CONDITIONAL
CASH TRANFER (CCT) DI INDONESIA
OLEH:
PURWOWIBOWO
A. PENDAHULUAN
Pasang-surut perekonomian dunia banyak ditentukan oleh kenaikan harga minyak di
pasar dunia 10 tahun terakhir ini. Banyak negara mengalami kesulitan ekonomi
yang ditimbulkan dari dampak negatif melonjaknya harga minyak dunia itu,
termasuk Indonesia. Kenaikan harga minyak ini kemudian telah menyebabkan
efek domino terhadap berbagai komuditas, ongkos transportasi, harga kebutuhan
pokok masyarakat, dan kebutuhan lainnya ikut terdongkrat naik. Bagi masyarakat
berpenghasilan tinggi dan menengah, mungkin hanya sedikit tambahan beban yang
harus ditanggung, tetapi, bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan yang tidak
mempunyai penghasilan, beban kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) semakin
memberatkan kehidupan mereka.
Kenaikan harga berbagai kebutuhan yang tidak diikuti dengan upah (gaji) bagi
mereka yang berpenghasilan rendah, tentu menjadikan mereka semakin menurun
kemampuannya di dalam memenuhi kebutuhan hidunya. Mereka yang berada di atas
garis kemiskinan, misalnya, secara otomatis terjebur kembali kepada kondisi
kemiskinan. Dengan kemiskinan yang dialami, maka mereka semakin menurun
kemampuan daya belinya, terutama untuk membeli kebutuhan pokok sehari-hai bagi
keluarganya.
Dalam rangka melakukan perlindungan sosial (social protection)
bagi masyarakat, maka pemerintah membuat berbagai kebijakan. Salah satu
kebijakan itu adalah memberikan bantuan langsung tunai (cash transfer)
bagi masyarakat yang betul-betul sangat memerlukan, dan kebijakan ini sangat
populer dengan istilah Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Pemerintah menyadari bahwa kenaikan harga bahan bakar minyak telah menimbulkan
dampak yang sangat siginifikan terhadap masyarakat, utamanya keluarga-keluarga
miskin. Oleh karena itu, berdasarkan hasil analisis dan evaluasi terhadap
kebijakan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) tahun 2006 dan untuk
meringankan beban masyarakat akibat kenaikan bahan bakar pada tahun 2008 ini
Pemerintah kembali menetapkan kebijakan pemberian bantuan langsung tunai (BLT)
Plus. Bantuan ini terdiri dari uang tunai sebesar Rp. 100.000,- (Seratus Ribu
Rupiah) serta bahan kebutuhan pokok berupa gula pasir (putih) dan minyak goreng
yang diberikan setiap bulan kepada 19,1 juta keluarga sangat miskin hasil
verifikasi data oleh Badan Pusat Statistik.
Penduduk miskin yang semula berjumlah 34,91 juta (BPS, 1999) meningkat
menjadi 38,40 juta (BPS, 2002). Meskipun belum terbukti secara ilmiah,
BLT menurut pemerintah diklaim telah mampu menurunkan penduduk miskin
Indonesia, yakni dari penduduk miskin yang semula berjumlah 38,40 juta menjadi
34,96 juta orang atau 15,42 persen (BPS, 2008). BLT telah disalurkan sejak
tahun 2005 dan kemudian tahun 2008 dan disalurkan kepada 18,83 juta rumah
tangga atau 99,02% dari seluruh RTS (Rumah Tangga Sasaran).
A. Rumusan Masalah
Perlindungan sosial (soscial Protection) merupakan agenda penting tidak
hanya Indonesia, tetapi juga merupakan kebijakan regional dan internasional
(UN, ESCAP, 2010). Dengan memberikan bantuan mengenai makanan, bahan bakar, dan
keuangan sewaktu krisis terjadi pada tahun 2008, bantuan tersebut dapat
menyelamatkan jutaaan orang sehingga dapat mempertinggi perekonomiannya dan
mengurangi risiko sosial, khususnya bagi mereka yang hidup dalam kondisi
kemiskinan atau mendekati kemiskinan. Salah satu bentuk perlindungan sosial
dalam menghadapi krisis perekonomian dunia, di beberapa negara Asia-Pasific
melaksanakan program BLT (cash tranfer). Di Indonesia program ini telah
dilaksanakan dua kali yakni, tahun 2005 dan 2008. Dengan telah dilaksanakan dua
kali program ini, apakah telah menjadi suatu program yang sesuai dengan program
pembangunan sosial yang dicanangkan oleh Indonesia?
