Preman "Menguasai" Tanahabang
TAWURAN massal dua kelompok preman di Tanahabang, Jakpus, membuktikan
bahwa tekad penguasa keamanan Ibu Kota untuk "menghabisi" kelompok
marjinal itu belum terwujud dengan baik. Preman ternyata bahkan sudah
"menggenggam" beberapa wilayah di pelosok Jakarta ini.
Dari pungutan liar terhadap ratusan pengemudi angkutan umum di
Bendungan Jago, Kemayoran hingga upeti yang harus dibayar para pemilik
hotel, restoran dan tempat hiburan di kawasan Mangga Besar. Dari
tukang palak di terminal Pulogadung hingga debt collector perbankan,
semuanya bertumpuk di Jakarta.
Tanahabang misalnya. Betapa premanisme di situ tumbuh subur. Dan sudah
menjadi rahasia umum, para preman itu bisa merajalela karena ada
oknum-oknum yang berdiri di belakangnya.
Sejak belasan tahun lalu aparat Kecamatan Tanahabang (sama seperti
kecamatan-kecamatan lainnya), "memperkerjakan" sipil untuk "mengelola"
lahan di kawasan itu. Para "pengelola" itu wajib membayar setoran ke
para oknum aparat tersebut. Baik oknum di kecamatan, kelurahan,
koramil hingga polsek.
Tanahabang memang sudah menjadi "tambang emas" para preman sejak lama.
Lama kelamaan, kuku "pengelola" ini semakin tajam mencengkram daerah
itu.
Dari WTS liar, mucikari, pedagang kaki lima, sopir angkutan umum,
perparkiran, toko-toko, hingga pelaku "judi catur" di trotoar harus
membayar uang keamanan kepada preman yang menguasai daerah itu.
Demikian pula dengan judi "bola setan" (cap ji kie), yakni bola yang
dilemparkan ke lubang-lubang bernomor, yang hampir setiap malam
digelar di kawasan WTS di tepi rel KA Tanahabang.
Kerusuhan, yakni pembakaran mobil Tramtib dan kantor kecamatan
Tanahabang beberapa waktu kemudian ujar sumber Kompas di kawasan itu,
karena tak adanya "koordinasi" antara oknum aparat kecamatan dengan
walikota. Hari itu aparat kecamatan, melalui para "pengelola" jalanan
sudah memungut uang "restribusi" harian, yang bahkan ditingkatkan
jumlahnya karena "mendekati" Lebaran.
Ternyata para pedagang itu, masih dibersihkan oleh Tramtib dari kantor
Walikota Jakpus. Akibatnya, pedagang (dan "pengelola") marah. Mereka
bersama-sama membakar dan merusak kantor kecamatan itu.
***
NAMA Hercules sudah menjadi Godfather di daerah itu sejak tahun
1985-an. Warga RW 09 Kelurahan Kebon Kacang ini tak memiliki tubuh
besar seperti putra Dewa Zeus dalam kisah klasik Yunani, justru
sebaliknya bertubuh kurus kerempeng.
Selain, mata kiri palsu, tangan kanannya (hingga sebatas siku) juga
palsu. Dia selalu sesumbar, cacad itu karena ikut berperang membantu
TNI saat pergolakan di Timor Timur, kampung halamannya, Ainaro.
Dalam tempo singkat, nama Hercules semakin tenar di kawasan itu. Dan
hebatnya, anak buahnya tak sebatas pemuda asal Timtim, namun juga dari
daerah-daerah lain, seperti arek-arek Madura, Bugis, Padang,
Palembang, Ambon hingga Batak. Hercules serta adik kandungnya, Fretes
didaulat sebagai pimpinan "dunia hitam" di daerah itu.
Daerah "jajahannya" semakin lama semakin luas. Mereka tak lagi sekadar
memungut uang restribusi dari pedagang, tapi juga ikut memberi izin
ribuan pedagang kaki lima yang biasa disebut "lapak" di daerah itu.
Untuk mendapat izin, satu "lapak" harus membayar Rp 400.000-Rp
500.000. Merasa sudah terlalu kuat, kelompok Hercules semakin berani
menentang petugas yang kurang "sejalan" dengan mereka.
