Showing posts with label Pramoedya Ananta Toer. Show all posts
Showing posts with label Pramoedya Ananta Toer. Show all posts

Sunday 5 December 2010

Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer

Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer



"Bumi Manusia" adalah bagian pertama dari tetralogi Pulau Buru karya masterpiece Pramoedya Ananta Toer. Berkat diskon 30% dari toko buku Gramedia Mal Cijantung akhirnya aku sanggup membeli seluruh tetralogi ini tanpa rasa bersalah. Harga buku Pak Pram yang diatas rata-rata harga buku nasional lainnya memang sangat pantas mengingat karya-karyanya yang sangat bermutu. Apabila anda buka situs amazon.com , jangan heran kalau review yang diberikan pembaca atas karya-karya Pak Pram mendapatkan lebih dari 4 bintang.

"Bumi Manusia" sebagai bagian pertama dari tetralogi Pulau Buru menguak latar belakang dari keseluruhan cerita dalam tetralogi tersebut. Minke sebagai tokoh utama diceritakan masih menjadi siswa HBS di Surabaya. Sebuah prestasi hebat bagi seorang pribumi asli dapat bersekolah di HBS yang notabene biasanya hanya diperuntukan bagi anak-anak totok (Belanda tulen), Indo atau keturunan asing lainnya. Minke (sebetulnya bukan nama asli tokoh kita ini) adalah seorang keturunan priyayi Jawa yang berusaha menanggalkan kejawaannya dan ingin berpikir serta bertindak ala Eropa, namun walaupun begitu sesungguhnya Minke sangat menentang kolonialisme. Di Surabaya Minke tinggal di rumah kontrakan milik seorang Mevrouw yang baik hati yang bersuamikan seorang mantan komandan tentara kolonial. Untuk mendapatkan uang saku, Minke juga melakukan bisnis kecil-kecilan dengan memasarkan karya-karya hasil seniman invalid yang berdarah Perancis bernama Jean Marais. Jean Marais bukan hanya sekedar rekan bisnis tapi juga seorang sahabat sejati Minke. Selain itu Minke yang cerdas juga sering membuat tulisan di koran lokal berbahasa Belanda dengan menggunakan nama samaran.


Kehidupan Minke yang semula berjalan lancar-lancar saja tiba-tiba menjadi luar biasa setelah seorang teman sekolah mengajaknya bertandang ke Boerderij Buitenzorg. Disana ia bertemu dengan 2 orang wanita luar biasa yang akan mengubah jalan hidup Minke untuk selamanya. Kedatangan Minke langsung disambut dengan hangat oleh seorang gadis Indo bernama Annelies Mellema yang langsung membuatnya jatuh hati. Tidak cuma itu, sang penguasa Boerderij Buitenzorg, nyai Ontosoroh juga langsung membuat Minke seperti terhipnotis untuk mau-mau saja mengikuti kehendak sang nyai. Nyai Ontosoroh ini sebetulnya hanyalah seorang gundik dari Heman Mellema seorang belanda pejabat di perkebunan tebu. Selain Annelies masih ada juga seorang lagi anak nyai Ontosoroh yaitu Robert Melemma yang nampak begitu membenci ibunya dan juga segala sesuatu yang berhubungan dengan pribumi. Selanjutnya Minke menjalin kasih dengan Annelies si anak Indo yang justru ingin menjadi seorang Jawa. Nyai Ontosoroh ternyata sangat cerdas dan berwibawa tinggi sehingga sering kali membuat Minke terkagum-kagum. Semakin sering Minke bergaul dengan Nyai Ontosoroh, semalin kental pula jiwa nasionalisme Minke. Minke dan Annelies akhirnya menikah juga tak lama setelah Minke dinyatakan lulus dari HBS.


