangku tangan saja, menerima bayangan masyarkat, seperti cermin menerima bayangan benda, melainkan melantun mengubah masyarakat itu sendiri.
Pasal 6. BENDA (MASYARAKAT) MENGENAI PIKIRAN.
Misal dari pasal ini banyak sekali. Di dalam penghasilan otaknya Karl Marx yang terutama, yang tetap akan jadi tanda peringatan dalam sejarahnya para ahli pikir dunia , ialah “DAS KAPITAL”, penuh contoh, dimana benda masyarakat itu menjadi alat adanya dan terus adanya pikiran itu. Banyak sekali contoh yang saya kumpulan dalam buku peringatan yang dicemplungkan ke laut dengan Merqui itu. Tetapi beberapa misal di bawah ini sudah cukup buat penglaksanaan itu.
Dalam pasal Filsafat sudah saya uraikan, bahwa buat Hegel, Absolute Idee, Rohani itulah yang “membikin” sejarah masyarakat manusia. Sedangkan buat Marx pertarungan klas dalam masyarakat itulah yang memajukan masyarakat itu dari tingkat ke tingkat yang lebih tinggi. Demikianlah sejarah menyaksikan perubahan masyarakat perbudakan (Yunani, Romawi) berubah, bertukar menjadi masyarakat Feodalisme keningratan (Eropa pada Zaman Tengah dan Majapahit). Zaman Feodalisme itu berubah, bertukar pula menjadi Zaman Kapitalisme, Kemodalan yang masih umum sekarang. Sedangkan akhirnya Zaman setengah Feodal dan setengah Kapitalisme itu di Rusia pada tahun 1917 berubah, bertukar menjadi Zaman Sosialisme, berdasarkan Kolektivisme tolong-bertolong ..............sampai ke zaman Komunisme.
Bermula pada Zaman perbudakan, kaum budak itulah yang bekerja buat mengadakan hasil Negara. Budak itu dianggap seperti benda mati atau sebagai Hewan dipunyai manusia lain. Seperti barang yang dipunyai boleh pula dibeli atau dijual.
Kaum serve pada Zaman Feodal, tiadalah manusia yang boleh dijual atau dibeli lagi. Tetapi mereka terikat pada tuan Lord, Ningrat, tuan Tanah. Mereka bekerja buat Tuan Tanah itu. Selebih dari hasil yang perlu buat dipakainya dengan anak isterinya, mesti dipulangkan pada Tuan Tanah. Serves tadi tinggal di desa dan gandengannya journey-men tinggal di kota. Journey-men ini terikat pada guildmaster, kepada dari kumpulan tukang yang mempunyai Undang yang keras dan kaum buruh pada Zaman kapitalisme kita ini tiadalah boleh dijual atau dibeli seperti budak. juga tiada terikat pada tanah atau kumpulan tukang seumur hidupnya. Mereka diakui merdeka oleh Undang-undang Negara. Mereka merdeka menjual atau tak mau menjual tenaganya buat mencari penghidupannya dan anak bininya. Tetapi sebab dia tiada berpunya, tak mempunyai perkakas, tanah atau modal sendiri, buat bekerja jadi tuan sendiri, dia terpaksa menjual tenaganya pada mereka kaum modal, yang mempunyai perkakas, mesin atau modal. Atau pada Tuan Tanah yang mempunyai tanah. Sebab persaingan mencari kerja dari pada kaum tak berpunya keras sekali, harga tenaganya amat rendah sekali. Tetapi buat hidup mereka mesti terima berapapun rendahnya harga tenaganya itu. Disini mereka bekerja, kuatnya menurut kemauan kapitalis dan lamanya menurut kemauan Kapitalis juga. Dari hari kesehari mereka menghasilkan dari harga tenaganya, dari gaji yang diterimanya dari kapitalis, Nilai Lebih (Merhrwert : Karl Marx). Itu semua masuk ke dalam kantong kapitalis, yang sehari kesehari bertambah kaya dan bertambah kuasa.
Pada Zaman Pekerja, zaman kolektivis, tenaganya tidak merdeka lagi buat dijual belikan. Tenaganya sudah dikumpulkan menjadi Tenaga Negara yakni Negara Kaum Pekerja. Begitu juga perkakas, menghasilkan seperti tanah, logam bahan pabrik, bengkel, kereta, kapal laut, kapal udara, gudang dll, tiada lagi kepunyaan seseorang atau kepunyaan satu klas, melainkan sudah kepunyaan Negara. Tenaga buat Negara itu menggerakkan perkakas Negara buat mendapatkan hasil untuk Negara, ialah Negara Pekerja.
Pada zaman Perbudakan, pertarungan itu terjadi antara Budak dan Tuan. Peraturan ini sengit sekali pada masyarakat Rumawi. Pada zaman Feodalisme, pertarungan itu berlaku antara Budak serves melawan Ningrat dan Raja dan Journeymen melawan Guild-master disampingnya. Pertarungan itu berpuncak pada Revolusi Inggris, pada pertengahan abad ke XVII dan pada Revolusi Besar di Perancis pada hampir penghabisan abad ke XVIII. Akhirnya pada Zaman Kemodalan kita ini, pertarungan antara Proletar dan Kapitalis itu berlaku di Rusia pada tahun 1917, ialah permulaan abad ke XX.
Walaupun semua macam pertarungan tadi bersifat pertarungan klas juga, tetapi sebab sifat klas di dalam masyarakat tadi berubah bertukar, maka berubah bertukarlah pula sifatnya pertarungan itu. Dengan bertukarnya masyarakat, bertukarlah pula klasnya, dan dengan begitu bertukarlah pula lakonnya pertarungan klas itu dalam sejarah masyarakat itu. Pertarungan Budak menentang Tuan pada Zaman masyarakat Romawi, bertukar pertarungan Serves dan Journeymen menentang Tuan Tanah serta Raja dan Tuan perkumpulan Tukang dan pada Zaman Tengah. Pertarungan terakhir ini bertukar menjdi pertarungan Proletar menentang Kapitalis pada Zaman Kemodalan ini.
Apakah perkara atau benda yang bertukar sifat masyarakat klas dan akhirnya menukar sifat pertarungan klas itu ?
Kata Marx: “Orang itu memasuki sesuatu penghasilan sosial, yakni masyarakat berdasarkan perhubungan yang tentu. Perhubungan ini ditentukan, yakni tiada bergantung pada kemauannya sendiri, oleh perhubungan menghasilkan. Jumlah semua perhubungan menghasilkan inilah yang menjadi susunan Ekonomi. Diatas susunan Ekonomi inilah berdirinya Politik dan Undang Negara (salinan bebas oleh penulis).
Jadi orang yang lahir dan memasuki masyarakat perbudakan tadi memasuki perhubungan yang ada pada masyarakat semacam itu: ialah perhubungan Budak dan Tuan. Tiadalah bisa dia keluar dari perhubungan semacam itu. Begitu pula kalau ia memasuki masyarakat Feodalisme, perhubungan mesti terikat pada perhubungan Feodalisme tadi. Lahir dalam masyarakat Kapitalisme, ialah : Buruh dan Kapitalis, yang Berpunya dan Tak Berpunya. Akhirnya kalau dia memasuki Zaman Komunisme, maka perhubungannya ialah perhubungan yang ada dalam masyarakat semacam itu pula: Perhubungan satu Pekerja dengan teman sejawatnya Pekerja pula.
Perhubungan dalam masing-masing jenis masyarakat tadi pasti, tetapi tiada ditentukan oleh kemauannya sendiri, melainkan bergantung kepada cara menghasilkan yang umum dalam masyarakat ini: pada tenaga Budak di Zaman Perbudakan, pada tenaga Serves dengan perkakasnya di zaman Feodalisme atau pada tenaga Buruh dan mesin tuannya pada Zaman Kemodalan.
Perhubungan satu klas dengan klas lainnya, satu golongan dengan golongan lainnya dalam pekerjaan menghasilkan; itulah yang menjadi Susunan Ekonomi. Jadi Susunan Ekonomi dalam Zaman Perbudakan ialah perhubungan Budak dan Tuannya dalam hal menghasilkan. Perhubungan Kaum Buruh dan Kaum Bermodal dalam hal menghasilkan yang menjadi Susunan Ekonomi pada Zaman Kapitalisme ini.
Akhirnya menurut catatan di atas tadi, juga Susunan Ekonomi itulah pula yang menjadi dasar dari Undang dan Politik Negara. Pada Zaman Feodalisme, Susunan Ekonomi dalam Negara Feodalistis itulah yang menjadi benda dasar Undang dan Politik dalam Negara Feodalis itu. Sedangkan dalam dunia Kemodalan sekarang, Susunan Ekonomi ialah perhubungan Buruh dan Kapitalis dalam hal menghasilkan itulah pula yang jadi dasar dari Undang dan Politik dalam Negara Kapitalistis itu.
Hal ini juga dikeraskan oleh Marx dengan kalimat lain pada tempat lain. Dua kalimat yang masyhur dalam kalangan Dialektika berbunyi: Susunan Ekonomi menimbulkan Susunan Undang dan Politik, serta Susunan Undang dan Politik berpengaruh pasti pada Tata Kodrat Jiwa Manusia sebagai Mahluk Masyarakat.
“Di atas berjenis-jenis bentuknya harta (properties) atas kehidupan dalam masyarakat, didirikan superstructure (gedung) impian, cita-cita kebiasaan berpikir, perasaan dan pemandangan dunia”.
Demikianlah manusia lahir dan dapat didikan dalam masyarakat, yang berdasarkan atas susunan ekonomi Feodalistis itu tiada luput dari semangat Undang dan Politik Feodalisme itu. Dan mereka yang lahir dan dapat didikan dalam masyarakat yang berdasar Kapitalistis ini, tiada luput pula dari semangat Undang, Politik dan Kebudayaan kapitalistis itu.
Thesis berada di hadapan Anti Thesis. Undang dan Politiknya Tuan dalam Zaman Perbudakan itu, jadi alat adanya Undang dan Politik kaum Budak. Spartacus, keluarga Crachus dan Catalina membadani Politik anti-Tuan Tanah membela kaum Budak dan Tak Berpunya pada zaman Romawi.
Pertentangan klas dalam Zaman Feodalisme, akhirnya menimbulkan pertarungan klas yang dahsyat antara Borjuis Revolusioner (Madame Roland, Vrgnaud dan Brissot) pada satu pihak dan Kaum Ningrat dikepalai oleh Rajanya pada pihak lain. Akhirnya pertarungan klas, antara kaum Proletar di bawah piminan Lenin dan Partai Bosjewiki dengan kaum Borjuis di bawah Pimpinan Prof. Miljukoff dengan Partai Liberalnya dibantu oleh Karensky dengan Partai Sosialisnya.
Teranglah sudah, bahwa Sejarah manusia itu tiada kebetulan saja. Sembarangan, semau-maunya saja, tuval atau accident saja. Juga tiada semaunya Kodrat diluar Undangnya Masyarakat sendiri. Seperti kemauan yang Maha Kuasa, Rohani, Sejarah Manusia itu berjalan menurut Undang Masyarakat sendiri.
Nyatalah sudah Sejarah mansuia itu melalui garis merahnya pertarungan klas, dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi. Dari tingkat Masyarakat Perbudakan ke Masyarakat Feodalisme, dari sini ke Masyarakat Kapitalis dan dari sini naik ke tingkat Masyarakat Pekerja. Dalam sejarahlah mulanya berlaku Thesis, anti-Thesis dan Synthesis.
Teranglah pula bahwa pertentangan dalam Susunan Ekonomi itu, membayang pada pikiran kedua golongan yang bertentangan dalam masyarakat itu. Pada satu pihak Kaum Berpunya dan Berkuasa yang berpemandangan dan berpolitik, mau mempertahankan Undang dan Tata Negara yang cocok dengan keamanan Harta dan Kekuasannya. Pada pihak lain Kaum Tak Berpunya dan Tertindas yang berpemandangan, beridaman dan bercita-cita Perlawanan dengan Undang dan Politik yang ada. Akhirnya kalau Kaum Revolusioner cukup sadar, tersusun, cukup sifat dan banyak kaumnya, cukup besar pengaruhnya dan cakap pimpinannya, menanglah dia dalam pertarungan.
Jadi manusialah yang membikin sejarah. Tetapi seperti kata Marx pula, bukan seperti semuanya sendiri, melainkan menurut alat yang dia peroleh dalam masyarakatnya. Kemauan Napoleon tiada bisa melewati batas yang ditentukan oleh kaum hartawan yang muda dan kaum tani yang cerai-berai itu. Kemauan Lenin tiada bisa melampaui daerah yang ditentukan oleh industri dan kemesinan Rusia yang muda remaja itu. Akhirnya kemauan Stalin, Baja, tiada bisa mengabaikan sisa borjuis besar dan kecil di Rusia sendiri dan Imperialisme Besar dan Kecil di luar Rusia.
Barang siapa percaya, bahwa seseorang yang berapapun keras kemauannya dengan pengikutnya bisa menimbulkan Masyarakat Baru, yang melebihi dari pada alat seperti pesawat, kebudayaan dll yang dipusakakan oleh masyarakat itu, maka yang percaya semacam itu sudah meninggalkan Dunia Bukti dan memasuki Dunia Mimpi: Utopist.
Pasal 7. BAYANGAN MASYARAKAT.
Bagian 1. Sebagai pemandangan dunia : Weltanschauung.
“Bumi terletak diatas ikan. Ikan terletak diatas telur. Telur terletak dipuncak tanduk kerbau. Kadang-kadang lalat menggigit kerbau, maka bergoyanglah kerbau tadi. Karena ia bergoyang, maka bergoyanglah pula telur diujung tanduk kerbau tadi. Dengan begitu goyanglah pula ikan. Dan akhirnya goyang ikan tadi menyebabkan bumi kita kadang-kadang bergoyang, gempa bumi”.
Beginilah seluk-beluknya Bumi dan Gempa menurut Pandangan Dunia terbikin di Minangkabau. Memang kerbau lebih-lebih di zaman dahulu di Minangkabau penting buat segala-galanya. Bukan saja kodratnya dipakai buat membajak sawah atau menarik pedati, tetapi dari puncak tanduknya sampai ke ampas yang dibuangkannya itu, dipakai sama sekali. Nama “Alam Minangkabau” boleh jadi atau bukan diambil dari kemenangan kerbaunya orang Sumatera Tengah, atas kerbaunya orang dari Jawa Timur, tetapi tiada mustahil jago-jago dari Majapahit dan kuat kebal dari Minangkabau sudah lelah berperang, buntu. Kemudian putusan diserahkan pada cerdik pandai kedua belah pihak! Boleh jadi pula Raden Panji dan Raja dari Majapahit dan Datuk-datuk Gadang bertuah dari Minangkabau, setuju masing-masing akan takluk pada hasilnya peraduan dua ekor kerbau. Selainnya dari pada itu dalam cerita Minangkabau yang paling dicintai ialah “Cindur Mata”, kerbau bernama si Benuang mengambil bagian yang besar sekali dalam sebuah pertempuran.
Begitu pentingnya kerbau itu dalam penghidupan orang Minangkabau, lebih-lebih pada masa dahulu. Penting bagi makanan, penting bagi perkakas mencari penghidupan dan penting dalam bahaya, sehingga kerbau itu dapat tempat yang penting sekali dalam segala-gala persoalan yag timbul dipikirannya. Tiada heran kalau sumbe dari penghidupannya itu dia anggap sebagai Maha Kodrat, yang menahan dan menggoyangkan bumi kita ini.
Kalau kita pergi ke dusunnya ipar kita yang menduduki pulau Irian (Papua dulu!) itu, kita juga akan berjumpakan hal semacam itu. Pokok enau itu penting buat segala-gala buat mereka. Tak ada yang terbuang. Lagi pula sangat memudahkan hidup Indonesia Irian. Sesudah 5-7 tahun pokok itu sudah memberi hasil, yang boleh dipakai buat makanan, rumah, perkakas, atau senjata. Jadi kalau seseorang mempunyai cuma 5-7 batang enau dari umur 1 sampai 7 tahun, bereslah hidup orang itu. Satu tahun ditebang satu, dan ditanam satu buat gantinya. Satu pokok itu bisa memberi makan buat satu tahun. Ijuknya buat atap rumah, rujungnya boleh dipakai buat lantai dinding atau tembok penangkap ikan atau binatang hutan. Menanam satu pokok yang tak perlu dilayani lagi itu bukanlah pekerjaan yang memeras tenaga dan otak. Begitu faedahnya pokok enau itu buat Indonesia Irian, sehingga pohon ini juga menjadi pokok dalam persoalan dunia dan akhirat dalam “Weltanschauung”, pemandangan hidupnya Ipar Raksasa kita di Pulau Raksasa itu.

