KISAH KEPAHLAWANAN KIAU HONG DALAM NOVEL PENDEKAR NEGERI TAYLI CHIN YUNG
Sebaliknya Coan Koan-jing lantas berkata, “Pangcu,
jadi menurut pendapatmu, pembunuh Be-hupangcu
sudah pasti bukan Buyung Hok?”
“Aku tidak berani memastikan Buyung Hok adalah
pembunuh Be-hupangcu, tetapi juga tidak berani
mengatakan dia pasti bukan pembunuhnya,” sahut Kiau
Hong. “Urusan menuntut balas ini kita tidak boleh
bertindak gegabah, tapi harus mengusutnya secara teliti,
bila cuma berdasarkan kepada dugaan saja hingga salah
membunuh orang baik, sebaliknya pembunuh yang
sebenarnya hidup bebas, tentu dia akan menertawai
Kay-pang kita terlalu goblok. Dan kalau demikian,
bukankah sangat memalukan?”
Sejak tadi Thoan-kong Tianglo Hang Po-hoa berdiri
diam saja, kini ia mengelus-elus jenggotnya yang jarangjarang
itu sambil berkata, “Ehm, ucapan ini memang
beralasan, sangat beralasan. Aku jadi teringat pada
pengalamanku dahulu, pernah aku salah membunuh
seorang yang tak berdosa, hal mana senantiasa
mengganjal dalam hatiku sampai sekarang.”
“Pangcu,” tiba-tiba Go-tianglo berseru, “sebabnya
kami mengkhianati engkau adalah disebabkan mudah
percaya ocehan orang, katanya engkau tidak sepaham
dengan Be-hupangcu dan diam-diam bersekongkol
dengan begundalnya Buyung Hok untuk membinasakan
dia, ditambah lagi urusan kecil lain-lain sehingga kami
percaya begitu saja. Tapi kini setelah dipikir, memang
kami yang terlalu gegabah dan sembrono. Maka Cit-hoat
Tianglo silakan keluarkan hoat-to (golok hukuman) dan
membiarkan kami membereskan diri sendiri menurut
undang-undang organisasi kita.”
Dengan air muka membeku Cit-hoat Tianglo Pek Sikia
berkata, “Cit-hoat-tecu, keluarkan hoat-to!”
Segera sembilan anak buahnya mengiakan
berbareng. Lalu dari kantong masing-masing
dikeluarkannya sebuah bungkusan kain kuning yang
sudah tua. Sembilan bungkusan itu ditaruhnya menjadi
satu, kemudian mereka berseru serentak, “Hoat-to sudah
siap, sudah diperiksa dengan betul!”
Segera mereka membuka bungkusan masing-masing
itu.
Seketika Toan Ki merasa silau oleh sembilan bilah
belati yang gemilapan dan tertaruh sejajar di depan situ.
Belati-belati itu sama panjangnya, mata pisau
mengeluarkan sinar gilap bersemu kebiru-biruan, sekali
pandang saja pasti orang akan tahu bahwa belati-belati
itu adalah senjata yang sangat tajam.
Sambil menghela napas, berkatalah Pek Si-kia,
“Song, Ge, Tan dan Go berempat tianglo telah kena
dihasut orang dan berusaha hendak memberontak
kepada pimpinan dan membahayakan kekuatan Kaypang
kita. Dosa mereka harus dihukum mati. Tay-ti-huntho
Thocu Coan Koan-jing, menyebarkan cerita bohong
dan sengaja menghasut untuk berkhianat, dosanya juga
harus dihukum mati. Tentang anak murid yang ikut serta
dalam komplotan durhaka ini, semuanya akan mendapat
hukuman setimpal, untuk itu kelak akan diusut dan
diputuskan tersendiri-sendiri.”
Pada waktu Pek-tianglo mengumumkan keputusan
hukumnya, semua orang diam saja. Hal ini dapat
dimengerti karena komplotan itu bertujuan
menggulingkan sang pangcu dan dosa itu pantas
dihukum mati, mata tiada seorang pun berani
menyatakan keberatannya atas keputusan hukuman itu.
Bagi yang ikut serta dalam komplotan itu, juga
sebelumnya sudah tahu akan akibat tersebut.
Begitulah Go Tiang-hong segera mendahului maju ke
hadapan Kiau Hong, ia membungkuk memberi hormat,
katanya, “Pangcu, Go Tiang-hong bersalah padamu dan
siap membereskan diri sendiri, mohon engkau suka
memaafkan kekurangajaranku.”
Habis itu, ia berjalan ke depan barisan hoat-to tadi
dan berseru, “Go Tiang-hong siap membunuh diri,
silakan Cit-hoat-tecu membuka tali ringkusanku.”
Salah seorang Cit-hoat-tecu mengiakan sambil
bertindak maju hendak membuka tali pengikat Go-tianglo
itu, mendadak Kiau Hong berseru, “Nanti dulu!”
“Pangcu,” kata Go-tianglo dengan suara lemah dan
muka pucat, “dosaku teramat besar dan engkau
melarangku bunuh diri sendiri?”
Kiranya di dalam undang-undang Kay-pang ada satu
pasal yang menentukan bahwasanya bila pelanggar
hukum organisasi itu membunuh diri, sesudah mati
dosanya berarti sudah tercuci bersih dan kehormatannya
tetap tak ternoda. Segala dosanya juga disiarkan keluar,
kalau ada orang Kangouw membicarakan dosanya,
orang Kay-pang akan bertindak untuk membelanya
malah. Hal ini sesuai dengan jiwa orang Bu-lim yang
sangat mengutamakan nama baik, sesudah mati juga
nama baiknya tidak boleh dihina orang. Sebab itulah
maka Go-tianglo merasa gugup ketika melihat Kiau Hong
melarang dia membunuh diri untuk menebus dosanya.
Dan ternyata Kiau Hong tidak menjawabnya
melainkan terus mendekati deretan belati tadi dan
berkata, “Lima belas tahun yang lalu ketika mendadak
pasukan berkuda bangsa Cidan menyerbu Gan-bunkoan,
kabar itu diketahui Song-tianglo, selama tiga hari
empat malam beliau tidak makan dan tidur terus
menempuh perjalanan pulang ke tanah air untuk
memberitahukan berita genting itu, di tengah jalan ia
ganti sembilan ekor kuda yang mati saking lelah, saking
capeknya beliau sampai muntah darah. Namun begitu,
berita yang beliau bawa itu telah memberi kesempatan
kepada tentara Song kita untuk bersiap-siap menghadapi
musuh sehingga pasukan Cidan akhirnya terpaksa
mengundurkan diri. Jasa mahabesar bagi nusa dan
bangsa itu meski tidak banyak diketahui orang Kangouw,
tapi setiap anggota Kay-pang kita cukup mengetahuinya.
Nah, Cit-hoat Tianglo, atas jasa Song-tianglo itu, mohon
kebijaksanaanmu agar mengizinkan beliau menebus
dosanya dengan jasa yang pernah dia persembahkan
itu.”
“Pangcu memintakan ampun bagi Song-tianglo
dengan alasan yang cukup kuat,” ujar Pek Si-kia. “Tetapi
undang-undang Kay-pang kita menyatakan, dosa
pengkhianatan betapa pun tidak dapat diampuni,
sekalipun pernah berjasa besar juga tak dapat menebus
kesalahannya itu. Ketetapan ini diadakan demi untuk
menjaga agar tiada anggota yang menganggap dirinya
berjasa, lalu membahayakan organisasi kita yang sudah
bersejarah ratusan tahun ini. Sebab itu, permintaan
Pangcu tadi tidak dapat diterima oleh tata tertib
organisasi, terpaksa kita tidak dapat merusak undangundang
warisan pangcu kita yang terdahulu.”
“Ucapan Cit-hoat Tianglo memang benar,” ujar Songtianglo
sambil bangkit dan tersenyum getir. “Sebagai
tertua dalam pang kita, siapa orangnya yang tidak
banyak berjasa? Bila setiap orang minta ganti jasa,
lantas bagaimana jadinya, bukankah setiap orang boleh
berbuat sewenang-wenang untuk kemudian minta
dibebaskan karena pernah berjasa? Dari itu, harap
Pangcu suka kasihan pada diriku, izinkanlah kubunuh
diri.”
Habis berkata, mendadak terdengar suara “prak-prak”
dua kali, tali kulit yang mengikat tangan dan kaki tahutahu
putus semua.
Keruan para pengemis terperanjat melihat sekali
bergerak saja Song-tianglo dapat memutuskan tali kulit
yang sangat ulet itu, maka dapat dibayangkan betapa
lihai tenaga dalamnya, dan begitu membebaskan diri,
terus saja Song-tianglo hendak ulur tangan mengambil
sebilah belati guna membunuh diri.
Tak terduga baru tubuh membungkuk sedikit tahutahu
satu arus tenaga yang halus tapi kuat menolak ke
arahnya hingga ia dirintangi berjongkok. Meski
tangannya sudah terulur, tapi tak dapat memegang belati
yang tinggal belasan senti jauhnya itu. Nyata Kiau Hong
yang telah bertindak mencegahnya.
Wajah Song-tianglo berubah pucat seketika, serunya,
“Pangcu, jadi engkau juga ... juga ....”
Tiba-tiba Kiau Hong sambar sebilah belati di antara
deretan hoat-to itu.
“Ya, memangnya salahku karena timbul niatku
hendak membunuhmu, maka sudah sepantasnya
sekarang engkau melaksanakan hukuman atas dosaku
itu,” demikian kata Song-tianglo dengan menghela
napas.
Segera sinar belati berkelebat, “crat”, bukannya Songtianglo
yang menerima hukuman mati, sebaliknya Kiau
Hong tikam bahu kiri sendiri dengan belati itu.
Keruan para pengemis menjerit kaget, serentak
mereka berbangkit. Begitu pula Toan Ki ikut terkejut,
“Toako, kenapa?” serunya.
Bahkan Giok-yan yang merupakan orang di luar garis
juga ikut terperanjat oleh peristiwa di luar dugaan itu,
tanpa terasa ia pun berseru, “Kiau-pangcu, jangan ....”
Namun Kiau Hong lantas bicara, “Pek-tianglo,
undang-undang kita juga ada satu pasal yang
menyatakan, ‘Setiap dosa anggota tidak boleh
sembarangan diampuni, kalau Pangcu hendak
mengampuni, dia sendiri harus mengalirkan darah dulu
untuk mencuci bersih dosa si anggota’. Ada tidak pasal
demikian?”
“Ya, memang ada satu pasal demikian dalam undangundang
kita,” sahut Pek Si-kia dengan wajah tetap kaku
tanpa perasaan. “Tapi Pangcu perlu juga menimbang
dahulu apakah ada harganya untuk mengalirkan darah
buat mencuci dosa orang?”
“Asal tidak melanggar undang-undang warisan leluhur
sudah cukup,” ujar Kiau Hong. Lalu ia berpaling dan
berkata kepada Ge-tianglo, “Ge-tianglo dahulu telah
mengajar ilmu silat padaku, meski tiada hubungan
perguruan, tapi sesungguhnya seperti guru. Hal ini boleh
dikatakan urusan pribadiku. Lebih dari itu, mengingat
dahulu waktu Ong-pangcu ditawan lima jago terkemuka
negeri Cidan, beliau telah dikurung di dalam gua Hekhong-
tong, beliau dipaksa agar menyerah kepada Cidan,
tapi berkat Ge-tianglo yang telah rela menyaru sebagai
Ong-pangcu untuk menghadapi segala bahaya hingga
Ong-pangcu sendiri dapat lolos dengan selamat. Jasanya
bagi Kay-pang kita dan demi nusa dan bangsa yang
mahabesar itu, betapa pun harus kubebaskan
kesalahannya sekarang ini.”
Sembari berkata, kembali ia sambar hoat-to kedua, ia
potong dulu tali pengikat Ge-tianglo itu, menyusul belati
itu menikam, lagi-lagi belati itu menancap di bahu sendiri.
Dengan tenang sinar mata Kiau Hong beralih ke arah
Tan-tianglo. Tan-tianglo itu biasanya berjiwa sempit,
dahulu telah berbuat sesuatu yang berdosa terhadap
keluarga sendiri, maka ia ganti nama dan masuk ke Kaypang,
untuk mana ia paling sirik bila ada yang coba
mengorek-ngorek boroknya itu, maka selama ini ia tiada
hubungan rapat dengan Kiau Hong. Kini melihat sinar
mata Kiau Hong memandang kepadanya, segera ia
mendahului berseru, “Kiau-pangcu, aku tiada hubungan
baik apa-apa denganmu, biasanya lebih banyak selisih
paham dengan engkau, maka aku pun tidak berani
terima budi pertolonganmu!”
Sekonyong-konyong kedua tangannya yang terikat di
belakang itu terangkat ke atas terus membalik itu depan
dengan tetap terikat tali kulit. Ternyata “Thong-pi-kun-
kang” yang diyakinkan Tan-tianglo sudah mencapai
tingkatan yang tiada taranya, kedua lengannya dapat
mulur-mengkeret dengan bebas. Maka begitu tangan
menjulur pula, sebilah hoat-to sudah disambarnya.
Namun Kiau Hong sempat bergerak, dengan “Kimliong-
kang” (ilmu menangkap naga) yang lihai dan cepat,
dengan mudah saja belati itu dirampasnya. Katanya
dengan suara nyaring, “Tan-tianglo, aku Kiau Hong
adalah seorang laki-laki kasar, tidak suka pada orang
yang sok hati-hati tindak tanduknya, juga tidak menyukai
orang yang tidak minum arak dan tidak mau tertawa,
tetapi hal ini adalah watak pembawaan setiap orang, tak
dapat disebut baik atau busuk. Watakku sendiri tidak
cocok denganmu, biasanya jarang bicara dengan baik.
Aku pun tidak suka pada perilaku Be-hupangcu, bila
berhadapan, sedapat mungkin aku ingin menghindar
pergi, aku lebih suka pergi minum arak dan makan
daging anjing bersama anak murid rendahan yang
berkantong satu atau dua.
“Watakku ini telah dikenal semua orang, untuk
mengubah watak sendiri terang tidak mungkin. Tapi jika
sebab itu engkau mengira aku dendam dan ingin
melenyapkan engkau dan Be-hupangcu, sungguh salah
besar pikiran kalian ini. Tentang kalian tidak minum arak
dan tidak makan barang berjiwa itu adalah kebaikan
kalian, aku Kiau Hong mengaku tidak dapat menyamai
kalian.”
Berkata sampai di sini, tiba-tiba belati ketiga pun
ditikamkan ke bahu sendiri, lalu sambungnya, “Jasamu
membunuh Yalu Puru, itu panglima besar negeri Cidan,
mungkin tak diketahui orang luar, tapi masakah aku tidak
tahu?”
Seketika ramailah suara heran para pengemis
tercampur suara memuji dan kagum.
Kiranya tahun yang lalu waktu negeri Cidan menyerbu
ke wilayah Tiongkok secara besar-besaran, mendadak
beberapa panglimanya yang terkemuka telah binasa,
karena alamat itu dirasakan tidak baik, akhirnya pasukan
Cidan itu ditarik mundur hingga kerajaan Song terhindar
dari bencana. Dan di antara panglima yang mati
mendadak itu terdapat Yalu Puru yang terkemuka.
Kejadian itu kecuali beberapa tokoh tertentu dalam Kaypang,
orang lain tiada yang tahu bahwa jasa itu adalah
hasil karya Tan-tianglo.
Kini dirinya dipuji Kiau Hong di depan orang banyak,
betapa pun siriknya Tan-tianglo kepada sang pangcu,
mau tak mau ia menjadi terhibur.
Hendaklah diketahui bahwa selama ini Kay-pang
menjalankan kewajiban sebagai anak negeri dan
membantu kerajaan Song melawan kaum penjajah dari
luar, cuma cara pergerakan mereka dilakukan dengan
diam-diam atau di bawah tanah, baik perjuangan mereka
berhasil atau gagal, selama ini tidak pernah siarkan,
sebab itulah jarang orang tahu perjuangan Kay-pang
yang patriotik itu.
Tan-tianglo aslinya bernama Tan Put-peng, biasanya
sangat angkuh, terutama karena usianya lebih tua dan
sejarahnya dalam Kay-pang lebih lama daripada Kiau
Hong, maka sikapnya pada sang pangcu itu tidak terlalu
hormat. Hal itu cukup diketahui oleh anggota Kay-pang
yang lain. Tapi kini ternyata Kiau Hong tidak pikirkan
perselisihan pribadi, sebaliknya rela mengalirkan darah
sendiri untuk menebus dosa Tan-tianglo, mau tak mau
kawanan pengemis menjadi terharu.
Kemudian Kiau Hong mendekati Go Tiang-hong,
katanya, “Go-tianglo, seorang diri dahulu engkau berjaga
di Eng-jiu-kiap (selat elang) dan sekuat tenaga melawan
serbuan musuh dari kerajaan Se-he hingga usaha musuh
hendak membunuh Nyo-keh-ciang sukar terlaksana,
untuk jasamu itu Nyo-goanswe telah menghadiahkan
sebuah kim-pay (medali) tanda jasa padamu. Asal
engkau keluarkan medali itu sudah lebih dari cukup untuk
menebus dosamu sekarang ini. Nah, silakan tunjukkan
medali itu agar semua orang dapat melihatnya!”
Mendadak air muka Go-tianglo berubah merah,
sikapnya agak kikuk, sahutnya dengan tak lancar, “E ...
eh ... tentang ini ... ini ....”
“Kita sama-sama saudara sendiri, bila Go-tianglo ada
kesulitan apa-apa, silakan berkata terus terang saja,” ujar
Kiau Hong.
“Tentang ... tentang medali emas itu, sebenarnya ...
sebenarnya sudah ... sudah hilang,” sahut Go-tianglo
gelagapan.
Kiau Hong menjadi heran. “Mengapa hilang?”
tanyanya.
“Hi ... hilang sendiri,” sahut Go-tianglo. Tapi sesudah
merandek sejenak, mendadak ia berseru, “Sebenarnya
tidak hilang, tapi sudah kujual. Pada suatu hari,
mendadak aku ketagihan arak, tapi kantongku kempis,
terpaksa kujual medali emas itu kepada sebuah toko
emas.”
“Hahaha! Go-tianglo suka berterus terang, sungguh
jujur. Memang hal ini agak kurang enak terhadap Nyogoanswe
yang memberikan tanda jasa padamu itu,” ujar
Kiau Hong dengan terbahak-bahak. Habis itu mendadak
ia sambar sebilah hoat-to lagi, ia potong dulu tali pengikat
Go-tianglo, lalu belati itu ditikamkan pula ke bahu kiri
sendiri.
Go-tianglo adalah seorang laki-laki yang jujur dan
suka terus terang, segera katanya, “Pangcu, jiwa Go
Tiang-hong sejak kini sudah kupasrahkan padamu.”
Perlahan Kiau Hong tepuk bahunya sambil berkata
dengan tertawa, “Pengemis seperti kita kalau ingin
makan atau minum arak, minta saja sedekah orang, tidak
perlu mesti menjual medali emas segala.”
“Minta makan sih gampang, minta arak itulah susah,”
sahut Go-tianglo dengan tertawa. “Sebab semua orang
tentu akan bilang, ‘Pengemis busuk, sudah dapat makan
masih minta arak? Hm, terlalu! Tidak kasih, tidak kasih’!”
Mendengar banyolan itu, menggelegarlah tawa para
pengemis. Sebab minta-minta arak pada orang dan
ditolak atau didamprat, pengalaman ini memang sering
dijumpai para pengemis.
“Sekarang apa lagi yang akan kalian katakan?” tibatiba
Kiau Hong berseru dengan lantang, sinar matanya
menatap tajam dimulai dari Be-hujin terus Ci-tianglo, Pek
Si-kia, Thoan-kong Tianglo dan lain-lain. Tapi tiada
seorang pun berani buka suara lagi, semuanya diam.
Setelah menunggu sampai sekian lama tetap tiada
jawaban seorang pun, Kiau Hong lantas berkata pula,
“Tentang asal usulku sungguh harus disesalkan karena
aku sendiri pun belum tahu dengan pasti. Tapi karena
sekian banyak kaum cianpwe berani menjadi saksi,
betapa pun aku tidak berani sembarangan menyangkal.
Maka jabatanku sebagai Pangcu Kay-pang ini
sepantasnya aku harus mengundurkan diri.”
Sembari berkata ia mengeluarkan sebatang pentung
bambu hijau mengilat. Itulah Pak-kau-pang atau pentung
penggebuk anjing, tanda pengenal pangcu yang sangat
diagungkan anggota Kay-pang.
Kedua tangan Kiau Hong angkat tinggi-tinggi pentung
bambu itu dan berseru, “Pentung ini kuterima dari Ongpangcu,
selama ini meski aku tiada berjasa apa-apa bagi
Kay-pang, namun syukur juga tidak pernah berbuat
sesuatu kesalahan besar. Hari ini aku meletakkan
jabatan, siapakah di antara para saudara yang bijaksana
mau menerima tanggung jawab jabatanku ini, silakan
maju menerima pentung ini.”
Menurut peraturan Kay-pang, tatkala pangcu baru
menerima jabatan harus dilakukan upacara penyerahan
Pak-kau-pang dari pangcu lama. Upacara ini tidak
dilakukan kalau pangcu lama meninggal dunia.
Padahal Kiau Hong sekarang masih muda, ilmu
silatnya dapat dibanggakan, betapa pun tiada orang
kedua di dalam Kay-pang yang dapat memadainya.
Sejak dia menjadi pangcu, biarpun ada juga oknumoknum
yang memusuhinya, tapi tiada seorang pun berani
mengincar jabatan pangcu. Apalagi sekarang Kiau Hong
berdiri gagah perkasa di situ, siapa yang berani maju
mencalonkan diri untuk menerima pentung bambu itu?
Setelah tanya tiga kali dan tetap tiada seorang pun
yang menyahut, lalu Kiau Hong berkata lagi, “Karena
asal usulku masih belum terang, maka jabatan pangcu ini
betapa pun tidak berani kupegang lagi. Ci-tianglo, Thoankong
dan Cit-hoat Tianglo, Pak-kau-pang yang
merupakan pusaka utama Kay-pang kita ini silakan kalian
bertiga menjaganya bersama. Kelak bila pangcu baru
sudah ditetapkan, bolehlah kalian menyerahkan pentung
ini kepadanya.”
“Benar juga ucapanmu,” sahut Ci-tianglo terus hendak
menerima pentung bambu keramat itu.
“Nanti dulu!” mendadak Song-tianglo membentak.
Ci-tianglo tertegun dan urung menerima pentung itu,
tanyanya, “Apa yang hendak Song-hiante katakan?”
“Menurut penglihatanku, Kiau-pangcu bukan bangsa
Cidan,” ujar Song-tianglo.
“Dari mana kau tahu?” tanya Ci-tianglo.
“Kulihat dia tidak mirip,” sahut Song-tianglo.
“Mengapa tidak mirip,” desak Ci-tianglo.
“Umumnya bangsa Cidan sangat kejam dan ganas,
sebaliknya Kiau-pangcu seorang kesatria yang berbudi
luhur,” sahut Song-tianglo. “Tadi kami telah memberontak
padanya, tapi ia rela mengorbankan dirinya demi
keselamatan kami dan mengampuni dosa kami. Kalau
bangsa Cidan, tidak mungkin mau berbuat demikian.”
“Sejak kecil ia telah mendapat didikan Ong-pangcu,
dengan sendirinya watak aslinya sebagai bangsa Cidan
yang jahat telah berubah,” ujar Ci-tianglo.
“Jika wataknya sudah berubah, itu berarti bukan
orang jahat lagi, kalau dia menjadi pangcu kita, masa
kurang pantas?” debat Song-tianglo. “Menurut
pendapatku tiada seorang pun di antara kita yang dapat
memadai kejantanan dan kebesaran jiwanya. Kalau ada
orang lain ingin menjadi pangcu, akulah orang she Song
yang pertama-tama akan membangkang.”
Sebenarnya banyak juga di antara anggota Kay-pang
yang mempunyai pikiran sama dengan Song-tianglo.
Karena itu, segera terdengarlah suara ramai yang
menyokong pendapat Song-tianglo itu. Beramai-ramai
mereka berseru, “Bukan mustahil ada orang hendak
memfitnah Kiau-pangcu, kita jangan mudah memercayai
omongan orang!”
“Ya, urusan yang sudah terjadi puluhan tahun yang
lalu, siapa yang mau percaya?”
“Jabatan pangcu yang penting ini tidak boleh
sembarangan diganti!”
“Aku sudah bertekad bulat berdiri di belakang Kiaupangcu,
orang lain yang menjadi pangcu, aku tidak mau
terima.”
“Ayo, siapa yang ingin ikut Kiau-pangcu, silakan
berdiri di sisiku sini,” seru Ge-tianglo tiba-tiba. Dengan
tangan kiri ia tarik Song-tianglo dan tangan kanan
menyeret Ge-tianglo serentak mereka menyisih ke
sebelah timur.
Menyusul Tay-jin-hun-tho dan Tay-gi-hun-tho, ketiga
thocu itu pun menyusul ke sisi timur. Dan karena ketiga
thocu itu sudah memberi contoh, dengan sendirinya anak
buah ketiga Tho itu pun ikut berdiri ke sisi timur.
Sebaliknya Coan Koan-jing, Tan-tianglo, Thoan-kong
Tianglo dan para Thocu Tay-ti dan Tay-sin-hun-tho masih
tetap berdiri di tempat semula.
Dengan demikian anggota Kay-pang sekarang jadi
terpecah belah dan terbagi menjadi dua pihak, yang
berdiri di sisi timur kira-kira ada separuh, sebaliknya yang
tetap berdiri di tempat semula ada tiga bagian, sisanya
masih ragu entah mesti ikut pihak mana? Cit-hoat
Tianglo biasanya sangat tegas dalam tindak tanduknya,
tapi menghadapi persoalan pelik mau tak mau ia jadi
ragu juga.