B. Kerangka Pemikiran
Kerentanan sosial (social vulnerable) masyarakat berpenghasilan rendah
dan dalam kondisi miskin tidak hanya dipengaruhi oleh suatu kebijakan
pemerintah, seperti menaikkan harga BBM, tetapi juga bisa dipengaruhi oleh
bencana alam dan cuaca yang sangat ekstrem (buruk). Kondisi demikian dapat
menambah tekanan bagi mereka dan menimbulkan kerusakan kehidupan, harta benda,
sumber daya komunitas dan ekonomi setempat.
Akibat dari dampak tersebut menimbulkan pemikiran kembali untuk merubah
mengenai kebijakan perlindungan sosial (social protection policy).
Pendekatan ini merupakan kebijakan dengan menggunakan intervensi khusus yang
bersifat reaktif untuk mengatasi masalah sosial yang muncul secara mendesak dan
cepat. Negara-negara Asia-Fasific sekarang ini telah bergerak maju secara
bersama-sama dan komprehensif dalam mengatasi masalah yang muncul untuk
memperkuat kemampuan dan mendorong fondasi penting dalam pembangunan sosial
yang dicanangkan. Munculnya krisis pangan dan bahan bakar beberapa tahun
terakhir ini, dan dampak lanjutan dari krisis keuangan global memberikan hal
baru bagi usaha yang harus dilakukan dengan cepat untuk mengatasi masalah yang
ada.
Negara-negara Asia dan Pasific yang dihuni orang miskin mendekati satu milyar
yang matapencahariannya sangat rentan dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan
sosial yang terjadi. Sebagian besar dari mereka mempunyai penghasilan yang
sangat rendah dan tidak tetap, sedikit mempunyai aset, jaringannya sangat
terbatas dan tidak mempunyai akses dalam proses politik. Mereka hidup dalam
keadaan yang sangat sulit di lingkungan yang kumuh, melawan tekanan dan stress
yang sangat mudah ditemui di beberapa tahun terakhir ini. Mereka
terdiskriminasi oleh sistem kasta, kesukuan, gender, geografi, politik dan
pilihan keagamaan, dan identitas migran. Untuk mengubah kondisi sosial mereka dan
kehidupannya, perlindungan sosial harus bergerak cepat dengan melakukan
intervensinya agar tanda-tanda dari ketidakberuntungannya dapat dilakukan
perubahan secara sistemik, yakni berubah menjadi tidak miskin dan mempunyai
kesetaraan.
Menutup gap pembangunan dengan melakukan kebijakan pembangunan sosial (social
development) merupakan langkah yang penting dan strategis, sehingga
dapat meningkatkan pendapatan dan jaminan kemanusiaan (human security),
mengurangi kemiskinan, dan ketidak-merataan. Negara-negara Asia-Fasific
melakukan kritik diri sendiri (auto critics) terhadap
keberlangsungan dan pemulihan ekonomi dengan tujuan mendinamiskan kawasan, yang
dipengaruhi oleh model pembangunan dunia. Anggota negara-negara Asia-Pasific
sekarang ini melakukan evaluasi untuk mengintegrasikan perlindungan sosial ke
dalam strategi bidang ekonomi dan bidang sosial untuk memberikan jaminan kepada
seluruh warga negaranya yang mempunyai tingkat jaminan sosial paling rendah.
Ide atau pemikiran perlindungan sosial sesungguhnya
memundurkan visi pembangunan sosial menjadi lebih sempit, dan terbatasnya
kebijakan sosial. Skema pemberian uang tunai bersyarat (BLT), misalnya, telah
dianggap sebagai sedekah dan dipakai sebagai “senjata ajaib” dalam
pembangunan" (Adesina, Jimi. 2010). Dengan
tujuan untuk mengoreksi dan mengevaluasi kegagalan pasar terkait dengan faktor
eksternalitas, program pemberian uang tunai bersyarat berusaha "untuk
memberikan insentif bagi individu agar mampu menyesuaikan perilaku mereka
terhadap kebijakan sosial”. Medel atau skema Transfer Uang Tunai bisa diterima
dan diminati seluruh masyarakat atau lembaga "donor", sebagai
instrumen pilihan kebijakan. Menurut mereka memberikan bantuan uang tunai
memberikan dorongan terhadap pasar terbuka yang efisien dalam alokasi sumber
daya, dan cocok untuk mendukung program anggaran. Di Afrika
Selatan, skema transfer uang tunai, merupakan instrumen utama intervensi
pemerintah dalam perlindungan sosial, telah banyak dirasakan manfaatnya bagi
sebagian besar penerimanya (Adesina, Jimi. 2010).