Kehidupan di Boerderij Buitenzorg menjadi terusik tak lama setelah kematian tak wajar tuan Herman Melemma. Boerderij Buitenzorgpun terancam terampas dari genggaman Nyai Ontosoroh sebab sesungguhnya tuan Herman Melemma telah mempunyai seorang putra dari perkawinan sahnya dengan seorang wanita Belanda yang tentunya akan menjadi pewaris sah dari kekayaan Herman Melemma. Yang terancam terenggut bukan cuma Boerderij Buitenzorg tapi juga Annelies. Perkawinan Annelies dan Minke yang sebetulnya sudah sah secara agama tidak diakui oleh pengadilan putih kolonial sehingga Annelies yang dibawah umur harus dibawa ke Nederland untuk selanjutnya berada di pengawasan Maurits Melemma, putra sah tuan Herman Melemma. Dengan sekuat tenaga Nyai Ontosoroh dan Minke melawan kekuasaan kolonial tersebut. Bukan cuma mereka, semua kaum pribumi di Surabaya serta beberapa totok dan Indo yang anti kolonialisme berusaha membantu melawan ketidakadilan tersebut namun usaha keras mereka masih belum sanggup mengalahkan kekuasan kolonial yang memang tak adil bagi kaum pribumi. Pada bagian akhir buku dikisahkan Annelies yang dalam keadaan sakit terpaksa harus diberangkatkan ke Nederland seolah menjadi simbol keterbedayaan kaum pribumi atas kaum kolonial.


"Bumi Manusia" ini juga membuka mataku tentang sosok nyai-nyai yang selama ini aku pikir seorang wanita desa gatal yang demi harta rela jadi simpanan bule-bule penjajah. Berkat kisah masa lalu Nyai Ontosoroh aku baru menyadari kalau para nyai ini sesungguhnya adalah wanita-wanita tak berdaya korban kekejaman sistem kolonialisme. Nyai Ontosoroh yang bernama asli Sanikem adalah seorang putri pegawai rendahan di pabrik gula. Pada masa itu gadis yang telah mendapatkan menstruasi harus segera dinikahkan bahkan gadis berusia 15 tahun sudah dianggap sebagai pearawan tua (Betapa beruntungnya kita para wanita yang hidup di jaman modern). Ayah Sanikem sangat berambisi untuk mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi rela melakukan apa saja termasuk menjual putrinya kepada sang bos. Ibu Sanikem berusaha keras mencegahnya namun tak berdaya juga pada akhirnya. Saat Sanikem keluar dari rumah untuk diserahkan kepada tuan Herman Melemma, bos ayahnya, ia berjanji dalam hati untuk tidak akan kembali kepada orang tuanya. Sanikem cukup beruntung ternyata tuan Mellema cukup baik hati dan mau mengajarkan berbagai pengetauan kepada Sanikem sehingga selanjutnya Sanikem menjadi penguasa Boerderij Buitenzorg dan mendapat julukan Nyai Ontosoroh. Walaupun begitu tetap aja status Nyai Ontosoroh lemah di depan hukum karena ia tidak pernah dinikahkan secara sah oleh tuan Herman Melemma.


Secara keseluruhan buku ini sangat bagus sekali. Meskipun kita dijejalkan oleh beberapa fakta sejarah namun rasanya sama sekali tidak mengganggu malah membuat cerita menjadi semakin indah. Memang wajar kalau Pak Pram pernah masuk nominee penerima nobel sastra sebab beliau sanggup mengemas sebuah cerita denga topik berat dikemas apik menjadi enak dibaca sehingga membuat pembaca penasaran ingin membuka lembar-demi lembar berikutnya.


http://inarciss.blogspot.com/2008/03/bumi-manusia-pramoedya-ananta-toer.html

Rumah Kaca - Pramoedya Ananta Toer

Rumah Kaca - Pramoedya Ananta Toer




"Rumah Kaca" merupakan buku seri terakhir dari tetralogi Pulau Buru karya masterpiece dari penulis besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer. Di buku inilah Pak Pram menunjukan kejeniusannya dalam menciptakan plot cerita yang sangat tidak konvensional. Jika di 3 buku terdahulu fokus cerita ada pada tokoh Raden Mas Minke yang juga sekaligus menjadi pencerita utama maka di buku ke-4 ini Pak Pram membalikan situasi sehingga tokoh Minke tidak menjadi tokoh utama dan pencerita jatuh pada tokoh Pagemanann yang muncul selintas sebagai tokoh misterius dalam buku ke-3 Jejak Langkah. Kepiawaian meramu cerita Pak Pram sehingga walaupun tidak lagi menjadi tokoh utama namun tokoh Minke tetap menjadi nyawa dari cerita.

