Showing posts with label Februari 2004. Show all posts
Showing posts with label Februari 2004. Show all posts

Friday 25 February 2011

Lelaki yang Ditelan Gerimis

Lelaki yang Ditelan Gerimis



Kami bertemu di Rex, Peunayong, ketika gerimis baru saja reda mengguyur Kota Banda Aceh itu. Aku tidak tahu dia muncul dari mana, tiba-tiba dia sudah berada di depanku. Sejenak aku sempat terperangah dengan kehadirannya. Aku hampir tidak mengenalnya jika ia tidak menyebut namanya sendiri, sambil bertanya kepadaku dalam logat Aceh yang kental, “Kau masih ingat kan?”

Jelas saja aku masih ingat Suman, teman baikku ketika di pesantren dulu. Kami satu bilik ketika mondok di dayah -sebutan lain untuk pesantren. Kalau malam sehabis mengaji, kami suka mencuri-curi untuk menonton televisi di rumah Pak Samad, yang rumahnya tak jauh dari dayah. Beberapa kali Teungku Ubit, guru ngaji kami, memergoki kami keluar dan esoknya kami kena hukuman dipukul telapak tangan dengan sapu lidi.

Perihnya luar biasa. Bekas merahnya seminggu baru hilang. Tetapi hukuman itu tidak bisa dielakkan. Bukan hanya kami, sejumlah kawan lain yang kepergok menonton televisi sehabis mengaji juga dihukum. Di dayah kami memang ada aturan tidak boleh menonton televisi.

Alasannya, televisi banyak menyiarkan sesuatu yang tak bagus untuk dilihat mata. Misalnya, perempuan yang tidak menutup aurat, bahkan mengumbar aurat, tari-tarian atau lagu-lagu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan di dayah. Siapa pun yang melanggar peraturan itu, tanggung sendiri akibatnya.

Banyak santri memang patuh. Tetapi ada sebagian yang bandel, mencuri-curi untuk bisa keluar dari kompleks dayah demi menonton televisi. Di antara sebagian itu, ya kami, aku dan Suman. Nyaris setiap malam kami keluar lewat jendela belakang bilik dan mengendap- endap keluar melalui pintu samping tempat wudu.

Kami sengaja memilih pintu samping tempat wudu, sebab kalau kepergok sama teungku, tidak sulit mencari alasan. Kami langsung bilang: mau shalat sunat, atau berwudu untuk mengaji, dan macam-macamlah. Yang sulit kalau kepergok ketika sudah berada di luar kompleks.

Itu cerita ketika kami di pesantren. Lulus SMP, aku tidak lagi mondok di situ dan melanjutkan sekolah ke Banda Aceh. Suman melanjutkan sekolah di kampung dan tetap mondok. Ia sekolah sambil tetap bisa mondok. Antara sekolah dan dayah pesantren memang lembaga terpisah.

Maklum, tampat kami nyantri adalah pesantren tradisional, tidak ada sekolahnya. Yang ada cuma mengaji, baik mengaji Al Quran, maupun kitab-kitab klasik. Ketika era aku mondok dulu, tahun 1980-an, memang dapat dihitung dengan jari ada pondok pesantren modern, yang menggabungkan pesantren dan sekolah.

Sejak sekolah di Banda Aceh, aku masih suka ketemu sesekali kalau pas liburan dan pulang ke kampung. Suman telah menjadi asisten teungku yang mengajar anak-anak di bawah usianya. Penampilannya pun jadi berbeda. Ia menjadi lebih alim. Kemana-mana pakai peci dan bersarung. Orang-orang pun menyebutnya teungku.

Ketika aku melanjutkan kuliah ke Yogyakarta, kami sama sekali tidak pernah bertemu lagi. Kudengar ia kuliah di sebuah perguruan tinggi di Banda Aceh. Sambil kuliah, ia tetap mondok di pesantren di pinggiran Kota Banda Aceh. Di sana, ia juga menjadi asisten teungku dayah, mengajar ngaji untuk santri di bawah usianya.

Selanjutnya, aku tidak tahu lagi tentang dia. Betul-betul putus kontak. Baru kali inilah kami bertemu kembali. Cukup lama sekali kami terpisah. Tak salah kalau aku sempat pangling ketika ia mendekatiku dan menyorong tangannya untuk berjabat tangan denganku.

Suman sudah sangat jauh berubah. Dulu badannya ceking, seperti tiang listrik kata teman-teman, sekarang padat berisi. Air mukanya serius, namun tetap memancarkan kesejukan. Beberapa helai jenggotnya dibiarkan memanjang. Kalau dulu ia suka memanjangkan rambut, sekarang tidak. Ia lebih rapi kini.

“Bagaimana bisa kau ada di sini,” tanyanya setelah ia menarik kursi dan duduk menghadap ke arahku. “Kudengar kau sudah jadi pengacara hebat di Jakarta,” ujarnya lagi.

“Enggak juga. Aku masih bekerja di kantor pengacara orang. Berarti itu belum hebat. Pengacara hebat tentulah sudah punya kantor firma hukum sendiri,” kataku. “Omongomong apa kegiatanmu sekarang?”

Pembicaraan kami terhenti ketika penjual makanan datang membawa secangkir kopi panas dan menaruh di depannya.

“Setelah lulus kuliah, di samping tetap di pesantren, aku juga menjadi aktivis LSM. Aku ingin berbuat sesuatu yang nyata pada rakyat dan memperjuangkan hak-hak mereka yang selama ini tertindas.”

“Oh ya? Tapi tidak pernah kudengar namamu ditulis koran- koran.”

“Aku bukan selebriti dan tidak hendak menjadi selebriti. Aku bekerja di bawah, menggali masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan mencoba mengatasinya. Misalnya kalau mereka mengungsi, kami mengupayakan anak-anak mereka tetap bisa sekolah dengan mendirikan tenda sekolah darurat. Atau kalau ada orang yang menjadi korban kekerasan, kami membantu mereka untuk memulihkan trauma atau membantu mereka melaporkan kepada Komnas HAM. Hanya pekerjaan-pekerjaan seperti itu yang bisa kami lakukan.”

“Tetapi itu sangat penting.”

“Memang penting. Aku sangat senang menjalaninya. Jadi aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan besar seperti dilakukan teman-teman lain sehingga mereka bisa terkenal dan namanya kerap dikutip oleh koran atau teve. Kami melakukan pekerjaan-pekerjaan sederhana. Apalagi, dana dari founding kami pas-pasan. Aku tidak pandai bicara, jadi tidak bisa meyakinkan founding untuk mengucurkan dana besar.”

“Itu memang soal pilihan. Sebagai teman, aku sangat mendukung pilihanmu. Meski apa yang kalian lakukan kecil, cukup berarti dan dirasakan langsung manfaatnya oleh orang yang memerlukan. Tetapi, omong-omong bagaimana kabar teman-teman baik kita dulu?”

“Wah, mereka tersebar di mana-mana. Si Amat menjadi dosen dan hidupnya masih tetap sederhana. Maun kini menjadi anggota DPRD dan sudah kaya dia. Mobilnya aja dua, punya rumah yang cukup besar di pusat kota. Kalau Yahya kau pasti sudah tahu, setelah menjadi aktivis, dia menjadi tokoh dan selebriti. Bolak-balik ke Jakarta dan luar negeri. Hidupnya kini juga sangat makmur.”

“Luar biasa memang kawan-kawan kita. Aku senang mendengarnya. Mereka menjadi orang sukses.”

“Ya, mereka menjadi orang sukses. Tetapi rakyat di sekeliling mereka menderita.”

“Maksudmu?”

“Ah, kau kayak tak tahu saja.”

“Ali bagaimana kabarnya?” Ali yang kumaksud adalah teman sekelas kami dulu di SMP.

“Dia membantuku mengabdi pada masyarakat. Dia kerap tinggal bersama pengungsi untuk mengurus keperluan mereka di pengungsian.”

“Sekarang dia di kampung?”

Suman tidak menjawab. Ia diam dan menerawang. Lalu matanya berkedap-kedip dan ia menggigit bibir.

“Ada apa?” tanyaku.

“Ali.”

“Kenapa Ali?”

“Dia mati tertembak sebulan lalu.”

“Tertembak?”

Aku terdiam mendengarnya. Tak bertanya lagi mengapa Ali tertembak. Tidak ada yang perlu dipertanyakan. Aku tahu benar Ali. Dia orangnya alim dan pendiam, juga tidak banyak ini-itu. Dia lurus-lurus saja. Ali orang baik. Mengapa ia harus mati di ujung senjata?

“Hidup memang begitu rahasia. Hanya Tuhan yang tahu hidup dan kematian seseorang,” kataku.

“Tetapi di Aceh berbeda. Hidup dan kematian juga ditentukan oleh orang-orang yang punya kuasa dan senjata.”

Aku tidak menanggapi. Diam. Lama kami terdiam. Sunyi.

“Apa kabar kampung kita?” tanyaku kemudian.

“Aku sudah dua bulan tidak pulang kampung.”

“Mengapa?”

“Tidak bisa pulang. Kau sendiri belum sampai ke kampung?”

“Belum. Aku baru tiba tadi siang dari Jakarta. Malam ini aku ingin menikmati Kota Banda Aceh dulu. Ingin nostalgia. Besok aku baru pulang?”