Di Indonesia khususnya, transfer uang tunai (BLT) yang dilakukan oleh
pemerintah, bukan semata-mata suatu kebijakan kompensasi atas naiknya harga
bahan bakar minyak, tetapi juga dianggap sebagai instrumen peredam gejolak
masyarakat, dan sekaligus sebagai wahana untuk mendorong daya beli masyarakat
dan gairah pasar yang lesu akibat dari dampak kebijakan menaikkan harga BBM.
Pemerintah menyadari bahwa kenaikan harga bahan bakar minyak telah menimbulkan
dampak yang sangat siginifikan terhadap masyarakat, utamanya keluarga-keluarga
miskin. Paling tidak BLT ini telah sedikit meringankan beban masyarakat
kurang mampu, khususnya penerimanya, untuk dapat menyesuaikan diri terhadap
pemenuhan kebutuhan sehari-hari (kebutuhan pokok), yang selama ini telah
menjadi beban berat bagi mereka. Dengan pengalaman pemberian BLT yang
telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat pada tahun 2006 lalu, kemudian
pemerintah memberikan BLT lagi pada 2008, dengan skema yang masih sama, tetapi
diperbaiki beberapa hal, dengan disebut dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT)
Plus.
Penetapan jumlah sasaran, jumlah bantuan per bulan, jenis bantuan, mekanisme
dan prosedur penyaluran BLT Plus pada tahun 2008 dilakukan atas dasar
pertimbangan sebagai berikut :
1. Bahan
bakar minyak (BBM) merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam rumah
tangga. Akibat kenaikan, akan berpengaruh langsung dan tidak langsung
dalam pemenuhan kebutuhan pokok setiap rumah tangga dalam masyarakat, utamanya
rumah tangga miskin dan sangat miskin.
2. Dampak
ikutan, yang sering disebut sebagai efek domino, menyebabkan kebutuhan lain
juga menjadi mahal. Misalnya, ongkos transportasi orang maupun barang juga
harus disesuaikan dengan kenaikan BBM, sehingga harga barang dan jasa juga ikut
merangkak naik. Dengan kondisi seperti tersebut masyarakat miskin menjadi
semakin menurun daya belinya, terutama barang kebutuhan dasar seperti pangan
dan pakaian. Dengan begitu maka kualitas hidup masyarakat semakin terpuruk dan
jatuh lebih dalam ke dalam jurang kemiskinan dan kenestapaan.
3. Bantuan
langsung tunai (BLT) Plus yang diberikan merupakan salah satu jenis bantuan
perlindungan sosial (social protection) yang bertujuan untuk kompensasi
biaya yang harus dikeluarkan dan ditanggung oleh masyarakat miskin untuk
kebutuhan pembelian bahan bakar dan sifatnya emergency (mendesak).
4. Pemberian
bantuan lain yang berupa minyak goreng dan gula pasir merupakan bantuan
tambahan yang juga mendesak karena hampir semua jenis bahan kebutuhan pokok
juga mengalami kenaikan harga, sedangkan daya beli (kemampuan) masyarakat
dengan adanya kenaikan BBM mengalami penurunan.
5.
Bantuan langsung tunai (BLT) Plus bukan merupakan satu-satunya jenis bantuan
yang bertujuan untuk menstabilkan perekonomian rumah tangga miskin dan
masyarakat Indonesia secara umum, tetapi lebih bersifat bantuan “antara” yang
bertujuan untuk menjadi pertolongan pertama bagi kondisi perekonomian rumah
tangga miskin yang terpuruk akibat kenaikan harga-harga di hampir semua jenis
kebutuhan hidup.
6. Penetapan
jumlah sasaran penerima bantuan sebanyak 19,1 KK rumah tangga sangat miskin.