Di bagian akhir buku Ke-3 dikisahkan kalau Minke ditangkap oleh pihak kepolisian pimpinan inspektur Pagemanann yang memang sudah mengincarnya sejak lama. Pagemanann adalah seorang pribumi tapi berpendidikan Eropa pekerja keras dan memiliki jaringan yang luas sehingga karirnya cepat naik. Walaupun menjadikan Minke sebagai target operasi tapi diam-diam Pagemanann mengagumi Minke dan dalam batinnya menjadikan Minke sebagai guru besarnya. Pagemanann juga seorang yang cerdas namun sayangnya dia mempunyai kebiasaan buruk yaitu senang minum-minuman keras, hal ini pula yang menyebabkan rumah tangganya hancur berantakan.

Karena kekagumannya pada maka Pagemanann sendiri yang mengawal Minke ke tempat pembuangannya di daerah maluku sana. Sejak awal buku kita langsung disuguhi perspektif cerita dari kacamata Pagemanann sehingga rasanya buku ke-4 ini adalah sebuah bagian yang terpisah namun sesungguhnya kalau tidak mengikuti bagian-bagian sebelumnya maka kita akan susah mengikuti jalan ceritanya. Setelah Minke dibuang, Pagemanann tetap saja rajin menyelidiki kehidupan sang tokoh panutan. Pagemanann juga menyelidiki tokoh-tokoh yang diceritakan Minke dalam buku-buku karyanya yaitu "Bumi Manusia", "Anak Segala Bangsa" dan "Jejak Langkah", disinilah Pak Pram menunjukan kejeniusannya sehingga pembaca berhasil digiringnya untuk ikut berpikir kalau ketiga tetralogi sebelumnya adalah karya Minke bukan karya Pak Pram. Ide yang rasa-rasanya sulit untuk diikuti pengarang manapun untuk membuat sebuah cerita baru dalam sebuah sebuah cerita.

"Rumah Kaca" pun digambarkan oleh Pak Pram sebagai buku yang tengah disusun oleh Pagemanann yang menceritakan tentang kebangkitan organisasi-organisasi modern serta kesadaran kaum terpelajar untuk mengusir kaum kolonial. Pagemanann tak cuma diam-diam mengagumi Minke tapi juga diam-diam mendukung aksi pemberontakan kaum terpelajar pribumi tersebut tapi sebagai abdi pemerintah kolonial yang baik, Pagemanann tidak dapat melakukan apa-apa kecuali hanya sekedar jadi penonton. Tugas Pagemanann sebagai anggota elit kepolisian adalah membasmi kegiatan pergerakan yang dapat mengancam pemerintah kolonial sebetulnya bertentangan dengan nuraninya namun ia lebih menuruti ambisi untuk menjadi yang pribumi yang memiliki jabatan di kepolisian yang tertinggi.Berbeda dengan Minke yang memang menjadi hero, Pagemanann ini adalah tokoh abu-abu kadang ia adalah seorang yang baik misalnya saja dengan Menutupi keterlibatan Prinses (istri Minke) dalam usaha pembunuhan terhadap Robert Suurhoff) tapi di sisi lain demi karir ia mau memberikan berbagai rahasia pergerakan terhadap kepolisian kolonial.