“Kalau begitu, aku titip surat untuk ayahku ya?”

“Boleh. Boleh.”

“Tunggu sebentar,” katanya sambil bangkit dan berjalan meninggalkanku.

Udara malam makin menyengat mengirim gigil sampai sumsum. Meski telah mengenakan jaket yang agak tebal, hawa dingin tetap menusuk. Hujanlah yang membuat Kota Banda Aceh diselimuti dingin yang tak biasa ini. Aku baru merasakan dingin sedingin ini ya kali ini. Saat pulang dua tahun lalu, suasananya biasa-biasa saja.

“Ini suratnya,” kata Suman sambil menyerahkan kepadaku sebuah amplop putih polos yang telah direkatkan. Aku sempat kaget juga, tiba-tiba saja ia sudah berada kembali di depanku, entah dari mana ia muncul.

Aku mengambil surat itu, melipatnya dan memasukkan ke kantong baju.

“Omong-omong bagaimana keadaan pesantren kita sekarang?”

“Sudah tidak seramai dulu. Santrinya tinggal sedikit. Hanya orang-orang di sekitar itu yang menjadi santri. Santri dari luar daerah tidak ada sama sekali. Sejak gonjang-ganjing ini, mereka tidak berani keluar dari kampung. Kalau keluar kampung ya ke kota sekalian, misalnya ke Banda Aceh, Medan, atau bahkah ke Jakarta.”

“Teungku Ubit bagaimana kabarnya?”

Kembali ia terdiam. Matanya kembali menerawang. Ia menarik napas pelan-pelan dan mengembuskannya perlahan. “Nasib Teungku Ubit juga menyedihkan. Ia mati di ujung senjata beberapa bulan lalu,” katanya pelan.

Kembali aku tersentak. “Mengapa?”

“Entahlah,” Suman menggeleng.

Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Suasana memang begitu menyakitkan, begitu menyedihkan.

“Omong-omong ada acara apa kau pulang?” Suman lalu bersuara.

“Aku mau menjemput orangtuaku dan membawanya ke Jakarta. Kasihan kalau mereka terus tinggal di kampung. Banyak suara dar-der-dor. Mengerikan. Aku tidak tenang kalau mereka tetap berada di kampung. Kepikiran terus.”

“Iya, memang pilihan tepat. Banyak orang yang punya anak atau familinya di Medan, Jakarta, atau di mana, meninggalkan kampung. Mereka tak kuat hidup di kampung. Tetapi yang paling kasihan orang- orang yang tidak punya siapa-siapa di luar Aceh, mereka tidak tahu harus ke mana.”

“Kau sendiri kenapa tidak mengajak orangtuamu tinggal di Banda Aceh? Kan di sini relatif lebih tenang.”

“Orangtuaku mana mau diajak meninggalkan kampung. Meski tak nyaman dan selalu dicekam ketakutan, mereka lebih senang berada di sana.”

“Ya, memang soal pilihan. Tetapi mudah-mudahan orangtuaku tidak menolak.”

“Mudah-mudahan.”

“Kalau begitu, aku balik dulu ya,” katanya sambil menyodorkan tangan kepadaku untuk berjabat tangan sebagai tanda perpisahan. Kami berjabat tangan, setelah itu dia melangkah meninggalkan taman Rex. Tetapi, baru saja ia keluar dari komplek taman Rex, gerimis tiba-tiba mengepung. Kulihat dia tidak berhenti dan berbalik untuk berteduh, tetapi terus berjalan sampai hilang di belokan jalan. Gerimis seperti menelannya.

Tak lama, gerimis pun berubah menjadi hujan besar. Lebih dari setengah jam baru hujan itu reda. Setelah reda benar, aku meninggalkan Rex dan berjalan kaki ke hotel yang tidak jauh dari situ. Sebenarnya, kalau tidak hujan, aku pingin berlama-lama di Rex. Aku yakin bakal bertemu sejumlah kawan di sana. Maklum, Rex tempat favorit bagi warga kota untuk bersantai atau nongkrong sampai dini hari.

Masuk kamar, aku langsung ganti pakaian dengan baju tidur. Untuk mempercepat tidur, aku menyambar koran pagi yang tergeletak di tas meja. Aku hanya membuka-buka saja, halaman demi halaman, sambil membaca judul-judulnya saja. Menjelang halaman terakhir, mataku tertumbuk pada sebuah berita kecil di sudut paling bawah.

Judulnya membikin jantungku berdebar kencang. “Mayat Suman Ditemukan Membusuk di Tengah Sawah”. Aku meneliti baris demi baris berita itu dan berharap bahwa Suman dimaksud bukanlah kawan baikku, yang baru saja bertemu denganku. Tetapi harapanku sia-sia. Dari semua ciri yang disebutkan, mayat itu adalah Suman.

Ia mati dengan tiga lubang peluru tubuhnya. (*)


Mustafa Ismail

Kekasih Bulan Sepenggal

Kekasih Bulan Sepenggal



Sejenak lalu, perempuan manis berlesung pipit menggigil sempurna dirontokkan malam. Kini ia menyungging senyum, lesung pipit itu bertambah-tambah dalam jadinya, sembari membuntal pakaian. Sejenak lalu ia pengantin baru, gemeletuk, pasi, dan sekarat. Kini ia janda muda yang bahagia.

Ada di dengarnya suara langkah lelaki itu di balik pintu, keplak-keplak, tak sabar. Ada dikenangnya lelaki itu menelanjanginya sebelum menelanjangi diri sendiri, sejenak lalu. Si lesung pipit beku sementara lelaki itu terbakar. Ganas si lesung pipit ditikam, sebelum si lelaki mengisut sebentar. Tak lama, tetapi cukup bagi si lesung pipit bertanya tanpa suara, Mengapa? Terlampau mudah, Tuan? Jawaban si lelaki adalah percintaan yang bergegas, membikin ranjang berderak serupa pelepah kelapa dihantam badai. Lalu adalah waktu bagi keduanya tergolek, banjir keringat dan napas satu-satu.

Si lelaki masih terbakar, bukan sebab berahi, tetapi amarah. Ia lemparkan selimut ke atas tubuh si lesung pipit, turun dari tempat tidur dan mengenakan kolornya. Tanpa sudi memberi pandang ia mengumpat sebelum mengakhiri segala ikatan di antara mereka dan keluar kamar pengantin membanting pintu, “Sundal!”

PEREMPUAN itu dan kedua bocah penuh ingusnya menatap mereka dengan pandangan bengis, saat penghulu menjeratkan nasib si lesung pipit pada lelaki itu. Si lesung pipit tak kuasa menentang tatap kedengkian tersebut, tercebur dalam riuh pesta perkawinan, serasa hilang nyawa berkali-kali.

Ia hampir limbung waktu orang-orang berleret menyalami mereka, menjebloskan amplop putih bergaris tepi warna merah-biru ke dalam kotak. Setiap persentuhan telapak tangan memberinya hawa dingin yang mengapungkan, sekali-kali membuatnya hilang ingatan, dan setiap cium pipi dari para perempuan memberinya gejolak liar yang mengempas-empas tatapannya.

Terutama ketika perempuan dengan dua bocah penuh ingus itu menghampirinya. Menyalami, mencium, dan memeluknya. Si lesung pipit dibuat takjub betapa mereka sanggup tak berair mata, sementara matanya sendiri mulai bocor tak karuan. Perempuan itu menghapus sungai-sungai kecil di pipinya, yang memorak-porandakan seluruh rias mukanya, dengan selendangnya sendiri. Itu malahan bikin si lesung pipit tambah cengeng. Ia mulai beringus dan mengusap wajahnya dengan ujung lengan kebaya.

Tukang foto datang menenteng kamera. Mereka berdiri berderet. Lelaki itu menggenggam tangannya, si lesung pipit ingin ngompol. Perempuan itu tersenyum sementara si tukang foto kasih aba-aba, satu-dua-tiga, demikian pula kedua bocah. Bam! Senyum itu bakalan abadi, tetapi si lesung pipit tahu senyum itu dusta. Sedusta tatapan akrab mereka yang sesungguhnya menyimpan bengis.

Ia masih melihat pandangan mereka, berhias kobaran api tak tertanggungkan, saat si lelaki menggiringnya ke kamar pengantin. Walau ia berpaling, panasnya masih membakar rongga dadanya. Maka sebelum lenyap ditelan pintu, ia berjanji pada perempuan dan dua anak penuh ingus itu, “Segera akan kukembalikan.” Walau tanpa suara.

DI suatu malam keparat, ayahnya pergi ke mata air menjelang subuh. Mata air itu beriak di kaki bukit, dibentengi belukar dan kabut maharaja. Arusnya mengalir sepanjang parit kecil yang mengepung permukiman, di sana-sini membelah bercecabang, memberi petak-petak sawah sumber kehidupan. Airnya deras, mengayun hijau lumut, mengikis batu warna-warni, mengantar irama, dan bertamasya bersama ikan kecil, belut, dan kecubung. Bergantian para kepala keluarga menengoknya setiap menjelang fajar, atau lumpur bakal menyumbat, dan jika itu terjadi bersiaplah padi tak kuning di tempo yang diharapkan. Tetapi malam itu keparat, sebab seekor ular jahanam menggigit jempol kakinya.

