Friday, 25 February 2011

Mati Kangen

Mati Kangen




Entah sudah berapa pekan anjing itu duduk meringkuk di sandaran sofa. Badannya mulai kurus, wajahnya kuyu, sorot matanya menerawang jauh menusuk kaca jendela, menembus rimbunnya daun tanaman pembatas halaman, merayap ke arah garis-garis di kaki langit.

Tak ada yang mampu membuat anjing itu menoleh dan mengalihkan arah tatapan matanya. Makanan dan mainan yang kami sodorkan hanya sejenak diendusnya, sebelum ia melenguh pelan, menaruh lagi moncongnya ke bilah teralis jendela, lalu mengarahkan pandangan mata ke arah kejauhan. Bahkan air minum yang kami sediakan pun hanya sesekali dijilatnya seolah ia sudah tidak berhasrat lagi menikmati segarnya penopang kehidupan.

Sayang anjing ini tidak bisa bicara. Dokter Rasman, satu-satunya dokter hewan di kota kami sedang tidak berada di tempat. Kata salah satu anaknya ia sedang kuliah lagi guna meraih gelar keahlian yang lebih tinggi. Tapi kata tetangganya ia pindah ke kota lain dan hidup bersama istri keempatnya. Padahal dokter hewan itulah yang secara teratur memeriksa anjing kami. Dia adalah satu-satunya ahli tempat kami semua bertanya segala sesuatu mengenai kesehatan dan perilaku anjing. Tapi mengapa saat kami sedang benar-benar butuh pertolongannya dia malah pergi?

Kami semua sudah hampir tak kuat menahan haru melihat keadaan anjing yang hanya mau duduk meringkuk di sandaran sofa di ruang tamu rumah kami. Wajahnya yang kuyu tidak memperlihatkan gairah. Ketika sesekali ia mendengus, yang terpancar justru ungkapan murung dan muram.

Para tetangga sudah pula berdatangan membesuk anjing kami. “Kenapa kamu, Cunel?” kata ibu dari rumah sebelah sambil membelai kepala anjing itu. Ia mencoba menyodorkan kue kecil yang sengaja dibawanya dari rumah ke mulut anjing itu. Tapi Cunel-ya, anjing itu kami beri nama Cunel-menoleh pun tidak, apalagi membuka mulut.

“Mungkin puasa,” ujar seorang ibu.

“Masak sampai berhari-hari?”

“Atau kena parvo,” timpal seorang bapak yang tinggal di seberang rumah kami menyebut suatu nama virus ganas yang umum menyerang pencernaan anjing.

“Tidak mungkin,” sahut kakakku. “Kalau parvo dalam lima hari pasti sudah tak tertolong. Lagi pula anjing ini sudah diberi vaksin,” kakakku berusaha menjelaskan. “Rabies dan distemper juga sudah diberikan,” tambahnya sambil memperlihatkan buku periksa anjing yang penuh dengan tanda tangan Dokter Rasman di setiap keterangan tentang tindakan yang dilakukannya terhadap anjing itu.

Seperti kami, para pembesuk pun akhirnya terdiam, tidak tahu harus berbuat apa selain membiarkan perasaan trenyuh mengembang dalam hati.

Memang tak hanya bagi diriku, kakakku dan ibuku, keberadaan anjing pudel berwarna coklat emas itu juga telah membuat jatuh hati para tetanggaku. Bulunya yang gimbal seperti domba membuat semua orang ingin membelai. Entah seberapa besar otak yang terdapat di kepalanya, kecerdasan yang diperlihatkan anjing itu pun benar-benar membuat orang terpancing untuk mengajaknya bermain dan betah berlama-lama dengannya.