Dalam filsafat yang terlampau digembar-gemborkan, ialah filsafat Hindu, dalam Mahabarata, Upanishad dan Ramayana itu, maka kita saksikan pula, bahwa isinya Kitab Suci Hindustan itu, tak lain dan dari bayangan masyarakat mereka juga. Menurut filsafat Hindu, maka Jiwa itu ialah satu barang yang terpisah sama sekali dari badan. Kalau orang itu mati, maka jiwa itu berpindah (Re-incarnation) kepada badan lain. Kalau dia hidup sebagai orang bijak, maka jiwa itu pindah pada jasmani yang lebih baik, kalau dia hidup berdosa, maka boleh jadi jiwanya turun ke tangga di bawah lagi. Kalau beruntung sekali ia tiada kembali lagi ke dunia yang dianggap “busuk kotor” yang mesti ditinggalkan ini. dengan jalan pertapaan, puasa dan menyiksa diri, jiwa yang sudah merdeka dari kotor, sebab nafsunya yang kotor itu, bisa terus ke Nirwana. Paling malang jiwa itu kembali ke dunia dalam badan hewan.
Bermula sekali masyarakat Hindu sudah dibagi atas 4 kasta terbesar.
1. Kasta Brahmana, ialah kasta pendeta. Kasta ini kasta tertinggi. Dari kasta inilah jiwa itu bisa melayang terus ke Nirwana Surga, lepas sama sekali dari dunia ini. boleh juga jiwa Brahmana itu turun ke kasta lebih rendah.
2. Satria, ialah Kasta Raja dan Ningratnya. Jiwa dari kasta ini setelah orangnya mati, bisa naik ke kasta Brahmana tetapi boleh juga turun ke kasta rendahan.
3. Kasta Waisa, yang terdiri dari golongan saudagar, magang, tukang atau tani.
4. Kasta Sudra, ialah kasta orang “jembel”, seperti penyamak kulit atau tukang sapu jalan.
Keempat kasta diatas tiada bisa campur satu sama lainnya, tiada boleh campur makan atau tidur. Apalagi kawin. Kalau ada juga perkawinan, maka “turunan” semacam itu masuk ke dalam kasta “paria”, untouchable, tak boleh dipegang kasta, kasta najis katanya. Ini cuma 5 kasta terutama. Sebenarnya tiap-tiap kasta itu dibagi lagi menurut pekerjaan masing-masing. Dalam kasta Waisa umpamanya ada lagi kasta tukang menatu, tukang jahit. Kasta Brahma dan Satria terbagi-bagi pula sampai sebetulnya l.k ada 3.000 kasta yang tiada boleh campur dan kawin satu sama lainnya. Dasar pisahan segala kasta itu terutama pekerjaan, tetapi juga atas kebangsaan. Kasta Brahmana itu terutama dari turunan Bangsa Aria, bangsa yang digembar-gemborkan oleh Adolf Hitler.
Disini nyata, bahwa keadaan masyarakat yang terdiri dari ribuan kasta yang terpisah itu sama lainnya, itulah yang terbayang dalam filsafat Hindu itu. Pencarian hidup cara mengadakan hasil, itulah terutama ahli yang jadi dasar buat Kasta itu. Pencarian itu tetap pada sesuatu kasta. Umpamanya pekerjaan mencuci kain, tetap pada kasta mencuci kain itu.
Seseorang dari kasta menyapu jalan umpamanya kalau dia manut, menerima nasib, dia ada harapan, sesudah mati naik pangkat. Dia akan kembali ke dunia fana ini, sebagai anggota dari satu kasta yang lebih tinggi. Tetapi di dunia fana ini tak ada harapan buat penyapu jalan tadi, buat bercampur gaul dengan seorang Satria atau Brahmana, kecuali kalau puluh miliun anggota kasta Sudra dan Paria, kasta, “najis” itu menyapu bersih semua kasta Satria dan Brahmana, menyapu bersih Kapitalisme Hindustan itu. Ini tiadalah mustahil, karena 99 diantara 100 calon suwarga dari kasta Brahmana itu hidupnya dengan membungakan uang, seperti kasta Sayid di Indonesia ini juga. Kasta Satria berpuncak pada Raja atau Maha Raja, alias perampok gadis itu, tiada lain melainkan Tuan Tanah penghisap tani Hindustan, kaki tangannya Imperialisme Inggris.
Filsafat, pemandangan Dunia Hindu tak lain dari bayangan dari masyarakat terkutuk yang anggota pekerjaannya mesti dimanutkan masyarakat, dinina-bobokan, dicandul dengan “janjian” sesudah mati bisa naik ke kasta lebih tinggi dan kembali ke dunia ini, kalau tukang peras lembu itu terus memeras lembu, tukang cukur terus mencukur, dsb,
Bagian 2. SEBAGAI IDAMAN.
Berburu itu amat penting sekali buat bangsa Indian penduduk asli Amerika, sebelum terdesak, terpukul, terampas, terbunuh oleh bangsa Eropa, yang meninggalkan negerinya di Eropa, karena perasaan merdeka baik dalam Politik atau Agama. Berburu itu mengambil tempoh, tenaga dan pikirannya bangsa Indian. Juga satu pekerjaan yang menambah kekuatan dan menimbulkan minat yang baik. Berburu itu menimbulkan perasaan kolektif, sosial, tolong-bertolong, gotong-royong, sebab perburuan itu mesti dijalankan bersama-sama, bertoboh. Kekuatan badan dan kekuatan moral masyarakat Indian, yang acap mengagumkan kita dan musuhnya; lahirnya dari pekerjaan berburu itulah pula.
Dari perburuan yang berhasil, orang Indian mendapat makanan dan pakaian dan rumah dari kulitnya dsb. Tak heran kalau pekerjaan berburu itu menjerat pikiran dan idaman sehari-hari. Dia terpaut pada lapangan negerinya dan pemburuannya. Maka surga yang diidamkannya tak lain, melainkan keterusan dari lapang dan pekerjaan yang berguna, sehat dan memberi kesukaan itu. Surga buat dia, ialah padang yang penuh dengan bison yang besar dan gemuk.
Janganlah tuan pembaca marah, tetapi periksalah surga yang tuan idamkan itu. Kalau tuan seorang Kristen, bukankah surga tuan itu bayangan dari Zaman, bila agama tuan lahir! Bukankah Tuhan dan Malaikat yang bertingkat-tingkat itu tergambar, pula pada masyarakat masa itu: Raja dipuncaknya dan Ningrat dari bermacam-macam pangkat di bawahnya.
Kalau tuan seorang Islam, bukanlah surga tuan juga bayangan dari masyarakat dan Bumi Arab? Bukankah Air Zamzam dalam surga itu, barang yang luar biasa di gurun pasir Benua Arab? Bukankah bidadari yang matanya seperti mata merpati itu idaman Arab, dan Badui yang terutama. Sadarlah tuan dan jangan marah dan dogmatis!
Pakailah pikiran nuchter, jernih! Lihatlah sekitar tuan saja! Bukankah “feramfuan” suatu barang yang nomer wahid buat tuan Said, turunan Nabi MUHAMMAD SAW? Begitu penting ini barang, sampai ketika dua kali saya lalui dan singgah di Mesir, kaum Ibu masih disimpan baik-baik diantara 4 batu tembok, tak boleh keluar. Yang keluar mesti dikudungi betul-betul, tak boleh manusia lain, orang Islam pun melihatnya.
Bagian 3. SEBAGAI IMPIAN.
“Made in Java” (Catatan Raffles, menurut sumber yang dipercayai waktu itu dari pelbagai pihak!). Menurut Jayabaya yang hidup pada kira-kira tahun 800, maka hari depannya Tanah Jawa di nujumkan :
Tahun Jawa Tahun Masehi Ramalan
1738 1801 Pada tahun ini Surakarta lenyap. Tempat kedudukan Pemerintah pindah ke Katanga. Kota inipun kelak akan musnah, dan pemerintah berpindah ke Karang Baja pada tahun jawa 1870 = Th. Masehi 1933 (Ini nujum gagal).
1877 1940 Pada tahun ini kedudukan Pemerintah akan pindah ke Kediri kembali. Orang Eropa datang (??) Sesudah menaklukan Jawa akan mendirikan Pemerintahan pada Th Jawa 1822 = Th Masehi 1945. (Nujum ini pun meleset).
1887 1950 Raja Keling (? ?) mendengar penaklukan itu oleh orang Eropa, mengirimkan laskarnya dan akan mengusir orang Eropa dari Jawa. Sesudah dikembalikan tanah Jawa pada orang Jawa sendiri, Raja Keling akan kembali ke negerinya (Mana Raja Keling itu ?)
1947 2010 Pemerintah Jawa Nasional Baru pindah ke Karang Baja. Sebab inipun tempat yang malang, pindah lagi ke Waringin Kuba (kuba) dekat gunung Ngamarta Laja. Ini terjadi pada th 1947 (Semua nama sekarang tak ada)
2027 2090 Pada tahun ini Tanah Jawa akan lenyap sama sekali
Semua nujumnya sampai tahun 1942 gagal, meleset sama sekali. Tenungan Pak Belalang belaka. Dari jempol mana Jayabaya isap lagi kejadian tahun 1947 dan 2027?
Tentu ini juga tak akan terjadi : Jawa tak akan lenyap !
Jayabaya hidup dalam masyarkat yang goyang dan Bumi yang goyang. Kerajaan pada masa itu tak ada yang tetap dan peletusan gunung seperti sekarang, sering terjadi. Naik turunnya sesuatu kerajaan dan peletusan gunung yang memisahkan Sumatera dan Jawa, ialah menurut Babad jawa, memberi sedikit suluh pada pikiran jayabaya yang selalu melayang-layang itu.
Seorang geolog yang cerdaspun atau ahli politik yang pintar, tak berani menentukan “tempo” yang pasti itu, buat sesuatu kejadian, tiap-tiap keadaan itu berseluk beluk, kena mengena dan berubah dari hari ke minggu, dari minggu ke tahun. Tak ada satu manusia bisa menujumkan kejadian bumi atau politik lebih dari tempoh yang singkat sekali. Kalau bukti membenarkan sesuatu nujum itu, perkara ini boleh dianggap “kebetulan”, accident, belaka.
Tetapi sebagai impian, yakni bayangan yang liar dari masyarakat kita ini dan akibat pengaruh Hindu yang tebal melekatnya (Ingat Raja Keling), contoh yang diatas masyur dan masih dipercaya itu, tak ada salahnya kalau dikutip sepenuhnya.
Pasal 8. MASYARAKAT DAN SENI
Bagaimana bergantungnya SENI pada MASYARAKAT itu, sekarang sudah lebih umum kita ketahui di Indonesia ini dari pada beberapa tahun dahulu. Tiadalah SENI itu kita anggap lagi suatu barang yang semata-mata hasil idaman, impian dan ketukangan seorang ahli seni. Melainkan kita sudah insyaf, bahwa seni itu bayangan masyarakat. Walaupun kadang-kadang jauh melebihi keadaan masyarakat itu sendiri
.
Disini juga ada perlantunan. Begitulah pula mestinya sifatnya seni tulen itu. Masyarakat menggambarkan idaman dan cita-citanya seni. Seni yang lama-kelamaan mempunyai undangnya sendiri pula seperti semua ideologi, paham lain-lainnya mempunyai undang sendiri, juga seni itu mempengaruhi, sepatutnya memperbaiki masyarakat itu kembali.
Masyarakat Indonesia pada Zaman Purbakala pun sudah menimbulkan ahli arca, peulpture. Tidak saja diatas Gunung Dieng, dipertemukan Kali Progo dan Elo, di Kediri, Bali, Sumatera, Borneo, dan Semenanjung Tanah Malaka, kita bertemukan bermacam-macam patung yang menggambarkan idaman dan cita-cita yang berdasarkan Hinduisme dan Budhisme, tetapi lama sebelum itu bangsa Indonesia sejati dengan kayu atau bambu, sudah bisa menggambarkan idaman masyarakatnya yang berdasarkan Dynamisme dan Animisme. Sekejap kita memandang pada patung kayu atau bambu, nenek moyang kita itu seperti sekarang sisanya di pulau Nias, di Batak atau Toraja, kita sudah tahu bawa patung itu menggambarkan hantu yang murka, atau semangat yang baik. Sang Hantu Murka mesti dibujuk, diumpan dengan makanan dan disembah. Semangat yang baik itu mesti diperdekat, diminta pertolongannya dengan kurban atau sembah.
Demikianlah juga dari pagi sekali dalam sejarah dunia ini, idaman, pemandangan filsafat dan cita-cita measyarakat kita ini, sudah dibayangkan pada syair dan pantun yang berlainan kata dan susunannya dari pada pembicaraan biasa.
Tari menaripun yang terutama sekali digemari oleh bangsa Indonesia purbakala di seluruh kepulauan Indonesia dan Kamboja, seperti juga di Siam serta di Birma tiada lain dari bayangan masyarakat purbakala itu.
Sekarang di tengah bangsa Indonesia yang hidup dalam dunia kemodalan, perniagaan dan advertensi, sudah timbul pula seni baru yang cocok dengan permintaan Kapitalisme. Pada papan istimewa atau batu tembok di kota-kota besar, atau dekat stasiun, kita melihat gambar yang menarik hati atau menggelikan. Pabrik Bata menggambarkan sepatunya dengan niat supaya orang membelinya. Pabrik Listrik menggambarkan kebaikan dan kecantikan barang-barangnya, begitu baik, kuat, cantik dan murah, janganlah si pemakai kiranya membeli pada pabrik lain lagi. Pabrik Jintan mengeluarkan gambarnya yang maksudnya buat memberi keyakinan pada pembeli, bahwa tak ada didunia ini obat sakit perut yang lebih manjur dari Jintan itu.
Pada beberapa contoh terakhir ini sudah lebih nyata lagi, bahwa tidak saja seni itu berkenaan dengan masyarakat, tetapi juga nyata perhubungan seni itu dengan pencarian hidup. “Art for Art”, seni itu cuma buat seni saja, bukan buat mencari uang, susah kalau tidak mustahil didapat pada dunia himpit menghimpit, sikut-menyikut dan tolak-menolak buat mencari makan ini. Cuma pada Zaman Depan, dimana pertanggungan hidup itu sudah menjadi pertanggungan bersama, dan seni itu sudah menjadi gambaran masyarakat semacam itu, disini ahli seni, orang yang betul berdarah seni dengan sepenuh hati, pikiran dan semangatnya bisa menjalankan talent, retaknya. Pada zaman ini bisa terjadi perpaduan kehidupan dan seni: Kehidupan buat Seni dan Seni buat kehidupan.
Pada masyarakat yang primitive, tingkat sederhana sekali, perhubungan seni dengan masyarakat itu lebih nyata dari pada masyarakat yang sudah tinggi pesawat dan kebudayaannya. Pada masyarakat tingkat sederhana itulah nyata sumbernya seni itu. Saya sendiri tiadalah ahli dalam hal seni itu. Tetapi ahli seni membandingkan benarnya kalimat di atas ini dengan bermacam-macam seni daerah di seluruh kepulauan Indonesia ini. Menurut pemandangan saya yang terbatas itu, erat sekali dan nyata sekali perhubungannya “Fatigkeit” (Marx), pekerjaan, perbuatan hari-hari dari beberapa suku bangsa Indonesia ini, dengan tari, nyanyi, pantun dan syairnya. Saya pikir tiada susah kita mencari perhubungan antara mananam, menyabit dan menumbuk padi dengan tari, nyanyi dan pantun yang bersangkutan.
Gerakan badan ketika menumbuk padi terutama, kuat lemahnya gerakan, tempoh antara satu gerak dengan gerak lain, pendeknya yang dalam seni dikatakan rythme dalam pekerjaan itu, pindah kepada gerakan badan ketika menari, kepada suara ketika menyanyi atau berpantun dan bersyair. Tari, pantun dan syair yang berhubungan dengan pertanian, tidaklah susah dicari di Indonesia, lebih-lebih dimana seni itu sampai ke puncak, ialah di Jawa dan Bali.
Saya memang sudah lama berniat hendak mempelajari wayang lebih dalam. Tetapi sekarang belum ada kesempatan. Serba sedikit tentu saya ketahui perkara itu. Walaupun saya seandainya lebih tahu, lebih dalam mengetahui perkara wayag, tentulah tiada dalam buku ini, ataupun pasal ini, saya mesti memberi uraian. Kalau buat yang berhubungan dengan pasal dan buku ini, saya pikir sudah cukup dikemukakan, yang diantara kaum terpelajar, juga umum, diketahui, bahwa wayang itu bukan berasal Hindu, melainkan kepunyaan Indonesia. Perhatikan sejarahnya Wayang Purwa (Baca Dr. Hazeu). Kedua, wayang itu berhubungan dengan perusahaan bersawah dan Animisme, ialah permuliakan arwah nenek moyang, Dewa atau memanggil dan minta pertolongan, nasehat atau pimpinan batin pada arwah itu dalam marabahaya.
Jadi wayang, bayang, memang tepat berarti satu bayangan masyarakat nenek moyang bangsa Indonesia, walaupun bukan arti semacam ini yang dimaksud nenek moyang kita. Melainkan bayangan boneka di atas kain layar (kelir).
Kewajiban ahli seni Indonesia Muda saya pikir, ialah buat mempelajari perhubungan antara wayang dengan arti bayangan masyarakat dengan mempelajari masyarakat itu sendiri. Perkara yang mesti diperiksa, saya anjurkan :
1. Berapa jauh wayang sebagai seni Indonesia tulen, yakni wayang pada Zaman sebelum Hindu, menggambarkan masyarakat itu.
2. Berapa jauh cerita dalam wayang bisa memberi jawab atas pertanyaan yang penting buat seorang Indonesia: Apa sebab pada Pra-Hindu, Indonesia Asli itu lebih praktis, matter of fact, atas bukti, lebih berniat, lebih berani memulai pekerjaan baru walaupun besar bahayanya dibanding dengan bangsa apapun di dunia pada masa itu dan dibanding dengan Indonesia sendiri semenjak bercampur dengan bangsa asing? (Baca : Weltgechichte! dsb).
3. Berapa jauh cerita dan sejarah wayang bisa mengemukakan hal, fakta yang nyata dalam masyarakat Pra-Hindu itu, seperti Teknik dan Ekonomi, yang menjadi sebab, maka :
1. Dynamisme dan Animisme Indonesia Tulen, bisa didesak ke sudut sekali oleh Hinduisme, Budhisme dan Islamisme, walaupun Dynamisme dan Animisme itu sampai sekarangpun belum hilang dan selama “kepercayaan” mustahil sekali bisa hilang.
2. Kenapa para Satria dalam cerita Indonesia Tulen bisa diganti, didesak ke sudut atau diperolok-olokkan (Petruk, Gareng dan Semar) oleh cerita Hindu dan Arab, sedangkan satria Indonesia ialah pemimpin dari masyarakat sebenarnya.
Pertanyaan di atas mudah ditambah banyaknya, susah menjawab dan mesti banyak sekali mengambil tempo. Selain dari itu pekerjaan seseorang pemeriksa akan percuma buat kemajuan Indonesia, kalau semangat dan penjuru memandang “point of view” dari si pemeriksa, tak lebih dari seorang terpelajar luhur, penyusun “Aceh Woordenboeken”. Edeller Prof. Dr. Hussein Djajadiningrat. Semangat mesti semangat orang merdeka yang mencari perubahan baik dan penjuru mesti sudut masyarakat Indonesia dan keperluan Indonesia, bukan semangat seorang Hussein Djajadiningrat, walaupun ia seorang “Prof”.
Bahan buat diperiksa tiada sedikit, tetapi sudah didapat. Sejarah wayang dari semua macam wayang, di seluruh pulau Jawa mesti dibandingan dengan cerita suku Indonesia Asli yang kurang sekali atau sama sekali tiada dipengaruhi Hinduisme dan Arabisme. Cerita atas dongeng yang didapat seperti di negeri Batak, Dayak atau Toraja, niscaya banyak bisa memberi keterangan atau suggestion, petunjuk. Sebab masyarakat Batak, Dayak dan Toraja yang tulen, tentu tak berapa bedanya dengan Jawa tulen, Jawa Pra Hindu.
Kita tak boleh lupa, bahwa Indonesia Dayak umpamanya, tiada kurang kepandaian tentang besi dari bangsa manapun di Asia, sebelum diajar Eropa modern. Dan pekerjaan mengayau buat mencari kepala manusia itu tiada boleh disalahkan menurut moral yang diajarkan oleh agama saja. Pekerjaan itu mesti diperhubungkan dengan masyarakat Dayak, iklim, cacah jiwa, ekonomi, dan kepercayaan pada Dynamisme dan Animisme (Kepala itu menurut kepercayaan asli, ialah pusatnya kodrat. Mengupulkan kepala berarti mengumpulkan kodrat).
Bahwa wayang yang dipengaruhi cerita Hindu ataupun Arab, sebaliknya dari menambah kecerdasan dan meninggikan inisiatif itu sudah lama jadi keyakinan saya.
Bangsa Hindu yang tetap tinggal disini pada zaman dahulu kala sudah tentu membawa kebudayaan dan sejarah Hindustan. Kasta sistem tiada akan longgar, dan sudah mestinya dipererat. Kasta yang tertinggi, ialah Brahmana dan Satria, sudahlah tentu dimonopoli penjajah bangsa Hindu yang sedapat-dapatnya mereka jaga ketulenannya. Sedangkan saudagar, tukang dan tani Hindu di Hindustan sendiri itu sudah dianggap seperti Waisya dan Sudra, apalagi pula saudagar, tukang dan tani Indonesia yang tiada tahu bahasa Sanskreta atau lain bahasa Hindsutan itu. Karena kedua Kasta Hidnu penjajah tadi tentu kecil golongannya di banding dengan bangsa Indonesia, maka penjajah Hindu mesti cari tali yang erat buat menetapkan keadaan Hindu diatas Indonesia itu. Tali itu didapat pada agama, kebudayaan dan bahasa. Ketiganya mendapat pokok yang baik seperti benalu mendapatkan pokok langsat, kalah langsat karena benalu seperti pepatah adat Minangkabau, yang berarti tamu yang mengalahkan yang punya rumah. Benalu mengisap zat yang diambil dengan susah payah oleh urat dan daun pokok langsat buat membesarkan dan menguatkan pokoknya sendiri. Si penghisap bertambah kuat dan besar, si terhisap, seperti pokok langsat jadi layu.
Bagitu halus hisapan dan tindasan yang dijalankan oleh penjajah Hindu, dengan jalan agama, kebudayaan dan bahasa dengan memakai Wayang sebagai perkakas sampai dengan tiada ketahuan: Cerita Hindu dalam masyarakat Hindu di Hindustan, memakai bahasa Hindu tulen, disangkanya cerita oleh orang Indonesia.
Pokok benalu di dahannya pokok langsat itu dipandang dari luar berupa pokok langsat juga. Begitulah orang Indonesia ialah Kasta Sudra yang meti Jawa dengan bahasa kromo dan lutut lemas, pertanyaan yang dimajukan dengan bahasa Ngoko kepadanya, menganggap kasta Ningrat dan Pendeta Hindu itu bangsanya sendiri. Semua yang terjadi di Hindustan dalam cerita Mahabarata itu terjadi di Jawa ini orang Indonesia anggap, bahwa Hanoman itu bertapa dekat Gunung Merbabu. Kali serayu digali oleh Bima, dsb (Asia Raya, 22 Sept 1942).
Hilang matter of fact, hilang bukti kenyataan, hilang nuchterheid, hilang kenyalangan mata! Sejarah tidak lagi menaiki kecerdasan intelek, melainkan sebaliknya. Tidak lagi menaikan semangat dan inisiatif, melainkan melemahkan. Jayabaya menanti-nanti Raja Keling buat memerdekakan Jawa. Begitu yang Rakyat Indonesia sampai sekarang, masih terlampau percaya sama pertolongan luar itu. Tiada lagi ia mau menyingsingkan tangannya sendiri.
Dizaman Pra-Hindu ia menyingsingkan tangan dan pandang sebagai suluhnya dengan mata terbuka (nucter) buat merantau sampai lebih dari 2/3 keliling bumi. Wayang sebagai pendidik rakyat Jelata, boleh jadi tiada bisa menyamai gambar hidup, tetapi tiada pula boleh dimasukkan k ke dalam musium bulat-bulat begitu saja. Dipakai yang baik, dibuang semua yang busuk.
Buat penulis gamelan dan suasana di sekitarnya tak ada caranya di dunia ini. Gerakan badan dalam tari serimpi rasanya mengangkat kita dari dunia fana ini. lima derajat dalam lagu Jawa sering menimbulkan perasaan sedih, halus, dalam dan gaib. Keberatannya barangkali sebab terlampau halus, buat perjuangan. Wayang seluruhnya kalau dibaharui diperhubungkan dengan yang baik dari gambar hidup dan cerita modern, mungkin bisa dipakai pendidik Murba Nasional. Tetapi semuanya membutuhkan talen dan tempo.
Pasal 9. PERKENAAN DAN PERLANTUNAN ANTARA BENDA DAN BENDANYA MASYARAKAT.
Pertama, dahulu saya tunjukkan antara benda, masyarakat dan pikiran, paham.
Kedua, bagaiman masyarakat mengenal paham. Pengenaan maksud saya, ialah yang mempunyai satu arah, umpamanya dari kiri ke kanan. Tetapi perlantunan mempunyai dua arah bertentangan, ialah dari kiri ke kanan dan kemudian dari kanan ke kiri. Sekarang saya akan tunjukkan perkenaan dan perlantunan di antara benda dan benda, dan benda dalam masyarakat itu sendiri.

Saya peringatkan lagi lebih dahulu, berapa perkara yang dianggap sebagai benda, barang yang nyata, sebagai dasarnya paham dalam masyarakat itu.
Bagian 1. Sifat Bumi dan Iklim;
Bagian 2. Bentuk pesawat;
Bagian 3. Keadaan ekonomi;
Bagian 4. Klas berpolitik (lihat muka 118).
Bagiamana keadaan ekonomi mengenai undang dan politik (3 mengenai 4) sudah pula diuraikan dengan panjang lebar (lihat pasal benda masyarakat mengenai pikiran, muka 123) bagian 1, lihat halaman 127.
Tinggal lagi yang akan dibicarakan pengenaan dan perlantunan antara 3 perkara pertama (bermula) yang penting dalam masyarakat itu. Pertama Sifat bumi dan Iklim ; Kedua: Bentuk pesawat ; Ketiga : Keadaan ekonomi.