Lelaki itu belum juga tiba di mata air. Ia kelojotan di setapak dengan sepotong kaki panas menyengat. Jempolnya merah diterpa bulan, ditentang cahaya obor yang empas ke rerumputan. Panas itu menjalar perlahan, serasa memenggal kakinya sejengkal demi sejengkal. Ia tahu tak berapa lama akan kehilangan jempolnya, tersisa biru yang busuk. Kemudian sepotong kakinya bakal lenyap, menyusul pula tubuhnya, dan lalu jiwanya.

Ia teringat pada bininya, terkenang pada anak gadis satu-satunya. Ia belum hendak mati. Dibakarnya jempol itu, lalu dibebat betisnya dengan lengan kemeja yang disobek. Panasnya yang menyiksa itu tak juga lenyap, meski tertahan sejenak. Ia mengadu untung dengan pencabut nyawa. Digenggamnya obor, berdiri goyah. Tubuhnya kuyup. Pikirnya ia bakal mati berdiri.

Sambil menangis menahan siksa lelaki itu menempuh tegalan, menuju rumah dukun. Obor di depan rumahnya serasa ujung dunia, apinya meliuk meledek. Hanya si dukun yang memiliki batu penangkal bisa ular, dan hanya si dukun bisa mengusir maut dari jempolnya. Tak peduli ia muak dengan bau mulut dan mata binalnya.

Ketika tiba di teras rumah si dukun, ia hampir sekarat. Tubuhnya ambruk di undakan, meraung-raung menggedor pintu. Gedorannya melemah dan tangannya terkulai ketika si dukun membuka pintu, berdiri menahan kabut tidur. Kemudian perempuan itu berdiri di belakang si dukun. Kedua bocah penuh ingus juga terbangun dan berdiri di samping mereka.

“Bisa ular melumat tubuhku,” kata si orang sekarat sambil acungkan jempol kaki.

“Tampaknya begitu,” kata si dukun. Perempuan dan kedua anak itu lenyap ke dalam rumah sementara si dukun mengambil obor memeriksa jempol lelaki itu. Biru dan koyak. Si perempuan muncul dengan buntalan kecil kain mori sebelum ditelan gelap di belakang si dukun yang mengeluarkan batu menangkal ularnya. Si orang sekarat menunggu dengan cemas dukun itu mencabut maut dari jempolnya, tetapi malahan si dukun bertanya, “Dengan apa kau hendak bayar?”

Mendengus, si orang sekarat menjawab, “Ambil kambing buntingku.”

Si dukun menggeleng, “Aku ingin bikin bunting lesung pipit anak gadismu.”

SI lesung pipit umur empat belas, molek tak ada ampun. Si dukun telah lama berkehendak kepadanya, tak peduli ia telah ada bini di delapan arah angin. Si ayah tak berdaya, tahu betul segala kehendak si dukun tak terbantah sebab ia kebal senjata dan penuh muslihat pelet dan santet. Ia hanya bisa mengulur waktu, berharap tiba kala si dukun mati atau lupa pada si lesung pipit, dengan terus mengelak, “Ia masih bocah bau kencur.”

Tetapi kini si bocah yang menenteng lesung pipit di sepasang pipi ranumnya mesti ia serahkan pada si dukun, atau bisa jahanam akan merenggut jiwa dari tubuhnya, menggelosor seperti sarung yang tanggal. Lelaki itu menangis, antara siksa sekarat dan ratap nasib anak gadisnya.

“Ambillah gadis itu,” katanya, berserah.

Si dukun tersenyum melontarkan bau busuk. Tetapi bukannya mengobati lelaki itu, ia malahan berdiri berbalik dan pergi masuk ke dalam rumah. Si orang sekarat meraung-raung tercekik, melafal nama si dukun bergantian tobat berulang-ulang. Tak berapa lama si dukun muncul lagi menenteng sesuatu.

“Ulangi di hadapannya,” kata si dukun mengacungkan kitab suci.

Lelaki itu tahu si dukun tak pernah membacanya, bahkan menyentuhnya pun hanya sedikit kali. Tetapi si sekarat menghormatinya, tak pernah menentengnya dengan cara sembrono, malahan meletakkannya di atas kepala, mencium sampulnya, membuka halamannya perlahan, dan membacanya dalam keadaan tubuh tanpa noda. Ia memandang si dukun dengan napas tersengal.

“Demi kitab suci,” katanya parau, “kuberikan si lesung pipit anak gadisku jadi istrimu.”

Bau busuk kembali terlontar. Si dukun mengangkat separuh kaki lebam itu, pemiliknya meraung lebih kencang. Ikatan gombal dibukanya, meninggalkan jejak pasi hampir mati, mengikatnya lagi di tempat lebih tinggi. Batu penangkal bisa digosokkan ke bekas luka gigitan, si orang sekarat melolong dibalas anjing-anjing di ujung kampung. Batu kembali digosok, disertai jampi-jampi mantra. Orang sekarat menggelinjang, memekik di fajar yang pekat, hingga suaranya lenyap ditelan ketidaksadaran.

Waktu ia siuman, lelaki itu menemukan dirinya di bilik rumah sendiri. Penuh rasa dosa ia memanggil si lesung pipit dan berkata padanya, “Nak, kau bakal kawin dengan dukun bau busuk itu.”

Masih dikenangnya kala lelaki itu membawanya ke rumah tersebut, memperkenalkannya pada perempuan dan dua anak penuh ingus itu. Ia enggan, tetapi lelaki itu menyeretnya sepanjang jalan kampung, di sore yang ajaib, di muka tatap anak-anak gembala dan para pembajak sawah. Ia belum pernah datang ke rumah itu, meski sejak lelaki itu memeluknya secara tiba-tiba selepas mandi di pancuran beberapa waktu sebelumnya, si lesung pipit tahu hidupnya akan berakhir di sarang guna-guna tersebut.

Ia bahkan merasa yakin semua tragedi ular berbisa itu tak lebih dari muslihat si lelaki. Barangkali itu ular siluman yang bersekutu dengannya untuk menaklukkan si penengok mata air, dan segala batu penangkal bisa tersebut tak lain tipu daya sihir hitam. Tapi sebagaimana ayahnya ia menghormati segala sumpah di bawah kitab suci, dan membiarkan tubuh belianya digiring menengok rumah masa depannya.

Perempuan dan dua bocah penuh ingus menanti mereka di beranda rumah, tegak bagai patok. Ia merasa jengah, memandang mata yang penuh tuduhan. Dikendalikan sikap kikuk yang menggenang, si lesung pipit tawarkan senyum manis miliknya, menggelembungkan rona merah di pipinya, dan lembah kembar berayun mencekam. Mereka tahu senyum itu palsu, pikirnya.

Si lelaki menyebut namanya, satu perkenalan singkat omong kosong sebab semua orang di permukiman mengenal namanya. Bahkan, seandainya perempuan dan dua bocah penuh ingus itu tak mengenalnya, ia tak yakin mereka mau mendengarnya, apalagi mengingat-ingat.

Ia bersimpuh di depan si perempuan, meraih tangannya dan menciumnya dalam, terbenam di bibirnya. Tangan itu sedingin kematian. Ia menghampiri si sulung, membelai rambutnya dan mencium kedua pipinya. Si sulung diam tak bergeming. Si kecil bahkan berusaha mengelak ketika ia menyentuhnya, menahannya, dan sedikit memaksanya kasih cium di kedua pipi. Semua itu serasa sandiwara murahan. Rasa takutnya berubah jadi kesedihan melata. Ia tak sanggup menatap wajah-wajah yang menuduh tersebut.

Wajah mereka menghantuinya di malam-malam penuh kepanikan. Malam-malam insomnia di tepi jendela ketika ia berharap bisa mencuri sayap burung hantu dan terbang ke bulan. Malam-malam ketika ayahnya tak mengizinkan si lesung pipit keluar rumah sebab ia bakal jadi pengantin.

Suatu malam dari balik jendela ia melihat empat orang pemuda di pos jaga ujung jalan. Di bawah lentera kecil mereka duduk berkeliling, memainkan kartu domino. Uap arak putih mengapung kepala mereka, diembuskan malam yang membawanya ke wajah si lesung pipit. Satu pikiran melintas di kepalanya. Kini ia tahu bagaimana membebaskan diri dari lelaki bau busuk penuh jampi-jampi itu.

SI lesung pipit menyelinap dan berdiri di samping pos jaga. Keempat pemuda berhenti melempar kartu dan minum arak, memandang si gadis dalam tatapan tanya. Itu dini hari yang menusuk, semua orang tenggelam dalam selimut, kecuali mereka.

“Kemarilah,” kata si lesung pipit sambil berlalu ke balik pos jaga.

Keempat pemuda saling menoleh, bergumam tak mesti, sebelum seseorang turun dan menyelinap ke arah si gadis lenyap, diikuti ketiga kawanan. Di sana mereka melihatnya telah telanjang, disorot bias cahaya lentera.

“Untuk kalian,” katanya canggung, “mari bercinta.”

