Analisa
Kebijakan Publik Program Jaminan dan Bantuan Sosial
|
|
|
|
I.
PENDAHULUAN
UUD 1945
Pasal 28 H (amandemen kedua) menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagaimana
manusia yang bermartabat”, dan Pasal 34 – ayat 2 (amandemen keempat), bahwa:
“Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan”.
Hingga
saat ini terdapat berbagai macam definisi perlindungan sosial (social
protection) dan jaminan sosial (social security). Keragaman ini dipengaruhi
oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik suatu negara. Berikut adalah
beberapa dari sekian banyak definisi yang digunakan oleh berbagai institusi
dan negara.
Asian
Development Bank (ADB) menjelaskan bahwa perlindungan sosial pada dasarnya
merupakan sekumpulan kebijakan dan program yang dirancang untuk menurunkan
kemiskinan dan kerentanan melalui upaya peningkatan dan perbaikan kapasitas
penduduk dalam melindungi diri mereka dari bencana dan kehilangan pendapatan;
tidak berarti bahwa perlindungan sosial merupakan keseluruhan dari kegiatan
pembangunan di bidang sosial, bahkan perlindungan sosial tidak termasuk upaya
penurunan resiko (risk reduction). Lebih lanjut dijelaskan bahwa
istilah jaring pengaman sosial (social safety net) dan jaminan sosial
(social security) seringkali digunakan sebagai alternatif istilah
perlindungan sosial; akan tetapi istilah yang lebih sering digunakan di dunia
internasional adalah perlindungan sosial. ADB membagi perlindungan sosial ke
dalam 5 (lima) elemen, yaitu: (i) pasar tenaga kerja (labor markets);
(ii) asuransi sosial (social insurance); (iii) bantuan sosial (social
assitance); (iv) skema mikro dan area-based untuk perlindungan
bagi komunitas setempat; dan (v) perlindungan anak (child protection).
Namun,
menurut Bank Dunia dalam “World Bank Social Protection Strategy”,
konsep yang digunakan oleh ADB dalam membagi perlindungan sosial tersebut
masih tradisional. Bank Dunia mendefinisikan perlindungan sosial sebagai: (i)
jejaring pengaman dan ‘spring board’; (ii) investasi pada sumberdaya manusia;
(iii) upaya menanggulangi pemisahan sosial; (iv) berfokus pada penyebab,
bukan pada gejala; dan (v) mempertimbangkan keadaan yang sebenarnya.
Menanggapi konsep ADB dan Bank Dunia, menyejajarkan perlindungan sosial
dengan jejaring pengaman bisa berarti menyempitkan makna perlindungan sosial
itu sendiri.
Akan
halnya ILO (2002) dalam “Socal Security and Coverage for All”,
perlindungan sosial merupakan konsep yang luas yang juga mencerminkan
perubahan-perubahan ekonomi dan sosial pada tingkat internasional. Konsep ini
termasuk jaminan sosial (social security) dan skema-skema swasta.
Lebih jauh, dijelaskan bahwa sistem perlindungan sosial bisa dibedakan dalam
3 (tiga) lapis(tier): Lapis
Pertama merupakan jejaring pengaman sosial yang didanai penuh oleh
pemerintah; Lapis Kedua merupakan
skema asuransi sosial yang didanai dari kontribusi pemberi kerja (employer)
dan pekerja; dan Lapis Ketiga
merupakan provisi suplementari yang dikelola penuh oleh swasta. Dengan
demikian bisa disimpulkan bahwa definisi tersebut berdasarkan kontributor
dana dalam tiap skema.
Seperti
halnya perlindungan sosial, terdapat pula berbagai macam interpretasi jaminan
sosial (social security). ILO (2002) menyebutkan bahwa jaminan sosial
merupakan bentuk perlindungan yang disediakan dalam suatu masyarakat untuk
masyarakat itu sendiri melalui berbagai upaya dalam menghadapi kesulitan
keuangan yang dapat terjadi karena kesakitan, kelahiran, pengangguran,
kecacatan, lanjut usia, ataupun kematian. Lebih jauh dijelaskan bahwa jaminan
sosial terdiri dari asuransi sosial, bantuan sosial, tunjangan keluarga, provident
funds, dan skema yang diselenggarakan oleh employer seperti kompensasi
dan program komplimenter lainnya.
Oleh
karena itu, untuk keperluan penulisan paper ini akan dikaji tentang program
jaminan sosial (social insurance) dan program bantuan sosial (social
assistance).