“Para saudara,” demikian Coan Koan-jing buka suara,
“memang benar Kiau-pangcu adalah seorang kesatria,
seorang pintar dan perkasa, siapa pun tentu kagum
padanya. Namun kita adalah rakyat kerajaan Song, mana
boleh tunduk di bawah perintah seorang Cidan? Justru
semakin besar kepandaian Kiau Hong, semakin
berbahaya pula bagi kita.”
“Kentut, kentut makmu!” segera Ge-tianglo memaki.
“Kulihat tampangmu justru lebih mirip orang Cidan!”
Namun Coan Koan-jing tidak menggubrisnya, serunya
pula, “Kita semua adalah pahlawan berjiwa patriot,
masakah terima diperbudak oleh bangsa asing!”
Perkataan Coan Koan-jing ini ternyata sangat besar
pengaruhnya, seketika ada belasan orang yang tadinya
ikut berdiri ke sisi timur segera kembali ke sisi barat.
Karena itu anggota Kay-pang di sisi timur itu menjadi
geger, ada yang memaki dan ada yang main tarik,
keadaan menjadi kacau, seketika terjadilah pertarungan
serabutan di antara berpuluh orang itu.
Para tianglo cepat membentak hendak menguasai
keadaan, tapi masing-masing tetap membela anak buah
sendiri-sendiri. Go-tianglo dan Tan-tianglo juga saling
memaki dan tampaknya akan terjadi juga pertarungan
sengit.
Syukur pada saat genting itulah Kiau Hong berseru
keras-keras, “Harap berhenti, saudara-saudara,
dengarkan perkataanku!”
Suaranya keras dan berwibawa membuat para
anggota Kay-pang sama melengak, mereka berhenti
serentak dan menoleh memandang Kiau Hong.
“Tentang jabatan pangcu ini, sudah pasti akan
kutinggalkan ....”
Belum selesai ucapan Kiau Hong itu, mendadak
Song-tianglo menyela, “Pangcu, engkau jangan putus
asa ....”
“Aku tidak putus asa,” sahut Kiau Hong sambil
menggeleng. “Urusan lain mungkin aku bisa difitnah, tapi
bukti-bukti tulisan tangan guruku Ong-pangcu yang
berbudi itu tidak mungkin dapat dipalsukan orang lain.”
Lalu ia perkeras suaranya dan menyambung, “Kaypang
adalah pang terbesar di kalangan Kangouw,
namanya berkumandang ke segenap pelosok jagat ini,
siapa orang Bu-lim yang tidak merasa kagum padanya?
Bila sekarang terjadi saling membunuh, apakah takkan
dibuat tertawaan orang? Maka sebelum aku pergi, ada
sesuatu yang ingin kukatakan pada kalian, barang siapa
saling berhantam di antara sesama saudara pang kita,
maka dia itulah yang berdosa terbesar kepada pang kita.”
Dasar persaudaraan anggota Kay-pang memang
paling mengutamakan keluhuran budi antarkawan. Maka
mereka menjadi malu sendiri demi mendengar ucapan
Kiau Hong itu.
“Dan bagaimana kalau ada yang membunuh saudara
sesama pang kita?” tiba-tiba suara seorang wanita
bertanya. Ia bukan lain adalah Be-hujin.
“Membunuh orang harus ganti nyawa, lebih-lebih
membunuh sesama saudara pang, ia harus dikutuk
habis-habisan,” sahut Kiau Hong tanpa ragu.
“Baiklah jika begitu,” ujar Be-hujin.
“Orang she Kiau ini selamanya suka blakblakan,
selama hidup tidak pernah ada sesuatu rahasia bagi
orang lain,” seru Kiau Hong pula. “Tentang tewasnya Behupangcu
sebenarnya siapakah pembunuhnya, dan
siapakah yang telah mencuri kipasku untuk memfitnah
diriku, pada akhirnya kelak pasti akan kubikin terang
urusan ini. Be-hujin, dengan kepandaianku orang she
Kiau ini, kalau ingin mengambil sesuatu benda ke tempat
tinggalmu, rasanya tidak sampai kembali dengan tangan
hampa, lebih-lebih tidak mungkin kehilangan sesuatu
barang sendiri. Jangankan kediamanmu cuma tinggal
dua-tiga orang kaum wanita, sekalipun di tengah istana
keraton atau di markas besar panglima jenderal, kalau
orang she Kiau ini ingin mengincar sesuatu barang,
rasanya dengan mudah juga akan dapat diperoleh.”
Ucapan Kiau Hong ini sangat perkasa dan bangga,
namun para anggota Kay-pang cukup kenal betapa tinggi
kepandaiannya, mereka merasa apa yang dikatakan itu
memang beralasan dan bukan bualan belaka. Begitu
pula Be-hujin lantas menunduk juga dan tidak berani
buka suara lagi.
Lalu Kiau Hong memberi hormat kepada semua orang
sekeliling, katanya pula, “Gunung tetap menghijau,
sungai tetap mengalir, para saudara-saudara, selamat
tinggal, sampai berjumpa pula kelak. Baiklah apakah aku
orang she Kiau ini bangsa Han maupun bangsa Cidan,
pendek kata selama hidupku ini pasti tidak akan
mencelakai jiwa seorang pun bangsa Han, apabila
melanggar sumpah ini, biarlah seperti golok ini.”
Habis berkata, mendadak tangan kirinya menjulur
cepat ke arah Tan Cing. Seketika Tan Cing merasa
tangannya bergetar, golok yang terpegang di tangannya
tak tertahan lagi, sedikit kendur cekalannya, golok itu
tahu-tahu sudah berpindah ke tangan Kiau Hong.
Ketika jari Kiau Hong menjelentik sekali ke batang
golok itu, “trang”, kontan golok itu patah menjadi dua,
bagian ujung golok terpental beberapa meter jauhnya,
sedangkan tangkai golok masih terpegang di tangan Kiau
Hong.
“Maaf!” katanya kepada Tan Cing sambil membuang
tangkai golok itu dan bertindak pergi dengan cepat.
Di tengah rasa kaget para anggota Kay-pang yang
sedang saling pandang dengan bingung itu, menyusul
lantas ada orang berseru, “He, jangan pergi, Pangcu!” —
“Kembalilah Pangcu, Kay-pang kita masih membutuhkan
pimpinanmu!”
Tiba-tiba terdengar suara mendesir keras, dari udara
tampak jatuh sebatang pentung bambu, itulah Pak-kaupang
yang ditimpukkan kembali oleh Kiau Hong dari jauh.
Cepat Ci-tianglo ulur tangan hendak menangkap
pentung itu, tapi baru saja tangan menyentuh pentung
bambu sekonyong-konyong terasa lengan hingga bahu
dan seluruh tubuh tergetar seakan-akan kena aliran
listrik. Lekas-lekas ia lepas tangan, begitu keras
sambaran pentung itu hingga menancap tegak di tanah.
“Aku paham hal ini,” kata Kiau Hong sambil
mengangguk, “Sebentar lagi kita akan menjadi lawan,
rasanya tak terhindar daripada suatu pertarungan sengit.
Maka Kiau Hong ingin minta tolong sesuatu urusan.”
“Asal tidak menyangkut pengkhianatan pada negara,
pasti akan kuterima,” sahut Pek Si-kia.
Kiau Hong tersenyum, katanya sambil menunjuk A
Cu, “Apabila saudara dalam Kay-pang masih ingat pada
sedikit jasaku yang pernah kuberikan kepada pang,
harap suka jaga keselamatan nona cilik ini.”
Mendengar pesan itu tahulah semua orang bahwa
Kiau Hong sudah bertekad akan menempur para kesatria
sampai titik darah penghabisan. Dikeroyok oleh lawan
sebanyak biarpun dia mampu membinasakan beberapa
puluh orang, namun akhirnya Kiau Hong sendiri tentu
juga akan terbinasa. Maka mau tak mau para kesatria
terharu juga oleh semangat jantan dan jiwa kesatria Kiau
Hong itu.
Sebagai seorang tokoh terkemuka serta kedudukan
yang tinggi selaku Cit-hoat Tianglo dalam Kay-pang,
dengan sendirinya Pek Si-kia adalah seorang kesatria
yang berjiwa besar, apalagi hubungannya dengan Kiau
Hong biasanya sangat karib. Maka pesan terakhir bekas
pangcu itu segera dijawabnya, “Harap Kiau-heng jangan
khawatir, Pek Si-kia pasti akan mohon Sih-sin-ih suka
menyembuhkan nona itu, bila terjadi apa-apa atas diri
Nona Wi, Pek Si-kia rela akan membunuh diri untuk
mempertanggungjawabkan pesan Kiau-heng ini.”
Janji Cit-hoat Tianglo ini cukup tegas, apakah nanti
Sih-sin-ih akan mengobati A Cu atau tidak, yang pasti ia
akan berusaha sekuat tenaga. Seorang tokoh bu-lim
selamanya berani berkata berani berbuat, apalagi ia
telah berjanji di depan orang banyak, maka janji pasti
akan ditepati olehnya.
1545
Kiau Hong percaya sepenuhnya, katanya, “Banyak
terima kasih atas kebaikan Tianglo ini.”
“Dan dalam pertarungan nanti Kiau-heng tidak perlu
berlaku sungkan-sungkan, bila aku mesti mati di
tanganmu, tentu kawan-kawan Kay-pang yang lain akan
menggantikan aku menjaga Nona Wi.”
Habis bicara, ia angkat mangkuk arak dan
menenggaknya hingga habis. Begitu pula Kiau Hong
lantas mengiringi dengan minum semangkuk.
Lalu giliran maju Song-tianglo, Go-tianglo dan tokoh
Kay-pang yang lain. Kemudian majulah jago-jago bu-lim
dari berbagai mazhab yang hadir di situ, satu per satu
mengadu mangkuk dengan Kiau Hong. Tampaknya
dalam waktu singkat Kiau Hong sendiri sudah
menghabiskan 40-50 mangkuk arak, satu guci penuh tadi
sudah habis terminum, malahan centeng sudah
mengeluarkan pula satu guci, tapi keadaan Kiau Hong
masih segar bugar, bahkan wajahnya sedikit pun tidak
merah, hanya perutnya tampak sedikit gembung, tiada
sesuatu tanda lain yang luar biasa.
Keruan semua orang ternganga heran, pikir mereka,
“Jika minum terus cara begini, jangankan mesti
bergebrak segala, mungkin sekali mabuk takkan sanggup
bangun lagi.”
Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa semakin
banyak minum arak semangat Kiau Hong semakin
tambah. Apalagi selama beberapa hari ini Kiau Hong
selalu menghadapi kejadian yang mengesalkan dan
membuatnya penasaran. Kini ia telah kesampingkan
semua itu dan sengaja hendak melabrak mereka
sepuasnya.
Setelah lebih 60 mangkuk arak masuk perut Kiau
Hong, Pau Jian-leng dan Ki Liok juga mengadu mangkuk
dengan dia, tiba-tiba majulah Hiang Bong-thian, ia angkat
1546
sebuah mangkuk dan berkata, “Orang she Kiau, biarlah
aku pun minum semangkuk denganmu!”
Mendengar ucapan orang yang kurang hormat itu,
Kiau Hong menjadi panas telinganya, ia melirik hina pada
Hiang Bong-thian dan menyahut, “Orang she Kiau minum
arak putus hubungan ini dengan para kesatria bu-lim,
maksudnya menghapuskan segala kebaikan
persaudaraan masa lalu. Tapi kau ini kutu busuk macam
apa? Macam dirimu juga tidak ada harganya untuk bicara
tentang persaudaraan denganku dan mengajak minum
‘coat-kay-ciu’ (arak putus hubungan) padaku?”
Bicara sampai di sini, tanpa memberi kesempatan
pada Hiang Bong-thian untuk bicara lagi, ia melangkah
maju setindak, sekali tangan kanan terjulur, tahu-tahu
dada baju Hiang Bong-thian kena dijambretnya,
menyusul sekali ia angkat dan ayun ke depan, Hiang
Bong-thian yang besar itu terlempar keluar ruangan,
“bluk,” dengan keras badan Hiang Bong-thian tertumbuk
dinding dan seketika menggeletak kelengar.
Suasana menjadi kacau dan tegang. Segera Kiau
Hong melompat ke pekarangan, bentaknya, “Ayolah,
siapa yang berani maju dulu untuk menempur aku!”
Melihat betapa gagah dan tangkasnya Kiau Hong,
seketika nyali para tokoh bu-lim itu menjadi ciut hingga
tiada seorang pun berani maju.
“Kalian tidak berani maju, biarlah aku yang mulai
dulu!” bentak Kiau Hong. Dan tanpa ampun lagi ia terus
menghantam dua kali dari jauh, kontan dua orang
terkapar di tanah oleh angin pukulan jarak jauh itu.
Bahkan Kiau Hong terus menerjang maju, di mana
kepalan dan sikutnya tiba, di mana kakinya melayang
dan telapak tangan menghantam, dalam sekejap saja
kembali beberapa orang dirobohkan pula.
1547
“Lekas mundur mepet dinding, jangan sembarangan
menyerang!” teriak Yu Ek cepat.
Seruan Yu Wk memang tepat. Jumlah orang yang
berada di ruangan ada dua-tiga ratus, kalau mengerubut
maju begitu saja, betapa pun tinggi ilmu silat Kiau Hong
juga tak mampu melawan. Tapi tempatnya kecil dan
orangnya banyak, dengan cara berjubel begitu, yang
benar dapat mendekati Kiau Hong paling-paling juga
cuma lima-enam orang saja, dan di bawah hujan pukulan
dan tendangan pasti lebih banyak kawan sendiri yang
akan terluka oleh orang sendiri. Maka sesudah seruan
Yu Ek itu, seketika terluanglah di bagian tengah hingga
cukup luas.
“Marilah, biar kubelajar kenal dulu kepandaian Yu-sisiang-
hiong dari Cip-hian-ceng,” seru Kiau Hong pula.
Dan sekali tangan kiri bergerak, tahu-tahu guci arak di
atas meja tadi terbang melayang ke arah Yu Ek.
Cepat Yu Ek dorong kedua tangannya ke depan,
maksudnya hendak tahan guci itu ke lantai. Di luar
dugaan, Kiau Hong telah susulkan sekali hantaman
dengan tangan kanan, “prak”, guci hancur dan beratus
beling pecahan guci bertebaran.
Beling dari remukan guci itu sudah tentu sangat
tajam, ditambah lagi terdorong oleh tenaga pukulan Kiau
Hong yang dahsyat, keruan beling guci menjadi mirip
beratus senjata rahasia seperti piau, hui-to (pisau
terbang), dan lain-lain.
Seketika muka Yu Ek terkena tiga potong beling
hingga darah bercucuran, belasan orang di sampingnya
juga ikut terluka. Maka paniklah gelanggang pertarungan
itu, suara caci maki bercampur dengan suara jerit riuh.
Dalam pada itu sebelah kaki Kiau Hong menendang
pula hingga guci arak yang lain didepak mencelat, selagi
dia hendak menambahi sekali hantaman pula,
1548
sekonyong-konyong dari belakang terasa menyambar
tiba serangkum angin pukulan yang bertenaga halus, tapi
sebenarnya mengandung tenaga dalam yang sangat
kuat.
Kiau Hong tahu pukulan itu dilontarkan oleh seorang
jago kelas wahid, ia tidak berani ayal, cepat ia menangkis
ke belakang. Maka bertemulah dua arus tenaga dalam
yang kuat.
Waktu Kiau Hong memerhatikan penyerang itu,
ternyata orangnya bermuka jelek dan lucu, itulah dia si
“badut” yang tak punya nama, tapi mengaku sebagai
“Tio-ci-sun” itu.
Diam-diam Kiau Hong tidak berani memandang
enteng tokoh yang hebat lwekangnya ini. Sekali ia tarik
napas panjang-panjang, pukulan kedua segera
dilancarkan bagaikan gugur gunung dahsyatnya.
Rupanya Tio-ci-sun juga tahu melulu dengan sebelah
tangannya takkan mampu menahan serangan Kiau Hong
itu, maka dengan dorong kedua tangan sekaligus ia
berusaha menangkis.
“Apakah kau cari mampus!” mendadak suara seorang
wanita di sampingnya membentak. Berbareng Tio-ci-sun
merasa pundaknya ditarik orang ke samping hingga
serangan Kiau Hong itu terhindarkan.
Namun begitu toh tenaga pukulan Kiau Hong itu
masih terus menerjang ke depan. Maka celakalah tiga
orang di belakang Tio-ci-sun, mereka yang tertimpa
malang. Terdengarlah suara gedebukan tiga kali, ketiga
orang itu mencelat dan menumbuk dinding dengan keras,
begitu hebat tumbukan itu hingga kapur pasir dinding
rontok bertebaran.
Waktu Tio-ci-sun menoleh, ia lihat orang yang
menariknya tadi adalah Tam-poh, ia menjadi girang,
katanya, “Terima kasih atas pertolonganmu!”
1549
“Kau serang bagian kiri dan aku akan menyerang dari
kanan,” kata Tam-poh.
Dan baru Tio-ci-sun mengiakan, tahu-tahu sesosok
bayangan orang yang kurus kecil sudah mendahului
menerjang ke arah Kiau Hong. Ternyata orang itu adalah
Tam-kong, si kakek Tam.
Jangan sangka perawakan Tam-kong itu kurus kecil,
tenaga dalamnya ternyata sangat kuat, begitu tangan kiri
menghantam ke depan, menyusul serangan tangan
kanan dilontarkan lagi. Dan sedikit tangan kiri ditarik
kembali, segera ia tambahkan tenaga pukulannya pada
tangan kanan.
Serangan tiga kali secara berantai ini menjadi mirip
damparan ombak yang susul-menyusul, dibandingkan
pukulan Tio-ci-sun tadi, terang tiga kali pukulan Tamkong
ini beberapa kali lipat lebih kuat.
“Pukulan ‘Tiang-kang-sam-tiap-long’ (Ombak
Mendebur Tiga Susun di Sungai Tiangkang) yang hebat!”
puji Kiau Hong sambil memapak dengan tangan kiri.
Benturan kedua arus tenaga dalam yang hebat itu
memaksa orang lain terdesak mundur ke pinggir. Dan
pada saat itulah Tam-poh dan Tio-ci-sun pun mengerubut
maju, menyusul Ci-tianglo, Thoan-kong Tianglo, Tantianglo
dan lain-lain juga ikut terjun ke kalangan
pertarungan sengit itu.
“Kiau-hengte, Cidan tidak dapat hidup berdampingan
dengan kerajaan Song raya kita, demi kepentingan
umum terpaksa kita mesti kesampingkan hubungan
pribadi, maafkan bila aku akan berlaku kasar padamu!”
demikian Thoan-kong Tianglo berseru.
“Sedangkan coat-kay-ciu juga sudah kita minum, buat
apa bicara tentang persaudaraan lagi? Awas serangan!”
demikian sahut Kiau Hong sambil mendepak ke arah
tokoh Kay-pang itu.
1550
Namun begitu omongnya, toh terhadap tokoh Kaypang
mau tak mau ia berlaku sungkan juga, bukan saja
tiada niat mencelakai jiwa mereka, bahkan membikin
malu mereka di depan orang banyak juga tidak. Maka
depakan itu sampai di tengah jalan mendadak ganti arah,
“bluk”, tahu-tahu Goay-to Ki Liok yang menjadi
sasarannya hingga tertendang mencelat.
Rupanya Ki Liok, Si Golok Kilat itu sama sekali tidak
menyangka akan tindakan itu, keruan ia menjerit kaget
ketika mendadak pantatnya terasa terdepak dan
badannya mencelat ke atas. Goloknya sebenarnya
sedang dibacokkan ke kepala Kiau Hong, tapi karena
badannya mumbul ke udara, dan goloknya tetap
dibacokkan, maka terdengarlah “crat”, golok itu tepat
kena membacok belandar utama ruangan besar itu.
Gedung utama Cip-hian-ceng yang dibangun Yu-sisiang-
hiong itu sangat megah dan kukuh, lebih-lebih
belandar itu adalah sejenis kayu pilihan yang sangat
kuat. Maka sekali kena bacok dengan kuat, golok Ki Liok
itu lantas ambles belasan senti dalamnya hingga senjata
itu tergigit dengan kencang dalam belandar.
Golok Ki Liok itu adalah senjata andalan yang
membuatnya terkenal, kini harus menghadapi musuh
tangguh, mana dia mau kehilangan senjata itu? Maka
sekuatnya ia memegangi golok itu dengan tangan kanan.
Dengan demikian, tubuhnya menjadi terkatung-katung di
udara, keadaannya menjadi lucu dan aneh. Tapi setiap
orang di tengah ruangan itu sedang menghadapi detik
antara mati dan hidup, dengan sendirinya tiada seorang
pun sempat menertawainya.
Kiau Hong sendiri meski sudah banyak menghadapi
pertempuran seru dan selamanya tidak pernah kalah,
tapi kini harus bertempur dengan jago sebanyak dan
selihai ini, hal ini pun selama hidupnya tidak pernah
1551
dialami. Namun sama sekali ia tidak gentar sebaliknya
semangatnya semakin berkobar, ia mainkan kedua
tangannya naik-turun hingga lawan-lawan tangguh sukar
mendekatinya.
Sih-sin-ih memang sakti dalam ilmu pengobatan, tapi
ilmu silatnya belum tergolong kelas wahid. Dalam ilmu
pertabiban memang dia mempunyai bakat pembawaan
dan pengalaman yang mendalam. Dalam hal ilmu silat ia
pun sangat luas pengetahuannya, tapi luas pengetahuan
tidak berarti pandai pula menggunakannya. Oleh karena
terlalu luas dan terlalu banyak yang dia pelajari, maka
tiada sejurus pun ilmu silat itu benar-benar dilatihnya
hingga sempurna. Jadi hanya sepintas lalu saja ia
mempelajari berbagai jurus ilmu silat yang diperolehnya
dari tokoh-tokoh yang pernah diobati olehnya.
Sebelumnya ia suka bergirang dan puas akan
pengetahuan sendiri yang luas dalam hal ilmu silat, tapi
kini demi menyaksikan pertarungan sengit antara Kiau
Hong melawan orang banyak itu, betapa hebat dan
lihainya bekas Pangcu Kay-pang ini benar-benar
membuatnya terpesona, sungguh mimpi pun tak terpikir
olehnya ada ilmu silat begini lihai. Saking takjubnya
hingga ia terkesima di tempatnya, jangankan lagi hendak
maju bertempur.
Begitulah ia berdiri mepet tembok dengan rasa takut,
cuma untuk merat secara diam-diam betapa pun ia
merasa enggan, sebagai pengundang masakah ia sendiri
malah kabur lebih dulu? Sekilas tiba-tiba dilihatnya Hianlan
berdiri di sebelahnya, tergerak hatinya, maka katanya
perlahan, “Ucapanku tadi sesungguhnya kurang sopan,
harap Taysu suka memaafkan.”
Sebenarnya Hian-lan asyik mengikuti pertarungan
sengit di tengah ruangan itu, ia terkesiap oleh perkataan
Sih-sin-ih itu, segera ia tanya, “Ucapan apa maksudmu?”
1552
“Tadi aku menyatakan heran mengapa Kiau Hong
mampu keluar-masuk Siau-lim-si seorang diri dengan
bebas tanpa terluka apa-apa, dan sesudah menyaksikan
sekarang, nyata dia memang cukup mampu untuk
berbuat begitu,” kata Sih-sin-ih.
Keruan Hian-lan kurang senang mendengar demikian,
sahutnya dengan mendengus, “Hm, Sih-sin-ih ingin
menguji ilmu silat Siau-lim-pay, bukan?”
Belum lagi Sih-sin-ih menjawab, terus saja ia
melangkah maju, sekali lengan bajunya yang komprang
itu mengebas, mendadak dari bawah lengan baju timbul
suara menderu yang keras, angin pukulan yang dahsyat
lantas menyambar ke arah Kiau Hong.
Jilid 32
Ilmu silat yang dikeluarkan ini adalah satu diantara 72
macam ilmu silat pusaka Siau-lim-si, namanya “Siu-likian-
gun” (menyekap jagat dalam lengan baju), sekali ia
kebas lengan jubahnya, seketika tenaga pukulannya
menyambar keluar dari dalam jubah. Jadi lengan jubah
itu hanya sebagai tameng pukulan saja agar musuh tidak
dapat membedakan arah datangnya serangan, tapi tahutahu
diserang hingga kelabakan.
Namun Kiau Hong sudah lebih dulu melihat kedua
lengan baju Hian-lan itu melembung bagai goni penuh
angin, segera ia tahu serangan apa yang akan dilakukan
padri sakti itu, bentaknya cepat, “Siu-li-kian-gun, nyata
memang hebat !”
Berbareng itu sebelah tangannya segera dipukulkan
ke arah lengan baju lawan dengan kuat. Tenaga yang
terhimpun dalam lengan baju Hian-lan itu menggembung,
sebaliknya tenaga pukulan yang dilontarkan itu terpusat
keras, maka terdengarlah suara “bret-bret” beberapa kali,
1553
ditengah goncangan arus tenaga yang maha dahsyat itu,
sekonyong-koyong ditengah ruangan itu bertebaran
beberapa puluh ekor “kupu-kupu”.
Keruan semua orang terperanjat, waktu mereka
perhatikan, ternyata “kupu-kupu” itu bukan lain adalah
robekan kain lengan baju Hian-lan. Waktu perhatian
mereka beralih atas diri padri itu, tertampaklah kedua
lengannya sudah telanjang hingga kelihatan jelas tulang
lengannya yang kurus kering.
Rupanya di bawah tekanan dua arus tenaga dalam
yang maha kuat, maka lengan baju padri yang gondrong
itu tidak tahan dan seketika tergilas hancur. Dengan
demikian, tanpa lengan baju Hian-lan menjadi mati kutu
dan tidak bisa menggunakan Siu-li-kian-gun lagi.
