Aristoteles,
Kota, dan Rumah bagi Orang Miskin
Oleh: Arif Rohman
Ladang dan pepohonan
tidak menarik bagiku, tetapi tidak demikian halnya dengan manusia yang ada di
kota (Aristoteles)
Kata-kata filusuf
Aristoteles di masa lampau menunjukkan bahwa isu-isu perkotaan selalu menarik
untuk dibahas, apalagi berkaitan dengan manusia-manusia yang tinggal di
dalamnya. Salah satu masalah yang dianggap penting dalam kajian perkotaan
adalah rumah bagi orang miskin. Tulisan ini khusus menyoroti fungsi dan makna
rumah bagi orang miskin dan bagaimana kesulitan-kesulitan yang dialami orang
miskin dalam mengakses rumah yang layak di perkotaan.
Kota-kota di Indonesia,
khususnya di pulau Jawa, telah mengalami berbagai permasalahan berkenaan dengan
pertumbuhannya. Salah satu masalah yang timbul adalah adalah masalah pemukiman.
Masalah tersebut tidak terlepas dari berbagai masalah lain yang ada di
perkotaan, seperti masalah wilayah komersial, industri, tempat-tempat umum,
monumen-monumen, jalan dan lalu lintas, rekreasi dan olah raga, sanitasi,
kesehatan umum, pekuburan, dan lain sebagainya. Disamping itu, masalah jalur
kereta api dan pola pertumbuhan pemukiman pita (ribbon building), yaitu pola
pembangunan bangunan hunian, toko-toko dan tempat-tempat berjualan,
bangunan-bangunan pemerintah, yang dilakukan di sepanjang tepi-tepi jalan dan
jalur-jalur kereta api di perkotaan. Di daerah perkotaan, pola pemukiman pita
ini menyebabkan keruwetan dan ketidakteraturan yang sudah ada menjadi lebih
kompleks lagi. Wertheim (1958), mengatakan bahwa untuk mengatasinya bahwa untuk
mengatasinya, maka cara pertama-tama yang harus dilakukan adalah membuat
kebijakan perencanaan atau tata ruang kota yang terintegrasi dan dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Menurutnya, tata ruang kota tersebut harus
mencakup juga model tata ruang kota yang terbukti cukup canggih dalam mengatasi
berbagai permasalahan perkotaan.
Pertumbuhan kota yang
tidak terencana, tidak terkoordinasi dan terpencar disejumlah kawasan
mengakibatkan beberapa bagian kota menjadi tertinggal. Pemerintah kota akhirnya
tidak mampu menyediakan prasarana dan fasilitas publik sesuai dengan harapan
masyarakat. Akibatnya adalah semakin meningkatnya jumlah keluarga miskin,
dengan akses yang serba minim, termasuk ruang hunian atau tempat tinggal yang
tidak layak, tidak memenuhi derajat kesehatan, dan terkesan apa adanya (Evers
& Korff, 2002). Sulitnya masyarakat miskin untuk mendapatkan rumah yang
layak huni tentu merupakan persoalan yang mendesak untuk diatasi. Kesepakatan
masyarakat global yang tertuang dalam Agenda Habitat, mengamanatkan pentingnya
penyediaan hunian yang layak untuk semua lapisan masyarakat, dengan
mengedepankan strategi pemberdayaan (enabling strategy ). Plan of
implementation dari World Summit on Sustainable Developement di Johanesburg
2002, menargetkan bahwa pada tahun 2015, sekitar 50% penduduk miskin di dunia
harus sudah terentaskan dari kemiskinannya. Kondisi ini antara lain harus
ditandai oleh terpenuhinya kebutuhan mereka akan perumahan yang layak.
Secara hipotesis,
permasalahan perkotaan yang dihadapi Indonesia dewasa ini disebabkan oleh
kompleksitas masalah, yaitu pertambahan penduduk kota yang kurang terkendali,
pertumbuhan kota yang serba cepat dan kompleks dalam hal pengembangan
fungsi-fungsinya sebagai pusat-pusat kegiatan industri, komersial, jasa-jasa
pelayanan ekonomi, pemerintahan, pendidikan, dan berbagai fungsi sosial,
ekonomi dan budaya. Kesemuanya ini belum dapat tertampung secara semestinya di
dalam ruang-ruang yang diperuntukkan kegiatan-kegiatan tersebut sesuai rencana
tata ruang kota yang dibuat, dan juga disebabkan oleh pengembangan
kegiatan-kegiatan ekonomi, komersial dan industri, serta hunian di perkotaan
yang serba modern dan kompleks yang telah tidak memungkinkan dimantapkannya
pelaksanaan penataan kegiatan-kegiatan kehidupan perkotaan secara ketat sesuai
tata ruang yang berlaku. Akibat yang paling nampak dari faktor-faktor tersebut
adalah pada kondisi pemukiman perkotaan yang menghasilkan berbagai permasalahan
yang dihadapi oleh kota-kota yang bersangkutan.
