Friday, 25 February 2011

Senja Buram, Daging di Mulutnya

Senja Buram, Daging di Mulutnya



“Ambillah! Aku ikhlas. Ambillah dan cepat pergi!” Tapi perempuan tua dengan anak tiga tahunan di gendongnya itu tetap kaku di tempatnya. Wajahnya pias, beku tak berdarah, seperti mayat yang baru terbenam dua-tiga hari: wajah yang tak berwarna. Tubuhnya yang menggigil kecil tapi menjangkau seluruh tepi jasadnya itu, menandakan ia hidup. Tentu saja ia hidup. Baru tiga menit lalu, handphone dan lembaran seratus ribuku pindah dari kantong celana kiriku ke kain gendongan anaknya, dalam drama kecil yang terjadi tak sampai lima menit.

Itu belum dimulai ketika bus kota yang kutumpangi mulai memasuki kawasan Cawang. Jam lima sore lebih. Aku malas mengangkat pantat, mungkin karena wanita muda sebelahku duduk seperti memberi kode padaku. Entah apa. Mungkin balasan dari kode yang kusampaikan dengan, seolah tak sengaja, menjawil ujung lututnya yang terbuka. Aku mengintip dengan sudut mata kiriku. Wanita muda itu seperti tersenyum sendiri. Sesungguhnya malu kalau aku merasa tersanjung.

Tapi kuingat istriku dengan masakan yang menunggu. Juga Bersihar, anak lelakiku kedua yang menunggu janjiku mengajaknya ke komedi putar. Maka, terpaksa aku berdiri tepat saat kondektur meneriakkan halte Cawang, dan wanita muda itu masih tersenyum sendiri. Ia tidak tersenyum untukku. Aku menghela napas dan melempar tubuhku secepatnya ke arah pintu belakang. Penumpang cukup padat. Drama pun dimulai.

Bus kota hampir berhenti. Di tangga pintu belakang, tak kurang delapan orang berjejal. Semua perempuan. Semua setengah baya. Dua di antaranya menggendong anak. Di belakangku empat orang lain mendesakku. Semua perempuan tua. Satu yang menggendong anak tepat di belakangku. Ia mulai mendorong, mendesakku dengan kata-kata penuh cemas, mengingatkanku kepada anaknya. Dua orang lagi mendorong. Pantatku ditekan-tekan. Kemejaku ditarik hingga hampir lepas dari selipan celana. Tiga orang perempuan di depanku bergoyang selaiknya orang berebutan. Ada sesuatu yang mendorong celana, kantong celana kiriku.

Ada yang tak beres! Aku sigap berkelit dan menengok. Sepotong tangan mungil terjuntai dari balik kain, tepat di mulut kantong celana kiriku. Aku mengebaskan pandang ke arah perempuan tua penggendong anak di belakangku. Tiga orang kiri kanan menggoyangku. Aku mengelilingkan pandang. Tak kurang selusin perempuan tua di sekelilingku. Dan segera aku sadar. Kurogoh kantong kiriku. Handphone dan lembaran seratus ribu sudah tak ditempatnya.

Aku meluap. Tensi darahku pasti melonjak 170, seperti biasanya. Tangan mengepal seperti hendak berayun. Saat itu, perempuan tua dengan anak digendongnya mendadak kaku dan bergetar. Wajahnya kertas singkong yang sangat muram. Semacam putus asa yang menyisakan kematian. Kalau kemudian aku lepaskan dia dan merasa menyesal di tiga menit kemudian, bukan karena hartaku lenyap. Namun, gerombolan perempuan tua itu turun bersama dan pergi dengan segera. Beberapa terdengar mengikik tertawa. Dua di antaranya menoleh ke arahku sekejap. Entah bagaimana wajah perempuan tua tak berwarna tadi. Aku tak bisa melukainya. Tentu, aku tak bisa. Tak bisa.

Istriku mengumpat habis di rumah. Bersihar tak jadi ke komedi putar.

Siaran televisi menjelang malam itu kembali dengan program yang dia gemari. Seperti biasa, lelaki 30 tahunan itu sudah menyiapkan dengan saksama, ritus menonton tengah malam itu. Segelas kopi besar dengan es batu besar-besar, sepiring keripik kulit mangga, dan saputangan untuk ingusnya yang selalu keluar menjelang tidur. Tegukan pertama kopi ia telan begitu acara dimulai, diikuti gerak otomatis tangannya merangkai keripik di mulutnya.