Skemanya penerimanya diusulkan melalui lembaga non-formal pemerintah, melalui
pejabat Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) dan kemudian diverifikasi oleh
lembaga perintahan terendah (Kelurahan dan Desa), selanjutnya ditetapkan oleh
pemerintah kota atau kabupaten setempat. Sebelum ditetapkan datanya akan
diverifikasi kembali pada saat proses persiapan dan pelaksanaan penyaluran
bantuan. Penyalurannya yang paling banyak dilakukan oleh PT Pos Indonesia, yang
dianggap sebagai lembaga yang mempunyai jaringan cukup luas dan tenaga yang
cukup di seluruh Indonesia.
C. Kontroversi BLT di Indonesia dan Beberapa Kritik
Apapun alasan yang diberikan oleh pemerintah di dalam membuat dan melaksanakan
kebijakan berupa cash tranfer (BLT), mendapatkan berbagai kritik yang beragam.
Deborah Stone (1997) mengatakan bahwa setiap kebijakan publik yang dibuat oleh
pemerintah selalu paradoks. Di satu sisi BLT memberikan perlindungan sosial
bagi penerimanya, dan disi lainnya menimbulkan ketergantungan pula. Itulah yang
disebut Stone sebagai paradoks. Demikian pula program kebijakan BLT ini, selain
yang telah disebutkan di atas, kontroversi BLT menyeruak ke tengah kehidupan masyarakat
baik langsung maupun tidak langsung, dan bisa diamati dari berbagai tanggapan
di berbagai masa (tv, koran, jurnal ilmiah, dsb).
Di bawah ini akan dikemukakan berbagai pendapat yang dianggap sebagai
kontroversi atau paradoks tersebut:
1. Pemerintah
Dari berbagai pernyataan yang dikeluarkan Pemerintah mengenai kondisi
perekonomian negara akibat kenaikan harga bahan bakar minyak dan rencana untuk
memberikan bantuan langsung tunai (BLT) Plus kepada 19,1 juta KK Sangat Miskin,
Indonesia bukan merupakan satu-satunya negara yang terkena dampak negatif
akibat kenaikan harga bahan bakar minyak di pasaran dunia. Malaysia,
sebagai tetangga dekat (jiran) terdekat, telah menaikkan harga jual minyak
dalam negeri sampai dengan 40% dari harga sebelumnya.
Dengan kenaikan harga minyak, perekonomian negara dapat distabilkan, karena
dapat mengurangi subsidi terhadap BBM itu yang terus membengkak. Dengan
mengurangi beban subsidi, maka pilihan kebijakannya adalah menaikkan harga
minyak. Namun demikian, masyarakat miskin yang sangat rentan oleh Pemerintah
disediakan subsidi yang berupa BLT. Kalau kebijakan menaikkan harga BBM tidak
dilakukan akan defisi anggaran pemerintah semakin membengkak, dan pada
gilirannya akan menyebabkan inflasi, perekonomian negara terpuruk dalam kondisi
yang lebih parah.
Sebelum harga BBM disesuaikan (dinaikkan), pemerintah harus menyediakan subsidi
sebesar Rp 35 trilyun, setiap tahun, dan jika semakin besar subsidinya terhadap
penyetarakan harga jual bahan bakar minyak dalam negeri akan menyebabkan
tertundanya pengalokasian anggaran pembangunan di berbagai sektor.
Pemerintah dihadapkan pada situasi dan kondisi yang sangat dilematis (paradoks)
antara kemungkinan situasi terpuruknya perekonomian negara apabila tetap
menyediakan subsidi untuk penyediaan bahan bakar minyak dengan kemungkinan
situasi terjadinya gejolak sosial masyarakat akibat tingginya harga-harga bahan
kebutuhan pokok. Anggaran yang harus disediakan Pemerintah untuk
pemberian BLT Plus bagi 19,1 juta KK Miskin hanya sekitar 14 trilyun
rupiah. Ini berarti Negara bisa menghemat sekitar 21 trilyun rupiah dari
jumlah subsidi yang seharusnya disediakan untuk menyetarakan harga jual BBM
dalam negeri.
Selain itu dengan BLT, pemerintah berupaya memulihkan dan menstabilkan
kemampuan daya beli masyarakat terhadap gejolak perekonomian dalam negeri.