Tidak hanya sekali anjing itu berlari keluar memanfaatkan pintu rumahku yang secara tak sengaja terbuka. Biasanya ia lalu menuju ke rumah tetangga, kemudian melompat-lompat seperti ingin meraih pegangan pintu untuk membukanya. Tapi karena tinggi anjing itu cuma tiga puluh sentimeter dan panjangnya hanya empat puluh sentimeter, ia memang tak pernah mampu meraih pegangan pintu. Beruntung pemilik rumah yang melihat tidak pernah mengusirnya dan malah terpesona pada gerakan anjing yang mudah dipahami maksudnya.

Ketika kemudian pemilik rumah membukakan pintu, anjing itu lalu memperlihatkan mimik wajah seperti mengajak bercakap-cakap. Kupingnya bergerak- gerak, dan sorot matanya tajam menatap wajah orang di depannya seperti sedang bertanya atau menjawab pertanyaan. Kalau orang tersebut masih saja diam, maka anjing itu akan mengulurkan kaki depannya untuk mencolek-colek sambil berdiri dengan kedua kaki belakangnya. Dengan tingkah lucu, anjing itu kemudian juga akan berguling-guling dan berbaring terlentang sambil menggosok-gosokkan kepalanya ke kaki orang itu. “Cunel, Cunel… unel-unel-unel,” begitu para tetangga yang gemas kemudian membelai kepala anjingku lalu tenggelam bermain bersama dengan melempar-lemparkan bola atau berkejar-kejaran.

Tapi belakangan ini, bahkan tukang sayur langganan ibuku yang sering memberi hadiah hati ayam pada anjingku sehingga anjingku begitu bersahabat dengannya, tak berdaya melihat Cunel membisu lesu. Sore tadi ketika ia besuk, anjingku juga tetap diam tanpa suara. Padahal biasanya, bila ia lewat di depan rumah, ia selalu menyempatkan diri melemparkan hati ayam yang sudah direbus kepada anjingku meski di hari itu ibuku tidak membeli dagangannya. Karena itu pada jam-jam tukang sayur itu biasa lewat, anjingku selalu sudah siaga di depan pintu atau di depan jendela kalau pintunya tertutup. Lalu begitu tukang sayur itu lewat, ia akan menggonggong gembira sambil berlari berputar-putar kegirangan.

Aku memang pernah mendengar kalau ada orang meyakini bahwa anjing adalah utusan pembawa damai tanpa kata-kata yang berasal dari suatu alam kehidupan yang tak dikenal oleh manusia. Sebab kenyataannya, sejak anjing itu berada di rumahku, orang-orang di sekitar rumahku lalu menjadi semakin akrab satu sama lain. Mereka jadi sering keluar rumah dan tidak terus-menerus bersembunyi di balik pintu dengan alasan sibuk atau lelah setelah sehari bekerja. Meski pada mulanya mereka hanya saling melontarkan perasaan kagum pada anjingku, tapi pada akhirnya mereka bisa membahas soal selokan yang perlu dikeruk karena mampet, soal tukang sampah yang malas melaksanakan kewajibannya meski sudah digaji, hingga soal-soal lain yang menyangkut kehidupan bertetangga.

Maka tak heran begitu mereka merasa tak melihat Cunel selama beberapa hari, mereka lalu saling bertanya-tanya dan sampai merasa perlu menyempatkan diri untuk besuk segala begitu tahu anjing itu bermasalah.

Ya, anjing itu memang anjing kesayanganku. Sebelum wafat empat tahun lalu, ayahku membelinya sebagai hadiah ulang tahunku yang kedua belas. Semula ayahku keberatan bila aku memelihara anjing. Beliau khawatir anjing itu akan menularkan sejenis virus yang kelak bisa menyebabkan kandunganku terganggu. Namun melihat kuatnya hasrat yang kuperlihatkan, akhirnya hati ayah luluh dan membelikan aku sepasang anjing.