Malam ini, siaran itu menyajikan tiga orang pemangsa yang tidak biasa. Yang pertama, lelaki tua asal Thailand yang menyantap berbagai jenis serangga seperti kodok, kadal, tikus, hingga ular kecil sebagai menu sehari-harinya. Yang kedua, perempuan tua Ukraina pemamah tanah kotor berpasir, tiga kali satu hari dengan piring yang cukup besar. Kadang ia makan langsung dari ember, bahkan dari galian tanah di hutan. Cacing atau binatang-binatang kecil ikut di dalamnya.

Yang ketiga, lelaki muda Jawa Timur dengan dua menu istimewa setiap hari. Jika tidak sepiring belatung, lain waktu sepiring kaca. Ketiga orang itu semuanya sehat. Hanya perempuan Ukraina sedikit turun hemoglobinnya. Tapi tak berpengaruh. Mereka mengaku sama berliur jika melihat santapannya menggeletak begitu saja di jalanan. Tak tahu kapan mereka akan berhenti dengan menu seperti itu. Mereka merasa tak memiliki alasan untuk berhenti. Dan lelaki 30 tahunan itu menyeka hidungnya dengan saputangan.

Esok harinya, ia menemukan ulat di balik sayur sawi buatan istrinya. Ia tak berteriak seperti biasa. Ia coba menelannya. Tapi kemudian merasa lebih baik mencoba mengunyahnya.

Padri adalah jagoan PS, alias PlayStation. Kini ia jagoan CS, alias ComputerStation. Pulang sekolah ia tidak akan istirahat atau makan siang dulu. Namun, segera ke kios CS. Jika libur; jam enam pagi ia sudah menunggu di depan kios yang masih tertutup pintunya itu. Aku sudah mengingatkan berulang kali anak pertamaku itu. Tak ada reaksi. Kuhukum sudah. Berat bahkan. Neneknya protes. Jangan kejam pada anak, katanya. Kelakuannya tak baik, kataku. Biarlah, itu kan tak mengganggu orang. Dan bukankah ia merasa bahagia karenanya? Nenek itu menutup protesnya dengan lima lembaran lima puluh ribuan, jatah bantuan bulanan untukku.

Kini Padri bukan cuma jagoan CS. Permainan itu sudah menjadi judi. Dan Padri selalu jagoan. Ia tak lagi minta jajan. Apa aku merasa terbantu karenanya? Aku menghukumnya lebih keras. Padri menjerit. Nenek protes lebih keras lagi. Tak kuberi tahu ia kalau cucunya kini jadi bandar judi. Aku malu. Jatah bulananku di tambah hampir dua lipat. Dua minggu kemudian, Sukran, pemuda pengangguran anggota organisasi pemuda entah apa, melaporkan padaku, Padri terlihat bercumbu dengan Ijah, pembantu tetangga sebelah di kebon singkong.

Aku tahu, tak kan lama lagi, Padri akan datang dengan perempuan mana yang dibuntinginya. Apa aku harus menunggu? Kuhukum ia lebih berat sehingga jatah bulananku pun bertambah? Aku mengeluh pada istriku. Ia tak menjawab, sibuk dengan Bersihar yang memang sangat cerewet. Aku menyerbu lemari dapur. Mencari sesuatu. Menemukan sayur sawi. Kuhabiskan semua dalam beberapa kejap.

Lalu berlari mengelilingi rumah tetangga, kios CS, PS, lapangan, kebon singkong, sekolahan, kamar tidur Ijah, hingga kampung sebelah. Padri tak ada. Aku lapor pak RT dan keamanan. Padri tak pulang, hingga larut malam. Aku tak bisa tidur. Membuka lemari dapur. Kosong. Pagi-pagi dua orang preman datang mengetuk pintu. Pemberitahuannya singkat. Padri, anak pertamaku, ada di Polsek, setelah ketahuan mengganja di kolong jembatan Krukut.

Aku berkemas. Berangkat ke tempat kerja.