Sementara itu, kebutuhan masyarakat terhadap bahan-bahan pokok termasuk bahan
bakar minyak tidak dapat ditunda pemenuhannya. Pemerintah memperhitungkan
secara cermat bahwa kenaikan harga bahan bakar minyak akan menyebabkan banyak
kebutuhan pokok masyarakat menjadi lebih mahal, sedangkan daya beli masyarakat
semakin menurun. Dengan kondisi demikian ada suatu kebijakan yang dinamakan
cash transfer atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) plus bagi masyarakat miskin.
BLT plus ini dipandang sebagai tanggung jawab negara kepada warga negaranya
dalam bentuk perlindungan sosial (social protection) dan bahkan dapat
menyelamatkan kondisi masyarakat miskin yang terancam gagal dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Secara konseptual, bantuan langsung tunai (BLT) Plus bersifat sebagai bantuan
darurat. Bantuan ini hampir sama seperti bantuan tanggap darurat yang
diberikan kepada korban bencana alam atau korban bencana sosial, yaitu bantuan
yang diberikan untuk penanggulangan pertama terhadap kondisi kehidupan
masyarakat yang mengalami kehilangan atau musibah. Bantuan dalam bentuk
uang tunai sebesar Rp. 100.000,-/bulan, bertujuan untuk menambahkan sejumlah
biaya yang tidak mampu disediakan oleh masyarakat miskin untuk membeli bahan
bakar minyak dan barang kebutuhan lain yang ikut melonjak naik.
Selain sifatnya yang merupakan bantuan darurat, BLT Plus juga merupakan bantuan
antara pada masa transisi, yaitu bantuan yang bertujuan untuk menjaga
kestabilan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat pada saat kondisi perekonomian
negara sedang mengalami perubahan atau pembenahan. BLT Plus bukan
merupakan satu-satunya jenis bantuan yang dapat digunakan untuk mengatasi
masalah perekonomian masyarakat dan negara. Tetapi, penyusunan rencana
program dan pemberian bantuan langsung tunai ini bermaksud untuk memulihkan dan
meningkatkan kondisi perekonomian masyarakat dan negara dari dampak kenaikan
harga BBM, khususnya di pasar internasional.
Pemerintah tidak pernah secara langsung dan terang-terangan mengakui bahwa BLT
Plus merupakan upaya meredam gejolak sosial masyarakat yang mungkin akan
terjadi dengan ditetapkannya kenaikan harga bahan bakar minyak. Namun,
secara samar dan tidak langsung kebijakan tersebut sesungguhnya oleh pemerintah
telah diperhitungkan biaya sosial (social cost), yang memang sangat
tinggi, jika terjadi gejolak sosial di masyarakat yang frustasi akibat kenaikan
harga BBM dan lonjatan harga-harga berbagai jenis kebutuhan pokok. Oleh
karena itu, pemerintah harus segera menetapkan kebijakan pemberian bantuan
(BLT) plus, dengan segala konsekuensinya yang diharapkan dapat mengurangi
kemarahan masyarakat sambil menyusun strategi perekonomian negara yang lebih
efektif dan tidak meresahkan bayak pihak.
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI
Pada prinsipnya Dewan Perwakilan Rakyat tidak keberatan dan langsung menyetujui
kebijakan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) Plus yang ditetapkan oleh
Pemerintah. Hal ini terbukti dari disetujuinya alokasi APBN untuk
kebutuhan pemberian bantuan tersebut. Namun, sebagai lembaga yang
mewakili kepentingan rakyat dan sekaligus menyuarakan kepentingan dan kebutuhan
rakyat, DPR merasa perlu untuk mengajukan beberapa keberatan dan pertimbangan
terhadap penetapan kenaikan harga BBM dan penyaluran BLT Plus.
Sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 dan konteks Negara maka DPR
memandang bahwa sebenarnya Pemerintah wajib dan bertanggung jawab untuk mencari
alternatif solusi yang terbaik untuk melakukan stabilisasi ekonomi negara
dengan tidak mengorbankan atau merugikan warga negara. Beberapa Pimpinan,
Anggota maupun Fraksi-fraksi DPR berulangkali meminta agar Pemerintah menunda
kenaikan harga BBM dan memberikan bantuan yang lebih bermanfaat bagi rakyat
miskin. Namun, akhirnya menyerah juga, karena alternatif solusi terbaik dari
kebijakan untuk menstabilkan perekonomian, tidak muncul, dan bahkan kalau ada
usulan tidak rasional. Sehingga apapun yang datang dari DPR dianggap angin lalu
dan seringkali diabaikan.