II.
SITUASI SAAT INI DI INDONESIA
JAMINAN
SOSIAL (SOCIAL INSURANCE)
Pelaksanaan
jaminan sosial (social insurance) khususnya untuk tenaga kerja formal di
Indonesia secara umum meliputi penyelengaraan program-program Jamsostek,
Taspen, Askes, dan Asabri. Penyelengaraan program Jamsostek didasarkan pada
UU No 3 Tahun 1992, program Taspen didasarkan pada PP No 25 Tahun 1981,
program Askes didasarkan pada PP No 69 Tahun 1991, program Asabri didasarkan
pada PP No 67 Tahun 1991, sedangkan program Pensiun didasarkan pada UU No 6
Tahun 1966. Penyelenggaraan asuransi sosial di Indonesia tersebut berbasis
kepesertaan, yang dapat dibedakan atas kepesertaan pekerja sektor swasta,
pegawai negeri sipil (PNS),dan anggota TNI/Polri.
Jaminan
Sosial TenagaKerja (JAMSOSTEK)
Jaminan
sosial tenaga kerja (Jamsostek) pada prinsipnya merupakan sistem asuransi
sosial bagi pekerja (yang mempunyai hubungan industrial) beserta keluarganya.
Skema Jamsostek meliputi program-program yang terkait dengan risiko, seperti
jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pemeliharaan kesehatan,
dan jaminan hari tua.
Cakupan jaminan kecelakaan kerja (JKK) meliputi:
biaya pengangkutan, biaya pemeriksaan, pengobatan, perawatan, biaya
rehabilitasi, serta santunan uang bagi pekerja yang tidak mampu bekerja, dan
cacat. Apabila pekerja meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, mereka
atau keluarganya berhak atas jaminan kematian (JK) berupa biaya pemakaman dan
santunan berupa uang. Apabila pekerja telah mencapai usia 55 tahun atau
mengalami cacat total/seumur hidup, mereka berhak untuk memperolah jaminan hari
tua (JHT) yang dibayar sekaligus atau secara berkala. Sedangkan jaminan
pemeliharaan kesehatan (JPK) bagi tenaga kerja termasuk keluarganya,
meliputi: biaya rawat jalan, rawat inap, pemeriksaan kehamilan dan
pertolongan persalinan, diagnostik, serta pelayanan gawat darurat.
Pada dasarnya program Jamsostek merupakan sistem
asuransi sosial dengan sistem pendanaan penuh (fully funded
system), yang dalam hal ini menjadi beban pemberi kerja dan pekerja.
Sistem tersebut secara teori merupakan mekanisme asuransi. Penyelengaraan
sistem asuransi sosial biasanya didasarkan pada fully funded system,
tetapi bukan harga mati. Dalam hal ini pemerintah tetap diwajibkan untuk
berkontribusi terhadap penyelengaraan sistem asuransi sosial, atau paling
tidak pemerintah terikat untuk menutup kerugian bagi badan penyelengara
apabila mengalami defisit. Di sisi lain, apabila penyelenggara program
Jamsostek dikondisikan harus dan memperoleh keuntungan, pemerintah akan
memperoleh deviden karena bentuk badan hukum Persero.
Setiap perusahaan swasta yang
memperkerjakan sekurang-kurangnya 10 orang atau dapat membayarkan upah
sekurang-kurangnya Rp 1 juta rupiah per bulan diwajibkan untuk mengikuti
sistem jaminan sosial tenaga kerja ini. Namun demikian, belum semua
perusahaan dan tenaga kerja yang diwajibkan telah menjadi peserta Jamsostek.
Data menunjukan, bahwa sektor informal masih mendominasi komposisi
ketenagakerjaan di Indonesia, mencapai sekitar 70,5 juta, atau 75 persen dari
jumlah pekerja – mereka belum tercover dalam Jamsostek.
Tabungan Pensiun (TASPEN)
PT. TASPEN
(Persero) sebagai penyelenggara program asuransi sosial bagi PNS yang terdiri
dari Dana Pensiun dan Tabungan Hari Tua (THT). Disamping itu, pada saat ini
PT. TASPEN juga membayarkan beberapa program lainnya seperti Asuransi
Kematian; Uang Duka Wafat; Bantuan untuk Veteran; dan Uang TAPERUM dari
BAPERTARUM.