Cukup lama, lelaki 30 tahunan itu mengamati Ipung. Ia hanya lelaki kecil, belum tujuh tahun, namun perangainya dewasa. Air mukanya jenaka, kulitnya putih, dan matanya berjurang. Belakangan ia agak berubah. Tetap jenaka, kulit mukanya memuram dan matanya kadang kosong. Ipung sekolah pagi, tapi pulangnya senantiasa sore. Bapaknya kerja di Senen, entah apa. Ibunya jual karedok, di pertigaan kampung, dibantu Arti, anaknya 13 tahun.

Kemarin, lelaki itu tak melihat Ipung seperti biasa: menjelang maghrib mencakung di depan rumahnya, dekat balai keamanan desa sambil menggigiti rumput. Dan pagi hari ini, kampung geger. Dari koran yang dibeli Pak RT, tersiar berita Ipung ada di rumah sakit. Ditemukan pingsan di jalan menuju pulang dari sekolah. Tubuhnya berantakan. Darah kental dari celananya mengering. Ia disodomi delapan orang, yang lima di antaranya sudah tertangkap. Ipung meninggal sepuluh jam kemudian, lantaran ia disodomi seraya dicekik agar tidak berteriak.

Songkang, lelaki 30 tahunan itu tidak ikut ke rumah sakit bersama para tetangga. Ia berbela sungkawa dengan memberikan amplop pada bapak si Ipung. Malamnya ia nongkrong di balai keamanan desa. Membayangkan Ipung. Wajah yang jenaka, kulit licin, putih, dan mata yang cekung menawarkan pertanyaan. Bagaimana anak itu sebenarnya? Ia seperti menyentuh kulit halus anak kecil itu. Menelusuri tubuhnya. Dan menemukan kelokan dan tikungan yang membuat pengendara apa pun tergoyang karenanya.

Songkang teringat anaknya. Dan siuman. Hari lewat tengah malam. Ia lihat sekelilingnya, sepi. Ia lihat dirinya, tengah onani.

Aku tertawa kecil mendengar kabar kuping itu. Seorang terdakwa yang menggali belasan mayat perempuan tua, untuk disantap sedikit demi sedikit dagingnya, diputuskan bersalah oleh pengadilan dan dihukum sekian tahun saja. Terdakwa itu tertawa di balik baju kokonya. Beberapa orang malah menyalami. Beberapa ibu dan perempuan muda minta foto bareng dengannya. Beberapa wartawan mewawancarai. Ia kontan populer seperti selebritis negeri ini. Tawanya sumringah, menawarkan sesuatu pada siapa saja. Bukan rasa gembira. Tapi teror yang tersembunyi. Dan orang-orang menerimanya, menerima teror seperti lauk-pauk sehari-hari.

Aku tertawa dan mengakui. Imajinasi kita kini begitu miskin dibanding kenyataan di sekitar kita. Khayal memang tak terduga, tapi kenyataan kian tak dinyana. Pengarang pasti keok dan terseok fantasinya, tunduk malu pada kreativitas dunia keseharian. Aku? Manusia biasa saja. Imajinasi sederhana. Sekadar mengikuti hidup yang ada. Seperti dorongan selepas senja di hari kerja kelima setiap minggunya, aku pasti datang ke perempatan itu. Seperti rutin saja. Menemui Shelly, Sonya, Tessi, Mona, atau siapa saja. Wanita-wanita berjenis kelamin pria. Menemaniku tidak lama, 30 hingga 40 menit saja. Dekat taman atau di pinggiran kuburan cina. Karena langganan, aku selalu dapat potongan. Kadang gratisan.

Petang ini aku menemui Deassy. Entah siapa. Tak peduli aku kenal dia atau tidak sebelumnya. Namun, memang hanya wanita itu yang ada. Yang lain entah ke mana. Mungkin hari masih terlalu sore. Dan Deassy pun tak banyak tanya. Ia menggandengku ke kuburan cina. Tidak di pinggirannya. Tapi lebih jauh ke dalam. Masih banyak orang lewat, katanya. Aku menurut saja. Seperti biasa. Tanganku dipegang, resluiting celana dikendurkan. Seperti biasa. Ia tersenyum kecil, ia berwajah dingin, ia menunduk. Seperti upacara. Seperti biasa.