Undangan itu seperti kata-kata sihir tak terpahami. Mereka masih menanggul menggigil. Pemuda penuh inisiatiflah yang pertama tersadar, tubuhnya mulai hangat, tangannya terulur pada tubuh si gadis, meraba dadanya yang buncah, sebelum secara sembrono melucuti pakaian sendiri. Sama-sama polos ia menggiringnya ke semak pandan, merebahkannya di sana, dan merobeknya. Tiga yang lain memperoleh giliran tak lama selepas itu, bikin si lesung pipit pulang mengangkang.

“Lebih bagus aku sundal,” katanya selang dua malam, tak lama setelah si lelaki jatuhkan tiga talak berturut- turut. Ia keluar kamar menenteng buntalan pakaian, tak pamit pada si lelaki yang mondar-mandir menahan geram. Pun tidak pada perempuan dan dua bocah penuh ingus yang penuh kemenangan. Ia berjalan terseok membelah kampung, dengan sakit di pangkal pahanya. Tak ada tempat pulang sebab semua pintu tak bakal menerimanya kembali. Tidak pula ayahnya.

Ia pergi ke suatu tempat entah. Tak apalah daripada merampok lelaki bau busuk dari siapa pun, meski tak bakal membatalkan kesedihan yang terlanjur jatuh. Jika tampak suatu bebayang hitam menari di puncak bukit pada malam-malam tertentu, itulah si lesung pipit. Sebab kemudian ia kawin dengan bulan sepenggal di suatu malam. * (2004)


Eka Kurniawan

Kupu-kupu Seribu Peluru

Kupu-kupu Seribu Peluru



Bagaimanakah kami mesti mengenang perempuan buta itu-yang liang selangkangnya bengkak karena dosa dan sekujur tubuhnya bergetah nanah kena kusta! Adakah ia sundal ataukah santa?

Rasanya belum lama lewat. Selepas hujan tengah malam, sebelum sulur cahaya fajar mekar, seorang peronda terkesiap gemetar: di dekat kandang kuda samping gereja, ia melihat gadis kecil menggigil, bugil, seperti peri mungil yang usil hendak menakut-nakutinya. Segera ia tabuh kentongan yang dibawanya. Dan puluhan warga seketika terjaga, juga bapak pendeta. Setelah kepanikan mendengung bersahut-sahutan, perlahan-lahan suasana jadi tenang, dan mereka pun segera mendekati gadis kecil yang ketakutan serta kedinginan itu. Dengan lembut bapak pendeta menyelimutkan jubahnya ke tubuh gadis itu sembari berbisik perlahan, “Domba kecilku…” Ia terpesona oleh mata bening gadis kecil itu.

Ketika pagi yang lembut terasa seperti hosti, warga kota pun mulai mengerti: betapa kota mereka yang tenang seakan-akan telah terbekati. Gadis kecil itu telah dikirim dari langit untuk membuat hidup mereka menjadi lebih riang. Kemudian, ketika duduk-duduk di kedai kopi, beberapa orang mulai bercerita tentang mimpi mereka malam sebelumnya. Seseorang mengatakan, ia bermimpi melihat gugusan bintang cemerlang menaungi kota. Seorang lagi berkata bahwa ia bermimpi melihat kawanan bangau bersayap cahaya terbang melintasi kota mereka. Seseorang yang lain menceritakan pijar api biru yang dilihatnya meluncur dari langit menuju atap gereja.

Yang lain menambahi bahwa ia sesungguhnya sudah merasa sebelumnya ketika ia melihat bunga-bunga di halaman rumahnya bermekaran begitu indah melebihi biasanya. “Dan kau tahu…,” seseorang berkata penuh senyuman. “Aku sudah merasakan kehadirannya ketika seluruh kudis di tubuhku tiba-tiba mengering dan mengelupas. Saat itu aku merasakan ada embus lembut yang berkali-kali meniup-niup kulitku. Aku yakin, itulah napas lembut bidadari kecil itu…” Wajahnya begitu cerah, seperti seseorang yang begitu percaya betapa Tuhan barusan mengampuni seluruh dosa-dosanya.

Kemudian seseorang yang bermulut murung langsung menimbrung, “Ya, saya juga merasa, ketika saya tahu anak babi saya yang baru lahir berkaki lima!”

Kisah-kisah ajaib bermekaran, membuat percakapan di kedai kopi yang biasanya berlangsung datar membosankan menjadi lebih bergairah. Para pembual dan tukang cerita seperti menemukan kesempatan untuk mengembangkan imajinasinya.

Namun, bagaimanapun, gadis kecil itu memang membuat kota kecil ini jadi lebih menggeliat. Sudah begitu lama segalanya terasa lamban dan membosankan karena semua hal nyaris sudah mereka percakapkan dan rasakan. Pantai yang putih, teluk yang jernih. Juga lorong-lorong kota yang begitu bersih. Sudah lama semua itu enggan mereka percakapkan karena terkesan jadi seperti menyombongkan. Karena tanpa mereka percakapkan pun semua orang sudah tahu tentang kota mereka yang kecil dan indah, hingga banyak pelancong begitu terkesan dan kerasan. Bangunan-bangunan tua yang terawat, di mana setiap riwayat tergurat, seperti selalu mengisahkan kembali sejarah kota yang penuh kedamaian. Jembatan dan kanal, gereja dan dermaga, kedai-kedai kopi sepanjang jalan utama, apalagi yang masih perlu dipercakapkan?

Dan gadis kecil itu membuat warga kota menggeliat, seakan disadarkan dari ketenangan dan kelambanan yang justru membuat mereka mulai merasa penat. Ketika gadis kecil itu meloncat-loncat riang mengikuti bapak pendeta yang berjalan keliling kota menenteng piskis, mereka jadi lebih antusias memperhatikan, dan terpesona pada keredap cahaya Matahari yang memantul dari tepi nampan perak itu.

Ketika gadis kecil itu bermain-main di alun-alun kota bersama kawanan merpati, orang-orang tak hanya melihat burung-burung yang berhamburan berebut remah roti, tetapi juga bisa melihat garis-garis lembut bulu merpati itu, bercak kecoklatan di kaki burung-burung merpati itu, juga pada jejak-jejak halus yang nyaris merata menutupi permukaan tanah yang tak terlalu basah. Mereka jadi bisa merasakan bau lembab rerumputan.

Mereka seperti kembali menemukan kegembiraan ketika memandangi patung perempuan dari batu pualam yang mendekap jambangan. Dapat mereka lihat serat-serat coklat di bagian leher patung itu, seperti urat di selembar daun yang menua. Mereka juga memperhatikan air yang keluar dari jambangan itu, mengucur menyentuh permukaan kolam dan berpercikan. Percik-percik air itu berloncatan seperti anak belalang bertubuh terang. Ketika mereka selesai menikmati segelas kopi, mereka pun tak hanya melihat sisa ampas, tetapi juga liuk lekuk bekas bibir mereka di gigir gelas. Mereka bisa melihat dengan jelas aroma kelabu yang keluar dari mulut seseorang yang baru saja menikmati anggur. Segalanya seakan-akan menampakkan diri lebih jelas, dengan seluruh kelembutan dan pesona detail-detailnya. Hingga keheningan tak hanya terasa begitu dekat, namun juga pekat.

Semuanya tumbuh bersama gadis itu yang membuat warga kota menjadi lebih giat mendatangi gereja. Mereka begitu senang setiap kali mendengar gadis kecil itu bernyanyi. Orang-orang bisa melihat pipi bocah itu yang halus bersemu kemerahan. Anak-anak rambutnya bergeraian dan beberapa, karena keringat, melemat di lehernya yang kuning mengilat. Bulu matanya begitu lebat lentik, seakan memayungi sepasang mata bening agar tak terkena debu-debu dosa. Bocah itu tumbuh, seperti perasaan seorang beriman yang diberkahi kedamaian. Dan warga kota pun selalu teringat tanda-tanda yang menyertai kemunculannya, sebagaimana selama ini tak bosan-bosan terus-menerus mereka percakapkan: ia datang dari gugusan bintang cemerlang dibawa kawanan bangau bersayap cahaya kemudian menjelma pijar air biru yang meluncur menuju atap gereja hingga bunga-bunga di halaman rumah bermekaran begitu indah melebihi biasanya dan membuat kulit penderita kudis seketika mengering serta anak babi bisa terlahir dengan kaki lima….

“Bagaimanapun,” kata bapak pendeta, “tanda-tanda mereka yang mulia, antara lain, karena ia dilahirkan di kandang hewan, di sebuah palungan….”

Dan orang-orang pun teringat, betapa gadis kecil itu ditemukan seorang peronda, meringkuk di dekat kandang kuda.

Kehidupan di kota kecil itu pun tak lagi menggeliat lambat. Perlahan-lahan meskipun segalanya masih terasa begitu khidmat, mereka mulai merasakan ada sesuatu yang menggeliat gawat. Mereka menyaksikan bocah cilik itu sudah menjadi gadis yang seranum buah murbai. Tawanya begitu berderai, dan ia melangkah amat semampai. Anak-anak muda selalu berpakaian cerah. Ada sesuatu yang tumbuh, melebihi gairah pesta-pesta yang kini sering kali digelar di sepanjang trotoar. Sesuatu yang membuat anak-anak muda itu tertawa lebih keras, dan merasa tak perlu untuk cepat-cepat menutup mulut mereka dengan tangannya. Malam lebih panjang dengan keramaian, terompet dan nyanyian. Dan selalu, di puncak malam, terjadi perkelahian. Karena setiap pemuda berebut ingin berdansa dengan gadis paling jelita di kota. Karena setiap pemuda merasa paling berhak dan ingin menjadi penguasa satu-satunya. Dan gadis-gadis lain menangis-juga histeris-karena merasa diabaikan, terhina, dan diluapi kebencian. Fitnah dan hujah pun membuat gatal dan resah. Setiap gunjingan kemudian menudingkan jari telunjuknya ke arah gadis itu, yang malam-malam selalu terlihat berkeliar di pesisir pantai….