Beberapa unsur DPR ada yang menilai bahwa BLT Plus merupakan jenis bantuan
konsumtif dan habis pakai. Bantuan ini dipandang tidak akan memberikan
daya ungkit terhadap kemampuan ekonomi masyarakat miskin dan bahkan cenderung
akan membuat masyarakat menjadi ketergantungan. DPR juga menilai bahwa
pemberian bantuan perlu diujicobakan terlebih dahulu sebelum ditetapkan
kebijakannya untuk seluruh daerah di Indonesia.
Selain itu banyak pihak di DPR menilai bahwa BLT Plus merupakan upaya suap
politik (suap terselubung) yang diberikan Pemerintah untuk meredam gejolak
sosial masyarakat. DPR memandang bahwa Pemerintah yang sedang berkuasa
saat ini memberikan bantuan tersebut untuk mengamankan tampuk kekuasaannya
sendiri (status quo). Lebih jauh, bahkan ada pihak-pihak yang menyatakan
bahwa BLT Plus merupakan ‘money politic’ yang diberikan oleh pemerintah
untuk mengamankan dan menyiapkan langkah menuju suksesi tahun 2009, dan hal itu
terbukti bahwa partai yang memerintah dapat memenangkan pemilu legislatif dan
pemilihan Presiden di tahun 2009.
3. Kelompok Pemilik Modal dan Dunia Usaha
Dari berbagai unsur yang ada dalam Masyarakat maka Kelompok Pemilik Modal dan
Dunia Usaha adalah kelompok yang tidak atau kurang memberikan respon terhadap
kebijakan pemberian BLT Plus. Hal ini disebabkan oleh: Bantuan Langsung
Tunai (BLT) Plus dipandang sebagai salah satu Upaya untuk Stabilitasi Ekonomi
Negara. Kelompok Pemilik Modal dan Dunia Usaha menilai bahwa apabila kenaikan
harga BBM tidak diimbangi dengan pemberian bantuan bagi masyarakat maka
stabilisasi ekonomi masyarakat maupun negara akan sangat terguncang. Hal
ini akan berpengaruh terhadap kepentingan dan keuntungan kelompok pemilik modal
maupun dunia usaha itu sendiri. Justru kelompok pemilik modal dan dunia
usaha, secara diam-diam mendukung kebijakan BLT plus.
Selain itu, Bantuan Langsung Tunai (BLT) Plus sebagai Salah Satu Langkah
Pengamanan terhadap Kelompok Pemilik Modal dan Dunia Usaha apabila terjadi
gejolak sosial masyarakat yang marah terhadap kenaikan harga BBM dan
bahan-bahan kebutuhan pokok maka salah satu pihak yang paling rentan dan
kawatir adalah Kelompok Pemilik Modal dan Dunia Usaha. Berbagai pengalaman
pada kejadian kerusuhan sosial dan politik di tahun 1997, misalnya, menunjukkan
bahwa masyarakat yang ‘marah’ akan ‘menjarah’ dan melakukan perusakan terhadap
aset-aset Pemerintah maupun kekayaan Kelompok Pemilik Modal. Apabila BLT
Plus dapat meredam gejolak sosial masyarakat maka kelompok pemilik modal untuk
sementara waktu akan aman dalam melanjutkan roda usahanya.
4. Kelompok Akademisi dan Pakar Ekonomi
Kelompok Akademisi dan Pakar Ekonomi cenderung terbagi dalam dua arah dalam
memandang kebijakan pemberian BLT Plus. Sebagian besar kelompok akademisi
dan pakar ekonomi setuju dengan ditetapkannya kebijakan pemberian BLT Plus
sedangkan sebagian lainnya tidak setuju. Berdasarkan pernyataan yang
disampaikan oleh banyak pihak dalam kelompok ini, dapat dianalisis
pertimbangannya sebagai berikut : pertama, Pihak yang Pro dengan
Kebijakan Pemerintah, memandang bahwa memandang bahwa kenaikan harga BBM
merupakan suatu proses ekonomi yang tidak bisa dihindari. Hal ini terjadi
karena Indonesia merupakan suatu negara yang menjadi bagian dan anggota dunia
Internasional. Setiap proses ekonomi yang terjadi dalam dunia
Internasional akan mempengaruhi hampir semua negara. Pemberian BLT Plus
tidak dinyatakan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan daya beli
masyarakat tetapi lebih dipandang sebagai upaya untuk menyelamatkan masyarakat
dari ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Kedua, pihak yang Kontra dengan Kebijakan Pemerintah. Pihak-pihak ini memandang
kepada proses penetapan kebijakan BLT Plus yang kurang didasari pada
perhitungan dan analisis yang akurat. Mereka mempertanyakan dasar
perhitungan Pemerintah terhadap penetapan angka atau nilai bantuan sebesar Rp.