Tapi hasilnya, kali ini tidak biasa. Ruar biasa. Aku ejakulasi berat dan orgasme berat. Namun, bukan orgasme seperti biasa. Saat aku membuka mata, setelah sekian menit memejam saat puncak orgasme seperti biasa, aku melihat dan merasa tidak lagi di kuburan cina. Aku di sebuah taman. Berumput halus berbunga aneka, bersungai bening berawan kapas, binatang-binatang domestik kecil… bayangkan saja surga dalam komik anak-anak kita. Semua ada di sana. Dan yang menonjol untukku, di sebuah pendopo kayu yang sederhana tapi eksotik dan super bersih, berkumpul bidadari-kalau perempuan-perempuan itu bisa disebut bidadari-yang seluruhnya bugil-gil. Mereka menatapku. Semua tak kecuali.

Dengan langkah Adam manusia pertama, atau dewata di pewayangan bolehlah, aku melangkah, mendekati mereka. Memperhatikannya saksama, satu per satu. Semua cantik, putih, halus, dan sangat seksi. Tapi saat kuperiksa lebih saksama, ada yang berbeda dari mereka dengan perempuan yang biasa kukenal. Satu atau beberapa bagian tubuh mereka ternyata lebih cocok disebut lelaki ketimbang perempuan. Seperti yang di pojok kiri, yang duduk bertelekan pagar bambu halus, memiliki betis yang besar, kuat dan kekar, bulu-bulu lebat menyelimutinya.

Atau yang mungil di bagian tengah depan, berjakun besar yang tak henti menggelinjang. Ada pula yang berpenis, berdada bidang atau berperut kencang lengkap dengan telur-telur ototnya, bahkan berkumis, berjenggot, atau berjambang bauk. Dan kalau kuamati lagi lebih saksama, ada yang berekor, bersusu empat, atau bahkan berkaki kanguru. Tapi… semua cantik dan menggemaskan. Entah kenapa, bagiku semua “wanita” itu menggairahkan.

Lucunya, aku seperti mengenal mereka. Ada yang wajahnya seperti Tari, adik iparku. Atau tubuhnya sedikit gempal lemak dengan lekukan yang sama dengan istriku. Atau berleher jenjang Kustiyah, ibuku. Atau seperti Marni, pembantu. Seperti Bersihar, anakku, Rudy, Jamal… ooh. Semua sungguh memberi kedekatan padaku. Aku seperti terisap. Dan melebarkan langkahku. Hingga kucium baunya. Bau-bau yang sangat kukenal, kusukai, kuhormati. Aku pun menghambur.

Aku tak bisa memilih. Dan memang tak memilih. Kuserbu satu, atau mungkin dua atau tiga di antaranya, dan kubenamkan kepala dan tubuhku dalam pelukan mereka. Aahhhhhh. Ini surga? Kupejam mata dan menggerayangkan tanganku. Gila, ini ekstase. Aku surup karena gairah. Dan gelap. Tubuhku bergoyang dan terlempar-lempar, tepatnya tergulung-gulung. Bukan pusing, seperti sebuah nikmat. Tapi entah nikmat apa. Karena kemudian tak kurasakan apa-apa. Cuma gelap. I am nowhere. Dan kurasa aku pingsan.

Mungkin bukan pingsan. Tapi tertidur, saat aku mendusin. Saat kujumpai hari pagi, kujumpai diriku terbaring, memeluk kuburan dengan nisan tepat di bibirku. Dan sungguh, aku tak kaget. Aku puas sekujur badan, hingga jempol kaki kiriku. Lalu pulang dan melihat semua seperti baru.

Penduduk kampung tidak geger lagi. Padahal Pak Karmin pagi itu ditangkap polisi dengan tuduhan-lagi-lagi-pembunuhan. Korbannya tiga orang, semua anggota keluarganya sendiri, dua anak dan istri. Semuanya habis disantap, mentah-mentah. Dan sebagian orang terkejut, sebagian lain menyebutnya dengan enteng, “Pak Karmin lagi muja.” Katanya, ngelmu untuk mendapatkan kekayaan, kejayaan. Dan itu bukan yang pertama untuk kasus “muja”. Jadi, biasa-biasa saja.