Pengelolaan program pensiun, berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 1969
pendanaan pensiun dibebankan kepada APBN. Sistem ini disebut sebagai
pendanaan “pay as you go” (seorang PNS begitu pensiun langsung
dibayar) dan telah dilakukan sampai dengan akhir 1993. Sejak tahun 1994
pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menetapkan sistem pendanaan pensiun
dengan pola “current cost financing” yaitu suatu metode
gabungan pay as you go dengan sistem funded dalam rangka
pemberdayaan akumulasi iuran peserta program pensiun PNS. Dalam sistem pendanaan
ini, beban pembayaran pensiun yang dialokasikan dari APBN adalah sebesar 75
persen dan dari akumulasi iuran peserta sebesar 25 persen dari seluruh beban
pembayaran pensiun PNS.
Sasaran program jaminan sosial hari
tua/pensiun yang dilaksanakan oleh PT (Persero) Taspen adalah semua Pegawai
Negeri Sipil, kecuali PNS di lingkungan Departemen Pertahanan – Keamanan.
Pada tahun 2001 jumlah PNS adalah sebanyak 3.932.766 orang dengan rincian
sebanyak 3.002.164 PNS daerah, dan sebanyak 930.602 orang PNS pusat. Yang
berhak mendapat pensiun sesuai dengan peraturan perundang yang berlaku adalah
peserta; atau janda/duda dari peserta, dan janda/duda dari penerima pensiun;
atau yatim piatu dari peserta, dan yatim piatu dari penerima pensiun; atau
orang tua dari peserta yang tewas yang tidak meninggalkan janda/duda/anak
yatim piatu yang berhak menerima pensiun. Sedangkan yang berhak mendapat
tabungan hari tua adalah peserta; atau istri/suami, anak atau ahli waris
peserta yang sah dalam hal peserta meninggal dunia.
Asuransi ABRI (ASABRI)
Program
kesejahteraan bagi anggota TNI diatur dalam beberapa Undang-undang, seperti:
Undang-undang No. 2 Tahun 1959 tentang Pemberian Pensiun dan Onderstand
Angkatan Perang RI; Undang-undang No. 6 Tahun 1966 tentang Pensiun,
Tunjangan bersifat Pensiun dan Tunjangan bagi Mantan prajurut TNI dan Anggota
POLRI; Undang-undang No. 75 tahun 1957 tentang Veteran Pejuang Kemerdekaan
RI; dan Undang-undang No. 15 Tahun 1965 tentang Veteran RI. Dalam
penyelenggaraan program asuransi sosial bagi PNS telah diatur dalam PP Nomor
25 Tahun 1981, dimana diantaranya diatur mengenai besarnya iuran bagi setiap
PNS untuk program Tabungan Hari Tua (THT) dan Pensiun.
Asuransi Kesehatan (ASKES)
Sistem
perlindungan sosial yang ada saat ini adalah Sistem Asuransi Kesehatan (yang
diselenggarakan oleh PT Askes), untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai
ketentuan yang berlaku. Ruang lingkup pelayanan yang diberikan antara lain,
konsultasi medis dan penyuluhan kesehatan, pemeriksaan dan pengobatan oleh
dokter umum dan atau paramedis, pemeriksaan dan pengobatan gigi, dan lainnya.
Potongan iuran wajib atau premi untuk dana
pemeliharaan kesehatan bagi pegawai negeri sipil (PNS), dan penerima pensiun
beserta anggota keluarganya, diatur melalui Keputusan Presiden. Keputusan
Presiden yang masih berlaku sampai sekarang adalah Keputusan Presiden No. 8
tahun 1977, menyatakan bahwa 2 persen dari penghasilan pegawai digunakan
untuk pemeliharaan kesehatan Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun. Kemudian
dengan UU No. 43 tahun 1999, pasal 32, dinyatakan bahwa untuk penyelenggaraan
asuransi kesehatan pemerintah menanggung subsidi dan iuran yang besarnya
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Selain menyelenggarakan asuransi kesehatan sosial
bagi pegawai negeri sipil, pensiunan, veteran dan perintis kemerdekaan, PT
Askes juga menyelenggarakan Askes komersial untuk perusahaan swasta yang
memerlukan jaminan pemeliharaan kesehatan karyawan.
BANTUAN
SOSIAL (SOCIAL ASISSTENCE)
Bantuan
sosial yang akan dikaji dalam paper ini adalah merupakan program kesejateraan
sosial yang memfokuskan pada perlindungan bagi penduduk miskin yaitu:
jaminanan kesehatan dan pendidikan bagi penduduk miskin serta Bantuan
Langsung Tunai.
Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK-Gakin)
Untuk
mengatasi tingginya pembiayaan kesehatan adalah dengan memperbaiki pembiayaan
kesehatan dengan jaminan kesehatan sosial. Asuransi kesehatan dipandang
sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah pembiayaan kesehatan. Untuk
menjamin kesinambungan pembiayaan pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin,
pemerintah meluncurkan sistem jaminan kesehatan dalam bentuk jaminan
pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK Gakin).
Sejak tahun 1998, pemerintah telah membiayai
pemeliharaan keluarga miskin (Gakin), melalui program jaminan pemeliharaan
kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin) khususnya untuk pelayanan kesehatan
dasar yang kemudian diperluas untuk pelayanan pencegahan dan pemberantasan
penyakit menular (khususnya malaria, diare, dan TB paru). Kemudian, pada
akhir tahun 2001 disalurkan dana subsidi bahan bakar minyak (PDPSE) untuk
pelayanan rumah sakit (RS) bagi keluarga miskin. Program ini diselenggarakan
untuk mengatasi dampak krisis dengan memberikan pelayanan kesehatan gratis
bagi keluarga miskin melalui subsidi biaya operasional Puskesmas, Bidan di
Desa, Gizi, Posyandu, Pemberantasan penyakit menular (P2M) dan rujukan RS.
Jaminan
Pendidikan Keluarga Miskin
Jaminan
pendidikan bagi keluarga miskin dilakukan oleh Pemerintah melalui program
Jaring Pengaman Sosial (JPS) akibat adanya krisis ekonomi pada tahun 1997.
Bentuk bantuan adalah antara lain dengan memberikan biaya pendidikan dalam
bentuk beasiswa bagi murid dari keluarga miskin. Sebagaimana target
Pemerintah dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun (hingga Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama/SLTP), maka pemberian beasiswa tersebut diprioritaskan bagi
murid Sekolah Dasar/SD dan SLTP, ditambah dengan murid Sekolah Menengah
Umum/SMU dari keluarga miskin saja. Sementara itu, mahasiswa dari keluarga
miskin – apabila keluarganya tidak mampu membiayainya lagi – maka mereka akan
secara “terpaksa” menjadi drop-out.
Selanjutnya dengan JPS pada tahun 2002, maka Pemerintah telah melaksanakan
program serupa, yaitu melalui Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan
Bakar Minyak (PKPS BBM), pada periode 2002/2003. Pada dasarnya mekanisme
pelaksanaan program PKPS BBM ini menggunakan sistem yang sama dengan JPS,
hanya sumber dananya berasal dari APBN murni. Program ini juga memberikan
beasiswa/Bantuan Khusus Murid (BKM) dan Bantuan Khusus Sekolah (BKS),
sebagaimana JPS dengan pemberian beasiswa dan DBO-nya. Adapun besarnya
DBO atau BKS masing-masing adalah Rp 2 juta bagi SD, Rp 4 juta bagi
SLTP, dan Rp 10 juta bagi SMU.
Subsidi
Langsung Tunai
Program Subsidi Langsung Tunai(SLT) dimasudkan untuk
mengurangi beban masyarakat miskin akibat dampak
dari kenaikan bahan bakar minyak (BBM) pada bulan Oktober 2005. Pemberian SLT
ini bertujuan untuk menjaga daya beli rumah tangga miskin di seluruh
kabupaten/kota yang terjangkau, agar tidak tergerus oleh kenaikan harga umum
setelah subsidi BBM dikurangi.
Penerima SLT adalah
rumah tangga yang tergolong miskin hingga mendekati miskin. SLT direncanakan
diberikan kepada 19,2 juta rumah tangga miskin (RTM) di 440 kabupaten/kota
selama satu tahun (Oktober 2005-September 2006). Selanjutnya, pada tahun 2007
mulai dilaksanakan program Bantuan Tunai Bersyarat (BTB). Berbeda dengan SLT,
program BTB memberikan bantuan langsung kepada rumah tangga miskin apabila
rumah tangga tersebut memenuhi persyaratan, yaitu menyekolahkan anak dan
memeriksakan kesehatan anak balitanya.