Saking gusarnya sampai muka Hian-lan merah
padam, cara Kiau Hong mematahkan serangannya itu
dirasakan jauh lebih menderita daripada membunuhnya.
Tanpa omong lagi kedua lengannya yang telanjang itu
susul menyusul menghantam serabutan dengan dahsyat
luar biasa.
Waktu semua orang memperhatikan, ternyata yang
dimainkan Hian-lan sekarang adalah ilmu pukulan yang
tersebar luas di dunia kangouw, yaitu “Thio-co-tiang-tin”
atau ilmu pukulan ciptaan Song-thai-co.
Song-thai-co Tio Kong-in, cikal bakal dinasti Song,
sangat terkenal dengan kepandaiannya dalam dua jenis
ilmu silat, yaitu “Thai-co-tiang-kun” dan “Thai-co-pang”,
ilmu pukulan dan ilmu permainan toya dari Song-thai-co.
Saking populernya kedua jenis ilmu silat itu hingga
pada jaman itu setiap orang Bu-lim hampir setiap orang
bisa, paling tidak juga pernah melihatnya.
Maka semua orang menjadi heran demi nampak padri
sakti Siau-lim-si yang terkenal itu ternyata memainkan
ilmu silat yang umum itu.
1554
Tapi sesudah Hian-lan menyerang tiga kali, mau tak
mau timbul juga perasaan kagum mereka, “Pantas saja
Siau-lim-si memperoleh nama harum. Sama-sama
sejurus Hoa-san-tio-ki (main catur diatas Hoa-san), tapi
di bawah permainannya ternyata mempunyai daya
serang selihat ini.”
Dan karena rasa kagum mereka kepada ketangkasan
Hian-lan, mereka jadi lupa pada wujud si padri yang
sebenarnya tak keruan dan lucu itu.
Tadi sebenarnya ada berpuluh orang yang
mengerubut Kiau Hong, tapi kini demi Hian-lan sudah
turun tangan, yang lain merasa akan mengganggu malah
jika ikut mengeroyok, maka satu persatu mereka
mengundurkan diri, semuanya hanya menonton saja
sambil merubung rapat di pinggir untuk berjaga kalau
Kiau Hong kewalahan dan ingin kabur.
Melihat pengeroyok lain sudah mundur, hati Kiau
Hong tergerak, mendadak ia menghantam ke depan
dengan tipu “Ciong-hong-cam-ciang” atau menyerbu
maju membunuh panglima musuh, tipu ini pun termasuk
salah satu pukulan “Thai-co-tiang-kun”.
Tipu ini sebenarnya sangat umum, tapi di bawah
pukulan Kiau Hong ternyata membawa tenaga maha
dahsyat dengan gaya yang indah.
Setiap hadirin ini boleh dikatakan adalah jago silat
pilihan semua, dengan sendirinya mereka kenal di mana
letak kebagusan setiap ilmu silat. Maka demi nampak
serangan Kiau Hong yang indah itu, tanpa terasa mereka
sama bersorak memuji.
Dan sesudah sorakan mereka tercetus barulah
mereka merasa salah. Bukankah Kiau Hong adalah
musuh yang harus mereka bunuh, tapi mengapa malah
bersorak untuk menambah semangat musuh?
1555
Namun sudah terlanjur, suara sorakan mereka sudah
lalu. Bahkan serangan kedua Kiau Hong dalam tipu “Hosiok-
lip-wi” (memperlihatkan pengaruh di Ho-siok)
tampaknya lebih bagus lagi daripada jurus pertama,
maka tidak sedikit di antara para hadirin itu masih
bersorak, urung ketika sadar kelakuan mereka yang
keliru. Namun hal mana jelas mengunjuk betapa rasa
kagum dan gegetun mereka atas kepandaian Kiau Hong
itu.
Begitulah, jika tadi malam keadaan dikeroyok Kiau
Hong tidak dapat memperlihatkan ketangkasannya,
adalah sekarang sesuah Kiau Hong bertempur satu
lawan satu dan para pengeroyok tadi menjadi penonton,
barulah semua orang menyadari di mana kelebihan ilmu
silat Kiau Hong daripada orang lain.
Maka sesudah beberapa jurus lagi, jelas kelihatan
siapa lebih unggul dan siapa asor.
Ilmu pukulan yang dimainkan kedua orang samasama
kungfu yang sangat umum, tapi setiap serangan
Kiau Hong selalu lebih lambat sedikit dan membiarkan
Hian-lan melancarkan serangan lebih dulu. Dan sekali
serangan Hian-lan dilontarkan, menyusul Kiau Hong
lantas menyerang juga.
Ilmu pukulan ciptaan Song-thai-to itu seluruhnya
meliputi 72 jurus. Tapi setiap jurus merupakan lawan
daripada jurus lain. Maka Kiau Hong sengaja incar baikbaik
tipu serangan lawan. Lalu ia keluarkan tipu
serangan yang tepat untuk mengatasinya.
Dengan demikian, tentu saja Hian-lan dibikin
kewalahan. Teori itu sebenarnya diketahui oleh setiap
penonton, yang susah adalah kepandaian “serang
belakang tapi tiba lebih dulu” itulah yang tidak mungkin
dimiliki sembarang orang.
1556
Melihat kawannya kewalahan, terang sudah kalah,
segera Hian-cit berseru, “Huh, kamu anjing Cidan ini,
caramu sesungguhnya terlalu rendah !”
“Apa yang kumainkan adalah ilmu pukulan Thai-co
dinasti kita, mengapa aku dituduh rendah ?” sahut Kiau
Hong tertawa.
Mendengar demikian, seketika pahamlah semua
orang maksud Kiau Hong memainkan “Thai-co-tiang-kun”
itu.
Jika Kiau Hong menggunakan ilmu silat jenis lain
untuk menangkan “Thai-co-tiang-kun” yang dimainkan
Hian-lan tentu orang lain takkan mengatakan dia lebih
kuat dan ulet, sebaliknya akan menyalahkan dia dengaja
menghina ilmu silat ciptaan cikal bakal dinasti Song yang
jaya itu. Dan hal ini tentu akan menambah sentimen
kebangsaan orang banyak itu. Tapi sekarang kedua
pihak sama menggunakan “Thai-co-tiang-kun”, dalam
pertandingan ini hanya mengadu ilmu silat belakan, Kiau
Hong takbisa lagi dituduh kurang ajar atau tuduhan lain.
Begitulah maka Hian-cit tak dapat tinggal diam lagi
melihat Hian-lan dalam sekejap lagi akan terancam
bahaya. Tanpa bicara ia terus menuding ke “Soan-ki-hiat”
di dada Kiau Hong. Ilmu yang dia pakai adalah “Thiantiok-
hud-ci” atau jari Budha dari Thian-tiok, semacam
ilmu tiam-hiat yang hebat dari Siau-lim-si.
Mendengar tutukan orang itu membawa suara
mencicit perlahan, segera Kiau Hong berkata, “Sudah
lama kudengar betapa hebat Thian-tiok-hud-ci, ternyata
memang bukan omong kosong belaka. Tapi bila kau
gunakan ilmu silat bangsa asing Thian-tiok itu untuk
mengalahkan ilmu pukulan cikal bakal dinasti kita
bukankah engkau akan dituduh menghianat dan
menghina dinasti kita sendiri ?”
1557
Hian-cit terkesiap sebab ilmu silat Siau-lim-si memang
berasal dari Budhi Dharma yang aslinya orang asing dari
Thian-tiok (kini India).
Sebabnya Kiau Hong sekarang dikeroyok adalah
disebabkan bekas Pangcu itu dituduh keturunan Cidan.
Tapi karena sejarah Siau-lim-si sudah terlalu tua, ilmu
silatnya sudah tersebar luas dikalangan Bu-lim hingga
berbagai aliran dan mazhab sedikit banyak ada
tersangkut hubungan hingga semua orang sama
melupakan asal usul Siau-lim-si yang ada sangkut
pautnya dengan bangsa asing itu.
Kini demi mendengar teguran Kiau Hong itu, segera
banyak di antara hadirin yang berpandangan jauh dan
berjiwa terbuka itu berpikir, “Terhadap Budhi Dharma kita
memuja sebagai malaikat dewata, sebaliknya mengapa
membenci orang Cidan sampai ke tulang sumsumnya?
Bukankah mereka sama-sama bangsa asing? Ya, sudah
tentu diantara kedua bangsa itu ada bedanya, bangsa
Thian-tiok tidak pernah menjajah dan membunuh bangsa
Han kita, sebaliknya bangsa Cidan adalah penjajah yang
ganas dan kejam. Jadi antara bangsa asing pada
hakikatnya juga ada perbedaannya dan tidak boleh
disamaratakan, harus dibedakan antara yang baik dan
yang jahat, antara kawan dan lawan, antara penjajah dan
dijajah. Dan apakah orang Cidan itu semua jahat?
Apakah tidak ada yang baik ?”
Begitulah di tengah pertarungan sengit itu banyak di
antara pengeroyok terdapat kaum pikiran sempit, berjiwa
dangkal dan dengan sendirinya takkan berpikir tentang
perbedaan itu, tapi sebagian yang tergolong cendikia,
dalam benak mereka lantas terlintas pikiran seperti itu,
mereka merasa Kiau Hong belum tentu adalah manusia
yang harus dibunuh, sebaliknya kita sendiri juga belum
pasti di pihak yang benar.
1558
Dalam pada itu, meski Hian-lan dan Hian-cit berdua
melawan Kiau Hong seorang, mereka lebih banyak
menagkis daripada menyerang.
Sementara itu karena ilmu pukulan pertama telah
dipatahkan sama sekali oleh lawan, maka Hian-lan telah
ganti ilmu silat “Lo-han-kun” yang lihai dari Siau-lim-pai.
“Huh, bukankah Lo-han-kun juga berasal dari ajaran
bangsa asing dari Thian-tiok ?” demikian Kiau Hong
mengejek. “Baiklah, akan kulihat apakah ilmu silat asal
luar negeri itu lebih lihai ataukah ilmu silat dalam negeri
Song sendiri lebih hebat ?”
Sembari bicara, “Thai-co-tiang-kun” terus dilancarkan
susul menyusul.
Keruan semua orang merasa tersinggung oleh
ucapan Kiau Hong itu. Mereka mengeroyok Kiau Hong,
alasannya karena dia bangsa asing. Tapi sekarang ilmu
silat yang dipakai pihak sendiri justru adalah ilmu silat
“impor”, sebaliknya ilmu silat pukulan yang dimainkan
Kiau Hong adalah “produksi dalam negeri” asli, yaitu
ciptaan cikal bakal dinasti Song yang tersohor itu.
Begitulah selagi banyak di antara mereka merasa
ragu-ragu dan rikuh, tiba-tiba terdengar Tio-cit-sun
berseru, “Peduli kita memakai ilmu silat berasal dari
mana, yang terang keparat ini telah membunuh ayah
bundanya dan gurunya sendiri, kejahatannya jauh lebih
pantas dihukum mati. Ayolah saudara, kerubut maju
bersama !”
Sambil berseru, segera ia mendahului menerjang
maju.
Menyusul Tam-kong, Tam-poh, para Tianglo dari Kaypang.
Tiat-bin poan-koan Tan Cing bersama putranya,
semuanya berjumlah puluhan orang terus ikut menyerbu
maju.
1559
Ilmu silat para pengerubut ini semua pilihan, meski
banyak jumlah mereka, tapi posisi mereka tidak kacau,
yang satu maju, yang lain mundur, yang lain maju, yang
satu mundur lagi.
Sambil berkata menghantam dan menangkis, Kiau
Hong berkata pula, “Kalian mengatakan aku orang Cidan,
jika betul, maka Kiau Sam-hoai Lokongkong dan
Lopohpoh tentu bukan ayah ibuku. Jangankan kedua
orang tua itu adalah orang yang paling kuhormati selama
hidup dan tiada maksud mencelakainya sedikitpun,
andaikan benar akulah yang membunuh mereka, toh
tuduhan membunuh ayah bunda sendiri juga tidak dapat
ditimpakan atas diriku? Sedangkan Hian-koh Taisu
adalah guruku yang kupuja, jika Siau-lim-pai mengakui
Hian-koh Taysu adalah guruku, maka aku orang she Kiau
menjadi terhitung anak murid Siau-lim, lantas apa alasan
kalian mengerubut seorang anak murid Siau-lim-pai cara
begini ?”
“Hm, bicara seperti pokrol bambu, mau menang
sendiri,” jengek Hian-cit dengan mendongkol.
“Habis, kalau kalian tidak anggap aku sebagai anak
murid Siau-lim-pai, dengan sendirinya ‘tuduhan
membunuh guru’ itu tak terbukti,” sahut Kiau Hong,
“Memangnya kalau mau menyalahkan orang masakan
kuatir kurang alasan? Tapi bila kalian ingin membunuhku,
mestinya bicaralah terus terang dan bunuhlah kalau
mampu, mengapa mesti cari alasan yang tidak dapat
dibuktikan ?”
Biarpun mulutnya bicara mencerocos, namun
serangannya tidak pernah berhenti, tinjunya menjotos
Tan Siok-san, kakinya menendang Tio ci-sun sukutnya
menyikut Cin Goan-cun, telapak tangan menghantam
Pau Jian-leng. Hanya sekejap saja beruntun empat orang
sudah dirobohkan olehnya.
1560
Kiau Hong tahu bahwa lawan-lawannya itu bukan
kaum penjahat, maka serangannya selalu seringan
mungkin. Yang dirobohkan sampai saat itu sudah ada
belasan orang, tapi tiada satu jiwa pun yang dicelakai
olehnya. Namun pengeroyok itu terlalu banyak, belasan
orang roboh, berpuluh orang segera menggantikannya.
Maka tidak lama kemudian, mau-tak-mau Kiau Hong
mengeluh, “Jika pertepuran begini diteruskan, akhirnya
aku pasti akan kepayahan, rasanya jalan paling baik
adalah kabur saja.”
Maka sambil bertempur segera ia mencari jalan untuk
meloloskan diri.
Tio ci-sun yang dirobohkan itu menggeletak di lantai
dengan sebelah tangan patah. Tapi ia tahu maksud Kiau
Hong akan melarikan diri, segera ia berseru, “Awas,
kawan-kawan ! Kepung dia dengan rapat, anjing keparat
ini hendak melarikan diri !”
Dalam pertarungan sengit itu memang Kiau Hong
sudah agak terpengaruh oleh bekerjanya arak yang
banyak diminumnya tadi, kini mendengar caci maki Tio
ci-sun, keruan amarahnya tak tertahankan lagi,
bentaknya dengan gusar, “Ya, anjing keparat ini akan
pakai dirimu sebagai korban pembunuhan pertama ?”
Sambil berkata, sekuatnya ia memukul dari jauh.
“Celaka !” seru Hian-lian dan Hian-cit berbareng.
Kedua tangan mereka sama memapak kedepan untuk
menolong Tio ci-sun.
Di tengah gencetan arus tenaga yang hebat itu,
sekonyong-konyong terdengar suara jeritan ngeri
seorang, dada orang itu tersodok oleh tenaga pukulan
Hian-lan dan Hian-cit, sebaliknya punggung kena
dihantam oleh pukulan Kiau Hong dari jauh.
Di tengah gencetan tiga arus tenaga maha dahsyat
itu, keruan tulang iga orang itu seketika patah dan remuk,
1561
isi perutnya hancur, darah menyembur keluar dari
mulutnya, badan terkulai lemas bagai cacing di lantai.
Kejadian di luar dugaan ini tidak hanya mengejutkan
Hian-lan dan Hian-cit, bahkan Kiau Hong juga terkesiap.
Orang yang sial itu ternyata Goai-to Ki Liok adanya.
Sebagaimana diketahui Ki Liok tadi terkatung-katung
di atas belandar dengan menggandul pada goloknya
yang terjepit belandar itu. Oleh karena sudah sekian
lamanya, setelah tergontai-gontai kian kemari, akhirnya
golok yang terjepit belandar itu mulai mengendur dan
akhirnya jatuh ke bawah.
Seungguh kebetulan juga, dengan tepat Ki Liok jatuh
di tengah-tengah gelombang tenaga yang sedang
dilontarkan oleh ketiga orang yang bertempur itu. Keruan
Ki Liok mirip digencet di tengah peres yang maha kuat,
seketika jiwanya melayang.
“Omitohud ! Siancai, Siancai ! Kiau Hong, dosamu
bertambah besar lagi !” demikian kata Hian-lan menyebut
Budha.
Kiau Hong menjadi gusar, sahutnya, “Orang ini tidak
seluruhnya terbinasa di tanganku, kalian berdua juga
mempunyai saham atas kematiannya, mengapa kau
tumplek semua kesalahan atas namaku ?”
“Omitohud ! Kalau sebelumnya tiada gara-garamu,
masakah terjadi pertempuran seperti sekarang ini ?”
sahut Hian-lan.
Kiau Hong semakin murka, “Baiklah, semua boleh kau
catat atas rekeningku, lantas mau apa ?”
Setelah mengalami pertarungan sengit itu, watak liar
dalam darah Kiau Hong menjadi kumat, sekejap itu ia
berubah beringas bagaikan seekor binatang buas. Sekali
tangannya membalik, tepat seorang lawan kena
cengkramannya, ternyata orang ini adalah Tan Tiongsan,
putra kedua Tan Cing.
1562
Menyusul Kiau Hong terus rampas golok Tan Tiongsan,
ketika tangan kanan menggaplok, tanpa ampun lagi
batok kepala Tan Tiong-san hancur dan mati seketika.
Maka gegerlah para ksatria, mereka menjerit kaget,
berteriak kuatir dan mencaci-maki dengan gusar.
Setelah membunuh orang, Kiau Hong bertambah
kalap, golok rampasannya berputar dengan cepat,
tangan kanan mendadak menjotos dan terkadang
memukul dengan telapakan, sedang golok di tangan kiri
membacok dan menebas, dahsyatnya tak tertahankan.
Hanya sekejap saja tertampaklah dinding di sekitar
sudah penuh titik noda darah, di tengah kalangan sudah
bergelimpangan belasan mayat, ada yang kepala
berpisah dengan badannya, ada yang dada pecah dan
pinggang putus.
Dalam mengamuk itu, Kiau Hong sudah tidak
pandang bulu lagi, dengan mata merah membara ia
membunuh setiap orang yang diketemukan, Thoan-kong
Tianglo dan Ge-tianglo telah binasa semua di bawah
goloknya.
Di antara ksatria yang hadir itu kebanyakan tentu
pernah membunuh orang. Maklum, membunuh orang
bagi orang persilatan boleh dikatakan terlalu jinak.
Andaikan tidak pernah membunuh orang dengan tenaga
sendiri, paling sedikit juga sudah biasa menyaksikan
pembunuhan.
Tapi pertarungan sengit seperti sekarang sungguh
tidak pernah dilihat mereka selama hidup. Lawan mereka
hanya satu orang, tapi Kiau Hong justru bertempur
seperti binatang buas dan hantu iblis yang mendadak
berada disana, sekejap kemudian tahu-tahu sudah
berada di sini, banyak jago terkemuka yang maju
melabraknya berbalik terbunuh oleh cara Kiau Hong yang
lebih cepat, lebih ganas dan lebih tangkas.
1563
Sebenarnya para ksatria yang hadir itu bukanlah
manusia pengecut, tapi di bawah terjangan Kiau Hong
yang kalap bagai banteng ketaton itu, segera banyak di
antaranya timbul rasa takut dan ingin melarikan diri,
mereka berharap bisa lekas tinggalkan gelanggang
pertempuran, apakah Kiau Hong berdosa atau tidak,
mereka tidak mau ikut campur lagi.
Dalam pada itu Yu-si-siang-hong, kedua jago
bersaudara she Yu, berbareng menerjang dari kanan dan
kiri, tangan kiri mereka sama memegang tameng bundar,
hanya tangan kanan yang berbeda persenjataannya, Yu
Ek memakai tombak pendek, sebaliknya Yu Ki
menggunakan golok.
Walaupun Kiau Hong melabrak para pengeroyok itu
dengan kalap dan tak kenal ampun, tapi terhadap setiap
gerak serangan lawan selalu diperhatikan dengan baik,
pikirannya tetap dalam keadaan jernih, maka sejauh ini ia
tidak terluka sedikit pun.
Ketika dilihatnya kedua saudara she Yu itu menerjang
maju dengan senjata aneh, cepat ia mainkan goloknya
ke kanan kiri, lebih dulu ia robohkan dua lawan di
sampingnya, habis itu ia mendahului memapak ke arah
Yu Ek dan menyerang.
Tapi bacokannya ditangkis oleh tameng Yu Ek,
“trang”, golok Kiau Hong malah mendal keatas. Waktu
diperiksa, ternyata mata goloknya melingkar dan tak bisa
dipakai lagi.
Ternyata tameng kedua jago bersaudara itu adalah
buatan dari baja murni, biarpun dibacok dengan pedang
atau golok mestika juga tak mempan, apalagi golok yang
dipakai Kiau Hong itu hanya golok biasa yang
dirampasnya dari Tan Tiong-san.
Begitulah sekali perisainya menangkis, secepat kilat
tombak pendek di tangan Yu Ek yang lain lantas
1564
menusuk dengan tipu “tok-coa-cut-tong” (ular berbisa
keluar dari gua), tombak itu menyambar dari bawah
perisai dan mengarah perut Kiau Hong.
Pada saat itu juga Kiau Hong melihat berkelebatnya
senjata, perisai Yu Ki mendadak memotong
pinggangnya. Mata Kiau Hong cukup awas, sekilas
pandang ia sudah tahu pinggir tameng itu sangat tajam,
bila kena pinggang bukan mustahil akan terpotong putus
menjadi dua, sungguh lihainya tidak kepalang.
“Bagus !” bentak Kiau Hong sambil buang goloknya,
menyusul tinju kiri terus menghantam sekuatnya, maka
terdengarlah suara “blang” yang keras, bagian tengah
tameng Yu Ki tepat kena digenjot, menyusul kepalan
tanagan kanan Kiau Hong menghantam lagi, “blang”,
tameng Yu Ek juga kena digempurnya dengan tepat.
Kontan Yu-si-siang-hiong merasa separuh tubuh
mereka seakan-akan kaku dan lumpuh, pukulan-pukulan
Kiau Hong yang maha dahsyat itu meski tidak langsung
mengenai mereka, tapi sudah cukup membuat mata
mereka berkunang-kunang dan kepala pusing tujuh
keliling seketika tangan mereka menjadi lemas. Tameng,
tombak dan golok tidak kuat dipegang lagi, terdengar
suara gemerentang nyaring, senjata mereka semua jatuh
ke lantai.
“Bagus, boleh berikan padaku saja senjata kalian itu !”
seru Kiau Hong dengan tertawa. Cepat ia jemput perisai
kedua saudara Yu itu, segera ia putar dengan kencang.
Kedua perisai baja yang bundar itu sungguh
merupakan senjata serba guna yang ampuh, kemana
senjata itu menyambar, disitu lantas terdengar jeritan
ngeri. Hanya sekejap saja sudah empat orang menjadi
korban perisai baja itu.
Wajah Yu-si-siang-hiong tampak pucat dan semangat
lesu. Kata Yu Ek, “Jite, bukankah Suhu pernah
1565
mengatakankepada kita, perisai ada orang ada, perisai
hilang orangnya gugur ?”
“Benar twako,” sahut Yu Ki dengan muram. “Hari ini
kita telah kecundang sedemikian rupa, masakah kita
masih ada muka untuk hidup lebih lama di dunia ini ?”
Segera mereka menjemput kembali senjata masingmasing,
yaitu tombak dan golok, berbareng mereka tikam
perut sendiri dengan senjata itu, maka binasalah mereka
seketika.
Keruan banyak ksatria menjerit kaget. Tapi mereka
sedang dicecar oleh Kiau Hong dengan hebat, maka
tiada seorang pun sempat mencegah perbuatan nekat
kedua saudara Yu itu.
Kiau Hong melengak juga. Sungguh tak terpikir
olehnya bahwa sebagai tuan rumah kedua saudara Yu
itu bisa ambil pikiran pendek begitu? Karena kejutnya itu
pengaruh arak tadi menjadi hilang sebagian besar, hati
pun agak menyesal.
“Yu-si-siang-hiong, guna apa ambil keputusan
demikian ?” seru Kiau Hong dengan terharu, “Tentang
kedua perisai ini, biarlah kukembalikan saja !”
Sambil berkata, dengan khidmat dan hormat ia taruh
kedua perisai itu disamping jenazah Yu-si-siang-hiong.
Tapi belum lagi ia tegak kembali dari berjongkok, tiba-tiba
didengarnya jerita kuatir seorang gadis, “Awas !”
Kiau Hong cukup cerdas dan tangkas, sedikit
menggeser ke samping, maka menyambar lewatlah
sebilah pedang tajam. Jeritan itu ternyata berasal dari A
Cu. Dan penyerang gelap itu adalah Tam-kong. Sekali
membokong tidak kena, segera jago tua itu menyingkir
jauh.
Tam-poh menjadi gusar, serunya, “Bagus, kamu
budak setan ini, kami tidak membunuhmu, tapi kamu
malah bersuara membantu dia !”
1566
Mendadak ia melompat ke sana, sekali gaplok,
segera kepala A Cu hendak dipecahkannya.
Waktu Kiau Hong menempur para ksatria itu, sejak
tadi A Cu meringkuk di sudut ruangan, tenaga murninya
perlahan mulai lenyap, badan menjadi lemas. Ia melihat
Kiau Hong dikeroyok orang banyak, walaupun tahu bakal
banyak menghadapi bahaya toh bekas Pangcu itu
bersedia mengantar dirinya untuk mencari tabib sakti,
budi kebaikan ini biar tubuhnya hancur lebur juga susah
dibalas.