"Rumah Kaca" memang lebih berat daripada ketiga buku sebelumnya karena selain kita dipaksa untuk mengubah perspektif, pada buku ini kita juga akan kehilangan kisah romansa yang manis. Mungkin karena Pagemanann tokoh utama kita kali ini adalah seorang yang sangat ambisius mengejar karir sehingga pembawaanya lebih serius daripada tokoh Minke yang memang gampang jatuh hati pada wanita. Namun rasa bosan itu terobati dengan munculnya fakta-fakta dibalik kisah di tiga buku sebelumnya. Secara keseluruhan tetralogi Pulau Buru ini memang luar biasa. Pantas saja kalau Pak Pram sang pengarang dipuji-puji oleh pecinta sastra sedunia.




http://inarciss.blogspot.com/2008/04/rumah-kaca-pramoedya-ananta-toer.html

Anak Semua Bangsa - Pramoedya Ananta Toer

Anak Semua Bangsa - Pramoedya Ananta Toer



Anak Semua Bangsa adalah bagian kedua dari tetralogi Pulau Buru. Sekali lagi aku dibuat terpesona oleh karya Pak Pram yang luar biasa sehingga enggan rasanya untuk menghentikan membaca bukunya.

Episode kedua cerita tentang kehidupan Minke diawali oleh kedukaan yang dalam akibat berita meninggalnya Annelies Melemma, sang biadadari dalam kehidupan Minke yang direnggut secara paksa oleh hukum kolonial. Annelies yang sudah dalam keadaan sakit ketika hendak dibawa ke Nederland tak kuasa melawan kedukaan hatinya yang mendalam. Bukan tanpa usaha, Nyai Ontosoroh dan Minke telah mengutus Panji Darman sahabat sejatinya untuk membantu mengawasi dan menjaga Anneliesnya namun takdir berkata lain. Kematian Annelies bukanlah satu-satunya kepahitan yang harus dihadapi oleh nyai Ontosoroh dan Minke, masih ada setumpuk masalah yang tak kunjung selesai.



Selain dari Nyai Ontosoroh seperti biasa dengan khotbah-khotbahnya, jiwa nasionalis Minke kembali mendapat pencerahan dari Kommer, sang jurnalis Indo yang sangat anti kolonialisme. Pada mulanya Minke tersinggung berat ketika Kommer dan Jean Marais sahabatnya, mengatakan bahwa sesungguhnya Minke tidak mengenal negeri dan bangsanya. Minke dianggap lebih dekat dengan bangsa Eropa yang menjajah negerinya. Ia pandai menulis dalam bahasa Belanda dan Inggris namun menolak ketika diminta menulis dalam Melayu atau Jawa karena menganggap bahasa ibunya tersebut tidak indah. Sindiran Kommer yang menyakitkan membuat Minke ingin membuktikan diri kalau ia mengenal bangsanya dengan menerima tawaran Kommer untuk mengunjungi kehidupan kaum petani. Kebetulan juga Nyai Ontosoroh ingin pergi berlibur sejenak untuk melepas stres.



Mereka akhirnya pergi ke daerah Tulangan yang Merupakan sentra perkebunan tebu terbesar. Disana Minke dan Nyai Ontosoroh menginap di rumah Paiman alias Sastro Kassier, saudara Nyai Ontosoroh yang sukses jadi kasir di pabrik gula. Perjalanan ke Tulangan ini berhasil membuka mata Minke dan menyadarinya kalau sindiran Kommer dan jean Marais itu betul adanya. Kehidupan kaum petani sungguh di luar dugaannya semula. Minke juga jadi tahu bagaimana kejamnya kaum kolonial memeras setiap tetes kekayaan bangsa jajahannya tanpa memberikan kesejahteraan bagi rakyat jajahannya. Perjalanan ini justru memukul Nyai Ontosoroh begitu mengetahui kalau Paiman ternyata juga tega melakukan hal yang pernah dilakukan oleh ayah mereka terhadap putrinya sendiri.



Demi lebih mengetahui kehidupan kaum petani yang tertindas, Minke rela bermalam di rumah keluaraga petani yang sedang berjuang untuk mempertahankan haknya yang akan dirampas kaum kolonial. Pengalaman Minke tersebut, ia tulis dalam bentuk sebuah tulisan yang menurutnya adalah karya terbaiknya. Namun justru Kommer mengkritik keras tulisannya tersebut sedangkan Nyai Ontosoroh jadi makin terpukul mengetahui kemungkinan asal muasal modal suaminya untuk mendiirikan perkebunan yang dibanggakannya tersebut. Minke yang tidak mengindahkan kritik Kommer nekat mendatangi kantor koran tempat ia biasa memasukan tulisannya. Bukan pujian yang didapat malah caci maki dan masalah lain yang akan timbul kemudian.



