Kelamnya
Kehidupan Philosophers: Heraclitus, Socrates dan Plato
Oleh
: Arif Rohman
Tahukah saudara kalau istilah filosofi itu mempunyai latar sejarah
yang panjang, penuh perdebatan dan sebuah perjalanan yang kelam? Filosofi bisa diartikan
sebagai ’sudut pandang atau opini tentang dunia dan bagaimana kehidupan
seharusnya ditempatkan’. Ahli filsafat adalah para perintis ilmu berpikir dan
pengetahuan modern sekarang ini. Namun sayangnya banyak yang masih awam tentang
orang-orang yang berjasa yang membawa kita dari dunia kegelapan, dan salah
satunya adalah saya. Tulisan ini saya rangkum dari tulisan-tulisan kecil pada
waktu saya membaca buku-buku filsafat. Mungkin lebih tepat disebut serpihan
”notes’ kecil daripada tulisan diskusi yang ‘njlimet’.
Heraclitus (535–475 BC) adalah ahli filsafat Yunani sebelum
Socrates. Dia terkenal dengan doktrinnya bahwa segala sesuatu di dunia ini
selalu berubah. Sebagai perumpamaan dia menunjuk pada seseorang yang berjalan
menyeberangi sungai untuk kedua kalinya, maka air yang mengalir mengenainya
bukanlah air yang sama ketika dia menyeberang untuk pertama kalinya. Dengan
kata lain, perubahan adalah pusat dari semesta. Sayang tulisan Heraclitus tidak
selesai karena dia menderita melancholia (mental disorder, sering depresi, dan
derajat entushiasm yang rendah). Maka dia sering disebut dengan ‘the weeping
philosopher’, jago filsafat yang mudah menitikkan air mata. Ini berbeda dengan
Democritus yang justru kebalikannya dengan gaya ‘tertawanya’. Heraclitus berpendapat
bahwa substansi alamiah suka ‘menyembunyikan diri’. Menurutnya jika segala
sesuatu selalu bergerak berubah, maka jika ada muda ada tua, jika ada awal
tentu ada akhir, sehingga menuju keadaan yang seimbang yang dia sebut
‘harmony’. Pemikiran Heraclitus banyak mempengaruhi Plato dan Aristotle. Aliran
Heraclitus sering disebut ‘Heracliteans’. Heraclitus meninggal dalam keadaan
yang menyedihkan dengan kerusakan pada matanya.
Socrates (469-399 BC) disebut juga orang suci, ‘nabi’, dan
sekaligus guru dalam filsafat. Dengan metode pemikirannya yang lebih terkenal
dengan sebutan ‘elenchus’ dia banyak memberikan kontribusi pada ranah ‘etika’
yang terutamanya pada aspek diskusi dan menelurkan konsep ‘pedagogy’ atau model
dialog orang dewasa. Dimana model pengajaran yang baik menurut Socrates adalah
dengan memperhatikan latar belakang dan pengetahuan seorang murid, situasi
personal dan lingkungan sekitar. Dia juga banyak menyumbang untuk epistemology
(sifat, keluasan, dan batasan-batasan pengetahuan) dan logic (mengemukakan
alasan, argumentasi, dan ide dalm kerangka dialektika). Namun sayangnya,
Socrates tidak menuliskan pemikirannya dalm bentuk teks. Pemikirannya malah
diketahui dari tulisan-tulisan muridnya seperti Plato dan Aristotle. Metode
‘elencus’ nya banyak dipakai untuk kalangan praktisi hukum modern sekarang ini.
Dia memulai pertanyaannya dengan mempersoalkan ‘Apakah sebenarnya keadilan
itu?’. Dia beranjak pada kesimpulan bahwa keadilan adalah universal dan itu
dibentuk dari fakta-fakta yang spesifik. Metode ini lebih dikenal dengan
istilah ‘inductive reasoning’ yaitu menarik kesimpulan dari hal yang sifatnya
khusus (potongan-potongan fakta) menuju hal yang sifatnya umum (gambar besar).
Dia menjelaskan metodenya dengan berani dihadapan para juri (kumpulan hakim
pemutus) tentang nilai-nilai moral mereka yang salah. Socrates sering
dihubungkan dengan istilah ‘paradox’ dengan pernyataannya, ‘Saya ini orang yang
tidak tahu apapun sama sekali’. Socrates lebih sering nangkring di pasar Athena
untuk menghindari istrinya yang cerewet. Dari pada bekerja untuk keperluan
hidupnya, dia lebih sering menghabiskan waktunya dengan berdebat mengenai
pemikirannya dan kritik-kritiknya tentang ‘conventional wisdom’ pada masa itu.
Menurutnya, kekayaan materi itu tidak penting, yang terlebih penting adalah
pertemanan dan solidaritas dalam sebuah komuniti. Karena pemikirannya yang
radikal, Socrates dianggap telah ‘meracuni’ pemikiran anak-anak muda dan
‘menipiskan’ keyakinan akan agama, akhirnya dia dihukum mati. Sebenarnya dia bisa
lolos dari tahanan karena para pengikutnya bisa menyuap penjaga tahanannya,
namun dia memilih untuk tetap tinggal dan menunggu kematian. Keputusan sikapnya
didasarkan pada beberapa alasan yaitu: (1) Lari dari kematian bagi seorang
filosofer adalah pengkhianatan bagi keyakinannya akan sebuah ajaran
kebenarannya; (2) Lari dari kematian hanyalah akan membuktikan pada pengikutnya
bahwa ajarannya layak dipertanyakan; dan (3) Dia percaya pada kosep ’social
contract’ bahwa semua warga negara adalah sama kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan, dan dia juga harus menerima hukuman mati sebagaimana itu juga
bisa terjadi pada orang lain. Demi mempertahankan ‘konsistensi’ nya dia
akhirnya meminum racun dan mati dengan tenang dipangkuan para pengikutnya.
Adalah Plato (427-347 BC) yang memulai pemikiran kritisnya dengan
mengambil contoh orang yang dipenjara di goa bawah tanah dan dirantai sejak
kecil. Tahanan ini hanya bisa melihat apa yang ada di depannya. Api
disampingnya membentuk obyek bayangan di dinding goa. Plato menarik kesimpulan
bahwa pengetahuan kita tentang subyek nyata tidak lengkap ibarat tahanan dalam
goa. Melalui filsafat dan refleksi kecerdasan, kita bisa melarikan diri dari
‘dunia bayang-bayang yang semu’ dan melihat kenyataan yang sebenarnya. Jika
seseorang balik ke ‘dunia goa’ maka bagi Plato itu adalah sesuatu yang
menggelikan. Dia mencontohkan bentuk-bentuk pohon dimana semuanya pendek tapi
selalu ada yang lebih tinggi atau paling tinggi. Namun kita tetap bisa
mengatakan bahwa itu adalah sebuah pohon. Jadi dia berkesimpulan bahwa bentuk
dari sebuah gagasan akan sesuatu adalah tetap dan itu hanya bisa dipahami oleh
orang yang menggunakan ‘otak’nya. Berdasarkan perenungannya inilah Plato
mengemukakan teorinya yang terkenal dengan nama ‘teori bentuk” (theory of
forms). Pemikiran plato banyak diapresiasi sejak kecil dimana ‘pemikirannya
sangat cepat’ (cerdas) tapi dia sangat sederhana dan rendah hati. Bagi generasi
sebelumnya pemikiran Plato adalah ‘buah manis’ akan semangat dan kerja kerasnya
akan ‘kesukaannya pada belajar’. Plato adalah murid Socrates yang mati
menggenaskan. Pemikirannya yang terkenal adalah konsep tentang jiwa manusia
yang terdiri dari appetite, spirit dan reason. Menurutnya orang yang masih
terlalu banyak memikirkan perut, dia lebih produktif dan cocok untuk jadi
‘pekerja’. Mereka yang terorientasi pada dada, dia lebih bersifat protektif dan
suka melindungi dengan penuh keberanian dan kekuatannya, dan cocok jadi ksatria
atau military. Terakhir, Plato merujuk pada kepala, dia lebih cerdas, rasional,
bisa mengkontrol diri dan membuat keputusan, keputusan dalam sebuah komuniti,
dan dia adalah kalangan pemikir atau raja. Plato menggarisbawahi bahwa tipe
‘kepala’ atau pemikir ironisnya justru yang jarang diketemukan. Dalam bukunya
‘Sophist’, para filsuf dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang berjuang untuk
kahyangan dan dunia yang ideal, mempertahankan substansi pemikiran yang
fundamental untuk mencapai keadaan yang benar-benar nyata dan ada, yang dia
sebut dengan golongan ‘dewa’ atau disebut juga ‘idealist’. Sebaliknya ada
golongan filsuf yang disebut ‘raksasa’ yang bertarung untuk bumi, dimana
’sesuatu’ adalah primer dan layak dipertahankan, Plato menyebut mereka sebagai
kalangan ‘materialists’. Menurutnya pertarungan besar antara idealists dan
materialists tak akan pernah selesai dan tidak ada yang kalah atau menang.
Plato banyak menelurkan scholars dan salah satu muridnya yang terkenal adalah
Aristotle. Plato mengakhiri hidupnya dengan menyedihkan yaitu sebagai tahanan
rumah Dionysius II, seorang ‘tyrant muda’. Sebelum akhirnya dia dibunuh di
Sicily. Sampai sekarang kuburannya belum pernah diketemukan.
Tulisan saya mencoba menggarisbawahi begitu kelamnya kehidupan
philosophers jaman dulu, dan kita sungguh beruntung sekarang dapat memakai
pemikiran-pemikirannya tanpa menanggung resiko seperti mereka. Bagi saya,
mereka adalah pahlawan sejati meskipun tanpa pedang atau tombak di tangan, tapi
mereka punya keyakinan atas sebuah pemikiran.
Penulis adalah pengamat sosial tinggal di Australia
Kompasiana adalah Media Warga. Setiap
berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota
Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas
validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.
No comments:
Post a Comment