Sebab itulah A Cu merasa sangat berterima kasih dan
kuatir pula. Maka ketika mendadak Kiau Hong disergap
Tam-kong tadi, segera ia bersuara memperingatkan.
Untung sebelum Tam-poh mencapai sasarannya,
secepat kilat Kiau Hong menyusul tiba, dari belakang ia
jambret punggung nenek itu dan ditarik sekuat tenaga
serta dilemparkan ke samping. “Brak”, sebuah kursi
tertabrak hancur oleh badan. Tam-poh yang gede mirip
kuda teji itu.
Meski tidak kena serangan nenek itu, namun A Cu
ketakutan hingga muka pucat dan badan lemas terkulai.
Kiau Hong terkejut, pikirnya, “Hawa murninya sudah
mulai kering, namun dalam keadaan begini mana dapat
kutolong dia ?”
Sementara itu terdengar Sih-sin-ih berkata dengan
nada dingin, “Tenaga nona itu sekejap lagi akan habis,
akan kau tolong jiwnya tidak dengan tenaga dalammu?
Jika napasnya putus, terpaksa aku tak dapat
menolongnya lagi.”
Kiau Hong menjadi serba susah. Ia tahu perkataan
Sih-sin-ih itu bukan omong kosong belaka tapi sekali
awak sendiri menolong A Cu, segera dirinya akan
dihujani pukulan dan senjata oleh lawan yang sudah
merumbung di sekitarnya itu.
1567
Sudah banyak jatuh korban di pihak kdatria itu, mana
mau mereka menyudahi pertempuran ini? Lalu, apakah
mesti menyaksikan A Cu mati begitu saja? Padahal
dengan menyerempet bahaya ini ia membawa A Cu ke
Cip-hian-ceng ini tujuannya adalah minta pengobatan
pada Sih-sin-ih. Sesudah tiba di tempat dan berhadapan
dengan tabib sakti, lalu membiarkan nona itu mati
kehabisan tanaga, bukankah sangat sayang?
Tapi kalau sekarang ia salurkan hawa murni padanya,
itu berarti ia mengantikan jiwa nona itu dengan jiwa
sendiri. Padahal A Cu hanya seorang budak cilik yang
baru dikenalnya di tengah jalan, pada hakikatnya tiada
sesuatu hubungan bai apa-apa, soal menolong
sesamanya adalah perbuatan biasa bagi seorang
pendekar dan ksatria tapi kalau mesti menggunakan jiwa
sendiri yang berharga untuk menggantikan nyawa nona
cilik itu, betapapun juga tidak masuk diakal. Aku sudah
berusaha sedapatnya membawanya ke tempat si tabib
sakti, kewajibanku boleh dikatakan sudah jauh lebih dari
cukup. Biarlah sekarang juga kutinggal pergi saja dan
terserah Sih-sin-ih mau menolong jiwanya atau tidak.
Setelah ambil keputusan itu, segera Kiau Hong
jemput kembali kedua perisai tadi, dengan gerakan “Taipeng-
tian-ih” atau garuda raksasa pentang sayap,
mendadak ia putar perisai itu dengan kencang hingga
berwujud dua bola, berbareng ia terus terjang keluar.
Karena orang di dalam ruangan itu terlalu sesak, pula
gerakan Kiau Hong teramat lihai, seketika tiada
seorangpun yang berani merintanginya.
Setiba di ambang pintu, baru Kiau Hong hendak
angkat kaki seribu, sekonyong-konyong terdengar suara
seorang yang parau, “Bunuh dulu budak itu, baru kita
balas sakit hati pula !”
1568
Pembicara ini ternyata Tiat-bin-poan-koan Tan Cing
adanya.
Putranya yang tertua, Tan Pek-san segera mengiakan
dan ayun goloknya membacok kepala A Cu.
Keruan Kiau Hong terkejut dan kuatir tidak jadi
melangkah pergi, tanpa pikir, ia sambitkan sebelah
perisainya. Bagaikan “piring terbang” perisai itu
menyambar secepat kilat ke depan.
“Awas !” dengan kuatir beberapa orang
memperingatkan. Dengan cepat Tan Pek-san juga
angkat goloknya hendak menyampuk.
Namun betapa hebat tenaga Kiau Hong tepi perisai itu
sangat tajam pula, “krak…cret”, tahu-tahu golok tertabas
patah, bahkan Tan Pek-san sendiri terpotong putus
sebatas pinggang. Malahan perisai itu masih terus
menyambar ke depan hingga menancap di pilar.
Kematian Tan Pek-san itu benar-benar sangat
mengenaskan, hal ini membuat semua orang ikut murka,
bukan saja Tan Cing dan putranya, Tan Ki-san,
menubruk berbareng ke arah A Cu, bahkan beberapa
ksatria lain juga menghujani A Cu dengan senjata.
“Manusia pengecut !” maki Kiau Hong. Cepat ia
bertindak, dari jauh ia memukul empat kali berturut-turut
hingga semua orang itu dipaksa menyingkir, menyusul ia
lari maju, ia angkat A Cu dan dikempit dengan tangan
kiri, ia gunakan perisai yang masih ada untuk melindungi
badan si gadis.
“Kiau-toaya, aku percuma, jangan kau pikirkan aku
lagi, lekas engkau menyelamatkan diri saja !” seru A Cu
dengan suara lemah.
Namun pertarungan sengit itu sudah mengobarkan
semangat jantan Kiau Hong yang angkuh dan tinggi hati,
serunya, “Urusan sudah terlanjur begini, sudah terang
1569
mereka takkan mengampuni jiwamu, biarlah kita mati
bersama saja !”
Dan sekali tangan kanan bergerak, kembali ia berhasil
merebut sebatang pedang, dengan senjata rampasan itu
ia terus menerjang keluar.
Karena tangan kiri mengempit A Cu, gerak-geriknya
menjadi kurang leluasa, perisai pun kurang rapat untuk
melindungi badan si gadis. Namun Kiau Hong sudah
tidak pikirkan mati hidup sendiri, ia putar pedang
sedemikian kencangnya.
Tapi baru saja dia hendak menerobos keluar,
sekonyong-konyong punggung terasa sakit, nyata telah
kena dibacok sekali oleh orang.
Tanpa pikir lagi ia mendepak ke belakang, kontan
penyerang itu kena ditendang dan binasa seketika. Dan
pada saat hampir bersamaan itu pundak Kiau Hong kena
hantam sekali pula oleh Hian-lan, menyusul dada kanan
juga kena ditusuk pedang musuh.
Mendadak Kiau hong mengerang sekali, begitu keras
suaranya hingga seperti bunyi halilintar, bentaknya, “Kiau
Hong akan bereskan diri sendiri dan tidak mau mati di
tangan kaum keroco dan bangsa pengecut !”
Namun para pengeroyok itu sudah kadung nekat,
mereka tidak mau memberi kesempatan kepada Kiau
Hong untuk membunuh diri lagi. Segera belasan orang
menubruk maju.
Tapi dengan tangkasnya mendadak Kiau Hong
mencengkram, kontan “tan-tiong-hiat” di dada Hian-cit
kena dipegang olehnya terus diangkat tinggi ke atas.
Dalam kagetnya semua orang sama menjerit dan
beramai melompat mundur.
Karena “tan-tiong-hiat” terpegang, betapapun lihai
Hian-cit juga tak berguna, sama sekali ia tak bisa
berkutik, tampaknya pinggir perisai yang tajam itu tinggal
1570
belasan senti saja di depan tenggorokannya, asal sedikit
Kiau Hong sodok senjata itu, seketika kepala Hian-cit
bisa kuntung. Tak tertahankan lagi padri itu menghela
napas panjang, ia pejamkan mata menunggu ajal.
Tapi Kiau Hong sendiri merasa luka di punggung,
dada dan pundak sakitnya tidak kepalang, maka
berkatalah dia, “Ilmu silatku ini asalnya juga dari Siau-limpai,
minum air harus ingat pada sumbernya, mana boleh
kubunuh padri saleh Siau-lim-pai? Hari ini aku sudah
pasti akan mati, kalau membunuh seorang lagi apa
manfaatnya ?”
Habis berkata, cekalannya menjadi kendur, ia
lepaskan Hian-cit ke lantai dan berkata, “Silahkan kalian
turun tangan !”
Di tantang begitu, semua orang menjadi tertegun dan
saling pandang malah, mereka terpengaruh oleh
perbawa Kiau Hong yang gagah berani itu, sebaliknya
Tan Cing sudah terlalu sakit hati karena kedua putranya
dibunuh oleh Kiau Hong, dengan kalap terus ia
menerjang maju, golok lantas membacok dada Kiau
Hong.
Kiau Hong tahu betapapun ia menerjang toh takkan
mampu membobol kepungan orang banyak. Maka ia
hanya berdiri tegak tanpa menangkis. Sesaat itu terkilas
macam-macam pikiran dalam benaknya, “Sebenarnya
aku orang Cidan atau bangsa Han? Siapakah gerangan
yang membunuh ayah bunda dan guruku itu? Selama
hidupku selalu berbuat bajik dan membela keadilan,
mengapa hari ini tanpa sebab aku menewaskan
pendekar sebanyak ini? Dengan nekat aku menolong
jiwa A Cu hingga aku sendiri malah binasa ditangan para
ksatria ini bukankah aku ini terlalu bodoh san akan
ditertawai orang ?”
1571
Dalam pada itu ia lihat wajah Tan Cing yang merah
padam saking murka itu tampak berkerut-kerut, mata
mendelik, goloknya sudah menyambar ke arah dadanya.
Tampaknya dalam sekejap lagi Kiau Hong pasti akan
menggeletak tanpa bernyawa oleh serangan Tan Cing
itu.
Go-tianglo, Cit-hoat-tianglo dan lain-lain sama
pejamkan mata karena tidak tega menyaksikan kejadian
tragis itu.
Sekonyong-konyong dari udara melayang turun
seorang dengan cepat luar biasa dan tepat membentur
golok Tan Cing. Karena tidak tahan oleh tenaga
tumbukan itu, golok Tan Cing terpental ke samping.
Di tengah jerit kaget semua orang, mendadak dari
udara melayang turun seorang lain. Sekali ini orang itu
terjungkir, kepala di bawah dan kaki di atas, jadi lebih
tepat di katakan terjun, “prak”, kepala orang itu tepat
menumbuk kepala Tan Cing, keruan kepala kedua orang
sama-sama hancur luluh seketika.
Dan baru saja sekarang semua orang dapat melihat
jelas kedua orang yang melayang turun dari udara itu
adalah penjaga di atas rumah, terang mereka dipegang
orang dan dilemparkan ke bawah sebagai senjata
rahasia.
Selagi keadaan kacau-balau, mendadak dari ujung
wuwungan sana membuai turun seutas tambang yang
panjang, dengan keras sekali tambang itu menyambar
kepala orang banyak. Cepat para ksatria angkat senjata
hendak menangkis, tapi ujung tambang itu tahu-tahu
berganti arah terus melilit pinggang Kiau Hong, pada lain
saat mendadak tambang itu sudah terangkat keatas.
Waktu itu darah sudah bercucuran dari luka Kiau
hong, tangan kirinya yang mengempit A Cu itu sudah tak
1572
bertenaga, maka ketika ia dikerek keatas oleh tambang
itu, A Cu lantas jatuh ke tanah.
Kemudian dapatlah semua orang melihat orang yang
memegangi ujung tambang sebelah sana adalah
seorang laki-laki berbaju hitam mulus, perawakannya
tegap, tapi mukanya berkedok kain hitam, hanya kedua
matanya yang kelihatan.
Setelah mengerek Kiau Hong ke atas, segera laki-laki
itu mengempitnya dengan tangan kiri, menyusul tambang
panjang itu diayunkan hingga tergubat pada tiang
bendera di depan Cip-hian-ceng.
Pada saat para Ksatria berteriak dan membentak
disertai hujan berbagai macam senjata rahasia ke arah
Kiau Hong dan laki-laki baju hitam itu tarik kencang
tambangnya, sekali melayang ke depan, tahu-tahu
badannya terangkat ke atas dan hinggap di balkon di
pucuk tiang bendera itu. Maka terdengarlah suara plakplok
yang riuh, berpuluh macam senjata rahasia itu sama
menancap di balkon tiang bendera.
Sementara itu tambang lelaki baju hitam itu diayun ke
depan lagi hingga ujungnya tepat mengubat pucuk pohon
besar yang berada puluhan meter jauhnya, lalu orang itu
mengempit Kiau Hong dan membuai keatas pohon di
sebelah sana lagi dan begitu seterusnya, hanya sekejap
saja laki-laki baju hitam itu sudah menghilang, yang
terdengar kemudian hanya suara derap lari kuda yang
berdetak-detak dan semakin jauh. Tertinggal para ksatria
hanya saling pandang dengan bingung.
“Nah, coba katakan, sebab apa kaubunuh Be-
Taigoan, membunuh suamimu sendiri?” “Jadi engkau
harus tahu?” sahut Be-hujin dengan sorot mata yang
beringas. “Ya, aku harus tahu,” sahut Siau Hong. “Aku
adalah lelaki yag berhati keras, tidak nanti menaruh belas
kasihan padamu.” “Huh, biarpun engkau tidak bilang, apa
kau sangka aku tidak tahu?” tiba-tiba Be-hujin memaki.
Sebabnya aku menjadi rusak seperti sekarang ini,
semuanya gara-gara perbuatanmu, kamu binatang yang
sombong dan congkak, tidak pandang sebelah mata
kepada orang lain! Kaum orang Cidan yang lebih kotor
daripada babi dan anjing, kalau kamu mati tentu masuk
neraka dengan setan iblis. Ayolah, boleh kausiram lukaku
dengan air madu, mengapa tidak kaulakukan? Ah, kamu
anak jadah, anak anjing, jahanam keparat.” Begitulah
makin memaki makin keji, seakan-akan segala rasa
dendam dalam hati nyonya janda itu harus dilampiaskan
seketika itu, sampai akhirnya segala kata-kata kotor dan
rendah yang mestinya tidak pantas diucapkan oleh
seorang perempuan juga dihamburkan oleh Be-hujin.
1844
Tapi Siau Hong diam saja, ia biarkan Be-hujin
mencaci maki sepuas-puasnya, wajah wanita celaka itu
tadinya pucat lesi, setelah puas memaki, mukanya merah
padam malah dan sorot matanya mengunjuk rasa
senang.
Dan sesudah memaki kalang kabut sejenak pula,
akhirnya suaranya mereda, sebagai penutup ia
mendamprat, “Kiau Hong, kamu anjing keparat ini,
kaubikin aku celaka seperti sekarang ini. aku ingin lihat
apakah kelak kausendiri takkan ketular.”
Namun Siau Hoag mendengarkan dengan tenang
saja, kemudian ia tanya, “Selesai belum memaki?”
“Sementara boleh puas dulu, nanti kulanjutkan
memaki lagi,” sahut Be-hujin dengan gemas. “Hm, kamu
anak anjing yang tak punya biang, asal nyonya besarmu
ini masih bernapas, pasti aku akan memakimu sampai
napas terakhir.”
“Bagus, boleh kaumaki terus,” ujar Siau Hong. “Kalau
tidak salah, waktu pertama kalinya aku bertemu
denganmu adalah di tengah hutan di luar kota Bu sik itu,
tatkala itu Tai-goan Hengte sudah dibunuh olehmu,
sedangkan sebelumnya aku tidak pernah kenal dirimu,
mengapa kamu menuduh aku yang mengakibatkan
dirimu terjerumus seperti sekarang ini?”
“Hah, kaukira pertemuan kita yang pertama kali
adalah di tengah hutan di luar kota Bu-sik itu? Huh, justru
ucapanmu yang demikian inilah penyakitnya!” demikian
jengek Be-hujin dengan benci. “Kamu ini manusia
keparat yang tinggi hati, binatang yang sombong,
1845
kauanggap ilmu silatmu tiada tandingan di kolong langit
ini, lantas kau pandang rendah orang lain.”
Begitulah kembali ia menghembuskan serentetan
makian pula. Tapi Siau Hong tidak meladeninya, ia
biarkan orang memaki sepuas-puasnya, sesudah
suaranya serak dan tenaganya lelah, kemudian baru ia
tanya, “Sudah cukup kaumaki?”
“Belum, tak pernah cukup, untuk selamanya,” sahut
Be-hujin dengan gemas. “Kamu … jahanam yang
sombong dan congkak, biarpun kamu adalah raja juga
cuma begini saja.”
“Memang betul, biarpun raja, apanya sih yang hebat?”
sahut Siau Hong. “Selamanya aku juga tidak pernah
anggap ilmu diriku tiada tandingan di kolong langit ini,
umpamanya orang … orang tadi, ilmu silatnya, jelas di
atasku.”
Be-hujin tidak ambil pusing apakah orang yang
dimaksudkan itu, ia masih terus mengomel dengan
makian-makian keji lagi. Selang sebentar, tiba-tiba ia
berkata, “Hm, kaukira pertama kali kamu bertemu
dengan aku adalah di luar kota Bu-sik? Em, apakah
ketika hadir di Pek-hoa-hwe (pameran bunga) di kota
Lokyang dulu, tidak pernah kaulihat aku?”
Siau Hong melengak. Pek-hoa-hwe di kota Lokyang
itu terjadi dua tahun yang lampau, tatkala mana ia
bersama pura Tianglo dari Kai-pang memang hadir juga,
tapi ia tidak ingat pernah bertemu dengan Be-hujin di
pameran bunga itu. Maka katanya, “Ya, waktu itu Taigoan
Hengte juga ikut pergi ke sana, tapi ia tidak
memperkenalkan dirimu padaku?”
1846
“Hm, kamu ini kutu busuk macam apa?” damprat pula
Be-hujin. “Paling-paling kamu cuma kepala kaum
pengemis, apa yang kautonjolkan? Huh, dasar lagakmu
memang sok! Waktu itu, begitu aku berdiri di samping pot
bunga anggrek kuning, seketika para ksatria terkesima
memandang padaku, semuanya kesemsem dan
terpesona pada diriku. Tapi justru keparat macammu ini
anggap dirimu sebagai seorang jantan tulen, seorang
ksatra yang tidak doyan paras elok, bahkan memandang
sekejap padaku juga enggan. Huh, laki-laki palsu,
munafik, manusia rendah yang tak kenal malu.”
Kiai Siau Hong mulai paham duduknya perkara,
tahutnya, “Ya, aku pun ingat sekarang. Pad hari itu
memang betul di samping pot bunga anggrek itu berdiri
beberapa orang perempuan, tatkala itu aku asyik minum
arak, maka tidakdapat memandang bunga dan wanita
apa segala. Bila kaum wanita dari angkatan tua tentu aku
akan maju dan memberi hormat padanya, tetapi kamu
adalah iparku, istri saudara angkatku, sekalipun aku tidak
memperhatikanmu juga bukan sesuatu yang melanggar
kesopanan? Mengapa kamu dendam begitu mendalam
padaku?”
“Memangnya apakah matamu tidak punya biji mata?”
semprot Be-hujin, “Biarpun laki-laki mana atau ksatria
siapa pun, bila ketemu aku, kalau tidak memandangku
dari kepala sampai ke kaki, tentu akan memandang dari
kaki sampai ke kepalaku. Andaikan ada yang merasa
dirinya terhormat dan tidak berani jelalatan, pasti juga
ingin cari kesempatan untuk melirik padaku. Hanya kau
… ya, hanya kau, hm, dari beratus lelaki yang
1847
hadir dalam pameran itu, hanya kau seorang dari
mula sampai akhir melirik sekejap padaku pun tak
pernah.”
“Ai, memang itulah sifatku,” ujar Siau Hong dengan
menghela napas. “Memang sejak kecil aku tidak suka
bergaul dengan kaum wanita, sesudah dewasa, lebihlebih
aku tiada tempo untuk memperhatikan wanita. Toh
tidak melulu engkau seorang, bahkan wanita yang lebih
cantik daripadamu juga mula-mula tidak menarik
perhatianku, dan baru kemudan … kemudian …. Ai, aku
pun sudah terlambat kini … ”
“Apa katamu?” teriak Be-hujin dengan suara tajam
melengking. “Kau maksudkan ada wanita yang lebih
cantik dariku? Siapa dia? Lekas katakan, siapa dia?”
“Dia adalah putri Toan Cing-sun, encinya A Ci,” sahut
Siau Hong.
Apakah benar Be-hujin yang membunuh suami sendiri
akibat sakit hatinya terhadap Siau Hong?
Apa yang akan dilakukan Siau Hong terhadap Behujin
dan rahasia apa pula yang akan tersingkap?
Jilid ke 39
"Cis," Be-hujin meludah, "perempuan hina seperti itu
juga kau penujui. . . . ."
Belum habis ucapannya mendadak Siau Hong jambak
rambutnya terus dibanting keras-keras kelantai sambil
1848
mendamprat, "Berani kau olok-olok sepatah kata yang
kurang hormat lagi padanya, hm, segera boleh kau
rasakan siksaanku yang lebih keji."
Karena bantingan itu, hampir-hampir Be-hujin
kelenger, seluruh ruas tulangnya sampai terasa akan
rontok. Mendadak ia terbahak-bahak, katanya,
"Hahahaha, kiranya. . . kiranya Kiau-tai enghiong, Kiautaipangcu
kita telah terpikat oleh anak dara itu,
Hahahaha, sungguh menggelikan! Jadi Pangcu Kai-pang
ingin menjadi Hu-ma-ya (menantu raja) dari putri
kerajaan Tayli, Ai, Kiau-pangcu, kusangka segala wanita
takkan kau pandang sama sekali, tak tahunya, hahaha. .
. . ."
Dengan lemas Siau Hong duduk diatas kursi
disampingnya, katanya kemudian dengan suara rendah,
"Aku memang berharap dapat memandangnya sekejap
lagi, akan tetapi. . . .akan tetapi kini tidak dapat lagi."
"Hm, sebab apa?" jengek Be-hujin, "Jika memang
betul engkau mengincar dia, dengan kepandaianmu ini
masakah tak mampu merebutnya?"
Tapi Siau Hong menggeleng kepala dan tidak
menjawabnya, Selang agak lama barulah ia berkata.
"Biarpun mempunyai kepandaian setinggi langit juga
takkan mampu merenggutnya kembali lagi."
"Sebab apa? hahaha!"
"Sebab dia sudah mati!"
1849
Suara tawa Be-hujin seketika berhenti, ia agak
menyesal mendengar itu, Ia merasa Kiau-pangcu yang
congkak dan tinggi hati itu rada-rada kasihan juga.
Untuk sejenak kedua orang tiada yang membuka
suara, keadaan hening sebentar, kemudian Siau Hong
berbangkit dan berkata lagi, "Lukamu sudah terang tak
bisa disembuhkan lagi, kamu telah membunuh suami
sendiri, dosamu kelewat takaran, biarpun dapat kucarkan
Sih-sin-ih juga aku tidak mau mengundangnya untukmu,
Hah, apa yang hendak kau katakan lagi?"
Mendengar orang bermaksud membunuhnya, Behujin
yang tadinya garang itu mendadak ketakutan,
katanya, "Amp. . . ampunilah diriku, jang. . . jangan
membunuhku."
"Baik, memang tidak perlu kuturun tangan sendiri, ujar
Siau Hong, lalu hendak tinggal pergi.
Melihat orang tanpa berpaling terus hendak
melangkah pergi, kembali rasa gusar nyonya janda
durhaka itu memuncak, ia berteriak lagi, "Kiau Hong, kau
anjing keparat! Dahulu aku dendam karena kamu tidak
sudi memandang barang sekejap padaku, maka aku
minta Tai-goan membunuhmu, tapi Tai-goan tidak mau,
kemudian aku menghasut Pek Si-kia membunuh Taigoan,
Dan kini. . . kini kamu masih tetap tidak tertarik
sedikitpun kepadaku!"
"Hm, kaubunuh suamimu sendiri, katanya aku yang
salah lantaran tidak sudi memandang sekejappun
padamu." jengek Siau Hong sambil membalik tubuh
1850
kembali, "Huh, dusta sebesar itu siapakah yang mau
percaya?"
"Sebantar lagi aku akan mati, buat apa kudustaimu?"
sahut Be-hujin, "Hm, kau pandang rendah padaku, maka
aku ingin membikin kamu bangkrut habis-habisan, biar
namamu rusak dan badanmu hancur, Telah kutemukan
surat wasiat Ong-pangcu dalam peti besi Tai-goan
hingga mengetahui seluk beluk mengenai dirimu, aku
minta Tai-goan supaya membongkar rahasiamu itu
didepan umam agar setiap ksatria didunia ini mengetahui
dirimu ini keturunan Cidan yang biadab itu, dengan
begitu jangan lagi kamu akan tetap menjadi Pangcu Kaipang,
bahkan untuk menancap kaki di Tionggoan juga
susah, malahan jiwamu juga akan sulit diselamatkan."
Walaupun Siau Hong tahu wanita itu sudah tak bisa
berkutik lagi, tapi demi mendengar ucapannya yang
begitu keji, tanpa terasa ia mengkirik juga, Tapi ia lantas
menjengek, "Hm, hanya disebabkan Tai-goan Hengte
tidak mau menuruti permintaanmu untuk membeberkan
rahasiaku, lantas kaubunuh dia?"
"Ya, bukan saja ia tidak mau menuruti permintaanku,
sebaliknya ia damprat aku habis-habisan." sahut Behujin,
"Padahal biasanya ia sangat menurut kepada apa
yang kukatakan, selamanya tidak pernah mendamprat
aku seperti itu, Sekali dia bikin dendam hatiku, celakalah
dia, Kebetulan esok paginya Pek Si-kia bertamu
kerumahku sini dan memandang padaku dengan
kesemsem, Hm, laki-laki mata keranjang demikian, apa
yang kukatakan tentu dilakukannya, masakah dia berani
menolak?"
