Sunday, 20 February 2011

PUISI : THE SONG OF DESPAIR - BY PABLO NERUDA

PUISI : THE SONG OF DESPAIR - BY PABLO NERUDA


Ini adalah salah satu Puisi Karya Pablo Neruda (1904-1973) yang saya suka.

Seperti dikutip dari Wikipedia Indonesia, Pablo Neruda adalah nama samaran penulis Chili, Ricardo Eliecer Neftalí Reyes Basoalto. Neruda yang dianggap sebagai salah satu penyair berbahasa Spanyol terbesar pada abad ke-20, adalah seorang penulis yang produktif. Tulisan-tulisannya merentang dari puisi-puisi cinta yang erotik, puisi-puisi yang surealis, epos sejarah, dan puisi-puisi politik, hingga puisi-puisi tentang hal-hal yang biasa, seperti alam dan laut. Novelis Kolombia, Gabriel García Márquez menyebutnya "penyair terbesar abad ke-20 dalam bahasa apapun". Pada1971, Neruda dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra.

Nama samaran Neruda diambil dari nama penulis dan penyair Ceko, Jan Neruda; belakangan nama ini menjadi nama resminya.

Puisi "The Song of Despair" dimuat dalam bukunya "Twenty Love Poems and a song of despair" yang diterbitkan pertama kali tahun 1924 setelah setahun sebelumnya terbit buku Puisinya yang pertama berjudul "Buku Senja".kumpulan puisi cinta yang kontroversial karena sifatnya yang erotik. Kedua karyanya itu mendapatkan pujian kritis dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Selama dekade-dekad berikutnya, "20 Puisi Cinta" terjual berjuta-juta kopi dan menjadi karya Neruda yang paling terkenal.

Nah..ini dia puisinya:

The Song Of Despair
by Pablo Neruda

The memory of you emerges from the night around me.
The river mingles its stubborn lament with the sea.

Deserted like the wharves at dawn.
It is the hour of departure, oh deserted one!

Cold flower heads are raining over my heart.
Oh pit of debris, fierce cave of the shipwrecked.

In you the wars and the flights accumulated.
From you the wings of the song birds rose.

You swallowed everything, like distance.
Like the sea, like time. In you everything sank!

It was the happy hour of assault and the kiss.
The hour of the spell that blazed like a lighthouse.

Pilot’s dread, fury of a blind diver,
turbulent drunkenness of love, in you everything sank!

In the childhood of mist my soul, winged and wounded.
Lost discoverer, in you everything sank!

You girdled sorrow, you clung to desire,
sadness stunned you, in you everything sank!

I made the wall of shadow draw back,
beyond desire and act, I walked on.

Oh flesh, my own flesh, woman whom I loved and lost,
I summon you in the moist hour, I raise my song to you.

Like a jar you housed the infinite tenderness,
and the infinite oblivion shattered you like a jar.

There was the black solitude of the islands,
and there, woman of love, your arms took me in.

There were thirst and hunger, and you were the fruit.
There were grief and the ruins, and you were the miracle.

Ah woman, I do not know how you could contain me
in the earth of your soul, in the cross of your arms!

How terrible and brief was my desire of you!
How difficult and drunken, how tensed and avid.

Cemetery of kisses, there is still fire in your tombs,
still the fruited boughs burn, pecked at by birds.

Oh the bitten mouth, oh the kissed limbs,
oh the hungering teeth, oh the entwined bodies.

Oh the mad coupling of hope and force
in which we merged and despaired.

And the tenderness, light as water and as flour.
And the word scarcely begun on the lips.

This was my destiny and in it was the voyage of my longing,
and in it my longing fell, in you everything sank!

Oh pit of debris, everything fell into you,
what sorrow did you not express, in what sorrow are you not drowned!

From billow to billow you still called and sang.
Standing like a sailor in the prow of a vessel.

You still flowered in songs, you still broke in currents.
Oh pit of debris, open and bitter well.

Pale blind diver, luckless slinger,
lost discoverer, in you everything sank!

It is the hour of departure, the hard cold hour
which the night fastens to all the timetables.

The rustling belt of the sea girdles the shore.
Cold stars heave up, black birds migrate.