III. TELAAH KEBIJAKAN TENTANG PROGRAM JAMINAN
SOSIAL DAN BANTUAN SOSIAL
Sebagaimana
yang telah dipaparkan diatas bahwa program jaminan sosial dan program
kesejahteraan merupakan program publik dalam arti bahwa program- program tersebut
ditujukan kepada dan bersifat wajib bagi seluruh warga negara yang
pengelolaannya dilakukan di bawah pengawasan negara berdasarkan peraturan
perundang- undangan. Program- program tersebut memberikan perlindungan kepada
seluruh warga negara melalui seperangkat instrumen publik, terhadap kesulitan
ekonomi dan sosial yang berakibat tidak terpenuhinya kebutuhan dasar warga
negara.
Hukum dan Kelembagaan
Landasan
hukum sistim jaminan sosial dan bantual sosial pada saat ini masih bersifat
parsial. Jaminan Sosial untuk pegawai swata formal dilaksanakan oleh PT
JAMSOSTEK yang dilandasi oleh UU No. 3 Tahun 1992. Sedangkan jaminan
sosial untuk pegawai negeri sipil dilaksnakan oleh PT ASKES untuk jaminan
kesehatan dan PT TASPEN untuk jaminan hari tua dan pensiun yang masing-
masing dilandasi oleh UU No. 2 Tahun 1992 dan UU No. 43 Tahun 1999. Selain
itu, jaminan sosial untuk TNI/ POLRI diselenggarakan oleh PT ASABRI melalui
UU No. 6 Tahun 1966.
Produk hukum yang bervariasi tersebut mengakibatkan
banyaknya institusi/ lembaga yang melaksanakan jaminan sosial. Hal ini
berlawanan dengan law of the larga
number (hukum bilangan besar), yaitu dengan cakupan besar (peserta
asuransi sosial) maka sebaran resiko (risk
distribution) akan lebih merata dan beban yang dipikul masing- masing
peserta (premi) akan semakin kecil.
Kelembagaan pengelolaan program jaminan sosial dan
bantuan sosial yang ada saat ini dilakukan oleh banyak instansi. Misalnya,
untuk asuransi sosial dikelola oleh BUMN dibawah Departemen Keuangan yang
bertujuan profit oriented. Sementara itu, bantuan sosial dikelola oleh banyak
departemen/ LPND yang tidak jarang menimbulkan tumpang tindih, karena
lemahnya koordinasi.
Pengalaman beberapa negara yang cukup berhasil dalam
pengelolaan program jaminan dan bantuan sosial, menunjukkan bahwa pengelalaan
tersebut dilakukan oleh satu lembaga (centralized) yang independent. Lembaga tersebut antara lain mempunyai
otoritas untuk koordinasi, pemantauan pelaksanaan program, pengelolaan dana
dan investa serta melakukan pemasyarakatan program dengan memperhatikan
prinsip economic of scale dan cost effctivenes.
Pencapaian Sasaran Program Jaminan
Sosial
Selama ini
pelaksanaan jaminan sosial bagi penduduk usia
produktif (tenaga kerja) lebih fokus pada tenaga kerja di sektor formal baik
pekerja pemerintah (PNS) maupun pekerja swasta. Dilihat dari cakupan
kepesertaan, jaminan sosial di sektor pemerintah (PNS) tidak ada masalah baik
yang dilakukan oleh PT ASKES, PT TASPEN maupun PT ASABRI. Semua pegawai
negeri (baik sipil maupun militer) tercakup dalam skema tersebut; PT Askes
dan PT Taspen untuk PNS dan PT ASABRI untuk anggota militer. Dengan demikian
di sektor pemerintah, tidak ada masalah berkaitan dengan perluasan
kepesertaan.
Masalah yang timbul adalah berkaitan dengan cakupan kepesertaan jaminan
sosial di sektor swasta. Data yang ada memperlihatkan pada tahun 2000 baru
sekitar separuh (57,5 persen) pekerja di sektor formal (di luar PNS) yang
sudah terdaftar sebagai peserta Jamsostek. Selama 22 tahun sejak
beroperasinya pada tahun 1977, PT Jamsostek baru mampu mencakup sekitar 18,1
juta pekerja. Jumlah tersebut adalah jumlah yang terdaftar. Jika dipertajam
terhadap mereka yang benar-benar aktif memberikan premi maka jumlah
kepesertaan tersebut akan makin kecil.
Jika melihat data tahun 2000, masih ada sekitar 13,39 juta pekerja di sektor
formal yang belum tercakup dalam jaminan sosial. Masih banyaknya pekerja
(baik secara absolut maupun relatif) yang belum menjadi peserta jaminan
sosial mendorong perlunya strategi dalam memperluas kepesertaan jaminan
sosial di sektor formal.
