Sunday, 20 February 2011

Puisi yang Cepat Berakhir

Puisi yang Cepat Berakhir


SEPANJANG apakah puisi harus ditulis? Tak ada ketentuan, kecuali untuk puisi-puisi yang memili bentuk tetap. Haiku misalnya. Puisi yang tidak tiga baris, dan tidak 17 suku kata dalam bahasa Jepang, pasti tak bisa disebut haiku. Kalau pantun pasti dia harus empat baris. Sebait gurindam isinya harus dua baris.

PUISI bebas tidak punya batasan panjang. Namanya juga bebas. Satu baris boleh. Satu kata saja pun boleh. Mau panjang? Tentu boleh juga. Ada lho puisi yang menghabiskan sembilan halaman buku.

TIDAK menulis apa-apa juga bisa disebut puisi. Beri judul lalu isikan saja titik-titik pada isinya. Asal judulnya cocok, bisa saja orang percaya bahwa apa yang kita tulis itu memang punya alasan untuk disebut puisi. Kalau pembaca tak menerima, berarti kita yang tidak bisa menyediakan alasan yang cukup untuk itu.

BEGITU juga kalau pembaca merasa puisi kita terlalu cepat berakhir. Mungkin saja dia benar, mungkin juga salah. Mungkin saja kita memang kurang menggali bahan yang tersedia untuk sebuah puisi kita. Mungkin saja kalau kita panjangkan lagi, puisi itu malah jadi tidak kompak. Isinya malah berceceran. Beberapa puisi pendek populer bisa kita beri contohnya di sini. Puisi yang panjang, cari saja sendiri contohnya.

1.

Malam Lebaran
Sajak Sitor Situmorang

Bulan di atas kuburan.


2.

Luka
Sajak Sutardji Calzhoum Bachri

Ha ha!

3.

Tuan
Sajak Sapardi Djoko Damono

Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar.

4.

Kepada Puisi
Sajak Joko Pinurbo

Kau adalah mata, aku airmatamu.

No comments:

Post a Comment