Apa dan Siapa
Anak Punk Itu?
Oleh: Arif Rohman
Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak negara di dunia
dengan jumlah populasi anak jalanan yang lumayan besar. Data dari Kementerian
Sosial RI menyebutkan bahwa pada tahun 2009 jumlah anak jalanan di Indonesia
mencapai 135.139 anak dan tersebar di beberapa kota besar seperti Jakarta,
Medan, Surabaya, Semarang, Bandung dan Yogyakarta (Kemensos RI, 2009). Berbagai
upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menghapuskan anak jalanan, baik
melalui penangkapan maupun penahanan, dan dalam beberapa kasus ekstrim adalah
penyiksaan, namun keberadaan anak jalanan tetap tidak berkurang secara
signifikan. Sebaliknya, ketika pemerintah cenderung menganggap fenomena anak
jalanan sebagai perilaku menyimpang yang secara potensial mengarah pada
kriminalitas, media dan lembaga non pemerintah justru menganggap mereka sebagai
kelompok rawan sekaligus korban kekerasan secara pasif yang dilakukan oleh
masyarakat yang tidak lagi memiliki kepedulian dan solidaritas sosial.
Perbedaan cara pandang ini semakin rumit tatkala fenomena anak punk muncul
dipermukaan, yang sekaligus meruntuhkan anggapan bahwa anak jalanan identik
dengan kemiskinan dan keterpaksaan. Tulisan ini mencoba membuka persoalan
mengenai semakin maraknya anak punk dan eksistensi mereka di jalanan serta usulan
mengenai pola pendekatan dan penanganan yang ideal yang perlu dilakukan oleh
pemerintah maupun organisasi kemanusiaan non pemerintah.
Banyak definisi mengenai anak jalanan yang dipakai para akademisi
maupun pemerhati anak guna menggambarkan karakteristik anak jalanan. Namun
ironisnya, konsep-konsep tersebut disamping memperkaya pandangan pandangan
mengenai anak jalanan, seringkali justru mangaburkan pengertian anak jalanan
itu sendiri. Aptekar dan Heinonen (2003) mengungkapkan bahwa definisi umum yang
sering dipakai terkait dengan istilah anak jalanan mengacu pada istilah yang
digunakan oleh Unicef. Di sini, anak jalanan diklasifikasikan menjadi tiga
kategori. Pertama, children on the street yaitu anak beraktifitas di jalanan
namun masih memiliki kontak secara rutin dengan keluarga mereka. Kedua,
children of the street, dimana anak hidup, bekerja dan tidur di jalanan.
Ketiga, children on and off the street, merujuk pada anak yang memiliki kontak
rutin dengan keluarga namun seringkali hidup, bekerja dan tidur di jalanan.
Namun demikian, pada tahun 1990 beberapa ilmuwan sosial mulai mengalihkan
istilah anak jalanan menjadi pekerja anak untuk menolak labeling anak jalanan.
Salah satu penelitian menarik terkait dengan anak jalanan di
Indonesia, dilakukan oleh Harriot Beazley. Mengambil lokasi di Yogyakarta,
Beazley (2003) mengatakan bahwa ada kecenderungan anak mengartikan hidup di
jalanan sebagai “karir”. Mereka menyadari betapa besarnya stigma negatif yang
melekat pada mereka. Oleh karena itulah sebagai kelompok marjinal, mereka
berupaya menegoisasikan identitas mereka dan mengembangkan strategi adaptasi
terkait dengan aktifitasnya di jalanan. Hal ini terlihat dari kemampuan mereka
dalam memaksimalkan hubungan potensi sistem kekerabatan di jalanan, dan menjalin
hubungan yang apik dengan mantan anak jalanan, pedagang asongan, dan anak
jalanan yang lebih besar. Kelompok-kelompok inilah yang menjadi ‘tali’ dan
mensupport mereka untuk survive di jalanan. Pada titik inilah solidaritas
sesama anak jalanan muncul dan semakin menguat. Dalam akhir tulisannya, Beazley
mengisyaratkan betapa susahnya untuk melakukan rehabilitasi pada mereka yang
telah lama turun dan hidup di jalanan. Mereka yang sudah kembali ke rumah
biasanya turun kembali ke jalan karena tidak bisa menyesuaikan kehidupan dalam
rumah karena banyaknya aturan, tindak kekerasan yang dilakukan orang tua kepada
dirinya, keterbatasan ruang, dan kurangnya kebebasan untuk melakukan sesuatu
yang mereka suka. Mereka juga rindu dengan teman-temannya di jalanan. Karena itulah
dana untuk upaya rehabilitasi sosial pada anak jalanan, akan lebih tepat
diperuntukkan bagi mereka yang masih baru di jalanan dan upaya preventif dengan
melibatkan partisipasi masyarakat (berbasis komuniti).