Selama beberapa waktu, sepasang anjing pudel berwarna coklat emas dan coklat kopi itu sempat menyemarakkan rumah dan lingkungan tempat tinggalku. Tapi karena terserang demodex, yaitu sejenis bakteri yang melahap akar bulu anjing sehingga bulunya akan rontok dan hanya akan menyisakan kulit yang membusuk, seminggu sekali anjing jantan kami harus dimandikan dengan obat. Sialnya di kotaku tidak tersedia sarana pemandian untuk mengobati demodex. Karena itulah sejak tiga bulan lalu anjing itu harus menginap di rumah sakit hewan di kota yang jauhnya 120 kilometer dari rumahku.

Padahal lumayan, sebelum ketahuan demodex menyerangnya, anjing jantan itu telah berhasil membuat Cunel hamil dan melahirkan sampai enam kali. Sekali hamil, ia melahirkan enam ekor anak. Tak sanggup membayangkan rumah kami akan dipenuhi anjing, maka pada kelahiran pertama itu kami mencoba berbaik hati membagi-bagikan anak pudel kepada para tetangga. Mereka merasa senang dan berterima kasih kepada kami. Tapi entah, mungkin karena tak tahu cara merawat anjing atau pelit tak mau mengeluarkan biaya untuk suntik vaksin, atau setidaknya membawa anak-anak anjing itu ke salon hewan untuk dimandikan, belum genap tiga bulan semuanya sakit, muntah darah, lalu mati. Kami sedih dan dalam hati lalu bertekad, tidak akan membagi-bagikan anak anjing lagi kepada para tetangga.

“No way! Kalau mau, biar mereka beli dari kita. Asal tahu saja harga seekor anak pudel, tak lebih murah dibanding sepuluh gram emas,” kata kakakku yang setelah ayahku wafat, paling rajin merawat anjing-anjingku.

Begitulah sejak kelahiran kedua, ketika anak-anak anjing sudah berusia dua setengah bulan, kami lalu selalu menjualnya ke toko binatang peliharaan di kota yang jaraknya 120 kilometer dari rumahku. Tentu sebelum kami jual, anjing-anjing itu diperiksa dulu kesehatannya oleh Dokter Rasman, diberi obat cacing, dan tak lupa pula disuntik vaksin. Baru sekitar satu bulan lalu kami pergi ke kota yang jaraknya 120 kilometer dari rumahku itu untuk menjual enam anak pudel yang untuk terakhir kalinya dilahirkan Cunel. Di kota itu pula kami menyempatkan diri membesuk si anjing jantan yang ternyata tak hanya semakin gundul setelah dua bulan di rumah sakit, tetapi juga makin busuk karena penyakitnya sudah terlanjur parah dan merata ke seluruh tubuh. “Kasihan, deh, kamu,” begitu kami hanya berani berkata dalam hati tanpa mau mendekat, apalagi menyentuh, karena jijik.

Melihat keadaannya, kami sama sekali tidak berani berharap akan bisa membawa pulang anjing jantan itu lagi. Kalau pun anjing itu nanti sembuh, kami pasti tidak akan tega lagi memangkunya, memeluknya, apalagi menciumnya. Karena itu kepada seorang petugas di rumah sakit, ibuku kemudian menyerahkan sejumlah uang dengan ucapan terserah mau digoreng atau disate, atau mau dibiarkan saja anjing itu mati sendiri dan kemudian dikuburkan. “Tolong, Pak, kami benar- benar sudah tak tega,” kata ibuku. Petugas itu mengangguk-angguk sambil menyelipkan uang pemberian ibu ke sakunya.

Di rumah kami masih berharap akan terhibur oleh Cunel, si anjing betina yang sebenarnya lebih lucu, lebih cerdas, dan lebih menggemaskan dibanding si anjing jantan. Menurut silsilah yang tertulis di stambum (akta kelahiran), anjing ini memang merupakan keturunan dari anjing-anjing juara di berbagai arena lomba. Tak heran tanpa dilatih secara khusus pun Cunel sanggup memperlihatkan kecerdasan yang memesona dan mudah akrab dengan siapa saja.

“Salah satu alasan mengapa anjing bisa menjadi sahabat terbaik kita adalah karena anjing dan kita banyak memiliki persamaan,” papar Dokter Rasman suatu ketika.