100.000,-/bulan/KK. Angka ini dinilai tidak signifikan terhadap kenaikan
harga-harga selama 2 – 3 tahun terakhir karena pada Tahun 2005 dan 2006
Pemerintah sudah pernah meluncurkan bantuan langsung tunai sebesar itu.
Sekarang tiga tahun kemudian nominalnya masih sama, padahal nilai uang Rp
100.000,- tidak sepadan dengan Rp 100.000,- di tahun 2008. Selain itu,
pihak-pihak ini mempertanyakan akurasi dan validitas jumlah calon penerima
bantuan sebanyak 19,1 juta KK sangat miskin yang ditetapkan Pemerintah.
Mereka menilai bahwa penetapan jumlah penerima bantuan ini tidak didasari
dengan upaya verifikasi data yang matang serta dikhawatirkan akan terjadi lagi
kasus-kasus yang merugikan masyarakat.
5. Kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi
Sosial
Kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Sosial lebih banyak
menyoroti kebijakan Pemerintah dalam hal kenaikan harga BBM, melalui BLT plus,
terutama dari sisi negatifnya saja dan sangat sedikit melihat sisi
positifnya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai advokasi dan gerakan/aksi
sosial yang dilakukan bersama unsur-unsur perguruan tinggi (terutama mahasiswa)
yang lebih banyak diarahkan untuk menentang kebijakan Pemerintah dalam hal
perekonomian dan meminta agar Pemerintah menunda kenaikan harga BBM. Segi
positif bagi penerima, LSM, tidak begitu mempedulikan.
6. Masyarakat
Masyarakat merupakan pihak yang paling dirugikan dan menanggung beban berat
dengan ditetapkannya kenaikan harga BBM. Dalam penetapan kebijakan
pemberian BLT Plus, masyarakat juga berada pada posisi sebagai obyek kebijakan
Pemerintah. Hal ini terbukti dari proses penetapan kebijakan yang tidak
didahului dengan jajak pendapat atau mengakomodir aspirasi masyarakat.
Kebijakan dan pelaksanaan pemberian bantuan langsung tunai pada periode 2005
dan 2006 sampai saat ini belum diaudit dan dievaluasi pelaksanaannya, oleh
karena itu, sesungguhnya pemerintah belum mendapatkan umpan balik terhadap
pelaksanaan kebijakan tersebut. Pada posisinya sebagai obyek dan penerima
bantuan maka reaksi masyarakat cenderung apatis dalam proses penetapan
kebijakan dan persiapan penyaluran bantuan.
Masyarakat dihadapkan pada upaya pemecahan masalah yang tidak ada alternatif
pilihannya. Dengan mengatasnamakan kondisi ‘tanggap darurat’ di bidang
perekonomian, masyarakat dihadapkan pada ‘hanya satu pilihan’ untuk menerima
kebijakan BLT Plus sebagai satu-satunya alternatif untuk mengatasi kondisi
tersebut. Sebagian besar masyarakat yang masih mampu untuk mengimbangi
laju kenaikan harga BBM dan harga bahan-bahan kebutuhan pokok cenderung tidak
memberikan reaksi atas penetapan kebijakan BLT Plus. Sementara itu,
kelompok masyarakat miskin dan sangat miskin merasakan bahwa sekecil apapun
bantuan yang disediakan oleh Pemerintah maka hal tersebut sudah sangat membantu
untuk menyelamatkan keberlangsungan hidup mereka.
Masyarakat kurang disiapkan
dan dilatih dengan pola pemberdayaan untuk menanggapi penetapan kebijakan BLT
Plus, banyak pihak dalam unsur masyarakat yang berulangkali meminta agar
pemerintah memberikan bantuan dengan pola pemberdayaan, padat karya ataupun
modal usaha.
Pendapat-pendapat tersebut kurang mendapat respon dan dukungan dari masyarakat
miskin dan sangat miskin, baik yang menerima BLT plus maupun tidak.