A. SIFAT BUMI DAN IKLIM MENGENAI BENTUK PESAWAT.
Juga idealis Hegel ada memperhatikan kena-mengenanya sifat bumi dan iklim yang terkhusus dengan masyarakat. Tetapi Materialisme Marx tentulah lebih jitu melaksanakan perkara yang semacam ini. Kata Marx pada salah satu tempat, kira-kira : “Sifat bumi dan iklim yang terkhusus itu tiada saja jadi alat adanya (condition) makanan, tetapi juga jadi alat adanya pesawat buat menghasilkan makanan itu”.
Jadi menurut Marx, makanan dan pesawat itu amat bersangkut dengan keadaan bumi dan hawa atau iklim pada bagian bumi itu juga. Kalau dalam bumi itu tak ada besi atau tembaga, maka penduduk bumi itu tentulah tak bisa mengerjakan besi atau tembaga buat dijadikan perkakas. Penduduk semacam itu akhirnya tiadalah bisa memakai perkakas besi atau tembaga buat berburu, memotong sagu atau membajak dan buat membikin rumah serta pakaian. Perkakas yang lazim tentu tiada akan bisa lebih tinggi dari batu dan kayu.
Walaupun Indonesia tulen Pra-Hindu sudah pandai mengerjakan tembaga dan besi sebelum sampai merantau ke Indonesia Raya ini dari Asia Tengah, tetapi kalau Indonesia tulen tadi tak mempunyai tanah tambang yang mengandung logam tembaga dan besi, sudah tentulah kepandaian tadi akan hilang lenyap sesudah satu atau dua keturunan.
Meskipun bangsa Indian, penduduk asli Mexico, tak kurang sopan dan gagah perwira dari Cortez dan lasykar Spanyol yang menyerbu ke Mexico itu, lasykar Indian kalah dalam peperangan mati-matian sebab yang terutama dalam kekalahan itu, ialah ketiadaan kuda di Mexico dan Amerika seluruhnya. Kuda sebagai kodrat, perkakas dalam pertanian, pengangkutan dan peperangan adalah lebih kurang seperti kerbau Minangkabau terkhususnya dan Indonesia umumnya pada contoh di Mexico juga nyata, sifat bumi dan iklim membentuk pesawat dan penghidupan.
Pada bagian bumi terlampau sejuk seperti di Kutub Utara atau Selatan, pnenduduk tak akan sampai ke tingkat pertanian. Pencarian hidup tak akan lebih dari memburu, menangkap ikan atau memelihara binatang seperti bangsa eskimo. Kalau tak ada pula besi atau tembaga di dalam tanahnya, maka ikan itu cuma bisa ditangkap dengan tangan saja, atau ditombak dengan tombak batu. Begitu juga kalau hawa terlalu panas dan makanan terlampau mudah didapat seperti di Indonesia ini, penduduk asli seperti Irian besar dan kecil (Negrito) tak perlu memikirkan membikin perkakas tembaga atau besi. Dengan tangan telanjang atau dengan tombak batu atau sumpitan ikan atau burung bisa ditangkap dan buah-buahan boleh dipetik.
Kalau orang Indonesia yang datang dari Asia Tengah itu tiada membawa kepandaian membuat perkakas dari tembaga atau besi ke kepulauan ini, sudahlah pasti, bahwa mereka tiada akan perdulikan perkakas lain dari yang dipakai ipar kita di Irian atau di Ulu Pahang, di Malaya atau di pegunungan, di pulau Luzon itu sampai pada masa ini.
Tiadalah subur atau kurusnya tanah semata-mata yang menentukan kemajuan masyarakat dan pesawat ekonominya. Kemajuan itu pada masa dahulu kala timbul pada iklim sedang, tiada terlalu sejuk dan terlalu panas, seperti di daerah Sungai Kuning di Tiongkok, Sungai Indus di Hindustan, Sungai Nil di Egypte dan Sungai Eufrat dan Tigris di Messopotamia. Disamping hawa sedang itu terdapat pula bermacam-macam tumbuhan buat makanan dan barang logam buat dipakai jadi pesawat. Disini dari tingkat ke tingkat kemajuan dalam hal pesawat buat penghidupan, kebudayaan dan pertahanan mulanya berlaku. Atas kemajuan yang diperoleh pada tingkat bermula, pada iklim sedang dan tanah mengandung logam, seperti tambaga dan besi itu, atas kemajuan itulah berdirinya kemajuan dunia zaman kita ini.
Indonesia Asli merantau ke kepulauan Indonesia membawa pengetahuan yang sudah tinggi juga tentang pesawat, pertukangan, pertanian dan Ilmu Bintang. Kepandaian itu tiada hilang karena bisa dilaksanakan. Pulau-pulau Indonesia yang besar dan subur ini, yang penuh dengan sungai besar-besar, lagi pula mudah diperhubungkan satu dengan lainnya oleh Indonesia Asli dengan menyebrangi lautan. Perpisahan disebabkan pegunungan yang tinggi atau hutan berlukar lebih menyukarkan perhubungan satu tempat dengan tempat yang lain dari perpisahan disebabkan lautan, yakni kalau perkakas sampan sudah ada. Karena mudahnya perhubungan, maka lama kelamaan orang Indonesia dari perantau di daratan, nomaden, seperti bangsa asalnya, ialah bangsa Tartari, menjadi perantau di Lautan. Pelayaran yang mulanya barangkali dari Semenanjung Malaka ke Sumatera saja, dari tepi ke tepi sungai, dari muara ke hulu sungai saja, lama-lama jadi pelajaran dari pantai ke kepulauan Indonesia ini. Akhirnya menimbulkan pengetahuan, keberanian, kebiasaan dan keminatan menyeberangi dua Samudra terbesar di dunia ini. Sifat Bumi dan Iklim Indonesia pembentuk perkakas buat Indonesia Asli, perkakas terpenting buat kehidupannya “perahu memakai cerdik”. Perahu ini, walaupun berapa lebarnya lautan dan besarnya gelombang boleh dibilang mustahil bisa tenggelam.
B. PESAWAT MEMBENTUK KEADAAN EKONOMI
a. Perkakas pesawat.
Bukan satu atau dua buku, melainkan beberapa buku seorang ahli pesawat mesti menulis, buat menguraikan sejarahnya perkakas yang dipakai manusia dalam riwayatnya lebih dari 500.000 tahun itu. Berapa ribu tahun, mesti berlalu dan berapa tingkat yang mesti didahului oleh perkakas batu sampai ke perkakas tembaga. Dari tembaga ke besi! Beberapa perubahan yang diderita oleh perkakas besi itu baru sampai jadi maha mesin atau mesin raksasa dizaman sekarang.
Buat melaksanakan teori diatas ini, yakni pesawat membentuk ekonomi, terpaksalah dan lebih dari cukup, malah lebih terang kalau kita ambil perubahan perkakas yang nyata kelebihan: yang melompat dari tingkat rendah ke tingkat tinggi.
Kita kembali ke zaman Tengah di Eropa. Kita masuki satu Gilde, Guild, satu Kongsi Pertukangan. Kongsi para tukang besi umpamanya. Kongsi ini banyak sekali mempunyai aturan, statuten, yang mesti diikuti oleh anggotanya masing-masing. Semua aturan itu boleh kita pelajari sekarang, karena ada tertulis dengan nyata dan masih disimpan. Berlainan dengan sejarah kita! Memang dalam segala-gala yang mengandung sejarah barat itu, di Zaman Yunani sampai sekarang betul-betul sejarah; hal yang terjadi; barang yang ada; bukan impian tak senonoh seperti di negeri kita. Saya lebih suka mengambil contoh yang ada di Indonesia, tetapi apa boleh buat, keterangan yang saya peroleh tiada cukup dan tiada syah. Tetapi boleh dikatakan pasti, bahwa di beberapa bagian Sumatera, seperti Minangkabau, Aceh, dan Palembang, di Jawa pada masa Pajajaran dan Majapahit, golongan tukang besi itu ada sederhana tinggi derajatnya dalam pergaulan dan ekonomi. Sejarah mengatakan, kaum pandai atau empu, ialah pandai besi yang dari Pajajaran diterima dan diperlindungi oleh Majapahit. Tetapi aturan, statuten mereka dan tata kerja; werkprogram mereka, perkara hasil, harga, upah dan sebagainya yang tertulis yang dipakai oleh kaum pandai itu, perhubungan pemimpin dengan anggotanya, kepala dengan pekerja sejawat (gezel) atau muridnya (leerling) dan aturan antara satu pertukangan besi (apar namanya di Minangkabau) dengan pertukangan lain atau dengan pemerintah, tiada saya peroleh.
Zaman Tengah: Bagaimana juga perkakas yang dipakai oleh Kongsi Tukang di Eropa pada zaman Tengah, tak ada berapa bedanya dari yang dipakai oleh pandai besi kita pada masa itu. Perbedaan barangkali sekali didapat pada bentuknya atau jenis perkakas. Tetapi persamaan juga pasti ada: Semua perkakas boleh diangkat dengan tangan. Lain dari itu besi sama dipadu dengan api dihidupkan dengan arang atau kayu. Sama diembus dengan blaasblag, dua pompa kembar di Eropa dijalankan dnegan ari. Besi panas sama ditempa dengan martil yang diangkat dengan tangan.
Zaman Sekarang: Apar itu, bukan lagi pondok atau rumah kecil, melainkan gedung besar, bukan satu atau dua, gedung dari beton, penuh dengan mesin raksasa. Dengan Bessemer-Methode, udara itu ditiup dengan keras, besi juga dilebur dengan listerik, yang ditimbulkan oleh pabrik listrik yang besar. Martil penimpa besi, tiada lagi martil yang diangkat dengan tangan. Martil uap (steam hammer) sekarang bukan lagi satu atau setengah kilogram, melainkan sampai seratus dua puluh lima ribu kilogram.
b. Perkara Hak Milik
Aggota Kongsi Tukang di Eropa atau pandai besi Indonesia (juga?) mempunyai sendiri perkakas itu (martil, bahan dan arang !). Tetapi complex atau gabungan pabrik pada masa sekarang buat membikin baja atau membikin mesin sendiri itu, bukan lagi kepunyaan seorang. Modal buat complex-pabrik yang sampai berjuta-juta rupiah itu, buat bahan yang berjuta-juta rupiah pula, buat motive-force, kodrat menjalankan mesin seperti uap atau litrik yang mahal pula; modal buat pembayar buruh, mandor, tukang, insinyur dan administratur yang berjuta-juta rupiah pula, tiadalah keluar dari kantong seorang atau dua orang lagi, melainkan dari golongan orang, bernama kaum kapitalis. Tiada ada diantara golongan yang pegang andil atau pegang modal baru, bernama debenture-holder (pegang surat bunga uang) yang bisa bilang: Ini martil sayalah yang punya! Tidak ada satu bagian satu biji pakupun yang dimiliki seseorang, melainkan semua yang mengeluarkan modal itu memiliki semua perkakas mengadakan hasil itu. Bagitu juga tidak lagi satu orang memiiki hasil yang keluar, satu jarumpun, melainkan semua hasil itu ialah buat semua pemegang andil atau pemegang surat debenture (surat terima bunga uang).
Tetapi yang nyata tidak bermiik ialah satu golongan besar, yang dulu berpunya, yakni: Buruh, proletar.
Buat menjadi buruh, proletar, tak berpunya, maka pak tani atau si tukang Zaman Tengah mesti “dimerdekakan” dalam dua hal: 1. Medeka dari kongsinya; 2. Merdeka dari atau lepas dari perkakasnya, artinya dihilangkan perkakasnya. Kewajiban revolusi borjuis ialah menimbulkan “kemerdekaan” semacam ini. Sekarang si proletar, tak berpunya, “merdeka” pula menjual tenaganya pada pasar yang “merdeka”. Disini dia dengan ribuan teman sejawatnya “merdeka” tawar-menawar dengan kaum Modal, kaum yang mempunyai segala-gala.
c. Perkara Kemerdekaan dan Kepandaian.
Tukang besi pada satu kongsi di Zaman Tengah di Eropa atau seorang pandai besi di Majapahit atau Minangkabau ialah seorang merdeka, seorang yang dihargai dalam Masyarakat. Walaupun pada masyarakat Majapahit kaum pandai itu cuma masuk kasta Waisya, kasta ketiga, ia ada mempunyai kedudukan yang baik juga. Pandai besi zaman Majapahit atau Minangkabau yang mendapat kris yang kuat artinya sama dengan pendapat (inventor) atau Insinyur, pembentuk kapal terbang atau kapal silam zaman sekarang. Kris itu adalah senjata luhur zaman Sriwijaya dan Majapahit, seperti kapal terbang dan kapal silam zaman sekarang. Kalah menangnya perang pada masa itu selain dari semangat dan moral kebatinan, tergantung pada kuat dan jitnya kris seperti sekarang terutama pada kuat dan jitnya kapal udara dan kapal silam itu. Tukang besi zaman dahulu itu, ialah seorang yang berinisiatif sendiri, merdeka sendiri, dalam hal bentuk-membentuk.
Begitu di Eropa, begitu pula tentu di Indonesia. Rahasia melebur besi, kepandaian membentuk senjata yang maha tangkas, tersimpan dalam otaknya pandai besi, walaupun pekerjaan anggota kongsi tukang di Eropa itu di bawah penilikan pemimpin, ialah pemimpin kongsinya sendiri, tetapi masih banyak kemerdekaan yang tinggal padanya. Ia merdeka merubah segala-galanya!
Tetapi sekarang, si buruh atau tukang di dalam pabrik, tak mempunyai kemerdekaan semacam itu. Si punya andil atau debenture dengan perantaraan inventor, insinyur dan managernya, membentuk mesin dan hasil. Si buruh cuma sebagai bagian dari mesin, mengawasi mesin bekerja itu saja.
Craftsmen di Eropa, ialah tukang di Indonesia, memangnya seorang tukang, seorang berpikir mengubah dan membentuk. Tetapi si proletar, buruh, si tak berpunya, ialah seorang yang tiada boleh berpikir, berinisiatif, mengubah dan membentuk; inventor dan si insinyurlah yang mengubah dan membentuk, mesinlah dan si insinyurlah yang mengubah dan membentuk, mesinlah yang menjalankan, dan si buruh jatuh pada golongan mesin yang tak bernyawa itu pula. Skill, yakni tukang atau pandai, pada zaman dahulu bertukar dengan dexterity, keawasan, ketika menjaga mesin di zaman sekarang. Si buruh cuma buat mengawasi mesinnya saja. Mesinnya tak boleh berputar terlampau lama atau kurang lama. Lebih-lebih dia mesti jaga supaya tangan, kaki atau lehernya sendiri jangan terputar oleh mesin itu. Merdeka pada zaman dahulu berganti jadi budak mesin zaman sekarang.
d. Perkataan division of Labour (Pembagian Kerja).
Pada permulaan sekali dari sejarah manusia sudah terjadi division of Labour itu, yakni antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Yang pertama kerjanya berburu atau menangkap ikan. Yang dibelakang tinggal di rumah melakukan pekerjaan rumah, memasak, bertenun, menjahit, mencuci, menjaga anak dll. Pekerjaan yang pertama adalah lebih berat dan berbahaya dari yang kedua. Walaupun banyak diantara kaum ibu yang berani, tetapi ada temponya tiap-tiap ibu dalam kelemahan sendiri, ialah dalam keadaan mengandung dan menjaga si anak yang lemah.
Lagi pula pembagian kerja yang besar terjadi dalam sejarah manusia, yakni: Pertanian dan kerajinan. Pertanian dilakukan di sawah, ladang atau kebun, dan mempunyai pusat pergaulannya di desa. Kerajinan dilakukan di kota atau bandar. Tentu ada juga pak tani melakukan kerajinan di rumahnya, seperti membikin bajak, jala dsb; sedangkan isteri dan anak gadisnya membikin kain, menjahit dan seterusnya. Tetapi pada tingkat masyarakat yang lebih tinggi, pembagian kerja itu lebih umum, karena dengan pembagian kerja itu hasil berlipat ganda. Seorang yang umpamanya pencahariannya berhubungan dengan sepatu saja, tentu pengetahuannya tentang bahan buat sepatu itu seperti kulit dan benang, tentang bentuk yang disukai atau tidak lagi tentang pasar dan langganannya dan banyak perkara lain-lainnya, lebih tinggi dari seseorang yang menjalankan 13 ambachten, 13 macam pekerjaan. Si spesialis yang mengerjakan sesuatu, teristimewa itu, tangannya lebih cepat dan tepat serta matanya lebih tajam.
Pada zaman manufacture saja, ialah zaman diantara kongsi tukang, (gilde) dan industri (kemesinan), pembagian kerja itu sudah pesat sama sekali. Arloji saja umpamanya, seperti diuraikan beberapa ribu bagian. Kunci, per, sekrup, plaat dll. Seseorang kerjanya lain tidak dari mengerjakan bagiannya saja, bagian yang lain, dia tak perlu ketahui. Kemudian semua bagian itu dipasang oleh seorang yang kerjanya memasang saja.
Pada zaman sekarang pembagian kerja itu, lebih dilanjutkan lagi. Kapal terbang itu umpamanya terbagi atas beberapa ribu bagian pula. Tiap-tiap bagian dikerjakan pada pabrik atau mesin istimewa. Dengan begitu hasilnya bertimbun-timbun (mass-production). Yang menjadi alat adanya pembagian kerja itu pertama cacah jiwa. Kalau penduduk sesuatu negara atau tempat masih jarang sekali, sekali-sekali dan “Standard of Living”, takaran hidupnya masih rendah sekali, maka keperluannya tentulah sedikit sekali pula. Umpamanya Desa Anu cuma dua tiga puluh saja penduduknya.
Pada masa Lebaran (Hari Raya) cuma empat lima orang saja yang memakai sepatu. Sesudah habis lebaran, sepatu tadi terus disimpan baik-baik sekali buat dipakai di tahun depan. Satu kongsi sepatu, yang datang buka pabrik sepatu, dengan cara mass-production, kalau mesti bergantung pada “langganan” dari Desa Anu ini saja tentu akan segera terpaksa gulung tikar. Dia bisa mengadakan seratus sepatu dalam satu jam umpamanya, jadi belum lagi menyamai mass-production Amerika. Tetapi pembeli kemana dicarinya?
Kedua, dan inilah yang berhubungan dengan pasal ini : Kemajuan perkakas. Umpamanya seorang warga Republik Indonesia, berinisiatif berdarah industrialis atau dagang, baru pulang dari Amerika tiba di salah satu kota besar di Indonesia. Si Indonesia pulang dari Amerika tadi mempunyai segala-gala, dari kepandaian sampai keuangan. Dia periksa dengan tiliti dan yakin, bahwa perusahaan kapal terbang dengan cara mass-production akan bisa memberi untung. Uang ada atau gampang boleh dipinjam dari Bank Nasional umpamanya, karena namanya peminjam itu baik. Langganan pasti banyak dan tetap. Ialah dari tentara, kongsi kapal terbang dll. Memang buat tehnik dan pengetahuan Rakyat Jelata, buat dagang, pengangkutan, lebih-lebih buat pertahanan Negara, industri kapal terbang itu penting sekali. Pemerintah Republik memberi izin leluasa sekali. Tetapi ada dua perkara yang kurang dan satu perhubungan erat dengan yang lain. Pertama, mesin bukan mesin kapal terbang itu sendiri, yang bernama aero-engine, tetapi mesin mesti bikin aero-engine ini pula. Kedua aero-engine itu sudah barang yang sulit! Apalagi mesin ibu yang mesti melahirkan aero-engine itu.
Dia menoleh ke kiri-kanan, memang dia bertitel Insinyur dan berdarah praktek. Dia masuki pabrik dan bengkel Indonesia. Memang dia berpengaruh, karena keluaran dari keluarga hartawan dan politik-wan. Tetapi dia cuma berjumpakan mesin buat menggiling tebu, pemisahkan timah dan emas, penyaring minyak tanah, dan paling tinggi pembikin sayap kapal terbang. “Semuanya pusaka Belanda” katanya dalam hatinya, memang dia Nasionalis patriot. Ingat dia pada Indonesia Raya, Zaman Sriwijaya dan Majapahit. Tetapi pada zaman ini dia cuma berjumpa dengan pahat, kampak, martil, semuanya kecil-kecil.
Pekerjaan tidak bisa dijalankan dengan lekas. Tetapi dia aktif, berinisiatif, divide, memang berpemandangan jauh dan cinta pada bangsanya. Dia mau lekas, mau naikkan bangsanya, dari bangsa di bawah sepatu bangsa lain, sampai jadi bangsa yang duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa manapun juga di kolong langit ini. dia jumpakan para pembesar negeri anggota Parlemen sampai Menteri Keuangan, serta anggota keluarga, bekas teman sekolah, kawan separtai atau sahabatnya. Akhirnya dia dapat perjanjian dari yang berpengaruh, berkuasa, beruang. Kalau pasal uang sama sekali tak akan menjadi keberatan. Kami akan bantu.
Si Nasionalis tadi bukan seorang bertitel Insinyur saja. Dia seorang yang praktis. Dia berpikir terus, walaupun sesudah empat atau lima bulan atau setahunpun akan didapat mesin ibu, buat bikin aero-engine. Tetapi dimana dia peroleh ratusan, ya ribuan banyaknya buruh, tukang, opzicter dan Insinyur yang berpengalaman, buat menjalankan pekerjaan masing-masing bagian, dengan “efficiency”, ini perkataan Amerika pula yang sudah jadi pedoman dalam semua pekerjaannya. Berapa lama buruh halus dan kasar yang penting itu, dia mesti dilatih dalam teori dan praktek, supaya jangan banyak waste, ialah tenaga, tempo dan barang yang dibuang-buang, karena kekurangan kepandaian dan pengalaman. Insinyur Nasionalis Indonesia tadi, insyaf sekali akan division of labour, pada industri baru beralasan mass-production, seperti pada industri kapal terbang itu. Dia tafakur dan insyaf, beberapa perkakas, pesawat, berhubungan dengan division of labour dan berapa keduanya ini mempengaruhi ekonomi. Walaupun banyak syarat yang ada padanya, dia mesti menunda menjalankan idamannya jauh lebih lama dari pada yang dikehendakinya. Sekarang dia yakin, bahwa walaupun bangsanya sudah merdeka dalam politik, kaya dengan uang dan hasil bumi, tetapi masih rendah sekali dalam hal pesawat dan industri-berat (heavy industry).
Dia berbisik, Majapahit tak bisa meninggalkan pusaka lain dari kampak dan palu. Sebab memang pada zaman itu tak ada perkakas yang lebih tinggi di seluruh dunia ini. tetapi Belanda! Ya, kalau dia tiada memikirkan untung yang lekas dan banyak didapat saja dengan gula atau teh, barangkali, ya, sudah tentu dia tak akan mengalami kejadian yang sudah-sudah. Indonesia tentu akan punya perkakas heavy industry dengan semua bagian, skilled atau un-skilled labor, buruh halus atau kasarnya.
e. Perkara sosial, pergaulan.
Mudah kita menggambarkan pergaulan antar pekerja dan pemimpinnya pada zaman dimasa perkakas masih digerakkan dengan tangan.
Mudah kita gambarkan satu gilde, dimana pekerjaan dan pemimpin pekerja bersama-sama pada satu tempat, bercakap-cakap dalam keadan duduk sama rendah, tegak sama tinggi .Tinggi rendah cuma terbawa oleh pengetahuan dan batinnya si pemimpin, bukan karena kelahiran bangsawan atau kekuasaan uang. Si pemimpin bukan orang yang jatuh dari langit sepreti Raja, melainkan orang yang dipilih kaum pekerja diantara pekerja sendiri buat mengawasi keperluan bersama menurut aturan, statuten, yang ditentukan dan dimufakati pada pekerja. Betul pada kira-kira Abad ke-XV, pertentangan semakin tajam antara pekerja dan pemimpin yang menjadi kaya, lebih-lebih di Jerman dan tak kurang hebat di Inggris antara master dan journey-men atau yeomen. Tetapi pertentangan itu di Inggris berakhir dengan pengawasan, supervision dan pemeriksaan (controle) dari kaum masters, dan lagi bertambah majunya pesawat pula yang berakhir kepada kemesinan dan kepabrikan. Pada masa belakang ini peraturan gilde, perkongsian tukang, berganti dengan Trade Union, perkumpulan kaum pekerja, pada satu pihak dan perkumpulan majikan pada pihak lainnya.
Gambaran pergaulan para pekerja dengan pemimpinnya pada zaman Gilde + Abad ke-XIII dan XIV berlakon paternal, bapak dan anaknya pada masyarakat Tionghoa, yang memang cocok dengan dasar pelajaran Guru Kung. Sisa peraturan Gilde, “tong” namanya dalam bahasa Tiongkok Selatan masih bisa kita lihat dikota-kota Tiongkok ataupun Indonesia. Membikin tong buat tolong-menolong diantara satu-satu golongan pekerja, memang sudah jadi darah daging Tionghoa. Dimana suasana politik ada kejam, maka tong kaum pekerja tadi menjadi perkumpulan bersifat poitik. Dr. Sun Yat Sen dengan Kuo Min Tang-nya banyak mendapat bantuan politik dari tong yang jadi masyhur, karena campur merobohkan kekuasan Mancu itu. Kumpulan itu bernama Kola Hue (Hue juga berarti tong!). Maka pada sesuatu kumpulan pekerja itu masih bisa saksikan perhubungan yang paternal, seperti bapak dan anak itu. Mereka masih makan dan minum bersama-sama. Beda pemimpin dengan anggota, adalah seperti perbedaan antara yang lebih tua, lebih berpengalaman, dan juga lebih berani dengan yang masih muda.
Tiada susah bagi kita buat menggambarkan perhubungan para pekerja dengan ketuanya, pada satu apar di Minangkabau atau pertukangan besi atau kapal di tanah Jawa. Lebih kurang seperti bapak dengan anak itu juga, atau saudara tua dengan saudara mudanya.
Tetapi bagaimana perhubungan itu pada zaman ini, dimana martil beratnya 125.000 kg, pipa minyak di Palembang sampai 300 KM panjangnya?
Kemesinan zaman sekarang, Kapitalisme Modern, tidak lagi berupa Kongsi atau perkumpulan, melainkan dari kongsi, kompeni, sudah naik ke dasar yang lebih lebar jajahannya dan banyak pekerjaannya, ialah syndikat. Dari syndikat yang masih kurang terpusat dan teratur (rationalized) itu, dia naik ke atas jadi trust. Dari trust ke Combine-trust, ialah gabungan dari beberapa trust, tidak saja diantara yang ada dalam Negeri, tetapi juga gabungan dengan beberapa trust diluar Negeri sendiri.
Misal sudah ada di Indonesia. Menoleh kita ke perusahaan yang terpenting dalam banyak tehnik, perniagaan dan politik dunia, ialah minyak tanah. Buat tehnik minyak itu adalah jiwanya mesin, penjalankan mesin. Buat perniagaan dia mengadakan untung yang besar dan tetap. Sebab itu ia jadi minyaknya politik Nasional dan Internasional kaum kapitalis, lebih-lebih yang sudah sampai berbentuk Imperialis.
Royal Dutch, sebagaimana yang terkenal di seluruh dunia, Koninklijke Nederlands Petroleum Maatschappij namanya dalam bahasa Belanda, didirikan pada tahun 1890. Pada tahun 1912 kongsi ini bergabung dengan Kongsi Minyak Inggris di Borneo bernama Shell. Gabungan minyak Belanda-Inggris ini sendiri tiada mengurus perusahaan minyak, melainkan mencari dan mengawasi uangnya dari lebih 100 dochter maatschappijen, cabangnya. Royal Dutch inilah satu contoh dari sistem Amerika, bernama Holding Company, kongsi pengikat. Royal-Dutch kongsi pengikat, inilah walaupun ia tak mengurus perusahan yang jadi puncak seluruh industri minyak di Indonesia. Diantar cabangnya, yang masyhur juga bernama BPM.
Ia kini yang menggali (boren) minyak dan menyaring minyak: Raffinaderijen, Anglo Saxon Cy, kongsi Inggris dengan NI Tank Stoomboot Cy mengangkut dan membagikan minyak tadi. Asiatic Petroleum Cy menguras penjualan di Asia Timur. Kantor pusat dari Royal Shell tadi ialah di London; kita semua kenal akan Deterding, seorang Belanda sebagai kepalanya. Kantor pusat dari BPM ialah (dahulunya) di Den Haag.
Mesin dan perkakas yang dipakai buat menggali, membersihkan dan mengangkut minyak keseluruh pelosok dunia ini, tiada lagi terbikin pada satu apar ditempa dengan tangan, seperti di Minangkabau atau Majapahit, melainkan didatangkan dari seluruh pelosok dunia sesudah melalui bermacam-macam tingkat perusahan kemesinan pula: Dari tanah tambang ke besi kasar (pigiron), dari besi kasar ke baja dan dari baja ke mesin. Boleh jadi tanah tambangnya diambil di Cuba, besinya atau bajanya digembleng di Amerika dan mesinnya di bikin di Amerika atau Inggris.
Perusahaan minyak tidak lagi lokal, pada satu daerah kecil saja atau nasional, melainkan sebab pesatnya kemajuan pesawat sudah betul-betul Internasional. Keuangan buat menjalankan perusahaan yang berdasarkan Internasional ini, tiada lagi keluar dari kantongnya anggota atau kepala kongsi, melainkan dari beberapa Bank: Bank Negara atau Bank seseorang, dari seluruh penjuru dunia pula terutama Inggris dan Belanda.
Bersangkutan dengan hal ini, maka tiadalah lagi kita dapati pergaulan para buruh dengan pemimpinnya pada Zaman Tengah di Tiongkok atau pada masa Majapahit. Buruh halus dan kasar Indonesia tiadalah bisa lagi duduk atau makan bersama-sama tuan Deterding. Tidak saja antara tempat berjauhan, tetapi antara kedudukan sosial dalam masyarakat zaman sekarang ada berjauhan seperti bumi dengan langit. Kalau ada perhubungan antara tuan “besar” dengan kuli di pabrik atau galian minyak, maka perhubungan itu biasanya dijalankan oleh tingkat yang menghubungkan tangan tuan besar dengan kepala kuli. Atau kata yang lain dipakai yang menghubungkan mulut tuan besar dengan telinga kuli ialah perkataan God verdmome.
C. PERLANTUNAN.
Sudah diterangkan pada bagian A, perkenaan sifat Bumi dan Iklim sebagai Perkakas dan pada bagian B (a, b, c, d, e) perkenaan perkakas dengan keadaan Ekonomi. Sekarang akan ditunjukkan perlantunan diantara ketiga perkara itu.
Pada gerakan pertama kita lihat arah gerakan itu dari sifat Bumi dan Iklim menuju ke Pesawat dari sini menuju keadaan Ekonomi (Perlantunan antara sifat Bumi dan Iklim dengan perkakas juga ada, tetapi hal ini nanti akan dibicarakan). Sekarang kita akan perlihatkan arah membalik dari Keadaan Ekonomi ke Pesawat, dan dari Pesawat ke Sifat Bumi dan Iklim.
Pada gerakan pertama kita saksikan. Sifat Bumi dan Iklim. Jadi alat adanya (condition) Pesawat dan Pesawat jadi alat adanya keadaan Ekonomi. Pada gerakan membalik kita akan saksikan keadaan Ekonomi, akan jadi alat adanya Pesawat dan pesawat akan jadi alat adanya sifat Bumi dan Iklim.
Kita sekarang sudah sampai pada keadaan ekonomi yang bersifat kapitalis. Hal ini oleh semua yang berpolitik sudah umum diketahui di Indonesia. Surat kabar dan berjenis-jenis perkumpulan sudah cukup membicarakan hal ini. Dua sifat dari peraturan ekonomi kapitalis, dua sifat yang berkenaan dengan pasal ini, saya akan kemukakan disini.
1. Penghasilan liar, anarchy in the production ;
2. Persaingan (concurency).
Pada zaman pra-monopoly, sebelum monopoli zaman sekarang, maka penghasilan liar itu umum sekali. Satu industrialis tak tahu-menahu dengan kapitalis lainnya, walaupun senegara. Banyaknya hasil perusahaannya dan harga barangnya ia tetapkan sendiri. Dia tiada rembukan tentang banyaknya hasil dan harganya itu dengan kawannya. Pada zaman yang umumnya zaman monopoli ini, terutama Amerika, beberapa perusahaan bergabung. Gabungan ini menentukan banyak hasil dan harga barang buat seluruh gabungan, serta banyak hasil dan harga barang buat masing-masing perusahaan yang bergabung. Jadi dalam monopoli itu anarchy in production, penghasilan liar, sudah jadi planned production, penghasilan dirancang, diatur lebih dahulu. Tetapi terhadap monopoloi lain, baik dalam atau pun diluar negara, penghasilan liar tadi masih bersimaharajalela. Satu monopoli tiada berembuk dengan monopoli lain tentang berapa hasil atau harga yang dia mau adakan.
Akibatnya atau sejajar dengan penghasilan liar tadi ialah persaingan yang hebat. Pada zaman yang di Inggris dinamai Free Trade, persaingan itu pesat sekali dan dimuliakan sekali oleh seseorang kapitalis dan pujangganya ahli ekonomi. Kata mereka, persaingan mati-matian itu mengadakan hasil terbanyak dan termurah. Seperti dalam Alam, Darwin punya struggle for existence itu, jadi alat adanya hewan dan anggotanya yang lebih baik, begitu pertarungan mati-matian dalam lapangan Ekonomi itu jadi alat adanya perusahaan pabrik dan mesinnya yang maha tangkas. (Berapa pabrik yang tak jalan dan berapa kaum buruh yang terlantar, menganggur, tiada dibicarakan disini!).
Dalam satu monopoli Gajah, Mammoth Organisation, zaman sekarang memang persaingan itu antara satu anggota dan anggota lain dalam Monopoli itu memang sudah hilang, bergantikan koperasi, tolong-bertolong. Tetapi persaingan itu terus berlaku antara satu mammoth organisation dengan mammoth yang lain. Awasi saja bagaimana gajah Koninklijke Nederlands Petroleum My di negeri kita ini berjuang dengan gajah Standard Oil.
Kalah menangnya satu hewan dengan hewan lain atau dengan Alam sendiri, terutama ditentukan oleh anggota pertarungannya. Singa oleh kuku dan taringnya, begitulah dalam pertaruan ekonomi itu, pesawat itu, tehnik itu jadi kuku dan taringnya. Selain dari factor lain-lain seperti pimpinan, susunan, penjualan dsb, pesawat itulah yang jadi kuncinya kemenangan.
Pesawat ini memukul pada dua pihak, dia menoleh ke penjuru kapitalis saingan. Saingan yang mempunyai mesin yang absolute, kolot, kurang cepat dan kurang efficient, kurang mencukup, mesti kalah oleh mesin yang lebih cepat dan mencukupi lebih efficient. Harga barang yang dihasilkan yang di belakang ini lebih murah dan tahan dan lebih bagus. Pada pihak yang lain, si Kapitalis menoleh kepada buruhnya. Makin tinggi gaji buruh, kalau dibanding dengan harga mesin, ialah makin rendah untungnya. Makin tinggi harga mesin kalau dibanding dengan bayaran gaji buruh, makin tinggi untungnya. Seperti kata Marx, makin tinggi capital structure, susunan kapital, makin besar untungnya.
Contoh dari Marx dikeluarkan dari “jembatan keledai” saja. Sudah 20 tahun lebih disimpan dalam otak. Maaf kalau ada kesalahan. Angkanya saya bikin sendiri.
Andaikan 5 modal :

Mesin Rupiah Gaji Buruh Rupiah Jumlah Modal Surplus Valus (nilai lebih) 100 % gaji buruh Untung 50 % nilai buruh
50 50 100 50 25
70 30 100 20 15
80 20 100 20 10
84 16 100 16 8
90 10 100 10 5

Andaikan 5 modal itu kepunyaan seorang kapitalis. Yang 1 ialah modal kebun kapas ; 2. buat membersihkan kapas ; 3. buat memintal benang ; 4. menenun kain ; 5. buat mencat. Jumlah lima modal R. 500,- Jumlah untung R. 63,- Pukul rata untungnya 63/5 = R 12,60.

Modal 1 yang mesinnya seharga R 50,- kurang R 12,40
Modal 2 yang mesinnya seharga R 70,- kurang R 2,40
Modal 3 yang mesinnya seharga R 80,- lebih R 2,60 untung pukul rata R. 12,60
Modal 4 yang mesinnya seharga R 85,- lebih R 4,60
Modal 5 yang mesinnya seharga R 90,- lebih R 7,60
Jumlah modal 1 dan 2 kurang R. 14,80 dari pukul rata, ialah R 12,60
Jumlah modal 3, 4 dan 5 lebih R. 14,80 dari pukul rata, ialah R 12,60
Dengan kenaikan modal buat mesin dari 80 ke 84 ke 90 naik pula kelebihan untung dari pukul rata dari R 2,60 ke R 4,60 dan ke R 7,60. Tentu pemakian mesin ada batasnya. Harga mesin tak bisa sampai ke 100. ini berarti tak memakai buruh lagi.
Tetapi dalam batas ini memang kenaikan modal mesin berarti kenaikan untung dari untung pukul rata. Diatas dimisalkan 5 modal kepunyaan satu orang kapitalis. Artinya sama kalau 5 modal ini kepunyaan 5 orang, berlain-lain kapitalis. Karena 5 kapitalis inipun masuk satu kaum atau Klas.
Seligi tajam balik tertimbal, tak ujung pangkal mengena, kata kapitalist. Pesawat baru itu memukul kedua pihak, kepada saingan dan kepada kaum buruh tiada heran kalau kapitalis selalu mendekati inventor, pendapat. Pada tiap-tiap perusahaan besar juga terdapat laboratorium yan modern dengan inventor atau calon inventor yang cerdas. Memang pemakaian invention, pendapat baru itu pada zaman monopoli ini ada terbatas, tidak lagi seperti pada masa “Free trade”, pesawat baru itu tetap tinggal jadi perkakasnya kapitalis buat menewaskan musuh saingannya atau kaum buruh. Sedikit panjang ktia menyimpang diatas, tetapi tiada bisa dihindarkan.
Sekarang kita kembali pada pangkal persoalan. Ekonomi menjadi alat adanya Pesawat dan Pesawat menjadi alat adanya Bumi dan Iklim. Dalam keterangan dibelakang yang rupanya menyimpang tadi sudah termasuk kepastian, bahwa keadaan ekonomi jadi alat adanya pesawat. Siapa yang melihat film yang banyak sekali memberi pelajaran itu, saya maksud “Edison the man” dia bisa pastikan, bagaimana keadaan ekonomi, disini juga mengandung arti sempit, ialah keadaan ekonomi Edison sendiri, dalam perusahaan listerik, kepunyaan dan di bawah pimpinannya itu, memaksa dia mendapat pesawat yang baru.
Begitulah juga tiap-tiap perusahaan dengan laboratoriumnya mencoba membentuk pesawat yang baru, yang bisa mengadakan hasil lebih banyak, lebih cepat, lebih mufah dan lebih tahan serta bagus.
Perang itu bengis, memusnahkan jiwa muda, jiwa sehat kuat, dan berani dan banyak mengandung pengarapan buat masyarakat, memusnahkan harta berjuta-juta, memperdalam dendam kesumat satu Negara dengan Negara lain. Tetapi satu Negara yang berperang dengan Rakyat Negara lain itu tak kenal-mengenal satu sama lainnya. Janganlah pula bermusuhan. Bala hidup semacam itu sukur, diantara orang Indonesia tidak sedikit yang mengerti, sudah tidak dianggap lagi sebagai kemauan Tuhan. Perang itu semata-mata kemauan dan perbuatan manusia, dan boleh dikehendaki dan diperhentikan oleh manusia pula. Perang tidak lain melainkan penjelmaan persaiangan ekonomi yang terakhir: buat merebut pasar, merebut bahan dan merebut tempat buat menanam kapital sendiri dengan aman dan untung banyak. Perang ialah bentuk terakhir dari persaingan ekonomi. Disinilah pula terbentuk sejelas-jelasnya kebenaran, bagaimana keadaan ekonomi itu (baca persaingan kapitalisme) membentuk pesawat membunuh.
Ratusan otak yang maha cerdas di Asia, Amerika dan Eropa pada ketika saya menulis buku ini, dipakai oleh pemerintahnya masing-masing buat mendapatkan kapal terbang yang lebih cepat terbang, cepat berputarnya dan berat serta jitu menembaknya. Tank yang maha cepat, maha kebal dan maha tangkas tembakannya. Kapal penempur yang maha kebal dan maha dahsyat tembakannya. Kapal selam yang bisa paling lama di bawah laut dan paling jitu tembakannya.
Kini saya mau teruskan uraian saya pada arah terakhir, dimana pesawat menjadi alat adanya sifat Bumi dan Iklim Baru. Bukankah keadaan Bumi Jepang sebetulnya berubah, sesudah tunel, tembusan, terowongan di bawah laut diantara Jepang dan Korea diadakan? Bukankah keadaan bumi Inggris dan Eropa akan berubah, kalau sekiranya idaman Napoleon lebih dari seratus tahun lalu dijalankan ? Bumi Indonesia pun berubah. Rawa besar-besar di Sumatera Timur yang dahulu dengan nyamuk anophelesnya, musuh besar bangsa Indonesia, sekarang sudah jadi tanah yang subur dimana penduduk berkembang biak. Bumi Indonesia niscaya akan bisa berubah, ya, dibentuk baru sama sekali. Tunggulah dengan sabar.
Begitu juga negeri Belanda! Pesawat sudah cukup maju sehingga laut pun sudah ditukar menjadi daratan. Tiada mustahil lagi bahwa iklim bisa dibantah. Dimana iklim tiada memberi hujan, pesawat sudah bisa mengadakan hujan itu. Iklim itu sudah bisa dibataskan dan kalau menurut teori saja dan tehnik saja sudah bisa dibentuk. Sifat dan iklim tidak lagi sifat yang tak bisa dirubah, melainkan sifat di bawah daerah perkakas. Cuma sang tempo saja sedikit meminta kesabaran.
Pasal 10. ICHTISAR.
Buat membulatkan perlantunan dan perkenaan antara beberapa benda dasar Masyarakat dengan Tata Jiwa, Idaman, Masyarakat itu, saya beri ichtisar dibawah ini :
Bagian 1. PERLANTUNAN BESAR ANTARA MASYARAKAT DAN PAHAM
Mula-mula sesuatu masyarakat itu jadi alat adanya (condition) paham dan sampai pada satu tingkat, mata paham tadi melantun menjadi alat adanya Masyarakat Baru.
Khususnya: Pada permulaan, sesuatu masyarakat yang timbul pada sesuatu bagian bumi yang mempunyai sifat dan iklim yang tentu, mengadakan sesuatu macam pesawat, sesuatu macam ekonomi dan sesuatu macam klas yang berpolitik Negara. Masyarakat semacam itu menjadi alat adanya tata jiwa, pemandangan, idaman dan impian masyarakat itu. Pada satu ketika tata jiwa, pemandangan, idaman dan impian masyarakat jadi melantun menjadi alat adanya klas berpolitik, ekonomi, pesawat, ya, Bumi dan Iklim yang semuanya baru.
Misal pertama: Masyarakat feodal Perancis sebelum tahun 1789 menjadi alat adanya paham revolusioner, dan paham tadi pada tahun 1789 melantun menjadi adanya masyarakat Borjuis (Kapitalisme).
Misal kedua: Masyarakat semi-kapitalistis di Rusia sebelum tahun 1917 menjadi alat adanya paham Komunistis dan paham ini akhirnya cukup mendapat pengikut buat mengadakan masyarakat Soviet Rusia.
Bagian 2. PERLANTUNAN KECIL.
Sifat Bumi dan Iklim yang menjadi alat adanya perkakas itu menjadi alat adanya keadaan ekonomi, yakni perhubungan manusia dalam sesuatu cara penghasilan. Sampai ke tingkat ini dengan perantaraan klas yang berkuasa, arah perkenaan tadi membalik menjadi alat adanya perkakas baru dan sifat Bumi dan Iklim yang baru.
Misal : Keadaan Kapitalis menimbulkan persaingan antara satu kapitalis dengan kapitalis lain, dan perbantahan antara Kapitalis dan Buruh. Persaingan dan perbantahan itu jadi alat adanya perkakas baru yang lebih efficient. Perkakas itu sekarang sudah sampai ke tingkat begitu tinggi, sampai sudah bisa menjadi alat adanya Bumi baru. (Iktisar ini sebetulnya sudah termauk pada bagian 1, diatas. Ditulis disini guna buat melebarkan arti bagian benda dari masyarakat).
Bagian 3. PERKENAAN (SATU ARAH).
Sifat Bumi dan Iklim jadi alat adanya pesawat. Pesawat itu jadi alat adanya perhubungan ekonomi. Perhubungan ekonomi itu menjadi alat adanya klas yang berkuasa. Dua perkakas ini, yakni perhubungan Ekonomi dan Undang serta politik klas yang berkuasa menjadi alat adanya Tata Jiwa beberapa klas dalam masyarakat itu. Tata Jiwa itu akhirnya menjadi alat adanya pemandangan, cara berpikir, idaman dan impian dunia beberapa klas dalam masyarakat itu.