“Persamaan? Dalam hal apa?” tanya kakakku ingin tahu.

“Kita dan anjing adalah makhluk yang sama-sama gemar berteman, sama-sama senang bermain-main, bukan bermain sebagai sarana penyegaran, tapi bermain sebagai tujuan hidup itu sendiri.”

“Bagaimana Anda tahu?”

“Saya dokter hewan, jangan dipotong dulu, masih ada satu hal lagi. Jauh di lubuk hati, kita dan anjing sama-sama tetap kanak-kanak sepanjang hayat.”

Dokter Rasman memang mengaku senang memberi penjelasan panjang-lebar tentang anjing. Harapannya adalah, para pemilik anjing makin memahami cara merawat sendiri anjing-anjing mereka. “Selain pengetahuan, diperlukan hati dan perasaan untuk merawat anjing. Itu kalau kalian tidak mau dibuat repot oleh binatang piaraan Anda,” ungkapnya saat terakhir kali ia datang ke rumah kami.

Tapi entah, apakah punya istri empat termasuk bagian dari yang ia sebut sebagai bermain-main, kenyataannya penjelasan Dokter Rasman soal persamaan anjing dan manusia sama sekali tidak berguna untuk menghadapi keadaan yang diperlihatkan Cunel sekarang ini. Hanya sesekali saja ia turun dari sandaran sofa, menghampiri makanan yang kami sediakan, menciumnya, mengeluarkan dengusan, berbalik ke arah tempat minum, menjilat air yang terdapat di dalamnya, lalu kembali lagi meringkuk di sandaran sofa.

Seperti kebiasaan yang dilakukan Dokter Rasman, kami sudah mencoba memeriksa, di mulut anjing itu tidak terdapat busa yang menandakan ia keracunan atau terkena infeksi di organ bagian dalamnya. Warna merah jambu pada gusinya juga cerah, menandakan kesehatan anjing itu tidak bermasalah. Saat sejenak gusi kami tekan menggunakan jari tangan, dalam dua detik warna pudar akibat tekanan juga segera pulih.

Lalu mengapa anjing kami meringkuk bisu dengan mimik murung kehilangan gairah? Kata Dokter Rasman suatu saat, perubahan perilaku anjing memang bisa merupakan akibat dari sejumlah sebab. “Saat berahi, adalah wajar bila anjing tak mau makan. Dia lebih tertarik untuk berdekatan dengan lawan jenisnya. Jadi tunggu saja sampai musim berahi lewat, tanpa dipaksa mereka akan menunggu sendiri diberi makan,” kata Dokter Rasman.

Dalam suatu obrolan lain seusai memberi vaksin pada anak-anak anjingku, dokter yang gagah dan tampan itu juga menjelaskan kalau pertambahan usia bisa pula membuat perilaku anjing berubah. Anjing yang sudah mendekati kematian, katanya, cenderung senang menyendiri. Mereka cenderung menjadi tidak bergairah, tidak berselera terhadap makanan, dan memilih bersunyi-sunyi.

Apakah itu berarti anjingku akan mati? Dokter Rasman mungkin lupa menjelaskan satu hal. Karena bisa berteman dengan manusia, mungkin saja anjing tidak akan pernah merindukan sesamanya. Tapi ia sama sekali tidak menjelaskan kalau induk anjing bisa kangen pada anaknya sendiri, pada darah dagingnya sendiri. Karena Dokter Rasman tidak menjelaskan, maka apa boleh buat kalau aku lalu menyimpulkan, anjing ini pasti kangen pada anak-anaknya yang telah kami jual semuanya. Pasti kangen sekali dia.

Kesimpulanku itu kudapat bukan tanpa alasan. Setidaknya ada dua perubahan perilaku yang diperlihatkan oleh anjing itu, dan keduanya tidak luput dari perhatianku.