Masalah cakupan kepesertaan jaminan sosial makin berat dihadapi di tenaga
kerja sektor informal. Selama ini belum ada lembaga yang menangani secara
sistematis tentang bagaimana mendorong kepesertaan jaminan sosial di tenaga
kerja sektor informal. PT Jamsostek sebagai pelaksana jaminan sosial masih
berkonsentrasi untuk mengembangkan kepesertaan di tenaga kerja sektor formal.
Itupun cakupannya masih terbatas. Padahal proporsi pekerja di sektor informal
justru lebih besar dibanding pekerja di sektor formal.
Data yang ada menunjukkan bahwa dari 90,8
juta pekerja sekitar 64,4 persen bekerja di sektor informal. Sementara
yang bekerja di sektor formal hanya sekitar 35,6 persen. Jika dibanding
dengan jumlah seluruh pekerja (formal dan informal) yang berjumlah 89,8 juta
(tahun 2000) maka cakupan peserta jaminan sosial 20,2 persen. Proporsi
tersebut bertambah kecil lagi jika dibanding dengan angkatan kerja (tahun
2002) yang berjumlah 95,65 juta dan jumlah peserta yang terdaftar pada
Jamsostek sebanyak 18,14 juta (tahun 2000) maka proporsi angkatan kerja yang
tercakup oleh Jamsostek baru 18,97 persen. Padahal idealnya seluruh angkatan
kerja dapat dicakup dalam Jamsostek. Dengan cakupan kepesertaan yang rendah
seperti itu maka perlu ada kebijakan dan program yang dapat meningkatkan
cakupan kepesertaan jamsostek.
Mempertajam Sasaran Program
Bantuan Sosial
Selama ini bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah
sudah dilakukan secara per sektor, misalnya kesehatan dan pendidikan. Ke
depan upaya pemberian bantuan sosial yang dilakukan secara per sektor tetap
dilanjutkan karena hal itu terkait dengan administrasi kebijakan publik yang
ada. Hanya yang perlu ditingkatkan adalah koordinasi antar sektor agar
berbagai program bantuan sosial yang dilakukan oleh masing-masing sektor
tidak terjadi tumpang tindih dan dapat lebih tepat sasaran.
Salah satu masalah penting yang perlu diperhatikan dalam pemberian bantuan
sosial adalah bagaimana agar bantuan sosial tersebut dapat lebih tepat
sasaran, diterima oleh yang benar-benar membutuhkannya. Harus ada upaya yang
sungguh-sungguh dan sistematis dalam mengenali sasaran dari berbagai program
bantuan sosial, sehingga dana bantuan sosial yang terbatas benar-benar dapat
sampai pada penduduk yang benar-benar membutuhkannya. Banyak program yang
perlu dilakukan berkaitan dengan penajaman dan pengenalan sasaran. Salah satu
di antaranya adalah dengan mengembangkan test kebutuhan (mean test)
sebagai salah satu instrumen untuk meyakinkan bahwa dana bantuan sosial yang
akan diberikan benar-benar sesuai dan tepat sasaran.
Berbagai program bantuan sosial yang diberikan pemerintah pada akhirnya
bermuara pada upaya untuk mendorong penduduk agar terlepas dari kemiskinan
sehingga dengan demikian mereka dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara
mandiri. Makin banyak penduduk yang miskin akan makin banyak pula dana yang
diperlukan untuk program bantuan sosial. Oleh karena itu salah satu strategi
dalam pemberian bantuan sosial adalah bagaimana mempercepat upaya pengentasan
kemiskinan.
Pendanaan Program Jaminan dan
Bantuan Sosial
Pendanaan dalam pengelolaan jaminan sosial berbeda dengan pendanaan
dalam pengelolaan bantuan sosial. Dana pengelolaan jaminan sosial (asuransi
sosial dan tabungan hari tua) berasal dari peserta (pemberi kerja dan
pekerja), sedang dana bantuan sosial merupakan subsidi yang sepenuhnya
berasal dari pemerintah. Kalaupun pemerintah mengeluarkan dana untuk jaminan
sosial adalah dalam kaitan pemerintah sebagai pemberi kerja yang harus
mengeluarkan dana jaminan sosial bagi para pekerjanya (sipil ataupun
militer).