Permasalahan anak jalanan di Indonesia boleh dikatakan sangat
kompleks. Sejak boom pada tahun 1998 karena dipicu oleh krisis moneter,
fenomena terkini yang sedang marak terkait dengan anak jalanan adalah anak-anak
punk. Mereka diyakini memiliki karakteristik yang sedikit berbeda dengan anak
jalanan pada umumnya. Istilah punk sendiri memiliki arti yang beragam. O’Hara
(1999) mengartikan punk sebagai berikut: (1) Suatu bentuk trend remaja dalam
berpakaian dan bermusik; (2) Suatu keberanian dalam melakukan perubahan atau
pemberontakan; dan (3) Suatu bentuk perlawanan yang luar biasa karena
menciptakan musik, gaya hidup, komunitas, dan kebudayaan sendiri. Anak-anak
punk biasa ditandai dengan gaya berpakaian yang mereka kenakan seperti sepatu
boots, potongan rambut Mohawk ala suku Indian (feather-cut) dengan warna yang
berwarna-warni, celana jeans ketat (skinny), rantai dan paku (spike), baju yang
lusuh, badan bertatto, memakai tindikan (piercing) dan sering mabuk.
Berkaitan dengan punk, Marshall (2005) membagi punk ke dalam tiga
kategori yaituhardcore punk, street punk, dan glam punk. Jenis pertama, hardcore punk ditandai dengan gaya pemikiran dan bermusik yang
mengarah pada rock hardcore dengan beat-beat musik yang cepat. Jiwa
pemberontakan mereka sangat ekstrim sehingga seringkali terjadi keributan diantara
mereka sendiri. Jenis kedua, street punk sering disebut ‘The Oi‘ dan anggotanya dinamakan skinheads. Mereka
biasanya tidur di pinggir jalan dan mengamen untuk membeli rokok. Sebagai
akibatnya, mereka banyak bergaul dengan pengamen dan pengemis karena sama-sama
hidup di jalanan. Mereka adalah aliran pekerja keras. Jenis ketiga, glam punk biasanya jarang nongkrong dengan komuniti mereka
di pinggir jalan dan lebih memilih tempat-tempat yang elite seperti distro atau
kafe. Umumnya mereka adalah para seniman dengan berbagai macam karya seni.
Di Indonesia, komuniti punk yang jumlahnya mayoritas dan mendapat
perhatian yang lebih dari publik adalah anak punk yang ada di jalanan. Pada
umumnya, anak-anak punk tersebut berpendapat bahwa apa yang menjadi gaya hidup
mereka adalah suatu kewajaran hidup di daerah metropolis. Keberadaan komuniti
ini di kota-kota besar, yang sering menghabiskan waktu di jalanan dengan
mengamen di traffic light, gaya berpakaian dan aktifitas nongkrongnya,
dirasakan mengganggu kenyamanan masyarakat karena kekhawatiran akan terjadinya
tindak kriminalitas yang dilakukan oleh mereka.
Penelitian anak punk yang memotret secara lugas kehidupan mereka
di Jakarta dilakukan oleh Wallac. Wallac (2008) mengungkapkan bahwa musik punk
yang mendunia pada era 70-an di Barat juga berpengaruh di Indonesia dan
mencapai puncaknya pada tahun 1990-an. Anak-anak yang tergabung dalam komuniti
punk saling berbagi kesukaan mereka terhadap music dan gaya hidup. Ikatan
kekeluargaan dalam kelompok ini sangat kuat dan jaringan mereka juga sangat
luas. Bagi mereka uang dan pendidikan bukan halangan untuk kumpul bersama.
Mereka mempunyai slogan khas Do It Yourself (DIY). Mereka sering mengasosiasikan dirinya sebagai orang kecil
yang tertindas. Menariknya, anak-anak yang tergabung dalam kelompok punk pada
umumnya adalah mereka yang masih dikategorikan sebagai keluarga yang mampu,
bahkan banyak pula dari mereka yang berasal dari kalangan menengah ke atas.
Namun demikian, pada umumnya mereka tidak melanjutkan pendidikannya (putus
sekolah). Kehidupan mereka sangat memungkinkan dan rawan untuk terjerumus dalam
seks bebas. Anak punk perempuan yang suka melakukan seks bebas biasa disebut
dengan pecun underground. Banyak dari mereka yang bekerja sebagai tukang
parkir, pengamen, dan ‘polisi cepek’.