Beberapa pedagang mengungkapkan, pada bulan Desember lalu puluhan
preman anak buah Hercules pernah menyerbu pos polisi di pertigaan
Pasar Kebon Jati.
Keadaan berubah. Salah satu "orang kepercayaannya" yang bernama Yosep,
biasa dipanggil "Ius" mulai enggan jadi bawahan Hercules. Sebuah
sumber menyebutkan, sebenarnya bukan Hercules tapi Ius inilah "anak
asuh" dari seorang perwira tinggi TNI yang membawanya dari Timtim. Dia
lalu memperkenalkan Hercules dengan "bapak asuhnya" tersebut.
Ius, yang kelahiran Flores, NTT itu kemudian mengumpulkan teman-teman
"dekat"nya. Dia mulai berani mengumpulkan restribusi sendiri, tanpa
disetorkan ke Hercules. Salah seorang kawan setia Ius, Nando, adalah
pentolan preman asal Bima yang juga mulai tak senang berada di bawah
pimpinan Hercules. Melihat hal itu, Hercules menyebarkan ancaman ke
kubu Ius.
Merasa "lebih baik mendahului dari pada didahului", Ius lantas
mengumpulkan rekan-rekannya. Dua pekan sebelum tawuran massal itu,
sekitar pukul 03.00 WIB dini hari, Ius serta puluhan rekan-rekannya
(terbanyak dari kelompok Madura) menyatroni rumah Hercules, yang
sedang tidur nyenyak. Lima bacokan langsung bersarang di tubuh
Hercules dan dua di antaranya merambah wajahnya.
Mengira Hercules sudah "lewat", Ius Cs lantas meninggalkan rumah itu.
Ternyata, Hercules selamat dan dilarikan ke RS Gatot Subroto. Beberapa
hari kemudian dia melarikan diri ke Indramayu, kampung istrinya.
Fretes adik Hercules, kemudian menyiapkan Vendetta (balas dendam).
Kelompok Ius sudah mengantisipasinya. Maka terjadilah tawuran massal,
hari Kamis (9/1) tersebut.
Seperti dalam sebuah film cerita tentang gangster ala mafia, tawuran
massal itu sebenarnya disepakati kedua kelompok digelar di tempat
terbuka. Bahkan beberapa di antaranya mengingatkan petugas, jika
sampai terdengar letusan senjata api, maka mereka akan membakar semua
yang ada di sekitar daerah itu.
Petugas tampaknya sudah mengantisipasi hal itu, sehingga berhasil
meredam kejadian itu nyaris tanpa letusan senjata.
***
KASUS preman Tanahabang itu membuktikan premanisme masih marak di Ibu
Kota ini. Sudah menjadi "rahasia umum", masih banyak "Hercules" lain
yang menjadi "Don Corleone" kawasan-kawasan tertentu.
Di Jakarta Timur misalnya, kawasan Kebon Singkong, Klender, diketahui
menjadi "basis" preman. Dari "pemain" 365 (perampokan) hingga pencuri
kendaraan bermotor berkumpul di situ. Di kawasan perparkiran Arion
Rawamangun ada nama "Azis", sedangkan di Jl. Matraman-Pramuka ada nama
"Edison".
Di Jakarta Pusat, nama "Hasan Suwing" masih disegani di kawasan
Lokasari, Manggabesar dan sekitarnya. Kemudian mantan pembunuh bayaran
yang sudah tobat, Arek Foto, juga masih punya nama di Tanah Tinggi.
Atau "Yanto", yang memegang perparkiran di depan Gelanggang "Planet"
Senen.
Pencopet-pencopet Senen diisukan dipimpin "Ical alias Eddy". Dan salah
satu penyebab, mengapa mereka berani langsung mencopet penumpang KA di
Stasiun Senen, konon karena ada beking oknum di kawasan itu. Lalu di
Jl Biak-Roxy, masih ada nama "Amsir Budeg" dan "Tatang Cs" di Jl
Juanda.
Di Jakarta Barat, nama "Margono" sudah cukup kuat di kawasan
Cengkareng. Pemerasan pengemudi angkot setiap hari diduga dikoordinir
olehnya, dan bulan lalu sempat tawuran massal dengan kelompok
Palembang di kawasan itu.