Apalagi memang dalam beberapa waktu terakhir kasus, entah kenapa, cukup banyak kasus dialami oleh warga kampung ini. Tak cuma perampokan dengan pemerkosaan plus mutilasi. Bukan hanya gadis muda dan cantik yang meminum darah ratusan tikus untuk jadi populer. Tidak melulu tukang soto dengan daging mayat sebagai campurannya. Atau sekadar serial pemerkosaan bayi balita yang terjadi di Jembar Udik, kampung sebelah. Hidup memang kejam kok, kata Pak RT Udin.

Lantaran itu, mungkin, apa yang terjadi pada Songkang dan keluarga tidak lagi jadi perhatian umum. Sudah lebih tiga minggu, Songkang hidup sendiri. Istri dan Bersihar, anaknya, pergi. Ke mana, entah. Karena cerai? Entah. Padri pun lama hilang. Jadi preman, kata orang. Songkang sendiri hidup seperti biasa. Berangkat pagi dan pulang selepas petang. Tetangga dekat cuma melihatnya menjadi warga yang lebih sopan dan berbudi, lebih dari biasanya. Menebar senyum, walau tak banyak bicara. Suka membantu, walau jarang keluar rumah.

Yang kasatmata, rumah Songkang kini lebih banyak tertutup, sepi, gelap, dan tak terurus. Rumah hantu, kata anak-anak. Tapi tak ada yang menegur, karena Songkang banyak senyum. Jadi waktu pun berlalu. Begitu saja. Seperti biasa. Kejadian demi kejadian terjadi. Begitu saja. Tak ada yang aneh. “Tuhan memang tak terduga,” kata Pak Soegono, guru SMP.

Memang, siapa menduga kalau Songkang sudah tiga hari tak keluar rumahnya. Ini sungguh tak biasa.

Polisi, lagi-lagi, menyergap kampung. Kali ini rumah ketiga Gang Arjuna Buntu yang diserbu. Aku tahu itu, bahkan sudah tahu sebelumnya. Tepatnya sudah menduga. Lebih tepat lagi sudah terencana. Polisi akan menemukan rumah itu kumuh, gelap, sepi, dan beraroma busuk. Sebagian polisi menggunakan masker dan membuat dugaan macam-macam. Aku pasti gembira melihat mimik mereka.

Setelah melewati ruang tamu dengan sofa berlubang dan perabotan bersilang, mereka akan masuk ruang keluarga yang melulu berisi potongan koran dan majalah. Bertumpuk-tumpuk dan memenuhi dinding. Lalu menuju dapur yang telah menjadi gudang. Gudang apa saja, terutama barang bekas, entah bekas apa. Di sisi kiri, kamar tidur anak yang kosong, kecuali dipan dengan kasur bolong. Dan akhirnya, mereka akan sampai ruang belakang, kamar “ngelamun” kata mantan ibu rumah ini.

Di situ polisi akan menemukan sebentuk tubuh bugil. Tubuh lelaki 30 tahunan dengan anggota badan tak lengkap. Tentu ia sudah menjadi mayat, lebih dua hari katanya. Di sisinya ada televisi yang masih menyala dengan semut, satu pisau daging yang besar, dua pisau kecil pengerat, potongan majalah porno, stensilan, kertas dan spidol, nisan kuburan, tanah yang mengering, bunga-bunga layu, piring bekas makanan, dan ceceran darah kering di lantai, kaki, selangkangan dan mulutnya.

Analisa polisi: lelaki itu Songkang, bunuh diri karena frustrasi, cerai istri dan anak, menjadi gila, dan hiperseksual. Dilihat dari beberapa tanda, lelaki itu seperti habis melakukan semacam monoseks atau otoseks, dengan berbagai cara. Sampai ia memotong alat vitalnya sendiri untuk otoseks. Dan itu pun belum juga memuaskannya. Ia mulai memotong anggota tubuhnya yang lain untuk ia santap. Tapi ia sudah mati sebelum santapan pertama ia habiskan. Entah karena kehabisan darah, atau karena tersedak. Di tenggorokannya ditemukan sepotong daging tersangkut, potongan alat vitalnya sendiri.

Senja di luar datang. Kali ini coklat, buruk dan buram. *

Jakarta, Juli 2003



Radhar Panca Dahana

No comments:

Post a Comment