Ditengah segala masalah yang datang makin mendera, kedukaan kembali menyelimuti kehidupan Nyai Ontosoroh begitu mengetahui Robert Melemma, putranya yang dulu minggat dari rumah ternyata sudah meninggal di Los Angeles akibat terkena penyakit kotor. Kedukaan ini disusul oleh kenyataan lain kalau ternyata Robert sebelum minggat sempat menanamkan benihnya pada rahim Minem, salah seorang pegawai Nyai Ontosoroh yang kesohor karena kegenitannya. Kehadiran bayi yang diberi nama Rono Melemma tersebut seolah menjadi sebuah harapan baru bagi Nyai Ontosoroh yang kesepian karena telah ditinggal mati oleh anak-anaknya.



Pak Pram menutup buku keduanya dengan sangat indah. Ketika Maurits Melemma telah datang untuk merampas Buitenzorg, Nyai mengumpulkan para sahabat yang setia dengan perjuangnnya, Jean Marais dan May, anak semata wayangnya, Kommer, Darsam, Mingke dan Rono untuk menyambut kedatangan Maurits Mellema. Dan Nyai menegaskan kepada mereka kalau perjuangan kali ini yang mereka miliki hanya mulut, dan hanya boleh menggunakan mulut saja. Mereka berhasil membuat cap kepada Maurist Mellema sebagai pembunuh Annelies. Dengan kata-kata mereka telah membuat insinyur yang disebut sebagai pahlawan Nederland di Afrika itu menjadi mengkerut dan tidak berdaya. Maurits Melemma yang datang dengan gagah itu terpaksa harus pergi meninggalkan rumah Nyai Ontosoroh dengan kepala tertunduk dalam cercaan orang-orang desa.


Sungguh luar biasa indah penutup yang dibuat oleh Pak Pram ini. Nyai Ontosoroh boleh kalah di pengadilan tapi dia sanggup membuat Naurits Melemma terpukul dan tak akan melupakan hari itu sepanjang sisa usianya. "Anak Semua Bangsa" diawali oleh kegetiran namun diakhiri oleh kegetiran yang diubah menjadi sebuah kemenangan kecil yang sangat manis.


http://inarciss.blogspot.com/2008/03/anak-semua-bangsa-pramoedya-ananta-toer.html

Jejak Langkah - Pramoedya Ananta Toer

Jejak Langkah - Pramoedya Ananta Toer

Buku ketiga dari tetralogi Pulau Buru karya sang maestro “Pramoedya Ananta Toer” diberi judul “Jejak Langkah. Minke kali ini benar-benar berangkat ke Batavia untuk melanjutkan sekolah ke STOVIA atau sekolah dokter pribumi. Di bagian ini kita akan mendapatkan gambaran tentang keadaan Jakarta tempo doeloe ketika masih bernama Batavia.

Berkat kekuatan karakternya, Minke berhasil melewati ujian perpeloncoan dari seniornya malah ia menjadi salah satu siswa yang disegani. Minke juga bertemu dengan seorang gadis Tionghoa yang nampa rapuh dari luar tapi sebetulnya adalah seorang pejuang tangguh yang nantinya akan mempengaruhi sikap nasionalisme Minke. Gadis yang biasa disapa Mei itu akhirnya resmi diperistri Minke.

Dunia jurnalistik tidak bisa ditinggalkan begitu saja dalam hidup Minke, sambil kuliah ia juga aktif menulis untuk sebuah surat kabar. Menulis bagi Minke selain untuk motif ekonomi juga menjadi cara untuk melakukan perlawanan terhadap kolonial. Kedatangan seorang pensiunan dokter jawa yang menyerukan pembentukan organisasi modern kian membuat pikiran Minke kian terbuka. Tekadnya untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme tanpa menggunakan kekerasan mnejadi makin bulat.