“Dan itu hanya dilakukan para lonte!” para perempuan mulai bergunjing, sambil memerhatikan tingkah laku para lelaki yang belakangan ini memang lebih suka menghabiskan waktu di tepi pantai ketimbang duduk-duduk di kedai. Para istri mulai menajamkan mata, mengawasi suami-suami mereka. Tentu saja, para suami yang merasa tak dipercaya jadi gampang meluap marah. Nyaris, sepanjang hari, bila kini engkau berkunjung ke kota kecil itu, engkau akan mendengar suara pipi ditampar, teriak perempuan kalap mencakar-cakar, umpatan-umpatan kasar.

Tak mengherankan, apabila gadis cantik itu terlihat melintas, para perempuan buru-buru menghindar.

Melebihi usia tua yang celaka, bapak pendeta mulai gelisah ketika dari hari ke hari kian sedikit warga kota yang berdoa bersamanya. Para perempuan enggan datang ke gereja, bila gadis itu ada di sana. Kaum lelaki, yang tak mau terlalu kelihatan memendam birahi, juga jadi sungkan mengikuti ekaristi. Bau sunyi mulai membuat gereja itu terlihat pasi setiap Minggu pagi. Bapak pendeta tak juga menemukan jalan bijaksana, bagaimana ia mesti mengatakan ini semua, tetapi tak membuat hati gadis itu terluka.

Saat bapak pendeta berdoa agar diberi jalan keluar, ia mendengar kerekit pintu gereja terbuka, kemudian suara langkah kaki diseret di atas lantai kayu yang kasap. Bulu-bulu tengkuknya seketika meremang, saat ia merasakan ada sehembus angin halus: seakan-akan ia merasakan kehadiran sesuatu yang kudus.

“Maafkan saya, Bapak…” terdengar suara yang begitu dikenalnya. “Saya telah menyusahkan Bapak. Biarlah saya yang tak lagi ke gereja. Saya akan kembali ke kandang kuda. Karena dari sanalah asal saya….”

Betapa terbelalak bapak pendeta. Gadis itu berdiri gemetar di hadapannya matanya tak sebak air mata, tetapi darah! Gadis itu telah mencongkel kedua biji matanya dengan jari-jarinya sendiri karena tak mau lagi melihat dosa. Darah yang masih basah terus merembes keluar dari liang matanya.

Kota kecil itu pun gemetar. Ketika dengan cepat kabar itu menyebar, orang-orang menyaksikan senja yang seolah bergetar, dan jantung mereka begitu berdebar. Mulut mereka asam dan kecut seperti mengunyah acar. Sejak itu, mereka selalu mendengar gema doa yang mengalun dari arah kandang kuda. Gema yang bagai menyusutkan semua suara, hingga kota digenangi kesepian seketika. Gema yang membuat setiap warga kota menundukkan kepala. Mereka kini lebih banyak berdiam diri ketika duduk-duduk di kedai kopi. Mereka gampang terkejut, bahkan oleh denting paling pelan suara sendok yang menyentuh gelas. Apalagi saat ini engkau berada di antara mereka, engkau bisa merasakan raut cemas yang menyelusup halus dalam senyum ramah mereka.

Apalagi ketika mereka melihat gadis itu-yang kian terlihat begitu cepat tua-melintas di jalan, bila ia membutuhkan makanan. Orang-orang dengan bergegas akan menghindar, warung-warung akan segera menutup kerai dan pasar segera bubar. Karena ketika ia berjalan tidak terlihat menyedihkan, tetapi mengerikan. Sementara gema doa bagai membungkus tubuhnya, ia terlihat tertatih-tatih dengan sepasang tangan yang seakan-akan selalu merabai punggung udara. Gaun etamin hitam yang serupa jubah terjulai hingga bagian bawahnya menyapu tanah. Debu-debu halus berleduban setiap kali perempuan itu melangkah. Wajahnya selalu tertutup selendang usang, tetapi orang-orang tetap saja bisa memandang sepasang liang matanya yang remang. Lebih-lebih bayangan wajahnya yang ledang. Bahkan, orang-orang lebih ketakutan pada sepasang liang yang tak lagi berbiji mata itu karena mereka percaya justru setelah buta, perempuan itu mampu melihat semua yang kasatmata. Ia bisa merasakan kebusukan yang dengan penuh kesopanan disembunyikan.

Ketika berlangsung pesta yang diadakan untuk membangkitkan kembali kenangan-kenangan bahagia yang pernah memulas kota dengan warna-warna keriangan-karena bagaimanapun kota ini mesti tak boleh terbenam dalam kemurungan-mendadak perempuan itu muncul. Ia sudah berdiri di dekat pancuran, menuding ke tangan-tangan warga yang tengah bersulang. “Yang kalian minum bukan anggur, tetapi darah seorang pelacur….” Suaranya bagai muncul dari bawah tanah yang seketika bergetar seperti punggung orang yang terbatuk-batuk. Saat itu pula mereka mencium bau yang amis, serupa miasma yang menguap dari rawa-rawa. Beberapa hari kemudian, perempuan itu berdiri di tengah jalan menghentikan kereta wali kota. Sementara para pengawal wali kota hanya mematung tak berdaya, bagai tersihir, perempuan buta itu segera mendekati wali kota dan langsung menepuk-nepuk punggungnya. Saat itulah orang-orang yang menyaksikan puluhan ekor ular keluar dari lubang telinga wali kota. Beberapa ekor juga keluar dari mulutnya, dari hidungnya, dari duburnya….

Perempuan buta itu mengatakan kepada beberapa gadis agar segera membuang lintah yang memenuhi perut mereka. Kepada seorang saudagar perempuan itu mengingatkan agar tak lagi makan belatung. Ia membuat malu seorang guru karena dikatakan suka menggauli anak kandungnya yang gagu. Dengan tegas ia menuding hidung seorang tentara yang dikatakannya gemar memerkosa. Ia mengucapkan semua itu semudah orang menyemburkan ludah. Kadang-kadang caranya berkata-kata seperti seseorang yang tengah menyumpah. Bahkan, ia begitu kurang ajar mengatakan bapak pendeta tak cukup beriman untuk membimbing para jemaahnya!

Itulah yang membuat orang- orang dengan gemetar menghindar. Ia mengerikan karena telah menyerahkan jiwanya kepada setan sehingga ia bisa melihat dalam kegelapan seperti makhluk malam. Setiap pintu rumah orang terhormat tak akan terbuka setiap kali ia mengetuknya. Setiap orang kemudian berdoa agar perempuan buta itu terkena lepra….

Karena tak diterima di kota, perempuan itu lebih sering terlihat memandangi laut, seakan seorang peramal yang mencari isyarat maut. Kadang sepanjang hari ia berdiri di tebing karang dikelilingi burung-burung camar atau menyusuri pantai memunguti barai, kerang, atau lengkitang. Ia menyeruput siput-siput itu langsung dari cangkangnya, membuat jijik siapa pun yang melihat. Kecuali pelacur-pelacur miskin yang menghuni gubuk-gubuk rumpang di sisi dermaga, yang segera meniru kelakuannya; setidaknya perempuan itu mengajarkan kepada mereka satu cara mengatasi kelaparan. Karena itulah, setiap sore, para pelacur itu mengundangnya untuk bertandang ke gubuk mereka. Dengan cepat ia menjadi dekat dengan para barua, mucikari, kecu, pencoleng, budak-budak pelabuhan, para begundal, dan juru mudi kapal. Seolah orang perempuan itu menjadi pelindung mereka.

Sementara senja kian muram. Di kedai-kedai kopi orang-orang lebih banyak diam. Hanya sesekali mereka mengingat perempuan itu dengan pedih, dengan sesal yang tak berkesudahan. Kemudian kisah lama hadir, dengan suasana berbeda. Kenapa, dulu, tak kita buang saja gadis cilik itu ke laut? Ia pasti keturunan putri duyung yang suka menggoda dengan nista dan air mata, seseorang berkata. Atau dia memang anak jadah dari rahim seorang pelacur yang sengaja membuangnya, timpal yang lainnya. “Sejak pertama kali ia ditemukan, aku sesungguhnya sudah ingin mengingatkan, kalau sebelumnya aku bermimpi buruk; kota kita diserbu jutaan burung pelatuk. Aku ingin menceritakan mimpi itu, tetapi aku takut kalian tak mempercayainya waktu itu…,” kata seseorang sembari membuang pandang. Kemudian setiap orang mengisahkan mimpi-mimpi lainnya, yang jauh berbeda dari yang dulu mereka katakan. “Sesungguhnya aku berdusta soal mimpi burung bangau bersayap cahaya….”