Ada beberapa sistem berkaitan dengan pendanaan jaminan sosial. Secara umum
dari segi pembiayaannya, jaminan sosial dapat dibedakan atas: (a) Pay-as-you-go
sistem yaitu suatu jaminan yang dibayarkan dari iuran pada tahun yang
sama atau funded sistem (dibentuk dana cadangan sebelum pembayaran
jaminan) yang digunakan untuk pembiayaan hari tua; (b) Fee-for-service
sistem yaitu suatu imbalan yang dibayarkan pada setiap jasa yang
diberikan atau prepayment sistem yaitu suatu imbalan yang dibayarkan
di muka sesuai tarif/iuran yang ditentukan khususnya untuk pembiayaan jaminan
pemeliharaan kesehatan.
Pembiayaan pay-as-you-go umumnya
digunakan dengan metode defined-benefit, sedangkan funded sistem
digunakan dalam metode define contributions. Dan pembayaran fee-for-service
umumnya digunakan dalam metode indemnity insurance, sedangkan prepayment
sistem digunakan dalam managed care.
Berbagai sistem pembiayaan sebagaimana diuraikan
diatas digunakan oleh masing-masing pengelola jaminan sosial sesuai
kebutuhannya. Dalam kaitan ini perlu ada kajian yang komprehensif tentang
sistem pembiayaan (pendanaan) mana yang lebih sesuai untuk masing-masing
badan pengelola sehingga masing-masing badan pengelola dapat lebih
meningkatkan kinerjanya. Termasuk pula kemungkinan melakukan penarikan iuran
jaminan sosial melalui pajak (sosial security tax).
Pendanaan bantuan sosial, sebagaimana
disebutkan diatas bahwa dana untuk bantuan sosial berasal dari subsidi
pemerintah baik pusat maupun daerah. Dengan demikian dana bantuan sosial
tersebut sebagian besar berasal dari APBN ataupun APBD. Sayangnya kondisi
APBN saat ini belum begitu mendukung. Menurut BAPPENAS untuk APBN 2007
diperkirakan masih mengalami defisit sebesar Rp 24,4 trilyun. Dengan kondisi
seperti itu maka pengeluaran pemerintah masih lebih banyak untuk pengeluaran
rutin, dimana pengeluaran rutin rutin pemerintah lebh ditujukan untuk (a)
menjaga kelancaran penyelenggaraan pemerintahan negara dan meningkatkan
kualitas pelayaan publik; (b) memenuhi kewajiban membayar bunga hutang; (c)
melaksanakan program subsidi dalam rangka mengurangi beban masyarakat miskin
dan membantu kelompok usaha kecil menengah; (d) menyediakan dana cadangan
umum untuk mengantisipasi tidak tercapainya sasaran ekonomi makro,
ketidaksesuaian pelaksanaan kebijakan yang direncanakan dengan
pelaksanaannya, dan; (f) menghadapi keadaan darurat seperti bencana alam.
Defisit anggaran diperkirakan akan terus
berlanjut dan mengalami masa sulit terutama pada tahun 2006-2008 dikarenakan
beberapa hal seperti (a) pembayaran hutang luar negeri dan dalam negeri yang
sudah mulai jatuh tempo; (b) semakin terbatasnya pembiayaan yang berasal dari
dalam negeri; (c) sulitnya upaya peningkatan penerimaan negara (pajak)
sebagai akibat dari belum pulihnya kondisi perekonomian nasional.
Dengan kondisi APBN yang masih defisit
seperti itu maka bisa diduga bahwa kemampuan negara dalam membiayai bantuan
sosial masih terbatas. Dan untuk itu perlu ada penajaman tentang kegiatan
bantuan sosial mana yang perlu mendapat prioritas lebih tinggi. Upaya
penanggulangan kemiskinan tampaknya menjadi salah satu fokus program bantuan
sosial yang perlu mendapat prioritas tinggi. Dengan dapat mengatasi
kemiskinan maka berarti penduduk yang menjadi sasaran bantuan sosial makin
berkurang, dan kemudian diharapkan dapat mengikuti berbagai bentuk jaminan
sosial.
IV.
KESIMPULAN
Berdasarkan
telaahan tersebut diatas, perlu dibuat skala prioritas tentang program mana
yang akan dilakukan terlebih dahulu. Dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat
memperlihatkan masih banyak yang memerlukan bantuan sosial maka dalam satu
sampai tiga tahun kedepan pelaksanaan kebijakan dan program masih
memprioritaskan bantuan sosial. Oleh karena itu, diupayakan untuk lebih
mengefektifkan berbagai program bantuan sosial yang dilakukan oleh pemerintah
dalam upaya mempercepat pengentasan kemiskinan.