Secara ringkas, kota
dapat didefinisikan sebagai sebuah tempat tinggal manusia yang dihuni secara
permanen, dimana warga atau penduduknya membentuk sebuah kesatuan kehidupan
yang lebih besar pengelompokannya dari pada kelompok klan atau keluarga. Kota
juga merupakan sebuah tempat dimana terdapat adanya kesempatan-kesempatan dan
permintaan-permintaan yang mewujudkan terciptanya sistem pembagian kerja,
kelas-kelas atau lapisan sosial yang mengakui adanya perbedaan-perbedaan dalam
hal fungsi, hak, keistimewaan-keistimewaan, dan tanggung jawab diantara
golongan-golongan sosial yang ada; dan adanya berbagai bentuk serta corak
spesialisasi pembagian kerja sesuai dengan tingkat perkembangan dan macamnya
kota, yang sesuai dengan peranan khusus dari kota dalam kedudukan fungsionalnya
dengan daerah-daerah pedesaan atau pedalaman yang terletak di sekelilingnya dan
berada dalam kekuasaannya (Mumford, 1961). Selanjutnya, kota itu ada dan hidup
karena bisa memberikan pelayanan yang penting artinya bagi mereka yang ada di
dalam kota, maupun yang tinggal di wilayah sekeliling kota, atau juga mereka
yang mengadakan perjalanan dan harus singgah atau berdiam sementara di kota
tersebut. Pelayanan ini dapat berupa pelayanan-pelayanan keagamaan,
administrasi, komersial, politik, pertahanan dan keamanan, atau dapat pula
berupa pelayanan yang berkenaan dengan pengaturan suplai makanan dan air.
Pelayanan tersebut harus betul-betul diperlukan oleh para warga yang
bersangkutan atau para musafir yang melewati kota tersebut, sehingga
pengendalian kota atas wilayah-wilayah di sekelilingnya dapat dimantapkan.
Kompleksitas kehidupan
ekonomi di perkotaan jauh lebih tinggi dari pada di pedesaan. Hal ini terlihat
dari sistem ekonomi kota yang terbebas dari kegiatan mengolah tanah atau
mengeluarkan energi tubuh, guna memperoleh bahan mentah, telah menyebabkan
tumbuh dan berkembangnya sistem produksi dan industri yang tidak terbatas,
tergantung pada macam dan tingkat kebutuhan konsumen. Sedangkan macam dan
tingkat kebutuhan konsumen terhadap barang hasil produksi atau industri dapat
diciptakan dari hasil interaksi sosial, ekonomi, politik dan budaya yang
terwujud melalui teknologi komunikasi pasar (Suparlan, 1996). Kompleksitas
dalam struktur kehidupan ekonomi perkotaan ini mempengaruhi terwujudnya
kompleksitas dalam struktur perkotaan. Berbagai bentuk dan macam spesialisasi
ekonomi dan kerja berkembang sesuai dengan kebutuhan dan permintaan; dari yang
terspesialisasi hingga yang sangat umum, dari yang sangat tergantung pada
keahlian dan keterampilan pemikiran serta teknologi, sampai dengan yang
menggunakan tenaga otak manusia, dan dari yang digolongkan sebagai terhormat
dengan penghasilan besar, sampai dengan yang tidak terhormat dengan penghasilan
yang terbatas. Sistem pelapisan sosial terbentuk berdasarkan atas macam
pekerjaan dan pendapatan, yang coraknya sangat kompleks, dikarenakan beraaneka
ragamnya macam dan bentuk kerja yang ada di perkotaan. Tingkat kompleksitas
sistem pelapisan sosial tersebut, tergantung dari tingkat perkembangan kota dan
kedudukannya dalam sistem administrasi negara.