MADILOG
Tan Malaka (1943)
________________________________________
BAB V I
L O G I K A

Berikut sudah saya layani Logika Mystika, Filsafat Ilmu Bukti dan Dialektika. Sekarang saya sampai kepada perkara terakhir ialah Logika.
Ikutan (orde) itu sudah tentu boleh disusun dengan jalan lain, yaitu menurut penjuru masing-masing si pemandang. Saya sebut ikutan diatas, karena ikutan semacam itu ada sedikit cocok dengan genelogy, turun-menurunnya, menurut tuannya semua perkara tersebut. Saya pikir tiada bisa disangkal, bahwa Logika Mystika, ialah Logika yang berasalan kepercayaan semata-mata, bukan bukti yang dipancainderakan atau diperalamkan, itulah ilmu yang setua-tuanya didunia ini.
Dari Ilmu Mystika lahir Filsafat dan Filsafat ini pecah dua: Pada pihak satu terdapat Ilmu Bukti yang melayani Matematika, Ilmu Alam dan Ilmu Masyarakat. Pada lain pihak terdapat Dialektika dan Logika. Sudahlah tentu tiada bisa ditentukan dengan pasti, bila Ilmu Bukti itu dilahirkan oleh filsafat, atau pada tanggal berapa Ilmu Bukti itu dilahirkan oleh filsafat, atau pada tanggal berapa Ilmu Bukti berpisah dengan Dialektika dan Logika. Ilmu Bukti, Dialektika dan Logika, adalah rapat sekali seluk-beluknya satu dengan lainnya. Tiadalah bisa ditentukan dengan batas yang tajam dimana ketiga ilmu itu bisa ditentukan dengan batas yang tajam dimana ketiga ilmu itu masing-masing mesti ditempatkan. Perbedaan yang menyolok mata sudah ditentukan, tetapi masing-masing ada mempunyai bagian yang bersamaan. Tetapi dengan melakonkan semua perkara tadi keatas panggung menurut genealogie, dan mengemukakan perbedaan dan persamaan masing-masing bisa tercapai maksud saya: (1) memberi kebulatan dari Madilog, (2) menyingkirkan herhalingen, membicarakan satu perkara berulang-ulang, lebih dari mestinya.
Dahulu dalam lakon filsafat, saya masukan sebagian dari perkara Dialektika. Hal ini sudah tentu tiada bisa disingkiri, karena Filsafat dan Dialektika adalah ibu dan anak. Begitu juga ketika menguraikan Ilmu Bukti saya campurkan perkara Logika. Inipun tiada bisa disingkiri, karena Ilmu Bukti dan Logika itu adalah dua saudara kembar.
Pada beberapa Negara Barat dan Amerika, disekolah menengah-tinggipun Logika itu diajarkan sebagai vak (pelajaran) yang terkhusus bersama-sama dengan Ilmu Bukit yang lain-lain. Sudah tentu para mahasiswa, murid-luruh mendapat pelajaran, terkecuali tentang Logika, sebelum dianjurkan Ilmu Bukti. Sebaliknya dalam buku Logika zaman sekarang tak ketinggalan lagi contoh yang diambil dari Ilmu Bukti. Begitulah Ilmu Bukti dan Logika Isi-mengisi. Hal ini juga menggambarkan pentingnya Logika sebagai ilmu berpikir. Teatpi janganlah terlalu dilebihi kepentingannya itu, berapapun pentingnya dalam daerah sendiri.
Perlu diperingatkan lagi lebih dahulu, sebagai spring-board (papan-pelompat), tiga definisi Ilmu Bukti, yakni: (1) accurate thought, pikiran yang jitu, tepat atau (2) organisation of facts, penyusunan bukti atau (3) simplication by generalisation, penggampangan dengan mengumumkan. Maka semua hal ini pada geometry terbentuk oleh cara synthetic, memasang bukti sampai menjumpai teori, analytic, mengungkai (membuka) teori atas buktinya dan ad-absurdum, cara menyesatkan buat memperlihatkan kebenaran suatu teori. Maka ketiga cara dalam Geometry ini seperti sudah dijelaskan ada sangat berkenaan pula dengan caranya Ilmu Fisika & Co, bekerja: induction, dari bukti naik ke undang, deduction dari undang turun ke bukti dan verification, penglaksanaan, sesudah sesaat bertemu lagi.
Syahdan, maka penguraian tentangan INDUCTION, DEDUCTION dan VERIFICATION inilah pekerjaan yang terutama dari Logika. Inilah axis, sumbunya Logika. Berkeliling sumbu inilah roda Logika berputar-putar. Dan buat menyingkiri ulang-mengulang, maka tiadalah perlu perkara ini ktia uraikan lagi. Dengan cara Induction, diadakan undang, law, dalam Ilmu Alam & Co. Dan Undang ini mesti berdasarkan bukti yang kokoh, ialah bukti yang sudah diperamati dan diperalamkan (observation dan experiment). Semua perkara yang penting inipun yakni bukti, peramatan, peralaman dan undang sudah cukup dibicarakan. Tiada perlu pula lagi kita uraikan sekali lagi.
Walaupun kecil daerahnya Logika, karena takluk dan cuma sebagian dari daerah Dialektika-Materialistis, dan walaupun hal yang terpenting dari Logika, sebetulnya sudah diuraikan lebih dahulu, dalam pasal Ilmu Bukti dan Dialektika sendiri, masih banyak sekali sisanya Logika. Tetapi maksud saya tentulah tiada hendak menguraikan semua sisanya itu. Logika itu cuma salah satu perkara dalam “Madilog” dan seperti sudah dibilang, bukanlah perkara yang terpenting. Yang akan diuraikan pada pasal ini, cuma beberapa “puncak” yang nyata dalam barisannya sisa Logika itu. Barang siapa hendak ingin mempelajari Logika itu sepenuhnya, dipersilahkan membaca buku karangan John Stuart Mill, A system of Logic, rationative-inductive, buku besar dari 600 muka; Jovons (W. Stanley) The Principles of Science: A Treatise of Logic and Scientific Method, London 1874, 2 Vol XVI 463 and VII, 480 pages; Irendelenburg (ado), Logische Untersudschungen, Berlin 1840; Wondelband (W), Die Prinzpien der Logik, Tubingen 1913. Opzoomer, De Weg der Wetenschap, Een handboek der Logica, Amsterdam 1851; Opzoomer, Het wezen der kennis, Een Leesboek der Logika, A’dam 1863. 183 blz.
Saya mengajak dengan sungguh hati seseorang murid hukum berpikir mempelajari ilmu yang berguna sekali itu. Cuma saya peringatkan lebih dahulu akan batas, yakni limit dari Logika itu.
Pasal 1. SEKALI LAGI DIALEKTIKA DAN LOGIKA.
“Sekali merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”.
“Sekali membuka puni, dua tiga utang langsai (lunas)”.
Kata pepatah Indonesia.
Walaupun perkara yang akan dibicarakan ini termasuk pada pasal lampau, yaitu Dialektika, tetapi sengaja saya tahan pena saya sampai sekarang. Perkara ini sangat bertentangan dengan Logika, jadi penting sebagai kritik dari Logika yang sangat gembar-gemborkan oleh para scientist dengan menguraikan perkara Dialektika itu, disini saya harap menyimpan banyak tempo dan tempat.
Sudah dipertentangkan Dialektika dan Logika lebih dahulu dari ini. Menurut Logika ya itu ya dan tidak itu tidak (A itu A, non A itu, ialah non A). Ya tak pernah sama dengan tidak (A bukan non A). Dua simpulan yang bertentangan, tak bisa benar keduanya. Kotak itu putih dan kotak ini hitam tiada bisa benar keduanya. Salah satunya bisa benar menurut Logika juga: Sesuatu barang mestinya A atau Non A, tak boleh keduanya.
Sebaliknya menurut Dialektika, kalau diperhubungkan dengan tempoh, kena-mengenanya perkara, pertentangan dan gerakan, maka ya itu bisa tidak (A itu pada saat itu juga bisa Non A). Dipandang dari satu penjuru kotak itu bisa hitam dan putih. Keduanya. sesuatu barang itu bisa A dan Non A keduanya. Semua ini sudah dikaji.
Sekarang saya mau kemukakan dua perkara yang penting baik buat Dialektika ataupun Logika, ialah: (1) quality dan quantity, sifat dan banyak atau bilangan. (2) Negation der Negation (Hegel) pembatalan kebatalan. Daerah Logika itu seperti sudah saya jelaskan lebih dahulu, takluk pada daerah yang lebih tingi, ialah daerah Dialektika. Bukan pula Dialektika yang beralasan benda yang nyata. Tetapi dalam daerah kecil, Logika pasti bersimaharajalela. Sebetulnya juga termasuk pada yang sudah-sudah, Cuma bentuk berlainan.
Sudahlah tentu Logika yang pisah-memisahkan sesuatu itu, pada kedua perkara ini juga berlaku main pisah. (1) Quality tinggal quality, quantity tinggal quantity. Sifatnya sesuatu barang itu tiada berhubungan dengan banyaknya bilangan barang itu. Air yang dimasak sampai umpamanya 80º buat Logika tinggal mempunyai sifat air yang berpanas (temperature) 80º itu. Tiada diperhubungkan dengan air yang sudah menjadi uap kalau sudah sampai 100º. Logika tiada perdulikan perhubungannya.
Menurut Dialektika, kenaikan quantity (banyaknya graad, derajat) bisa mengubah sifat, sifat mengadakan sifat quality baru. Sesudah quantity, banyak dari 80º sampai 100º, maka sifat tadi berubah: air jadi uap, quantity menjadi quality. Perubahan bilangan (banyak) menjadi perubahan sifat, dari air ke uap. Jadi “banyak” dan “sifat” quantity dan quality itu ada perhubungan, kena-mengenaan. (2) Menurut Logika seperti sudah lebih cukup dibicarakan lebih dahulu “ya” tinggal “ya” dan tidak itu tinggal tidak. Contoh tak perlu diberi lagi.
Dialektika menyimpulkan pergerakan “ya” dan “tidak” itu dengan “Negation der Negation”. Yang “ya” itu mulanya dibatalkan. Kebatalan ini dibatalkan pula. Umpamanya ambil sebiji padi, kita tanam. Sesudah beberapa lama biji padi tadi bukan biji lagi, melainkan sudah jadi pohon. Inilah satu kebatalan: Pohon membatalkan biji. Tetapi sesudah beberapa lama, pohon tadi mengeluarkan biji padi lagi lebih banyak dari bermula. Disini terjadi pembatalan dari pokok tadi; Biji membatalkan pohon. Pada seluruhnya proses, lakon padi tadi, kita peroleh biji padi, pokok padi (kebatalan) dan banyak biji padi (pembatalan). Inilah yang dinamai: Negation der Negation itu, pembatalan kebatalan.
Fredrich Engels banyak memberi contoh dari dua gerakan dalam Dialektika itu: Yang diatas ialah salah satu dari misalnya Engels. Tetapi Engels memakai gandum, bukan padi. Di bawah dituliskan beberapa lagi contohnya Engels (angkanya saya lupa!), tetapi semangatnya contoh tak berubah.
1. Quantity menjadi quality. Satu serdadu berkuda Napoleon dikalahkan oleh satu berkuda Kalmuk (Mesir). Lima serdadu Napoleon sudah hampir sama dengan lima serdadu Kalmuk. Tetapi 10 serdadu Napoleon sudah bisa menewaskan 15 serdadu Kalmuk. Engels tiada bilang, tetapi saya percaya, bahwa 1000 serdadu berkuda Napoleon terhadap 10.000 Kamuk ada seperti kampak dengan pokok pisang. Pada perbandingan terakhir sudah bekerja kekuatan organisasinya Napoleon. Quantity sudah menjadi quality. Kenaikan banyak dari 1 sampai 10 dan dari 10 sampai 1000 pada pihak Napoleon sudah menjadi perubahan sifat, yang merupakan kemenangan.
2. Negation der Negation. Pertama kita lihat seekor rama-rama. Rama-rama melahirkan ulat (Negation) pertama. Ulat sesudah beberapa lama lagi menjadi rama-rama pula (Negation kedua). Pada pembatalan kebatalan kita melihat beberapa rama-rama. Pembatalan kebatalan memberi hasil yang lebih baik dan lebih banyak.
Dalam “Das Kapital” banyak sekali kita berjumpa dengan contoh yang indah-indah. (Dalam buku saku dicemplungkan dekat Merqui, banyak saya kumpulkan buat dipakai jadi contoh). Disini Marx memperlihatkan bagaimana berlakunya kedua undang Dialektika dalam masyarakat, yang juga naik dari tingkat ke tingkat. Seluruhnya buah pikiran Marx boleh dikatakan berdampak quantity menjadi quality dan Negation der Negation.
Perubahan kecil dari sehari kesehari pada masyarakat feodal, mempertajam pertentangan hamba dan tuan. Akhirnya bahwa jadi begitu kuat sampai banyak sifat quantity jadi quality dan bisa batalkan kaum tuan. Sekarang hamba menjadi tuan, ialah klas hartawan: kebatalan pertama ialah masyarakat feodal bertukar menjadi masyarakat kemodalan dalam masyarakat kemodalan sekarang berlaku undang bilangan menjadi sifat dan kebatalan dibatalkan seperti sudah terjadi di Rusia: kemodalan dibatalkan oleh kolektivisme. Cuma pembatalan kebatalan itu jangan diterjemahkan seperti oleh Cratilus, murid Plato: Tidak saja dua kali, satu kalipun orang tak bisa pergi pada suatu sungai. Ini melewati Dialektika. Kata Hegel suatu barang itu ialah pembatalan dari kebatalan pertama kalinya.
Sudahlah tentu bapak Dialektika idealis, Hegel, penuh pula dengan penglaksanaan: 1. Quantitat dan Qualitat. 2. Position, Negation dan Negation der Negation atau thesis, anti-thesis dan synthesis. Semua undang ini sudah pula termasuk pada ahli filsafat Yunani, seperti Heraklit dan Demokrit dalam beberapa kalimat yang sekarangpun masih dikemukakan.
“Ada itu berarti tak-ada karena semua barang itu menjadi bertukar, dalam keadaan tumbuh dan tumbang”.
“Tidak ada, yang tetap, semuanya bertukar”.
“Kita tak bisa dua kali pergi ke sesuatu “sungai”, karena sungai pada saat ini sudah mengalir diganti dengan sungai yang lain”.
Pasal 2. LOGIKA TERHADAP: QUALITY DAN QUANTITY.
Terhadap single-proposition, simpulan yang tunggal, kita sudah tahu bagaimana Logika berlaku. Kalau dikata “kuda itu seluruhnya dipandang dari sudut ini warnanya putih, ini tidak mengandung arti “kuda itu seluruhnya dipandang dari sudut itu juga hitam”. (Ingat definisi Ueberweg!).
Terhadap “Universal-proposition”, simpulan bulat, yakni yang akan dibicarakan pada pasal ini, maka Logika mengadakan pembagian, yang terpisah seperti berikut:
1. Simpulan yang bulat dan ber-ya, mengesahkan atau genaral and affirmative proposition.
2. Simpulan bulat dan ber-tidak, membatalkan negative; general negative proposition.
3. Simpulan pecahan dan mengesahkan particular affirmative proposition.
4. Simpulan-pecahan dan membatalkan, particular negative proposition.
(Peringatan: Simpulan bukan kalimat. Dengan simpulan atau putusan saja maksud ialah sesuatu pemeriksaan, a judgment, Inggrisnya. Umpamanya: Semua yang bernyawa mesti akan mati. Kalimat itu tiadalah perlu satu kesimpulan. Umpamanya: si Ahmad menendang bola).
Perhatikan:
A. Simpulan bulat yang ber-ya. Formule-ya: semua S (ter) masuk P.
B. Simpulan pecahan yang ber-ya, sebagian S (ter) masuk P.
C. Simpulan bulat yang ber-tidak, tak ada S (ter) masuk P.
D. Simpulan pecahan ber-tidak, sebagian S (tidak) masuk P.
(Peringatan: Buku Logika biasanya tidak memakai huruf diatas melainkan berikut-ikut A E I dan O. Saya pikir lebih mudah diperingatkan dengan huruf A B C D).
Misal:
A. Semua manusia itu cerdik.
B. Tak ada manusia cerdik.
C. Sebagian manusia cerdik.
D. Sebagian manusia tak cerdik.
Menurut Logika, kalau A benar, B mesti salah. Kalau benar bahwa “semua manusia itu cerdik” maka simpulan “tak ada manusia itu cerdik” mesti salah. Begitu juga sebaliknya. Kalau B itu benar, maka A mesti salah. Kalau benar bahwa “tak-ada manusia itu cerdik”, maka simpulan semua manusia itu cerdik, mesti salah. Menurut Logika A dan B itu incompatible tak bisa benar, kedua berselisih. A dan B dinamai contrarty proposition, simpulan yang bertentangan.
Tetapi kalau A itu salah, maka B boleh jadi salah, tetapi boleh pula jadi benar. Kalau salah simpulan kita bahwa “semua manusia itu cerdik”, maka boleh jadi salah juga simpulan, bahwa “Tak ada manusia itu cerdik”. Karena boleh jadi “sebagian” saja manusia yang tak cerdik dan sebagian cerdik. Jadi tidak benar, ialah salah kalau dikatakan, bahwa “tak ada manusia itu cerdik”. Tetapi boleh jadi juga benar, bahwa tak ada manusia itu cerdik. Pendeknya kalau A itu salah B boleh benar dan boleh jadi salah. Begitu juga sebaliknya, kalau B itu salah, A boleh benar dan boleh salah. Kalau diuji dengan formule kita peroleh: Kalau semua S masuk P benar, maka “tak ada S masuk P” itu salah. Tetapi kalau semua “S masuk P” itu salah, maka “tak ada S masuk P” boleh jadi benar dan boleh jadi salah. Jadi mungkin A dan B salah keduanya. Definisi: Contrary proposition, simpulan bertentangan, ialah simpulan yang incompatible, berselisih tak bisa berna keduanya, tetapi bisa salah keduanya.
Sekarang kita bandingkan A dengan D. Kalau A benar, D mesti salah. Dan kalau D itu salah, maka A itu mesti benar. Kalau benar bahwa “Semua manusia itu cerdik”, maka salahlah kalau kita katakan, bahwa “sebagian manusia itu tak cerdik”. Dan kalau benar, bahwa “sebagian manusia itu tak-cerdik”, maka salahlah pula putusan kita, bahwa “semua manusia itu cerdik”. A dan D dinamai contradictory, berlawanan betul-betul, bertentangan.
Dengan formula: Kalau “semua S masuk P” itu benar, maka “sebagian S tidak masuk P” salah. Dan kalau “sebagian S itu tidak masuk P” benar, maka salahlah “semua S masuk P”. Definisi: Contradictory proposition, simpulan berlawanan, ialah dua simpulan yang salah satunya mesti benar, dan salah satunya mesti salah.
(Peringatan: Incompatible sementara saya Indonesiakan dengan berselisih:contrary dengan pertentangan; contradictory dengan berlawanan. Jadi bertentangan lebih tajam dari berselisih dan berlawanan lebih tajam dari bertentangan).
Pada penguraian Logika diatas tercantum lagi A itu, ialah A bukan non-A. Kritik atas pengertian bulatnya “in the board sense” tentang perkara ini sudah cukup dijalankan! Tetapi arti terkhusus “A=A” itu yang oleh Ilmu Bukti mesti diperhatikan, tiadalah pula boleh kita lupakan. Lebih-lebih pada sesuatu karangan yang panjang atau pada suatu buku kita mudah melupakannya. Orang sering lupa dan kadang-kadang sengaja melupakan, bahwa pada permulaan karangan orang artikan sesuatu kata kalimat atau undang dengan arti lain dari arti pada pertengahan atau ujung karangannya. Pada hal ini kita bisa peringatkan, bahwa A mesti tinggal A. Arti yang kita pakai pada permulaan karangan mesti terus-menerus sampai ke ujung. A mesti terus A saja. Sekali-kali A itu tak boleh jadi lawannya, yakni non-A. Science, Ilmu Bukti, accurate thought, hasil pikiran yang tepat, sudahlah tentu tiada bisa mengabaikan arti terkhususnya dan A = A dan A bukan non-A: memakai sesuatu kata, kalimat atau undang yang berselisihan artinya pada berlainan tempat dan tempo. Sesuatu karangan atau buku yang scientific, menurut hukum Ilmu Bukti mesti pertama sekali self-consistent, mesti consequent, arti tak boleh berlawanan dengan dirinya sendiri. Selain dari itu dia tak boleh berlawanan, melainkan cocok, mesti self-consistent dengan undang yang syah, dan bukti yang diakui syah dan pengalaman biasa, yang syah pula. Pada sesuatu pekerjaan scientific, artinya terkhusus dari A = A dan A itu bukan non-A mesti sebagai pedoman buat si-pengarang dari pangkal sempai keujung.
Pasal 3. CONVERSION (PEMBALIKAN).
Hari ini Hari-Raya, Lebaran! Dikiri-kanan kelihatan dan kedengaran tanda permulaan dari kaum-Muslimin. Tiada mengherankan, kalau pikiran saya melayang pada perkara yang berhubungan dengan hal ini: ke rumah, lumbung dan halaman keluarga saya di seberang dan mesjid dan langgar yang didirikan oleh keluarga itu. Pelayangan pikiran itu akhirnya membentuk simpulan ini: “Semua Muslimin itu diwajibkan berpuasa”. Menurut ilmu saraf, gramatika, semua Muslim itu jadi pokok, subyek kalimat “diwajibkan berpuasa” jadi sebutan kalimat, predicate. Kalau simpulan itu dibalikkan artinya pokok dijadikan sebuah dan sebutan dijadikan pokok, maka kita peorleh: Yang diwajibkan berpuasa itu semuanya kaum Muslimin.
Teranglah salahnya pembalikan, conversion itu. Kita tahu bahwa tidak saja kaum Muslimin, tetapi ada kaum lain seperti di antara pendeta Hindu dan Budha yang diwajibkan berpuasa. Jadi pembalikan diatas sudah bermakna lain. Pembalikan yang benar mesti berbunyi: Sebagian dari yang diwajibkan berpuasa itu ialah kaum Muslimin.
Simpulan Asal (Original).
Semua S masuk P “Pembalikan: Sebagian dari P masuk S. Ahli matematika Euler, membentuk formule ini dengan gambaran Disini kita lihat S itu semuanya masuk ke dalam P.
Tetapi pembalikannya tiada semua P, melainkan sebagian saja dari P diliputi oleh S. Pembalikan semacamnya ini dinamakan: Pembalikan sebagian (part conversion). Ini tentang Perkara A, yakni semua S masuk P. Sekarang kita periksa pembalikan dari perkara B, yakni tak ada S masuk P.
Umpamanya: Tak ada Nasrani yang masuk di Mekah. Pembalikannya: Tak ada yang masuk di Mekah itu orang Nasarni. Dengan Formule:
Simpulan Asal : Tak ada S masuk P.
Pembalikan : Tak ada P masuk S

Gambaran Euler: S P
(Disini nampak tak ada S masuk ke daerah P dan dalam pembalikannya tak ada P meliputi S. keduanya tak tahu menahu. Kedua kalimat sama nilai dan kedudukannya). Pembalikan ini dinamai “pembalikan biasa” (Conversion simply).
Perkara C, yakni sebagian S masuk P.
Ump: Sebagian orang Nippon beragama Budha.
Pembalikannya: Sebagian dari yang beragama Budha ialah orang Nippon.
(Jadi tidak umumnya yang beragama Budha itu orang Nippon, orang Birma, Thai, Annam, dan Cylon banyak yang beragama Budha).
Dengan formule:
Simpulan asal : Sebagian S masuk P.
Pembalikan : Sebagian P masuk S.

Gambaran Euler: S P
Kelihatan cuma sebagian dari S yang diliputi oleh P. Dan sebaliknya juga sebagian dari P yang diliputi oleh S. tetapi kebenaran tidak terperkosa. Pembalikan semacam ini dinanami “pembalikan biasa”, seperti perkara B diatas. Perkara D, terakhir tiada dengan begitu saja bisa dibereskan. Simpulan D ini tidak mempunyai pembalikan.
Dalam hal balik-membalik itu, kita tidak saja mesti tukar tempat pokok dengan sebutan dan sebutan dengan pokok. Tetapi kita mesti awasi dua undang dalam balik-membalikkan. Kalau undang ini terlanggar, tiadalah syah pembalikan itu. Berlainanlah makna simpulan yang kita peroleh.
Undang pertama: Quality, “ya atau tidak” mesti tetap. Jadi ya atau tidak, syah atau betul pada “simpulan asal” mesti syah atau batal, ya atau tidak juga pada pembalikan. Dalam pembalikan kita diatas A, B, C undang itu ada diikuti. (Periksalah).
Undang kedua: Quantity mesti tetap pula. Tak boleh dimasukkan “term” berhubung dengan pokok atau sebutan kalimat atau simpulan! Kepada Pembalikan kalau term itu tak ada dalam simpulan asal. Sekarang kita periksa perkara D.
Umpamanya: Simpulan Asal: Sebagian orang beragama itu tidak (bukan) orang Islam.
Pembalikan: Sebagian orang Islam itu tidak beragama.
Teranglah salahnya pembalikan itu, karena tidak ada bagian atau seorangpun dari Kaum Muslimin yang tidak beragama Islam. Islam itu artinya Agama. Sebagian orang Islam artinya orang beragama Islam. Kalau orang beragama Islam itu dikatakan tidak beragama, maka simpulan semacam itu bertentangan dengan dirinya sendiri. Undang apakah yang dilanggar dalam pembalikan (D) ini? (Lihat kembali pembalikan diatas!).
Quality, ya atau tidaknya, memang tidak dilanggar. Pada simpulan Asal kita dapati kata “tidak” dan pada pembatalan juga kata “tidak”. Jadi kedua simpulan berdasarkan negative, bertidak. Begitulah undang pertama tidak dilanggar.
Undang kedua: Quantity. Pada simpulan Asal, kita lihat orang Islam sebagai sebutan (predicate) itu dimaksudkan semua orang Islam. Tetapi pada pembalikan orang Islam yang dimaksudkan itu cuma sebagian saja. Disinilah pelanggarannya terjadi, yaitu pada Undang kedua Quantity, banyak bilangan. Menurut undang bilangannya term (istilah) itu mesti tetap jumlahnya.
Dengan Formula, maka pembalikan itu juga tidak bisa dinyatakan dengan pasti, karena memang dalam pembalikan itu boleh jadi: (1) tak ada yang P masuk S (2) semua P itu S atau (3) sebagian P = sebagian S.

