Tuesday, 15 February 2011

SAMPAH

SAMPAH

Naskah Monolog karya Felix Hendi
Kelas XII Bahasa


(Lampu hidup, fokus pada seorang lelaki, murung, duduk di kursi sisi belakang panggung, tertunduk.)

► : Aku manusia, sama seperti manusia-manusia lainnya. Manusia yang punya hak untuk hidup layak, punya istri, anak, uang, rumah dan kebebasan (kesal). Aku dulu anak desa, hidup dari mencangkul. (kaki disilangkan di atas kaki lainnya, masih bersandar pada kursi).
(Lampu meredup & mati)
(Lampu menyala, seorang lelaki terlihat).

► : Pak, apa warung ini butuh pekerja? Saya sedang cari kerja, Pak (memohon, lalu pindak ke warung lain), Pak, saya boleh membantu? Saya mau digaji berapa saja asal ada kerjaan buat saya (terlihat bergairah, lalu muram dan pindah lagi ke warung lain), Bu, saya butuh kerja, saya bisa bantu cuci piring atau apa saja, asal saya bisa makan (muram, lalu pergi karena tak ada yang menanggapi).

(kembali duduk di sisi belakang panggung).
► : Begitulah. Aku hidup tak jelas di Jakarta, uang tak punya, baju apalagi, bisa makan saja sudah untung. Aku menyesal meninggalkan orangtuaku di desa. Di desa, aku malah bisa makan kenyang meskipun seadanya, tapi setidaknya bisa makan, tak seperti di sini, makan aja susah.

(Berusaha mengingat sesuatu, berjalan di sekitar panggung)
► : Satu hari, aku melewati sebuah TPA. Banyak orang mengais sampah di sana. Aku merasa jijik melihatnya. Tapi demi perut, aku mulai ikut bekerja.


(duduk di lantai, kesal)
► : Tapi menurutku yang kulakukan itu bukanlah yang disebut kerja, entah kenapa banyak orang di Jakarta ini yang mau menyebutnya kerja, bahkan profesi (sinis). Yang kulakukan hanyalah mengais sampah, sampah yang bisa kujual lagi untuk memberi makan perutku (menepuk nepuk perutnya sendiri, masih duduk di lantai). Mungkin karena aku bekerja dengan sampah, (berdiri, berjalan menuju kursi) maka pemerintah dan orang-orang menyebut aku dan teman-temanku lainnya sebagai sampah masyarakat. Seperti sampah-sampah sebenarnya, kami yang jelas-jelas bukan sampah ,melainkan manusia yang bekerja dengan sampah, harus dibuang agar tidak membusuk dan mengotori kota. (sangat kesal).

(kembali mengingat sesuatu).
► : Saat kami para sampah sedang istirahat di emper kota satu hari, rantib keparat suruhan pemerintah itu menyeretku ke penampungan dan rehabilitasi. Memang pemerintah, dari dulu cuma bisa korupsi, tak memikirkan orang sepertiku. Tapi di barak itulah, aku menemuinya, sampai…
(Lampu mati & kembali hidup, sekarang seorang lelaki mengenakan peci, duduk di lantai, bersimpuh)
► : Saya terima nikahnya, Sholehah binti Maemunah dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai (mengucapkan ijap kabul).

(kembali berjalan menuju kursi, melepas peci).
► : Aku menikahinya. Aku punya istri dan anak. Senang sekali mengenang masa itu (terlihat bahagia), anakku satu laki-laki. Kami hidup di rumah kontrakan, yang kusebut gubug di pinggiran kali. Meskipun dengan susah payah, aku berhasil menghidupi keluargaku dari hasil memulung. Saat anakku berumur 1,5 tahun, musibah datang lagi…

(bersimpuh, menunduk, menaburkan bunga)
► : Maaf aku tak bisa menjagamu baik-baik, kau tenang sekarang di atas sana, tak usah mikir makan, utang & uang. Jaga anak kita baik-baik. Aku akan rajin-rajin datang kemari.

(kembali duduk di kursi).
► : Istriku mati. Terbakar bersama anakku satu-satunya. Sekarang aku duduk disini,mengingatnya. Dan pemerintah tak pernah peduli. Mereka tetap menganggapku sampah yang harus disingkirkan. Aku tetaplah sampah, yang bau, busuk, menjijikkan & kotor. Sampah, sampah, sampah….

No comments:

Post a Comment