Rumah adalah sebuah
satuan tata ruang yang paling baku dan selalu ada dalam kehidupan manusia di
masyarakat manapun. Rumah berfungsi bebagai tempat untuk kegiatan-kegiatan
melangsungkan kehidupan manusia, yang mencakup kegiatan reproduksi, ekonomi,
pengsuhan dan pendidikan anak, perawatan terhadap orang tua atau jompo,
kehidupan sosial, emosi, dan lain sebagainya (Suparlan, 1996). Karena
majemuknya fungsi-fungsi yang harus dilaksanakan dalam rumah, maka rumah juga
sebagai sebuah satuan tata ruang, juga dibagi-bagi dalam satuan-satuan tata
ruang yang lebih kecil yang saling berkaitan antara satu sama lainnya, sebagai
satu keseluruhan tata ruang rumah. Rumah merupakan medium atau perantara bagi
manusia dengan lingkungan alam atau fisik, merupakan perluasan dari organ tubuh
manusia, dan merupakan sebuah lingkungan budaya dimana manusia penghuninya
merupakan sebuah unsurnya.
Dengan demikian, menurut
Sukamto (2001) penghuni akan memperlakukan ruang huniannya sesuai dengan
kriteria sebagai berikut : (1) Rumah sebagai wadah kehidupan manusia secara
universal. Rumah sebagai tempat hidup manusia maka rumah juga menjadi wadah
kehidupan manusia dalam melakukan kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan. Satuan
ruang rumah dengan demikian menampung berbagai fungsi kegiatan pemenuhan kebutuhan
hidup manusia secara universal, yang meliputi : (a) Kebutuhan primer, sebagai
kebutuhan yang bersumber pada aspek biologis manusia yang dalam pemenuhannya
memerlukan wadah tindakan-tindakan di dalam satu ruang. Dengan asumsi
klarifikasi satu ruang untuk satu tindakan pemenuhan kebutuhan, maka ruang yang
diperlukan adalah ruang-ruang sebagai wadah untuk kegiatan makan dan minum,
buang air besar/kecil, istirahat dan tidur, pelepasan dorongan seksual,
perlindungan iklim/suhu udara, dan kebutuhan kesehatan yang baik; (b) Kebutuhan
sekunder, sebagai hasil usaha untuk pemenuhan kebutuhan primer yang memerlukan
ruang untuk berkomunikasi dengan sesama anggota keluarga, melakukan kegiatan
bersama dengan keluarga, menaruh untuk benda-benda material dan kekayaan dan tempat
untuk mendidik anak; dan (c) Kebutuhan integratif, berfungsi mengintegrasikan
berbagai unsur kebudayaan menjadi satu sistem yang masuk akal baginya, mencakup
cara-cara mengatur dan menggunakan ruang, tempat mengatur dan menjalankan
fungsi keluarga, sebagai tempat melakukan kegiatan rekreasi dan hiburan, dan
religius; (2) Rumah untuk menampung fungsi keluarga. Keluarga sebagai satuan
sosial terkecil, fungsinya antara lain untuk berkembang biak, mensosialisasi
atau mendidik anak dan menolong serta melindungi yang lemah, maka rumah juga
disebut sebagai : (a) Satuan ruang sosial; (b) Ruang hunian sebagai satuan
kehidupan untuk reproduksi dan pengembangbiakan; dan (c) Ruang hunian sebagai
ruang sosialisasi dan pendidikan anak; (3) Rumah sebagai wujud pernyataan diri.
Rumah sebagai sebuah bangunan fisik tidak hanya dilihat dan diperlakukan
sebagai satuan material fisik, tetapi juga sebagai satuan simbol yang
mencerminkan identitas diri penghuninya. Setiap penghuni rumah memberi isi
berupa benda-benda pada ruangan dengan makna-makna yang terwujud sebagai simbol
pencerminan kemampuan diri dalam memanfaatkan peluang dan sumber daya
lingkungan.