Kota kecil di tepi teluk itu seperti wajah orang tua yang mengantuk, sementara kekecewaan kian lama kian menumpuk. Perempuan itu membuat kota mereka yang indah menjadi berbau tanah. Dari arah pelabuhan selalu terdengar suara pelacur-pelacur yang terkikik. Para begundal mengerang dihisap mulut sundal. Mereka, kaum pendosa, membuat kota ini celaka. Karena kepada para pelacur dan pencoleng yang menjadi kaumnya, perempuan buta itu selalu berbicara tentang surga, tetapi membiarkan mereka saling remas kelamin di hadapannya. Terkutuklah perempuan itu! Dia najis, karena membiarkan puting susunya yang garing diisap pengemis-pengemis kudis. Dia iblis, karena dengan lidahnya mau menjilati borok di selangkang pelacur yang terkena sifilis. Dia nista, karena melayani budak dan bromocorah dengan tubuhnya. Dia sundal, karena bersenggama dengan ratusan begundal….

Dan perempuan buta itu sungguh-sungguh tak terampunkan ketika perutnya bengkak oleh dosa, dan ia mengaku mengandung bayi buah cintanya dengan malaikat. Dari hari ke hari perut perempuan buta itu kian membesar dan para pelacur sundal pencoleng begundal yang selalu mengelilinginya menganggap perempuan itu telah menjadi santa yang rahimnya memancarkan cahaya. Karena memang begitulah yang mereka percaya; suatu malam mereka melihat cahaya berkilauan turun dari surga. Itulah cahaya yang memancar dari sepasang sayap malaikat, yang segera menghampiri perempuan buta itu. Laut seperti memejam, ombak redam, ketika malaikat dan perempuan buta itu berciuman. Malaikat itu menitipkan benih cinta di rahim perempuan buta.

Di puncak kemarahan, puluhan warga kota segera mendatangi bapak pendeta. Bagaimanapun perempuan bidah itu mesti ditangkap, dirajah. Dengan bijaksana bapak pendeta menyerahkan semuanya kepada wali kota. Maka segeralah dikirim bala tentara, mengobrak-abrik pelabuhan, mengusir pergi para sundal dan begundal. Dan perempuan buta itu diseret, dilecut punggungnya sepanjang perjalanan menuju penjara. Setiap warga melempari tubuh perempuan itu dengan batu, sambil menghujah marah.

“Bidah!”

“Penyihir!”

“Lonte!”

Kemudian perempuan itu dilemparkan ke ruang penjara bawah tanah. Di sel pengap sempit dengan ujung-ujung besi runcing yang saling jepit saling kait. Sel yang penuh ular keling dan kalajengking. Berhari-hari, berbulan-bulan, tanpa makanan.

PADA bulan ke delapan, keputusan telah dimaklumatkan. Perempuan itu mesti mati sebelum bayi itu dilahirkan. Karena kota ini mesti dibebaskan dari rantai kutukan. Karena dosa mesti ditumpas sebelum sempat tumbuh lagi satu tunas. Dan seluruh warga kota yang mulia dan terhormat sepakat, perempuan itu mesti dirajam dengan tembakan. Setiap warga yang memiliki senapan boleh ambil bagian.

Pistol-pistol tua yang selama ini tersimpan dalam peti atau lemari dikeluarkan dan dibersihkan. Senapan berburu yang selama ini hanya jadi pajangan segera diturunkan. Peluru-peluru disiapkan. Yang belum punya senapan segera membeli di pasar loak. Atau pinjam kepada kenalan. Seluruh lelaki di kota itu telah menenteng senapan, berdiri di sepanjang jalan. Bahkan banyak juga perempuan yang dengan gembira mengacung-acungkan senapan. Sementara di alun-alun kota, di mana hukuman akan dilaksanakan, beratus-ratus bala tentara sudah siap dengan senapan di tangan yang siap ditembakkan.

Dan inilah prosesi pembantaian yang paling dinantikan…

Langit bersih, siang itu, seperti merestui. Seluruh warga kota sudah memenuhi alun-alun ketika perempuan buta itu diseret keluar dari penjara bawah tanah. Ia melangkah dengan kaki yang tak goyah. Pe rutnya bertambah besar. Liang matanya terlihat kian kelam. Rambutnya dipenuhi sindap, lengket bergempal-gempal bau apak. Tubuhnya penuh keranta, meruapkan aroma kematian. Tetapi lihatlah, betapa ia tampak damai. Meski sekujur tubuhnya penuh koreng. Jari-jari tangannya menggeropeng, beberapa nyaris putung digerogoti kusta. Sikapnya seperti seorang perempuan yang bersikeras mempertahankan martabat. Di atas panggung hukuman, tepat di tengah alun-alun kota, ia berdiri memandangi langit dengan sepasang matanya yang buta.

Dosa sebentar lagi dilenyapkan. Beratus-ratus lup senapan diarahkan. Ketika segalanya kian dekat, keheningan kian terasa sempurna. Saat itu bila engkau ada di sana menyaksikan itu semua, engkau akan bisa mendengar suara air mata yang bergulir dari keluk kelopak mata. Kemudian detik seketika meledak. Sementara delap menguap dari tiap ujung senapan yang berkali-kali ditembakkan, beribu-ribu peluru menghambur menyerbu mengepung tubuh perempuan buta itu. Beribu-ribu peluru yang menderu, hingga engkau bisa mendengar gemuruh suaranya ketika membelah udara yang dipenuhi percik-percik cahaya. Cahaya?

Di bawah sinar Matahari, beribu-ribu peluru itu memang terlihat bagai biji-biji cahaya yang berlesatan, membuat terkesima siapa pun yang melihatnya. Dan orang-orang kian terkesima; ketika senapan terus ditembakkan hingga ribuan peluru terus berlesatan di udara, tetapi pada saat itu juga, peluru-peluru itu saling bertubrukan dan pecah menjadi keping-keping cahaya bening yang terbang melayang-layang seperti kupu-kupu. Ya, kupu-kupu! Beribu-ribu peluru itu seketika menjelma kupu-kupu sebelum menyentuh tubuh perempuan buta itu…

Terdengar suara puluhan senapan terlepas berjatuhan, sementara setiap orang menyaksikan semuanya dengan penuh ketakjuban. Beribu-ribu kupu-kupu dengan sayap yang membiaskan cahaya lembut aneka warna, terbang melayang-layang, kemudian mulai hinggap di tubuh perempuan buta itu. Menghinggapi kedua tangannya yang terentang, seakan-akan ia disalibkan. Lalu, begitu pelan, beribu-ribu kupu-kupu itu mengangkat tubuh perempuan itu hingga tampak seperti balon udara yang tengah mengangkasa. Terus membubung. Berkilauan dalam kemegahan sayap- sayapnya, kemudian gaib ditelan langit.

Kami terkesima memandanginya, tetapi kami juga merasa begitu hampa. Ada yang tak kunjung kami pahami, hingga kini. Bagaimanakah kami mesti mengenang perempuan buta itu?

Jakarta, 2004

Agus Noor

Senja Buram, Daging di Mulutnya

Senja Buram, Daging di Mulutnya



“Ambillah! Aku ikhlas. Ambillah dan cepat pergi!” Tapi perempuan tua dengan anak tiga tahunan di gendongnya itu tetap kaku di tempatnya. Wajahnya pias, beku tak berdarah, seperti mayat yang baru terbenam dua-tiga hari: wajah yang tak berwarna. Tubuhnya yang menggigil kecil tapi menjangkau seluruh tepi jasadnya itu, menandakan ia hidup. Tentu saja ia hidup. Baru tiga menit lalu, handphone dan lembaran seratus ribuku pindah dari kantong celana kiriku ke kain gendongan anaknya, dalam drama kecil yang terjadi tak sampai lima menit.

Itu belum dimulai ketika bus kota yang kutumpangi mulai memasuki kawasan Cawang. Jam lima sore lebih. Aku malas mengangkat pantat, mungkin karena wanita muda sebelahku duduk seperti memberi kode padaku. Entah apa. Mungkin balasan dari kode yang kusampaikan dengan, seolah tak sengaja, menjawil ujung lututnya yang terbuka. Aku mengintip dengan sudut mata kiriku. Wanita muda itu seperti tersenyum sendiri. Sesungguhnya malu kalau aku merasa tersanjung.

Tapi kuingat istriku dengan masakan yang menunggu. Juga Bersihar, anak lelakiku kedua yang menunggu janjiku mengajaknya ke komedi putar. Maka, terpaksa aku berdiri tepat saat kondektur meneriakkan halte Cawang, dan wanita muda itu masih tersenyum sendiri. Ia tidak tersenyum untukku. Aku menghela napas dan melempar tubuhku secepatnya ke arah pintu belakang. Penumpang cukup padat. Drama pun dimulai.

Bus kota hampir berhenti. Di tangga pintu belakang, tak kurang delapan orang berjejal. Semua perempuan. Semua setengah baya. Dua di antaranya menggendong anak. Di belakangku empat orang lain mendesakku. Semua perempuan tua. Satu yang menggendong anak tepat di belakangku. Ia mulai mendorong, mendesakku dengan kata-kata penuh cemas, mengingatkanku kepada anaknya. Dua orang lagi mendorong. Pantatku ditekan-tekan. Kemejaku ditarik hingga hampir lepas dari selipan celana. Tiga orang perempuan di depanku bergoyang selaiknya orang berebutan. Ada sesuatu yang mendorong celana, kantong celana kiriku.