Selanjutnya, apabila kondisi ekonomi masyarakat semakin baik, maka kebijakan
dan program lebih diarahkan pada peningkatan jangkauan kepesertaan dan
kinerja jaminan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Asian Development
Bank. Social Protection Strategy. ADB, Manila. 2001
Armando Barrientos and
Andrew Shepherd. Chronic Poverty and Social Protection. University of
Manchester, Inggris. 2003
BAPPENAS,
Peta Kemiskinan di Indonesia,
BAPPENAS, Mei 2003
BPS,
Data dan Informasi Kemiskinan 2002 Buku
1: Propinsi, BPS, Jakarta, Desember 2002
BPS,
Indikator Tingkat Hidup Pekerja
2000-2002, BPS, Jakarta, Februari 2003
BPS,
Laporan Perekonomian Indonesia 2002,
BPS, Jakarta, Desember 2002
Bambang Purwoko
(2002). Social Protection in Indonesia. Social protection in Southeast
& East Asia / [ed. by Erfried Adam]. Friedrich-Ebert-Stiftung,
Bonn, 2002
Canagarajah,
Sudharshan & S.V. Sethuraman. “Social Protection and the Informal Sector
in Developing Countries: Challenges and Opportunities”, Social Protection Discussion Paper Series, The World Bank,
December 2001
Deutsche Stiftung fur
internationale Entwicklung-DSE. Discussion Report – Beyond Safety Nets:
The Challenge of Social Protection in a Globalizing World.
Deutsche Stiftung fur
internationale Entwicklung-DSE. Social Protection as a Factor of National
Cohesion: The Practice and Experience of China. Ma Fengzhi, Peking
University, China.
Deutsche Stiftung fur
internationale Entwicklung-DSE. Moving Social Protection Beyond a “Safety
Net” Approach in Latin America and the Caribbean. Ana Sojo, Economic
Commission for Latin America and Caribbean-ECLAC United Nations. Chile.
Deutsche Stiftung fur
internationale Entwicklung-DSE. Linking Informal and Formal Social
Security Systems. Hans Gsager. German Development Institute.
Deutsche Stiftung fur
internationale Entwicklung-DSE. Social Protection System for Older People
in Bangladesh. Zarina Nahar Kabir, Stockholm Gerontology Research Center,
Sweden.
Eduardo T. Gonzalez
and Rosario Gregorio Manasan. Social Protection in Philippines. Social
protection in Southeast & East Asia / [ed. by Erfried Adam].
Friedrich-Ebert-Stiftung, Bonn, 2002.
Holzmann,
Robert & Steen Jorgensen, “Social Protection as Social Risk
Management: Concptual Underpinnings for the Social Protection Sector Strategy
Paper”, Social Protection Discussion
Paper Series, The World Bank, January 1999
International Labor
Organization. Social Security and Coverage for All. ILO. 2002
International
Social Security Association (ISSA), The
Social Security Reform Debate. In Search of a New Consensus. A Summary,
ISSA, 1998
Jorgensen,
Steen Lau & Julie Van Domelen, “Helping the Poor Manage Risk Better: The
Role of Social Funds”, Social
Protection Discussion Paper Series, The World Bank, 1999
Kantor
Menteri Kependudukan & UNFPA, Rencana
Aksi Nasional Dukungan Keluarga dan Masyarakat terhadap kehidupan Lansia,
Jakarta, 1999
Michael von Hauff. The
Relevance of Social Security for Economic Development. 2002
Mundiharno, Determinan Sosial Ekonomi
Intergenerational Transfer: Analisis Data IFLS I, thesis, Universitas
Indonesia, 1999
Perwira,
Daniel et al., “Perlindungan Tenaga Kerja Melalaui Sistem Jaminan Sosial:
Pengalaman Indonesia”, kertas kerja,
SMERU, Juni 2003
Purwoko,
Bambang, “FACS Program: Australian System”, paper disampaikan dalam FGD 13 Januari 2004
Ragayah Haji Mat Zin,
Hwok Aun Lee, and Saaidah Abdul-Rahman. Social Protection in Malaysia.
Social protection in Southeast & East Asia / [ed. by Erfried Adam].
Friedrich-Ebert-Stiftung, Bonn, 2002.
Standing,
Guy, “Unemployment and Income Security”, paper,
International Labour Organization, June 2000
|
No comments:
Post a Comment