Kemiskinan tidak lahir
dengan sendirinya (given), ia tidak muncul bukan tanpa sebab. Argumen para
penganut teori konservatif dan liberal telah lama dipatahkan. Orang-orang
miskin muncul bukan karena mereka malas atau boros. Mereka miskin bukan pula
karena nasibnya yang sedang sial sehingga menjadi miskin. Mereka menjadi orang
miskin karena dibuat miskin oleh struktur ekonomi, politik dan sosial. Mereka
miskin karena memang sengaja dilestarikan untuk menjadi miskin. Mereka menjadi
kaum tertindas karena memang disengaja, direkayasa dan diposisikan sedemikian
rupa untuk ditindas. Mereka miskin karena dieksploitasi, diperas, dijarah dan
dirampok hak-haknya. Mereka miskin karena dipaksa oleh sistem ekonomi dan
politik yang tidak adil. Kemiskinan penting untuk dipelihara dan dilestarikan
karena besar manfaatnya, yakni menunjang kepentingan kelompok dominan, elite
penguasa (the ruling elites) atau kaum kapitalis.
Hal tersebut di ataslah
yang membuat kemiskinan sulit diatasi karena kaum miskin tidak memiliki daya
tawar terhadap kebijakan yang selama ini tidak berpihak kepada mereka. Kaum
miskin hanya menjadi alat produksi semata-mata. Pendapatan mereka hanya sekadar
mencukupi kebutuhan hidup saja. Inilah yang selama ini membuat kaum miskin tak
berdaya untuk memiliki daya tawar terhadap pengambilan keputusan, dan membuat
yang kaya semakin berada di puncak. Kebijakan politik yang ada selama ini
sering (dan sebagian besar) hanya berpihak kepada mereka yang memiliki alat
produksi dan modal. Kaum miskin diperas tenaganya hanya sekadar menjadi buruh
kasar dengan dalih keterampilan mereka terbatas. Tetapi pemerintah, di sisi
lain, tidak mampu berbuat bagaimana seharusnya meningkatkan keterampilan mereka
agar bisa berkompetisi lebih adil dengan lainnya (Suparlan, 1993).
Kaum miskin selalu
dilihat sebelah mata dalam berbagai proses pembuatan kebijakan. Kebijakan yang
dilahirkan penguasa tidak terlalu banyak memerhatikan poros warga negara. Warga
negara yang miskin dianggap tidak memiliki kedaulatan tertinggi di dalam sebuah
negara. Pelanggaran konstitusi ini terus terjadi tanpa adanya kemauan untuk
memperbaikinya dengan melahirkan sebuah kebijakan yang sungguh-sungguh
mengapresiasi dan melibatkan kaum miskin untuk berperan sebagai warga negara
normal. Struktur kemiskinan masyarakat kita tidak terlepas dari persoalan
utama, yakni adanya dosa struktur. Dosa struktur yang dimaksud adalah
menyangkut bagaimana distribusi yang adil dan menjangkau semua pihak. Dengan
demikian, keadilan yang sedang kita bicarakan di sini adalah menyangkut keadilan
untuk semua.
Perumahan bagi keluarga
miskin seringkali tidak memberikan kepastian hukum bagi penghuninya, atas tanah
dan bangunan yang mereka tempati. Bagi perempuan, kurangnya kepastian hukum ini
bahkan terjadi pada barang dan aset formal lainnya. Kampung-kampung tempat
kelompok masyarakat miskin tinggal dapat dengan mudah beralih fungsi menjadi
kawasan bisnis atau kawasan lainnya. Sebaliknya, kawasan perkotaan sangat sulit
menyediakan lahannya untuk keperluan perumahan masyarakat miskin. Hal ini menyebabkan
masyarakat miskin di mana banyak terdapat perempuan di dalamnya semakin
tergusur ke kawasan pinggiran yang jauh dari kota.
Kegiatan relokasi
terhadap warga korban penggusuran, atau pembangunan perumahan untuk kelompok
miskin, biasanya dilakukan di daerah pinggiran. Hal ini menimbulkan kesulitan
bagi keluarga miskin yang bekerja, dalam bentuk peningkatan biaya transportasi,
dan berkurangnya waktu untuk mengasuh anak. Kegiatan penggusuran terhadap
kelompok masyarakat miskin, biasanya tidak disertai dengan pemberian tenggang
waktu untuk membuat masyarakat siap untuk menempati lokasi dan rumah baru.
Pendapatan masyarakat
miskin sangat rendah. Setelah dipakai untuk membayar makanan, pakaian, dan
keperluan sehari-hari lainnya, mereka hanya memiliki sangat sedikit sisa
penghasilan untuk mengurus keperluan rumah mereka. Akibatnya, keluarga-keluarga
miskin, tidak mampu lagi untuk menyediakan rumah bagi diri mereka sendiri.