Ada yang tak beres! Aku sigap berkelit dan menengok. Sepotong tangan mungil terjuntai dari balik kain, tepat di mulut kantong celana kiriku. Aku mengebaskan pandang ke arah perempuan tua penggendong anak di belakangku. Tiga orang kiri kanan menggoyangku. Aku mengelilingkan pandang. Tak kurang selusin perempuan tua di sekelilingku. Dan segera aku sadar. Kurogoh kantong kiriku. Handphone dan lembaran seratus ribu sudah tak ditempatnya.

Aku meluap. Tensi darahku pasti melonjak 170, seperti biasanya. Tangan mengepal seperti hendak berayun. Saat itu, perempuan tua dengan anak digendongnya mendadak kaku dan bergetar. Wajahnya kertas singkong yang sangat muram. Semacam putus asa yang menyisakan kematian. Kalau kemudian aku lepaskan dia dan merasa menyesal di tiga menit kemudian, bukan karena hartaku lenyap. Namun, gerombolan perempuan tua itu turun bersama dan pergi dengan segera. Beberapa terdengar mengikik tertawa. Dua di antaranya menoleh ke arahku sekejap. Entah bagaimana wajah perempuan tua tak berwarna tadi. Aku tak bisa melukainya. Tentu, aku tak bisa. Tak bisa.

Istriku mengumpat habis di rumah. Bersihar tak jadi ke komedi putar.

Siaran televisi menjelang malam itu kembali dengan program yang dia gemari. Seperti biasa, lelaki 30 tahunan itu sudah menyiapkan dengan saksama, ritus menonton tengah malam itu. Segelas kopi besar dengan es batu besar-besar, sepiring keripik kulit mangga, dan saputangan untuk ingusnya yang selalu keluar menjelang tidur. Tegukan pertama kopi ia telan begitu acara dimulai, diikuti gerak otomatis tangannya merangkai keripik di mulutnya.

Malam ini, siaran itu menyajikan tiga orang pemangsa yang tidak biasa. Yang pertama, lelaki tua asal Thailand yang menyantap berbagai jenis serangga seperti kodok, kadal, tikus, hingga ular kecil sebagai menu sehari-harinya. Yang kedua, perempuan tua Ukraina pemamah tanah kotor berpasir, tiga kali satu hari dengan piring yang cukup besar. Kadang ia makan langsung dari ember, bahkan dari galian tanah di hutan. Cacing atau binatang-binatang kecil ikut di dalamnya.

Yang ketiga, lelaki muda Jawa Timur dengan dua menu istimewa setiap hari. Jika tidak sepiring belatung, lain waktu sepiring kaca. Ketiga orang itu semuanya sehat. Hanya perempuan Ukraina sedikit turun hemoglobinnya. Tapi tak berpengaruh. Mereka mengaku sama berliur jika melihat santapannya menggeletak begitu saja di jalanan. Tak tahu kapan mereka akan berhenti dengan menu seperti itu. Mereka merasa tak memiliki alasan untuk berhenti. Dan lelaki 30 tahunan itu menyeka hidungnya dengan saputangan.

Esok harinya, ia menemukan ulat di balik sayur sawi buatan istrinya. Ia tak berteriak seperti biasa. Ia coba menelannya. Tapi kemudian merasa lebih baik mencoba mengunyahnya.

Padri adalah jagoan PS, alias PlayStation. Kini ia jagoan CS, alias ComputerStation. Pulang sekolah ia tidak akan istirahat atau makan siang dulu. Namun, segera ke kios CS. Jika libur; jam enam pagi ia sudah menunggu di depan kios yang masih tertutup pintunya itu. Aku sudah mengingatkan berulang kali anak pertamaku itu. Tak ada reaksi. Kuhukum sudah. Berat bahkan. Neneknya protes. Jangan kejam pada anak, katanya. Kelakuannya tak baik, kataku. Biarlah, itu kan tak mengganggu orang. Dan bukankah ia merasa bahagia karenanya? Nenek itu menutup protesnya dengan lima lembaran lima puluh ribuan, jatah bantuan bulanan untukku.

Kini Padri bukan cuma jagoan CS. Permainan itu sudah menjadi judi. Dan Padri selalu jagoan. Ia tak lagi minta jajan. Apa aku merasa terbantu karenanya? Aku menghukumnya lebih keras. Padri menjerit. Nenek protes lebih keras lagi. Tak kuberi tahu ia kalau cucunya kini jadi bandar judi. Aku malu. Jatah bulananku di tambah hampir dua lipat. Dua minggu kemudian, Sukran, pemuda pengangguran anggota organisasi pemuda entah apa, melaporkan padaku, Padri terlihat bercumbu dengan Ijah, pembantu tetangga sebelah di kebon singkong.

Aku tahu, tak kan lama lagi, Padri akan datang dengan perempuan mana yang dibuntinginya. Apa aku harus menunggu? Kuhukum ia lebih berat sehingga jatah bulananku pun bertambah? Aku mengeluh pada istriku. Ia tak menjawab, sibuk dengan Bersihar yang memang sangat cerewet. Aku menyerbu lemari dapur. Mencari sesuatu. Menemukan sayur sawi. Kuhabiskan semua dalam beberapa kejap.

Lalu berlari mengelilingi rumah tetangga, kios CS, PS, lapangan, kebon singkong, sekolahan, kamar tidur Ijah, hingga kampung sebelah. Padri tak ada. Aku lapor pak RT dan keamanan. Padri tak pulang, hingga larut malam. Aku tak bisa tidur. Membuka lemari dapur. Kosong. Pagi-pagi dua orang preman datang mengetuk pintu. Pemberitahuannya singkat. Padri, anak pertamaku, ada di Polsek, setelah ketahuan mengganja di kolong jembatan Krukut.

Aku berkemas. Berangkat ke tempat kerja.

Cukup lama, lelaki 30 tahunan itu mengamati Ipung. Ia hanya lelaki kecil, belum tujuh tahun, namun perangainya dewasa. Air mukanya jenaka, kulitnya putih, dan matanya berjurang. Belakangan ia agak berubah. Tetap jenaka, kulit mukanya memuram dan matanya kadang kosong. Ipung sekolah pagi, tapi pulangnya senantiasa sore. Bapaknya kerja di Senen, entah apa. Ibunya jual karedok, di pertigaan kampung, dibantu Arti, anaknya 13 tahun.

Kemarin, lelaki itu tak melihat Ipung seperti biasa: menjelang maghrib mencakung di depan rumahnya, dekat balai keamanan desa sambil menggigiti rumput. Dan pagi hari ini, kampung geger. Dari koran yang dibeli Pak RT, tersiar berita Ipung ada di rumah sakit. Ditemukan pingsan di jalan menuju pulang dari sekolah. Tubuhnya berantakan. Darah kental dari celananya mengering. Ia disodomi delapan orang, yang lima di antaranya sudah tertangkap. Ipung meninggal sepuluh jam kemudian, lantaran ia disodomi seraya dicekik agar tidak berteriak.

Songkang, lelaki 30 tahunan itu tidak ikut ke rumah sakit bersama para tetangga. Ia berbela sungkawa dengan memberikan amplop pada bapak si Ipung. Malamnya ia nongkrong di balai keamanan desa. Membayangkan Ipung. Wajah yang jenaka, kulit licin, putih, dan mata yang cekung menawarkan pertanyaan. Bagaimana anak itu sebenarnya? Ia seperti menyentuh kulit halus anak kecil itu. Menelusuri tubuhnya. Dan menemukan kelokan dan tikungan yang membuat pengendara apa pun tergoyang karenanya.

Songkang teringat anaknya. Dan siuman. Hari lewat tengah malam. Ia lihat sekelilingnya, sepi. Ia lihat dirinya, tengah onani.

Aku tertawa kecil mendengar kabar kuping itu. Seorang terdakwa yang menggali belasan mayat perempuan tua, untuk disantap sedikit demi sedikit dagingnya, diputuskan bersalah oleh pengadilan dan dihukum sekian tahun saja. Terdakwa itu tertawa di balik baju kokonya. Beberapa orang malah menyalami. Beberapa ibu dan perempuan muda minta foto bareng dengannya. Beberapa wartawan mewawancarai. Ia kontan populer seperti selebritis negeri ini. Tawanya sumringah, menawarkan sesuatu pada siapa saja. Bukan rasa gembira. Tapi teror yang tersembunyi. Dan orang-orang menerimanya, menerima teror seperti lauk-pauk sehari-hari.

Aku tertawa dan mengakui. Imajinasi kita kini begitu miskin dibanding kenyataan di sekitar kita. Khayal memang tak terduga, tapi kenyataan kian tak dinyana. Pengarang pasti keok dan terseok fantasinya, tunduk malu pada kreativitas dunia keseharian. Aku? Manusia biasa saja. Imajinasi sederhana. Sekadar mengikuti hidup yang ada. Seperti dorongan selepas senja di hari kerja kelima setiap minggunya, aku pasti datang ke perempatan itu. Seperti rutin saja. Menemui Shelly, Sonya, Tessi, Mona, atau siapa saja. Wanita-wanita berjenis kelamin pria. Menemaniku tidak lama, 30 hingga 40 menit saja. Dekat taman atau di pinggiran kuburan cina. Karena langganan, aku selalu dapat potongan. Kadang gratisan.