S P S P S P
(1) (2) (3)
Keterangan:
Pada gambar 1. P dan S tak ada bersangkutan satu sama lainnya.
Pada gambar 2 Semua P menutupi S.
Pada gambar 3 Sebagian P menutupi sebagian S.
Tiga kemungkinan semacam itu tidak bisa dipastikan dengan ya atau tidak saja dalam satu simpulan. Kalau berbuat begitu makna mesti terperkosa. Walaupun “conversion” itu sudah dicatat diatas, tak ada salahnya kalau disini kita kasih definisi cukup. Pembalikan ialah: Satu proses atau perubahan, dimana pokok pada simpulan (proposition) asal jadi sebutan pada pembalikan dan sebutan pada simpulan asal menjadi pokok pada pembalikan, pembalikan mana sama kebenarannya dengan simpulan asal.
Pembentukan semangat Revolusi Perancis tahun 1754, Rousseau mahaguru Filsafat Hegel dan Bapa Historical Materialis Marx banyak sekali menggunakan pembalikan itu. Dengan begitu daerah penyelidikan mereka bertambah dalam, arti bertambah luas dan bunyi bertambah merdu.
Pasal 4. OBVERSION (PERLIPATAN).
Permulaan kata, conversion, kata technical yang mengandung seluk-beluk yang dalam itu, saya terjemahkan dengan “pembalikan”. Kata obversion dengan “perlipatan”. Kalau kita membalikkan sesuatu barang, kain umpamanya, muka di bawah terbalik ke atas. Tetapi kalau melipat cuma sebagian kain saja yang terbalik.
Perlipatan kalau di-definisikan: ialah perubahan bentuk (bukan arti!) satu simpulan kepada simpulan lain, dimana “sebutan”pada simpulan asal bertukar jadi “sebutan yang berlawanan arti” pada perlipatan. Perlipatan juga mempunyai Undang: “Sebutan pada perlipatan itu mesti berlainan dengan arti sebutan pada simpulan asal”. A mesti ditukar dengan non-A. Tak boleh dipakai arti setengah-setengah, yang mengandung kompromis, permufakatan pada kedua belah pihak yang berlawanan.
Kita periksa sekarang 4 perkara yang sudah kita kenal .
A. Simpulan Asal. Misal: Semua Haji pernah ke Mekah.
Perlipatan: Tak satu Haji yang tak pernah ke Mekah.
Kata “semua” dan “tak satu” bukan berlawanan pokok, melainkan berhubungan dengan kalimat seluruhnya. Kalau berlawan dengan pokok, yakni Haji, mestinya berbunyi semua tak Haji, jadi yang bukan Haji. Jadi perlipatan dari A ialah B.
B. Simpulan Asal, Misal: Tak satu Kafir yang suci.
Perlipatan: Semua kafir tak suci (berdosa).
(Tak ada dan semua juga berhubungan dengan kalimat seluruhnya tidak melawan pokok simpulan! “Tak suci” itu ialah kata majemuk! Maksud saya dengan kafir bukan Kafir menurut Islam saja, tetapi Kafir dipandang dari penjuru tiap-tiap agama. Jadi perlipatan dari B itu ialah A.
C. Simpulan Asal. Misal: Sebagian orang Islam itu murtad.
Perlipatan: Sebagian orang Islam itu bukan tak murtad.
(“Tak murtad” itu berarti takluk pada undang Islam. Jadi “bukan murtad” itu berarti dan takluk lagi. Begitulah arti perlipatan tiada berlawanan dengan arti simpulan asal. Dalam Algebra negative (-) dari negative itu jadi positive (+). Perlipatan C jadinya D.
D. Simpulan Asal, Misal: Sebagian orang Islam itu tidak jujur.
Perlipatan: Sebagian orang Islam itu tak jujur (munafik).
“Tak jujur” dan “Tak-jujur” dalam Logika terkhusus ini tiada sama. Tak jujur itu disambungkan dengan “-“ jadi kata majemuk. Artinya sama dengan munafik, ialah tak jujur terhadap undang agamanya. Diluar lain dari di dalam. “Haram riba” itu kata pada umum, tetapi riba lebih dari 1800% setahun diterima juga, malah jadi penghidupan bagi golongannya turun temurun. Perlipatan D ialah C.
Jumlah ujian: Perlipatan A ialah B, Perlipatan B ialah A, perlipatan C ialah D dan perlipatan D ialah C. Dengan lipat-melipat ini sekarang marilah kita hadapi Alam (universe) ini. Semua di Alam ini ialah Islam atau tak Islam. (Islam dipakai sebagai nama sifat), menurut filsafat Islam atau tidak, betul atau salah, P atau Non-P. Apa yang P bukan masuk non-P. Formulanya: P atau tak P. (Non-P)
Kalau “S itu P” maka “S itu bukan tak-P”; kalau S itu berada dikiri, maka S itu tidak dikanan. Sebaliknya kalau “S tak P” maka S itu tidak P; kalau tidak di kanan, maka ia dikiri.
Di Eulerkan.
Kalau S-P : maka S itu tidak masuk tak P


bukan:
S tak P

Kalau S – tak P : maka S itu tidak P

bukan:
S P
Sekarang kita sebentar balik kepada conversion, pembalikan. Tadi kita katakan D itu tidak bisa dibalikkan. Tetapi dengan memakai cara perlipatan, kita bisa mendapatkan hasil. Marilah kita ambil contoh yang dahulu:

Simpulan : Sebagian orang beragama itu tidak orang Islam.
Pembalikan : Sebagian orang Islam itu tidak beragama.
Kita ingat pembalikan itu salah.
Sekarang kita jadikan, tidak orang Islam itu kata majemuk seperti tak P. Kita peroleh sebagai ganti, tidak orang Islam itu kata majemuk tak Islam. Simpulan Asal sekarang kita tukar bentuknya dengan tidak menukar artinya. Kita dapati:
Simpulan Asal : Sebagian orang beragama itu tak Islam (non-Islam).
Pembalikan : Sebagian tak Islam (non-Islam) itu orang beragama.
Ini benar! Sebagian tak Islam, bukan Islam itu, seperti orang Kristen dan Yahudi memang dianggap beragama juga, walaupun oleh kaum Muslimin sendiri meskipun Kafir Nasrani dan Yahudi itu dianggap oleh Muslimin Cuma Kafir Kitabi, ialah memperkosa makna Kitab Injil dan Kitab Talmud masing-masing.
Formulanya:
Simpulan Asal : Sebagian S itu tidak P. Ini sama dengan sebagian S itu tak P.
Pembalikan : Sebagian tak-P itu S
Eulernya :
S tak P
(Kelihatan sebagian dari S ditutupi oleh sebagian tak-P).
Seperti pembalikan, maka perlipatan juga banyak dipakai oleh para pujangga yang jaya dan bergemilang.
Pasal 5. CONTRAPOSITION (PERLIPATAN-TERBALIK).
Menurut pelipatan terbalik itu suatu simpulan lebih dahulu, mesti kita lipat, kemudian lipatan itu kita balikkan. Pemeriksaan:
A. Misal:
Simpulan Asal : Tak ada barang di Alam ini yang tak berubah.
Perlipatan : Semua barang yang di Alam ini berubah.
Eulernya :
Pembalikannya: Sebagian dari yang berubah di Alam ini, ialah barang.
B. Misal:
Simpulan Asal : Tak ada Muslim yang makan riba.
Perlipatan : Semua Muslim tak makan riba.
Di-Eulerkan :
Pembalikan : Sebagian dari yang tak makan riba itu ialah Muslimin.
{Simpulan (Pembalikan) ini rupanya ganjil tetapi benar. Bermacam-macam golongan di Indonesia kita saja masih sederhana sekali hidupnya. Umpamanya orang Papua dan Dayak. Mereka belum tahu memakai uang. Jangankan lagi memakan riba. Jadi di Indonesia ini saja Cuma sebagian saja yang Muslimin, ialah yang tak makan riba; ....andaikata, semuanya Muslimin, juga termasuk Muslimin dari Hadramatu, tak makan riba}
C. Misal : Simpulan Asal : Sebagian Muslimin tidak bisa tak Sembayang.
Perlipatan : Sebagian Muslimin sembayang.
{Disini kita berjumpa dengan dua tidak, ialah ,tidak tak sembayang”.
{Belum pernah kita berjumpa dengan dua tidak (negative) dalam rangkaian begini}.
Pembalikan : Yang tak sembayang itu tidak sebagian Muslimin. Ini
Simpulan tidak bisa di artikan atau di Eulerkan. Tiada ada
Sedikit juga kepastian di dalamnya.
Sebutan simpulan ialah, tidak sebagian Muslimin ”Boleh jadi kalimat itu berarti, semuanya” Muslimin. Jadi pembalikan boleh jadi berarti: Yang tidak sembayang itu ialah semuanya. Ini tentulah bertentangan dengan arti Simpulan Asal. Tentulah juga melanggar filsafat Islam. Dalam Logika C itu juga dianggap sebagai simpulan yang tiada bisa dilipat-balik-kan.
D. Misal:
Simpulan Asal : Sebagian Muslimin tak puasa.
Perlipatan: Sebagian Muslim itu puasa.
DiEulerkan :
M P
Pembalikan : Sebagian yang berpuasa itu ialah sebagian Muslim.
(Kebenarannya nyata. Bukan saja kaum Muslimin, tetapi diantara Yahudi, Pendeta Hindu, atau Budha, ada juga yang berpuasa. Dan tidak semuanya Muslimin itu berpuasa).
Pasal 6. SYLLOGISM.
Bagian 1. PASANGAN SIMPULAN BESAR DAN KECIL.
Bermula diperingatkan yang sudah di uraikan lebih dahulu: Induction, ialah cara berpikir, “dari beberapa bukti naik ke undang”. Kawannya ialah Deduction, yakni cara “dari undang turun ke bukti”. Pada Geometry, cara berpikir Deduction ini mendapat lapang yang luas sekali. Juga dalam Ilmu Kodrat & Co, Deduction mendapat lapang yang luas sekali.
Satu bentuk dari cara berpikir menurun dari undang ke bukti itu, yakni satu bentuk “penglaksanaan”, dalam Logika dinamai SYLLOGISM. Jadi SYLLOGISM ini Cuma bentuk lain dari berpikir menurut cara Deduction.
Perhatikanlah bentuk berpikir dibawah ini:
1. Semua manusia bakal mati.
2. Socrates manusia juga.
3. Socrates itu bakal mati.
Lebih dari 2000 tahun Simpulan tiga serangkai semacam ini tercantum dalam kebanyakan buku Logika, sebagian jatuh dari aliran pikiran menurut SYLLOGISM. Sebagai peringatan dan kehormatan pada maha guru yang maha satria, maka suci dan maha mulia, maha para ahli Logika, dari abad ke abad terus-menerus memegang nama Socrates, guru dari Plato dan Aristoteles itu dalam simpulan tiga serangkai tadi.
1. “Semua manusia bakal mati”, dinamai mayor-premise, simpulan besar.
2. “Socrates manusia juga”, dinamai minor-premise, simpulan kecil.
3. “Socrates itu bakal mati”, dinamai conclusion, simpulan akibat.
Akibat, yakni simpulan ketiga, menurun dari kedua simpulan dahulu, ialah simpulan besar, (1) dan simpulan kecil, (2) Kedua simpulan dibelakang ini (1 dan 2) pasti dipasang menurut hukum yang tetap. Simpulan 1 dan 2 ada mempunyai term (yakni salah satu dari pokok atau sebutan) yang bersamaan, bernama Commonterm atau middle-term yakni term bersama, kata persamaan. Pada simpulan 1 dan 2 kita lihat term kata yang bersamaan itu ialah kata “manusia”.
Pada akibat kata persamaan itu hilang, tak ada lagi. Kita lihat pula, bahwa simpulan pertama mengandung bukti lebih besar, lebih luas dari yang kedua. Pada simpulan pertama, kita berjumpa “semua” manusia, sedangkan pada simpulan kedua kita berjumpa dengan satu manusia saja, ialah Socrates. Sebab (luas artinya) umumnya simpulan pertama itu, maka ia dinamai dalam Logika, simpulan besar yang mengenai seorang saja, ialah simpulan 2 dinamai simpulan kecil.
Pasangan tiga serangkai mesti takluk pada hukum dibawah ini:
1. Simpulan Umum (Universal proposition) mesti dipakai sebagai simpulan besar (mayor premise).
2. Kata persamaan (common-term) mesti jadi sebutan dari simpulan kecil (minor-premise).
Kalau “kata persamaan” (dalam hal ini manusia) kita pendekkan saja dengan huruf M, sembarang huruf pun boleh. Dan bakal mati dengan huruf B, akhirnya Socrates dengan S, maka formula yang kita peroleh:
Semua M B
S M
Jadi S B
Di Eulerkan :
Perhatikanlah SYLLOGISM dibawah ini:
1. Semua manusia itu berakal.
2. Tetangga saya berpikir morat-marit.
3. Tetangga saya ini berakal.
Benarkah akibat dari SYLLOGISM ini?
Marilah kita pasang satu persatu simpulan menurut hukum
M B

1. Semua manusia itu berakal. M

2. Tetangga saya, yang berpikir morat-marit ini, ialah manusia.
3. Tetangga saya, yang berpikir morat-marit ini (S) ialah berakal (B).
Jadi cocok dengan formula:
Semua M B
S M
Jadi S B
Rupanya salah, tetapi sebetulnya benar dan pasangan simpulan bisa dibetulkan. Orang boleh berpikir morat-marit. Tetapi bagaimana juga ia masuk golongan (binatang) berakal. Kalau tidak begitu, berapa bagian manusia diatas bumi kita yang berpikir menurut Logika Mistika, kaki ke atas, kepala ke bawah, yang mesti kita keluarkan dari golongan “berakal”. Dalam arti umumnya, bulat, in the board sense, memang semua manusia itu berakal. Tetapi pada arti terkhususnya, in the narrow sense, ada diantara manusia itu yang mempunyai akal miring dari akal sempurna.
Bagian 2. PASANGAN 2 SIMPULAN BESAR.
Misal (saja) : Semua Muslimin mesti sabar (terima nasib dari Tuhan).
Semua orang sabar mesti juga terima kezaliman.
Diatas ada dua simpulan besar, mayor premise, bagiamana kita mesti susun?
Dalam hal ini kita mesti cari pasangan yang bisa menimbulkan akibat. Hukuman yang pertama tiada bisa kita jalankan, karena kedua simpulan itu tidak berbesar dan berkecil, melainkan keduanya besar. Jadi kita mesti lari kehukum kedua.
Lebih baik kita formulakan lebih dahulu, supaya mudah ditinjau. Semua Muslimin dipendekkan jadi B, sabar dengan M dan penerima kedaliman C.
Kita peroleh formula:
Semua B M
Semua M C
Di Eulerkan:
Semua C M Semua M C
Bagaimana perhubungan C sama B?
Pada formula itu kita tak bisa lihat perhubungan C dengan B. Pada gambaran Euler perhubungan itu nyata sekali.
Pada Euler, kelihatan dikiri B masuk M, dan dikanan M masuk C. Jadi B mestinya masuk C, yang terbesar diantara itu. Jadi akibat boleh di Eulerkan dengan:

Apakah sebabnya maka pada formule kita tak bisa mengambil akibatnya?
Jawab: Sebab kita melanggar hukum kedua, yang berbunyi:
Kata persamaan (common term) mesti jadi “sebutan” dari simpulan kecil.
Sebab disini tak ada simpulan kecil, maka simpulan kedua mesti kita anggap sebagai simpulan kecil, yakni semua M masuk C.
Mudah sekali mendapat pasangan menurut hukum kedua itu. Kalau simpulan pertama kita jadikan yang kedua dan sebaliknya, maka kita peroleh:

Semua M C
Semua B M
Jadi Semua B C
Kembali kepada simpulan tiga serangkai, ialah umpama tadi, maka kita mendapat:

Semua penyabar mesti juga terima kezaliman.
Semua Muslimin mesti penyabar.
Semua Muslimin mesti terima kezaliman.
Ini betul menurut Logika, Tetapi apakah betul menurut hukum Islam? Itu terserah pada para Muslimin. Kewajiban saya pada pasal ini Cuma buat menguraikan Logika saja.
Satu Contoh lagi:
B M

Cuma calon surga itu Muslimin.
M C


Tak ada Muslimin yang Kafir.
Formulenya.
Semua B M
Tak ada M C
Pada formula inipun kita tak bisa mengambil akibat. Sebabnya karena ia melanggar hukum 2. Jadi formula inipun mesti di balikkan, seperti diatas tadi, yang pertama menjadi yang kedua dan sebaliknya.
Kita peroleh :
1. Tak ada M C
2. Semua B M

Di Eulerkan:
1 2
Sekarang akibat bisa ditarik, yakni:
Tak ada B C (Lihat peng-Euler-an!)
Bentukan sempurna: Tak ada calon surga yang kafir.
Kembali pada tiga Serangkai sebagai umpama diatas kita bisa bentuk:

Tak ada Muslim yang kafir.
Semua calon surga itu Muslimin.
Tak ada calon surga yang kafir.
Menurut hukum pembalikan, maka yang diatas ini bisa pula kita balikkan dengan tiada mengubah artinya: Tak ada kafir yang calon surga.
Bukan sebagai foya-foya, melainkan sebagai “pelaksanaan” Logika, dan buat dipikirkan dengan tenang seksama, kita persilahkan pembaca menyelidiki susunan simpulan yang dibawah ini:

Tak ada Muslimin yang kafir.
Semua calon surga itu Muslimin.
Tak ada calon surga itu yang kafir.
Tak ada kafir itu bisa masuk surga.
1.800.000.000 manusia yang hidup sekarang kafir.
1.800.000.000 manusia sekarang calon neraka.
Sebelum Islam masuk ke Indonesia, maka semua orang Indonesia itu kafir.
Ribuan juta orang Indonesia dalam sejarah manusia yang + 500.000 tahun itu semuanya kafir. Ribuan juta Indonesia dizaman sebelum Islam itu masuk neraka.
Billiunan, Milliunan, juta-jutaan manusia diatas bumi sebelum dan sesudah Nabi Muhammad SAW lahir, terhitung kafir. Jadi billiunan-billiunan anusia masuk neraka. Tuhan Allah itu Maha Kuasa, Maha Suci, Maha Mulia, Maha Tahu, hadir pada semua Tempo dan pada semua tempat. Jadi pada tiap-tiap detik dan tempat bisa betulkan hati dan laku mahluk-Nya dan terutama Dia Maha-Pengasih.
Ergo.
Jadi Tuhan Allah, sarwa sekalian Alam, yang Maha Pengasih itu akan sampai hati berabad-abad melihatkan ribu-jutaan hambanya yang lemah dan fana itu diazab dibakar api neraka, berkali-kalis sesudah dijadikan sebesar gunung! Allahu Akbar!
Bandingkanlah dengan Logika.
Ingatlah sama definisi Ueberweg, pertanyaan yang pasti yang berarti pasti, apakah satu sifat termasuk pada satu benda? Mesti dijawab dengan pasti: A = A, A bukan non-A.
Apakah Tuhan itu Maha Kasih atau Maha Kejam. Kalau Tuhan itu Maha Kejam, dia tak bisa Maha Kasih (Ingat perkataan maha, yakni sempurna). Kalau Tuhan itu Maha Kasih, maka DIA tak bisa Maha Kejam.
Kalau satu detik saja, satu manusia saja DIA biarkan dimakan api Neraka yang Maha Panas itu, Tuhan tidak lagi Maha Kasih. Jangankan lagi kalau sekiranya DIA membiarkan juta-jutaan manusia dibakar berabad-abad!!

Pasal 7. SEMUA BENTUK SYLLOGISM.
Tiadalah akan saya terangkan dan laksanakan semua bentuk Syllogism. Beberapa bentuk yang sudah dimajukan dan dilaksanakan sampai sekarang sudah cukup untuk pembaca buat memeriksa dan melaksanakan semua bentuk yang dibawah ini akan terlampau panjang sekali kalau saya mesti periksa semua bentuk dibawah satu persatunya.
Bukan maksud saya bahwa semua bentuk itu tiada penting. Seperti dahulu saya anjurkan pada pemuda buat melatih otak dengan Matematika, maka tiada kurang kerasnya permohonan saya pada pemuda melatih otak dengan persoalan Logika.
Tiap-tiap buku Logika biasanya mempunyai persoalan yang mesti diselesaikan oleh muridnya. Menyelesaikan itu artinya tidak saja menegapkan pengertian yang sudah ada, tetapi juga menambah kecerdikan dan kecepatan menyelesaikan sesuatu persoalan yang berhubungan dengan Logika. Terutama dalam satu perdebatan latihan semacam itu akan nyata sekali memberi keuntungan besar. Karena sesuatu pendekatan menuntut jawab yang “tepat dengan cepat”. Jawaban semacam itu bisa mendiamkan lawan seperti kilat dan petus.
(Petunjuk: Periksalah semua bentuk Syllogism dibawah ini satu persatu dengan cara Euler. Sesudah nyata kebenarannya, cobalah cari contoh yang hangat).
Kadang-kadang semua bentuk itu dibagi atas 4, dan kadang-kadang atas 3 golongan. Semua bentuk itu dari masa Aristoteles, Ahli Logika Luhur itu, sampai sekarang hampir tiada berubah. Pembagian dibawah ini dijalankan oleh John Stuart Mill. Ingatlah lebih dahulu kedua hukum Logika, dan ingatlah bahwa pada contoh dibawah ini “kata-persamaan” common-term itu, ialah B, bukannya M lagi.
è artinya “masuk” ...artinya “jadi” atau “sebab itu”.
BENTUK PERTAMA
Semua B C Tak ada B C Semua B C
1 º Semua A B 2 º Semua A B 3 º Sebagian A B
(Jadi)
Semua A C Tak ada A C Sebagian A C

Tak ada A C
4 º Sebagian A B
Seb. A tak C

BENTUK KEDUA
Tak ada C B Semua C B Tak ada C B
5 º Semua A B 6 º Tak ada A B 7 º Sebagian A B
.. .. ..
Tak ada A C Tak ada A C Seb. A tak C
Semua C B
8 º Seb. A tak B
..
Seb. A tak C

BENTUK KETIGA
Semua B C Tak ada B C Sebagian B C
9 º Semua B A 10 º Semua B A 11 º Semua B A
.. .. ..
Sebagian A C Sebagian A C Sebagian A C
Semua B C Seb. B tak C Tak ada B C
12 Sebagian B A 13 Semua B A 14 Sebagian B
.. .. ..
Sebagian A C Sebagian A C Seb. A tak C

BENTUK KEEMPAT
Semua C B Semua C B Sebagian C B
15 º Semua B A 16 º Tak ada B A 17 º Semua B A
.. .. ..
Sebagian A C Seb. A tak C Sebagian A C
Tak ada C B Tak ada C B
18 Semua B A 18 Sebagian B A
.. ..
Seb. A tak C Seb A tak C
Pasal 8 “C U M A”.
Umpamanya: “Cuma” orang Arab yang jadi tukang jual mahal dan beli murah barang gadaian orang tersempit.
Simpulan semacam ini berarti: Semua orang yang jual mahal dan beli murah barang gadaian orang tersempit itu, ialah orang Arab.
(Sekarang Oktober 1942).
Simpulan yang berupa “Cuma” ini tiada satu dua kali kita berjumpa. Simpulan semacam ini boleh rubah bentuknya dan susun menjadi Syllogism biasa:
Misal : Simpulan Besar : Cuma kaum Nasrani yang balas jahat dengan baik “kalau orang
tampar pipi kirimu, kasihkanlah pipi kananmu”, kata Nabi
Yesus.
SK : cuma pembalasan jahat yang bisa bikin manusia berdamai. Dijadikan Syllogism biasa.
Akibat : cuma kaum Nasrani yang bisa bikin manusia berdamai. Dijadikan Syllogism biasa.
M C

SB : Semua orang yang membalas jahat dengan baik itu, ialah kaum Nasrani.
B M

SK : Semua manusia berdamai itu, ialah orang pembalas jahat dengan baik
B C

Akibat: Semua manusia berdamai itu ialah kaum Nasrani.
Formulanya.
S B : Semua M C
S K : Semua B M
A : Semua B C
Cuma lawan Cuma: “Cuma” yang diatas boleh dibalas dengan ”Cuma” pula.
S B : Cuma Negara Nasrani yang menjajah dan menimbulkan Perang Dunia.
S K : Cuma penjajahan dan perang dunia yang memusnahkan harta dan jiwa seluruh dunia.
Akibat : Cuma Negara Nasrani yang memusnahkan harta dan jiwa seluruh dunia (Nasrani, Kapitalist, Imperialist, ialah mesti dianggap sebagai Tiga Serangkai Pula).
Syllogism biasa:
M C

S B : Semua penjajahan dan Perang Dunia ditimbulkan oleh Negara Nasrani.
B

S K : Semua pemusnahan harta dan jiwa ditimbulkan oleh penjajahan dan perang dunia.
B

Akibat: Semua pemusnahan harta dan jiwa diseluruh dunia itu ditimbulkan oleh Negara Nasrani.
Formule dan Eulernya seperti diatas juga!
KETERANGAN:
Contoh diambil terutama sebagai bahan buat pelaksanaan saja.
Yang dimaksud dengan menjajah, ialah perbuatan Negara Barat, resminya beragama Nasrani dan berdasarkan kapitalis serta imperialistis dalam arti modern terhadap bangsa yang tinggal di Afrika, Asia, Australia, dan Amerika!
Jepang tak turut, tentu akan turut nasib satu jajahan, kalau ia kalah dan turut menjajah kalau menang.
Tapi yang dimaksudkan dengan Perang Dunia, ialah peperangan yang meliputi seluruh dunia dalam arti sebenarnya. Contoh yang tepat ialah, peperangan tahun 1914 – 1918 dan peperangan 1939 – 1945.
Pasal 9. SEBAB DAN AKIBAT DLL.
Mulanya akan dibicarakan sedikit “dll” itu Ariestoteles meninggalkan beberapa kata Logika sebagai pusaka yang sampai sekarang berurat berakar dalam science. Diantaranya ialah genus dan species; differentia dan accident. Perkara ini sedikit akan diraba karena penting buat membikin definisi genus dan species. Dalam kalimat “Manusia itu termasuk hewan”, maka hewan itu dinamai “genus” dan manusia itu dinamai “species”. Kalau genus itu kita terjemahkan bangsa, maka species itu boleh di terjemahkan jenis. Tetapi boleh juga genus itu kita terjemahkan jenis, dan dalam hal ini manusia itu diterjemahkan ragam atau macam. Pendeknya genus lebih luas daerahnya dari pada species, seperti rumah lebih luas daerahnya dari pada bilik, ialah bagian dari rumah; kaum dari golongan dsb. Yang genus itu pada satu perhubungan boleh jadi species menurut perhubungan lain. Sebab itu diatas tidak saya terjemahkan. Pentingnya menentukan daerah yang lebih luas itu sudah nyata, kalau kita ingat bagaimana kita membikin definisi. Pertama kita cari daerah yang lebih luas dari barang yang mau didefinisikan itu (Ingat juga gambaran Euler!) kemudian kita cari differentia, perbedaan.
Differentia, ialah sifat atau jumlah beberapa sifat itu termasuk pada satu benda, sifat atau jumlah sifat mana memisahkan benda itu dari benda lain yang sama klasnya dengan benda tadi.
Accident, kebetulan, ialah sifat atau jumlah sifat yang tiada berkenaan dengan namanya benda itu, ataupun dengan sifat terkhususnya dari benda itu. Yang menamai seseorang “tukang besi” umpamanya, ialah kepandaiannya mengerjakan barang besi. Kalau selainnya dari pada itu dia juga pandai memancing ikan atau bertukang kayu, maka hal dibelakang ini Cuma accident saja, sifat kebetulan saja buat dia sebagai yang umum namai tukang besi.