1851
"Ai, seorang laki-laki perkasa sebagai Pek Si-kia
akhirnya menjadi korbanmu," kata Siau Hong dengan
gegetun. "Jadi kau. . . kau minumkan Sip-yang-bi-hunsan
kepada Tai-goan, lalu suruh Pek Si-kia meremas
tulang kerongkongannya agar orang menyangka dia
dibunuh dengan 'Soh-au-kim-na-jiu' oleh orang she
Buyung dari Koh-soh, demikian bukan?"
"Ya, memang! Hahaha, mengapa bukan begitu? Dan
kejadian selanjutnya kaupun sudah tahu semua, tidak
perlu kujelaskan lagi." sahut Be-hujin dengan terbahakbahak.
"Dan kipasku itu Pek Si-kia yang mencurinya, bukan?"
tanya Siau Hong lagi.
"Hahaha, memang benar," sahut Be-hujin.
"Dan tentang penyamaran A Cu yang begitu persis
itu, mengapa dapat kau ketahui pula?" tanya Siau Hong.
"Ya, mula-mula aku juga terkesiap oleh penyamaran
anak dara itu, kemudian sesudah aku berbisik beberapa
kata rayuan yang dijawab oleh dia secara ngawur, maka
aku lantas curiga dan mengetahui rahasianya,
memangnya aku lagi ingin membunuh Toan Cing-sun,
kebetulan aku dapat meminjam tenagamu." demikian
tutur Be-hujin. "Haha, Kiau Hong keparat, ilmu
penyamaranmu sesungguhnya terlalu rendah, sekali
kutahu kepalsuan anak dara celaka itu, segera aku pun
dapat mengenalimu, Hehehe, memangnya kau kira dapat
mengelabui mataku?"
1852
"Kematian nona Toan itu adalah gara-gara
perbuatanmu, maka akan kuperhitungkan atas utangmu."
ujar Siau Hong dengan mengertak gigi.
"Dia yang datang menipu padaku, dan bukan aku
yang menipu dia!" sahut Be-hujin, "Aku hanya mengikuti
siasatnya hingga dia termakan senjatanya sendiri, Coba
kalau dia tidak mencari padaku, bila kemudian Pek Si-kia
menjadi Pangcu, dengan sendirinya orang-orang Kaipang
akan bermusuhan dengan Toan Cing-sun, dan
keparat she Toan itu, hehe, lambat atau cepat juga dia
takkan lolos dari tanganku."
"Hm, kamu sungguh kejam, lelaki yang disukai
olehmu akan kaubunuh, sedang lelaki yang tidak mau
memandang dirimu juga akan kau bunuh." kata Siau
Hong.
"Habis, masakah didunia ini ada lelaki yang tidak suka
kepada wanita cantik? Huh, omong kosong belaka!
Masakah didunia ini ada laki-laki munafik seperti dirimu,"
jengek Be-hujin.
Tatkala mengucapkan kejadian yang membanggakan
itu, air muka Be-hujin tampak kemerah-merahan dan
bersemangat, tapi akhirnya tenaganya tak tahan,
suaranya mulai lemah dan napasnya mulai tersengalsengal.
"Untuk yang terakhir cuma ingin kutanya satu soal
padamu." kata Siau Hong kemudian. "Coba jawablah,
siapakah gerangan 'Toako pemimpin' yang menulis surat
kepada Ong-pangcu itu? Pernah kau baca surat wasiat
itu, tentu kau tahu namanya."
1853
"Hehehe, Kiau Hong, Kiau Hong! Akhirnya kamu
memohon padaku atau aku yang memohon padamu?"
sahut Be-hujin dengan tertawa dingin. "Kini Tai-goan
sudah mati, Ci-tianglo juga sudah mampus, Tio-ci-sun
telah mati pula, Tiat-bin-poan-koan Tan Cing juga sudah
mati, Tam Kong dan Tam-poh pun mati semua, Ti-kong
Taisu dari Thian-tai-san juga binasa, ya, semuanya
sudah mati, didunia ini kini hanya tinggal aku seorang
yang tahu siapa 'Toako pemimpin' penanda tangan surat
wasiat itu."
Hati Siau Hong berdebar-debar hebat, sahutnya, "Ya,
memang betul, akhirnya akulah yang mesti memohon
padamu, harap engkau sudi memberitahukan nama
orang itu padaku."
"Jiwaku sudah hampir tamat, kebaikan apa yang akan
kau berikan padaku?" sahut Be-hujin.
"Asal dapat dicapai oleh tenagaku, segala
permintaanmu pasti akan kuturuti," sahut Siau Hong.
"Apasih yang kuinginkan lagi?" ujar Be-hujin dengan
tersenyum, "Kiau Hong, aku dendam padamu karena
kamu tidak sudi memandang untuk sekejap saja padaku
hingga berakibat malapetaka seperti sekarang ini, Maka
bila engkau ingin aku beritahukan nama 'Toako
pemimpin' itu, hal ini tidak sulit, asal saja kau pondong
aku dan pandanglah padaku untuk beberapa jam
lamanya."
1854
Karuan Siau Hong berkerut kening, sudah tentu
hatinya seribu kali tidak sudi, tetapi didunia ini hanya dia
seorang yang tahu rahasia besar itu.
Dendam kesumat sendiri dapat dibalas atau tidak
hanya tergantung pada keterangan nyonya janda ini
nanti, padahal syarat yang dia minta itu bukanlah
sesuatu yang sulit, sekalipun syarat yang diminta itu
adalah urusan maha sukar juga terpaksa akan
diturutinya, Sedangkan jiwa nyonya janda itu hanya
tinggal sebentar lagi dan setiap saat bisa putus
napasnya, untuk memaksa atau memancingnya dengan
cara lain terang tiada gunanya, Jika nanti jiwanya
terlanjur melayang dulu, maka itu berarti lenyaplah satusatunya
harapan untuk mencari tahu nama musuhnya itu.
Karena itu, terpaksa ia berkata, "Baiklah, akan
kupenuhi keinginanmu."
Lalu ia pondong Be-hujin dan memandang mukanya
dengan sorot mata yang tajam, Tapi karena waktu itu
muka Be-hujin penuh darah dan kotor pula, ditambah
penderitaan selama semalam suntuk, air mukanya
menjadi pucat dan jelek sekali, untuk memondong saja
Siau Hong pun terpaksa, kini melihat wajah orang yang
begitu rupa, mau tak mau ia berkerut kening.
Be-hujin menjadi gusar, dampratnya, "Kenapa? kau
merasa muak memandang padaku, ya?"
Terpaksa Siau Hong menjawab, "Tidak!"
1855
Selama hidup Siau Hong tidak pernah berdusta, kini
terpaksa ia mesti mengucapkan apa yang bertentangan
dengan perasaannya.
"Bila benar kamu tidak merasa muak padaku, cobalah
mencium pipiku," pinta Be-hujin tiba-tiba.
"Mana boleh jadi," sahut Siau Hong tegas, "Engkau
adalah isteri saudaraku Tai-goan, sebagai seorang
ksatria mana boleh kugoda janda saudara angkat
sendiri?"
"Hehe, kamu ksatria? Kau orang sopan? Seorang
alim?" demikian Be-hujin menjengek. "Tapi mengapa kau
pondong diriku seperti ini. . . . ."
Pada saat itulah, mendadak diluar jendela terdengar
orang mengikik tawa dan berkata, "Hihi, Kiau Hong,
kamu benar-benar manusia yang tidak tahu malu, Sudah
membinasakan Enciku, sekarang kau pondong dan
hendak main gila dengan gundik ayahku, kaupunya
muka atau tidak?"Jelas itulah suara A Ci.
Tapi Siau Hong merasa perbuatannya cukup dapat
dipertanggung-jawabkan, maka olok-olok anak kecil itu
tak dihiraukannya, bahkan ia mendesak pula kepada Behujin,
"Lekas katakan, siapakah gerangan 'Toako
pemimpin' itu?"
"Kuminta kau pandang mukaku, mengapa kamu
berpaling kearah lain?" kata nyonya janda itu dengan
suara merdu merayu.
1856
Sementara itu A Ci sudah masuk kedalam, katanya
dengan tertawa, "Hah, kiranya kamu belum mampus?
Mukamu jelek seperti siluman begini, lelaki mana yang
sudi memandang lagi padamu?"
"Apa katamu?" seru Be-hujin dengan suara terputusputus.
"Kau. . . kau bilang mukaku sejelek siluman?
Cermin, mana cermin?"
"Lekas katakan, siapakah 'Toako pemimpin' itu?
Habis kaukatakan segera kuberi cermin." sahut Siau
Hong.
Tapi A Ci sudah lantas mengambilkan sebuah cermin
diatas meja dan dihadapkan kemuka Be-hujin dan
berkata, "Nah, lihatlah sendiri, lihatlah apa kamu cantik?"
Ketika melihat bayangan sendiri ditengah cermin itu
berwujud wajah yang kotor dan berlepotan darah, gemas,
takut, beringas dan penuh dendam, semua perasaan
jahat dan buruk tertampak pada air muka sendiri yang
tadinya cantik molek menggiurkan, seketika mata Behujin
mendelik lebar-lebar untuk tidak pernah terpejam
lagi.
"A Ci, lekas singkirkan cermin, jangan membuat dia
murka." ujar Siau Hong.
"Aku ingin dia lihat betapa cantik mukanya sendiri!"
sahut A Ci.
"Jangan, kalau dia sampai mati murka, tentu urusan
bisa runyam." seru Siau Hong.
1857
Namun segera ia merasa badan Be-hujin sudah tak
berkutik lagi, napasnya juga sudah berhenti, waktu ia
periksa nadinya, nyata orangnya memang sudah mati.
Karuan Siau Hong terkejut, serunya, "Wah! celaka, ia
benar-benar sudah mati!"
Mendengar seruan yang mirip orang tertimpa malang
itu, A Ci menjadi kurang senang, ia mencibir dan berkata,
"Huh, engkau tentu sangat suka padanya, ya? Kematian
perempuan bejat seperti ini masakah ada harganya untuk
diributkan?"
"Ai, anak kecil tahu apa?" ujar Siau Hong sambil
mengentak kaki, "Aku justru lagi tanya sesuatu padanya,
didunia ini hanya tinggal dia seorang yang tahu, Bila
tidak kau ganggu urusan ini, tentu sekarang dia sudah
mengaku."
"Baiklah, kalau begitu biarlah kubelajar kenal dengan
Ong-pangcu punya Hang-liong-sip-pat-Ciang (delapan
belas jurus pukulan penakluk naga) dan Pak-kau-panghoat
(ilmu pentung penggebuk anjing), supaya para
ksatria yang hadir dapat kenal betapa hebatnya
kepandaian Kai-pang yang kesohor itu," kata Hian-cu
sambil bersiap-siap.
Goan-ci tampak melengok dan menyurut mundur
malah. Sebab walaupun dia telah menjadi Pangcu, tapi
Hang-liong-sip-pat-ciang dan Pak-kau-pang-hoat yang
dikatakan itu boleh dikatakan sejurus pun tidak bisa. Ia
pernah dengar bahwa kedua macan kungfu itu biasanya
mesti diajarkan oleh Pangcu lama kepada Pangcu baru,
maka kedua macam ilmu itu disebut "Tin-pang-sin-kang"
(ilmu sakti pemimpin). Terkadang Hang-liong-sip-pat-
Ciang itu juga diajarkan kepada anggota biasa,
sebaliknya Pak-kau pang-hoat hanya diajarkan kepada
Pangcu saja. Boleh dikatakan setiap Pangcu Kai-pang
selama beratus tahun ini tiada satu pun yang tidak mahir
dua macam kepandaian itu. Sekarang Goan-ci disuruh
untuk mengunakan kedua macam ilmu silat yang tak
dipahaminya, sudah tentu la merasa serba susah.
Melihat sikap Goan-ci itu, segera Hian-cu menambahi
lagi, "Aku adalah ketua Siau-lim-si dan tentu akan
menggunakan kepandaian utama golongan kami seperti
Kim-kong-pan-yak-ciang untuk coba-coba dengan Hangliong-
sip-pat-ciang kalian dan Hok-mo-siang-thong untuk
melawan Pak kau pang-hoat Ong-pangcu. Cuma, ai
sungguh sangat disayangkan, selama ini di antara dua
golongan kita hanya saling tukar pikiran saja dan
selamanya tidak pernah digunakan untuk saling gebrak.
Tapi sekarang terpaksa mesti kulayani Ong-pangcu,
sungguh menyesal sekali."
Para ksatria merasa kagum dan hormat terhadap
ucapan Hian-cu yang luhur budi itu. Segera tampak jubah
Hian-cu mulai bergoyang, kedua tangannya terangkap di
depan dada, lalu didorong maju pelahan itulah salam
pembukaan ilmu pukulan Pan-yak-ciang.
Goan-ci juga tidak banyak omong segera telapak
tangan kirinya menghantam, menyusul tangan kanan
juga memotong ke depan dengan cepat sekali. Tenaga
pukulan yang susul menyusul itu memang sangat hebat
dan aneh. Maka terdengarlah suara beradunya tenaga
pukulan, menyusul terdengar suara "brat-bret" dua kali
tahu-tahu kedua ujung ikat pinggang Hian-cu terputus
dan melayang ke kanan-kiri.
Kiranya tanaga pukulan kedua tangan Goan-ci itu
mencakup lingkaran yang sangat luas ketika tenaga
pukulannya sebagian dipatahkan oleh pukulan Hian-cu,
maka ujung kain ikal pinggang Hian cu yang berkibaran
itu terkupas putus oleh tenaga pukulan Goan-ci yang
menyambar lewat ke samping itu.
Menyaksikan gebrakan itu, terentak pula ksatria dan
padri Siau-lim-si lama berteriak-teriak, “ini kan
kepandaian jahat Sing-siok-pai dan bukan Heng liongsip-
pat-ciang!"
“Ya, itu bukan kepandaian asli Kai-pang!”
Bahkan di antara anggota Kai-pang juga ada yang
berteriak, "Kita bertanding dengan Siau-lim-pai, maka
kita tidak boleh memakai ilmu jahat golongan lain! Benar,
harus menggunakan Heng-liong-sip-pat-ciang! Kenapa
memakai ilmu jahat golongan lain, membikin malu Kaipang
saja!"
Gebrakan pertama itu sebenarnya Goan-ci lebih
unggul, tapi demi mendengar teriakan-teriakan itu. ia
menjadi ragu sehingga jurus kedua tak bisa dilancarkan
lagi. Sebaliknya orang 'Sing-siok-pai lantas berseru,
"Nah, sudah terang ilmu sakti Sing-siok-pai jauh lebih
hebat, buat apa mesti memakai Heng-liong-sip-pat-ciang
apa segala yang tak berguna!"
"Ayo, Ong-suheng, maju dan labrak lagi, bikin keok
dia!"
Seketika suara sanjung puji "Sing-siok losian maha
sakti” lantas bergema pula.
Di tengah suara riuh ramai itu sekonyong-konyong
dari bawah gunung berkumandang suara seorang yang
keras dan lantang, "Siapa bilang ilmu silat Sing-siok-pai
jauh lebih hebat daripada Hang-liong-sip-pat-ciang?"
Begitu lantang dan nyaring suara itu sehingga suara
ribut orang banyak tersirap seketika. Dengan terkejut
semua orang sama tutup mulut. Maka terdengarlah suara
derapan kuda yang ramai, belasan penunggang kuda
secepat angin telah menerjang tiba.
Penunggang-penunggang kuda itu seluruhnya
memakai mantel sutra merah, orangnya gagah dan
kudanya tangkas, semua kuda pilihan berwarna hitam
mulus. Sesudah dekat, pandangan semua orang merasa
silau. Ternyata tapal kuda itu semuanya terbuat dari
emas.
Jumlah penunggang kuda itu seluruhnya 19 orang.
Meski tidak banyak, tapi pembawa mereka melebihi
suatu bárisan besar.
Sesudah dekat, 18 penunggang kuda itu lantas
memisah kedua sisi, tinggal penunggang kuda yang
paling belakang masuk terus menyusur maju dengan
cepat.
Melihat penunggang kuda itu, serentak orang-orang
Kai-pang berteriak-teriak, "Siau-pangcu!, Siau-pangcu!"
Menyusul sebagian besar di antara mereka lantas
merubung maju untuk memberi hormat.
Kiranya panunggang kuda ini memang benar adalah
Siau-hong. Sama sekali tak terduga olehnya bahwa
meski dia sudah dipecat tapi sekarang masih ada
anggota Kai-pang sebanyak ini yang menyembah
padanya. Saking terharunya sampai tak tertahan
mengambang air matanya, cepat ia melompat turun dari
kudanya dan balas menghormat.
Segera katanya, “Orang Cidan Siau Hong telah
dipecat dan sudah tiada hubungan lagi dengan Kai-pang
mana boleh para saudara tetap menyapa dengan
sebutan lama? Selama berpisah tentu saudara baik-baik
saja bukan?”
Anggota-anggota Kai-pang yang memberi hormat itu
sebagian besar adalah murid berkantung tiga dan empat
yang masih muda dan berjiwa lebih dinamis apa yang
mereka pikirkan segera dilaksanakan. Karena mereka
masih sangat menjunjung pribadi Siau Hong yang luhur
budi dan gagah perwira itu maka begitu bertemu
serentak mereka tetap memanggilnya sebagai "Kiaupangcu”,
mereka lupa bahwa "Kiau-pangcu" itu sudah
3431
dipecat bahkan adalah bangsa Cidan yang merupakan
musuh besar mereka.
Karena jawaban Siau Hong itu, segera ada sebagian
yang menunduk kepala dan mengundurkan diri, tapi
masih tetap ada sebagian yang berkata pula. "Engkau
juga baik-baik, Kiau . . . Kiau . . . . Selama berpisah ini
sungguh kami selalu terkenang Padamu!"
Kedatangan Siau Hong ke Tionggoan ini memang
disengaja, pengiring-pengiringnya itu adalah “18 ksatria
penunggang kuda” yang merupakan jago pilihan bangsa
Cidan. Dahulu Siau Hong hampir mati dikeroyok orang
banyak di Cip-hian-ceng, untung dia ditolong oleh
seorang ksatria berbaju hitam. Hal ini menandakan
bahwa betapa pun tinggi ilmu silatnya juga susah
melawan orang banyak yang berjumlah ratusan. Tapi
sekarang ia membawa 18 jago, apalagi kuda tunggangan
mereka juga kuda pilihan, bila perlu mereka tidak sulit
melarikan diri dengan mencamplok kuda.
Ketika masih di bawah gunung tadi Siau Hong sudah
mendengar teriakan orang sing-siok-pai yang membual
bahwa ilmu sakti Sing-siok-pai jauh lebih hebat dari pada
Hang-liong-sip-pat-ciang hal ini membuatnya marah
sekali. Mesti bukan anggota kai-pang lagi, tapi ia tidak
terima kalau Hang-liong-sip-pat-ciang yang lihai itu dihina
orang. Bahkan sekilas iapun melihat Ting jun-jiu
menawan seorang dara cilik berbaju ungu yang segera
dikenalnya sebagai a Ci.
Kedatangannya di Tiongoan ini antara lain juga
hendak mencari A Ci. Sekarang melihat anak dara itu
ditawan orang, seketika teringat olehnya pesan terakhir A
3432
Cu yang minta dia menjaga baik-baik adik perempuannya
itu. Tanpa piker lagi segera ia mendekati Ting-lokoai
sekali tangan kirinya terangkat, kontan ia hantam
kedepan dengan gerakan ''Gang- liong-yu-hwe", salah
satu jurus Hang-liong-sip-pat-ciang yang ampuh.
Waktu Siau hong menyerang, jaraknya dengan Ting
Jun-jui masih belasan meter jauhnya, tapi karena
datangnya terlalu cepat sehingga dimana tenaga
pukulannya sampai tahu-tahu jarak mereka hanya tinggal
beberapa meter saja.
Ting-lokoai juga sudah kenal nama “Lam Buyung dan
Pak Kiau Hong” yang tersohor, maka dia pun tidak berani
memandang enteng lawan. Ketika melihat Siau Hong
mulai menyerang dari jauh, sekali-kali tak terduga
olehnya bahwa dirinya yang dijadikan sasaran, apalagi
menyusul Siau Hong juga melesat maju dan kembali
menyerang dengan jurus kedua "Gang liong-yu hwe" di
lancarkan,jadi tenaga pukulan pertama didorong oleh
tenaga pukulan kedua, karuan bagaikan gugur gunung
dahsyatnya.
Hanya sekejap saja Ting-lokoai merasa, dadanya
sesak, napas susah, tenaga pukulan lawan sungguh
bagai air bah yang melanda dan tak terbendungkan
seakañ-akan dirinya dan A Ci akan tenggelam di tengah
gelombang tenaga itu.
Dalam kagetnya Ting-lokoai tidak sempat memikirkan
cara paling sempurna untuk melayani serangan itu. Tapi
ia tahu kalau menangkís dengan sebelah tangan saja
tentu bukan mustahil tangan sendiri akan patah boleh
jadi otot tulang seluruh badan akan tergetar remuk.
3433
Sementara itu pukulan lawan yang dahsyat sudah tiba
dalam keadaan genting ia terpaksa ia melemparkan A Ci
ke atas, berbareng kedua tangannya terus bergerak
untuk berjaga di depan dada, sedangkan ujung kakinya
menutuk pelahan dan melompat mundur.
T¡ba-tiba Siau Hong menyusul serangan "Gang-liongyu-
hwe” yang ketiga belum lenyap tenaga pukulan yang
lebih dahulu, segera tenaga pukulan lain sudah
membanjir lagi.
Lokoai tidak berani menangkisnya dengan keras
lawan keras, ia miringkan pukulannya sehingga kedua
tenaga pukulan Cuma saling senggol saja. namun begitu
Lokoaí merasa lengannya linu pegal dan napas sesak,
capat ía melompat mundur düa-tiga meter jauhnya
sambil mengerahkan hawa berbisa di tangannya untuk
berjaga jaga kalau lawan mendesak maju.
Namun dengan pelahan Siau Hong tangkap dulu A Ci
yang sementara itu baru jatuh dari udara sekalian ia
membuka hiat-to si nona yang tertutuk tadi.
Sejak A Ci ditawan Ting Jun-jiu, walaupun matanya
tak bisa melihat dàn mulut tak dapat bicara, namun
segala apa yang terjadi di sekelilingnya dapat
didengarnya dengan jelas, Maka begitu hiat to terbuka,
dengan girang segera ia berseru, "Cihu yang baik,
banyak terima kasih atas pertolonganmu!”
Bila teringat anak dara Itu mengeluyur pergi tanpa
pamit sehingga dirinya dibikin kelabakan mencarinya,
sungguh anak dara yang terlalu nakal, maka Siau Hong
menjadi gregatan, "plok", ia gaplok sekali pantat anak
3434
dara itu sambil mengomel, “kenapa kaupergi tanpa bilang
bilang padaku snggaeh aku bingung mencarimu ke
mana-mana?"
Keruan A Ci kesakitan dan berkeok-keok “Aduh cihu
busuk, kenapa engkau memukul orang?”
"Biar, aku justru ingin menghajarmu budak nakal ini!"
kata Siau Hong.
Ketika A Ci berpaling dan sekilas dilihatnya kedua
bola mata anak dara Itu buram tak bersinar terang sudah
buta, sungguh kaget Siau Hong tak terhingga serunya,
"Hei kau . . . matamu kenapa?”
"Tidak apa-apa, biar kenapa kaupusing?" sahut A Ci
dengan uring-uringan.
Dengan munculnya Siau Hong tadi, para ksatria
Tionggoan menjadi panik bila teringat pada kejadian di
Cip-hian-ceng dahulu di mana berpuluh kawan mereka
telah dibinasakan Siau Hong. Mereka menduga sebentar
tentu sukar terhindar pertempuran mati-matian pula.
Kemudian ketika mereka menyaksikan dengan sekalidua
gebrak saja Siau Hong telah mengalahkan Sing-siok-
Lokoai yang malang melintang, tadi seketika mereka
saling pandang dengan kagum dan kuatir pula.
Sebaliknya ada sebagian anggota Sing siok-pai yang
tidak kenal malu masih berani mencaci-maki Siau Hong
dan ada yang menyanjung puji lokoai.
Di sebelah lain Goan-ci merasa jeri juga dengan
datangnya Siau Hong, ketika dilihatnya A Ci digaplok dan
diomeli Síau Hong, ia menjadi tidak tahan dan segera
3435
melompat maju serta berkata, "Lekas lepaskan nona A
Ci."
"Síapa kau?" tanya Siau hong sambil menurunkan A
Ci ketanah.
Dahulu Goan-ci sering bertemu dengan Siau Hong
ketika berada di negeri Liam, tapi sekarang muka Goanci
sudah berubah sama sekali, kedudukannya juga sudah
lain, sudah tentu Goan-cí tidak perlu takut lagi padanya.
Namun permbawa Siau Hong sebagai "Lam-ih Tai-ong"
terlalu berakar dalam lubuk hatí Goan ci, apalagi Siau
Hong telah menyelamatkan A Ci dengan gagah perkasa,
budi kebaikan ini bagi Goan-ci melampaui dendam
terbunuhnya orang tua. Karenai ítu Goan-ci menjadi
kalah pembawa lebih dulu dan menjawab dengan
tetgagap, "Aku adalah . . . adalah Ciangbun Kek-lok-pai,
Kai-pang Pangcu Ong .... Ong Sing Thian.” tapi di antara
anggota Kai-pang sagera ada orang berteriak, "Kamu
südah mengangkat guru pada Sing-siok Lokoai, mana
boleh mengaku sebagai Pangcu lagi!"
“Akulah Ciangbun Slng-siok-pai yang sesungguhnya,"
kata A Ci. "Ong-pangcu tadi cuma menjura kepada Singsiok
Lokoai dengan 'Kap-tan-hoa-Hiat kang (ilmu
meluluhkan darah musuh dengan menjura), apakah
kalian sangka dia sungguh-sungguh ingin menjadi murid
Lokoai? Justru Lokoai yang telah diselomoti, tidak lebih
dari tiga hari seluruh badan Ting-lokoal akan hancur luluh
menjadi darah. Kalau kalian tidak percaya boleh lihat saja
nanti!"
Dasar memang jebolan murid Sing-siok pai,
kepandaian A Ci dalam hal membual dan membohong
3436
dengan sendirinya sangat pintar. Maka orang orang Kai
pang menjadi ragu mereka tahu Sing-siok-pai memang
memiliki macam-macam ilmu jahat dan berbisa, apa yang
dikatakan A Ci memang bukan mustahil.
Sebaliknya Siau Hong tahu A Ci sengaja ngaco-belo
lagi, sekilas ia lihat Toan Cing-sun dan Wi Sing tiok juga
berada di situ, ia menjadi girang dan segera berseru,
"Kiranya Tin lam ong juga berada di sini biarlah putrimu
ini kuserahtkan kepada kalian untuk diberi pendidikan
sebaik-biaknya."
Lalu ia gandeng tangan A Ci ke arah Toan Cing-sun,
pelaban ia dorong anak dara itu ke depan dan segera
dirangkul oleh Wi Sing tiok dengan air mata berlinang
linang.
“O, anakku, ken . . . kenapa keduá matamu ini?” tanya
Sing-tiok dengan menangis.
Sebaliknya A Cì tiada mempunyai rasa kasih sayang
kepada ayah bundanya, maklum sejak kecil ia tidak
pernah merasakan kasih saying orang tua. Dasar
wataknya tidak mau kalah, maka ia pun tidak mau
mengakü kedua matanya ítu díbutakan oleh Ting jun-jiu,
dengan suara keras ia menjawab, “ aku sendiri sengaja
membutakan mataku karena aku sedang melatih
semacam ilmu gaib Sing-siok-pai Ting-lokoai sendiri pun
tidak mampu melatih ilmu ini.”
Dalam pada ítu Toan Ki juga sangat girang atas
munculnya Síau Hong, cumu dia belum sempat menyapa
sang Toako karena Siau Hong lagi melabrak Ting Jun jiu,
Ia heran ketika mengetahuí bahwa nona buta itu oleh
3437
Siau Hong dikatakan sebagai putri ayahnya. Tapi la pun
tahu sifat sang ayah yang romantis, segera ia dapat
menduga hubungan ayahnya dengan Wi Sing-tiok.
Sesudah A Ci diserahkan kepada orang tuanya oleh
Siau Hong, segera Toan Ki tampil kemuka dan berseru.
“Toako, bàik-baikkah selama berpisah sungguh sangat
merindukan adikmu ini?”
Sejak Siau Hoing angkat saudara dengan Toan Ki,
walaupun singkat sekali waktu berkumpul mereka, tapi
Siau Hong tetap sangat simpati dan suka sekali kepada
Toan Ki, segera ia pegang kedua tangan adïk angkat îtu
dan menjawab, “banyak sekàli kejadian sesudah
berpisah dan susah diceritakan dalam sekejap untung
kita sama-sama dalam keadaan baik-baik semua."
Belum lagi mereka sempat bicara lebîh banyak tibariba
terdengar teriakan orang banyak yang mencaci-maki
Siau Hong, "Hai, orang she Kiau, kamu telah membunuh
saudaraku sakit hati itu belum terbalas, biarlah hari ini
aku mengadu jiwa denganmu!”
"Ya, Kiau Hong adalah anjing Cidan yang harus kita
bunuh bersama, hari inl tidak boleh lagi dià lolos dari
Siau-sit-sian ini!"
Menyusul banyak lagi caci-maki yang menuduh Siau
Hong membunuh ayah atau putranya, semua ingin
memuntut balas atas korban yang dahulu pernah
dibunuh oleh Siau Hong di Cip-bian-ceng.
Makin lama makin banyak yang mendamprat dan
memakì, bukan mustahil dalam sekejap lagì akan terjadi
3438
pertempuran ramai pula. Sebaliknya rombongan Siau
Hong hanya 18 orang saja ia pun bermusuhan dengan
Kai-pang, Siau-lim-pai dan Sing siok-pai, kalau sampai
terjadi pertempuran itu berarti Siau Hong ber-l8 orang
harus menandingi seribu orang pasti sukar baginya untuk
meloloskan diri.
Namun Siau hong tidak gentar, dengan suara lantang
ia berseru. “Kedatangan Siau Hong ini mestinya ada
suatu urusan dengan Siau-lim-si jika kalian ingin
membunuh orang she Siau ini, apa kalian mampu atau
tidak boleh dicoba nanti, tapi saat ini aku belum sempat
melayani kalian.
Dalam keadaan rebut sudah tentu para ksatria
Tionggoan itu tidak mau menunggu iagi, segera ada
beberapa orang yang kasar melontarkan caci maki yang
kotor dan keji. Dan karena hasutan dan bermain-main
mereka lantas merubung maju hendak mengerubut.
Sebelumnya Siau Hong tidak menduga bahwa dì Siau
sit-san telah berkumpul musuh sebanyak itu, sskarang
sudah tentu ia pun pantang mundur, Tapi ia lihat para
ksatra itu kebanyakan adalah kawan lama, ia kenal
mereka sebagai ksatria yang gagah perwira, sebabnya
mereka memusuhi dirinya adalah lantaran dia di anggap
bangsa Cidan, pula ada orang sengaja menghasut dan
mengadu-domba sehingga terjadi salah paham
pembunuh yang pernah terjadi di Cip-hia-ciang itu
sesungguhnya bukan maksud hatinya kalau hari ini
terjadi pertarungan sengit pula susah memperoleh
kemenangan, andaikan dirinya dapat eloloskan diri, tapi
ksatria-ksatria yang dia bawa serta itu pasti sulit lolos.
Sebaliknya kalau para ksatria Tionggoan itu terbunuh
3439
lebih banyak, hal ini berarti memperdalam permusuhan
dan makin menyakitkan hati, lalu apa gunanya semua
ini?
Karena pikiran itu, segera Siau Hong mengambil
keputusan, "Di depan orang sebanyak ini terpaksa
urusan yang hendak kutanyakan kepada Siau-Lim-si
harus ditunda dulu dan sementara ini lebih baik aku
menghindarkan diri saja supaya tidak terjadi banjir darah
lagi. Bila keadaan di sini sudah tenang kembali barulah
aku akan dtang ke sini pula."
Sesudah mengambil keputusan itu, segera ia berkata
kepada Toan Ki, "Adik yang baik, adaan sekarang sangat
gawat dan susah bagi kita untuk bicara, sementara ini
adik boleh menyingkir dahulu, tempo masih banyak,
biarlah kita bertemu lagi lain hari."
Maksud tujuan Siau Hong adalah minta Toan Ki
menyingkir ke samping agar sebentar bila musuh
menerjang ke bawah gunung Toan Ki takkan ikut terbawa
bawa di tengah pertempuran.
Tapi biarpun Toan Ki tidak mahir ilmu namun
wataknya sangat gagab berani. Ia lihat ksatria yang
berjumlah ribuan orang itu hendak membunuh kakak
angkatnya, tanpa terasa timbul rasa keadilannya, dengan
suara keras ia berteriak, “Toako, pada waktu kita
mengangkat saudara apa yang telah kita ucapkan?
Bakankah kita telah bersumpah ada rejeki dibagi
bersama, ada kesukaran dipikul berbareng. Kita tidak
dilahirkan pada hari dan Waktu yang sama, tapi rela mati
pada hari dan waktu yang sama. Hari ini Toako
3440
menghadapi kesukaran manakah adik harus berpeluk
tangan dan takut mati!”
Dahulu dalam setiap kali terancam selalu Toan Ki
dapat menyelamatkan diri dengan langkah aJaib leng
Po-wi-poh. Tapi sekarang ia sama sekali tidak
memikirkan atau menyelamatkan diri, semakin
berbahaya keadaannya semakin teguh tekatnya gugur
bersama Siau Hong untuk memenuhi kéwajibannya
sebagai saudara angkat yang sehidup semati.
Hampir seluruh ksatria Tionggoan itu tidak kenal
macam apakah tokoh Toan Ki itu, tapi melihat dia
mengaku sebagai saudara angkat Siau Hong dan
bertekat membantunya, sudah tentu tiada seorang pun
yang jeri pada pemuda yang muda belia dan lemah itu.
Maka Siau Hong berkata pula,'"Adikku yang baik,
sungguh aku sangat berterima kasih pada maksudmu
yang luhur ini. Tapi rasanya tidaklah gampang bila
mereka ingin membunuh aku. Maka lebih baik lekas
engkau menyingkir saja agar aku nanti tidak
menguatirkan keselamatanmu sehingga tidak leluasa
melabrak musuh."
“Engkau tidak perlu menguatirkan diriku.” sàhut Toan
Ki, "Aku toh tiada punya permusuhan apa-apa dengan
mereka membunuhku?“
Siau Hong menjadi serba salah menghadapi saudara
angkat yang polos itu, pikirnya dengan rasa pilu, “Jika di
dunia ini orang mau bicara tentang permusuhan atau
tidak, tentu dunia ini akan aman tentram dan tiada
percekcokan.“
3441
Dalam pada itu di sebelah sana Toan Cing-sun juga
sedang pesan kepada Hoan Hua dan lain-lain agar
sebentar bila Siau Hong terancam bahaya, mereka harus
menyelamatkan secepat mungkin untuk membalas budi
pertolongan Siau Hong dahulu. Sudah tentu Hoan Hun
dm lain-lain mengiakan dan siap siaga menghadapi
segala kemungkinan.
Di pihak lain Buyung Hok juga lagi berunding dengan
kawan-kawannya, Sebenarnya Kongya Kian sangat
kagum sekali kepada pribadi Siau Hong sejak
perkenalannya waktu berlomba minum arak dahulu,
maka ia menganjurkan memberi bantuan kepada Siau
Hong. Begitu pula Pau-Put tong dan Hong Po-ok juga
sangat kagum terhadap Siau Hong, maka mereka pun
menyetujui usul Kongya Kian.
Sebaliknya Buyung Hok sendiri berpendapat lain,
katanya, "Saudara-saudara sekalian, kita harus
mengutamakan pembangunan kerajaan Yan Raya kita
sebagai tugas utama dan jangan tertarik kepada Siau
hong seorang dan harus bermusuhan ksatria sejagat."
"Ucapan Kongcu memang benar," kata Ting Pekjwan.
"Dan cara bagaimana kita harus bertindak?"
"Kita harus menarik simpati orang banyak agar
berfaedah bagi pergerakan kita kelak," kata Buyung Hok,
Habis itu, mendadak ia bersuit keras dan tampil ke muka,
serunya dengan lantang, "Siau-heng, engkau adalah
ksatria Cidan dan terlalu memandang enteng kapada
para ksatria Tionggoan kami, maka hari ini biarlah orang
she Buyung dari Koh-soh belajar kenal dulu dengan
3442
kepandaianmu. Kalau aku harus mati di bawah tangan
Siau-hong juga cukup berharga, paling dikit aku telah
berjuang bagi sesama kawan ksatria Tionggoan. Nah,
silakan Siau-heng mulai.''
Ucapan Buyung Hok ini sesungguhnya segaja
diperdengarkan kepada ksatria Tionggoan, Sebab
dengan demikian biarpun nanti kalah atau menang tentu
para ksatria akan memandang Buyung Hok sebagai
kawan sehidup semati mareka.
Benar juga, demi mendangar kata-kata Buyung Hok
ítu, serentak bergemuruhlah suara sorai puji orang
banyak. Maklum, meski mereka ada maksud hendak
mengerubut Siau Hong, tapi sejak tadi tiada seorang pun
berani bertindak lebih dulu, mereka kenal betapa lihainya
Siau Hong, sekali sudah bergebrak, maka beberapa
orang yang maju lebih dulu dapat dipastikan akan binasa
oleh pukulan bekas Pangcu Kai-pang itu. Sekarang tibatiba
Buyung Hok tampìl ke muka lebih dulu, keruan
mereka sangat senang dan bersemangat.
Nama "Pak Kiau Hong dan Lam Buyüng juga sudah
lama didengar Siau Hong sendiri, ia tahu ilmu silat
keluarga Buyung tentu bukan main hebatnya, Sekarang
keluarga Buyung menantangnya, tentu saja Siau Hong
terperanjat, Walaupun tidak gentar, tapi ia menduga pasti
akan menjadi pertarungan sengit.
Segera ia pun memberi salam dan menjawab "Sudah
lama kudengar nama Buyung-kongcu yang tersohor,
sungguh sangat beruntung hari ini dapat berkenalan di
sini."
3443
"Buyung-heng, dalam hal ini terang kaulah yang
salah!" tiba-tiba Toan Ki berseru "Siau-toako sendiri baru
sekarang kenal dirimu dan selama ini kalian tiada
permusuhan apa-apa, mengapa engkau sengaja ikut
memusuhi Toako tatkala ia harus menghadapi musuh
sebanyak ini.“
"Wah, rupanya Toan heng hendak menjadi ksatria
pembela keadilan ya? Jika perlu, ayo boleh maju
sekalian!" demikian sahut Buyung hok degan mengejek.
Memangnya dia sudah merasa sirik karena Toan Ki
selalu merecoki Giok-yan maka sekarang rasa
dongkolnya telah dilampiaskan sekalian.
Tapi Toan Ki menjawab, "Kepandaian apa yang dapat
menandingimu? Akú hanya bicara secara adik saja."
Dalam pada itu Ting Jun-jiu yang dihantam mundur
olah Siau Hong tadi telah maju kembali. la mengakak
tawa dan berkata, "Orang she Siau kulihat engkau masih
terlalu muda, maka tadi aku mengalah tiga Jurus
padamu, tapi jurus keempat ini aku tak dapat mengalah
lagi."
Juga Goan-Ci lantas melangkah maju, katanya
kepada Siau Hong, "Aku Ong Sing-thian mengucapkan
terima kasih padamu karena engkau telah
menyelamatkan nona A Ci. Tetapi sakit hati pembunuhan
orang tua sedalam lautan, hari ini jangan kauharap dapat
lolos dengan hidup dari sini orang she Siau!"
Sementara itu Hian-seng Taisu dari Siau-lim-pai diamdiam
juga telah memberi perintah agar lo-han-tui-tín siap
3444
siaga dan menjaga jalan penting dengan kuat agar Siau
Hóng tidak dapat lolos.
Melihat tiga tokoh terkemuka telah mengepung
dirinya, begitu pula para padri Siau-lim-pai tampak
berjaga-jaga dengan rapat keadaan íní terang jauh lebih
berbahaya daripada pertempuran di Cap-hian-ceng
dahulu. Dan sebelum Siau Hong dapat mengambil
tindakan apa-apa, mendadak terdengar suara kuda
meringkik ngeri, 19 ekor kuda bagus tunggangan mereka
tahu-tahü telah roboh semua dengan mulut berbuih dan
binasa.
Karuan Siau Hong kaget, Sedangkan ke-18 ksatria
Cidan tampak membentak-bentak dan lantas menyerang
sehingga dalam sekejap saja belasan orang Sing-siokpai
telah terbunuh, selebihnya lantas ngacir
menggabungkan diri dengan kawan-kawannya.
Kiranya pada waktu ting jun-jiu maju menantang Siau
Hong lagi, maka anak buahnya juga lantas bertindak
dengan membunuh kuda tunggangan Siau Hong dan
kawan-kawannya dengan menggunakan racun. Dengan
demikian Siau hong dipaksa menghadapi jalan buntu
karena tak bisa kabur dengan menunggang kuda lagi.
Melihat kuda kesayangannya mati secara
menggenaskan di tangan kawanan pengecut itu, seketika
darah panas Siau Hong bergolak dan timbul seketika jiwa
ksatrianya dengan bersuit panjang ia berkata, "Buyungheng,
Ong-pangcu, Ting-lokoai. ayolah kalian maju
sekaligus saja, masakah orang she Siau ini gentar
padamu!"
3445
Karena dia gemas kepada orang-orang Sing-siok-pai
yang keji itu, kontan pukulan pertama ia keluarkan ke
arah Ting Jun-jiu.
Ting-lokoai sudah kenal betapa lihainya Siau Hong,
cepat ia keluarkan kedua tangannya untuk menangkis
dengan sekuatnya.
Tapi Siau Hong sekalian menggeser tenaga pukulan
kedua orang dan memotong miring ke jurusan Buyung
Hök.
Kepandaian Buyung Hok yang paling hebat adalah
memutar balikkan serangan musuh untuk menyerang
kembali kepada musuh. Tapi sekarang pukulan Siau
Hong membawa tenaga dua orang yang maha dahsyat,
pula datangnya miring dari samping sehingga entah
tempat mana yang diincar, Buyung Hok menjadi susah
untuk menghadapi serangan ini, terpaksa ia kerahkan
segenap tenaga, kedua tangan memapak ke depan dan
berbareng ia pun melompat mundur dua-tiga meter
jauhnya.
Sedikit Siau Hong mengegos sehingga pukulan
Buyung Hok terhindar, mendadak ia menggertak dengan
suara menggeledek, kepalan menjotos lurus ke depan
pada Goan ci. Karena perawakan Siau Hong tinggi besar
sehingga hampir lebih tinggi satu kepala daripada Goanci,
maka jotosan itu jadi mengarah muka Goan-ci.
Memangnya Goan-ci sudah jeri menghadapi Siau
Hong, ia menjadi kaget pula ketika mendengar suara
gertakannya. Apalagi serangan Siau Hong itu datangnya
mendadak, sebelumnya ia baru menghantam Ting Jun-
3446
Jiu dan Buyung Hok, tahu-tahu menjotos pula ke arah
Goan-ci, tiga kali serangan itu boleh dikata suatu
rangkaian secepat kilat.
Dalam gugupnya segera Goan-ci hendak menangkis,
namun tenaga pukulan lawan terang sudah mendekati
mukanya. Untung dia telah berlatih ilmu ih-kin-keng
sehingga iwekangnya juga banyak bertambah, secara
otomatis timbul daya tolak dari badánnya dan cepat ia
mendongakkan kepalanya ke belakang sambil
berjumpalitan püla dengan demikian kepalanya nyaris
háncür oleh pukulan Siau Hong yang dahsyat itu.
Namun begitu lantas terdengar suara seruan heran
para penonton. Goan-ci merasa mukanya silir dingin
tahu-tahu kain kedoknya sudah hancur menjadi kain
kecil-kecil dan bertebaran bagai Kupu-kupu. Ternyata
luput mukanya dari serangan itu, tapi tidak luput kain
kedoknya yang tergetar hancur oleh tenaga pukulan Siau
Hong. Dan ketika melihat muka pemuda yang mengaku
sebagai Ciangbunjin Kok-lok-pai dan Pangcu Kai pang
ítu tak karüan macamnya karena bekas luka tampaknya
sangat seram dan menakutkan, maka muka mereka
sama berseru kaget.
Dengan sekaligus Siau Hong mendesak mundur tiga
jago kelas satù di jaman ini, semangatnya seketika
berkobar-kobar lebih hebat, teriaknya, "Mana arak!"
Segera seorang ksatria Cídan mengiakan dan
menanggalkan sebuah kantung kulit yang menggablok di
atas kuda mati dan berlari-lari mendekati Siau Hong serta
menghaturkan dengan hormat.
3447
Siau Hong copot sumbat kantung kulit itu, ia angkat
kantung itu tinggi-tinggi ke atas, maka tertüanglah arak
putih yang harum. Sambil mendongak, Siau Hong
menenggak arak itu.
Arak yang terisi dalam kantong kulit itu sedikitnya ada
20 kati, tapi Síau Hong terus menenggak tanpa berhenti
sehingga arak seisi kantung terhabis sama sekali.
Kelihatan perut Siau Hong sedíkít kembung, tapi air
mukanya tetap biasa saja tanpa mabük sedikit pun.
Di tengah kejut para penonton, tiba-tiba Siau Hong
memberi tanda pula dan ke 17 ksatria Cidan yang lain
masing-masing juga membawakan pula satu kantung
arak.
"Saudara-saudara, Toan-Kongcu ini adalah adik
angkatku," kata Siau Hong kepada ksatria-ksatria Cidan
itu. "Hari ini kita telah terkepung di tengah musuh, kita
hanya berjumlah belasan orang saja, tentu susah
meloloskan diri."
Sampai disini segera ia, menarik tangan Toan Ki dan
berkata pula, "Adikku yang baik, kau bersedia sehidup
semati, sungguh tidak mengecewakan sebagai saudara
angkat, apakah sebentar kita akan mati atau akan hidup
biarkan saja, sekarang kita harus minum dulu sepuaspuasnya!"
Terdorong oleh semangat jantan kakak angkat itu,
tanpa pikir Toan Ki terus terima juga sekantong arak dan
menjawab, "Benar, kita harus minum dulu!"
3448
Dan baru Toan Ki hendak menenggak araknya,
sekonyong-konyong di tengah padri-padri Siau-lim-si
telah berlari keluar seorang, sambil berseru, "Toako dan
Samte, kalian hendak minum arak, kenapa tidak panggil
juga padaku?"
Itulah dia Hi tiok.
Ia menyaksikan munculnya Siau Hong yang gagah
perwira dan membikin silau para ksatria maka diam-diam
ia pun sangat kagum. Kemudian dilihatnya Toan Ki
secara konsekwen bersedia sehidup semati dengan
kakak angkat itu. Padahal dahulu waktu dia sendiri
mengangkat saudara dengan Toan Ki di Leng-ciu-kiong,
didalam upacara itu telah dimasukkan juga Siau Hong
sebagai Toako mereka. Seorang lelakì sejati harus bisa
pegang, janji dan berani menghadapi segala
kemungkinan apalagi dilihatnya Siau Hong dan Toan Ki
yang bersikap gagah perkasa dihadapan musuh banyak
itu, seketika timbul juga semangat ksatria Hi tiok, ia tidak
pikirkan keselamatan sendiri dan tentang peratüranperatiran
agama apa segala dan segera tampil kemuka.
Siau Hong belum kenal Hi tìok, maka ia menjadi
tertegun heran ketika Hi tiok memanggìlnya Sebagai
Toako. Sebaliknya Toan Ki lantas memapak maju dan
memegang tangan Hi-tiok!, lalu dìbawanya kehadapan
Siau Hong dan berkata, "Toako, dia juga kakak angkatku.
Waktu menjadi hwesio gelarnya adalah Hi-tiok dan
sekarang telah ganti nama menjadì Hi tiok cu. Di waktu
kamì mengangkat saudara, maka Toako juga telah kami
masukkan didalam hitungan. Nah, Jiko lekas kau
memberi hormat kepada Toako!"
3449
Segera Hi-tiok berlutut dan memberi hormat katanya.
"Toako, terimalah salam hormat siaute!"
Siau Hong tersenyum. Dìam-diam ia merasa Toan Ki
benar-benar agak dogol, dia mengangkat saudara
dengan orang masa juga mengikut sertakan sang Toako.
Padahal sekarang jiwanya terancam di tengah kepungan
musuh, namun orang (Hi-tiok) ternyata tidak gentar dan
berani tampil ke muka, hal ini membuktikan dia adalah
seorang jantan sejati seorang lelaki yang setia kawan
dan berbudi kalau bisa bersaudara dengan ksatria
demikian juga boleh dikatakan suatu kehormatan besar.
Karena itu Siau Hong lantas berlutut juga dan
membalas hormat dengan kata-kata ramah tamah. Jadi
mereka telah mengulangi sumpah setia sebagai saudara
angkát di depan para ksatria sejagat.
Siau Hong tidak tahu Hi-tiok memiliki ilmu silat sakti,
la anggap saudara angkat ¡tu Cuma seorang hwesio
rendahan di Siau-lim-si, tapi berani ikut maju untuk
memenuhi panggilan persaudaraan pada saat
menghadapi bahaya, kalau dia disuruh menyingkir tentu
malah akan menyinggung perasaannya.
Maka setelah angkat kantung araknya segera Siau
Hong berkata, "Ke-dua adik yang baik, ke-18 ksatria
Cidan ini adalah kawanku yang setia, hubungan kami
sehari-hari mirip saudara sendiri, maka marilah kita
minum bersama, habis itu segera kita melabrak musuh
sekuatnya."
Habis berkata, segera ia membuka sumbat kantung
arak dan menenggak seteguk, lalu diangsurkan kepada
3450
Hi-tiok. Dengan semangat berkobar-kobar Hi-tiok juga
tidak pikirkan larangan minum arak apa segala lagi,
segera ìa pun angkat kantung arak, dan menenggak,
kemudian disodorkan kepada Toan Ki. Dan sesudah
Toan Ki minum seteguk lalu ia serahkan kepada salah
seorang Cidan dan begitu seterusnya ke-18 ksatria Cidan
itu pun sama-sama mengakat sekantung arak masingmasing
dan menenggaknya. ”Toako," kata Hi-Tiok kemudian kepada Siau
Hong,”Sing-siok Lokoai ini telah membinasakan Suhu
dan suhengku, ia telah membunuh pula Hian-lun dan
hian-thong Susiokco dari Siau lim-si maka sekarang aku
hendak menuntut balas padanya,"
Siau Hong menjadi heran "Kau ber....“ baru saja dia
hendak tanya, tahu-tahu kedua tangan Hi-tiok sudah
bergerak dan menghantam ke arah Ting Jun-jiu.
Melihat ilmu pukulannya sangat aneh dan sangat
kuat, Sian Hong terkejut dan girang pula, katanya di
dalam hati, "Kiranya ilmu silat jiko sedemikian lihai,
sungguh aku tidak menduga sama sekali."
"Lihat pukulan!" mendadak Siau hong juga
membentak dan berbareng kedua kepalan tangannya ke
arah Buyung Hok dan Yan Goan-ci sekaligus.
Rupanya ke-18 ksatria Cidan dapat memahami
maksud Cukong (junjungan) mereka maka tanpa disuruh
lagi segera mereka mengelilingi Toan Ki dan
melindunginya.
3451
Dalam pada itu Buyung Hok dan Goan Ci juga telah
menyambut dan menghindarkan serangan Siau Hong
tadi.
Sedangkan Hi-tiok juga lagi mencecar Tìng lokoai
dengan Thian-san liok-yang-ciang yang hebat.
Meski Liok-yang-ciang itu adalah cìptaan Thian-san
Tong-lo, tapi dasarnya bersumber dari ilmu Siau-yau-pai.
Maka cuma dua-tiga gebrak saja diam-diam Ting Jun-jiu
terperanjat, ia heran mengapa hwesio cilik ini pun mahir
ilmu pukulan Siau-yau-pai?
Karena sudah pernah adu pukulan dan ke cundang di
tangan Goan-ci, sekarang melihat Hi-tiok mengeluarkan
ilmu pukulan Siau-yau-pai, maka Lòkoai tidak berani
sembarangan menggunakan pukulan barbisa lagi, sebab
kuatir tak mempan terhadap lawan, sebaliknya dirinya
sendiri bisa celaka malah. Karena itu ia ambil keputusan
akan menjajaki dulu asal usul si gundul pacul itu,
kemudian baru akan menggunakan racun bila perlu.
Ilmu silat Siau-yau pai itu mengutamakan kegesitan
dan keluwesen, sedangkan Ting-Lokoai dan Hi-tiok
adalah tokoh-tokoh terkemuka dari golongan mereka,
dengan sendirinya gaya mereka menjadi sangat indah
dan cepat luar biasa.
Hampir seluruh ksatria yang hadir itu tidak pernah
menyaksikan ilmu silat golongan Siau yau-pai, maka
semuanya menjadi sangat tertarik, merekaa melihat gaya
ilmu silat Siau-yan-pai itu sangat indah bagai menari, tapi
setiap pukulan selalu mengincar tempat mematikan di
3452
tubuh lawan, sungguh mereka belum pernah lihat dan
tidak kenal apa namanya ilmu silat semacam ini.
Disebelah sana Siau Hong sendiri lagi melawan
keroyokan Buyung Hok dan Goan-ci, untuk sepuluh jurus
petama ia selalu mencecar lawannya, tapi sesudah
belasan jurus ia merasa setiap pukulan Goan-ci penuh
mengandung hawa maha dingin. Pada saat Siau Hong
lagi mengadu tenaga dengan Buyung Hok, Goan ci juga
menyerangnya, seketika ia merasa di serang hawa dingin
yang susah di tahan.
Seperti diketahui dalam badan Goan ci sudah penuh
racun dingin dari ulat sutra es, di tambah lagi mendapat
pemupukan iwekang Ih-kin-keng, maka sekarang
iwekangnya yang maha dingin itu sudah merupakan
Salah satu Iwekang maha lihai di dunia ini.
Walaupun Siau Hong sangat gagah perwira, tapi
menghadapi ilmu yang aneh dan lihai itu, mau tak mau ia
merasa susah juga melayani, apalagi kepandaian
Buyung Hok juga seimbang dengan dia, pada waktu
Goan-ci terdesak Buyüng Hok membantunya pula,
dengan demikian Siau Hong menjadi serba repot.
Di bawah keroyokan dua jago seperti Buyung Hok
Goan-ci, keadaan Siau Hong sekarang boleh dikatakan
jauh lebih berbahaya daripada dahulu ketika dikerubuti
orang banyak di Cip hian-Ceng.
Tapi dasar Siau Hong memang gagah perkasa
semakin payah keadaannya semakin semangat daya
tempurnya, tenaga sakti dalam tubuhnya bekerja terus, ia
mainkan " Hang liong-sip-pat-ciang," ilmu pukulan
3453
penakluk naga yang maha dahsyat telah dikeluarkan
seluruhnya sehingga Buyung Hok dan Goan ci sukar
mendekat, dengan demikian pula racun dingin pukulan
Goan-ci menjadi susah mencapai tubuhnya.
Namun dengan memainkan ilmu pukulan dahsyat itu,
dengan sendirinya tenaga dalam Siau Hong banyak
terkuras. Asal ratusan jurus lagi tentu kekuatannya akan
surut dan lemah. Goan-ci belum berpengalaman dalam
pertarungan, ia tidak tahu seluk-beluk kelemahan atau
keunggulan pihak sendiri dan pihak lawan. Sebaliknya
Buyung Hok yang luas pengetahunya telah
memperhitungkan bila pertarungan demikian diteruskan,
asal dirinya dan Ong Sing-thian dapat berlahan sampai
satu jam, akhirnya pihak sendiri pasti akan menang.
Biasanya "Pak Kiau Hong" dan "Lam Buyung" (Kiau
Hong di utara dan Buyung di selatan) mempunyai nama
harum yang sederajat di dunia persilatan, hari ini untuk
pertama kalinya kedua tokoh ternama itu bertemu dan
saling gebrak, tapi Lam Buyung memerlukan bantuan
Ong-sing-thian dari Kai-pang untuk mengarubut lawan itu
andaikan Siau Hong dapat dibinasakan, toh hal ini sudah
membuktikan bahwa "Lam Buyung“ sesunggunya kalah
lihai daripada "Pak Kiau Hong."
Begitulah diam-diam Buyung Hok berpikir dan
menimbang dalam hati, akhirnya ia berpendapat, "Usaha
membangun kembali kerajaan Yan adalah urusan lebih
besar dan nama pribadi adalah soal kecil, jika sekarang
aku dapat menumpas Siau Hong yang dianggap oleh
para ksatria Tionggoan sebagai musuh bersama mereka,
tentu mereka akan kagum dan mengindahkan diriku dan
dengan sendirinya kedudukan Bu-lim Beng-cu akan
3454
kupegang dan mereka akan berada di bawah perintahku,
besar harapan kerajaan Yan akan dapat dibangun
kembali dengan segera. Apalagi kalau Siau Hong sudah
binasa, andaikan orang anggap Lam Buyung lebih asor
daripada Pak Kiau Hong toh kejadian ini pun sudah
lampau."
Lalu terpikir pula olehnya, 'Jika Siau Hong binasa,
Ong sing-thian akan merupakan lawan pula. Bila
kedudukan Bu lim Bengcu ini sampai direbut olehnya,
maka aku akan diharuskan tunduk kepada perintahnya.
Wah, hal ini pun tidak menguntungkan."
Karena itu, maka pada waktu menyerang lagi diamdiam
ia menghemat tenaga kelihatannya dia menyerang
sekuatnya, tapi sebenarnya memupuk tenaga sendiri,
dengan demikian daya tekanan Hang-liong-sip-pat-ciang
yang dilontarkan Siau Hong sebagian besar dibebankan
kepada Goan-ci. Karena cara permainan Buyung Hok itu
memang cepat dan bagus sehingga kelicikannya sukar
diketahui orang lain.
Begitulah dalam sekejap lagi serang menyerang
ketiga orang itu sudah mencapai ratusan jurus, Berulang
Siau Hong hendak memancing Goan-ci agar mau masuk
perangkapnya. Dengan pengalaman Goan-ci yang masih
hijau itu memang beberapa kali hampir kejeblos ke dalam
perangkap Siau Hong, untung Buyung Hok lantas
membantunya dari samping dan dapat mematahkan
setiap serangan Siau Hong. Sebaliknya tiap tiap pukulan
Siau Hong yang maha dahsyat selalu disambut mentahmentah
oleh Goan ci yang memiliki iwekang maha kuat.
3455
Saat itu Toan Ki masih berada di tengah lindungan
ke-18 ksatria Cidan. Ia menyaksikan sang jiko dapat
mendesak Ting lokoai dan sedikit pun tidak kelihatan
asor, sebaliknya sang Toako yang mesti melawan dua
musuh, walaupun kelihatannya gagah perkasa, setiap
pukulannya tampak sangat dahsyat, tapi mungkin tidak
tahan lama.
Diam-diam Toan Ki berpikir, "Tadi aku berkaok-kaok
hendak sehidup semati dengan kedua kakak angkat, tapi
sesudah bertempur aku malah sembunyi di bawah
lindungan orang. Huh, terhitung adik angkat macam
apakah aku lni? Masakah caraku ini dapat dianggap
sehidup semati. Huh, benar-benar memalukan. Biarpun
aku tidak mahir ilmu silat, tapi aku dapat menggoda
Buyung hok dengan langkah ajaib Leng-po-wi-poh agar
Toako sempat mampuskan dulu si muka buruk yang
mengaku sebagai Ong-pangcu itu. Ya, aku harus
bertindak demikian."
Karena pikiran ini, segera ia menyelinap ke luar dari
lingkungan ke-18 ksatria Cidan dan berseru lantang,
"Buyung-kongcu, engkau mengaku sebagai ”Lam
Buyung' yang sama derajat dengan 'Pak Kiau Hong'
seharusnya engkau mesti satu lawan satu dengan Toako
kami, mengapa engkau pakai pembantu dan mengeroyok
Toako toh dengan demikian kalian tetap kewalahan,
andaikan nanti kalian mampu menandingi Toako sama
kuatnya juga hal ini akan memalukan dan diterwakan
sesama orang Bu-lim. Nah, marilah lebih baik kita berdua
main-main sendiri boleh coba kau serang aku!'' sembari
berkata tubuh Toan Ki terus melayang dan menyerobot
ke belakang Buyung Hok, sekali ulur tangan, segera
kuduk Buyung Hok hendak dicengkramnya.
3456
Melihat datangnya Toan Ki sangat cepat dan aneh
langkahnya, tanpa pikir Buyung Hok putar tangannya dan
menampar ke belakang, "plok", dengan tepat pipi kanan
Toan Ki kena digampar sehingga merah bengap, saking
sakitnya sampai air mata Toan Ki bercucuran.
Kiranya langkah ajaib Leng po-wi-poh itu meski
sangat hebat tapi Toan ki sendiri tídak becus ilmu silat,
maka langkah ajaib itu hanya berguna untuk berlari saja
menghindarkan serangan lawan, sekali Toan Ki
menggunakan langkah ajaib itu, biarpun jago kelas satu
juga sukar menjamah ujung bajunya.
Tapi sekarang dia yang hendak menyerang orang.
Dengan caranya yang geremat-geramut sudah tentu
tidak dapat melawan Koh soh Buyung yang
berkepandaian lihai. Maka ketika ditampar sudah tentu
Toan Ki tidak mampu mengelak karuan mukanya lantas
merah bengap dan meringis kesakitan.
Sebaliknya ketika telapak tangan Buyung Hok dengan
cepat menyentuh pada pipi Toan Ki seketika ia pun
merasa tenaga dalamnya mendadak tertuang keluar dan
menghilang tak tertahankan lagi, dan karena karena
kehilangan tenaga itu untuk sejenak lengannya ítu terasa
kaku. Sudah tentu Buyung Hok terperanjat, pikirnya,
"ilmu sihir atau ilmu siluman apakah yang dia gunakan
rasanya mirip benar dengan Hoa-kang-tai-hoat milik
Ting-lokoai itu? Jangan-jangan ilmu jahat Sing-siok-pai
itu benar-benar telah dipelajari bocah she Toan ini,
terpaksa aku harus lebih hati-hatí menghadapi dia.”
3457
Karena itu, segera ía mendamprat, "Orang she Toan,
sejak kapan kaupun masuk Siok-siok-pai?”
"Apa katamu? . . . " baru Toan Ki hendák bertanya
sekonyong-konyong kaki Buyung Hok melayang tiba
sehingga dia didepak terguling.
Kiranya Buyung Hok mengira orang mahir Hoa-Kang
tai-hoat maka tidak berani menempurnya dari depan lagi,
tapi pada saat tak terduga ía terus menendangnya
sehingga Toan Ki roboh terjungkal. Sama sekali Buyung
Hok juga tidak menduja bahwa dengan mudah lawannya
dapat ditendang terjungkal, segera ia memburu maju dan
dengan kaki kanan ia injak dada Toan Ki yang belum lagi
sempat bangun.
'Kau minta mampus atau ingin hidup?" bentak Büyung
Hok.
Sekilas Toañ Ki melihat Siau Hong masih melabrak
Ong Sing-thían dengan sengit, la pikir kalau menjawab
dengan kata-kata kasar tentu akan segera dibunuh oleh
Buyung Hok dan hal ini akan berarti Buyung Hok dapat
membantu Ong Síng thian untuk mengeroyok sang
Toako lagi. Akan lebih baik aku main ulur waktu saja
dengan dia. Maka Toan Ki lantas menjawab, "Apa
gunanya mati? Sudah tentu lebih baík hidüp di dunia
ramai ini!"
Sama sekali Buyung Hok tidak menduga bahwa
dalam keadaan terancam jiwanya pelajar tolol ini masih
berani bícara secara jahil dan acuh-tak acuh. Dengan
mendongkol ia membentak pula, "Jika ingin hidup, kamu
harus . . . . "
3458
Mestinya ia hendak menyuruh Toan Ki menjura
seratus kali padanya untuk menghinanya di depan orang
banyak tapi lantas terpikir olehnya bila Toan Ki
dilepaskan, untuk membekuknya lagi, mungkin akan
susah, maka ucapannya lantas berganti menjadi, "harus
memanggil seratus kali ’kakek’ padaku!"
"Usiamu cuma beberapa tahun lebih tua dari padaku,
masakah cocok untuk menjadi kakekku!” sahut Toan-kí
dengan tertawa.
"Blang," mendadak Buyung Hok menghantam
sehingga mengenai tanah di samping kanan kepala Toan
Ki, seketika debu pasir berhamburan dan berwujud
sebuah lubang. Coba kalau pukulan itu sedikit menceng
saja, bukan mustahil kepala Toan Ki sudah hancur luluh.
"Nah, kau mau memanggil atau tidak?" bentak
Buyung pula.
Toan Ki miringkan kepalanya agar matanya tidak
kelilipan oleh debu pasir dan sekilas dilihatnya Ong Giokyan
berdiri di antara Pau Put-tong dan Hong Po-ok.
Dengan jelas Toan Ki melihat nona itu sedang
memperhatikan dirinya, yang bertempur dengan Buyung
Hok. tapi biarpun dirinya sekarang sudah kalah dan
diancam oleh Buyung Hok, sedikit pun nona itu ternyata
tidak memperlihatkan rasa kuatir. Nyata apa yang
dipikirkan oleh nona itu mungkin hanya satu saja, yaitu
sang Piauko akan membunuh Toan-kongcu?"
Dan kalau dirinya dibunuh Buyung Hok, boleh jadi
nona itu juga takkan sedih. Hancur luluh hati Toan Ki
3459
demi melihat sikap Giok-yan itu. Seketika ia merasa lebih
baik mati di bawah Pukulan Buyung Hok saja daripada
kelak akan menderita siksaan batin yang rindu dendam
karena kasih tak sampai. Maka tanpa pikir ia terus
menjawab pertanyaan Buyung Hok tadi, "Kenapa bukan
dirimu saja yang memanggil seratus kali 'kakek'
padaku?"
Karuan Buyung Hok manjadi gusar, sebelah
tangannya terangkat dan segera menghantam kemuka
Toan Ki.
Pada saat yang sama, sekoyong-konyong dua sosok
bayangan orang menerjang tiba secepat kilat yang
seorang berteriak. "Jangan melukai putraku!"
Dan yang lain berseru, "Jangan mencelakai Suhuku!"
Mereka adalah Toan Cing-sun dan Lam-hai-go-siu.
Walaupun kedatangan mereka sangat Cepat, tapi toh
sudah terlambat untuk mencegah pukulan Buyung hok
itu. Sebagai tokoh persilatan terkemuka, berbareng dua
rangkuman tenaga pukulan mereka susul menyusul
menyerang ke bagian mematikan di tubuh Buyung Hok.
Dalam keadaan menyerang dan diserang, walau
Büyung Hok dapat membunuh Toan Ki, ia sendiri pasti
juga akan celaka. Sudah tentu ia tidak ingin dirinya
celaka maka segera ia menarik kembali pukulannya tadi
dan digunakan untuk menangkis puluhan Toan Cing-sun,
sedangkan tangan lain juga berputar ke belakang untuk
mematahkan serangan Lam-hai-gok-sin.
3460
Karena benturan tenaga itu, ketiga orang sama-sama
kesiap, ketiganya merasa kepandaian lawan memang
sangat hebat. Karena terburu-buru ingin menyelamatkan
putranya, segera jari telunjuk Toan Cing-sun bergerak
dan menutuk lagi dengan ilmu jari "it yang-ci".
"Awas, Piàuko, ini kungfu It-yang-ci keluarga Toan di
Taili, tidak boleh kau anggap enteng," seru Giok yan.
Dalam pada itu Lam-hai gok-sin juga berteriak teriak,
"Bedebah keparat, meski Suhuku tidak genah, setidaktidaknya
dia adalah guruku. dan kalau kau pukul Suhuku,
itu berarti memukul aku si Gak luji ini. Bila Suhuku ini
mendadak takut mati terus memanggil 'kakek' padamu,
wah, tentu aku Gak Loji juga akan sial dan cara
bagaimana aku harus memanggil padamu? Bukankah
tingkatanku akan merosot tiga angkatan dan bukankah
aku akan menjadi cucumu yang celaka! Kurangajar!
Kamu benar-benar terlalu kurang ajajar, Hari ini biarlah aku
mengadu jiwa dengamu!"
Begitulah, sembari memaki segera ia mengeluarkan
senjatanya yang istimewa, yaítu "Gok-hi-cian" (gunting
congor buaya) dan segera menggunting ke kanan dan ke
kiri ke arah Buyung Hok.
Selama hidup Lam hai gok Sin paling takut kalau
tingkatannya berada di bawah orang lain. sampai-sampai
urusan nomor dua dan tiga dalam “Su-ok" juga di
perebutkan dengan Yap Ji-nio, Sekarang jika toan Ki
benar-benar memanggil "kakek" pada Buyung Hok, maka
tanpa bisa dítawar lagi Lam-hai gok-sin juga akan ikut
menjadi "cucu'' orang, Hal ini baginya benar-benar suatu
3461
kejadian yang sial. Sebab ítulah ia mati darípada hídup
dihina.
Buyüng hok sendiri tidak paham mengapa Lam-Haígok-
sin marah-marah dan mencaci-maki padanya,
Namun sebelah kakinya masih tetap! Menginjak di atas
dada Toan Ki dan kedua tangannya dipakai untuk
melawan Toan cing sun dan Lam-Hai gok sin. sesudah
belasan jurus lambat-laun ia merasa Lam-hai-gok-sin
lebih mudah dilawan biarpün orang bersenjata gunting
yang aneh. Sebaliknya It-yang-ci yang dilontarkan Toan
Cing-sun benar-benar tidak boleh dipandang enteng.
Sebab itulah ia mencurahkan perhatiannya untuk
melayani Toan Cing sun dan cuma menggunakan sisa
tenaga lain untuk melawan Lam-hai-Gok sin, bahkan
terkadang dengan pukulannya yang hebat ia desak Goksin
hingga terpaksa meloncat mundur.
Toan Ki yang dadanya terinjak, meski sudah meronta
ronta hendak bangun, tetap gagal dan tidak kuat.
Sudah tentu yang paling kuatir adalah Toan Cing sun
ia tahu bila kaki Buyung Hok menginjak lebih keras pasti
sang putra akan muntah darah dan mungkin binasa.
Dalam keadaan demikian terpaksa ia harus
menggunakan serangan kilat untuk menyelamatkan dulu
putranya itu. Segera ia mainkan It-yang ci dengan cepat,
ia mencecar dengan serangan dahsyat.
Tiba-tiba suara seorang berseru mengejek, „Huh, It
yang ci dari Taili mengutamakan sikap agung berwibawa
tutukan yang dahsyat harus tidak harus mengurangi
perbawa seorang raja. Kalau bermain cara hantam
3462
kromo demikian masakah dapat disebut sebagai It-yang
ci? Hehe, benar-benar membikin malu keluarga Toan
dari Taili."
Cing-sun kenal pembicara itu adalah musuh besarnya
Yan khing Thaisu alias Toa-ok. Apa yang dikatakannya
itu memang benar, tapi Cing sun sendiri terlalu
menguatirkan keselamatan sang putra, maka pikirannya
menjadi kacau dan tidak sempat memikirkan gaya dan
sikap agung lagi.
Dan karena permainan Cing-sun agak kasar, ketika ia
menutuk pula dan tenaga tutukan itu kena dítarík
sekekalian Buyung Hok, "crit", tahu-tahu ketika Lam-hai
gok sin kena tertutuk.
Karuan Lam-hai-Gok-sín berkeok-keok kesakitan dan
gelí.
"Maknya . . . . " baru saja ia hendak memaki,
mendadak senjata guntingnya jatuh ke bawah dan
mengetuk telapak kaki sendiri, ia berjingkrak kesakìtàn
dan mestinya hendak mencaci-maki lagi, tapi lantas
terpikir olehnya yang menggunakan It-yang-ci dan salah
menyerangnya itu adalah ayah sang Suhu, kalau
memakinya berarti memaki kakeknya sendirí. Ia pikir
orang ini hanya boleh dibunuh dan tidak boleh dimaki,
kalau ada kesempatan biar menggunting saja kepalanya.
Sebab itulah makinya tadi menjadi urung diteruskan.
Pada waktu Cing sun salah menyerang teman sendiri,
sedikit terpencar perhatiannya itu telah digunakan
dengan baik oleh Buyung Hok, secepat kilat Ia pun
menutuk dada lawan dan dengan tepat mengenai Tiong-
3463
tan-hiat. Seketika Cing-sun meràsa napasnya sesak da n
dada kesakitan.
"Bagus, Piauko! Jurus Ya ja-tam-hai yang hebat!"
seru Giok-yan memuji.
Padahal serangan Buyung Hok itu dilakukan dengan
terburu-buru dan tidak mengenai tempat yang
mematikan, tapi Giok-yan sengaja memujinya.
Dalam pada itu serangan Buyung Hok sudah
menyusul pula, segera tangan kanan menyodok ke
depan untuk menghantam dada lawan. Karena napas
Cing-sun belum lagi lancar, terpaksa ia tak dapat
menangkis, kontan ia manyemburkan darah karena
hantaman Buyung Hok Itu. Namun begitu demi
menyelamatkan sang putra, tetap ia tidak mau
mengundurkan diri, cepat ia mengerahkan tenaga.
Sementara itu serangan Buyung Hok yang lain sudah
tiba pula.
Toan Ki yang masih terinjak di bawah kaki Buyung
Hok menjadi kaget ketika melihat sang ayah tumpah
darah, sedang serangan Buyung Hok di lontarkan pula,
dengan kuatir segera ia membentak, "Ho , kau berani
melukai ayahku!”
Dalam gugupnya, dengan sendirinya tenaga
andalannya bergolak dan meluncur keluar melalui
jarínya. Dan itulah "Siang-yang-kiam" yang keluar dari
Lak-mah-sin-kiam yang tak berujut itu.
"Cret", tahu-tahu lengan baju Buyung Hok terkupas
terpotong oleh Kiam-gi (hawa pedang) yang tak kelihatan
3464
itu. Menyusul hawa pedang terus membentur pukulan
Buyung Hok tadi, kontan Buyung Hok merasa tangan
sakit pegal. Ia terkejut dan cepat melompat mundur.
Bebas dari injakan kaki orang, cepat Toan Ki
merangkak bangun dan kembali jari kecil kiri menuding
pula, dengan jurus "Siau-tik-kiam" ia menusuk ke arah
musuh.
Buyung Hok tidak berani ayal, ia kebaskan lengan
baju untuk menangkis, terdengar lagi suara "brat-bret"
dua kali, lengan bajunya terkupas potong oleh hawa
pedang.
"Awas Kongcu!" seru Ting Pek-jwan. Itu Bu-heng-
Kiam-gi,(hawa pedang tak berwujud) pakailah senjata
ini.”
Berbareng ia lolos pedang sendiri dan dilemparkan
kepada Buyung Hok.
Toan Ki merasa sangat sedih dan dongkol panas tadi
mendengar Gíok-yan bersorak memuji serangan Buyung
Hok, dan yang diserang justru dada ayahnya.
Dengan perasaan yang bergejolak itu, maka tenaga
dalamnya juga ikut bekerja serentak, sekaligus ¡a
ményerang dengan Siau-siang, Siang-heng, Tiong-hang,
Kwan-heng , Siau-hong dan Biau-heng, Lak-meh-kiamhoat
dikeluarkan seluruhnya dengan lancar seakan-akan
dibantu oleh suatu kekuatan gaib.
Buyung Hok sendíri juga tambah semangat barusan
mendapat lemparan senjata dari Ting Pek-juan, ia putar
3465
pedang dengan kencang hingga seluruh tubuh seperti
terbungkus dalam lapisan sinar pedang.
Orang-orang Bu-lim biasanya cuma mendengar
kepandaian keluarga Buyung itu sangat tinggi dan luas.
boleh dikatakan serba bisa, tapi tidak menduga bahwa
ilmu pedangnya ternyata sedemikian bagusnya.
Namun begitu, betepa hebat Ilmu pedang Buyung
Hok itu tetap dia tidak dapat mendekati Toan Ki dalam
jarak dua-tiga meter.
Kedua tangan Toan Ki kelihatan menutuk kesana dan
ke sini dan Buyung Hok terpaksa harus berkelit kian
kemari dengan sibuk Sekonyong-konyong terdengar
"krek" sekali, tahu-tahu pedang yang dipegang Buyung
hok menjadi belasan potong dan mencelat ke udara
sehingga mengeluarkan Sinar gemerdep.
Walaupun terkejut, Buyung Hok tidak menjadi gugup,
menyusul ia menghantamkan telapak tangannya
sehingga belasan potong pedang patah itu tertimpuk ke
depan dan mirip hujan senjata rahasia dan menyerang
ke arah Toan Ki.
“Haya, celaka!" teriak Toan Ki dengan kelabakan dan
cepat-cepat ia menjatuhkan diri dan bertiarap di atas
tanah.
Maklum dia tidak mahir ilmu silat, jangakan dihujani
senjata rahasia sebanyak itu, biarpun sibatang saja dia
sudah kerepotan. Untung juga dia bertiarap hingga
belasan pedang patah itu menyambar lewat di atas
kepalanya. Tapi cara berkelit dengan bertiarap hingga
3466
mirip "anjing menubruk tahi" itu sudah tentu tidak pantas
dipandang orang. Sebaliknya meski pedangnya
diputuskan tapi Buyung Hok bisa merubah menjadi pihak
yang menang, tentu saja ia lebih gemilang daripada
lawannya.
”Terimalah senjata ini Kongcu!" seru Hong Po-ok
sambil melemparkan goloknya.
Cepat Buyung Hok sambar senjata itu. Ia lihat Toan Ki
sudah merangkak bangun, segera ia mengejeknya
dengan tertawa, "Jurus Toan-heng barusan mungkin
bernama anjing menubruk tahi, apakah itu termasuk
kungfu lihai dari keluarga Toan di Taili?”
Toan Ki melengak tapi lantas menjawab, ”Bukan!”
Menyusul jarinya bergerak, segera ia menusuk pula
dengan Siau ciang-kiam.
Kembali buyung Hok putar goloknya dengan segera ia
mengeluarkan bermacam-macam ilmu golok dari
berbagai golongan seperti tidak habis-habis
kepandaiannya tak terhingga. Cuma meski ilmu golok
Buyung Hok sangat hebat tetap susah mendekati Toan
Ki. Sebaliknya ketika Toan Ki menusuk lagi dengan
jarinya dan terpaksa Buyung Hok menangkis dengan
goloknya, tahu-tahu terdengar "trang" sekali, kembali
golok itu tergetar patah.
Cepat Kongya Kian melemparkan senjatanya sendiri,
yaitu dua batang Boan-koan-pit dari baja, Buyung Hok
membuang golok patah dan sambut Boan-koan pit yang
3467
dilemparkan anak buahnya itu, menyusul ia gunakan
untuk menyerang dengan cepat.
Dalam pada itu semangat pertempuran Toan Ki sudah
tambah kuat, sesudah berpuluh jurus sekarang rasa
jerinya sudah lenyap, Teringat pula ajaran-ajaran
Iwekang dari paman bagindanya Koh-eng Taisu. Segera
ia dapat memainkan Lak-meh-sin-kiam dengan lebih
lancar.
Tiba-tiba terdengar Siau Hong berkata padanya,
"Samte permainan Lak-meh-sin-kiam sekaligus ini
tampaknya engkau belum apal betul sehingga banyak
lubang yang dapat digunakan musuh untuk balas
menyerang. Lebih baik kamu menggunakan salah satu
macam di antaranya saja.”
"Baik banyak terima kasih atas petunjuk Toako."
jawab Toan Ki. Waktu ia melirik, ia lihat Siau Hong sudah
berdiri di samping dengan berpeluk tangan, sebaliknya
Ong Sing-thian tampak menggeletak di alas tanah dan
sedang rnerintih-rintih kesakitan, ternyata kedua kakinya
telah patah.
Kiranya sesudah Toan Ki ikut maju menempur
Buyung Hok sehingga Siau Hong hanya melawan Goanci
sendirian, seketika Siau Hong berada di atas angin.
Walaupun beberapa kali mengadu tangan dan merasa
hawa dingin pukulan Goan-ci itu susah ditahan, untung
tenaga dalam Síaü Hong teramat kuat dan tidak sampai
keracunan. Segera Siau Hong berganti siasat sedapat
mungkin ia menghindari adu pukulan sebaliknya ia
mengunakan tipu serangan lain. Mendadak ia memukul
susul menyusül dua kali sehingga terpaksa Goan-ci mesti
3468
menangkis sekuatnya, kesempatan ítu segera digunakan
Siau Hong untuk menyapak dengan kakinya. Kemahiran Goan-ci hanya racun dingin yang
diperolehnya dari ulat es dan iwekang dari Ih tin kang,
dalam hal ilmu silat hanya dipelajarinya sedikit-sedikit
dari A Ci, sudah tentu ià tidak mampu menghindarkan
serampangan kaki Sìau Hong. Maka tanpa ampun lagi,
"krak-krek'', kedua tulang kakinya disapu patah oleh Siau
Hong sehingga roboh terjungkal.
"Hm, selamanya Kai-pang méngútamakan kejujuran
dan berdiri di pihak yang baik, sebagai pangcu masakah
kamu malah berkomplotan dengan kawanan siluman
Sing-siok-pai? Benar-benar membikin malu nama baik
Kai-pang selama beratus tahun ini!" damprat Siau Hong.
Sebabnya Goan-ci dapat menjabat Pangcu adalah
karana orang lain tidak mampu melawan ilmu silatnya
yang berbisa, bicara tentang pengalaman dan
pengetahuan dia boleh dikatakan sangat hijau, apalagi
dia memakai kedok, kelakuannya serba sembunyisembunyi,
segala urusan selalu bergantung kepada A Ci
dan Coan Koan-jing, dengan sendìrinya para Tionglo Kaì
Pang merasa tidak suka padanya.
Apalagi tadi Goan-ci telah menyembah kepada Ting
jun-jiu dan masuk menjadi anggota Sing-siok-pai, tentu
saja para Tianglo semakin memandang hina padanya.
Maka sekarang tiada seorang pun yang mau
menolongnya biarpun kedüa kakinya disarampang patah
olah Siau Hong. sebaliknya diam-diam para Tionglo
merasa bersyukur dan senang malah.
3469
Ada juga beberapa orang separti Coan Koan jun dan
begundalnya ingin maju menolong sang Pangcu yang
menggeletak di tanah itu, tapi demi nampak sikap Siau
Hong yang gagah perkasa dan angker itu, mereka
menjadi jeri pula.
Sesudah merobohkan Goan-ci, Siau Hong melihat
pertarungan Hi-Tiok melawan Ting Jun-jíu pün sudah
menduduki tempat yang unggul, sebaliknya Toan ki yang
melawan Buyung Hok dengan Lek-meh-sin-kiang
terkadang bagus dan sekali tempo sangat lambat
sehingga banyak kesempatan baik untuk mengalahkan
lawan tersia-siakan, bahkan kalau kena pukül bukan
mustahil Toan Ki sendiri yang akan celaka di tangan
Buyung Hok sebab itulah ia lantas bersuara memberi
petunjuk kepada Toan Ki.
Dan karena Toan k¡ melirik sekejap keadaan Siau
Hong yang telah mengalahkan Goan-cí itu sedikít lengah
saja telah digunakan oleh Buyung Hok dengan baik.
Sebelah Boan-koan-pit secepat kilat disambitkan ke
dada Toan Ki.
Melihat sambaran Boan koan-pit itu sedemikian
hebatnya, tampaknya akan segera menembus dadanya,
Toan Ki menjadi kelabakan dan berteriak-teriak, "Toako!
tolong, Toako!“
Cepat Síau Hong bertindak, dengan Jurus "Kian-liongcai-
thian" (melihat naga di sawah) salah satu jurus Hang
liong sip pát ciang keras dihantamkan ke depan sehingga
Boan koan pit itu tersampuk dan melengkung bagian
Tengahnya, karena itu arahnya lantas berkisar dan
membelok kebelakang kepala Toan Ki, bahkan terus
3470
berputar balik dan menyambar ke arah Buyung Hok
malah.
Kejadian ini pun di luar dugaan Siau Hong sendiri, ia
tidak menduga bahwa selama ini tenaga dalamnya telah
maju sedemikian pesatnya sehingga tanpa terasa tenaga
pukulannya dapat membuat batang potlot baja itu
melengkung, bahkan terus mengitar balik ke árah
penyambitnya.
Sebenarnya tindakan Siau Hong ini hanya secara
kebetulan saja, namun demikian sudah membikin para
ksatria melongo kesima, semuanya terkejut dan merasa
kepandaian Siau Hong benar-benar sudah mencapai
tarap yang sukar diukur.
"Nah, itu namanya 'Ih-pi-ci-to, hoan-si-pat sin," teriak
Hoan Hua.
Tapi Buyung Hok sempat mengangkat Boan-koan-pit
yang lain untuk menangkis, "trang", kedua batang Boankoan-
p¡t kebentur, lengan tergetar sampai kesemutan,
diam-diam ia mengakui betapa kuatnya tenaga Siau
Hong. Namun sebelum Boan-koan-pit yang melengkung
tadi terpental jatuh, sekali tangannya meraup dengan
tepat Boan koan-pit bengkok itu kena ditangkapnya dan
dapat digunakan sebagai senjata pula dalam bentuk
gaetan.
Melihat macam-macam kepandaian Buyung Hok yang
serba bagus itu, ditambah lagi tenaga pukulan Siau Hong
yang hebat tadi, seketika bersoraklah para ksatria
memberi pujian, Mereka merasa tontonan hari ini benar-
3471
benar berharga untuk dilihat dan perjalanan mereka ke
Siau-lim-pai ini tidak percuma juga.
Dalam pada itu sesudah terhindar dari serangan Boan
koan-pit, hanya tertegun sejenak saja segera Toan Ki.
menutuk ke depan pula dengan Jari jempol dalam jurus
"Siau-siang-kiam" yang dahsyat. Walaupun Buyung Hok
masih dapat menangkis dengan Boan-koan-pit yang
sekarang berbentuk lain itu namun lambt-laun ia merasa
penuh juga.
Sebaliknya. karena mendapat petunjuk dari Siau
Hong, maka sekarang Toan Ki melulu memainkan siausiang-
kiam sajà sehingga daya tekannya benar-benar
bertambah hebat dan tidak memberi lobang kelemahan
bagi Buyung Hok.
Sebenarnya Lak-meh-kiam hoat itu meliputi enam
jurus yang satu lebih hebat daripada yang lain kalau
dimainkan secara berantai. Tapi Toan Ki tidak paham
letak kelihaian ilmu pedang tak berwujud itu, ia cuma
memainkan Siau-siang-kiam secara berulang-ulang.
Namun begitu sesudah belasan kali berulang, Buyung
Hok terdesak hingga mandi keringat, ia main mundur
terus dan akhirnya kepepet sampai di samping sebatang
pohon besar. di situlah ia coba bertahan pula dengan
membelakangi pohon.
Setelah memainkan Siau-siang-kiam, segera Toan Ki
menekuk jempolnya dan berganti dengan jari telunjuk,
sekarang yang dimainkan adalah Siau-yang kiam.
Siau-yang-kiam memang kurang dahsyat
dibandingkan Siau siang-kiam, tapi lebih cepat dan lebih
3472
ganas. Maka ketika Jarinya menusuk, seketika Buyung
Hok tambah kerepotan menghindarkan diri.
Melihat keadaan sang Piauko terancam bahaya, Giok
yan menjadi kuatir. Meski ia tahu segala macam Ilmu
silat dari berbagai golongan persilatan.tapi terhadap Lakmeh-
sin-kiam sama sekali tidak paham sehingga tidak
dapat memberi petunjuk apa-apa kepadà sang Piauko
maka dia hanya kuatir saja dan tak berdaya.
Melihat ilmu pedang Toan Ki yang tak berwujud itu
makin dimainkan makin hebat, diam-diam Siau Hong
sangat senang dan kagum. Tiba-tiba hatinya menjadi
pedih pula demi teringat kepada A Cu.
Sebabnya A Cu rela mati mewakilkan ayahnya adalah
lantara kuatir kalau aku tidak dapat melawan Lak-mehsin-
kiam keluarga Toan mereka. Sedangkan kalau
melihat ilmu pedang yang dimainkan Samte ini memang
sedemikian saktinya, andaikan aku yang diserang seperti
Buyung Hok sekarang. terang aku pun tidak sanggup
melawannya. Jadi A Cu telah mengorbankan jiwanya
untuk keselamatan diriku, padahal aku adalah ....adalah
bangsa Cidan yang kasar, masaakah aku ada harganya
untuk mendapatkan cinta si nona yang suci murni itu?
Demikian pikir Siau Hong.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang
banyak dari arah barat laut sana sedang berteriak. "Sing
síok Lokoai, kau berani bergebrak dengan Kaucu kami
dari Leng ciü kiong? Sekarang kamu berlutut dan
menyembah untuk minta ampun jika tidak ingin
mampus?"
3473
Waktu Siau Hong berpaling, la lihat di lambung
gunung sana berdiri delapan baris kaum wanita ada yang
tua dan ada yang muda. setiap barisan itu memakai
pakaian seragam berbeda warna. Disamping kedelapan
barisan wanita itu ada pula ratusan orang kangouw
dengan dandanan berbeda daripada orang biasa. Orang
orang kang-ouw yang tampaknya gagah dan tangkas itu
juga sedang berteriak-teriak, "Kaucu, lekas tanamkan
Sing-si-hu padanya, biar dia tahu rasa!” "Ya, terhadap Sing-siok Lokoai tiada obat yang lebih
mujarab daripada diberi persen dengan Sing-si-hu!"
Saal itu Hi-tiok sedang melabrak Ting-lokoai dengan
sepenuh tenaga. Baik ilmu silatnya maupun tenaga
dalamnya Hi-tiok berada di atas Ting Jun jiu maka sejak
tadi mestinya dia dapat mengalahkan lawan, cuma dia
kurang berpengalaman di medan tempur sehingga
kepardaiannya yang sejati tidak sempat dikeluarkan
seluruhnya. Pula dia berhati welas asih, banyak tipu
serangan mematikan tak mau digunakannya, apalagi
seluruh badan Lokoai boleh dikata racun melulu, hal ini
membuat Hi-tiok agak jeri dan tidak berani sembarangan
menyentuh badannya, makanya sampai sekian lama ia
masih belum dapat merobohkan iblis tua itu.
Ketika mendadak mendengar suara orang banyak
yang memanggil dia, segera Hi-tiok berpaling dan terlihat
delapan daripada sembilan pasukan wanita Leng ciu
kiong telah datang semua. Dan kaum laki-laki itu adalah
para Tongcu dan Tocu yang jumlahnya tidak sedikit.
”Sia-popo. Oh-siangsing, mengapa kalian pun datang
semua?” seru Hi-Tiok dengan girang.
3474
"Lapor Kaucu, hamba sekalian telah menerima berita
Bwe-kiam berempat dan mendapat tahu para keledai
gundul Siau-lim-pai hendak membikin susah kepada
Kaucu, maka buru-buru hamba mengumpulkan para
Tongcu dnn Tucu dan menyusul kemari," demikian sahut
Sia-popo. "Dan sekarang ternyata Cujin tidak kurang
suatu apa pun, sungguh hamba sekalian merasa sangat
girang."
"Siau-lim-pai adalah perguruanku, kamu tidak boleh
memakai kata-kata kasar, lekas minta maaf kepada
Hongtiang Siau lim-si," bentak Hi-Tiok.
Sembari berkata tetap Hi-tiok memainkan Thian-san
ciat-bwe-jiu dengan tidak kurang hebatnya.
Sia-popo tampak gugup karena teguran Hi-tiok itu,
dengan hormat ia mengiakan dampratan sang Cujin, lalu
mendekati Hian-cu dan berlutut, ia menyembah beberapa
kali dan berkata, "Sia-Popo dari Leng-ciu-kiong tadi telah
bicara secara kasar dan menyinggung nama baik para
Taisu Siau-lim-si, untuk itu harap Hongtiang suka
memaafkan dan mohon diberi hukuman yang pantas."
Dia bicara dengan sungguh-sungguh dan penuh
hormat, kata demi kata sangat lantang dan jelas, hal ini
menandakan Iwekangnya yang tinggi dan sudah
tergolong jago kelas satu.
Hian-cu mengebatkan lengan bajunya berkata, "Ah,
Lisicu tidak perlu banyak adat, silahkan bangun!"
3475
Dengan kebasan langan baju yang menggunakan
delapan bagian tenaga itu mestinya Hiau-cu hendak
mengangkat bangun si nenek, tak tersangka badan Siapopo
cuma sedikit tergetar saja dan tidak sampai
terangkat. Bahkan ia nenek itu lantas menjura lagi dan
minta ampun, habis itu baru dia berbangkit dengan
pelahan dan kembali ke tempatnya tadi.
Para padri Siau lim-si angkatan Hian tadi telah
mendengar penuturan Hi-Tiok tentang pengalamannya di
Biau-biau-hong. sebaliknya padri lain dan para kesatria
yang menyaksikan itu menjadi terheran-heran akan
kepandaian si nenek yang luar biasa itu tampaknya
kawan-kawannya baik wanita maupun laki-laki itu pun
bukan kaum lemah, tapi mengapa sudi mengaku harnba
pada Hi-tiok.
Dalam pada itu anggota Sing siok-pai yang dasarnya
memang terdiri dari manusia-manusia rendah dan
kurangajar itu, demi melihat banyak di antaranya wanita
Leng-ciu-kiong itu masih muda dan cantik serentak
mereka berkeok-keok dan bersiul-siul menggoda dengan
kata-kata yang kotor.
Sebaliknya para Tongcu dan Tocu itu adalah orang
kasar pula, demi mendengar ucapan orang Sing-siok-pai
yang tidak sopan itu, kontan mereka balas mecaci maki
sehingga seketika itu ramailah suara orang membentak
dan memaki.
Bahkan para Tongcu dan Tocu serentak meloloskan
senjata hendak melabrak lawan-lawannya. Tapi anggota
Sing-siok-pai tidak berani sembarangan bergerak karena
belum mendapat perintah guru mereka. Mereka masih
3476
tetap mencaci maki dengan kata-kata yang semakin
kotor.
Sementara Toan Ki masih terus memusatkan
perhatiannyq untuk menyerang Buyung Hok dengan
Siau-yang-kiam. Karena tercecer, maka akhirnya Buyung
Hok menjadi susah membendung arah datangnya hawa
pedang serangan Toan Ki itu, terpaksa ia putar sepasang
Boan-koan-pit yang lurus dan bengkok itu untuk
melindungi tubuhnya.
Jilid ke-74
"Crit" , sekonyong-konyong hawa pedang Toan Ki
menembus pertahanan Buyung Hok sehingga kopyahnya
terpapas jatuh, seketika rambutnya terurai, keadaannya
serba runyam.
“Jangan, Toan kongcu!" teriak Giok yan dengan
kuatir.
Toan Ki terkesiap, menghela napas panjang dan
serangan lain tidak jadi dilontarkan lagi. Katanya di dalam
hati, "Ya, aku tahu yang kau pikirkan hanya piaukomu
seorang saja, andaikan aku membunuhnya, tentu engkau
akan sangat terluka dan selanjutnya takkan tertawa lagi.
Aku menghormati dan mencintaimu, tidak nanti aku
membikin dirimu hidup merana."
Dalam pada itu Buyung Hok telah mengikat kembali
rambutnya dengan wajah pucat, kalau mendapat
bantuan seorang wanita untuk mengatakan ampun
3477
kepada lawan, maka ke mana lagi mukaku harus ditaruh
selanjutnya?
Karena pikiran itu, ia lantas membentak, "Seorang
laki-laki biar mati juga tidak sudi minta kemurahan
hatimu."
Berbareng ia putar Boan-koan-pit dan menubruk maju
lagi.
"Eh, eh, jangan! kita kan tiada permusuhan apa-apa.
Kenapa mesti bertempur lagi?"' seru Toan Ki sambil
menggoyang-goyang kedua tangannya ke depan.
"Sudahlah aku tak mau berkelahi lagi, tak mau lagi!"
Dasar watak Buyung Hok memang tinggi hati
selamanya dia tidak pandang sebelah mata pada siapa
pun, tapi sekarang dia kecundang di depan orang banyak
celakanya lawan adalah orang yang dikenal sebagai
pelajar tolol itu, apalagi lawannya lantas mengalah
lantaran Giok-yan ikut minta. Sudah tentu la tidak mau
terima mentah-mentah kekalahannya.
Maka sekali menubruk maju, segera ia gunakan
Boan-koan-pit yang bengkok itu untuk menyerang müka
Toan Ki, sebaliknya Boan-koan-pit lurus menusuk dada
lawan, pikirnya, "Biarlah kau bunuh aku dengan hawa
pedang tak kelihatan itu, marilah kita. gugur bersama
daripada hidup menanggung malu di dunia ini."
Nyata, dengan serangan Buyung Hok itu, terang dia
sudah nekat dan tidak menghiraukan sendiri lagi.
3478
Di lain pihak Toan Ki menjadi bingung juga ketika
melihat Buyung Hok menubruk ke arahnya, kalau ia
gunakan Lak-meh-sin-kiam, kuatír akan membinasakan
lawan itu. Dan karena sedikit ayal serangan Buyung Hok
sudah tiba, “Bles”, tahu-tahu Boan-koan-pit menancap
dibadan Toan Ki sedang dalam kagetnya mengeges
sedikit ke kiri sehingga tusukan itu tidak tepat menembus
dadanya tapi menancap bahunya, begitu hebatnya
serangan itu sehingga bahu Toan Ki tertembus.
Dan Takkala Toan Ki menjerit kaget menyusül
Buyung Hok ayun Boan-kuau-pit lain yang bengkok itu
untuk menggaet leher Toan Ki.
Saat itu Toan telah dipantek oleh Boan-koan-pit
sehingga susah mengelak lagi, tampaknya dia pasti akan
dibinasakan oleh serangan Buyung Hok yang sudáh
kalap itu.
Melihat keadaán berbahava itu, kembali Toan Cing-
Sun dan Lam-hai-gok-sin menubruk maju lagi hendak
menolong. Tapi sekali ini Buyung-Hok sudah bertekad
harus mernbunuh Toan Kí, maka ia tidak menghiraukan
keselamatan sendiri yang diserang sekaligus oleh Toan
Cing-sun dán Lam-hai-gok-sin berdua.
Tampaknya leher Toan Kí akan segera dapat digantul
oleh Boan-koan-pitnya yang bengkok itu, walaupün
Buyung Hok sendiri juga takkan terhindar dari kematian
karena di serang bareng oleh Cing-sun dan Gok-sin, di
luar dugaan pada detik yang menentukan itu sekonyongkoyong
Buyung Hok merasa "Sin-to-hiat" di punggungnya
terasa kesemutan dan tahu-tahu badan kena dicengram
dan diangkat ke atas oleh tangan seseorang.
3479
Sin-to-hiat adalah hiat-to terpenting di bagian
punggung, sekalí tempat itü terpegang seketika terasa
kedua tangan linu pegal dan tak bertenaga lagi sehingga
senjata yang dipegangnya juga terjatuh.
Maka mendengar Siau Hong membentak dengan
suara bengis, "Orang sengaja mengampun jiwamu, tapi
kamu malah turun tangan keji. Huh, terhitung ksatria
macam apakah ini!"
Kiranya Siau Hong telah mengikuti tindakan Buyung
Hok yang nekat tadi dengan menubruk maju tanpa
menghiraukan keselamatannya sendiri, dalam keadaan
begitu, kalau Toan Ki mau menyerang lagi, dengan
gampang sekali jiwa Buyung Hkk pasti akan melayang.
Tapi sama sekali tak terduga bahwa pada saat yang
menguntungkan itu mendadak Toan Ki “melongok" di
tengah jalan dan tidak mau menyerang, Sebaliknya
serangan Buyung Hok tadi teramat cepat datängnya,
walau Siau Hong juga harus memburu maju secepat kilat
terus mencengkram pinggang Buyung Hok, tapi tidak
beruntung Toan Ki sudah dilukai lebih dulu.
Sebenarnya dengan kepandaian Buyung Hok yang
tinggi itu, meski masih kalah setingkat dari pada Siau
Hong, tapi juga tidak perlu sekali gebrak saja lantas
tertawan. Soalnya waktu itu dia sudah kalap dan nekat,
yang dipikir hanya membinasakan Toan Ki melulu dan
sama sekali tidak menghiraukan keselamatannya sendiri.
Sedangkan cengkeraman Siau Hong itu pun semacam
Kim-tiaw-jiu-hoat yang amat cepat dan lihai, yang diarah
3480
juga hiat-to terpenting, maka Buyung Hok lantas
tertangkap dan tak bisa berkutik lagi.
Dasar perawakan Siau Hong juga tinggi besar tangan
panjang dan kaki jangkung, ia pegang Buyung Hok ke
atas hingga mirip elang mencengram anak ayam.
Melihat sang majikan terancam bahaya, serentak Ting
Pek-Jwan, Kongya Kian, Pau Put-tong dan Hong Po-ok
berempat berlari maju sambil berteriak, "Jangan
mencelakai Cukong kami!"
Begitu juga Giok-yan ikut berlari dan berseru, "Piauko!
Piauko!"
Namun berada di bawah cengkraman orang biarpun
Buyung Hok mempunyai kepandaian setinggi langit juga
sukar dikeluarkan. Sungguh ia ingin lebih baik mati saja
daripada menderita hinaan sehebat itu.
Tiba tiba Siau Hong tertawa dingin dan berseru, "Huh,
Siau Hong adalah seorang laki-laki sejati ternyata diberi
nama sejajar dengan manusia rendah seperti ini,
sungguh memalukan saja!"
Dan sekali bergerak segera ia lemparkan Buyung
Hok.
Di lempar oleh tenaga Siau Hong yang maha kuat itu,
kontan Buyung Hok mencelat sampai belasan meter
jauhnya. Segara ia melejit hendak berbangkit, tak
tersangka ketika Siau Hong mencengkram hiat to
punggungnya tadi, tenaga dalam Siau Hong telah
dikerahkan sehingga menembus seluruh urat nadinya,
3481
maka dalam waktu sekejap saja Buyung Hok tidak dapat
melancarkan kembali jalan darahnya, "Blang", tanpa
ampun lagi ia terbanting di tanah dalam keadaan serba
runyam.
TAMAT