Deserted like the wharves at dawn.
Only the tremulous shadow twists in my hands.

Oh farther than everything. Oh farther than everything.

It is the hour of departure. Oh abandoned one.

Dibawah ini adalah hasil terjemahan puisi diatas yang dilakukan oleh penyair Indonesia Hasan Aspahani yang saya kutip dari Catatannya di Facebook.

Nyanyian Putus Harapan
Sajak Pablo Neruda

Kenangan tentangmu bangkit dari malam seputarku.
Sungai membaurkan keluh kesahnya dengan laut.

Tinggal sunyi menyendiri, dermaga sendiri di fajar hari.
Ini jam bagi keberangkatan, O aku yang tinggal sepi.

Bungkul kuntum bunga beku menghujani hatiku.
O lorong runtuh, puing berkeping kapal karam.

Padamu yang perang dan yang terbang tersatu.
Darimu sayap-sayap pada lagu burung terbangkit.

Engkau menelan habis segalanya, seperti jarak.
Seperti laut, seperti waktu. Padamu segala terbenam!

Ini saatnya, waktu yang leluasa menyerang dan mengecup.
Waktu untuk mengeja apa yang berkobar: rumah cahaya.

Ketakutan penerbang pesawat, kegeraman pengemudi buta.
gerak acak Cinta yang mabuk. Padamu segala terbenam!

Di masa kanak kabut jiwaku, bersayap dan terluka.
Penjelajah pun tersesat. Padamu segala terbenam!

Maka kugambar lagi, kubangun dinding bayang,
antara bertindak dan angan, kaki kulangkahkan.

Oh daging, dagingku sendiri, perempuan terkasih yang hilang,
Aku memanggilmu di jam basah, kuteriakkan lagu bagimu.

Seperti guci, engkau berumah di kerapuhan tak hingga.
dan melupa yang tak hingga menghancurmu seperti guci.

Ada kesunyian pulau-pulau yang hitam. Dan di
sana, perempuan dengan cinta, tanganmu meraihku.

Ada rasa haus dan lapar, dan engkaulah buah-buahan.
Ada batu nisan dan reruntuhan, dan engkau keajaiban.

Ah perempuan, tak tahu aku, bagaimana kau mengisiku,
di bumi jiwamu, di dekap rengkuhnya kedua lenganmu.

Dahsyat dan ganasnya, angan inginku menuju engkau,
Betapa sulit dan kepayang, betapa keras dan keranjingan

Makam-makam kecupan, masih ada api di kuburmu,
masih ada buah terbakar, dipatuk-patuki burung.

Pada mulut yang tergigit, cabang-cabang terkecup,
pada geligi yang lapar, pada tubuh-tubuh terlilitkan.

Oh sepasang kegilaan: harapan dan kekuatan,
di mana kita bersatu menyatu lalu dikecewakan.

Dan kelembutan itu, sinar adalah air dan serbuk.
Dan kata-kata mencekam, mulai ada di bibir.

Inilah takdirku dan perjalananku, dan kerinduanku
dan ketika rindu menimpa, padamu segala terbenam!

O puing-puing reruntuhan, semua jatuh menimpamu,
derita yang tak kauucap, derita yang tak kau genangkan.

Dari gelombang ke gelombang masih kau seru berlagu
Berdiri tegak seperti pelaut di haluan kapal.

Engkau masih mekar dalam lagu, menunggangi arus.
O puing retuntuhan, membuka sumur yang empedu.

Si pengendara yang rabun, penyandang tanpa keberuntungan
si pencari jejak yang sesat. Padamu segala terbenam!

Ini saatnya keberangkatan, saat yang keras membeku
Malam yang dipercepat pada setiap jadwal-jadwal.

Debar sabuk-sabuk samudera membebat pantai
Bintang yang beku memberat, burung hitam beranjak.

Tertinggal sunyi sendiri, seperti dermaga di fajar hari,
Hanya ada bayang gemetar meliuk di dua tanganku.

O jauh dari segala, O terpencil dari segala.
Ini saatnya berangkat. O seorang telah disiakan!




http://amriltgobel.multiply.com/journal/item/162/PUISI_THE_SONG_OF_DESPAIR_-_BY_PABLO_NERUDA

No comments:

Post a Comment