Bagian 1. SEBAB DAN AKIBAT.
Sebab dan Akibat, cause and effect, causality, oorzaak en gevolg. Ini memang bikin repot ahli filsafat kolot dan lebih-lebih ahli agama yang mau mencemarkan kaki pula pada Dunia Filsafat atau Ilmu Bukti. Science, jaman sekarang tiada bayak lagi memusingkan kepala seperti ahli filasfat kolot dan ahli agama itu.
Marilah sebentar kita takjub! Layangkan pikiran keratusan ribu tahun kebelakang. Perhatikanlah nenek dari nenek moyang kita yang tinggal di gua batu atau diatas pohon kayu. Pada satu hari ia patahkan dahan kayu dan pisahkan ranting dan daunnya.
Sekarang pekerjaan semacam itu kita sebut “dia membikin tongkat”. Dengan tongkat ini dia pukul kepala ular, menjangan atau monyet buat dimakan. Berkali-kali dia membuat tongkat dan membunuh binatang dengan tongkat itu, dari bapak turun keanak dan cucu.
Sesudah kerja dan makan, nenek kita itu sering kita juga melayangkan mata dan pikirannya ke horizon, cakrawala batas pemandangan dan kelangit. Ajaib semuanya! “Siapa yang bikin?” Inilah pertanyaan yang timbul padanya: Cocok dengan pekerjaan buat penghidupan sehari-hari dan barangkali juga sudah termasuk kedalam “bahasanya”, dia pikir, bahwa semuanya itu ada mempunyai “pangkal dan ujung” seperti tongkatnya. Berkepala dan berekor seperti ular makannya. Ada pikiran dan pembikinnya, seperti dia dan tongkatnya. Ada bersebab dan akibatnya: seperti ular mati karena pukulannya.
“Semua di Alam ini” katanya ada bersebab dan berakibat. “Yang bikin Alam ini, ialah pohon sagu” katanya, pada satu tempat dan pada satu tempo. “Yang bikin Alam ini Naga” katanya pada lain tempat dan lain tempo. Berlain-lain “pembikin” creator itu, ialah menurut keadaan perkakas dan pencahariannya. Tetapi semua “pemikir” diantara nenek moyang kita yakin, bahwa mesti ada yang bikin alam ini seperti dia “bikin” tongkat. Mesti ada asal, sebab, dari “semua” ini, seperti ular tadi mati sebab pukulannya.
Semua itu pasti “menurut pikirannya”. Sebab atau asal dari tongkat tadi, ialah dia sendiri. pasti yang menjadi sebab matinya ular tadi, ialah pukulannya. Pasti sebab dari alam ini ialah pokok sagu atau Naga.
Atas rel aliran pikiran semacam itu juga, sebetulnya selang belum berapa lama, cuma beberapa ribu tahun saja, sedangkan sejarah manusia sudah 500.000 tahun dan di Egypt lahir ahli filsafat, yang pikir, bahwa Dewa Ra bikin langit, udara, bintang, bumi, sungai Nil dan Sahara dibikin dengan satu perkataan saja: P t a h, lebih cepat dari nenek moyang kita membikin tongkat. Lebih besar Kodratnya “pembikin” baru ini dari pada nenek moyang kita dalam 500.000 tahun dikumpulkan jadi satu.
“Sebab dan akibat” itu tak bisa bercerai lagi semenjak zaman Ptah ini. sebab dan Akibat ini masuk theology, ilmu ketuhanan. Tuhanlah yang asal dari semua ini: Bintang dan Bumi, Air dan Udara, Manusia dan Hewan, lembu dan ular, Malaikat dan setan, Kapitalis dan Buruh, bajingan dan mangsanya.
Sebab itu mestinya punya sebab pula. Sifatnya sendiri dari causality (sebab dan akiba) itu ialah: Semua akibat (barang atau kejadian) itu mesti mempunyai sebab. Tetapi kalau ditanya kepada ahli ketuhanan tadi, siapa atau apa sebabnya Tuhan itu, dengan perkataan lain, siapa pembuat itu, maka jawabnya: “Tuhan sendiri”. jadi pada jawab ini semua filsafat yang berdasarkan “semua akibat itu mesti ada sebab” berhenti sama sekali. Disini sebab tak mempunyai sebab lagi. Disini dasar “akibat ber-sebab” tadi membatalkan dirinya sendiri.
Sebab itulah kita katakan diatas ahli-agama itu ”mencemarkan” kaki pada dunia kotor, zat nyata, ialah filsafat, science. Kepercayaan itu baiklah tinggal pada daerahnya saja, yakni kepercayaan. Kepercayaan itu adalah perkara masing-masing orang. Disini paksaan tidak berguna dan tak boleh dijalankan. Yang dipercaya itu tak perlu dibuktikan, diuji lagi. Itulah bedanya kepercayaan dengan Ilmu Bukti. Kepercayaan boleh dikatakan daerah pada perasaan “feeling” semata-mata. Dialektika dan Logika ialah perkakas otak, tak bisa dimasukkan pada daerah kepercayaan itu.
Kalau ada orang yang percaya pada Naga, Setan atau Tuhan, itu tanggungan masing-masing. Percaya itu tak perlu pula consequence dan consistent, yakni: Akibat mesti terus cocok dengan undang. Jadi kalau dijadikan dasar, bahwa semua akibat ada sebabnya, dasar ini mesti juga diteruskan dengan consequen, bahwa sebetulnya Tuhan, sebagai sebab terakhir itu tidak ada. Karena semua sebab mesti mempunyai sebab pula: jadi Tuhan itu mesti punya pembikinnya pula. Pendeknya barang yang terakhir itu tak ada, dalam “semua akibat mesti punya sebab”, pangkal.
Lagi! Ahli filsafat mentah, pada zaman nenek moyang kita itu tak bisa disalahkn benar, kalau dia pandang “pembikin” tongkat itu sebagai “sebab” dari tongkat semata-mata. Tongkat itu sebaliknya sebagai “akibat” semata-mata. Tetapi kalau sekejap mata saja kita layangkan Dialektika dimata kita, nyatalah sebab itu cuma sebab dipandang dari satu penjuru, jadi relative. Kalau dipandang dari penjuru lain, maka sebab tadi menjadi akibat. Kita mesti juga insyaf, bahwa tongkat yang dianggap akibat bikinan itu, sebetulnya juga sebab, ialah pembikin hidupnya nenek kita tadi. Dari penjuru penghidupan, maka tongkat perkakas tadi jadi sebab. Begitu juga nenek kita sebagai sebab matinya ular tadi, menjadi akibat kalau dipandang dari penjuru hidupnya. Ular mati itu jadi sebab hidupnya si nenek, ialah makanan si nenek. Demikianlah sebab dan akibat itu masing-masing sebagai terdiri sendirinya, tetap, pasti absolute, dalam Dialektika tak ada.
Akhirnya ahli filsafat mentah tadi menganggap nenek kita tadi sebagai sebab yang tunggal, tak berseluk-beluk, kena-mengena dengan yang lain, seperti menurut penganggapan Dialektika. Betul dahan kayu bertukar menjadi tongkat. Dalam hal ini si nenek mesti mempunyai kekuatan cukup buat mematahkan dahan tadi. Dan tak bisa dilupakan, bahwa masyarakat si-nenek mesti sudah sampai ketingkat membuat perkakas semacam itu. Ketiga, dahan kayu mesti ada. Kalau tidak tongkat juga tak bisa dibentuk, walaupun kedua syarat yang pertama ada. Jadi kalau si nenek pindah ke gurun pasir dan kutub utara, bagaimanapun juga si-nenek tak akan bisa bikin tongkat. Tentu banyak perkara lain yang “serta” menjadi sebab, antecedent namanya dalam hal ini ialah perkara yang mendahului akibat.
Science tentulah sudah insyaf akan hal diatas. Sebab atau cause itu tidak lagi diartikan dengan arti sempit seperti diartikan oleh ahli filsafat mentah atau ahli ketuhanan. Sebab itu sudah dianggap seperti salah satu dari beberapa sebab, seperti lebih dahulu sudah saya bilang sebagai alat adanya, sebagai condition saja.
Kita lihat saja satu “weather forescast”, pengarian hari. Disini perkataan mesti itu sudah tak ada lagi; diganti dengan mungkin (possible) dan boleh jadi (probably). Karena bukan satu perkara, antecedent yang berada disini, melainkan bermacam-macam, seperti: panas, tekanan-udara, angin, hujan dll. Ilmu hari, tak berani berkata, mesti hujan atau mesti panas. Beberapa perkara tadi masing-masingnya bisa jadi “sebab”. Pada satu macam susunan dari beberapa antecedent atau dari beberapa perkara tadi, hujan itu mesti jatuh. Pada susunan lain tak mungkin atau cuma boleh jadi jatuh. Apalagi political “forecast” pengiraan politik (bukan dimaksud nujum seperti nujum pa Belalang atau Joyoboyo), karena pengiraan diatas mesti berdasrakan ekonomi, masyarakat, dalam dan luar negeri, lebih susah dicari cause, sebab itu, lebih aman dipakai sebab dalam arti luas sekali, ialah condition alat adanya, salah satu alat saja.
Oleh ahli Logika Mill, antecedent yang mesti menerbitkan akibat itu dinamai cause, sebab: beberapa antecendet lain yang menyertai saja, dia namai conditions.
Tetapi menurut pikiran saya, arti terkhusus dari sebab ini jarang didapat pada dunia bukti ini. kalau saya hempitkan jari saya pada semut ini dan pada saat ini juga semut itu mati, maka jari saya, menurut Mill, dan lain-lain, betul sebab dari matinya semut tadi. Kalau saya tidak hempitkan jari saya, memang semut tak mati pada saat itu. Kecuali kalau memang si-semut sudah sakit dan kebutulan mati pada saat itu juga. Tetapi kalau sesudah saya hempitkan jari saya, saya kasih lepas semut tadi barang satu detik saja. Jadi sudah ada tempo antara pekerjaan saya yang buas tadi dengan matinya semut, mungkin satu atau beberapa antecedent, perkara lain mencampuri.
Begitulah ringkasnya kalau kita pandang dengan mata Dialektika, kalau sebab itu kita perhubungkan dengan tempo, kena-mengenanya, pertentangan dan gerakan barang, maka arti mentah dari sebab tadi melayang keudara ether, kosong, seperti Logika Mistika sendiri.
Begitulah science zaman kini berjaga-jaga, mengartikan dan melaknakan sebab itu. Tidak lagi sebab itu dianggap “barang terakhir” yang tak mempunyai sebab lagi. Tiadalah pula dianggap barang yang absolute, tungal sendirinya. Melainkan kena-mengena dengan akibat. Akhirnya tidak tunggal, melainkan disertai oleh sebab, yakni antecendent yang lain-lain.
Demikianlah sering science, tak jawab lagi pertayaan why? Apa sebab, melainkan how? Bagaimana? Karena apa sebab tadi terus-menerus menerbitkan “apa sebab” pula.
Dalam Ilmu Jiwa (Perkara pikiran, Kemauan dan Perasaan), maka sebab dan akibat itu juga diganti dengan “drive and mechanism”, penumpu (seperti gasoline atau listrik) dan mesinnya. Tetapi kedunya pun ada perlantunannya.
Cocok dengan pemandangan diatas, saya baca pada salah satu tempat science menetapkan maksudnya, sebab itu: buat mendapat pemandangan (peninjauan) pada sistem (susunan) yang diperiksa, baik dalam umumnya ataupun terkhususnya dengan memperingatkan persamaan dan perbedaan, atau undangnya beberapa Bukti dalam sistem tadi, supaya dengan begitu bulatnya susunan bukti tadi bisa dipahamkan dengan secara teratur, tersusun. Jadi cause itu cuma buat mengadakan pemandangan bulat saja; buat sementara saja. Seperti sudah dibicarakan pada Induction dahulu, buat menyusun beberapa bukti yang kacau-balau. Berkenaan dengan hukum, Law, maksdunya ialah satu general statement, pengumuman, penyusunan saja. Hukum ini bisa dipakai sebagai “working hypothesse”, pekerjaan periksa-memeriksa saja, kalau perlu boleh ditukar. Bukanlah maksudnya buat mencari “ultimate cause” sebab yang penghabisan atau “permanent cause”, sebab yang tetap.
Dengan arti inilah kita maknakan “sebab”, kalau kita uraikan pasal berikut.
Pasal 10. LIMA METODE PERALAMAN.
“Apa sebab maka bandanku terapung, kalau saya mandi”, beginilah kira-kira pertanyaan yang mendengung-dengung ditelinga Archimedes sebelum ia mendapatkan hukumnya. Sebab ialah karena badannya ditolak keatas oleh air.
Begitulah, dahulu cara “Induction” dari Bukti naik ke Hukum, kita laksanakan pada Ilmu Alam, dengan mengambil Archimedes sebagai contoh.
Memang Induction mencari sebab dari akibat. Archimedes mencari sebab dari akibat: badannya terapung dalam air”. Memang pula Ilmu Alam (Ilmu Kodrat, Ilmu Kimia) dengan jalan pengalaman (experiment) bisa jitu memperlihatkan perhubungan sebab dan akibat.
Mencari sebab – dengan arti luas ialah alat adanya – dilaukan oleh Ahli peralaman dengan 5 jalan: (1) Jalan persamaan, method of agreement, (2) Jalan Perbedaan, method of Difference, (3) Jalan sisa, Residue, (4) Jalan perubahan bersama, Concomitant variation, (5) Jalan paduan, Joint Method.
1. Jalan Persamaan.
Si Pemeriksa, si Pengalaman mau tahu umpamanya apa yang jadi sebab, ialah salah satu sebab, walaupun terpenting, dari adanya penyakit malaria.
Dia baca buku lama dan baru, tanya dokter dan dukun! Dia peroleh beberapa perkara (atecendet) yang mungkin jadi sebab. Kemudian semua perkara itu dia susun menurut jalan persamaan.
Bagaimanakah kedudukannya jalan persamaan itu?
Persamaan diantara beberapa bukti atau kejadian itulah yang barangkali menjadi sebab: dari beberapa bukti atau kejadian tadi.
Si Pemeriksa, menyususn beberapa bukti, yang diperolehnya tadi.
Pertama: Nyamuk Anopheles, teguran hantu, makan rujak, semuanya disangka berkumpul dan disangka menimbulkan demam (dingin-panas).
Mana yang menjadi sebab dari akibat, belum diketahui. Dia main formula: Nyamuk Anopheles itu dia pendekkan dengan huruf A dan akibatnya a (dia belum tahu, bahwa akibatnya itu demam). Teguran hantu dirimba atau ketika mandi hari panas itu H dan akibatnya h, makan rujak itu R dan akibatnya r.
Kedua: Nyamuk Anopheles, Angin Malam, melangkahi kubur orang keramat, semuanyaberkumpul pula menimbulkan demam (panas). Mana yan jadi sebab, belum diketahui. Dia bikin formula lagi: Nyamuk seperti pada barisan ke 1 juga terus bernama A dan akibatnya yang belum diketahui itu terus bernama a. Angin Malam, calon sebab yang baru dia namai M dan akibatnya m. melangkahi kuburan orang keramat itu, dinamai K dan akibatnya k. Dua barisan (1 dan 2) dari calon sebab tadi dan akibatnya dia diajarkan pada dua baris ditinjau:
Pertama : A H R akibatnya a h r: a itu ialah: demam, panas, dingin dan h r masing-masing
penyakit satu.
Kedua : A M K akibatnya a m k: a itu ialah demam, panas, dingin juga dan m k penyakit
Satu-satu
Pada dua jajar itu kita lihat akibat ialah demam selalu ada dan A diantara tiga antecedent, yakni para calon-sebab juga, selalu ada.
Sekarang dia periksa mulai dari akibat: demam panas (a) tak bisa disebabkan oleh H dan R, karena pada jajar kedua H/R tidak ada, tetapi akibatnya yakni demam itu sebaliknya ada. Juga M/K tidak bisa menerbitkan demam, karena pada jajar pertama M/K itu tidak ada, sedangkan sebaliknya demam-panas itu ada. Jadi nyatalah A yakni nyamuk Anopheles yang jadi sebab. Bukan H, hantu, R, rujak, M, angin malam atau K, yakni kuburan Sang Keramat. H/R dan M/K pada dua jajar itu boleh dibuang dengan tiada menggangu akibat.
Dalam peralaman, experiment, dimana si Pemeriksa ingin tahu akibat dari beberapa calon sebab, maka ia mulai dari sebab:
A pada jajar kesatu tidak bisa menimbulkan hr, karena pada jajar kedua A juga ada tetapi hr tak ada.
A pada jajar kedua tak bisa menimbulkan mk, karena jajar kesatu A juga da tetapi MK tak ada.
Jadi akibat dari A yang hadir pada dua jajar itu, mesti juga hadir pada dua jajar. Dia itu tak lain, malinkan a, yakni demam, dingin, panas. Ini gampang saja dari pemeriksaan science, buat memberi pemandangan sederhana saja.
Sesuatu pemeriksaan scientifik, tiadalah begitu gampang, kadang-kadang sebab itu kembar dengan sebab lain. Jadi akibatnya berpadu pula. Ingatlah satu perahu dihanyutkan arus, umapama dari barat ke timur kalau angin kuat bertiup dari utara keselatan maka perahu itu tak akan jatuh ditimur, melainkan diantara timur dan selatan, ditenggara umpamanya.
Dua sebab seperti Oxigen dan Hydrogen dalam kimia dahulu berpadu jadi barang ketiga yang berlainan sifat dari dan asalnya, bernama air. Selain dari sebab itu bisa kembar, boleh jadi dua sebab itu berlawanan. Kalau keduanya sama kuat seperti 2-2 = 0, maka mereka keduanya bungkam, berdiam diri saja, walaupun hadir.
Tiadalah sempat kita memeriksa semua hal tersebut diatas. Tetapi jalan mencari sebab dengan Jalan Persamaan seperti diatas itu boleh diiktisarkan: Calon sebab yang hadir pada semua jajar itulah yang sebabnya kejadian. Asingkanlah dia, yang hadir pada semua jajar itu. Dia itulah yang sebab, dimana si ,”Polan” ada, disana ada “akibat”. Kalau begitu si “Polan”lah yang menjadi “sebab” yang menjadi “biang” keladinya”.
2. Jalan Perbedaan.
Dimana si Polan tak ada disana tak ada pula akibat.
Ini kebalikan dari jalan persamaan. Menurut jalan persamaan tadi: dimana Anopheles ada, disana malaria ada. Tetapi menurut jalan perbedaan; dimana nyamuk Anopheles tak ada, disana pula demam, dingin, panas tak ada. Pada jalan persamaan kita susul saja si Polan (calon sebab) itu pada beberapa jajar dimana si Polan selalu hadir dan akibat selalu ada.
Pada jalan perbedaan kita bandingkan jajar yang berakibat dengan jajar lain, yang semuanya bersamaan dengan jajar pertama kecuali tak berakibat. Pada jalan persamaan si Polan yang dicurigai, jadi sebab itu sama pada dua (atau lebih 1) jajar, tetapi perkara yang lain H/R semua berlainan dengan M/K.
Pada jalan perbedaan kedua jajar bersamaan semua perkaranya kecuali pada satu jajar “si Polan” itu ada dan pada jajar keuda si Polan “minggat” tak ada:

Jajar ke-1 .................................................... A/H/R ahr.
Jajar ke-2 .................................................... H/R hr.
Si pemeriksa simpan saja dalam hatinya hal ini: Ketika Si Polan ada, akibatnya juga ada (seperti tuan Resersir pikir hal ini kalau “die vent” ada, maka selalu ada keributan). Coba saja periksa bagaimana jadinya, kalau dia tak ada. Kalau akibatnya tak ada pula, maka teranglah sudah, bahwa “die vent” si Polan itulah yang sebab.
Pemeriksaan: kalau akibat ke-1 dari AHR itu ahr dan
ke- 2 akibat dari HR itu hr sudahlah ternyata bahwa akibat dari A itu
ialah a.
Dimana A itu ada, akibatnya juga ada, ialah a (jajar ke-1) Dimana A tak ada disana, akibatnya a pun tak ada (Jajar ke-2).
Teranglah A yang jadi sebab.
Kalau nyamuk Anopheles, Hantu dan Rujak ada, maka akibatnya, ialah: deman, panas, ada. Tetapi jika Sang Nyamuk tak ada walaupun Hantu dan Rujak keduanya ada, demam panas tak ada. Tentulah Sang Nyamuk biang keladinya. Jadi A tak boleh dibuang, kalau dibuang akibatnya juga hilang. Boleh juga kita mulai dari belakang.
Ke 1 kita susun akibat, yakni ahr, disebabkan AHR.
Ke 2 akibat, hr, saja.
Kalau dalam hal kedua ini antecedentnya calon sebabnya ialah HR, maka kita tahu, bahwa a pada jajar ke-1 itu dilahirkan oleh A, tidak oleh HR. Kalau kita tahu bahwa hr, umpamanya pusing kepal dan sakit perut itu diterbitkan oleh mandi hari panas (ditegur Hantu) dan makan rujak, maka yakinlah kita bahwa a, yakni demam panas disebabkan oleh A, Anopheles (nyamuk).
3. Jalan Sisa (Residu).
Jalan ini ada juga berhubungan dengan jalan diatas. Pada jalan ini kita cari sebab pada sisa, yaitu sisa dari semua sebab yang sudah kita ketahui. Umpamanya: ABC selalu diikuti oleh akibat abc.
Pada Induction, pemeriksaan dahulu seudah kita ketahui bawah, akibat dari A ialah a, dari B ialah b. Sekrang kita kurangkan semua akibat dari abc dengan jumlah bc: kita peroleh sisanya:
a. Kita tahu, bahwa akibat a ini mesti disebabkan oleh A. Aturan bekerjanya pada jalan ini ialah:
Kurangkanlah semua sebab dengan jumlah-sebab yang sudah diketahui. Sisa dari pengurangan itulah yang jadi sebab dari sisa akibat.
Contoh yang populer:
Seorang mendapat demam, dingin, panas dari buku bacaan seorang dokter dan dukun. Dia kumpulkan semua calon sebab: nyamuk Anopheles, teguran Hantu dan makan Rujak, mandi dihari panas, ABC akibat abc.
Dia tahu, bahwa akibat dari teguran Hantu B, cuma pusing kepala, b, dari makan rujak C, cuma sakit perut c. Jumlah sebab BC dan jumlah akibat ialah bc. Tinggal lagi akibat abc – bc = a. Dengan yakin dia putuskan, bahwa sakit demam, dingin-panas mesti dia peroleh dari nyamuk Anopheles (A). Jalan ini daam Ilmu Bintang banyak pakai dan banyak pula hasilnya.
Contoh:
Saat bintang peredarannya tentulah dibentuk oleh beberapa bintang yang lain. Sudah diketahui beberapa bintang lain yang membentuk jalan peredarannya, umpamannya bintang ABC akibat abc. Tetapi masih ada akibat, x, misalnya yang belum diketahui bintang yang membentuk akibat x itu. Si Ahli bintang main hitung dan main teropong. Kemudian dia dapati bintang itu, x umpamanya.
4. Jalan Perubahan Bersama (Concomitant variations).
Sekarang kita berjumpakan “panas” ialah sebentuk kodrat yang menjadi barang pemeriksaan kita. Sepeti dahulu sudah dikatakan, kodrat itu tidak bisa dipisahkan dengan benda. Si Mistikus boleh dengan lancang, memang lidah tidak bertulang, bisa menceraikan jasmani dengan rohani itu. Tetapi scientist dalam laboratorium tak bisa memikirkan, apalgi menjalankan perceraian kodrat dengan benda.
Kalau kita jajarkan beberapa contoh, yang bersamaan cuma dalam hal panas saja (A), dan semua hal lainnya, berbeda satu-persatu, maka kita bisa pakai jalan Persamaan. Disini panas sebagai sebab atau akibat bisa ditangkap dan diasingkan. Tetapi selainnya dari perkara panas semua contoh itu juga bersamaan dalam hal badan. Semua contoh itu punya badan. Tak ada barang yang mempunyai panas dan tak punya badan. Jadi jalan persaaam tak bisa dipakai.
Kalau kita bisa jajarkan beberapa contoh pula, yang satu jajar mempunyai panas (A), jajar yang lain tiada mempunyai panas (A) itu, maka kita boleh pakai jalan perbedaan. Kalau pada jajar tak-ber-A itu, tak punya panas itu, akibat juga lenyap, maka nyatalah bahwa panas (a) itulah yang menjadi sebab. Tetapi keberatan diatas kita juga jumpai disini. Kita gampang susun pada satu jajar, beberapa benda yang sama-sama punya panas (A), tetapi mustahil mendapatkan benda pada jajar kedua yang tak-ber-panas.
Pun jalan perbedaan juga tak bisa dipakai. Kalau kita bisa kurangkan jumlah semua sebab dengan jumlah sebab yang sudah diperalamkan ABC-BC = A dan sisanya cuma satu (A) ialah panas, maka kita bisa pakai jalan sisa. Kita tahu bahwa A, panas itulah yang menjadi sebabnya akibat (a). Tetapi sisanya tiada saja A (panas) tetapi juga badan, ialah badan yang perlu buat mengandung panas. Jadi kita tak bisa tahu, apakah panas ataukah badan yang menerbitkan akibat. Jadi jalan sisa-pun tak bisa dipakai. Untunglah ada lagi satu jalan. Walaupun calon sebab itu (disini panas) tak bisa sama sekali kita ceraikan dari bendanya, kita bisa ubah calon sebab itu dengan tidak melenyapkan (panas) itu sama sekali. Kalau perubahan sebab itu (A) mesti diikuti pula oleh perubahan (modification) dari akibat (a), maka kita tahu, bahwa calon sebab (A) itulah yang sebab sebetulnya. Jadi kita turun-naikkan (quantity, banyak) panas itu. Turun-naiknya itu menyebabkan turun-naiknya akibat pula.
Penunjuk jalan, bekerja, menurut Jalan Perubahan Bersama ini: Apabila perubahan satu bukti atau kejadian diikuti oleh perubahan bukti atau kejadian lain, maka bukti atau kejadian itulah yang menjadi sebab atau akibat dari bukti atau kejadian lain itu.
Galilea dan Ahli Bintang tadi mesti lari pada jalan perubahan tergantung disebabkan tarikan bumi, seperti buaian pendulum (gandulan) jam, galilea berjumpakan pengaruh gunung. Gunung ini seperti panas tak bisa dilenyapkan. Ahli Bintang yang memeriksa “pasang naik dan pasang turun” berjumpakan pengaruh bulan. Bulan pun tak bisa dilenyapkan dari pengalaman (experiment).
Galiliea dan Ahli Bintang tadi mesti lari pada jalan perubahan bersama. Tetapi contoh dari jalan keempat ini, akan diberikan bersama dengan jalan terakhir yang akandiuraikan dibelakang ini. jadi seperti membuka pundi, dua tiga hutang langsai. Sekali merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.
5. Jalan Campur Aduk (Joint method).
Jarang sekali Alam kita ini memberi contoh, dimana si Pemeriksa cocok dan gampang memakai Jalan Persamaan saja atau Jalan Perbedaan saja. Biasanya hukum atau sebab yang dicari itu tersembunyi dalam atau terikat oleh beberapa perkara yang bisa jadi sebab atau hukum. Dalam hal ini si Pemeriksa lari berlindung pada Jalan Campur aduk. Biasanya jalan itu diterjemahkan dengan campuran Jalan Persamaan dan Jalan Perbedaan. Tetapi percampuran yang gampang inipun tak mudah didapat. Sering percampuran itu ditambah dengan jalan lain, dengan jalan Perubahan bersama, umpamanya:
Sebagai perkara terakhir dari uraian cara bagaimana seorang scientist bekerja, mencari hakekat berupa sebab atau hukum, sebagi perkara terakhir itu, kita ambil contoh dibawah ini: Contoh itu diambil oleh J. S Mill dari pemeriksaan Dr. Brown Seguard. Contoh itu akan susah dimengerti kalau disalin begitu saja. Sebab itu saya akan ambil maknanya saja. Kalau perlu ditambah sama-sini. Sudah tentu contoh ini cuma salah satu dari contoh scientist bekerja.
Seorang Mistikus tak perlu menghirauakn bukti, benar atau banyaknya bukti yang mau diperiksa. Tak perlu memperamati atau memperalami buktinya itu. Tak perlu memperdulikan perhubungan sebab dan akibat. Tak perlu ia memperdulikan apakah simpulan yang diperolehnya itu benar buat semua tempo atau tempat. Apalagi jalan mencari undang atau sebab itu. Ini semua perkara diluar perhatian dan maksudnya hal gaib tadi. Kalau impiannya bisa melayang kesemua penjuru Alam melalui semua Bintang dan awang-awang, atmosphere, stratosphere dan sebagainya melalui dunia fana dan baka, surga dan neraka, kalau perut kosong mata tak tidur beberapa hari, pikiran memang bisa melayang lebih cepat dari flying fortress dan bisa pula berjumpa dengan yang digambar dalam otak: malakat atau bidadari yang bermata seperti burung merpati; kalau “teori” berupa kepercayaan baru yang didapatnya menyelimuti semua kegelapan zamannya, memberi pengharapan dan menghilangkan ketakutan manusia dalam masyarakatnya; kalau seterusnya lidahnya cukup liat seperti karet dan urat leher ditangannya kuat seperti baja: terutama kalau dalam pertempuran mulut dan tangan dia bisa kuat “menang”, maka kepercayaan dia tadi jadi kepercayaan umum.
Dia bisa dianggap sumber kekuatan dan bisa dianggap Nabi atau Tuhan sendiri. Tetapi si Scientist tak bisa menetapkan tinggal namanya dalam sejarah manusia dengan kalah atau menang berperang mulut atau jiwa saja.
Kalau “simpulan akibat” yang diperolehnya dengan jalan scientific tak bisa dilaksanakan, diperalamkan disemua tempat dan tempo, gagallah teori atau hukum yang diperolehnya. Sebagai pemeriksa atau perintis jalan dia bisa terus dihargai, tetapi hasil pemeriksaannya tak akan diangap sebagai sumber hakekat, tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas (seperti adat asli Minangkabau). Akhirnya “hakekat” yang diperoleh scientist, bukanlah hakekat yang mesti diterjemahkan dengan pasti atau dilaksanakan dengan tepat dan tak putus-putusnya. Satu kali saja berjumpa kegagalannya, semua hakekat itu mesti dicurigai, buat dibentuk baru atau dibuang sama sekali.
Barang siapa tiada menganggap simpulan science itu sebagi “working hypothesis”, teori buat dilaksanakan, dipakai dan kalau perlu dilemparkan, maka jatuhlah ia pada dunia dogma, dunia kepercayaan semata-mata.
Kembali pada Dr. Brown-Seguard, sebagi salah satu contoh pemakai jalan Campur Aduk.