Sejumlah pemerhati anak yakin bahwa anak-anak punk sebenarnya
adalah anak-anak yang bermasalah. Masalah yang pertama berkaitan dengan dirinya
sendiri. Mereka masih mencari jati dirinya dalam tahapan menuju kedewasaan.
Kurangnya kesiapan diri membuat mereka mengalami kebingungan dalam mencari
identitasnya. Masalah yang kedua berkaitan dengan hubungan dengan keluarga
mereka yang pada umumnya kurang harmonis. Mereka kurang mendapatkan perhatian
dan kasih sayang dari orang tua dan keluarga. Komunikasi tidak lancar karena
kesibukan orang tuanya bekerja. Sebagai konsekuensinya mereka mencari perhatian
di luaran. Terakhir, anak-anak punk adalah anak-anak yang sebenarnya memiliki
kreatifitas tinggi. Karena kreatifitas itu tidak terwadahi dan mendapatkan
perhatian secara serius dari pemerintah, tentu saja mereka sangat rawan untuk
terjerumus dalam tindak kejahatan seperti vandalism, ketergantungan alkohol,
penyalahgunaan narkoba, eksploitasi seksual, prostitusi, HIV/AIDS, perdagangan
manusia maupun rawan percobaan bunuh diri. Hal ini belum termasuk dengan aparat
keamanan dan ketertiban yang sering menangkap mereka dan memperlakukan mereka
dengan buruk.
Permasalahan anak jalanan dan anak punk memang kompleks. Akan
tetapi kita tidak bisa melakukan pembunuhan maupun penyiksaan terhadap anak
jalanan sebagaimana telah dilakukan di Brazil, Guatemala, dan Columbia. Dunia
masih ingat peristiwa mencengangkan pada bulan Juli 1993 di Gereja Candelaria
di Rio de Jeneiro, dimana beberapa polisi tanpa baju dinas menembaki 50 anak
jalanan dimana 6 diantaranya meninggal seketika dan 2 anak dibawa ke sebuah
pantai dan dieksekusi. Menariknya ketika acara tersebut ditayangkan di stasiun
radio, hampir sebagian besar penduduk di sana menyetujui tindakan tersebut. Hal
ini dikarenakan budaya masyarakat di sana yang menganggap anak dalam keluarga
adalah malaikat kecil, akan tetapi jika anak tersebut berkeliaran menggelandang
maka mereka tak ada bedanya dengan babi (Summerfield, 2008).
Masih dalam sebuah tulisannya ‘If Children’s Lives are Precious,
which Children?’,Summerfield (2008) juga
menyebutkan bahwa pada tahun 1991, sekitar 1.000 anak jalanan dibunuh di Brazil
dan 150.000 anak jalanan mati sebelum mencapai umur setahun karena kemiskinan,
sanitasi yang buruk, minimnya layanan kesehatan, serta 2 juta anak jalanan
mengalami malnutrisi. Dalam akhir tulisannya dia memberikan pertanyaan yang
cukup menggelitik: ‘Apakah dibenarkan membunuh anak-anak karena mereka tidak
punya masa depan?’
Tulisan ini telah mengupas sedikit persoalan mengenai anak-anak
punk yang ada di jalanan. Meskipun karakteristik anak-anak punk tidak jauh
berbeda dengan anak-anak jalanan pada umumnya, namun alasan utama mereka turun
ke jalan justru bukan alasan ekonomi. Mereka memiliki masalah dalam pencarian
jati diri dan minim kasih sayang serta perhatian dari orang tua mereka. Mereka
juga tidak memiliki wadah untuk menyalurkan bakat dan kreatifitas mereka.
Karena itulah penyebutan anak jalanan menjadi pekerja anak menjadi tidak bisa
digeneralisir. Jika pemberdayaan dan penguatan ekonomi keluarga sangat penting
untuk anak jalanan pada umumnya, maka pemberian konseling keluarga sangat tepat
untuk anak-anak punk. Penanganan anak-anak punk secara persuasif harus segera
dilakukan baik oleh pemerintah, masyarakat maupun organisasi non pemerintah.
Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari anggapan bahwa jalanan adalah schools
of crime (sekolah kejahatan), sehingga mau tidak mau, tugas kita semua untuk
memenuhi dan melindungi hak-hak anak yang sudah tercantum dalam Konvensi
Hak-hak Anak (KHA) dan Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) yaitu anak harus
hidup dalam asuhan keluarga secara layak dan dapat mengenyam bangku sekolah.
Pembantaian dan pembunuhan terhadap anak-anak yang berada di jalanan bukanlah
solusi, melainkan sebuah tindakan biadab yang harus kita kutuk bersama.
Penulis adalah pengamat sosial tinggal di Australia
Kompasiana adalah Media
Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer
(anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab
atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.
No comments:
Post a Comment