Masyarakat cenderung dibiasakan dengan pola bantuan insidentil, konsumtif dan
habis pakai. Berbagai jenis bantuan yang disediakan untuk masyarakat
sampai dengan saat ini hampir selalu bersifat ‘caritas’ dan ‘emeregency’.
Bantuan seperti itu tidak mempunyai ‘nilai pembelajaran’ bagi masyarakat
sehingga masyarakat selalu berada dalam posisi yang rentan terhadap berbagai
jenis krisis dan gejolak ekonomi.
D. Kesimpulan
Dengan berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan secara singkat bahwa,
Bantuan Langsung Tunai (cash transfer) merupakan bagian kecil dari pembangunan
sosial. Karena program ini hanya dilaksanakan sebagai bentuk program
sesaat tanpa keberlanjutan. Di dalam konsep perlindungan sosial (social
protection), bantuan langsung tunai tersebut, terus berlanjut, terutama
bagi mereka yang kondisi ekonomi sangat lemah dan sangat miskin. di dalam
konsep pembangunan sosial BLT plus digunakan sebagai wujud
tanggung jawab negara terhadap warga masyarakat yang kurang beruntung.
Sedangkan bagi mereka yang masih bisa berkembang perekonomiannya, akibat dampak
krisis, dengan BLT plus, diharapkan sebagai stimulan memperbaiki kondisi
ekonominya, bagi golongan ini BLT plus digunakan untuk melakukan pemberdayaan
bagi mereka.
Paling tidak dalam menerapkan model negara sejahtera (welfare state),
pemberian bantuan langsung tunai itu, merupakan bentuk kepedulian di dalam
mewujudkan kepada bagian masyarakat dari suatu negara yang paling membutuhkan.
Meskipun dapat digolongkan negara lemah Indonesia masih dapat disebut “negara
baik hati” dalam kerangka welfare state (Suharto, 2011).
E. Rekomendasi
1.
Kebijakan BLT bukan kebijakan yang efektif dan efisien
untuk menyelesaiakan kemiskinan di Indonesia, ini dikarenakan kebijakan ini
tidak mampu meningkatkan derajat dan tingkat kesejahteraan mayarakat miskin,
namun, program semacam ini masih diperlukan untuk dilanjutkan.
2.
Efektifitas dan efisiensi penggunaan dana BLT yang
tidak dapat diukur dan diawasi, serta adanya berbagai kebocoran, karena
lemahnya fungsi pengawasan pemerintahan terhadap kebijakan tersebut. Oleh
karena itu, perlu diaudit sebelum apa program semacam itu lagi.
3.
Validitas data masyarakat miskin yang diragukan
sehingga akan berdampak pada ketepatan pemberian dana BLT kepada masyarakat
yang berhak, oleh karena itu perlu diperbaiki skema, prosedur, dan tata cara
pemberian cash transfer ini.
4.
Dari sisi keuangan negara, kebijakan BLT merupakan
kebijakan yang bersifat menghambur-hamburkan uang negara karena kebijakan
tersebut tidak mampu menyelesaiakan masalah kemiskinan secara berkelanjutan dan
tidak mampu menstimulus produktifitas masyarakat miskin, tetapi dari segi
positifnya masih ada yakni, sebagai bentuk tanggung jawab negara kepada
masyarakat miskin dalam mengatasi krisis yang sedang berlangsung.
F. Daftar Pustaka
1. Adesina, O., Jimi. 2010, Rethinking the Social Protection
Paradigm: Social Policy in Africa’s Development. Paper
prepared for the Conference “Promoting Resilience through Social Protection in
Sub-Saharan Africa”, organised by the European Report of Development in Dakar,
Senegal, 28-30 June, 2010.
2. Birdsall, 2004, dalam UN, ESCAP, 2010, The
Promise of Protection, Social Protection and Development in Asia and
The Pasific.
3. Biro Pusat Statistik (BPS), 1999, 2002, dan 2008.
4.
Stone, Deborah, 1997 Policy
Paradox, The Art of Political Decision Making, New York, W. W.
Norton & Company.
5. Suharto, Edi,
2011 Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik,
Bandung Alfabeta Aditama
6. UN, ESCAP, 2010, The Promise of Protction, Social
Protection and Development in Asia and The Pasific.
No comments:
Post a Comment