Pasal 11. UNDANG Dr BROWN-SEGUARD
Lebih tinggi goncangannya (gemetarnya) urat (hewan atau manusia) ketika mati, lebih lambat urat itu tegng dan lebih lama ketegangan itu dan lebih lambat urat itu jadi busuk. Dengan perkataan lain: keras kendurnya goncangan urat selalu diikuti oleh cepat-lambatnya ketagangan urat. Hukum inilah yang dia mau uji dengan peralaman dan Jalan Logika.
Ke-1. Dia potong satu (urat) sarafnya satu hewan, pada kaki kiri. Ini kaki jadi lumpuh. Kaki kanan tinggal sehat. Kedua kaki pada satu binatang tadi semua bersamaan, kecuali kirinya lumpuh dan kanannya sehat. Hewan tadi segera dibunuh. Sedang mati kelihatan goncangan uratnya kaki lumpuh lebh cepat dari kaki sehat. Jadi perbedaan itu dalam hal goncangan dan tegang urat itu terdapat pada lumpuh dan sehat (Jalan Perbedaan).
Dia peralamkan dua, tiga sampai empat kali. Dia takut kalau ada perbedaan lain dari lumpuh dan sehat saja. Sebab itu dia ambil bermacam-macam hewan, tetapi hasilnya sama. Sekarang hewan tidak segera dibunuh sesudah dilumpuhkan. Sebulan sesudah itu, sekarang goncang dari urat kaki lumpuh tadi berhenti. Akibat juga berlainan dengan pembunuhan, pada saat hewan dilumpuhkan; sekarang ketegangan urat lebih keras datang dan kurang lama. perbedaan pada dua pembunuhan itu cuma satu, ialah: Perbedaan kerasnya goncangan urat.
Pada pembatasan pertama, goncangan urat keras dan ketegangan sesudah mati lebih lambat datang dan lebih lama. pada pembunuhan kedua sesudah satu bulan goncangan urat sudah kendor, ketegangan sesudah mati lebih lekas datang dan kurang lama. Perbedaan pembunuhan pertama dengan yang kedua cuma satu: Pada pembunuhan pertama goncangan urat keras, sebab lekas dibunuh sesudah dilumpuhkan. Pada pembunuhan kedua goncangan urat, kendor, sebab dibunuh hasbi satu blan. Perbedaan sebab cuma pada keras-kendornya goncangan urat.
Perbedaan ini mendapat perbedan lama lekasnya datang, akibat ketegangan (disini juga dipakai Jalan Perbedaan).
Calon - sebab : A/B/C akibat abc.
Calon – sebab : B/C akibat bc.
Jadi sebab : A berakibat a.
Bahwa goncangan urat itu disebabkan kematian, dengan Jalan Perbedaan juga sudah lama diketahui. Goncangan urat itu berbeda pada binatang hidup dan mati. Tetapi lekas-lambat datangnya ketegangan tiadalah bergantung pada kematian, melainkan pada keras-kendornya goncangan (gemetarnya) urat sesudah mati.
Sebetulnya perbedaan keras-kendornya goncangan urat itu pada dua peralaman tadi sudah mengandung Jalan-Perubahan-Bersama. Disini ktia tiada berjumpakan goncangan keras dari urat dan goncangan berhenti (hilang) saja, melainkan perubahan keras bergoncang saja. Kalau goncangan sama sekali hilang, barulah boleh dinamakan semata-mata Jalan Perbedaan.
Ke-2. Lebih rendah (dingin) hawa urat ketika mati, lebih keras goncangannya urat. Berhubung dengan ini lebih lama pula datangnya ketegangan. Jadi hawa panas atau dingin dirubah. Juga disini sebetulnya dipakai Jalan-Perubahan-Bersama.
Ke-3. Makin lama gerak badan (sport) dijalankan lebih kendor goncangan (gemetar) urat. Mangsa pemburuan, kalau di bunuh sebelum berhenti lelah, uratnya tegang dan busuk lekas sekali. Jago mati dalam kalangan begitu juga. Sama dengan itu juga, nasibnya serdadu mati dimedan peperagang. (Disini dipakai Jalan-Perbedaan). Perbedaan diantara sebab cuma perbedaan cape yakni payah dan tak lelah.
Ke-4. Makanan baik memperkeras goncangan urat. Seseorang sehat mati dengan diperkosa, uratnya bergoncang keras dan lama, ketegangan urat lambat datangnya. Begitu juga lama baru busuk. (Kita mendapat akibat sebaliknya, kalau makan dikurangkan). Tidak satu bukti saja pada masing-masing peralaman diatas ini, yang diperiksa, melainkan beberapa bukti, berhubungan dengan makanan baik dan makanan buruk itu. (Lihat formula saya dimuka ....).
Disini sebetulnya kita sudah berjumpa dengan Jalan-Campur-Aduk antara Jalan-Persamaan dan Perbedaan, malah juga dengan Jalan-Perubahan-Bersama. Pada satu jajar kita dapati beberapa bukti yang bersamaan dalam satu hal, ialah beberapa ketegangan urat lama itu, semuanya disebabkan makanan baik. (Jalan-Persamaan). Pada jajar kedua kita dapati begitu juga: Beberapa ketegangan yang lekas datang dan perginya itu, disebabkan oleh satu persamaan pula: makanan buruk (Jalan Persamaan). Tetapi pada jajaran pertama kita dapati makanan baik dan pada jajar kedua kita dapati makanan buruk. Jadi calon-sebab ada pada jajar pertama dan tak ada pada jajar kedua (Jalan-Perbedaan). Sebetulnya juga ada pada jajar pertama, tetapi berubah pada jajar kedua( Jalan-Perubahan-Bersama).
Ke-5. Gemetar urat seluruh badan, seperti sport yang menghabiskan tenaga, juga mengendorkan goncangan urat. Uratnya tegang dan busuk lekas sekali. Gemetar urat seluruh badan yang membawa kekubur itu disebabkan oleh bermacam-macam perkara: satu jenis Kolera, satu jenis racun, dsb (Jalan-Persamaan).
Ke-6. mati karena petus. Ini perkara lebih sulit dan mesti diperiksa lebih dalam. Pada satu jenis mati ditembak putus “ketegangan urat” atau sama sekali tak ada atau begitu cepat sehingga tak kelihatan. Dalam hal ini urat lekas busuk. Pada jenis lain, mati ditembak petus juga, akibat seperti biasa: ada ketegangan urat itu. Apa perbedan petus dan petus itu?
Pada jenis pertama, kematian tadi mungkin langsung disebabkan: ketakutan: terbang darah disekeliling otak atau dalam rabu, gempa otak, dsb (hersenschudding). Tetapi tak ada di antar calon sebab ini (terbang darah, dsb) yang bisa perhentikan ketegangan urat seperti hal pertama ditas.
Pada jenis kedua, kematian tadi boleh jadi langsungnya disebabkan: gemetar (convulsion) tiap-tiap urat badan.
Akibat dari gemetar tiap-tiap urat ini, ialah: sama sekali berhentinya goncangan urat itu dengan segera. Begitu cepat perhentian itu sampai tak bisa dilihat. Kalau ketegangan itu seperti biasa, maka mati ditembak petus itu berlainan dengan hal dibelakang ini, artinya bisa dilihat.
Ujian? Hal ini tentu tak bisa diperalamkan! Tuan dokter tak boleh ambil orang dan dibiarkan ditembak petus. Dia bisa ambil hewan dan tunggu petus. Tetapi berapa lama? Boleh jadi pula tali binatang tadi saja yang kena, dan bintangnya bisa lari. Tuan dokter ambil hewan lain dari orang, dan petus yang lain jenis, ialah listrik.
Binatang dibunuh oleh Listrik: ketegangan uratnya singkat dan busuknya lekas datang. Lebih hebat listriknya, lebih singkat ketagangan dan lebih cepat kebusukan. Listrik sehebat-hebatnya, goncangan urat pada saat saja diperhentikan, cuma lebih kurang 15 menit.
Jadi disini, ialah listrik diturun-naikkan, dirubah dan akibat juga turun-naik, berubah. Kalau tabrakan listrik maha-hebat, seperti petus, maka ketegangan itu juga dicepatkan dengan angka perbandingan, sampai hilang atau tak kelihatan sama sekali. (Nyatalah disini cuma Jalan-Perubahan-Bersama yang bsia dijalankan!). Begitulah dengan peralaman ke-6, peralaman listrik ini, diuji undang Dr. Brown Seguard tadi, yang menunjukkan perhubungan sebab dan akibat antara keras-kendornya “goncangan urat” dan “cepat-lambatnya ketegangan urat”.
Dr. BROWN me-ikhtiarkan.
Pertama: Apabila tingkat “goncangan urat” itu tinggi, pada saat mati ditimbulkan dalam keadaan: (a) makanan baik; orang mati terperkosa dalam sehat; (b) berhenti, goncangan urat karena kelumpuhan; (c) kena pengaruh kedinginan. Maka dalam semua hal ini (a, b, c) ketegangan urat, datangnya “lambat” dan lama tegangan itu; urat itu lama baru busuk dan perlahan busuknya (lawan diatas).
Kedua: Apabila tingkat “goncangan urat” itu rendah, pada saat mati, ditimbulkan dalam keadaan: (a) makanan buruk; (b) lelah sampai kehabisan nafas; (c) gemetar urat seluruh badan disebabkan racun atau penyakit kolera, maka dalam semua hal ini (a,b,c) ketegangan urat itu datangnya “cepat” dan perginya cepat pula dan kebusukan urat itu cepat pula datangnya dan perginya.
Pada contoh pertama dan kedua ini dipakai Jalan-Campur-Aduk dari Jalan-Persamaan dan Perbedaan. Pada jajar pertama kelihatan persamaan akibat, ialah “lambat” datang dan berhentinya ketegangan urat, walaupun dalam keadaan berlain-lain (a, b dan c). Persamaan akibat itu didapat pula pada calon-sebab yang sama, ialah keras goncangannya urat pada saat mati, walaupun dalam keadaan berlainan pula. Jadi pada jajar kedua ini terpakai Jalan-Persamaan juga. Tetapi kalau jajar dibandingkan dengan jajar, maka nyatalah bahwa Jalan-Perbedaan yang dipakai. Pada jajar pertama kita jumpai goncangan urat yang cepat bagai persamaan-calon-sebab. Sedangkan pada jajar kedua calon-sebab yakni goncangan cepat itu tak ada.
Sebetulnya bukan tak ada sama sekali, berbeda sama sekali seperti hidup dan mati, melainkan berubah tingkatnya. Pada jajar pertama kita peroleh “goncangan cepat”, sedangkan pada jajar kedua kita ketemukan “goncangan kendor”. Disini sebetulnya dipakai Jalan-Perubahan-Bersama.
Sudah diperlihatkan pada lain tempat oleh para Pemeriksa, bahwa “goncangan urat’ itu sebabkan oleh kematian. Ini ditunjukkan dengan Jalan-Perbedaan mati dan hidup. Dan mati itulah pula sebab asli dari “ketegangan urat” dan seterusnya “kebusukan urat”. Tetapi bukan sebab asli itu yang menjadi pangkal dan ujung peralaman Dr. Brown. Yang dinyatakan oleh peralaman ini, ialah: Keras kendornya gonacangan urat itu selalu diikuti oleh cepat lambatnya ketegangan urat. Walau “sebab” yakni “keras kendornya” itu dalam berjenis “keadaan mati” (a, b, c) sebab tadi selalu diikuti oleh akibat, yakni cepat, lambatnya ketegangan urat.
Memang susah memahami semua peralaman, ikhtisar dan Logika yang dipakai oleh Dr. Brown. Satu kata saja yang dipakainya akan lupa, atau kurang jelas, maka lumpuhlah usaha kita. Semua kata mesti dipahami dan diulang membaca, lebih-lebih oleh kita yang bukan dokter. Marilah saya coba formulakan ikhtisar Dr. Brown. Mudah-mudahan bisa menambah kejelasan:
Pertama : Sebab, goncangan urat itu keras (dalam bemacam-macam keadaan); akibat ketegangan urat lambat.
Kedua : Sebab goncangan urat itu kendor (dalam bermacam-macam keadaan); akibat ketagangan urat cepat.
Persamaan goncangan urat keras pada jajar pretama, kita pendekkan (A) dan akibat persamaan ialah (a).
Persamaan goncangan urat kendor pada jajar kedua, kita pendekkan (X) dan akibat persamaan ialah (x).
BC, DE, FG, pada jajar kiri menujukkan berlain-lain keadaan (A).
LM, NO, FQ, pada jajar kanan menunjukan berlain-lain keadaan (X).
Pedeknya:
Sebab : ABC akibat abc. Sebab : XLM akibat xlm.
Sebab : ADE akibat ade. Sebab : XNO akibat xno.
Sebab : AFG akibat afg Sebab : XPQ akibat xpq
dll dll
Jajar kiri bersamaan. Sebab A dan bersamaan akibat a (Jalan Persamaan).
Jajar kanan bersamaan. Sebab X dan bersamaan akibat x (Jalan Persamaan).
Sebab pada jajar kiri (A) hilang pada jajar kanan (disini X yang sebab) (Jalan Perbedaan). Sebetulnya sebab itu tiada hilang, melainkan berubah banyaknya (quantitave). Sebetulnya juga dipakai Jalan-Perubahan-Bersama. Jadi adalah tiga jalan, campur-aduk dipakai pada pemeriksaan yang sulit ini ialah: Jalan-Persamaan, pada masing-masing jajar dan Jalan-Perbedaan serta Jalan-Perubahan-Bersama pada kedua jajar itu.
Penunjuk jalan dalam pemeriksaan menurut Jalan-Perubahan-Bersama ini: Kalau diantara dua jajar bukti peralaman, pada satu jajar selalu ada persamaan (calon-sebab), sedangkan pada jajar lain selalu tak ada persamaan, maka calon-sebab pada jajar pertama itulah yang menjadi sebab dan akibat atau kalau ada pula persamaan tetapi berlainan tingkatnya dari jajar pertama, maka perbedaan (ada dan tak ada) itulah yang jadi sebab dan akibat.

Pasal 12. LIMA KESILAPAN.
Sudah begitu sempit dan sukarnya jalannya seorang Scientist, Ahli Bukit mencari sebab atau hukum, karena disempitkan oleh batasan Dialektika. Kesempitan itu diberatkan pula oleh ranjau dan kawat berduri yang diadakan oleh kesilapan bermacam-macam. Kesilapan itu dalam Logika bukanlah dimaksudkan kesilapan disebabkan mengantuk, lapar atau terharu pikiran dsb, melainakn kesilapan sebab lupa atau salah memakai beberapa cara Logika walaupun tiada jarang, perut kenyang (tak berlaku) dan pikiran tenang.
Kita peringatkan sekali lagi pekerjaannya seorang scientist: (Induction) ke-1 mengumpulkan Bukti, ke-2 mencari undang atau sebab, ke-3 melaksanakan hukum tadi (Deduction).
Pada ketiga perkara inilah pula dia bisa mendapat kesilapan. Kesilapan ketika mengumpulkan bukti, boleh jadi:
Ke-1. sebab paham dianggap bukti, ke-2 salah atau lupa mencermati sesuatu bukti, ke-3 kesilapan disebabkan salah menyusun bukti buat hukum, ke-4 kesalahan melaksanakan, ke-5 silap karena keliru.
Satu persatunya akan dibicarakan dengan pendek sekali.

Bagian ke-1. PAHAM DIJADIKAN BUKTI.
Paham dijadikan bukti, disebutkan dalam buku Logika juga salah a priori. Saya namakan kesilapan ini mystification. Atau Ide itu dianggap sama dengan bukti, dengan barang yang nyata yang boleh dipancainderakan. Semua ahli mistikus, seperti ahli filsafatnya, dipancainderakan. Semua ahli mistikus, seperti ahli filsafatnya.
Dewa R a, Mystikus Hindu, Ahli Filsafat Descartes, Hegel, Ahli Hantu dan Setan masuk golongan ini.
Apa yang bisa digambarkan oleh otak itu dengan terang, mesti satu bukti, mesti ada, kata Descastes: Gambaran geometry terang diotak, dan mestinya Tuhan itu ada. Jadi kalau diturutkan Logikanya Descartes, kita mesti juga bilang: Gambaran Naga, Hantu, atau Setan itu bisa terang diotak. Sebab itu semuanya ada. Emas tulen sebesar gunung Himalaya juga terang bisa digambarkan diotak. Jadi gunung Himalaya dari emas semuanya itu mesti ada.
Umpamanya lain: Dibentuk dengan Syllogism. Semua yang bisa digambarkan dalam otak itu benar mesti ada. Bumi diujung tanduk kerbau itu bisa digambarkan dalam otak. Jadi bumi di ujung tanduk kerbau itu benar ada.
Saya ingat satu cerita, saya dengar disurau (langgar) semasa kecil, demikian bunyinya: Seorang Alim (Mistikus) mengajarkan kodratnya rohani itu. Apa yang diyakinkan itu mesti ada. Murid membawa sebutir kelapa dan minta supaya guru, mengadakan ikan dalam kelapa itu. Guru membaca doanya: Ada air ada ikan, ada air ada ikan, beratus kali. Kemudian sesudah keyakinan ini sampai kepuncak, si Guru menyuruh belah kelapa tadi. Nah Betul ada ikan .......kata “cerita”.
Kepercayaan ini tentu boleh ditambah berlusin-lusin. Rakyat Indonesia boleh ketinggalan dalam hal Ilmu Bukti; membikin kapal apapun dan meriam apapun dengan jenis doa
”ada air ada ikan” tadi ,tanggung tak akan kalah.
Hegel, umpamanya, hidup di negeri Jerman pada abad ke-19, ada berbatas sekali kesanggupannya, dalam menyamakan Ide dan Reality, paham dan benda itu. Tetapi Rakyat Indonesia tak mengetahui batas dalam hal ini. Pendeknya masih dalam kebanyakan percaya pada kemanjuran doa-mendoa, begitu saja dengan tak ada batasnya. Kalau kalah, barangkali oleh Rakyat Hindustan saja!
Salah satu sebab maka keduanya Hindustan dan Indonesia bisa ditaklukkan oleh Negara sepuluh kali lebih kecil. Penganggapan Rakyat Indonesia dan gurunya Hindustan terhadap bukti, juga sekurangnya sepuluh kali lebih gelap dari bangsa Barat sekarng. Tetapi pada waktu Scholastisme bersimaharajalela di Barat men-da’a “ada air ada ikan” itu, juga dianggap manjur sekali. Agama diantara lain-lainnya mengajarkan bahwa semua bintang itu melekat pada langit yang padat, seperti lampu melekat, terikat pada loteng. Kepercayaan tadi menjadi anggapan bukti. Itulah maka berpuluh tahun teori Copernicus dibantah keras. Sebab teori Copernicus, semua bintang itu ada diawang-awang satu menarik yang lain menurut kodrat yang bisa dihitung, tidaklah melekat pada langit.
Bruno dibakar oleh gereja Katholik, berhubung dengan hal persoalan bukti dan paham juga. Kalau Galilea dan Copernicus tak cerdik, main akal kancil dan hal ini, kepada Dewa Ilmu Bukti inipun pasti akan masuk api pula. Sesudah Bruno, Copernicus, Galilea dan Bacon, maka sesuatu paham itu, walaupun dianggap sakti oleh gereja itu, tetapi oleh Ilmu Bukti tiadalah diterima “benar” begitu saja sebagai “bukti”, sebelumnya diuji dengan Logika dan perkakas Ilmu Bukti.

Bagian ke-2 SALAH ATAU LUPA MEMPERAMATI SUATU BUKTI.
“Salah” mengamati suatu bukti, adalah umum sekali. Dengarlah kabar dari beberapa orang yang sama melihat satu hal yang mendahsyatkan: satu kebarakan atau satu perkelahian, misalnya. Yang diceritakan sebetulnya bukan yang dilihat oleh mata dan dindengar oleh telinga, melainkan simpulan dari satu aliran pikiran masing-masing (inference). Susah sekali mendapatkan keterangan yang sama dari beberapa saksi, yang sama-sama melihat dan mendengar sesuatu kejadian.
Bukanlah yang dimaksudkan disini ketarangan dari saksi atau pesakitan yang sengaja memutar-mutar, melainkan bukti yang berputar-putar, berlain-lain, disebabkan salah mengamati. Hakim yang cerdik atau advokat yang bijaksana juga selalu tanyakan, apakah bukti atau kejadian itu dilihatnya dengan matanya sendiri atau didengar dari orang lain atau cuma menurut persangkaan saja. Biasa sekali persangkaan itu timbul, karena berhubung dengan keperluan atau pengharapan seseorang. Karena pengharapan itu memang keras, maka mata dan telinga itu seolah-olah mengitkuti pengharapan yang keras itu saja, “Pengharapan itu, ialah bapak berpikir” kata pepatah Eropa.
Sebaliknya walau beberapa kejaian sudah berlaku, kejadian itu dilupakan saja, kalau memang pengharapan itu keras sekali dan kejadian yang berlaku itu tiada membenarkan kepercayaan tadi. Beberapa banyaknya orang Kristen yang ceritakan kepada saya ketika Perang 1914-1918, bahwa millieunisten, negara (surga) 1000 tahun akan datang, karena menurut apocalypse, firman dalam Kitab Injil, Surga yang kekal, dimaksudkan dengan 1000 tahun itu mesti didahulukan oleh peperangan yang maha hebat. Pada peperangan inipun – 1939 – sudah cukup saya dengar cerita semacam ini dari pihak Kristen juga. Jutaan Kristen Orthodok yang percya sama tulisan dan isinya Kitab Injil itu, tentu lupa bahwa perang 1914-1918 membatalkan “nujum” tadi.
Jutaan Kristen Orthodok lupakan pada, bahwa sudah berlusin-lusin perang dari semenjak nujum tadi timbul, membatalkan nujum itu. Dan kalau perang inipun lalu, dan perang lebih hebat lagi akan timbul pula, percayalah tuan, bahwa masih jutaan Kristen Orthodok yang percya akan datangnya Surga Kekal itu, dan melupakan 13 atau lebih peperagan yang sudah membatalkan. Di dusun Tanjung Ampalu, dusun kecil saja dekat Sawah Lunto, dua kali saya ketika masih kanak-kanak menghadiri sembayang di mesjid; sembayang luar biasa. Pada pertama kalinya sebab keganjilan alam yang dilihat ialah pohon pisang yang mempunyai dua jantung. Yang kedua kalinya pohon pisang juga atau lain pohon yang ganjil sekali. Tanda lain-lain, kaum Muslimin mengira bahwa “dunia akan kiamat”. Berapa kali dunia akan kiamat sebelum atau sesudah pohon pisang berjantung dua itu, menurut Muslimin Tanjung Ampalu dan dunia lain tentu saya tak bisa bilang. Pasti lebih dari 13 kali. Tetapi walaupun selamanya ini “nujum” gagal, tentu semua kejadian diantara nujum Pak Belalang di Jawa. Walaupun begitu kalau lewat tengah malampun kita sebut nama Joyoboyo dan bongkar lagi satu nujumnya.
Pasti si Pendengar hilang “ngantuknya”, seperti diusir oleh semangkok besar kopi puan. Semua kegagalan nujum yang dahulu dilupakan. Begini kerasnya “pengharapan” dan begitu lemahnya mata, telinga dan peringatan manusia pada bukti yang sudah terjadi, yang menentang “pengharapan” tadi.
Pak Belalang tukang sulap dan dukun palsu memang pintar sekali memakai sifat “kesalahan dan kelupaan” manusia dalam hal mempermati sesuatu kejadian itu!