Pertama, pada awalnya Cunel selalu memperlihatkan sikap seperti terperanjat, ingin menyambut, manakala ia melihat ada kelebat bayangan hewan lain lewat di depan rumah kami. Tapi setelah ia sadar hewan yang lewat itu adalah kucing, atau tikus selokan, atau anjing kampung, ia segera naik lagi ke sandaran sofa, duduk diam dengan sorot mata kecewa.

Kedua, ini mungkin lebih meyakinkan, saat aku bermaksud membuang kardus berisi potongan handuk dan kain, Cunel langsung berlari ke arahku dengan sikap gembira. Ia mengangkat kaki depannya, dan dengan sikap penuh gairah mengendus-endus sambil berusaha meraih kardus bekas pembungkus televisi yang saat itu aku pegang. Ya, di dalam kardus itulah Cunel melahirkan anak-anaknya. Pada potongan handuk dan kain itu bahkan masih terdapat bercak-bercak air ketuban yang sudah mengering.

Begitu melihat sikap Cunel yang bergairah membaui kardus, aku sempat gembira. Kardus itu lalu kuturunkan ke lantai dan membiarkan Cunel berguling-guling di atasnya. Mungkin saja kardus berisi potongan handuk dan kain itu masih menyisakan bau anak-anaknya. Karena itu kubiarkan saja dia terus-menerus menciuminya, dan bahkan tidak kularang saat berusaha menelannya.

Memang seharusnya di antara anak anjing itu ada yang kami sisakan barang seekor sekadar untuk menemani induknya dan tidak langsung menjual seluruhnya. Tapi pemikiran seperti itu tentu saja sudah tidak ada gunanya. Setelah beberapa hari gembira berguling-guling di atas kardus, Cunel tampaknya sadar, anaknya tak ada di tempat itu lagi. Ia menjadi bosan dan kembali murung duduk meringkuk di atas sandaran sofa.

Ya, aku bisa merasakan tatapan kangen yang dipancarkan anjing itu. Pancaran itu sama seperti saat ibuku kupergoki sedang sendiri memandangi foto almarhum ayahku yang tergantung di sudut ruang makan. Sama seperti saat kakakku sedang mengamati-amati bayangan dirinya pada cermin yang mulai memperlihatkan ketampanan wajah ayahku. Sama seperti aku sendiri saat menunggu munculnya rembulan sambil berharap ayahku akan melanjutkan ceritanya tentang seorang anak perempuan dengan binatang kesayangannya, sebagaimana bayangan kelabu yang tergambar di tengah lingkaran bulan. “Itu adalah seorang putri yang sedang menunggu kekasihnya. Selama bertahun-tahun ia menunggu, hanya ditemani oleh binatang kesayangannya,” begitu, dulu, ayahku biasa bercerita.

Biarpun untuk seorang kekasih, aku sama sekali tak punya bayangan seperti apa nikmatnya menunggu, apalagi sampai harus bertahun-tahun sebagaimana gambar kelabu di tengah rembulan itu. Tapi sambil membelai Cunel yang kini sudah berubah bentuk menjadi sebuah bantal boneka penghias sofa, sambil mengamati purnama yang sebulan sekali merayap pelan di atas atap teras rumahku menuju ke puncak angkasa, sejenis perasaan sendu memang selalu membuat hatiku berharap-harap rindu.

Ya, bertahun-tahun lalu, di sandaran sofa itu pulalah pada akhirnya Cunel mati. Sejak itu, seluruh model dan warna perabot di ruang tamu sudah berulang kali kuganti. Sudah lama pula ibu meninggalkan aku sendiri, mewariskan rumah dan seluruh kenangan masa kecilku yang selalu segar bermain-main dalam ingatanku. Dan saat di rumah lain kakakku sedang sibuk mempersiapkan upacara wisuda sarjana bagi putra-putrinya, aku tetap tak tahu, akankah nanti ada seorang pangeran yang menjemputku? *



Hanna Sayarashi

No comments:

Post a Comment