Duka kembali memayungi hidup Minke ketika Mei sang kekasih harus menyerah terhadap panggilan Sang Kuasa karena sakit akibat terlalu aktif dalam kegiatan pergerakan kaumnya. Pukulan bagi Minke makin terasa keras ketika iapun dinyatakan dipecat dari sekolah dokternya. Sempat terpuruk, Minke kembali bangkit dan mendirikan sebuah penerbitan yang diberi nama “Medan Prijaji”. Koran ini menjadi alat perjuangan Minke yang paling efektif untuk menyerukan misi-misinya seperti penghapusan feodalisme, memperkenalkan cara baru untuk melakukan perlawanan terhadap kaum kolonial melalui sistem boikot serta tentu saja aspirasinya seputar pembentukan organisasi modern.

Selain bergiat dalam bidang jurnalistik, Minke juga sempat bergabung sebuah organisasi yang dikenal sebagai Boedi Oetomo. Namun akibat perbedaan persepsi dengan para penggerak BO lainnya, Minke memutuskan untuk keluar dan membentuk organisasi sendiri yang memiliki cakupan yang lebih luas. Organisasi tersebut disebut Syarikat Dagang Islam atau disingkat SDI. Dalam urusan asmara, Minke juga telah memutuskan untuk menyunting seorang putri dari seorang Raja yang disingkirkan dari kampung halamannya di Kasiruta, sebuah daerah di Maluku. Prinses demikian istri ketiga Minke ini disapa adalah seorang wanita yang sangat tahu memposisikan dirinya sebagai seorang istri.

Cara perjuangan Minke melalui surat kabar dan organisasi yang kian berkembang pesat membuat pemerintah kolonial makin gerah terhadap sepak terjangnya. Segala cara dilakukan untuk menghentikan langkah Minke dan para pendukungnya, mulai dari cara halus melalui berbagai jebakan secara politis hingga cara kasar yang melukai Minke secara fisik. Namun dengan licinnya, Minke selalu berhasil melewati cobaan tersebut sehingga ia tetap bisa melanjutkan langkah pejuangannya.

Minke adalah seorang pria beruntung yang selalu mendapatkan wanita pendamping yang luar biasa. Prinses adalah termasuk wanita luar biasa yang nampak halus namun sebetulnya adalah seorang yang terlatih untuk selalu siaga menghadapi perang. Prinses juga tak segan-segan angkat senjata demi melindungi nyawa sang suami tercinta. Keberuntungan Minke soal wanita pendamping ternyata bertolak belakang dengan kemampuannya soal meneruskan garis keturunan alias mandul.

Dengan semakin besarnya SDI dan juga makin pesatnya Medan Prijaji membuat Minke terpaksa harus memberikan kepercayaan kepada orang lain untuk mengurus semuanya. Rupanya titik inilah yang diincar kaum kolonial dengan menyusupkan seorang pengkhianat hingga mendapatkan kepercayaan penuh dari Minke lalu ia akan menusuk dari belakang. Akibatnya Minke mendapat tuduhan tindakan kriminal yang membuatnya ditangkap oleh penguasa. Pada bagian buku dikisahkan kalau Minke akan menjalani hukuman di luar pulau Jawa. Maka Minkepun harus berpisah dengan istri dan rekan serta para pendukungnya yang selama ini telah setia mendampimginya.



http://inarciss.blogspot.com/2008/04/jejak-langkah-pramoedya-ananta-toer.html

Tan Boen Kim dan Tragedi Sang Pelacur

Tan Boen Kim dan Tragedi Sang Pelacur


Jumat, 17 Mei 1912. Batavia gempar. Sesosok mayat wanita muda ditemukan membusuk.

Tubuh si mayat berada di dalam karung beras yang mengambang. Kedua tangannya terikat. Melihat keadaannya, tidak diragukan lagi bahwa wanita muda yang telah menjadi mayat itu adalah korban pembunuhan.

Pada bulan-bulan berikutnya, diketahui bahwa mayat itu bernama Fientje de Feniks. Seorang wanita Indo berumur sekitar dua puluh tahun yang berprofesi sebagai "nona goela-goela" alias pelacur. Ia tercatat sebagai anggota dari "roemah plesiran" yang dikelola oleh mantan pelacur kelas atas bernama Jeanne Oort.

Setelah dilakukan penyelidikan oleh polisi, pembunuhnya diketahui adalah seorang pria Belanda. Namanya Willem Frederik Gemser Brinkman. Pria ini dikenal sebagai seorang hartawan yang berstatus sebagai pegawai Gouvernement Bedrijven. Ia adalah pelanggan sang pelacur.

Brinkman membunuh Fientje karena cemburu. Asal mula permasalahannya muncul, ketika ia menggundik wanita itu dan menyuruhnya untuk tidak melacurkan diri lagi. Namun, Fientje tetap melakukan profesinya. Brinkman lalu memergoki nyai-nya bersama pria lain. Ia menjadi panas hati dan pembunuhan yang terencana pun terjadi.

Kasus ini kemudian dibawa ke Raad van Justitie. Proses peradilannya memakan waktu dua tahun. Brinkman dan puluhan saksi dihadirkan dalam persidangan. Sang tersangka dibela oleh pengacara terkenal Mr. Hoorweg. Dengan didampingi pembela yang piawai, Brinkman dinyatakan tidak bersalah.

Kasus yang menggemparkan ini terus menjadi pembicaraan masyarakat Batavia. Koran-koran terus memuatnya sebagai berita utama. Raad van Justitie pun mencatat proses persidangannya secara cermat dan teliti. Dengan data yang berlimpah, tak heran apabila kematian Fientje de Feniks ini menjadi satu di antara banyak kejadian nyata yang dibukukan sebagai novel pada dekade awal abad ke-20.

Memang, sastra Melayu-Rendah mulai membangun tradisi sejak munculnya Hikayat Nyai Dasima pada 1896. Kejadian nyata yang sensasional sering diangkat menjadi tema cerita dalam novel.

Umumnya, kejadian nyata itu berupa kasus-kasus pembunuhan. Hal ini berlangsung setidaknya hingga 1930-an. Tak aneh apabila novel-novel pada masa itu lazim mengidentifikasikan diri sebagai "satoe tjerita jang betoel soeda terdjadi".

Pembunuhan Fienjte de Feniks yang sensasional itu dibukukan menjadi novel berjudul Nona Fientje de Feniks, atawa djadi korban dari tjemboeroean. Edisi pertama novel ini diterbitkan tahun 1915. Penulisnya adalah seorang Tionghoa peranakan bernama Tan Boen Kim (TBK).

Di dalam buku Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: a Provisional Annotated Bibliography (1981), Claudine Salmon mengatakan bahwa TBK dilahirkan pada 1887. Tidak diketahui apakah TBK mendapat pendidikan formal atau tidak. Namun yang pasti, ia adalah seorang jurnalis yang berpengalaman.

Pria ini pernah menjadi direktur harian Tionghoa peranakan Thjioen Thjioe di Surabaya 1916. Setahun kemudian, ia bekerja sebagai editor mingguan Ien Po di Batavia. Tahun 1926, TBK hijrah ke Palembang selama beberapa bulan dan bekerja untuk mingguan Kiao Po.

Tulisan-tulisan TBK terkenal sangat tajam dan kritis. Ia sering keluar masuk penjara karena buah penanya. Tak jarang, ia dianiaya oleh orang-orang yang tidak meyukai tulisan-tulisannya. Oleh karena itu, TBK menjadi terkenal sebagai orang yang kenjang dibatjok dan keloear masoek pendjara.

Nona Fientje de Feniks adalah novel TBK yang paling sukses. Karyanya ini adalah perpaduan antara keakuratan data dan kelincahan bercerita. Kesuksesan novel tersebut telah membuat TBK menulis kelanjutan ceritanya: Njai Aisah atawa djadi korban dari rasia dan G. Brinkman atawa djadi korban perboeatannja. Kedua novel ini juga diterbitkan pada 1915.

Seperti halnya novel pertama, kedua sekuel ini pun diangkat dari kisah nyata yang merupakan kelanjutan kasus Fientje de Feniks. Ceritanya seputar kisah hidup Brinkman yang menjadi buronan polisi setelah dinyatakan tidak bersalah atas tuduhan pembunuhan Fientje.

Setelah sekian lama menjadi pelarian karena melakukan perampokan-perampokan dan pembunuhan terhadap Aisah, istri dari salah satu anggota komplotannya, Brinkman akhirnya tertangkap dan diadili. Ia divonis hukuman mati. Di ujung cerita, ia dikisahkan melakukan bunuh diri di penjara. Kematian Brinkman mengakhiri cerita berantai Fientje de Feniks.

Kedua novel lanjutan ini juga terbilang sukses. Dengan latar belakang kesuksesan itu, pada 1916 TBK menggabungkan trilogi Fientje de Feniks-nya ke dalam satu buku. Akan tetapi, ceritanya tidaklah lagi berbentuk prosa melainkan dalam bentuk syair. Buku itu berjudul Sair Nona Fientje de Feniks dan sekalian ia poenja korban jang bener terdjadi di Betawi antara taon 1912-1915.

Cerita Fientje de Feniks yang ditulis oleh TBK memang fenomenal dan menginspirasi banyak penulis. Salah satunya adalah Pramoedya Ananta Toer. Ia mengadaptasi kisah nyata kematian pelacur Indo kelas atas yang legendaris ini ke dalam alur cerita Rumah Kaca (1988).

Dalam novel terakhir dari tetralogi Pulau Buru itu, nama Fientje de Feniks diubah menjadi Rientje de Roo. Wanita ini juga dikisahkan menjadi seorang pelacur yang dibunuh. Bedanya, Pram mengisahkan Rientje de Roo memiliki seorang pelanggan bernama Jacques Pangemanann yang menjadi tokoh utama cerita.

Ketika Rientje dipanggil untuk "dipakai", Pangemanann mendengar kabar bahwa bahwa sang pelacur telah mati. Tidak diceritakan siapa pembunuhnya dan bagaimana kelanjutan kasusnya. Cerita Rientje hanya dipaparkan sebatas hubungannya dengan tokoh utama. Akan tetapi, kisah kematian yang diselipkan ini turut membangun cerita utama Rumah Kaca secara keseluruhan.

Selain Pram, penulis lain yang tampaknya terinspirasi oleh karya TBK ini adalah seorang pria berkebangsaan Belanda bernama Peter van Zonneveld. Ia menulis buku De Moord op Fientje de Feniks (Pembunuhan Fientje de Feniks) yang diterbitkan pada 1992.

Kesuksesan trilogi Fientje de Feniks dan buku syairnya ternyata tidak berbanding lurus dengan kehidupan sang penulis. TBK menjalani tahun-tahun terakhir kehidupannya dalam kemelaratan. Ia diketahui tinggal menumpang dalam sepetak ruangan Jinde Yuan, salah satu kelenteng tertua di Jakarta hingga akhir hayatnya. Sungguh sangat ironis.

Untungnya, satu perhargaan tak terhingga diberikan kepada TBK oleh Leo Suryadinata. Sinolog terkemuka ini mengabadikan riwayat hidup TBK di dalam bukunya Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches (1995).

Lewat buku yang berisi biografi orang-orang Tionghoa peranakan terkemuka ini, Leo menyatakan bahwa TBK adalah seorang Tionghoa peranakan yang unggul di bidangnya. Penilaian ini bukan tanpa alasan.

Kesuksesan menulis trilogi Fientje de Feniks menjadi salah satu pertimbangannya. Selain itu, produktivitas TBK dalam menulis juga menjadi nilai tambah. Ia tercatat telah menghasilkan lebih dari 20 karya selama periode 1912-1933. Umumnya, karyanya berupa novel yang diangkat dari kisah nyata.

TBK memang telah meninggal pada 1959. Namun, kisah tentang tragedi sang pelacurnya tetap hidup dan menginspirasi banyak orang.

IRAWAN SANTOSO S.B.

Tulisan ini pernah dimuat di rubrik ”Khazanah” Harian Umum Pikiran Rakyat edisi 9 Juni 2007