Aspek dominan yang
mempengaruhi perumahan masa kini adalah keberlanjutannya (sustainability).
Aspek ini nampak sederhana namun adalah sebuah konsep yang rumit. Rumah yang
berkelanjutan harus memenuhi lima syarat dasar yang dinikmati oleh penghuni
saat ini serta yang akan datang, yaitu: (1) Mendukung peningkatan mutu
produktivitas kehidupan penghuni baik secara sosial, ekonomi dan politik.
Artinya setiap anggota penghuni terinspirasi untuk melakukan tugasnya lebih
baik; (2) Tidak menimbulkan gangguan lingkungan dalam bentuk apapun sejak
pembangunan, pemanfaatan dan kelak bila harus dimusnahkan. Ukuran yang dipakai
terhadap gangguan yang terjadi terhadap lingkungan adalah efektivitas konsumsi
energi; (3) Mendukung peningkatan mobilitas kesejahteraan penghuninya secara
fisik dan spiritual. Berarti penghuni mengalami terus peningkatan mutu kehidupan
fisik dan non-fisik; (4) Menjaga keseimbangan antara perkembangan fisik rumah
dengan mobilitas sosial-ekonomi penghuninya. Pada awalnya keadaan fisik rumah
lebih tinggi dari keadaan non—fisik, namun ini berbalik setelah penghuni mapan
di rumah tersebut; dan (5) Membuka peran penghuni/pemilik yang besar dalam
pengambilan keputusan terhadap proses pengembangan rumah (lihat diagram proses
perkembangan rumah pada lampiran) dan Rukun Warga tempat ia berinteraksi dengan
tetangga.
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa sebuah rumah disebut layak bila ada keterpaduan yang
serasi antara: (1) Perkembangan rumah dan penghuninya, artinya rumah bukan
hasil akhir yang tetap tetapi proses yang berkembang; (2) Rumah dengan
lingkungan (alam) sekitarnya, artinya lingkungan rumah dan lingkungan
sekitarnya terjaga selalu baik; (3) Perkembangan rumah dan perkembangan kota,
artinya kota yang dituntut makin global dan urbanized memberi manfaat positif
bagi kemajuan warga kota di rumah masing-masing; dan (4) Perkembangan antar
kelompok warga dengan standar layak sesuai keadaan dan tuntutan masing-masing
kelompok, artinya tiap kelompok warga punya kesempatan sama untuk berkembang
sesuai dengan tuntutan yang ditetapkan sendiri.
Kondisi kemiskinan
membuat keluarga-keluarga miskin seringkali hanya mampu mengakses lingkungan
kumuh atau permukiman liar di kota. Lingkungan kumuh yang dicirikan oleh
minimnya sarana infrastruktur permukiman, menghadapkan kaum miskin pada
buruknya kualitas kehidupan yang harus mereka tanggung di lingkungan
permukiman. Dengan demikian, keterbatasan masyarakat miskin dalam mengkases
perumahan diperburuk dengan kurang memadainya pelayanan penyediaan prasarana
dan sarana dasar lingkungan. Rendahnya kualitas kehidupan di lingkungan
permukiman kumuh ini pada gilirannya juga menghambat potensi produktivitas dan
kewirausahaan para penghuninya. Pada umumnya mereka kemudian hanya mampu
mengakses perekonomian informal kota, yang utamanya dicirikan oleh status hukum
yang lemah dan tingkat penghasilannya yang rendah.
Pemukiman kumuh
didefinisikan oleh Suparlan (1996), sebagai suatu pemukiman yang kondisi fisik
hunian dan tata ruangnya mengngkapkan kondisi kurang mampu atau miskin dari
para penghuninya. Penataan ruang hunian yang semrawut yang disebabkan oleh
penggunaan ruang yang tinggi tingkat kepadatan volume maupun frekuensinya, dan
serba kotor atau tidak terwat dengan baik. Di samping itu, pemukiman kumuh juga
kurang memadai fasilitas-fasilitas umum, seperti air bersih, pembuangan air
limbah dan sampah, jalan dan berbagai fasilitas untuk kegiatan sosial orang
dewasa dan tempat bermain bagi anak-anak. Warga pemukiman kumuh terdiri atas
penduduk tetap dan penduduk yang tinggal sementara di pemukiman tersebut.