Di Jakarta Selatan, masih ada nama preman yang "sudah sadar", yakni
"Seger" yang memegang perparkiran di kawasan Blok M. Dia terkenal
dalam kasus pemberontakan LP Cipinang tahun 1981, di mana dia diduga
menghabisi anak buah Jhoni Sembiring (almarhum). Rekan seangkatan
"Seger" adalah "Freddy Galur" serta "Plolong" (almarhum).
Di Jakarta Utara, nama "Kadim" masih disegani di kawasan pelabuhan. Di
sekitar kawasan WTS Kramat Tunggak, tepatnya di Jl Kramat Jaya VI ada
"dedengkot" bernama Zazuli. Mantan terhukum seumur hidup ini, dianggap
penguasa kawasan Gudang Baru, Bulog dan lain-lain.
Lalu di Pademangan Barat, ada nama "Rudy Ambon" yang biasa mangkal di
bioskop King. Di kawasan WTS Kalijodo, nama "Daeng Usman, Daeng Patah
dan Daeng Hamid" masih disegani di daerah itu. Kemudian, nama "Royal"
di Gedung Panjang, Kota.
Di Pasar Ikan sudah lama ada nama "Janaan dan Suganda" (satu lagi:
Janaka sudah almarhum). Selain menguasai kuli-kuli di pelabuhan itu,
juga diduga sebagai bos "bajing luncat" di kawasan pelabuhan hingga
Jawa Barat. "Markas" mereka konon di belakang pabrik Bimoli, Pluit.
***
JELAS sudah, sikap tegas dari aparat keamanan kembali dibutuhkan untuk
"membersihkan" Ibu Kota dari premanisme saat ini. Mantan preman, yang
saat ini menjadi mubaliq, H.M. Ramdhan Effendi alias Anton Medan
mengingatkan, perlu diperhatikan masalah "perut" yang membuat
munculnya premanisme itu.
Diungkapkannya, saat ini Yayasan Atta-Ibin yang dikelolanya berupaya
menggalang sekitar 7.000 mantan napi untuk disosialisasikan ke
masyarakat. Ternyata sebagian besar dari mereka sulit memperoleh
pekerjaan karena tak didukung pemerintah. Dia mengimbau, agar
disediakan lapangan pekerjaan padat karya, seperti buruh pabrik untuk
para mantan napi yang sudah sadar itu.
Sekarang pemerintah bukan mendukungnya, malah untuk ceramah agama di
Lembaga Pemasyarakatan (LP) pun dia kena cekal Dirjen Pemasyarakatan.
Penyebabnya, menurut Anton, karena dia sering membeberkan
cerita-cerita "gelap" di seputar LP pada media massa.
Menurut Anton, saat ini sebenarnya yang juga harus menjadi "perhatian"
aparat keamanan adalah kelompok preman elit, yang menguasai
tempat-tempat hiburan hingga perusahaan-perusahaan di Jakarta. Juga
sebagai pengelola beberapa tempat judi liar. Mereka semakin lama
terlihat semakin kuat.
Sementara Ketua Harian Pemuda Pancasila (PP), Yoris Th. Raweyai
menegaskan, organisasi itu menjamin sikap anggota yang takkan
menyimpang dari hukum yang berlaku. Diingatkan, sekitar 40.000 anggota
PP Jakarta memiliki identitas jelas.
Soal pembinaan, lanjutnya, PP senantiasa melakukan upaya agar para
anggotanya berjalan di atas rel. Di antaranya, menanamkan rasa
sosialisasi yang tinggi terhadap keadaan di lingkungan masing-masing.
Wakil Ketua Presidium PP, Ruhut Sitompul menambahkan, tawuran massal
preman yang berdasarkan kelompok kedaerahan itu, pasti tak melibatkan
anak-anak PP. Alasannya, sudah lama di organisasi itu mengkikis habis
rasa kedaerahan, apa lagi kesukuan yang berlebihan.
Apa pun itu, tampaknya pekerjaan besar masih menanti para penegak
keamanan di Ibu Kota ini. Jangan membiarkan Ibu Kota ini berada dalam
"genggaman" para penjahat itu. (barry sihotang)
No comments:
Post a Comment