Petang ini aku menemui Deassy. Entah siapa. Tak peduli aku kenal dia atau tidak sebelumnya. Namun, memang hanya wanita itu yang ada. Yang lain entah ke mana. Mungkin hari masih terlalu sore. Dan Deassy pun tak banyak tanya. Ia menggandengku ke kuburan cina. Tidak di pinggirannya. Tapi lebih jauh ke dalam. Masih banyak orang lewat, katanya. Aku menurut saja. Seperti biasa. Tanganku dipegang, resluiting celana dikendurkan. Seperti biasa. Ia tersenyum kecil, ia berwajah dingin, ia menunduk. Seperti upacara. Seperti biasa.

Tapi hasilnya, kali ini tidak biasa. Ruar biasa. Aku ejakulasi berat dan orgasme berat. Namun, bukan orgasme seperti biasa. Saat aku membuka mata, setelah sekian menit memejam saat puncak orgasme seperti biasa, aku melihat dan merasa tidak lagi di kuburan cina. Aku di sebuah taman. Berumput halus berbunga aneka, bersungai bening berawan kapas, binatang-binatang domestik kecil… bayangkan saja surga dalam komik anak-anak kita. Semua ada di sana. Dan yang menonjol untukku, di sebuah pendopo kayu yang sederhana tapi eksotik dan super bersih, berkumpul bidadari-kalau perempuan-perempuan itu bisa disebut bidadari-yang seluruhnya bugil-gil. Mereka menatapku. Semua tak kecuali.

Dengan langkah Adam manusia pertama, atau dewata di pewayangan bolehlah, aku melangkah, mendekati mereka. Memperhatikannya saksama, satu per satu. Semua cantik, putih, halus, dan sangat seksi. Tapi saat kuperiksa lebih saksama, ada yang berbeda dari mereka dengan perempuan yang biasa kukenal. Satu atau beberapa bagian tubuh mereka ternyata lebih cocok disebut lelaki ketimbang perempuan. Seperti yang di pojok kiri, yang duduk bertelekan pagar bambu halus, memiliki betis yang besar, kuat dan kekar, bulu-bulu lebat menyelimutinya.

Atau yang mungil di bagian tengah depan, berjakun besar yang tak henti menggelinjang. Ada pula yang berpenis, berdada bidang atau berperut kencang lengkap dengan telur-telur ototnya, bahkan berkumis, berjenggot, atau berjambang bauk. Dan kalau kuamati lagi lebih saksama, ada yang berekor, bersusu empat, atau bahkan berkaki kanguru. Tapi… semua cantik dan menggemaskan. Entah kenapa, bagiku semua “wanita” itu menggairahkan.

Lucunya, aku seperti mengenal mereka. Ada yang wajahnya seperti Tari, adik iparku. Atau tubuhnya sedikit gempal lemak dengan lekukan yang sama dengan istriku. Atau berleher jenjang Kustiyah, ibuku. Atau seperti Marni, pembantu. Seperti Bersihar, anakku, Rudy, Jamal… ooh. Semua sungguh memberi kedekatan padaku. Aku seperti terisap. Dan melebarkan langkahku. Hingga kucium baunya. Bau-bau yang sangat kukenal, kusukai, kuhormati. Aku pun menghambur.

Aku tak bisa memilih. Dan memang tak memilih. Kuserbu satu, atau mungkin dua atau tiga di antaranya, dan kubenamkan kepala dan tubuhku dalam pelukan mereka. Aahhhhhh. Ini surga? Kupejam mata dan menggerayangkan tanganku. Gila, ini ekstase. Aku surup karena gairah. Dan gelap. Tubuhku bergoyang dan terlempar-lempar, tepatnya tergulung-gulung. Bukan pusing, seperti sebuah nikmat. Tapi entah nikmat apa. Karena kemudian tak kurasakan apa-apa. Cuma gelap. I am nowhere. Dan kurasa aku pingsan.

Mungkin bukan pingsan. Tapi tertidur, saat aku mendusin. Saat kujumpai hari pagi, kujumpai diriku terbaring, memeluk kuburan dengan nisan tepat di bibirku. Dan sungguh, aku tak kaget. Aku puas sekujur badan, hingga jempol kaki kiriku. Lalu pulang dan melihat semua seperti baru.

Penduduk kampung tidak geger lagi. Padahal Pak Karmin pagi itu ditangkap polisi dengan tuduhan-lagi-lagi-pembunuhan. Korbannya tiga orang, semua anggota keluarganya sendiri, dua anak dan istri. Semuanya habis disantap, mentah-mentah. Dan sebagian orang terkejut, sebagian lain menyebutnya dengan enteng, “Pak Karmin lagi muja.” Katanya, ngelmu untuk mendapatkan kekayaan, kejayaan. Dan itu bukan yang pertama untuk kasus “muja”. Jadi, biasa-biasa saja.

Apalagi memang dalam beberapa waktu terakhir kasus, entah kenapa, cukup banyak kasus dialami oleh warga kampung ini. Tak cuma perampokan dengan pemerkosaan plus mutilasi. Bukan hanya gadis muda dan cantik yang meminum darah ratusan tikus untuk jadi populer. Tidak melulu tukang soto dengan daging mayat sebagai campurannya. Atau sekadar serial pemerkosaan bayi balita yang terjadi di Jembar Udik, kampung sebelah. Hidup memang kejam kok, kata Pak RT Udin.

Lantaran itu, mungkin, apa yang terjadi pada Songkang dan keluarga tidak lagi jadi perhatian umum. Sudah lebih tiga minggu, Songkang hidup sendiri. Istri dan Bersihar, anaknya, pergi. Ke mana, entah. Karena cerai? Entah. Padri pun lama hilang. Jadi preman, kata orang. Songkang sendiri hidup seperti biasa. Berangkat pagi dan pulang selepas petang. Tetangga dekat cuma melihatnya menjadi warga yang lebih sopan dan berbudi, lebih dari biasanya. Menebar senyum, walau tak banyak bicara. Suka membantu, walau jarang keluar rumah.

Yang kasatmata, rumah Songkang kini lebih banyak tertutup, sepi, gelap, dan tak terurus. Rumah hantu, kata anak-anak. Tapi tak ada yang menegur, karena Songkang banyak senyum. Jadi waktu pun berlalu. Begitu saja. Seperti biasa. Kejadian demi kejadian terjadi. Begitu saja. Tak ada yang aneh. “Tuhan memang tak terduga,” kata Pak Soegono, guru SMP.

Memang, siapa menduga kalau Songkang sudah tiga hari tak keluar rumahnya. Ini sungguh tak biasa.

Polisi, lagi-lagi, menyergap kampung. Kali ini rumah ketiga Gang Arjuna Buntu yang diserbu. Aku tahu itu, bahkan sudah tahu sebelumnya. Tepatnya sudah menduga. Lebih tepat lagi sudah terencana. Polisi akan menemukan rumah itu kumuh, gelap, sepi, dan beraroma busuk. Sebagian polisi menggunakan masker dan membuat dugaan macam-macam. Aku pasti gembira melihat mimik mereka.

Setelah melewati ruang tamu dengan sofa berlubang dan perabotan bersilang, mereka akan masuk ruang keluarga yang melulu berisi potongan koran dan majalah. Bertumpuk-tumpuk dan memenuhi dinding. Lalu menuju dapur yang telah menjadi gudang. Gudang apa saja, terutama barang bekas, entah bekas apa. Di sisi kiri, kamar tidur anak yang kosong, kecuali dipan dengan kasur bolong. Dan akhirnya, mereka akan sampai ruang belakang, kamar “ngelamun” kata mantan ibu rumah ini.

Di situ polisi akan menemukan sebentuk tubuh bugil. Tubuh lelaki 30 tahunan dengan anggota badan tak lengkap. Tentu ia sudah menjadi mayat, lebih dua hari katanya. Di sisinya ada televisi yang masih menyala dengan semut, satu pisau daging yang besar, dua pisau kecil pengerat, potongan majalah porno, stensilan, kertas dan spidol, nisan kuburan, tanah yang mengering, bunga-bunga layu, piring bekas makanan, dan ceceran darah kering di lantai, kaki, selangkangan dan mulutnya.

Analisa polisi: lelaki itu Songkang, bunuh diri karena frustrasi, cerai istri dan anak, menjadi gila, dan hiperseksual. Dilihat dari beberapa tanda, lelaki itu seperti habis melakukan semacam monoseks atau otoseks, dengan berbagai cara. Sampai ia memotong alat vitalnya sendiri untuk otoseks. Dan itu pun belum juga memuaskannya. Ia mulai memotong anggota tubuhnya yang lain untuk ia santap. Tapi ia sudah mati sebelum santapan pertama ia habiskan. Entah karena kehabisan darah, atau karena tersedak. Di tenggorokannya ditemukan sepotong daging tersangkut, potongan alat vitalnya sendiri.

Senja di luar datang. Kali ini coklat, buruk dan buram. *

Jakarta, Juli 2003



Radhar Panca Dahana