Mereka yang hidup menetap antara lain yang menyewakan kamar atau rumah kepada
para pendatang yang tinggal sementara. Seringkali juga berikut dengan pelayanan
makan dan cuci pakaian. Kebanyakan dari pendatang ini adalah bujangan yang
bekerja untuk proyek-proyek pembangunan gedung-gedung atau jalan-jalan di kota,
atau juga yang datang untuk mencari kerja atau yang telah bekerja di
sektor-sektor informal. Secara sosial dan ekonomi, sebuah komuniti pemukiman
kumuh tidak homogen. Warganya mempunyai mata pencaharian yang beraneka ragam,
asal usul yang berbeda, mengenal adanya pelapisan sosial dan kemampuan ekonomi
yang berbeda-beda (Rohman, 2004).
Ciri-ciri keluarga
miskin yang tinggal di permukiman kumuh ini kembali menampilkan keterbatasan
kualitas hidup mereka, dan sekaligus juga menunjukkan betapa fenomena lingkungan
kumuh juga menjadi sesuatu yang sulit untuk diatasi. Tidak heran jika
keberadaan permukiman kumuh sendiri sesungguhnya merupakan ancaman serius bagi
kesehatan dan kesejahteraan kota. Serius bukan hanya dalam pengertian dampak
lingkungan kumuh terhadap tingkat produktivitas dan kualitas hidup warga kota.
Tetapi juga serius dalam pengertian bahwa keberadaan pemukiman kumuh ini
mencerminkan kegagalan pemerintah dalam membangun perumahan. Karena, idealnya
disamping untuk memenuhi kebutuhan sosial, pembangunan perumahan harus dapat
berperan menjadi instrumen pembangunan yang dinamis. Artinya, pembangunan
perumahan dapat juga berperan untuk menggairahkan semangat membangun, mendorong
kegiatan swadaya masyarakat, menghidupkan industri rakyat, dan menciptakan lapangan
kerja baru. Keberadaan warga miskin kota di perkampungan-perkampungan kumuh
yang hampir hanya menawarkan akses ke sektor ekonomi berupah rendah, jelas
menunjukkan bahwa di samping gagal menyediakan perumahan yang layak, pemerintah
juga gagal menjadikan perumahan sebagai pendorong bagi kegiatan sosial dan
ekonomi yang produktif bagi warganya.
Ada dua aspek penting
dalam penataan perkotaan. Di satu pihak ada kebijaksanaan penataan ruang
perkotaan, ada peraturan legal-formal untuk dijadikan pedoman pelaksanaannya,
tetapi tidak pernah kita ketahui bagaimana penggunaan tata ruang kota dan
peraturan pelaksanaannya oleh pemerintahan kota. Di samping itu, warga
pemukiman perkotaan membangun sendiri ruang-ruang yang tersedia di kota sesuai
kepentingan mereka, untuk memperoleh keuntungan ekonomi, sosial dan politik,
sehingga terlihat kesan seolah-olah pemerintahan kota tidak mempunyai pedoman
pelaksanaan pengaturan kehidupan perkotaan. Bertolak dari kenyataan ini maka
perspektif ukuran keberhasilan kinerja pembangunan perkotaan seharusnya mulai
digeser dari perspektif kuantitatif ke kualitatif. Dengan melakukan perbaikan
sistem pendataan permasalahan perumahan, secara lebih akurat diharapkan
pemerintah juga dapat merubah strategi pemecahannya.
Sebagai penutup, permasalahan
permukiman penduduk perkotaan, harus dipecahkan dengan melibatkan penduduk
setempat, pemerintahan kota, kelompok-kelompok interest, dengan mengacu pada
rencana tata ruang kota yang ada dan pada kondisi fisik ruang-ruang yang
tersedia serta ada dalam kota yang bersangkutan, yang secara bersama-sama
bertujuan untuk membantu memecahkan permasalahan pemukiman khususnya dan
permasalahan perkotaan pada umumnya, dan mengendalikan motif-motif pencapaian
keuntungan maksimal secara pribadi dari keputusan-keputusan yang diambil. Ingat
pepatah lama, jika kota adalah cerminan peradaban maka rumah adalah cerminan
kebudayaan. Semoga kita termasuk dalam bangsa yang berbudaya.
Penulis adalah pengamat
sosial tinggal di Australia
Kompasiana adalah Media Warga. Setiap
berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota
Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas
validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.
No comments:
Post a Comment