Bagian ke. 3 KESILAPAN DISEBABKAN SALAH MENYUSUN BUKTI BUAT UNDANG.
Kesilapan pada bagian ini ada beberapa macam pula:
(a). Kesilapan Analogy, persamaan namanya; (b) Kesilapan berhubung dengan tempo dan tempat;
(c) Kesilapan yang masyhur, Latinnya: Posthoc, Ergo propert hoc .... ialah salah satu sebab disebabkan “tunggal”.
Perkara (a): Kesilapan Analogy (Persamaan rupa).
Cara berpikir menurut Analogy, memang biasanya mengadakan peruraian terkhusus dalam Logika. Tetapi sebab berpikir menuut cara ini banyak mengandung kelemahan dan terutama sebab akan terlampau memanjangkan kalam, maka seperti banyak perkara lain yang tidak memuncak kepentingannya, saya terpaksa lampaui saja. Banyak simpulan yang benar yang dapat oleh cara Analogy. Tetapi banyak pula yang palsu.
Disini akan diuraikan sedikit kepalsuanya. Cara Analogy tak seluruhnya memakai induction, naik dari bukti kehukum ataupun deduction ujian, dari hukum turun kebukti. Cara Analgoy tiap kali karena induction dan deduction itu memang tak bisa dijalankan.
Umpamanya: Dua benda “berupa” persamaan. Pada salah satunya terdapat sifat (S) misalnya. Tidak diketahui, apakah benda yang lain bersifat (S) juga.
Sudah diketahui bahwa kedua benda ada mempunyai sifat yang sama, (P) misalnya. Apakah (P) berkenaan sama (S) tiada pula diketahui. Tetapi si Pemeriksa memutuskan saja bahwa benda yang lain itu bersifat (S) pula.
Sudah bisa dilihat, bahwa misalnya bulan dan matahari punya persamaan.
Sudah diketahui umpamanya bahwa matahari mengeluarkan sinar sendiri.
Si Pemeriksa belum tahu umpamanya, apakah bulan itu punya sinar sendiri pula. Lebih dahulu sudah diketahui bahwa keduanya mempunyai persamaan: sama bundar dan sama bergantung diawang-awang. Apakah sinar itu ada bergantung dengan bentuk bundar dan penggantungan diawang-awang tadi, tidaklah diketahui. Sekarang si Pemeriksa dengan lancang saja putuskan. Bahwa Sang Bulan juga menerbitkan sinar sendiri seperti matahari atau kita ketahui bulan menerima sinar dari matahari (tidaklah menerbitkan sinar sendiri).
Sebab unta banyak persamaan dengan lembu, dan lembu itu berperut empat, maka disimpulkan juga bahwa untapun punya empat perut. Bukan tiga, ialah menurut bukti yang benar.
Seorang Pak Tani umapamnya, pertama kali berjumpakan Yahudi. Dia acapkali sudah “berurusan” dengan Tuan Arab di desanya. Dia simpulkan bahwa Yahudi dengan Arab ini sama, sebab bentuk badan dan hidungnya sama. Sekarang timbul simpulan kedua dalam otaknya: Tuan Arab hidup dengan menyewakan rumahnya dan meminjamkan uang. Tentu Tuan Yahudi ini hidup dengan menyewakan rumah dan meminjamkan uang pula. Simpulan ini umumnya betul kalau disempitkan di Asia Timur saja. Baik Tani yang terlatih oleh Yahudi yang sebentuk badan dan hidung dengan Tuan Arabnya meneruskan aliran pikirannya seudah mendapat kabar dari temannya, bahwa tuan Yahudi juga disunat. Kalau begitu katanya “tuan Yahudi juga pengiktunya Nabi Muhammad SAW”. Disini dia dijerumuskan oleh Logika Analogy.
Persamaan dalam beberapa hal itu tak memberi pertanggungan, bahwa Yahudi dan Arab se-Agama (bernabi satu). Demikianlah berpikir menurut Analogy sering silap sebab tiada menghadapi bukti yang diumumkan atau dikenal “pelaksanaan hukum”. Tidak saja orang berpikiran sederhana, orang ber-intelek-pun banyak memakainya dan sering terpaksa memakainya. Kalau persamaan dalam dua benda yang dibandingkan itu terus-menerus dalam semua hal, maka Analogy itu besar sekali gunanya.
Perkara (b): Kesilapan berhubung dengan tempat dan tempo.
Seperti katak dibawah tempurung, inilah pepatah Indonesia yang umum sekali. Orang itu terpaut pada tempat dan temponya. Apa yang benar pada tempatnya dia simpulkan, benar juga pada tempat lain. Apa yang salah menurut zamannya, salahlah pula menurut zaman yang lain.
Seorang Eropa yang baru datang di Tiongkok, selalu berpikir bahwa orang Tionghoa itu mestinya tamak dan kejam. Si Tionghoa menonton saja dan ketawa pula terbahak-bahak melihat bangsanya jatuh dari becak umpamanya. Sedangkan si Eropa tadi belas kasihan sampai kejatuhannya, cocok dengan Agama “pipi kiri kalau dipukul, kasihkanlah pipi kananannya”.
Memang Si Tionghoa cuma melihat yang lucunya dan terus terang perlihatkan kesukannya, kegeliannya kalau ada orang lain dapat celaka, yang tidak berbahaya betul. Tetapi kalau betul-betul dalam ada marabahaya, tak ada bangsa lain yang lebih bersifat kasihan dan lebih berani membela dan banyak memberi pertolongan dari si Tionghoa. Berkali-kali saya saksikan hal ini dengan mata sendiri pada bahaya air bah atau pembakaran di Tiongkok. Pada bekas orang yang dia bencipun, tidak bersifat tinggi sekali. (Dalam buku lain hal penting ini akan saya ceritakan dengan sempurna).
Memang si European menterjemahkan dan melaksanakan paham “pipi kiri kalau kena pukul kasihkanlah pipi kanan” kalau hal itu tak berapa merugikan! Dalam perkara kecil memang umum sekali mereka memperlihatkan kesedihan, kebelasan, kemanusiaan. Si European yang sedih melihat si Tionghoa jatuh dari becak dan diketawakan oleh bangsanya sendiri itu, memang boleh jadi menghampiri si atuh, mengangkat dan menolong, kalau perlu belikan satu gelas air batu dan marah pula pada yang mentertawakan. Cocok sekali dengan “pipi dikiri kalau dipukul kasihkan pipi dikanan”. Tetapi kalau berjuta-juta orang Tionghoa teraniaya, terpelanting, disebabkan pemerintahannya si European tadi menjalankan politik Opium terhadap Tiongkok (Ingat perang Opium tahun 1841) dan menerima untung ratusan juta dengan jalan yang berlawanan dengan, pipi kiri kalau dipukul kasihkan pipi kanan itu” perkara ini tak akan menyinggung consciencenya.
Bukan satu dua perkara yang kebetulan saja (munafik atau tidak) yang saya kemukakan disini. Saya kemukakan disini, terjemahan yang sudah jadi kebiasaan dari mereka yang mengaku dasar Kristen tadi. Bukan hal kebetulan atau terkecuali melainkan terjemahan dan kebiasaan Kristen, yang datang ke Asia kita ini. misal diatas bisa kita tambah di Indonesia ini (Kelakuan dari Rakyat Indonesia, diukur dengan moral yang terikat pada masyarkat Eropa dan zamannya).
Sudahlah tentu Rakyat Indonesia umumnya, berlaku begitu pula. Saya tak akan sangkal perkara ini karena kaum ibu di Indonesia selama ini dalam sejarah sebagai kaum, belum pernah menunjukkan kecerdasan, sebab itu pada zaman depanpun tak akan dapat “pendapatan” (inventor) diantara kaum ibu itu. Begitulah umum berpikir.
Di Eropa pun sebelum dan sesudah ada satu Madame Curie masih banyak yang dipengaruhi oleh: “Sebab begitu dahulu maka nanti akan begitu juga”.
Perkara (c): Posthoc, ergo propter hoc.
Tidak saja Hitler & Co, tetapi ada beberapa pemikir jerman yang lain kabur matanya disebabkan kejadian Kultur, kesopanan Jerman pada belakang ini. kejayaan dalam segala yang berhubungan dengan kecerdasan dan moral semua ditumpahkan pada kebangsaan. Terutama menurut teorinya Jerman-Nazi, maka cemerlangnya Kultur Jerman itu, Science, Filsafat.
Strategy, dan Musik terkhususnya, tidak lain karena superiority yakni kelebihan bangsa Jerman dari bangsa-bangsa lain diseluruh dunia semenjak alam terkembang. Umumnya kelebihdan bangsa Aria dari Tartari dan Negro, dan terkhususnya kelebihan bangsa Nordic dari semua suku bangsa di Eropa dan semua bangsa lain di Dunia.
Yang menjadi Karakteristis, ialah tanda bagi Nordic itu: badan, kulit putih, kepala luncung (panjang), rambut pirang dan mata biru. Terutama kepala panjang, rambut pirang dan mata biru inilah yang dianggap terkhususnya Nordic, bangsa Utara Eropa dan membedakan mereka dari penduduk Eropa Tengah dan Selatan, atau bangsa Hindustan.
Tanda lahir, terdapat pada kebangsaan itulah yang oleh ahli filsafat dan politik Nazi yang selalu dikemukakan sebagai sebab dari pesat majunya dan tinggi sifatnya Kultur Jerman itu “uebermensch” dari Nietzsche itu sebenarnya Nordic yang sempurna.
Disini tiadalah tempatnya buat memeriksa beberapa besarnya tuntutan (Claim) pemikir Jerman tadi dalam perkara atau haknya dalam perkara Kultur Dunia. Ini memang salah satu perkara yang hangat yang dari dulu saya ikuti. Saya sendiri tiada seberapa memberikan hak itu kepada Jerman umumnya. Dalam banyak sekali cabang Ilmu Bukti yang penting seperti Kimia, Ilmu Kodrat, matematika, Biologi, dsb, malah saya jumpai bapaknya kebanyakan teori baru tidak di Jerman, melainkan di Inggris dan Perancis. Kalau di Jerman Ilmu diatas tadi merupakan kemajuan lebih tinggi atau baru, maka biasanya urat dan pokoknya terdapat di Inggris atau Perancis atau Italia, Cuma sampai di Jerman dia mengeluarkan daun yang rindang dan bunga yang cantik dan harum. Inggris sendiri mengakui dirinya bangsa campuran, dari bangsa Nordic sampai Negro dari zaman Romawi. Perancis dan Italia ialah bangsa Laut Tengah; berbeda dengan Nordic: badan sedang, kulit kekuningan, rambut dan mata hitam dan kepala bulat. Lagi pula Marx, satu puncak dari ahli Filsafat dan Ekonomi, walaupun dapat latihan Jerman, bukanlah Nordic, melainkan Yahudi. Einstein, sekarang masih puncak diantara barisan ahli Ilmu Kodrat, Matematika dan Biology, walaupun dapat didikan Jerman, juga Yahudi, yang dianggap Timur, rendah, dibenci, ditentang, dibunuh oleh nazi. Begitu juga penyair Heinrich Neins, juru Negara Walter Rathenau, industrialist Hugo Stennes dll sebagai umumnya bangsa yang paling dikuti oleh Nazi itu. Pendeknya tuntutan nazi Jerman tadi sangat melebihi. Kultur itu tiadalah lahir dan tumbuh, semata-mata pada bangsa Jerman dengan tiada sendiri juga dipengaruhi bangsa lain dari Nordic. Lagi pula sebagian dari Kultur yang digembar-gemborkan itu hanyalah militerisme, ialah kesopanan jilat keatas tendang kebawah. Akhirnya bangsa Jerman itu bukanlah Nordic belaka. Lebih-lebih kesebelah Selatannya banyak bercampur dengan Alpino, yang dahulu banyak bercampur dengan bangsa Tartari, ketika Tartari lama sekali menguasai sebagian bear dari Eropa. Menurut Bernard Shaw turunan Nordic yang ada di Inggris itu cuma baik buat “Main Cricket” saja. Tetapi walaupun sudah begitu banyak mesti dikurangkan tuntutan Nazi atau Kultur Dunia itu. Memang masih banyak sisa yang mesti dipulangkan pada bangsa Jerman, Nordic atau campuran itu. Tetapi sisa inipun tiadalah “sebab tunggal”, Logika “Post hoc” diatas tadi salah satu dari sebab atau pengaruh sebagai sebab “tunggal”. Boleh jadi sebagai bangsa yang mempunyai tabiat kecondongan pikiran yang terkhusus itu bisa jadi alat adanya Kultur terkhusus. Tetapi tak boleh dilupakan, bahwa tabiat atau kecondongan pikiran terkhusus itu (particular, character and inclination).
Disertai oleh beberapa hal lain yang penting: Iklim, bahan, susunan masyarakat, ekonomi, politik dll. Letaknya Jerman memang ditengah, menyebabkan Jerman dari dulu jadi medan.peperangan dan menjadikan Jerman bersifat Militeristis. Iklim memang sangat bagus buat menimbulkan nafsu bekerja. Pada pegunungan Hars terdapat besi berdekatan dengan arang. Keduanya jadi alat adanya yang terpenting buat kemajuan pesawat dan ekonomi. Masyarakat dan politik Jerman jauh lebih banyak dipengaruhi beberapa perkara diatas dari pada oleh “kepala luncung, rambut pirang, dan mata biru” itu saja. Dalam perkara Ilmu yang “langsung” mengandung science, saya pandang bangsa Yunani yang terbesar diantara semua bangsa sampai pada masa lahirnya science modern, ialah beberapa ratus tahun dibelakang. Semasa, sebelum atau beratus tahun sesudah Yunani jatuh, semau bangsa lain dalam hal yang berkenaan dengan science tak bisa menyamai Yunani atau cuma menyamai sebagi muridnya Yunani saja (Arab!).
Tetapi ini hal juga tak berapa berhubungan dengan “kulit putihnya” bangsa Yunani, sebagai bangsa Aria. Sebagian besar dari kemajuan itu terdapat pada iklim, geography, ialah keadaan bumi dan laut Yunani, bahan masyarakat dan politiknya. Dan pusaka yang diterima oleh Yunani dari bangsa Egypte, Syria, Persia, Hindustan dsb juga. Salah satu sebab dijadikan sebab tunggal atau post hoc ................
Kalau tartari semua sedia betul-betul menaklukkan dunia seperti Nazi bersombong mengatakan: perawakan pendek, muka lebar, rambut dan mata hitam, hak yang menyebabkan tartari menjadi “Bangsa Tua, Herren Folk”, maka tak ada ahli filsafat nazi yang jujur dengan teorinya bisa bantah perkataan itu. Kalau begitu keadaan bumi Tartari, penghidupan dan perkakas yang dipakai Tartari dan Strategy Tartari sama sekali dilupakan.
Kalau “Suku tartari” yang disebut oleh para ahli Bangsa juga di Eropa, Oceanic Mongols, ialah Tartari-Samudra sekarang, kita namai bangsa Indonesia yang lebih kurang 2500 tahun sebelumnya nabi Isa sudah mengidari lebih dari 2/3 lingkaran bumi, semasa Nordic Hitler & Co masih tinggal dalam gua batu menepuk dada berkata: bahwa kulit coklat, kepala bunder, rambut dan mata hitam, serta hidung ......peseklah, yang jadi “sebab tunggal dari kejayaan itu, maka nenek moyang Indonesia sekarang juga dilekati oleh kesilapan propter hoc.........”. Kalau begitu mereka lupa akan Iklim, keadaan hidup, pesawat yang sudah dikenal pengetahuan tentang bintang, susunan masyarakat dll.

Bagian 4. KESILAPAN DALAM PENGLAKSANAAN
Dalam pelaksanaan, dalam perjalanan dari undang turun ke bukti (Deduction) tiadalah heran kalau seseorang banyak menderita kesalahan pula. Tetapi kalau diperhatikan semua aturan dan ranjau yang terdapat pasal berkepala Conversion (muka 160), Obversion (muka 162), Contra-position (muka 165) dan terutama pula Syllogism (muka 166), maka kebanyakan dari kesalahan dalam penglaksanaan itu bisa terhindar. Tiada sedikit kita mesti berjaga-jaga. Sudah tentulah tak perlu kita ulangi lagi semua hal itu. Juga akan kepanjangan kalau kita berikan ikhtisarnya. Cukuplah sudah kalau kita peringatkan dua puncang tertinggi saja.
Pertama, penting sekali buat diperhatikan bahwa simpulan bertentangan itu tak bisa benar keduanya, tetapi bisa salah keduanya (lihat pasal Logika terhada: Quality dan Quantity. Definisi dari Contra-Position muka 165). Jadi kalau akibat itu salah memang calon-sebab juga salah.
Kalau akibat itu benar, silaplah kita kalau kita katakan calon-sebab juga benar. Dalam pemeriksaan kebenaran satu teori dengan cara (reductio ad absurdum) (muka 62), maka kita menyalahkan akibat itu. Sebagai hasil pemeriksaan itu, maka kita terpaksa menjalankan dasar, yang sudah kita akui sahnya. Tetapi juga supaya kita jangan pula berlaku sebaliknya: Membenarkan akibat dan membenarkan pula calon-sebab.
Kedua, kalau semua S = P, janganlah sekali-kali dikatakan bahwa sebaliknya, semua P = S. kalau benar kalimat: Semua Muslimin itu diwajibkan berpuasa itu semuanya Muslimin saja. Ingatlah selalu gambaran Euler yang sebenarnya: Sebagian yang diwajibkan berpuasa itu ialah Muslim.

Bagian 5. SILAP KARENA KELIRU.
Ada tiga macam kesilapan karena keliru:
a). Kesilapan karena arti kata yang berlipat (ambiquous, dubbelzinning).
b). Kesilapan karena akibat sama dengan pokok. Kesilapan ini dalam Ilmu Logika dinamai Petitio Principli (latin) atau Begging of the question (Inggris).
c). Kesilapan berhubung dengan akibat yang tak bersangkutan dengan pokok pembicaraan, Ignoratio Elenchi.
Kesilapan dalam golongan ini tiada ditimbulkan oleh salah emnimbang beratnya bukti semata-mata, melainkan karena salah pengertian tentang bukti tadi. Sumber dari kesilapan ini ialah kata yang dua artinya, arti berlipat, arti yang terkhusus dipakai pada satu tempat, dipakai pula pada tempat yang lain. Jadi bukanlah salah menimbang bukti sebagai keterangan (Ingatlah dalam perkara yang pasti A itu mesti A).
Perkara (a): Kesilapan karena arti kata yang berlipat, misal: Permbunuhan itu mestinya seorang yang paling kejam. Pangeran Diponegoro banyak membunuh musuhnya. Diponegoro mestinya seorang yang paling tamak dan kejam. Dengan pembunuhan pada simpulan besar (mayor proposition) dimaksudkan arti umumnya dari pembunuhan: seorang yang mengambil jiwanya manusia lain atas dasar yag buruk dan maksud yang jahat. Membunuh pada simpulan kecil berarti menewaskan musuh atas dasar dan maksud yang diakui suci. Bukanlah semuanya yang melakukan “pembunuhan” itu boleh dianggap sebagai pembunuh dalam arti biasa. Pasalangan Syllogism diatas memang beres. Dua kata pembunuh dan membunuh memang ada pada tempatnya. Kedua kata itu seperti sudah ktia ketahui dinamai common-Term (kata tengah) dan Kata Tengah itu betul dipakai sebagai sebutan (predicate) dari simpulan kecil. Sebab kesilapan semacam ini juga dinamai kesilapan dari perlipatan arti kata tengah.
Misal yang klasik, yang tua dari golongan ini:
Umpamanya Archilles bisa lari 10 kali lebih cepat dari penyu. Tetapi kalau Archilles menjalani 180 meter, maka penyu sudah 180 meter lebih dimuka. Sebab? Kalau Archilles habiskan pula yang 180 meter ini, penyu sudah 180 meter lebih maju. Begtiulah seharusnya: Simpulan: archilles boleh “seterusnya (infinitely)” mengejar dengan tak bisa menangkap penyu.
Memang persoalan ini tak bisa diselesaikan dengan jalan begitu. Banyak Ahli Filsafat yang pusing kepalanya sebab persoalan ini. ada yang mengatakan memang tak bisa diselesaikan.
Tetapi kita di sekolah Rakyat acapkai berjumpa dengan persoalan semacam itu. Kita tahu, bahwa kalau seandainya Archilles bisa lari 200 meter dalam satu menit, jadi penyu cuma 20 meter, Archilles tiap-tiap menit 200 M – 20 M = 180 M lebih dekat pada penyu. Antaranya ada 1800 M = 10 X 180 M.
Jadi dalam 10 menit Archilles bisa pegang Sang Penyu.
Ahli Filsafat Hobbes memang sudah paham dimana kesalahannya para ahli Filsafat yang lainnya tadi. Letaknya kesilapan itu ialah pada kata “Seterusnya”.
Memang antar Archilels dan Penyu yang 1800 M itu bisa dibagi seterusnya. Bisa dibagi dengan 10, 100, 1000 ...............seterusnya. jadi pembagian dari antara itulah yang berarti seterusnya, infinitely. Bukan tempo yang berarti seterusnya itu. Nah ahli Filsafat tua pada satu tempat memperhubungkan seterusnya itu dengan pembagian antara, ialah antara Archilles dengan Penyu. Pada simpulan ia maksudkan dengan seterusnya itu ialah seterusnya sebagian Sang Tempo yang memang terus-menerus infinite katanya dalam filsafat. Pada umpama diatas yang 10 menit itulah yang teranggap inifinte, seterusnya tak putus-putusnya. Bukan yang 1800 M ialah antara Archilles dan penyu sebelum berlomba.
Perkara (b): Kesilapan karena akibat sama dengan pokok.
Petitio Principli namanya yang umum dalam Ilmu Logika. Begging the Question, Inggrisnya. Arguing in a circle, seperti menghasta kain sarung juga termasuk pada kesalahan ini. dalam sesuatu peruraian umumnya pada perdebatan terkhususnya, hal ini mesti diawasi betul-betul.
Dalam kebanyakan buku bagian dari Aristoteles sampai Mill tentulah banyak sekali contoh dari kesilapan ini.
Sebetulnya dalam menguraikan ini acapkai didapat yang bersangkut-paut dengan ini sudah dibicarakan dalam definisi yang berputar-putar, dircule-indefinicudo kita memperlihatkan bahwa barang mesti di dedifinisikan itu, diganti dengan nama baru bahwa yang sama artinya, jadi mesti diterangkan lagi. Begtiulah “Ahimshanya” Mahatma Gandhi dengan “Kodrat Jiwanya” sama-sama gelap keduanaya buat orang ber-intelek.
Petitio Principli, Begging the Question, Arguing in a circle, tak berbeda dengan itu. Kesilapan pada hal ini disebabkan karena sebetulnya akibat sama dengan pokok perkara (premise), atau berseluk-beluk dengan premise itu.
“Tuhan itu ada” kata seorang. Kita bertanya: “Apa keterangan, apa ujiannya”. Dia akan menjawab “sebab ada dalam Kitab Suci”, atau dia jawab dengan pertanyaan pula: “Kalau tak ada tuhan siapa yang bikin Alam ini?”.
Sekali lagi saya peringatkan: Ada atau tidaknya Tuhan itu semata-mata perkara “kepercayaan” dan kepercayaan “masing-masing” orang. Maksud contoh ini dan yang lain-lain yang berhubungan dengan ketuhanan, bukanlah mau menguraikan ada atau tidaknya Tuhan, melainkan buat melaksanakan “Cara berpikir” berdasarkan Mistika. Sekali-kali tak bermaksud mengganggu kepercayaan orang lain.
Jadi kalau adanya Tuhan itu diuji, dijelaskan dengan sebab adanya Kitab Suci, maka menurut Logika penjelasan semacam itu berputar saja. Maksudnya dengan kitab tentulah Kitab sebagai Firman Tuhan, ialah Kitab Injil, Talmud, Qur’an dll. Jadi kembali kepada pokok perkara yang mesti dijelaskan ialah: adanya tuhan itu tadi. Kalau Tuhan itu ada, barulah boleh dikatakan Kitab itu bikinan-Nya atau Firman-Nya. Kalau tak ada, bagaimanakah kita bisa membilang bahwa kitab itu bikinan-Nya atau Firman-Nya, ialah Kitab Suci. Jadi ujian diatas tiadalah cocok dengan ujian Logika. Sebab itu menurut Logika tak memberi penjelasan, jadi bukanlah ujian menurut Logika.
Begitulah juga kalau penjelasan menjawab dengan: Kalau tak ada Tuhan siapa yang bikin Alam ini? Disini pokok perkara (premise) dan akibat, Alam dan Tuhan sebagai pembikin Alam ada dua perkara yang berseluk-beluk. Adanya Alam dijelaskan dengan adanya Tuhan. Ada tak adnya Tuhan dijelaskan pula dengan adanya Alam. Kita tak bisa maju selangkah pun berjalan dengan cara berputar-putar dari ujung ke pangkal semacam ini.
Periksalah sendiri oleh pembaca, dimana terletaknya kesilapan pada beberapa contoh klasiek (tua) dibawah ini:
1. Satu Ahli Ketuhanan Zaman Tengah:
Otak itu (mind) selalu berpikir, sebab sifatnya (essence) otak itu ialah berpikir (perhatikanlah arti: essence).
2. Plato, dalam Sophistis:
Sesuatu barang itu boleh jadi tak berbadan (tak nyata).
Sebab: keadilan dan kebijaksanaan (wsidom) itu tak berbeda (tak nyata0.
Dan keadilan dan kebijaksanaan itu adalah sesuatu barang (perhatikanlah arti sesuatu barang yaitu benda yang nyata itu).
3. Tiap-tiap bagian benda itu berapaun kecilnya, mesti punya muka atas dan muka bawah.
Akibat: Benda itu bisa dikecilkan seterusnya (infinite) dan masih terus benda. (Ingat menurut promies (pokok pertama) tak ada batas kecilnya benda itu. Dia maish punya muka dan masih boleh dinamai benda, menurut akibat: sebetulnya itu juga artinya!).
Perkara (c): Ignoratio Elenchi, menyimpang jalan.
Kesalahan ini timbulnya karena akibat yang mesti diuji kebenarnnya itu sama sekali tak bersangkut-patu dengan okok pembicaraan pendebat tiada memberi pengujian yang cocok dengan Logika, dengan membentangkan perhubungan ujung dan pangkal, akibat dan sebab. Melainkan ia membangunkan kepercayaan, kegelian, kemarahan atau kebencian para pendengar. Dengan begitu pikiran tenangnya para pendengar menjauh atau menerima saja uraian tadi. Sopist dan demagogue yang pada zaman Yunani berarti “pengapusan ramai”, menurut musuhnya banyak mempergunakan cara Ignoratio Elenchi itu. Indonesia dan negeri manapun juga di dunia sekarang tentulah tiada asing dengan penghapusan itu.
Demikianlah kalau seorang pendebat tiada membentangkan kesalahan paham lawannya tentang ekonomi atau politik umpamanya: Melainkan dia majukan agama atau tingkah lakunya lawannya itu. Dengan begitu bangunlah perasaan geli, marah, benci atau fanatik pada para pendengar dan lupa akan pokok perkara. Kalau pendebat dan para pendengar misalnya beragama Islam, sedangkan lawannya bukan Islam atau tidak beragama sama sekali, tentulah dengan cara begitu pendebat mudah membangunkan perasaan terhadu dan melenyapkan pikiran yang tenang para pendengar.
Kalau pendebat menjelaskan, bahwa si Anu itu salah pahamnya dalam hal politik atau ekonomi, karena itu tak kawin secara Islam, pernah makan babi atau tak pernah bersembahyang, maka pendebat semacam ini menjalani kesalahan Ignoratio Elenchi (menyimpang jalan).
Seorang pokrol bambu yang bukan menjelaskan, bahwa lawannya betul membuat sesuatu pekerjaan jahat dengan memberi beberapa bukti yang sah, melainkan majukan bahwa pekerjaan jahat semacam itu amat merusak masyarkat, juga kesilapan Ignaratio Elenchi. Dengan pidatonya yang bersemangat dia bangunkan nafsu buta para pendengarnya.
Begitu juga kalau si Pokrol bambu tadi tiada menjelaskan bahwa si Tertuduh yang dibelanya tiada berbuat pekerjaan yang dituduhkan, melainkan kemukakan kemelaratan yang membangunkan bekas kasihan dan mencucurkan air mata para pendengar. Kalau dimajukan, bahwa si “inlander” ini juga mestinya malas, sebab semuanya “inlander” itu malas, masuk golongan yang diatas juga.
Disini sifat yang disangka melihat pada umum dikira juga dapat pada satu contoh yang terkhusus!
Pasal 13. KRITIK ATAS LIMA KESILAPAN.
Saya tiada bisa habiskan pasal tentang Logika ini sebelum mengadakan kritik atas lima kesilapan itu. Tiap-tiap buku Logika menganggap kesilapan itu berarti perkara yang penting sekali. Tentulah pula penting, karena seorang yang mau berpikri tepat itu tidak saja mesti tahu mana undang berpikir yang betul saja, tetapi pada ketika itu mesti ketahui mana yang salah. Dalam pikiran seorang Nahkoda tidak saja disimpan jalan yang ebtul, tetapi bersama-sama dengan itu jalan yang salah, karang yang bisa menenggelamkan kapalnya. Postif dan negatif memang tak bisa diceraikan. Tetapi oleh ahli Logika kesilapan itu dianggap kesilapan Logika atau berasal dari psychology (Tata Jiwa) belaka. Disini saya mau kemukakan bahwa kesilapan itu tidak berdasarkan Logika atau Psychology belaka. Marilah kita periksa kesilapan itu satu persatu.
Pertama: Kesilapan yang timbul pada pemeriksaan bukti yang dinamai kesilapan “a priori”, dan saya namai “mystificatie” itu. Mystificatie kata saya sebab memang kesilapan ini tiada berhubngan dengan kecerdasan si pemikir memakai Logika, diantara mereka kebanyakan ahli filsafat seperti Hegel dan ahli matematika seperti Descrates, melainkan berhubung dengan kepercyaan mereka yang mistik; Ide yang pertama yang berkuasa dan bisa menimbulkan Benda Bukti; Dewa R A dan Alam!
Kedua: Kesilapan yang berhubung dengan pekerjaan mencari butki seperti diatas juga, ialah kesilapan sebab lupa atau salah memperhatikan bukti itu. Juga disini salah dan lupa itu tiada bisa dianggap salah dan lupa memakai pancaindera buat memperamati bukti. Seorang cukup umur, cukup didikan, dan cukup mengalaman kalau berkali-kali menghadapi kejadian yang berlawanan dengan kepercayaannya, tetapi terus percaya bahwa kejadian itu cocok dengan anggapannya bermula, tiadalah salah atau lupa dalam arti biasa. Walaupun berkali-kali sudah peperangan besar, tiada mendahlui surga 1000 tahun itu, dan sipercaya masih terus percaya bahwa peperangan yang akan datang itu niscaya akan mendahlui surga kekal gilang-gemilang itu bukanlah ia lupa atau salah menganggap kejaian yang sudah-sudah dalam arti biasa. Kalau kejaian itu berhubngan engan kantongnya pasti matanya akan terbuka! Lain dari pada ini memang ada kesilapan psychology, lupa atau salah memperamati sebab kejaian amat mendahsyatkan. Jadi kesilapan kedua ini setengah mistifikasi dan setengan psychologis.
Ketiga: Kesilapan dalam menyusun bukti mendapatkan undang. Kesilapan ini ada dibagi atas tiga ragam pula: (a) Kesilapan Analgoy, persamaan rupa; (b) kesilapan berhubung dengan tempo dan tempat; (c) Kesilapan post hoc .......sebab tunggal: lalu saya pandang kesilapan ini juga bersifat dua macam. Pertama bersifat terutama berhibung dengan Logika. Kedua dan lebih banyak berhbung dengan Point of View, penjuru dari mana si pemeriksa memandang. Dalam perkara berhbungan dengan Benda semata-mata Ilmu Alam & Co boleh jadi kesilapan itu disebabkan salah memakai undang Logika. Tetapi dalam Ilmu Masyarakat, seperti Agama, Politik, Ekonomi & Co, pasti kesilapan itu berhubung dengan penjuru memandang. Pemikir kapitalisme mesti menyalahkan simpulan pemikir Sosialist dan Komunist. Begitu juga pemikir Soialis dan Komunis tak akan membenarkan simpulan ahli kapitalis dalam Ilmu Masyarakat itu! Hidup si Kapitalis, si Komunis mesti mati. Hidup si Komunis mesti mati si Kapitalis. Disini ada perlawanan dan peperangan mati-matian.
Keempat: Kesilapan dalam penglaksanaan. Kalau penjuru memandang sudah ditentukan lebih dahulu, lebih-lebih dalam Ilmu Masyarakat, dan bukti cukup, quality dan quantitynya, sifat dan bilangannya dan undang diperoleh dengan syarat Dialektika dan / atau Logika yang sempurna, maka penglaksanaan mesti awas sekali memperhatikan Undang Syllogism, dsb. Pada penglaksanaan ini terutama Logika berimaharajalela. cuma disini saja.
Kelima: Kesilapan karena keliru. Kesilapan ini terbagi pula atas tiga ragam, a) Karena arti kata berlipat, b) Petitio Principli. Begging the Question, menghesta kain sarung, c) Ignoratio Elenchi, menyimpang jalan. Disini juga mesti dipisahkan antar Ilmu Masyarakat itu sendiri. ilmu yang bisa mengandung banyak objectivity, ketenangan pikiran dan Ilmu yang mesti mengambil pihak mengambil penjuru memandang lebih dahulu. Sesudah si pemeriksa mengambil pihak lebih dahulu, barulah awasi: a) kata berlipat, b) cara mengesta kain sarung dan c) cara menyimpang jalan menipu.
Dengan peninjauan sepintas lalu diatas, teranglah bahwa tiada berapa sisa daerah kesilapan yang semata-mata berdasarkan Logika. Sebagian besar dari kesilapan diatas dari 1-5 pertama sekali berhubung dengan Mistifikasi, ialah dengan persoalan Ide dan Matter, Rohani atau Jasmani. Kedua berhubung dengan pendirian dalam masyarakat, dengan point of view, penjuru memandang wujudnya dengan Dialektika. Ahli Logika yang silap itu tidak memperhatikan tempo dan tempat, gerakan, seluk-beluknya perkara dan pertentangan dalam badan masyarakat sendiri. seorang pemeriksa harus memisahkan Ilmu dan buktinya yang berhubungan langsung dengan masyarakatnya dan Ilmu yang tidak langsung berhubngan. Ilmu Ketuhanan, Sejarah, Politik, Ekonomi, Sociologi, pada satu pihak, Ilmu Matematika, Ilmu Bintang, Ilmu Kodrat, Ilmu Kimia, Ilmu Bumi, Ilmu Biologi dsb pada lain pihak. Pada bagian pertama terkhususnya mesti ditentukan lebih dahulu pihak mana yang mesti diambil si pemeriksa. Pada bagian keduapun kalau kaji pemeriksa jadi mendalam, si pemeriksa mesti mengambil pihak. Sesudah mengambil pihak dalam masyarakat, pihak penindas atau tertindas, jadi sesudah menentukan Point of View, Penjuru Memandang, barulah bukti bisa dikumpulkan dengan berhasil, disusun menjadi undang, dengan sempurna menurut cara pihak masing-masing. Sesudah undang semacam itu diperoleh, barulah penglaksanaan bisa dijalankan. Pada jalan dari bukti naik keundang umumnya dan dari undang terus ke bukti terkhususnya, kita mesti perhatikan aturan dan undang berpikir yang sudah dipastikan oleh Logika.
Para ahli Logika dari Aristoteles sampai Mill tiadalah memperhatikan dan memperdulikan persoalan Benda dan Pikiran itu serta dimana daerahnya Logika borjuis itu akan terus-menerus tercantum dalam buku yang sduah terutlis dan akan tertulis sampai masyarakatnya punah seolah-olah sudah dinasibkan Tuhan sebagai akibatnya dosa Nabi Adam dan Siti Hawa.
Hanyalah pada masyarakat baru dosa tadi akan hilang dan kesilapan tadi akan mendapat pengertian lain.

No comments: