Mawar dan Mbak Menik
Hari itu hari Minggu. Aku biarkan diriku terduduk di beranda-ah, sebenarnya tak bisa disebut beranda. Bayangkan, hanya 50 kali 200 cm, bagaimana mungkin bisa disebut beranda? Mungkin emper adalah kata yang tepat untuk ruang kecil di depan tembok rumahku ini. Tapi, sebenarnya emper, atau teras adalah kata lain untuk beranda. Ah, entahlah, sering kali aku mengucapkan atau memilih sebuah kata lebih kepada rasa daripada pertimbangan akal sehat.
Aku biarkan diriku terduduk di kursi plastik berdua dengan istriku. Kami diam dan memandang sesuatu yang kami sendiri sebenarnya tak tahu. Jika dilihat dari jalan, mungkin kami ini seperti dua orang yang sedang ada konflik.
“Beli koran, dong Mas,” tiba-tiba istriku nyeletuk. Pecah sudah kebekuan kami bermenit-menit lalu.
“Untuk apa?”
“Dibaca…”
“Di mana, belinya?”
“Di toko material…,” jawabnya kesal.
Aku tertawa geli. Senang rasanya bisa menggoda istriku.
“Kenapa kamu tidak memandangi mawar kita ini saja?”
“Tiap hari sudah aku pandangi, dan nggak ada istimewanya…”
“Masak?”
“Ya…, selain dia tumbuh di closet duduk…”
“Terus…?
“…warnanya merah…”
“Terus?”
Dia diam saja.
Aku pun paham… jangan-jangan dia memikirkan sesuatu yang sebenarnya sangat kutakutkan. Anak lagi. Mawar ini bisa tumbuh di tanah yang kurang subur, tapi dari rahim istriku tak tumbuh janin. Tidak berhubungan memang, tapi sering kali yang begini ini terhubung-hubungkan dengan sendirinya. Situasi memang sering kali berkelakuan aneh pada perasaan orang.
“Dulu kamu bilang… mawar itu adalah anakmu!”
“Bukan, Ma… mawar itu akan jadi tanda kasih sayang, dan anak-anak kita akan menyaksikan bukti hidup bahwa mereka tumbuh dari kasih sayang orangtuanya… Gitu.”
“Ya, pokoknya, kau sayangi mawar itu seperti kau menyayangi anakmu sendiri…”
“Lho… kok, jadi gitu?”
Aku lantas diam. Mawar yang tumbuh subur dengan bunga merahnya berdompolan di antara hijaunya daun dan putihnya porselen closet duduk itu, kini membangkitkan masalah lama. Kami sudah periksa ke dokter, dan kami berdua dinyatakan sehat-sehat saja. Istriku subur, aku pun subur. Tapi…, kami sampai saat ini, setelah sebelas tahun menikah, belum juga dikaruniai anak.
Aku mencoba bersabar, dia pun begitu. Kami menyibukkan diri dengan macam-macam kegiatan-termasuk mengurusi mawar ini, tapi… masalah yang satu itu tak bisa dihapus begitu saja. Aku sering memergoki istriku, di mal, di antrean loket bioskop, tengah hanyut memandangi seraut wajah bulat bocah mungil yang-entah mengapa-melemparkan senyumnya pada istriku. Dan setiap kali mataku menyaksikan pemandangan itu, ada desiran aneh di hatiku, lalu meluap mencair dan menggenangi pelupuk mataku.
AKU segera pergi ke kios di persimpangan jalan, membeli koran, tentu saja. Di kios itu kulihat majalah untuk keluarga muda dengan sampul sekeluarga artis muda yang baru saja punya anak. Aku membayangkan, yang perempuan adalah istriku, dan artis sinetron yang gagah itu adalah aku, tengah bahagia menggendong buah hati kami yang pertama.
Karena terlalu memandangi sampul tabloid itu, si penjual berdehem dan itu membuatku kaget. “Bagus, ya?” Komentarku sekenanya.
“Ya, bagus… wong dirawat, Mas…”
“Apanya?”
Sesaat si penjual diam, mungkin bingung. Tapi, tak lama kemudian dia jelaskan bahwa yang dimaksudkan adalah tubuh si cantik yang tengah bergaya di sampul itu. Aku pun senyum dan pura-pura setuju; padahal aku tidak berkomentar apa pun soal si artis itu.
Sesampai di rumah, istriku langsung menyambar tabloid yang kubawa. “Kok, yang ini, sih? Karena ada ’dia’ ya,” ujarnya sambil terus membolak-balik halaman tabloid. Aku terbengong-bengong, lalu kutimpali dengan “terima kasih, ya, Mas…”
Istriku tertawa, lalu mengecup pipiku. Ah, mengapa yang satu ini masih saja memberikan desiran aneh di jiwa?
“Eh, Mas… tadi Mbak Menik telepon… katanya mau ke Jakarta..”
“Mbak Menik?”
“Iya… sekeluarga.”
“Lho, ada apa? Sekeluarga? Apa anak-anak liburan?”
“Kok, nadanya nggak senang, sih, mau didatangi kakak sendiri…,” kata istriku menanggapi perubahan wajahku.
Bagaimana mungkin aku bisa gembira mendengar nama kakak perempuanku disebut-sebut, wong dia adalah wanita pembenci mawar. Di rumah kami dulu, sewaktu kami masih anak-anak, satu-satunya manusia penghuni rumah kami yang benci terhadap tanaman, terutama mawar, adalah Mbak Menik. Dia selalu mencabuti tanaman hias kami. Nggak bersih, repot, ada durinya… dan masih banyak lagi alasan untuk “membersihkan” rumah dari berbagai jenis tanaman. Sayangnya, Mbak Menik adalah kesayangan ayah jadi semua kemauannya dituruti. Sementara, kami semua sangat takut pada ayah. Akhirnya, rumah kami adalah rumah paling gersang di seluruh kampung.
Bayangkan, mawar yang dengan susah payah kutanam, bahkan dengan pengorbanan yang tak bisa dihitung dengan rupiah, akan menghadapi malapetaka. Dan bila hal itu terjadi, bagaimana mungkin aku bisa diam saja?
Malamnya, terus terang, aku tak bisa tidur. Aku sudah bisa membayangkan bahwa mulai dari gerutunya, Mbak Menik akan mengintervensi mawarku. Maklumlah, di keluargaku, dia adalah makhluk paling galak.
Haruskah mawar itu kupindahkan sementara? Tapi ke mana? Kami tak punya halaman, dan kalau hanya dipindahkan, dia tetap bisa menemukannya. Dia punya penginderaan yang aneh atas apa pun yang tidak disukainya. Niat itu pun akhirnya kubatalkan karena di samping tak mungkin melakukannya tengah malam, juga… ini kan rumahku, rumah bagi mawarku, mengapa dia yang harus disingkirkan?
Ah, aku tak tahu harus bagaimana melindungi mawarku. Aku terus saja berpikir, entah sampai mana, sampai akhirnya aku terjaga karena ada suara ribut-ribut di luar.
Di luar? Bukankah itu suara istriku yang riang gembira? Dan jika dia gembira, artinya… ampuun Tuhanku, pasti itu keluarga Mbak Menik. Mataku masih mengantuk, entah jam berapa semalam aku tertidur.
“Mana si pemimpi itu?” gelegar suara Mbak Menik mencambukku untuk segera bangkit dari tempat tidur. Istriku menjawab bahwa aku sebentar lagi akan…
“Hei…,” ucapanku memotong pembicaraan mereka.
“Hei…, kurus, kamu?” sergah Mbak Menik sambil menatap mataku yang merah. “Jangan begadang melulu, dong… punya istri, kok, ditinggal begadang…,” sambungnya dengan nada tinggi.
Aku hanya tersenyum kecut. Aku khawatir istriku tertusuk ucapannya yang selalu dimaksudkan untuk dihunjamkan ke perasaan orang lain.
Lalu kemenakanku, yang ternyata sudah besar-besar dan pendiam itu, segera mencium tanganku. Aku tersadar, ternyata kami sudah cukup lama tak bertemu. Aku mencari-cari suami Mbak Menik, barangkali sedang membayar taksi atau…
“Masih suka mawar, ya, Pong?” ucapan Mbak Menik membuatku tersengat.
Aku kehilangan kata-kata.
“Masih benci mawar?” jawabku sekenanya, akhirnya.
Mbak Menik diam. Istriku segera mempersilakan kemenakannya untuk masuk kamar, yang sejak kemarin dikosongkan.
“Apa istimewanya, sih, mawarmu? Aku pingin lihat?” sambil berkata begitu, dia segera beranjak dari tempatnya. Aku melompat dan menghalanginya.
“Jangan, Mbak. Jangan coba-coba mengusik mawarku…”
Mbak Menik tertawa, masih keras seperti dulu.
“Rosa, Cindy… lihat, Om-mu adalah malaikat pelindung mawar…,” dilanjutkan dengan gelak tawanya yang kian keras.
Aku terdiam lagi. Terasa ada sesuatu pada diriku. Ya, aku telah lama sekali tidak mendengar gelak tawanya. Aku telah lama sekali tidak mendengar teriakannya. Aku telah lama sekali tidak bertemu dengannya. Aku rindu. Dialah pengganti bundaku, sejak bunda meninggal. Entah mengapa, aku peluk dia dan air mataku tumpah ruah di pelukannya.
Mula-mula dia tertegun. Tapi, rasanya, dia pun merasakan apa yang kurasakan. Dia peluk aku, dia ciumi aku. Kurasakan pipinya hangat oleh air mata kerinduannya.
Lalu, entah bagaimana, kami duduk di beranda dan menatap mawarku. Dia sama sekali tidak menyinggung mawarku. Ini aneh. Dia bercerita bahwa dua tahun yang lalu, dia bercerai. Persoalannya klise, sepele, dan klasik: ada orang lain. Namun, sebagaimana yang aku bayangkan, dia tegar. Sebagai orang kuat sebuah perusahaan farmasi, dia memang besi. Dari seorang penjaja obat dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain dengan upah komisi penjualan, atau dari satu dokter ke dokter lain, lalu menjadi manajer area, kini dia… entah apalagi, dia memang layak hidup berkecukupan. Namun, perkawinannya kandas; kadang aku berpikir, hidup memang nggak fair.
“Anak-anak, ’gimana?” tanyaku hati-hati.
“Mereka tegar. Mereka tahu persoalannya. Mereka tahu bapaknya salah dan mereka sudah memaafkan. Karenanya, mereka juga mendukung keputusanku untuk cerai dari bapak mereka.” Ucapnya sambil menghisap sebatang rokok.
“Mulai kapan kamu merokok?”
“Sejak semuanya memanas, aku seperti menemukan kawan yang tak banyak bicara, tapi setia mendengarkan kesepianku… Ini!” ucapnya mantap sambil mengangkat rokoknya, lalu tertawa.
Kopi hangat terhidang. Lalu kami ngobrol ke sana-ke mari. Aku menanyakan sanak saudara. Dia menjawab bahwa si anu sudah kawin, si itu sudah meninggal, si A anaknya lima, si B anaknya baru satu dan seterusnya, sampai akhirnya dia menyadari bahwa ucapannya mungkin salah, dia mendadak diam.
“Sori, pong…,” dia selalu memanggilku dengan sebutan pong dari kata ompong-waktu kecil aku memang ompong. Aku mengerti arah bicaranya, dia tak mau menyinggung soal anak di depan istriku.
“Nggak apa-apa…,” jawabku.
“’Gimana?” Bisiknya.
Aku mengerti, dia masih kepingin tahu apakah aku dan istriku masih mungkin punya anak atau tidak. Aku jawab mungkin. Dia hanya mendesah. “Aku punya kenalan ginekolog. Di Jakarta, sini, tinggalnya… di bilangan Kebayoran Baru… Kalau, kau mau…”
Aku hanya tersenyum. Ah, perhatiannya padaku memang tak berkurang.
“Mawarmu, aneh, pong…”
Mati aku. Kenapa tiba-tiba dia membelokkan pembicaraan ke mawar? Lalu, seperti biasa, dia segera mendekati mawarku. Kuburu dia, berusaha mencegah hal-hal yang tak kuinginkan terjadi pada mawarku.
Sempat kulihat mawar-mawar itu seakan menguncup ketakutan. Ah, kasihan kalian. Ini adalah bude kalian, mengapa harus takut. Dia galak, tapi, kurasa dia tak akan mengutak-atik kalian.
“A… aapanya yang aneh?”
“Hmm… entahlah. Mawar kampung, kan, ini?”
“Ya…”
“Banyak durinya, kan, ini?”
“Jelas, wong, mawar…”
“Istrimu nggak pernah kena durinya?”
“Mmm… nggak, tuh.”
“Hmmm. Aneh.”
“Apanya?”
Dia diam saja. Aku tegang. Terus terang, ini saat-saat paling mendebarkan dalam hidupku. Aku terpaku beberapa saat, sampai akhirnya kusadar, Mbak Menik sudah menggenggam sekop. “Mau kau apakan mawarku?” setengah berteriak aku melompat. Dia hanya tersenyum.
“Kamu kenapa, sih, pong?”
“Aku tahu, mbak nggak suka mawar, tapi, kali ini… kumohon… jangan kau ganggu mawarku…”
“Minggir!” Dia mendorong tubuhku. Aku terhuyung, tak kusangka tenaganya luar biasa. Dengan cekatan, dia mengeduk tanah di dekat pagar. Beberapa kali kemudian, sebuah lubang besar menganga. Lalu, tanpa persetujuanku dia mengangkat closet dan mulai mengeduk mawarku. Teriakan dan ketakutanku tak digubrisnya. Istriku dan kemenakanku berlari ke depan dan tak berani melakukan apa-apa.
Sejam kemudian, mawarku telah pindah ke sudut halaman. Aku diam. Indah sekali. Mbak Menik menyiramnya. Lalu, “… tahu nggak, bunda sangat suka pada mawar. Ketika bunda meninggal, aku marah, entah pada siapa. Lalu aku hancurkan semua yang berkaitan dengan bunda, termasuk mawar.
Tapi, ketika sudah cerai… aku sering rindu pada bunda. Aku jadi ingin bunda berada di antara kehidupanku. Lalu aku tanami rumahku dengan mawar.”
Semuanya diucapkannya dengan enteng, tanpa beban, apalagi didramatisir. Hanya saja, aku jadi tercenung. Lukanya jauh lebih parah dari luka yang kuderita semenjak bunda meninggal; ya, waktu bunda meninggal aku masih belajar jalan.
“Nah, gini, kan bagus…” ucapnya bangga. Terus terang, diletakkan di sudut halaman, mawar jadi tampak indah. “Bagus, nggak?”
Aku tersenyum. Rasanya baru kali ini aku paham siapa Mbak Menik.
Pagi itu, aku disengat situasi. Pagi hari, di meja makan, di sela-sela keriangan kemenakan, senyum istri, dan suara Mbak Menik, aku saksikan sebuah vas bunga. Di tengahnya sekuntum mawar merah merekah.
Jl Pinang 982
Yanusa Nugroho
Showing posts with label Desember 2003. Show all posts
Showing posts with label Desember 2003. Show all posts
Sunday 20 February 2011
Cakra Punarbhawa
Cakra Punarbhawa
(Kisah Lima Penjelmaan)
Aku lahir. Gajahmada melepas jangkar. Melabuhkan armada tempur di pantai leluhurku. Malam biru. Seperti jubah laut masa lalu.
Ayahku nelayan tua bermata ungu. Suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk, dan perahu. Ibuku dayang istana, perayu ulung, penakluk muasal kata, penadah titah yang patah. Suatu malam raja melepas lelah dalam rahim ibu. Aku terjaga. Aku benih, gabungan sudra dan ksatria, hanyut menggenangi gema genta pendeta. Aku putra jadah. Rasi bintang yang sendiri. Terbuang, tak diakui. Meski raja mencintaiku, namun takhta adalah utama, setelah titah. Ibu mengeluh. Aku pasrah. Maka, nelayan tua bermata ungu itu, kupanggil ayah.
Aku belia dalam kubangan janji-janji Gajahmada, sang penakluk terkutuk. Aku belajar memanah tangis. Menebas air mata. Raja merestuiku jadi laskar. Di garis depan aku bertempur. Demi leluhur, istana, dan raja-ayah yang dulu tak menghendakiku. Namun lacur, aku gugur. Seperti pokok jati yang rubuh di musim kering. Lambungku lebih mencintai tombak ketimbang ombak.
Ruh berputar. Cakra punarbhawa. Ratusan tahun kemudian, kembali aku menitis. Ibuku pelacur terhormat bagi serdadu bermata biru. Dipuja dan dimuliakan, lantaran pinggul bulat, payudara kelapa gading, dan suara merdu merayu. Bertahun kemudian ibu digilir lelaki kuning bermata sipit. Tak tahu aku, siapa sesungguhnya yang pantas kusebut ayah? Apa mungkin langit kupanggil ayah? Dalam tubuhku mengalir darah serakah penjajah. Akhirnya, ibu mati gantung diri, setelah lelah meladeni serdadu ke seribu, yang haus, ganas dan beringas.
Aku tumbuh menjadi penjudi, centeng pelabuhan, pemain perempuan, sekaligus mucikari bagi priayi. Hingga tiba suatu waktu, aku tersihir api revolusi yang menyembur dari mulut Soekarno. Seakan mengenang masa silam, kembali aku mengasah naluri tempur. Pin merah-putih di peci, sesuatu yang kubanggakan sebagai harga diri. Revolver di pinggang dan senapan di tangan. Aku memimpin pasukan menyerbu tangsi dan gudang senjata. Namun, seperti telah dinujumkan, aku gugur berselempang peluru musuh.
Ketika musim pembantaian tiba, aku mekar kembali dalam keluarga buruh tani. Usiaku sepuluh tahun saat ayah digorok dan dikuliti, persis di depan ibu. Darah ayah menghiasi wajah ngeri ibu. Aku tumbuh seperti pohon tanpa daun. Ibu gila dan menghuni rumah sakit jiwa, lalu mati dengan batin luka parah.
Aku menjadi juru warta, mengabarkan sengkarut negeri. Aku menjadi musuh tirani. Suatu malam, kelam gemetar di udara. Suara parau burung hantu membawa derap langkah sepatu lars. Kepalaku dibungkus kain hitam, dipaksa masuk kendaraan yang melaju entah ke mana.
Koran mengabarkan aku lenyap, tanpa jejak. Mereka tak tahu aku dipaksa menjadi penghuni liar kerajaan bawah laut. Aku belajar menyukai aroma garam yang menggelembungkan perut dan jiwaku. Menari bersama ubur-ubur, menyanyi bersama penyu hijau yang terusir, hiu kelabu, ganggang dan kerang. Dari suram bawah laut, ruhku berputar tak tahu arah.
Aku lahir kembali di lorong kumuh sebuah perkampungan kaum lanun, bromocorah, paria, begundal, sundal dan bajingan. Ayahku turunan perompak. Kakekku sahabat ombak. Suka mabuk. Pernah memerkosa perempuan bisu di geladak. Lalu lahirlah ayahku, pohon palam yang mencintai malam.
Ayahku raja pasar gelap. Penyelundup kayu. Juragan candu. Ketika aku bocah, ayah menguap. Jadi buron polisi dan preman. Ada kabar ia mati di comberan. Tubuh bugil, putih-pucat, dan penuh rajah. Ada tujuh lubang luka yang membiru di tubuh.
Aku dipelihara ibu, penari telanjang termasyhur. Paha bercahaya, payudara berkilau. Ibu mengajariku menenggak anggur bercampur abu ganja dan sedikit pil tidur. Ibu melatihku bercinta. Ketika mabuk aku diperkosa. Aku meronta, aku berontak. Ibu menjerit: “aku dahaga!” Ibuku itu bukanlah ibuku. Dia mengaku ibu tiri. Sebab dahaga purba, sukarela aku menjalin asmara dengan ibu tiriku.
O, di mana rahim hangat ibu yang melahirkanku?
Aku mengadu pada senja. O, Pantai Kuta, ke mana kau usir jukung-jukung nelayan? Mataku silau lampu-lampu hotel dan restoran. Seperti tukik, lahir dari kandungan pasir, aku merayap pada hamparan pasir. Ibuku pasir Pantai Kuta. Pada dadanya yang putih bersih aku menyusu. Belajar mencicipi air laut. Mencecap asin garam untuk kali pertama.
Di Pantai Kuta aku menjelma gigolo belia. Usiaku tujuh belas tahun ketika mereguk cinta pertama, seakan menyentuh batu mulia, pada mata jelita negeri salju. Rambut yang separuh pirang, menyisakan gerak bayang pada siang. Mata seteduh lautan, biru yang kurindu, yang memeram kelam topan.
Maka, cerita baru pun kubuka:
Di pantai aku merayu, seakan alpa akan duka masa lalu. Kubah langit jadi jingga. Biru laut mengental pada kerling matamu. Perahuku oleng, arus mabuk. Pasir masih sisakan lokan, bercampur uang kepeng bekas upacara dan tutup botol Coca Cola. Kau berlari kecil dan tertawa renyah ke arah senja yang melindap harap. Buih putih meraba mulus betismu yang ranum tangkai bunga leli. Seperti ibu yang setia, aku menunggu di rindang pohon ketapang. Memandangmu memainkan senja yang ragu dan gemetar meniti ombak liar. Seorang nenek renta bertopi caping memilin helai-helai rambut kusutku jadi beribu warna pelangi, yang melulu sepi.
Agak ragu kau membujuk, mengajakku menyulam malam dalam selimut kusam. Kau ingin aku bernalam, beralaskan tilam, berkisah perihal silsilah masa silam leluhurku, kawanan lanun yang kalah.
Malam melata. Dinding kamar samar. Lampu biru. Cahaya gagu. Kau menawariku anggur. Kita bersulang, untuk sesuatu yang mungkin hilang. Meski getir dan letih, aku telah berkisah. Kini, izinkan aku membajak lekuk tubuh pualammu, hingga baris-baris sajak lumer seperti roti kering tercelup cappucino hangat.
Upacara dimulai. Gaun kau simpan. Kita berdansa perlahan. Irama sunyi nyanyi serangga menghiasi malam. Setengah mabuk kita rebah di atas springbed, hamparan surga kelabu. Beringas kau menyerbu, melumatku tanpa sisa. Ada hangat yang leleh di pangkal paha. Cangkang kerang mengerang. Seribu pesona menganga. Kulit lembut teratai merah muda. Di muka gapura permata camar- camar memekik lirih, meluncur dari nganga bibirmu. Menghambur tak tentu arah. Sesat dalam lebat rimba bakau. Lalu bau kambium melunak. Aroma ganggang meregang, setelah getar terakhir pinggulmu, penakluk pertapa bisu yang menyepi di tengah teluk. Ada sedu sedan tertahan. Dan pantai pun menjerit manja saat ombak pasang menyatukan dua benua.
Lalu, igaumu menyusur malam, menjalar di atas kasur dingin. Uap garam pada kulit tembaga. Getar anggur di pangkal lidah. Sebutir pasir di ujung puting. Lekukmu seindah teluk yang selalu kelabu.
Usai upacara kecil itu, kau memaksaku keluyuran. Seperti pejalan-tidur, mengukur Jalan Legian yang bising, berisik, sesak, pikuk dan sibuk. Padahal aku telah nyaman melipat tubuh dalam selimut. Seperti janin dalam rahim hangat ibu.
“Come on, honey! The night is very nice!”
Setengah memaksa, setengah dipaksa, bagai bocah dungu aku mengikutimu. Sambil menyambar syal, selinting mariyuana kau nyalakan. Aku meraba bungkus kretek di saku jaket. Kau tertawa jenaka. Mata birumu menuju bintang, yang bingung berebut cahaya dengan kerlap-kerlip lampu pub.
Agak mengerak dalam benakku, waktu itu puncak malam Sabtu. Udara dingin Oktober, merembes membasahi arus darah. Namun, dalam pub itu, panas tubuh berbagi panas tubuh, tawa menyilang tawa. Piringan hitam melantunkan I Started A Joke, lagu terakhir yang kau pesan dari DJ berambuk ombak.
Mataku perih. Asap tembakau berbaur bau tubuh bule, mariyuana dan uap alkohol. Tiba-tiba saja aku terkenang aroma karbol. Di sudut remang, bibirmu meraba bibirku. Lidahmu yang panas- meski kau dari negeri salju-memberangus lidahku yang bau hujan tropis.
Sedetik kemudian, waktu tiba-tiba padam. Malam mendadak membara. Panas mengelupas mulus tubuhmu. Bagian tubuhku seperti memasuki liang tanpa cahaya, lubang penuh lendir. Aku gugup. Kau gemetar. Urat-urat darahmu coba meraba geletar asing yang mendedah ruh dan tubuh di ruang pengap kamar yang terbakar.
Terasa ringan, aku kapas diempas angin. Dari dalam udara, aku melihat tubuh-tubuh menyerpih. Ada bau daging gosong. Orang-orang bingung. Sirine ambulance ngeri, meraung tak henti.
Duhai, Ilahi, rahasia cakrawala terbuka sebelum waktu. Seperti lokan buta yang meraba dengan sungut, ruhku tertatih meraba kegelapan jalan terakhirku. Aku perlu peta, menyibak rute pelayaran, menyusuri gelombang pinggul yang bagai badai. Napasku tercekik belelai gurita raksasa, tepat saat jari-jari tanganmu ingin raih bulan di atas samudra.
Pada parak pagi, kutemukan tubuhku remuk di antara tumpukan puing dan abu. Bibirmu yang ranum menganga, menadah derita di atas basah aspal jalan. Seribu camar tak henti memekik dan berhamburan tak tahu arah.
Kemudian, hari, minggu, dan bulan. Sesuatu yang disebut waktu, bergelantungan di pucuk-pucuk pohon waru. Seorang gelandangan lusuh menyusur Jalan Legian. Aku terkesima! Gelandangan lusuh itu, aku sendiri!
Hanya baju-baju kaus pengabar duka, pamflet setengah hangus, seikat bunga layu, potret kekasih dan orang tercinta berjajar pada pagar seng kusam. Saling berebut perhatian, tertuju pada semua penjuru mata.
Mungkin pernah seorang relawan menemukan biji mata biru pada sisa abu. Pinggul setengah matang. Atau mungkin gema tangis dari sisa puing. Mengambang dalam malam bergerimis. Uap alkohol bercampur sisa embun.
Kukenang bayangmu. Sebentuk bibir yang sia-sia menempel di kaca jendela diskotek. Ada bekas ganggang biru dan sedikit sengat ubur-ubur pada gambar naga di lengan kanan. Sisa garam pada rambut yang separuh hangus. Betis mulus yang terkelupas seperti mangga matang, yang pernah memukau lanun, membajak gelinjang yang terus meradang, mengerang, menggasing dalam putaran sembilan bulan. Seperti kekunang tersihir cahaya gemintang.
Tak ada lagi mantra penolak bala atau sesaji penenang ruh. Pun karangan bunga muram. Mungkin hanya sebutir aspirin, jarum suntik dan lima linting mariyuana, teronggok di sudut kamar kusam.
Kaukah ruh, asal segala keluh dan jenuh? Atau aku noktah yang akan terhapus dari kenangan. Atau aku ruh, yang berkisah perihal waktu, yang menumbukku jadi debu?
Kau beri aku kembara tanpa dangau kekal. Aku ulang-alik, berpindah dari satu tubuh ke lain tubuh. Seperti burung-burung yang diusir musim dingin. Pintu rahim siapa mesti kuketuk lagi, demi ruh yang tak henti mengembara. Aku letih menyusuri garis edarku sendiri. Aku bukan matahari, bukan bulan, bukan bumi. Aku noktah pada hamparan semestaMu. Bila aku mengakui adaMu, apa harus aku mempercayaiMu?
Bila Kau titiskan aku lagi, beri aku sebilah kelewang berkilau dan kuda putih. Aku hanya sudi menjelma ketika usia bumi merapat tua. Itulah akhir titahMu, akhir kembaraku. Itulah saat aku mengukur umurku sendiri, mengumpulkan remah-remah karma.
Atau titiskan aku lagi 666 tahun kemudian, ketika bumi menjadi lapisan es. Aku akan menjelma ikan-ikan cahaya, yang menghuni lubuk paling kelam dari samudra membeku, dari jiwa paling kelabu. Dan Kau? Kau membeku dalam istanaMu!
Kuta-Denpasar, 2003
Wayan Sunarta
(Kisah Lima Penjelmaan)
Aku lahir. Gajahmada melepas jangkar. Melabuhkan armada tempur di pantai leluhurku. Malam biru. Seperti jubah laut masa lalu.
Ayahku nelayan tua bermata ungu. Suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk, dan perahu. Ibuku dayang istana, perayu ulung, penakluk muasal kata, penadah titah yang patah. Suatu malam raja melepas lelah dalam rahim ibu. Aku terjaga. Aku benih, gabungan sudra dan ksatria, hanyut menggenangi gema genta pendeta. Aku putra jadah. Rasi bintang yang sendiri. Terbuang, tak diakui. Meski raja mencintaiku, namun takhta adalah utama, setelah titah. Ibu mengeluh. Aku pasrah. Maka, nelayan tua bermata ungu itu, kupanggil ayah.
Aku belia dalam kubangan janji-janji Gajahmada, sang penakluk terkutuk. Aku belajar memanah tangis. Menebas air mata. Raja merestuiku jadi laskar. Di garis depan aku bertempur. Demi leluhur, istana, dan raja-ayah yang dulu tak menghendakiku. Namun lacur, aku gugur. Seperti pokok jati yang rubuh di musim kering. Lambungku lebih mencintai tombak ketimbang ombak.
Ruh berputar. Cakra punarbhawa. Ratusan tahun kemudian, kembali aku menitis. Ibuku pelacur terhormat bagi serdadu bermata biru. Dipuja dan dimuliakan, lantaran pinggul bulat, payudara kelapa gading, dan suara merdu merayu. Bertahun kemudian ibu digilir lelaki kuning bermata sipit. Tak tahu aku, siapa sesungguhnya yang pantas kusebut ayah? Apa mungkin langit kupanggil ayah? Dalam tubuhku mengalir darah serakah penjajah. Akhirnya, ibu mati gantung diri, setelah lelah meladeni serdadu ke seribu, yang haus, ganas dan beringas.
Aku tumbuh menjadi penjudi, centeng pelabuhan, pemain perempuan, sekaligus mucikari bagi priayi. Hingga tiba suatu waktu, aku tersihir api revolusi yang menyembur dari mulut Soekarno. Seakan mengenang masa silam, kembali aku mengasah naluri tempur. Pin merah-putih di peci, sesuatu yang kubanggakan sebagai harga diri. Revolver di pinggang dan senapan di tangan. Aku memimpin pasukan menyerbu tangsi dan gudang senjata. Namun, seperti telah dinujumkan, aku gugur berselempang peluru musuh.
Ketika musim pembantaian tiba, aku mekar kembali dalam keluarga buruh tani. Usiaku sepuluh tahun saat ayah digorok dan dikuliti, persis di depan ibu. Darah ayah menghiasi wajah ngeri ibu. Aku tumbuh seperti pohon tanpa daun. Ibu gila dan menghuni rumah sakit jiwa, lalu mati dengan batin luka parah.
Aku menjadi juru warta, mengabarkan sengkarut negeri. Aku menjadi musuh tirani. Suatu malam, kelam gemetar di udara. Suara parau burung hantu membawa derap langkah sepatu lars. Kepalaku dibungkus kain hitam, dipaksa masuk kendaraan yang melaju entah ke mana.
Koran mengabarkan aku lenyap, tanpa jejak. Mereka tak tahu aku dipaksa menjadi penghuni liar kerajaan bawah laut. Aku belajar menyukai aroma garam yang menggelembungkan perut dan jiwaku. Menari bersama ubur-ubur, menyanyi bersama penyu hijau yang terusir, hiu kelabu, ganggang dan kerang. Dari suram bawah laut, ruhku berputar tak tahu arah.
Aku lahir kembali di lorong kumuh sebuah perkampungan kaum lanun, bromocorah, paria, begundal, sundal dan bajingan. Ayahku turunan perompak. Kakekku sahabat ombak. Suka mabuk. Pernah memerkosa perempuan bisu di geladak. Lalu lahirlah ayahku, pohon palam yang mencintai malam.
Ayahku raja pasar gelap. Penyelundup kayu. Juragan candu. Ketika aku bocah, ayah menguap. Jadi buron polisi dan preman. Ada kabar ia mati di comberan. Tubuh bugil, putih-pucat, dan penuh rajah. Ada tujuh lubang luka yang membiru di tubuh.
Aku dipelihara ibu, penari telanjang termasyhur. Paha bercahaya, payudara berkilau. Ibu mengajariku menenggak anggur bercampur abu ganja dan sedikit pil tidur. Ibu melatihku bercinta. Ketika mabuk aku diperkosa. Aku meronta, aku berontak. Ibu menjerit: “aku dahaga!” Ibuku itu bukanlah ibuku. Dia mengaku ibu tiri. Sebab dahaga purba, sukarela aku menjalin asmara dengan ibu tiriku.
O, di mana rahim hangat ibu yang melahirkanku?
Aku mengadu pada senja. O, Pantai Kuta, ke mana kau usir jukung-jukung nelayan? Mataku silau lampu-lampu hotel dan restoran. Seperti tukik, lahir dari kandungan pasir, aku merayap pada hamparan pasir. Ibuku pasir Pantai Kuta. Pada dadanya yang putih bersih aku menyusu. Belajar mencicipi air laut. Mencecap asin garam untuk kali pertama.
Di Pantai Kuta aku menjelma gigolo belia. Usiaku tujuh belas tahun ketika mereguk cinta pertama, seakan menyentuh batu mulia, pada mata jelita negeri salju. Rambut yang separuh pirang, menyisakan gerak bayang pada siang. Mata seteduh lautan, biru yang kurindu, yang memeram kelam topan.
Maka, cerita baru pun kubuka:
Di pantai aku merayu, seakan alpa akan duka masa lalu. Kubah langit jadi jingga. Biru laut mengental pada kerling matamu. Perahuku oleng, arus mabuk. Pasir masih sisakan lokan, bercampur uang kepeng bekas upacara dan tutup botol Coca Cola. Kau berlari kecil dan tertawa renyah ke arah senja yang melindap harap. Buih putih meraba mulus betismu yang ranum tangkai bunga leli. Seperti ibu yang setia, aku menunggu di rindang pohon ketapang. Memandangmu memainkan senja yang ragu dan gemetar meniti ombak liar. Seorang nenek renta bertopi caping memilin helai-helai rambut kusutku jadi beribu warna pelangi, yang melulu sepi.
Agak ragu kau membujuk, mengajakku menyulam malam dalam selimut kusam. Kau ingin aku bernalam, beralaskan tilam, berkisah perihal silsilah masa silam leluhurku, kawanan lanun yang kalah.
Malam melata. Dinding kamar samar. Lampu biru. Cahaya gagu. Kau menawariku anggur. Kita bersulang, untuk sesuatu yang mungkin hilang. Meski getir dan letih, aku telah berkisah. Kini, izinkan aku membajak lekuk tubuh pualammu, hingga baris-baris sajak lumer seperti roti kering tercelup cappucino hangat.
Upacara dimulai. Gaun kau simpan. Kita berdansa perlahan. Irama sunyi nyanyi serangga menghiasi malam. Setengah mabuk kita rebah di atas springbed, hamparan surga kelabu. Beringas kau menyerbu, melumatku tanpa sisa. Ada hangat yang leleh di pangkal paha. Cangkang kerang mengerang. Seribu pesona menganga. Kulit lembut teratai merah muda. Di muka gapura permata camar- camar memekik lirih, meluncur dari nganga bibirmu. Menghambur tak tentu arah. Sesat dalam lebat rimba bakau. Lalu bau kambium melunak. Aroma ganggang meregang, setelah getar terakhir pinggulmu, penakluk pertapa bisu yang menyepi di tengah teluk. Ada sedu sedan tertahan. Dan pantai pun menjerit manja saat ombak pasang menyatukan dua benua.
Lalu, igaumu menyusur malam, menjalar di atas kasur dingin. Uap garam pada kulit tembaga. Getar anggur di pangkal lidah. Sebutir pasir di ujung puting. Lekukmu seindah teluk yang selalu kelabu.
Usai upacara kecil itu, kau memaksaku keluyuran. Seperti pejalan-tidur, mengukur Jalan Legian yang bising, berisik, sesak, pikuk dan sibuk. Padahal aku telah nyaman melipat tubuh dalam selimut. Seperti janin dalam rahim hangat ibu.
“Come on, honey! The night is very nice!”
Setengah memaksa, setengah dipaksa, bagai bocah dungu aku mengikutimu. Sambil menyambar syal, selinting mariyuana kau nyalakan. Aku meraba bungkus kretek di saku jaket. Kau tertawa jenaka. Mata birumu menuju bintang, yang bingung berebut cahaya dengan kerlap-kerlip lampu pub.
Agak mengerak dalam benakku, waktu itu puncak malam Sabtu. Udara dingin Oktober, merembes membasahi arus darah. Namun, dalam pub itu, panas tubuh berbagi panas tubuh, tawa menyilang tawa. Piringan hitam melantunkan I Started A Joke, lagu terakhir yang kau pesan dari DJ berambuk ombak.
Mataku perih. Asap tembakau berbaur bau tubuh bule, mariyuana dan uap alkohol. Tiba-tiba saja aku terkenang aroma karbol. Di sudut remang, bibirmu meraba bibirku. Lidahmu yang panas- meski kau dari negeri salju-memberangus lidahku yang bau hujan tropis.
Sedetik kemudian, waktu tiba-tiba padam. Malam mendadak membara. Panas mengelupas mulus tubuhmu. Bagian tubuhku seperti memasuki liang tanpa cahaya, lubang penuh lendir. Aku gugup. Kau gemetar. Urat-urat darahmu coba meraba geletar asing yang mendedah ruh dan tubuh di ruang pengap kamar yang terbakar.
Terasa ringan, aku kapas diempas angin. Dari dalam udara, aku melihat tubuh-tubuh menyerpih. Ada bau daging gosong. Orang-orang bingung. Sirine ambulance ngeri, meraung tak henti.
Duhai, Ilahi, rahasia cakrawala terbuka sebelum waktu. Seperti lokan buta yang meraba dengan sungut, ruhku tertatih meraba kegelapan jalan terakhirku. Aku perlu peta, menyibak rute pelayaran, menyusuri gelombang pinggul yang bagai badai. Napasku tercekik belelai gurita raksasa, tepat saat jari-jari tanganmu ingin raih bulan di atas samudra.
Pada parak pagi, kutemukan tubuhku remuk di antara tumpukan puing dan abu. Bibirmu yang ranum menganga, menadah derita di atas basah aspal jalan. Seribu camar tak henti memekik dan berhamburan tak tahu arah.
Kemudian, hari, minggu, dan bulan. Sesuatu yang disebut waktu, bergelantungan di pucuk-pucuk pohon waru. Seorang gelandangan lusuh menyusur Jalan Legian. Aku terkesima! Gelandangan lusuh itu, aku sendiri!
Hanya baju-baju kaus pengabar duka, pamflet setengah hangus, seikat bunga layu, potret kekasih dan orang tercinta berjajar pada pagar seng kusam. Saling berebut perhatian, tertuju pada semua penjuru mata.
Mungkin pernah seorang relawan menemukan biji mata biru pada sisa abu. Pinggul setengah matang. Atau mungkin gema tangis dari sisa puing. Mengambang dalam malam bergerimis. Uap alkohol bercampur sisa embun.
Kukenang bayangmu. Sebentuk bibir yang sia-sia menempel di kaca jendela diskotek. Ada bekas ganggang biru dan sedikit sengat ubur-ubur pada gambar naga di lengan kanan. Sisa garam pada rambut yang separuh hangus. Betis mulus yang terkelupas seperti mangga matang, yang pernah memukau lanun, membajak gelinjang yang terus meradang, mengerang, menggasing dalam putaran sembilan bulan. Seperti kekunang tersihir cahaya gemintang.
Tak ada lagi mantra penolak bala atau sesaji penenang ruh. Pun karangan bunga muram. Mungkin hanya sebutir aspirin, jarum suntik dan lima linting mariyuana, teronggok di sudut kamar kusam.
Kaukah ruh, asal segala keluh dan jenuh? Atau aku noktah yang akan terhapus dari kenangan. Atau aku ruh, yang berkisah perihal waktu, yang menumbukku jadi debu?
Kau beri aku kembara tanpa dangau kekal. Aku ulang-alik, berpindah dari satu tubuh ke lain tubuh. Seperti burung-burung yang diusir musim dingin. Pintu rahim siapa mesti kuketuk lagi, demi ruh yang tak henti mengembara. Aku letih menyusuri garis edarku sendiri. Aku bukan matahari, bukan bulan, bukan bumi. Aku noktah pada hamparan semestaMu. Bila aku mengakui adaMu, apa harus aku mempercayaiMu?
Bila Kau titiskan aku lagi, beri aku sebilah kelewang berkilau dan kuda putih. Aku hanya sudi menjelma ketika usia bumi merapat tua. Itulah akhir titahMu, akhir kembaraku. Itulah saat aku mengukur umurku sendiri, mengumpulkan remah-remah karma.
Atau titiskan aku lagi 666 tahun kemudian, ketika bumi menjadi lapisan es. Aku akan menjelma ikan-ikan cahaya, yang menghuni lubuk paling kelam dari samudra membeku, dari jiwa paling kelabu. Dan Kau? Kau membeku dalam istanaMu!
Kuta-Denpasar, 2003
Wayan Sunarta
Ing Ratri
Ing Ratri
Namaku Vampira Suburbia. Gebyar gemerlap berikut semua cahaya kota besar yang menyala serentak di akhir tahun dan suasana pesta pora yang bisa dirasa di mana-mana meremajakan diriku sehingga tak menjadi tua-tua. Sebagai Nycteris javanica yang tergolong berukuran kecil dibanding makhluk sejenisnya, aku bisa terbang lebih leluasa, lebih bebas menjelajah ke mana-mana. Kini, aku memenuhi janjiku untuk menuju ke sebuah kota, yang pesonanya hanya bisa dijangkau oleh kenangan….
Begitulah, sebab dengan mata biasa-bukan mata Vampira Suburbia-apalah sebenarnya kota ini. Dia hanya sebuah kota kecil dengan pasar tumpah di jalan raya karena bangunan pasar yang telanjur menggusur rakyat tak kunjung jadi-jadi pembangunannya. Terminal angkutan kota menjadi pusat paling semrawut, menduduki pusat lama yang pada zamannya adalah pusat spiritualitas warga. Di manakah taman rinduku yang dulu, dengan pohon-pohon kenari dan sawo manila, atau juga kembang sepatu dan kana yang tumbuh di pinggir-pinggir parit berair jernih?
Tak semua ingatan mampu menembus alam kota fantasi. Di dekat situ ada gereja tua yang dulu terpencil seperti gunung tempat penyucian jiwa atau orang setempat menyebutnya “giri sonta”, tetapi kini tak ubahnya bangunan biasa di tengah kota. Ah, tetapi tunggu: ada juga yang belum terlalu berubah, yakni kapel tua di samping gereja, di mana dulu kami belajar berdoa.
Mempelai itu didudukkan di ujung kapel dengan pakaian tradisional Jawa. Mereka diapit pasangan lumayan tua, orangtua masing-masing mempelai. Burung sriti berkelebat, keluar dari kuda-kuda di langit-langit kapel. Aku terkesiap. Tak ada yang memperhatikan burung yang belebar-beleber terbang ke sana ke mari itu kecuali aku. Benar-benar belum berubah kapel ini….
Berapa tahun semua berlalu? Ayah mempelai wanita memelukku erat-erat. “Kamu jangan pulang dulu, jangan pulang dulu…,” katanya dengan nada tersendat dan mata berkaca-kaca. Ia abaikan tamu-tamu lain yang antre hendak menyalaminya. Bahkan, dia keluar dari “kompartemen” yang dikhususkan untuknya, melangkah menuju pasangan yang berdiri beberapa meter darinya. “Ini tamu yang kita nanti-nanti, yang menghidupi mimpi seluruh warga kota…,” katanya mengenalkanku kepada anak perempuan dan menantunya.
Entah apa yang diucapkannya. Tak ada yang paham maksudnya. Hanya saja, apa pedulinya-sama seperti aku: apa peduliku? Aku-Vampira Suburbia-semata-mata tersedot ke alam mimpi….
Mata banyak orang boleh jadi memperhatikanku: wadag yang ditinggalkan roh yang tengah mengembara bersama burung sriti yang terbang di atas ruangan, sesekali sayap-sayapnya menyenggol tembok dan langit-langit karena mata sriti memang kurang awas di siang hari. Vampira Suburbia yang sangat sadar ruang dan waktu-ia meruang dan mewaktu di kota besar-kini seperti makhluk tolol. Ia linglung terpesona suasana kapel tua yang mengembalikan seluruh dirinya pada kota lama yang pernah dimilikinya.
Seseorang menepuk pundaknya. Vampira Suburbia kaget. Dia membalikkan badan, dan melihat lelaki menjelang tua yang terlihat jelas bagaimana mencoba memelihara penampilan, meski dengan cara sederhana. Lelaki itu mengenakan baju batik, sepatu mengilap habis disemir.
“Kamu pasti lupa dengan saya…,” ucap lelaki di depannya.
Bayang-bayang masa lalu berkelebatan di kepala tokoh kita. Ada yang bisa dia tangkap. “Tidak, aku tidak lupa. Kamu Fred…,” katanya.
Ya, Fred-satu dari sedikit Indo teman di masa lalu. Fred memeluk tak kalah erat dari ayah mempelai wanita sebelumnya. “Puji Tuhan…,” bisik Fred, lumayan membikin Vampira Suburbia terheran-heran. Kata itu, sejauh yang diingatnya, tak termasuk dalam perbendaharaan kata Fred di masa lalu. Waktu, memang telah mengubah segala-galanya. “Eric, Eric benar-benar telah berhasil mengumpulkan saudara-saudaranya…,” lanjut Fred penuh muatan rasa syukur.
Eric yang disebutnya adalah ayah mempelai wanita tadi. Indo atau blasteran juga-karena kota kami dulunya adalah kota pensiunan para pegawai Belanda. Itu salah satu keunikan yang bisa kuingat, sebelum zaman membuat semua hal meleleh, menjadi serba sama saja apa-apa di mana-mana. Fred bercerita, bagaimana Eric berjanji: pada pernikahan anaknya dia akan “mengumpulkan semua saudara-saudaranya”. Yang disebut “saudara-saudara” adalah teman-teman yang selama enam tahun bersama-sama menapaki sekolah dasar. Entah bagaimana, rupanya di antara kami, penggalan masa itu menjadi masa paling tidak terlupakan.
“Yang paling susah dicari adalah kamu,” ucap Fred. “Katanya, kamu telah menjadi siluman…,” tambahnya berseloroh.
Aku cuma tertawa.
“Kamu tetap muda, tak termakan usia,” kata Fred lagi. Khusus di sini-kalau itu merupakan pujian-maka pujian itu membuatku risi. Tiba-tiba aku merasa tubuh wadagku mengasingkanku.
“Namamu pun konon kamu ganti sehingga kami sulit sekali melacak kamu. Baru belakangan kami tahu bahwa yang punya nama seperti hantu itu adalah kamu, saudara kami di masa lalu.” Lagi-lagi Fred memeluk. “Kamu tahu, siapa yang di sana?” kata Fred sambil menunjuk suatu tempat, di mana tampak berdiri lelaki tua, kurus, berkumis panjang tak beraturan. Ketika lelaki itu tersenyum, tampak deretan gigi yang sebagian telah ompong.
Lelaki itu mendekat. Aku cuma menangkap getaran keakraban tanpa bisa mengingat siapa sebenarnya dia.
Hubungan roh mengatasi gejala wadag. Kubahasakan seluruh gerakku untuk menangkap keakrabannya. Dia tahu kalau aku lupa siapa dia. Fred tampak menikmati suasana ini.
“Dia Yik…,” kata Fred.
Aku serasa disambar petir. Yik, “pemimpin” kami di masa lalu. Dulu dia bertubuh paling besar di antara kami-apalagi dibanding aku, yang bertubuh paling kecil. Kini, aku serasa harus agak mengarahkan pandangan mataku ke bawah, karena dia sepertinya lebih pendek dariku. Benarkah pandanganku? Tubuhnya menjadi mengkeret dimakan waktu?
Ia menciumku. Aku tak bisa menyembunyikan keharuan. Dunia benar-benar tidak bergerak ke mana-mana. Dulu dialah yang menjadi “pelindung” teman-temannya. Sekilas aku teringat ketika kami berombongan berjalan kaki ke luar kota menempuh jarak puluhan kilometer, menjalani ajaran di sekolah agar kami berprihatin, berjalan kaki menuju goa di mana terdapat patung Santa Maria.
Dalam bayanganku muncul rawa sangat luas, rel kereta api di sampingnya yang kami susuri menuju kota dimaksud, gunung-gunung, bukit, dan persawahan. Aku teringat dia sebagai murid terbesar mengingatkan teman-temannya, mengulangi pesan guru agar kami berjalan sambil membisikkan doa Salam Maria. Yang tadinya kami enggan, sebagian dari kami barangkali waktu itu benar-benar mengucapkan doa, ketika di sawah di pinggir rawa melintas ular sawah yang seingatku ukurannya sangat besar. Sejak semula kami diingatkan, ketemu apa pun kami tidak boleh melakukan sesuatu kecuali berdoa. Barangkali waktu itu aku berdoa dengan wajah pucat….
“Hidupku berat, mencari uang untuk membesarkan anakku…,” kata Yik.
“Semua orang mencari uang, kalau tidak untuk anak, ya, untuk menghidupi diri sendiri,” tukasku.
Dia tertawa. “Sejak tadi aku sudah tahu bahwa yang kulihat itu pasti kamu. Kamu sama sekali tidak berubah. Kamu tetap kanak-kanak yang dulu,” katanya menepuk-nepuk pipiku.
“Kamu bekerja di mana?” tanyaku.
Dia menyebut tempat kerjanya, hotel paling mewah di ibu kota provinsi. “Dua puluh tahun aku bekerja di situ, tetap menjadi bell boy,” ujarnya sambil tertawa. Ia tiba-tiba melambaikan tangannya. Seorang dara remaja mendekat. “Ini anakku,” katanya. “Ayo, beri salam pada saudara Papa ini….”
Kuperhatikan wajah remaja ini. Sangat manis. Segala berkah bagi Yik: itulah dara ini. Dia agak malu ketika aku bukan hanya menangkap tangannya, tetapi memeluknya. Ternyata dia sudah mahasiswa, bukan siswa SMP seperti kuduga. Ia tersenyum-senyum, tak bisa menghindarkan diri dari apa yang barangkali dipandangnya sebagai “ketololan”, di sekelilingnya.
“Kamu jangan pulang dulu, jangan pulang dulu…,” Kata-kata itu kemudian kudengar dari siapa saja.
Ya, siapa ingin meninggalkan ini semua….
Namaku Vampira Suburbia, namun bagi lingkunganku kali ini tak ada yang peduli siapa atau hantu macam apa itu Vampira Suburbia-kelelawar yang dijaga keremajaannya oleh cahaya neon dan lampu-lampu kota besar. Kutinggalkan tubuh wadagku sebagai keluarga Microchiroptera, keluarga kelelawar pemakan apa saja, termasuk darah yang dilakukan oleh sejenisku, Desmodus rotundus alias vampir.
Rohku yang bergentayangan di antara celah-celah cahaya kota besar dan pernah menyatakan rela tersesat di kepalsuan dunia, kini merasa nyaman berada dalam kapel tua di mana dulu kami belajar berdoa. Aku teringat dinding-dinding gedeg sekolah kami di masa kanak-kanak dulu, di mana di pagi hari cahaya matahari menyusup lewat lubang-lubang kecil di dinding gedeg anyaman bambu itu, menjadikannya seperti bersitan panah-panah emas. Di situ, kalau tak salah, di akhir tahun seperti ini kami diajari menyanyikan kidung Ing Ratri. Di telingaku, mendadak terngiang lagu itu, dengan kata-katanya yang entah bagaimana bisa singgah di kepalaku secara persis:
“Ing ratri, dalu adi/Wus nendro donya sri/Kang wungu mung Brayat Mulya/Sumujud ngadhep kang Putra/Sare ing makanan, sare ing makanan….”
Saudara-saudara, kalau toh nanti tubuh wadag kelelawar Nycteris javanica ini kembali dihuni roh dan jiwa, maka penghuninya bukanlah roh yang mencari keremajaan diri lewat gemerlap cahaya kota besar, melainkan roh dari kapel tua dari kota kecil, dari sekolah di masa kanak-kanak yang berdinding gedeg, yang membisikkan kidung Ing Ratri yang teduh dan hening di malam Natal.
Jakarta, Desember 2003
Bre Redana
Namaku Vampira Suburbia. Gebyar gemerlap berikut semua cahaya kota besar yang menyala serentak di akhir tahun dan suasana pesta pora yang bisa dirasa di mana-mana meremajakan diriku sehingga tak menjadi tua-tua. Sebagai Nycteris javanica yang tergolong berukuran kecil dibanding makhluk sejenisnya, aku bisa terbang lebih leluasa, lebih bebas menjelajah ke mana-mana. Kini, aku memenuhi janjiku untuk menuju ke sebuah kota, yang pesonanya hanya bisa dijangkau oleh kenangan….
Begitulah, sebab dengan mata biasa-bukan mata Vampira Suburbia-apalah sebenarnya kota ini. Dia hanya sebuah kota kecil dengan pasar tumpah di jalan raya karena bangunan pasar yang telanjur menggusur rakyat tak kunjung jadi-jadi pembangunannya. Terminal angkutan kota menjadi pusat paling semrawut, menduduki pusat lama yang pada zamannya adalah pusat spiritualitas warga. Di manakah taman rinduku yang dulu, dengan pohon-pohon kenari dan sawo manila, atau juga kembang sepatu dan kana yang tumbuh di pinggir-pinggir parit berair jernih?
Tak semua ingatan mampu menembus alam kota fantasi. Di dekat situ ada gereja tua yang dulu terpencil seperti gunung tempat penyucian jiwa atau orang setempat menyebutnya “giri sonta”, tetapi kini tak ubahnya bangunan biasa di tengah kota. Ah, tetapi tunggu: ada juga yang belum terlalu berubah, yakni kapel tua di samping gereja, di mana dulu kami belajar berdoa.
Mempelai itu didudukkan di ujung kapel dengan pakaian tradisional Jawa. Mereka diapit pasangan lumayan tua, orangtua masing-masing mempelai. Burung sriti berkelebat, keluar dari kuda-kuda di langit-langit kapel. Aku terkesiap. Tak ada yang memperhatikan burung yang belebar-beleber terbang ke sana ke mari itu kecuali aku. Benar-benar belum berubah kapel ini….
Berapa tahun semua berlalu? Ayah mempelai wanita memelukku erat-erat. “Kamu jangan pulang dulu, jangan pulang dulu…,” katanya dengan nada tersendat dan mata berkaca-kaca. Ia abaikan tamu-tamu lain yang antre hendak menyalaminya. Bahkan, dia keluar dari “kompartemen” yang dikhususkan untuknya, melangkah menuju pasangan yang berdiri beberapa meter darinya. “Ini tamu yang kita nanti-nanti, yang menghidupi mimpi seluruh warga kota…,” katanya mengenalkanku kepada anak perempuan dan menantunya.
Entah apa yang diucapkannya. Tak ada yang paham maksudnya. Hanya saja, apa pedulinya-sama seperti aku: apa peduliku? Aku-Vampira Suburbia-semata-mata tersedot ke alam mimpi….
Mata banyak orang boleh jadi memperhatikanku: wadag yang ditinggalkan roh yang tengah mengembara bersama burung sriti yang terbang di atas ruangan, sesekali sayap-sayapnya menyenggol tembok dan langit-langit karena mata sriti memang kurang awas di siang hari. Vampira Suburbia yang sangat sadar ruang dan waktu-ia meruang dan mewaktu di kota besar-kini seperti makhluk tolol. Ia linglung terpesona suasana kapel tua yang mengembalikan seluruh dirinya pada kota lama yang pernah dimilikinya.
Seseorang menepuk pundaknya. Vampira Suburbia kaget. Dia membalikkan badan, dan melihat lelaki menjelang tua yang terlihat jelas bagaimana mencoba memelihara penampilan, meski dengan cara sederhana. Lelaki itu mengenakan baju batik, sepatu mengilap habis disemir.
“Kamu pasti lupa dengan saya…,” ucap lelaki di depannya.
Bayang-bayang masa lalu berkelebatan di kepala tokoh kita. Ada yang bisa dia tangkap. “Tidak, aku tidak lupa. Kamu Fred…,” katanya.
Ya, Fred-satu dari sedikit Indo teman di masa lalu. Fred memeluk tak kalah erat dari ayah mempelai wanita sebelumnya. “Puji Tuhan…,” bisik Fred, lumayan membikin Vampira Suburbia terheran-heran. Kata itu, sejauh yang diingatnya, tak termasuk dalam perbendaharaan kata Fred di masa lalu. Waktu, memang telah mengubah segala-galanya. “Eric, Eric benar-benar telah berhasil mengumpulkan saudara-saudaranya…,” lanjut Fred penuh muatan rasa syukur.
Eric yang disebutnya adalah ayah mempelai wanita tadi. Indo atau blasteran juga-karena kota kami dulunya adalah kota pensiunan para pegawai Belanda. Itu salah satu keunikan yang bisa kuingat, sebelum zaman membuat semua hal meleleh, menjadi serba sama saja apa-apa di mana-mana. Fred bercerita, bagaimana Eric berjanji: pada pernikahan anaknya dia akan “mengumpulkan semua saudara-saudaranya”. Yang disebut “saudara-saudara” adalah teman-teman yang selama enam tahun bersama-sama menapaki sekolah dasar. Entah bagaimana, rupanya di antara kami, penggalan masa itu menjadi masa paling tidak terlupakan.
“Yang paling susah dicari adalah kamu,” ucap Fred. “Katanya, kamu telah menjadi siluman…,” tambahnya berseloroh.
Aku cuma tertawa.
“Kamu tetap muda, tak termakan usia,” kata Fred lagi. Khusus di sini-kalau itu merupakan pujian-maka pujian itu membuatku risi. Tiba-tiba aku merasa tubuh wadagku mengasingkanku.
“Namamu pun konon kamu ganti sehingga kami sulit sekali melacak kamu. Baru belakangan kami tahu bahwa yang punya nama seperti hantu itu adalah kamu, saudara kami di masa lalu.” Lagi-lagi Fred memeluk. “Kamu tahu, siapa yang di sana?” kata Fred sambil menunjuk suatu tempat, di mana tampak berdiri lelaki tua, kurus, berkumis panjang tak beraturan. Ketika lelaki itu tersenyum, tampak deretan gigi yang sebagian telah ompong.
Lelaki itu mendekat. Aku cuma menangkap getaran keakraban tanpa bisa mengingat siapa sebenarnya dia.
Hubungan roh mengatasi gejala wadag. Kubahasakan seluruh gerakku untuk menangkap keakrabannya. Dia tahu kalau aku lupa siapa dia. Fred tampak menikmati suasana ini.
“Dia Yik…,” kata Fred.
Aku serasa disambar petir. Yik, “pemimpin” kami di masa lalu. Dulu dia bertubuh paling besar di antara kami-apalagi dibanding aku, yang bertubuh paling kecil. Kini, aku serasa harus agak mengarahkan pandangan mataku ke bawah, karena dia sepertinya lebih pendek dariku. Benarkah pandanganku? Tubuhnya menjadi mengkeret dimakan waktu?
Ia menciumku. Aku tak bisa menyembunyikan keharuan. Dunia benar-benar tidak bergerak ke mana-mana. Dulu dialah yang menjadi “pelindung” teman-temannya. Sekilas aku teringat ketika kami berombongan berjalan kaki ke luar kota menempuh jarak puluhan kilometer, menjalani ajaran di sekolah agar kami berprihatin, berjalan kaki menuju goa di mana terdapat patung Santa Maria.
Dalam bayanganku muncul rawa sangat luas, rel kereta api di sampingnya yang kami susuri menuju kota dimaksud, gunung-gunung, bukit, dan persawahan. Aku teringat dia sebagai murid terbesar mengingatkan teman-temannya, mengulangi pesan guru agar kami berjalan sambil membisikkan doa Salam Maria. Yang tadinya kami enggan, sebagian dari kami barangkali waktu itu benar-benar mengucapkan doa, ketika di sawah di pinggir rawa melintas ular sawah yang seingatku ukurannya sangat besar. Sejak semula kami diingatkan, ketemu apa pun kami tidak boleh melakukan sesuatu kecuali berdoa. Barangkali waktu itu aku berdoa dengan wajah pucat….
“Hidupku berat, mencari uang untuk membesarkan anakku…,” kata Yik.
“Semua orang mencari uang, kalau tidak untuk anak, ya, untuk menghidupi diri sendiri,” tukasku.
Dia tertawa. “Sejak tadi aku sudah tahu bahwa yang kulihat itu pasti kamu. Kamu sama sekali tidak berubah. Kamu tetap kanak-kanak yang dulu,” katanya menepuk-nepuk pipiku.
“Kamu bekerja di mana?” tanyaku.
Dia menyebut tempat kerjanya, hotel paling mewah di ibu kota provinsi. “Dua puluh tahun aku bekerja di situ, tetap menjadi bell boy,” ujarnya sambil tertawa. Ia tiba-tiba melambaikan tangannya. Seorang dara remaja mendekat. “Ini anakku,” katanya. “Ayo, beri salam pada saudara Papa ini….”
Kuperhatikan wajah remaja ini. Sangat manis. Segala berkah bagi Yik: itulah dara ini. Dia agak malu ketika aku bukan hanya menangkap tangannya, tetapi memeluknya. Ternyata dia sudah mahasiswa, bukan siswa SMP seperti kuduga. Ia tersenyum-senyum, tak bisa menghindarkan diri dari apa yang barangkali dipandangnya sebagai “ketololan”, di sekelilingnya.
“Kamu jangan pulang dulu, jangan pulang dulu…,” Kata-kata itu kemudian kudengar dari siapa saja.
Ya, siapa ingin meninggalkan ini semua….
Namaku Vampira Suburbia, namun bagi lingkunganku kali ini tak ada yang peduli siapa atau hantu macam apa itu Vampira Suburbia-kelelawar yang dijaga keremajaannya oleh cahaya neon dan lampu-lampu kota besar. Kutinggalkan tubuh wadagku sebagai keluarga Microchiroptera, keluarga kelelawar pemakan apa saja, termasuk darah yang dilakukan oleh sejenisku, Desmodus rotundus alias vampir.
Rohku yang bergentayangan di antara celah-celah cahaya kota besar dan pernah menyatakan rela tersesat di kepalsuan dunia, kini merasa nyaman berada dalam kapel tua di mana dulu kami belajar berdoa. Aku teringat dinding-dinding gedeg sekolah kami di masa kanak-kanak dulu, di mana di pagi hari cahaya matahari menyusup lewat lubang-lubang kecil di dinding gedeg anyaman bambu itu, menjadikannya seperti bersitan panah-panah emas. Di situ, kalau tak salah, di akhir tahun seperti ini kami diajari menyanyikan kidung Ing Ratri. Di telingaku, mendadak terngiang lagu itu, dengan kata-katanya yang entah bagaimana bisa singgah di kepalaku secara persis:
“Ing ratri, dalu adi/Wus nendro donya sri/Kang wungu mung Brayat Mulya/Sumujud ngadhep kang Putra/Sare ing makanan, sare ing makanan….”
Saudara-saudara, kalau toh nanti tubuh wadag kelelawar Nycteris javanica ini kembali dihuni roh dan jiwa, maka penghuninya bukanlah roh yang mencari keremajaan diri lewat gemerlap cahaya kota besar, melainkan roh dari kapel tua dari kota kecil, dari sekolah di masa kanak-kanak yang berdinding gedeg, yang membisikkan kidung Ing Ratri yang teduh dan hening di malam Natal.
Jakarta, Desember 2003
Bre Redana
Sepucuk Surat
Sepucuk Surat
Ketika Pakemon sedang membaca koran pagi di teras depan rumahnya, sambil menikmati secangkir kopi arabika, seorang kurir dari kantor tempatnya bekerja tempo hari datang. Kurir itu mengabarkan, Pak Presdir baru saja meninggal dunia.
“Saya mengantar ini, Pak,” kata kurir itu seraya mengajukan surat ke tangan Pakemon.
“Dari siapa?” tanya Pakemon.
“Tidak tahu Pak. Saya cuma disuruh antar.”
Pakemon mengira, itulah sepucuk surat yang ditunggu-tunggunya dua puluh tahun. Ternyata surat itu dari Pak Presdir almarhum.
“Apa Bapak ingin tidak melayat?” kata sang kurir sebelum meninggalkan rumah Pakemon. “Jenazah beliau disemayamkan di rumah duka.”
“Kapan dimakamkan?”
“Sore ini, Pak.”
Surat itu mengingatkan Pakemon pada masa silamnya. Masa silam yang kelabu.
Pakemon telah menunggu sepucuk surat sejak dua puluh tahun lalu. Namun, dua puluh tahun Pakemon menunggu, dua puluh tahun pula ia menunggu sia-sia.
Kalau Pakemon bertanya pada Bagian PSDM kantornya, selalu terdengar jawaban standar, “Sedang diproses, Pak.”
“Jadi, kapan saya bisa pensiun?”
“Terus terang, saya juga tidak tahu, Pak. Saya cuma tukang tik, Pak. Kalau sudah ada perintah dari atasan saya untuk mengetik es-ka pensiun dini Bapak, tentu segera saya kirimkan kepada Bapak,” kata salah seorang pegawai PSDM.
“Maaf, dengan siapa saya bicara ini?”
“Dengan Ani, Pak.”
Pada kesempatan lain, yang menerima telepon Pakemon adalah Neni. Jawabannya serupa tapi tak sama, “Es-ka-nya sedang diproses, Pak.”
“Jadi, kapan es-ka pensiun dini saya keluar?” kata Pakemon dengan nada tinggi.
“Saya tidak tahu, Pak. Pokoknya, saya sudah serahkan ke sekretaris Pak Presdir. Silakan tanya sekretaris Presdir, Pak.”
Ketika Pakemon bertanya pada Weni, sekretaris Presdir, muncul jawaban,
“Es-ka-nya sudah saya masukkan Pak ke map ’Surat-Surat yang Harus Ditandatangani Presdir’, Pak.”
“Lantas?”
“Saya ’nunggu ditandatangani Bapak Presdir. Setelah itu, baru saya kirim ke Bapak.”
Pakemon sudah hafal jawaban itu semua.
“Sedang diproses, Pak.”
“Sudah diserahkan ke Pak Presdir, Pak.”
“Pak Presdir belum menandatanganinya, Pak.”
“Pak Presdir masih sibuk.”
“Pak Presdir sedang rapat.”
“Pak Presdir sedang ke luar kota.”
“Pak Presdir sedang cuti.”
“Pak Presdir sedang liburan ke Eropa.”
Ajaibnya, jawaban itu sama dari bulan ke bulan. Sama dari tahun ke tahun. Lebih ajaib lagi, itu sudah berlangsung dua puluh tahun. “Tidak masuk akal,” pikir Pakemon.
Salah satu yang disukai Presdir pada Pakemon adalah kehematannya. Pakemon kesohor sebagai orang yang superhemat. Dalam soal uang, ia selalu berpihak pada kepentingan perusahaan. Kalau sudah soal hitung-hitungan, Pakemon mirip pemilik perusahaan.
“Setiap sen yang dikeluarkan perusahaan sepertinya dikeluarkan dari kantong Pakemon sendiri,” komentar para karyawan secara bisik-bisik.
Komentar lain pada Pakemon, “Kita tidak tahu persis apakah Pak Pakemon itu hemat atau pelit….”
Dalam soal disiplin, Pak Presdir juga salut pada Pakemon. Tak ada karyawan yang mampu menandingi Pakemon. Meskipun jam kerja dimulai 7.30 pagi, Pakemon sudah berada di mejanya pukul 6.30. Akibatnya bisa ditebak: para karyawan pun ikut-ikutan datang pagi dan merasa malu kalau masuk lebih dari pukul 7.30.
Pulangnya pun begitu. Meski jam kantor berakhir 16.30, Pakemon selalu pulang pukul 17.30. Akibatnya pun bisa diduga: para karyawan pun ikut-ikutan pulang mendekati 17.30 dan merasa rikuh pulang pukul 16.30 teng.
Tak mengherankan kalau Pakemon dipercaya Presdir menduduki jabatan direktur keuangan perusahaan MNC itu pada usia 30 tahun.
Itu juga sebabnya, Pakemon terpilih menjadi karyawan teladan selama beberapa tahun berturut-turut. Namun, itu pula sumber protes para karyawan terhadap Presdir.
“Pemilihan karyawan teladan tak perlu diteruskan, Pak,” kata mereka.
“Kenapa?” tanya Presdir.
“Lha, kalau caranya begitu, yang terpilih dari tahun ke tahun cuma Pakemon melulu, Pak,” kata yang satu.
“Kalau begitu, Pakemon saja yang kerja, Pak,” kata yang lain.
“Kita-kita ini berhenti saja semua, Pak,” kata yang lain lagi.
Sejak itu, pemilihan karyawan teladan pun ditiadakan.
Kalau bertemu dengan Pakemon, pastilah kau akan iri secara diam-diam atau terang-terangan. Bukan karena istrinya bekas peragawati. Bukan pula karena Pakemon mampu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah unggulan (bayarannya dengan dollar Amerika). Bukan pula karena ia memiliki rumah bagus (Lt 1000m²/Lb 500 m²) di kompleks perumahan paling bergengsi. Bukan pula karena ia memiliki vila di daerah pegunungan (yang dikunjunginya setiap akhir pekan dan hari libur lainnya). Juga bukan karena Pakemon memiliki mobil-mobil made in Germany (BMW paling gres untuk dirinya sendiri; Mercy seri terbaru untuk kegiatan istrinya; Opel Blazer untuk antar jemput kedua anaknya).
Bukan itu.
Pakemon mencapai semua itu pada usia 40 tahun!
Itulah yang menyebabkan Pakemon telah merasa di puncak kariernya. Pakemon rupanya sangat tahu diri. Tak mungkin lagi ia naik ke atas….
“Menjadi salah satu direktur saja sudah di luar impianku,” kata Pakemon pada suatu hari pada istrinya.
Pakemon sangat mensyukuri kedudukan yang diperolehnya di perusahaan MNC itu. Ia tidak ingin lagi lebih dari itu.
“Tapi, kamu kan masih muda, Mas,” sahut istrinya.
“Maksudmu?”
“Kamu masih mempunyai peluang jadi presdir.”
“Jadi p-r-e-s-d-i-r?”
“Ya, jadi p-r-e-s-d-i-r!”
Pakemon yang tak punya ambisi apa-apa ketika melamar di perusahaan MNC itu (“yang penting aku dapat pekerjaan dan bisa hidup”), serasa berada di awang-awang. Jadi presdir? Ah, tidak. Tidak!
Pakemon sangat tahu diri.
“Ah, itu tak mungkin, Pak,” kata Pakemon kepada Presdir pada suatu audienasi. Pakemon sengaja minta waktu untuk menghadap.
“Lalu rencana Saudara selanjutnya apa?”
“Kalau kita sudah di atas, tentu tak ada jalan lain kecuali turun secara terhormat dan sopan.”
Rupanya, Presdir kurang paham maksud Pakemon.
“Maksud Saudara bagaimana?”
“Saya ingin pensiun saja, Pak.”
“P-e-n-s-i-u-n?”
“Ya, pensiun, Pak,” kata Pakemon dengan kalem. “Pensiun dini….”
“Pensiun pada usia empat-puluh tahun?”
“Betul, Pak.”
“Saudara sudah yakin?”
“Yakin, Pak.”
Setelah membaca basa-basi pada awal surat, Pakemon membaca inti surat Presdir itu.
Sebetulnya, saya sangat senang dengan reputasi Anda di perusahaan.
Sayangnya, Anda terlalu cepat berpuas diri. Buktinya, Anda meminta pensiun pada usia 40 tahun, justru saat usia Anda sedang produktif.
Coba Anda bayangkan. Kalau Anda saya perkenankan pensiun dini, tentu saja banyak orang kelak yang akan meminta pensiun dini. Itu preseden buruk, Saudara! Apa jadinya perusahaan yang saya bangun ini dengan susah payah?
Kini usia Anda sudah 60 tahun. Saatnya untuk pensiun. Ya, pensiun normal.
Pensiunlah dengan tenang. SK-nya sudah saya tanda tangani. Silakan ambil di PSDM.
Di bawahnya masih ada kata-kata berikut.
Jangan dendam pada saya. Itu tak baik.
Dua baris terakhir berbunyi:
Anda telah menunggu 20 tahun.
Maaf.
Setelah tanda tangan Pak Presdir, masih ada NB yang berbunyi: Saya ingin menyampaikan satu hal pada Anda. Sebenarnya, saya menjagokan Saudara sebagai kandidat pengganti saya kelak. Sayangnya, Saudara bersikukuh minta pensiun dini.
Istri Pakemon yang mengetahui adanya surat Pak Presdir itu dan telah membacanya berusaha menghibur Pakemon.
“Sudahlah, Pap. Nggak usah dipikir lagi ulah Presdirmu itu.”
Pakemon tak bereaksi. Ia masih merasa sakit hati pada Pak Presdir. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Dibiarkan menunggu dua puluh tahun. Tak digaji. Tak diberi pesangon. Cuma dianggap non-aktif!
“Lupakah saja surat pensiun dini itu, Pap.”
Pakemon menarik napas panjang. Ia perhatikan surat Presdir itu. Dibacanya lagi. Namun, sakit hatinya tak hilang-hilang jua; malah makin menancap lebih dalam. Kenapa dia biarkan aku menunggu dua puluh tahun? Kenapa aku harus menanti dua puluh tahun tanpa kabar? Kenapa aku dipingpong ke sana kemari hanya untuk sepucuk surat?
“Toh semua sudah berlalu, Pap, buat apa dipikiri?”
Pakemon mengangkat cangkir dari tatakannya, kemudian menyeruput kopi arabika kesukaannya. Ditaruhnya surat Presdir di meja di hadapannya, kemudian diteruskannya membaca koran pagi.
Ketika istri Pakemon mengajak, “Ayo kita melayat, Mas!” Pakemon tampak bergeming. Pakemon belum tahu, apakah ia akan melayat atau tidak.
Jakarta, 8-9-2003
Pamusuk Eneste
Ketika Pakemon sedang membaca koran pagi di teras depan rumahnya, sambil menikmati secangkir kopi arabika, seorang kurir dari kantor tempatnya bekerja tempo hari datang. Kurir itu mengabarkan, Pak Presdir baru saja meninggal dunia.
“Saya mengantar ini, Pak,” kata kurir itu seraya mengajukan surat ke tangan Pakemon.
“Dari siapa?” tanya Pakemon.
“Tidak tahu Pak. Saya cuma disuruh antar.”
Pakemon mengira, itulah sepucuk surat yang ditunggu-tunggunya dua puluh tahun. Ternyata surat itu dari Pak Presdir almarhum.
“Apa Bapak ingin tidak melayat?” kata sang kurir sebelum meninggalkan rumah Pakemon. “Jenazah beliau disemayamkan di rumah duka.”
“Kapan dimakamkan?”
“Sore ini, Pak.”
Surat itu mengingatkan Pakemon pada masa silamnya. Masa silam yang kelabu.
Pakemon telah menunggu sepucuk surat sejak dua puluh tahun lalu. Namun, dua puluh tahun Pakemon menunggu, dua puluh tahun pula ia menunggu sia-sia.
Kalau Pakemon bertanya pada Bagian PSDM kantornya, selalu terdengar jawaban standar, “Sedang diproses, Pak.”
“Jadi, kapan saya bisa pensiun?”
“Terus terang, saya juga tidak tahu, Pak. Saya cuma tukang tik, Pak. Kalau sudah ada perintah dari atasan saya untuk mengetik es-ka pensiun dini Bapak, tentu segera saya kirimkan kepada Bapak,” kata salah seorang pegawai PSDM.
“Maaf, dengan siapa saya bicara ini?”
“Dengan Ani, Pak.”
Pada kesempatan lain, yang menerima telepon Pakemon adalah Neni. Jawabannya serupa tapi tak sama, “Es-ka-nya sedang diproses, Pak.”
“Jadi, kapan es-ka pensiun dini saya keluar?” kata Pakemon dengan nada tinggi.
“Saya tidak tahu, Pak. Pokoknya, saya sudah serahkan ke sekretaris Pak Presdir. Silakan tanya sekretaris Presdir, Pak.”
Ketika Pakemon bertanya pada Weni, sekretaris Presdir, muncul jawaban,
“Es-ka-nya sudah saya masukkan Pak ke map ’Surat-Surat yang Harus Ditandatangani Presdir’, Pak.”
“Lantas?”
“Saya ’nunggu ditandatangani Bapak Presdir. Setelah itu, baru saya kirim ke Bapak.”
Pakemon sudah hafal jawaban itu semua.
“Sedang diproses, Pak.”
“Sudah diserahkan ke Pak Presdir, Pak.”
“Pak Presdir belum menandatanganinya, Pak.”
“Pak Presdir masih sibuk.”
“Pak Presdir sedang rapat.”
“Pak Presdir sedang ke luar kota.”
“Pak Presdir sedang cuti.”
“Pak Presdir sedang liburan ke Eropa.”
Ajaibnya, jawaban itu sama dari bulan ke bulan. Sama dari tahun ke tahun. Lebih ajaib lagi, itu sudah berlangsung dua puluh tahun. “Tidak masuk akal,” pikir Pakemon.
Salah satu yang disukai Presdir pada Pakemon adalah kehematannya. Pakemon kesohor sebagai orang yang superhemat. Dalam soal uang, ia selalu berpihak pada kepentingan perusahaan. Kalau sudah soal hitung-hitungan, Pakemon mirip pemilik perusahaan.
“Setiap sen yang dikeluarkan perusahaan sepertinya dikeluarkan dari kantong Pakemon sendiri,” komentar para karyawan secara bisik-bisik.
Komentar lain pada Pakemon, “Kita tidak tahu persis apakah Pak Pakemon itu hemat atau pelit….”
Dalam soal disiplin, Pak Presdir juga salut pada Pakemon. Tak ada karyawan yang mampu menandingi Pakemon. Meskipun jam kerja dimulai 7.30 pagi, Pakemon sudah berada di mejanya pukul 6.30. Akibatnya bisa ditebak: para karyawan pun ikut-ikutan datang pagi dan merasa malu kalau masuk lebih dari pukul 7.30.
Pulangnya pun begitu. Meski jam kantor berakhir 16.30, Pakemon selalu pulang pukul 17.30. Akibatnya pun bisa diduga: para karyawan pun ikut-ikutan pulang mendekati 17.30 dan merasa rikuh pulang pukul 16.30 teng.
Tak mengherankan kalau Pakemon dipercaya Presdir menduduki jabatan direktur keuangan perusahaan MNC itu pada usia 30 tahun.
Itu juga sebabnya, Pakemon terpilih menjadi karyawan teladan selama beberapa tahun berturut-turut. Namun, itu pula sumber protes para karyawan terhadap Presdir.
“Pemilihan karyawan teladan tak perlu diteruskan, Pak,” kata mereka.
“Kenapa?” tanya Presdir.
“Lha, kalau caranya begitu, yang terpilih dari tahun ke tahun cuma Pakemon melulu, Pak,” kata yang satu.
“Kalau begitu, Pakemon saja yang kerja, Pak,” kata yang lain.
“Kita-kita ini berhenti saja semua, Pak,” kata yang lain lagi.
Sejak itu, pemilihan karyawan teladan pun ditiadakan.
Kalau bertemu dengan Pakemon, pastilah kau akan iri secara diam-diam atau terang-terangan. Bukan karena istrinya bekas peragawati. Bukan pula karena Pakemon mampu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah unggulan (bayarannya dengan dollar Amerika). Bukan pula karena ia memiliki rumah bagus (Lt 1000m²/Lb 500 m²) di kompleks perumahan paling bergengsi. Bukan pula karena ia memiliki vila di daerah pegunungan (yang dikunjunginya setiap akhir pekan dan hari libur lainnya). Juga bukan karena Pakemon memiliki mobil-mobil made in Germany (BMW paling gres untuk dirinya sendiri; Mercy seri terbaru untuk kegiatan istrinya; Opel Blazer untuk antar jemput kedua anaknya).
Bukan itu.
Pakemon mencapai semua itu pada usia 40 tahun!
Itulah yang menyebabkan Pakemon telah merasa di puncak kariernya. Pakemon rupanya sangat tahu diri. Tak mungkin lagi ia naik ke atas….
“Menjadi salah satu direktur saja sudah di luar impianku,” kata Pakemon pada suatu hari pada istrinya.
Pakemon sangat mensyukuri kedudukan yang diperolehnya di perusahaan MNC itu. Ia tidak ingin lagi lebih dari itu.
“Tapi, kamu kan masih muda, Mas,” sahut istrinya.
“Maksudmu?”
“Kamu masih mempunyai peluang jadi presdir.”
“Jadi p-r-e-s-d-i-r?”
“Ya, jadi p-r-e-s-d-i-r!”
Pakemon yang tak punya ambisi apa-apa ketika melamar di perusahaan MNC itu (“yang penting aku dapat pekerjaan dan bisa hidup”), serasa berada di awang-awang. Jadi presdir? Ah, tidak. Tidak!
Pakemon sangat tahu diri.
“Ah, itu tak mungkin, Pak,” kata Pakemon kepada Presdir pada suatu audienasi. Pakemon sengaja minta waktu untuk menghadap.
“Lalu rencana Saudara selanjutnya apa?”
“Kalau kita sudah di atas, tentu tak ada jalan lain kecuali turun secara terhormat dan sopan.”
Rupanya, Presdir kurang paham maksud Pakemon.
“Maksud Saudara bagaimana?”
“Saya ingin pensiun saja, Pak.”
“P-e-n-s-i-u-n?”
“Ya, pensiun, Pak,” kata Pakemon dengan kalem. “Pensiun dini….”
“Pensiun pada usia empat-puluh tahun?”
“Betul, Pak.”
“Saudara sudah yakin?”
“Yakin, Pak.”
Setelah membaca basa-basi pada awal surat, Pakemon membaca inti surat Presdir itu.
Sebetulnya, saya sangat senang dengan reputasi Anda di perusahaan.
Sayangnya, Anda terlalu cepat berpuas diri. Buktinya, Anda meminta pensiun pada usia 40 tahun, justru saat usia Anda sedang produktif.
Coba Anda bayangkan. Kalau Anda saya perkenankan pensiun dini, tentu saja banyak orang kelak yang akan meminta pensiun dini. Itu preseden buruk, Saudara! Apa jadinya perusahaan yang saya bangun ini dengan susah payah?
Kini usia Anda sudah 60 tahun. Saatnya untuk pensiun. Ya, pensiun normal.
Pensiunlah dengan tenang. SK-nya sudah saya tanda tangani. Silakan ambil di PSDM.
Di bawahnya masih ada kata-kata berikut.
Jangan dendam pada saya. Itu tak baik.
Dua baris terakhir berbunyi:
Anda telah menunggu 20 tahun.
Maaf.
Setelah tanda tangan Pak Presdir, masih ada NB yang berbunyi: Saya ingin menyampaikan satu hal pada Anda. Sebenarnya, saya menjagokan Saudara sebagai kandidat pengganti saya kelak. Sayangnya, Saudara bersikukuh minta pensiun dini.
Istri Pakemon yang mengetahui adanya surat Pak Presdir itu dan telah membacanya berusaha menghibur Pakemon.
“Sudahlah, Pap. Nggak usah dipikir lagi ulah Presdirmu itu.”
Pakemon tak bereaksi. Ia masih merasa sakit hati pada Pak Presdir. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Dibiarkan menunggu dua puluh tahun. Tak digaji. Tak diberi pesangon. Cuma dianggap non-aktif!
“Lupakah saja surat pensiun dini itu, Pap.”
Pakemon menarik napas panjang. Ia perhatikan surat Presdir itu. Dibacanya lagi. Namun, sakit hatinya tak hilang-hilang jua; malah makin menancap lebih dalam. Kenapa dia biarkan aku menunggu dua puluh tahun? Kenapa aku harus menanti dua puluh tahun tanpa kabar? Kenapa aku dipingpong ke sana kemari hanya untuk sepucuk surat?
“Toh semua sudah berlalu, Pap, buat apa dipikiri?”
Pakemon mengangkat cangkir dari tatakannya, kemudian menyeruput kopi arabika kesukaannya. Ditaruhnya surat Presdir di meja di hadapannya, kemudian diteruskannya membaca koran pagi.
Ketika istri Pakemon mengajak, “Ayo kita melayat, Mas!” Pakemon tampak bergeming. Pakemon belum tahu, apakah ia akan melayat atau tidak.
Jakarta, 8-9-2003
Pamusuk Eneste
Subscribe to:
Posts (Atom)