UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2011
TENTANG
PENGESAHAN CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILITIES (KONVENSI MENGENAI HAK-HAK
PENYANDANG DISABILITAS)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
manusia, bersifat universal dan langgeng sehingga itu harus dilindungi, dihormati, dan
dipertahankan;
b. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menghormati dan menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia sehingga perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia
terhadap kelompok rentan khususnya penyandang disabilitas perlu ditingkatkan;
c. bahwa dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak
penyandang disabilitas Pemerintah Republik Indonesia telah membentuk berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai pelindungan terhadap penyandang disabilitas;
d. bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Convention on the Rights of
Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) pada
tanggal 30 Maret 2007 di New York;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d perlu mengesahkan Convention on the Rights of Persons with Disabilities
(Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) dengan Undang-Undang;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3882);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4012);
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4286);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE RIGHTS
OF PERSONS WITH DISABILITIES (KONVENSI MENGENAI HAK-HAK PENYANDANG
DISABILITAS).
Pasal 1
Mengesahkan Convention on the Rights of Persons with Disabilities
(Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) yang salinan naskah
asli dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia
sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 107
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Hukum,
Suripto
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2011
TENTANG
PENGESAHAN CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILITIES (KONVENSI MENGENAI HAK-HAK
PENYANDANG DISABILITAS)
I. UMUM
Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Hak asasi manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, juga dilindungi, dihormati, dan dipertahankan oleh Negara Republik Indonesia, sehingga perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan khususnya penyandang disabilitas perlu ditingkatkan.
Pada tanggal 13 Desember 2006 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Resolusi Nomor A/61/106 mengenai Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Resolusi tersebut memuat hak-hak penyandang disabilitas dan menyatakan akan diambil langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan konvensi ini.
Pemerintah Indonesia telah menandatangani Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Penandatanganan tersebut menunjukan kesungguhan Negara Indonesia untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas, yang pada akhirnya diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan para penyandang disabilitas.
Pada waktu menandatangani Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Indonesia menandatangani Konvensi tanpa reservasi. Akan tetapi, tidak menandatangani Optional Protocol Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Sebagai negara penandatangan konvensi, Indonesia memiliki komitmen untuk meratifikasi Konvensi ini.
Dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, Pemerintah Indonesia telah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur pelindungan terhadap penyandang disabilitas. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat;
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional;
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian;
10. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
11. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan;
12. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
13. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
14. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;
15. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; dan
16. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.
Pokok-Pokok Isi Konvensi
1. Pembukaan
Pembukaan berisi pengakuan harga diri dan nilai serta hak yang sama bagi penyandang disabilitas, yaitu orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. Oleh karena itu, pengakuan bahwa diskriminasi berdasarkan disabilitas merupakan pelanggaran terhadap martabat dan nilai yang melekat pada setiap orang.
2. Tujuan
Tujuan konvensi ini adalah untuk memajukan, melindungi, dan menjamin kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar bagi semua penyandang disabilitas, serta penghormatan terhadap martabat penyandang disabilitas sebagai bagian yang tidak terpisahkan (inherent dignity).
3. Kewajiban Negara
Kewajiban negara merealisasikan hak yang termuat dalam Konvensi, melalui penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum dan administrasi dari setiap negara, termasuk mengubah peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, baik perempuan maupun anak, menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, olah raga, seni dan budaya, serta pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi.
4. Hak-hak Penyandang Disabilitas
Setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain. Termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat.
5. Implementasi dan Pengawasan Nasional
Negara Pihak harus menunjuk lembaga pemerintah yang menangani masalah penyandang disabilitas yang bertanggungjawab terkait pelaksanaan Konvensi ini, dan membangun mekanisme koordinasi di tingkat pemerintah untuk memfasilitasi tindakan tersebut.
6. Laporan Negara Pihak dan Peran Komite Pemantau Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas
Negara Pihak wajib membuat laporan pelaksanaan Konvensi ini 2 (dua) tahun setelah konvensi berlaku, dan laporan selanjutnya paling lambat setiap 4 (empat) tahun atau kapan pun jika diminta Komite Pemantau
Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas melalui Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Komite Pemantau Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas membahas laporan yang disampaikan oleh
Negara Pihak dan memberikan pertimbangan mengenai cara dan sarana meningkatkan kapasitas nasional untuk pelaksanaan Konvensi ini. Komite juga melakukan kerja sama internasional dan koordinasi dengan Komite Pemantau Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional dan badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa lainnya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa
Indonesia, maka digunakan salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris.
Pasal 2
Cukup jelas.TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5251
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1997
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 1997
TENTANG
PENYANDANG CACAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan
nasional yang bertujuan mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945, Penyandang cacat merupakan bagian
masyarakat Indonesia yang juga
memiliki kedudukan, hak, kewajiban dan peran
yang sama ;
b.
bahwa penyandang cacat secara
kuantitas cenderung meningkat dan, oleh karena itu, perlu semakin diupayakan
peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat ;
c.
Bahwa dalam rangka terwujudnya
kesamaan kedudukan, hak, kewajiban, dan peran sebagaimana tersebut di atas,
dipandang perlu memberikan landasan hukum bagi upaya peningkatan kesejahteraan
penyandang cacat di segala aspek kehidupan dan penghidupan dalam suatu
undang-undang ;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1)
dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG PENYANDANG CACAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud
dengan :
1. Penyandang
Cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang
dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan
secara selayakny, yang terdiri dari :
a.
Penyandang cacat fisik ;
b.
Penyandang cacat mental ;
c. Penyandang cacat fisik dan mental.
2. Derajat kecacatan adalah tingkat berat
ringannya keadaan cacat yang disandang seseorang.
3. Kesamaan kesempatan adalah keadaan yang
memberikan peluang kepada penyandang cacat untuk mendapatkan kesempatan yang
sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
4. Aksesibilitas adalah kemudahan yang
disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam
segala aspek kehidupan dan penghidupan.
5. Rehabilitasi adalah proses refungsionalisasi
dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang cacat mampu melaksanakan fungsi
sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.
6. Bantuan sosial adalah upaya pemberian
bantuan kepada penyandang cacat yang tidak mampu yang bersifat tidak tetap, agar
mereka dapat meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.
7. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial
adalah upaya perlindungan dan pelayanan yang bersifat terus menerus, agar
penyandang cacat dapat mewujudkan taraf hidup yang wajar.
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Upaya peningkatan kesejahteraan sosial
penyandang cacat berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 3
Upaya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 berdasarkan keimanan dan ketaqwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, manfaat kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan,
keserasian dan keselarasan dalam penghidupan, hukum, kemandirian, dan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pasal
4
Upaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
yang diselenggarakan melalui pemberdayaan penyandang cacat bertujuan
terwujudnya kemandirian dan kesejahteraan.
BAB
III
HAK
DN KEWAJIBAN
Pasal
5
Setiap
penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan.
Pasal 6
Setiap
penyandang cacat berhak memperoleh :
1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, dan
jenjang pendidikan ;
2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak
sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya ;
3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam
pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya ;
4. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya
;
5. Rehabilitasi, bantuan sosial, dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial ; dan
6. Hak yng sm untuk menumbuhkan bakat,
kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat.
Pasal 7
(1) Setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban
yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) pelaksanaannya disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan
dan kemampuannya.
Pasal 8
Pemerintah dan/atau
masyarakat mengupayakan terwujudnya hak-hak penyandang cacat.
BAB
IV
KESAMAAN
KESEMPATAN
Pasal
9
Setiap
penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan.
Pasal 10
(1) Kesamaan kesempatan bagi penyandang
cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui
penyediaan aksesibilitas.
(2) Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan
untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat
dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat.
(3) Penyediaan aksesibilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diselenggarakn oleh pemerintah dn/atau
masyarakat dan dilakukan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
Pasal 11
Setiap
penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan
pada satuan, jalur, jenis, dn jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan
derajat kecacatannya.
Pasal 12
Setiap lembaga pendidikan memberikan
kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat sebagai peserta
didik pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan
kecacatan serta kemampuannya.
Pasal 13
Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan
kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatannya.
Pasal 14
Perusahaan negara dan swasta memberikan
kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan
penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya,
pendidikan, dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan
dan/atau kualifikasi perusahaan.
Pasal 15
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 12, dan Pasal 14 diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
V
UPAYA
Pasal
16
Pemerintah dan/atau masyarakat
menyelenggarakan upaya ;
1. Rehabilitasi ;
2. Bantuan sosial ;
3. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Pasal 17
Rehabilitasi
diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental,
dan sosial penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara
wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan, dan pengalaman.
Pasal 18
(1) Rehabilitasi dilaksanakan pada fasilitas
yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
(2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi rehabilitasi medik, pendidikan, pelatihan, dan sosial.
(3) Ketentuan mengenai penyelenggaraan
rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Bantuan
sosial yang dimaksud untuk mambantu penyandang cacat agar dapat berusaha
meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.
Pasal 20
(1) Bantuan
sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 diberikan kepada :
a.
Penyandang cacat yang tidak
mampu, sudah direhabilitasi, dan belum bekerja ;
b. Penyandang cacat yang tidak mampu,
belum direhabilitasi, memiliki keteram[pilan, dan belum bekerja
(2) Ketentuan mengenai bentuk, jumlah, tata
cara, dan pelaksanakan pemberian bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
21
Pemeliharaan
taraf kesejahteraan sosial diarahkan pada pemberian perlindungan dan pelayanan
agar penyandang cacat dapat memelihara taraf hidup yang wajar.
Pasal 22
(1) Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 diberikan kepada penyandang cacat yang
derajat kecacatannya tidak dapat direhabilitasi dan kehidupannya bergantung
pada bantuan orang lain.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, tata cara, dan
syarat-syarat pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
VI
PEMBINAAN
DAN PERAN MASYARKAT
Pasal
23
(1) Pemerintah dan masyarakat melakukan
pembinaan terhadap upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mencakup segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Pasal 24
Pemerintah
melakukan pembinaan terhadap upaya peningkatan keejahteraan sosial penyandang cacat
melalui penetapan kebijakan, perijinan, dan pengawasan.
Pasal 25
(1) Masyarakat melakukan pembinaan melalui
berbagai kegiatan dalam upaya penningkatan kesejahteraan sosial penyandang
cacat.
(2) Masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk berperan dalam upaya peningkatan kesejahteran sosial
penyandang cacat.
Pasal 26
Ketentuan
mengenai pembinaan dan peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 dan
Pasal 25 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
(1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada
perusahaan yang mempekerjakan penyandang cacat.
(2) Penghargaan diberikan juga kepada lembaga,
masyarakat, dan/atau perseorangan yang berjasa dalam upaya peningkatan
kesejahteraan sosial penyandang cacat.
(3) Ketentuan
pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 28
(1) Barang
siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap Pasal 14 diancam dengan
pidana kurungan slama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda
setinggi-tingginya Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Tindak
Pidana sebagaimana dimaksud pda ayat (1) adalah pelanggaran.
BAB
VIII
SANKSI
ADMINISTRASI
Pasal
29
(1) Barang siapa tidak menyediakan aksesibilitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 atau tidak memberikn keempatan dan
perlakuan yang sama bagi penyndang cacat sebagai peserta didik pada satuan,
jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
dikenakan sanksi administrasi.
(2) Bentuk, jenis, dan tata cara pengenaan
sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
IX
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
30
Dengan
berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan penyandang cacat yang telah ada, msih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum atau diubah berdasarkan
Undang-undang ini.
BAB
X
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
31
Undang-undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap
orang mengetahuinya, memerinthkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 28
Februari 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ttd
S
O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Februari 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Ttd
M O E R D I O N O
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 9
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala
Biro Hukum
Dan
Perundang-undangan
Ttd
Lambock V. Nahattands
Salinan sesuai dengan salinan aslinya
DEPARTEMEN SOSIAL RI
Kepala Biro Hukum,
Ttd
Sri
Kusniati, SH
NIP.
170005272
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
4 TAHUN 1997
TENTANG
PENYANDANG
CACAT
UMUM
Pembangunan nasional bertujuan
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang materiel dan spirituil
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat
dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib, dan dinamis
dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersatu, tertib, dan damai.
Pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila yang mencakup
seluruh aspek kehidupan bangsa diselenggarakan bersama oleh masyarakat dan
Pemerintah. Masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan Pemerintah
berkewajiban mengarahkan, membimbing, melindungi serta menumbuhkan suasana yang
menunjang. Kegiatan masyarakat dan kegiatan Pemerintah saling menunjang, saling
mengisi dan saling melengkapi dalam satu kesatuan langkah menuju tercapainya
tujuan pembangunan nasional.
Sebagai warga negara Indonesia,
kedudukan, hak, kewajiban, dan peran penyandang cacat adalah sama dengan warga
negara lainnya. Oleh karena itu, peningkatan peran para penyandang cacat dalam
pembangunan nasional sangat penting untuk mendapat perhatian dan didayagunakan
sebagai mana mestinya.
Hingga saat ini sarana dan upaya memberikan perlindungan hukum
terhadap kedudukan, hak, kewajiban, dan peran para penyandang cacat telah
dilakukan melalui berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu yang mengatur
masalah ketenagakerjaan, pendidikan nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial,
lalu lintas dan angkutan jalan, perkeretaapian, pelayaran, penerbangan, dan
kepabeanan.
Namun demikian, upaya perlindungan saja belumlah memadai ; dengan
pertimbangan bahwa jumlah penyandang cacat akan meningkat pada masa yang akan
datang, masih diperlukan lagi sarana dan upaya lainnya terutama dengan
penyedian sarana untuk memperoleh kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat
dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, khususnya dlam memperoleh
pendidikan dan pekerjaan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosialnya. Yang
dimaksud dengan kesejahteraan sosial dalam Undang-undang ini adalah suatu tata
kehidupan dan penghidupan sosial materiel maupun spiritual yang diliputi oleh
rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan
bagi setiap warga negara untuk mengadakan uasaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara sesuai
dengan Pancasila. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan mengenai kedudukan,
hak, dan kewajiban warga negara sebagaimana dimaksud dalan Undang-Undang Dasar
1945 perlu dilakukan upaya-upaya yang lebih memadai, terpadu, dan
berkesinambungan guna mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang
cacat.
Kesempatan untuk mendapatkan kesamaan kedudukan, hak, dan kewajiban bagi penyandang cacat hanya da[pat
diwujudkan jika tersedia aksesibilitas, yaitu suatu kemudahan bagi penyandang
cacat untuk mencapai kesamaan kesempatan dalam memperoleh kesamaan kedudukan,
hak, dan kewajiban sehingga perlu diadakan upaya penyediaan aksesibilitas bagi
penyandang cacat. Dengan upaya dimaksud, diharapkan penyandang cacat dapat
berintegrasi secara total dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional pada
umumnya serta meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang cacat pada
khususnya.
Penyelenggaraan upaya peningkatan kesejahteraan sosial yang antara
lain dilaksanakan melaui kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat hakekatnya
menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah, masyarakat, keluarga, dan penyandang
cacat sendiri. Oleh karena itu diharapkan semua unsur tersebut berperan ktif
untuk mewujudkannya. Dengan kesamaan kesempatan tersebut diharapkan pr
penyandang cct dapat melaksanakan fungsi sosialnya dalam arti mampu
berintegrasi melalui komunikasi dan interaksi secara wajar dalam hidup
bermasyarakat.
Kesamaan kesempatan dilaksanakan melaui penyediaan aksesibilitas
baik Pemerintah maupun masyarakat, yang dalam pelaksanaannya disertai dengan
upaya peningkatan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat terhadap keberadaan
penyandang cacat, yang merupkan unsur penting dalam rangka pemberdayaan
penyandang cacat.
Berdasarkan hal tersebut, Undang-undang ini disusun dengan
meletakkan masalah penyelenggaraan upaya peningkatan kesejahteraan sosial dan
kesamaan kesempatan sebagai materi pokok.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup
jelas
Angka
2
Cukup
jelas
Angka
3
Cukup
jelas
Angka
4
Cukup
jelas
Angka
5
Cukup
jelas
Angka
6
Cukup
jelas
Angka
7
Cukup
jelas
Pasal 2
Cukup
jelas
Pasal 3
Cukup
jelas
Pasal 4
Cukup
jelas
Pasal 5
Yang
dimaksud dengan penyandang cacat adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 1 terdiri dari :
a.
cacat fisik adalah kecacatan
yang mengakibatkan ganguan pada fungsi tubuh antara lain gerak tubuh,
penglihatan, pendengaran, dan kemampuan bicara;
b.
cacat mental adalah kelainan
mental dan/atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit;
c. cacat fisik dan mental adalah
keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus.
Yang dimaksud dengan aspek
kehidupan dan penghidupan dalam Pasal ini meliputi antara lain aspek agama,
kesehatan, pendidikan, sosial, ketenagakerjaan, ekonomi, pelayanan umum, hukum,
budaya, politik, pertahanan keamanan, oleh raga, rekreasi, dan informasi.
Pasal
6
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Ketentuan ini
dimaksud agar penyandang cacat akan memperoleh :
a. hak untuk hidup menjalani
sepenuhnya kehidupan kanak-kanak, dalam suatu keadaan yang memungkinkan dirinya
meningkatkan martabat dan kepercayan diri, serta mampu berperan ktif dalam
masyarakat;
b. hak untuk meningkatkan perlakuan
dan pelyanan secara wajar baik dalam lingkungan keluarga mupun masyarakat.
c. Hak untuk sedini mungkin
mendapatkan akses pendidikan, latihan, peterampiln, perawatan kesehatan,
rehabilitasi, dan rekreasi sehingga mampu mandiri dan menyatu dalam masyarakat.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Penyedian
aksesibilitas bgi penyandang cacat diupayakan berdasarkan kebutuhan penyandang
cacat sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta standar yang ditentukan.
Standarisai
yang berkenan dengan aksesibilitas ditetapkan oleh instansi yang
berwenang.Penyediaan aksesibilitas dapat berupa fisik dan non fisik, antara lain
sarana dan prasarana umum serta informasi yang diperlukan bagi penyandang cacat
untuk memperoleh kesamaan kesempatan.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan agar penyandang cacat dapat
memperoleh dan memanfaatkan kesamaan kesempatan seperti anggota masyarakat
lainnya dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan sehingga dapat menunjang
mobilitas dan kemndirian penyandang cacat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 11
Ketentuan ini mempertegas hak dan kewajiban yang sama bagi
penyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-undang
ini yang berkaitan dengan bidang pendidikan.
Pasal 12
Perlakuan yang sama diharapkan penyandang cacat sebagi
peserta didik mendapatkan kesamaan perlaukan sebagimana peserta didik lainnya,
termasuk di dalamnya perlakuan untuk mendapatkan
sarana dan prasarana pendidikan. Sedangkan yang dimaksud satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan
adalah sebagimana diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Pasal 13
Ketentuan ini mempertegas
hak dan kesempatan yang sama bagi penyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-undang ini yang berkaitan dengan bidang
ketenagakerjaan.
Pasal 14
Perusahaan negara
meliputi badan usaha negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD),
sedangkan perusahaan swasta termasuk didalamnya koperasi.
Perusahaan harus
mempekerjaan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi
persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan, untuk setiap 100
(seratus) orang karyawan.
Perusahaan yang
menggunakan teknologi tinggi harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu)
orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang
bersangkutan walaupun jumlah karyawannya kurang dari 100 (seratus) orang.
Perlakuan yang sama
diartikan perlakuan yang tidak diskriminatif termasuk di dalamnya kesamaan
pengupahan untuk pekerjaan dan jabatan yang sama.
Pasal 15
Peraturan Pemerintah yang
dimaksud dalam Pasal ini diupayakan dalam waktu tidak terlalu lama sudah dapat
diundangkan.
Mengenai penyedian
aksesibilitas khususnya sarana dan prasarana umum yang sebelum diundangkannya
Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya belum ada, diberikan kesempatan
mengadakan penyesuaian dengan ketentuan Undang-undang ini dan peraturan
pelaksanaannya selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Peraturan Pemerintah
diundangkan.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Yang dimaksud dengan
fungsi sosial adalah kemampuan dan peran seseorang untuk berintegrasi melalui
komunikasi dan interaksi dalam hidup bermasyarakat secara wajar.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan fasilitas
dalam ayat ini adalah sarana dan prasarana pelayanan rehabilitasi, misalnya
panti sosial, balai latihan kerja, rumah sakit, dan unit rehabilitasi sosial
keliling.
Ayat (2)
Rehabilitasi medik adalah
kegiatan pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui tindakan medik
agar dapat mencapai kemampuan fungsional semaksimal mungkin.
Rehabilitasi pendidikan adalah
kegiatan pelayanan pendidikan secara utuh dan terpadu melalui proses belajar
mengajar agar dapat mengikuti pendidikan secara optimal sesuai dengan bakat,
minat, kemampuannya.
Rehabilitasi pelatihan adalah
kegiatan pelayanan pelatihan secara utuh dan terpadu agar penyandang cacat
dapat memiliki keterampilan kerja sesuai dengan bakat dan kemmpuannya.
Rehabilitasi sosial adalah
kegiatan pelayanan sosial secara utuh dan terpadu melalui pendekatan fisik,
mental, dan sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal
dalam hidup bermasyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal
19
Bantuan sosial dapat berbentuk
materiel, finansial, fasilitas pelayanan, dan informasi yang bersifat mendidik
dan mendorong tumbuhnya kesadaran dan tanggung jawab sosial penyandang cacat.
Bantuan sosial ini diberikan sewaktu-waktu dengan maksud dan tujuannya.
Pasal 20
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 21
Perlindungan dan pelayanan sosial dalam Psal ini dapat
dilaksanakan melalui keluarganya, keluarga pengganti, panti sosial, dan
organisasi sosial yang merawat penyandang cacayt tersebut.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Pembinaan adalah kegitn untuk mengrahkan agar upaya
peningktan kesejahteraan sosial penyandang cacat dapt dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan kebijakan Pemerintah.
Ayat (2)
Pembinaan pada segala aspek kehidupan dan
penghidupandilaksanakan agar penyandang cact dapat hidup mandiri dn sejahtera.
Khususnya pada aspek agama diarahkan pda peningkatan penghayatan dn pengamalan
nilai-nilai spiritual.
Pasal 24
Pembinan melalui perijinan dan pengawasan dalam Pasal ini
mencakup pula evaluasi dn pengendalian terhadap kegiatan yang dilaksanakan oleh
organisasi sosial yang menerima bantuan, baik dari dalam maupun luar negeri,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 25
Ayat (1)
Pembinaan oleh masyarakat dilaksanakan sesuai
dengan lingkup kegiatan yang dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan kebijakan Pemerintah.
Ayat (2)
Peran masyarakat dapat berbentuk sumbangan
pemikiran, tenaga, sarana dan prasarana, dana, dan lain-lain.
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan lembaga pada ayat ini adalah
lembaga Pemerintah dan lembaga masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Bentuk
sansi administrasi dapat berupa teguran, baik lisan maupun tulisan, dan denda
administrasi, yang pelaksanaannya dilakukan oleh instansi yang berwenang.
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3670
No comments:
Post a Comment