Thursday 4 November 2010

PENERAPAN ILMU ANTROPOLOGI KESEHATAN DALAM PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT PAPUA

PENERAPAN ILMU ANTROPOLOGI KESEHATAN DALAM PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT PAPUA


Djekky R. Djoht

(Dosen Tetap di Jurusan Antropologi FISIP Universitas Cenderawasih dan Sekretaris
Laboratorium Antropologi Universitas Cenderawasih)


ABSTRACT

As a branch of Anthropology, medical Anthropology studies biocultural relation
between human behaviour on medical aspect in the past and present, its also studies
professional participation with their programs on improving public health by
understanding the relationship between the indication of biosociocultural with the
health, and the changing of healthy behaviour which is believed can improved the
degree of health.

The author believes that with its “emik”and “ethic” perspectives, medical
Anthropology can join with others in developing the people in Papua. He argues
that with the province’s policies on developing pubic health in Papua, such as
regional development with health conception, professionalism on medical staff,
insurance on public health and desentralization is a suitable world for medical
Antrhropology.


A. PENGERTIAN ANTROPOLOGI KESEHATAN
Antropologi kesehatan adalah studi tentang pengaruh unsur-unsur budaya
terhadap penghayatan masyarakat tentang penyakit dan kesehatan (Solita
Sarwono, 1993). Definisi yang dibuat Solita ini masih sangat sempit karena
antropologi sendiri tidak terbatas hanya melihat penghayatan masyarakat
dan pengaruh unsur budaya saja. Antropologi lebih luas lagi kajiannya dari
itu seperti Koentjaraningrat mengatakan bahwa ilmu antropologi
mempelajari manusia dari aspek fisik, sosial, budaya (1984;76). Pengertian
Antropologi kesehatan yang diajukan Foster/Anderson merupakan konsep
yang tepat karena termakutub dalam pengertian ilmu antropologi seperti
disampaikan Koentjaraningrat di atas. Menurut Foster/Anderson,
Antropologi Kesehatan mengkaji masalah-masalah kesehatan dan penyakit
dari dua kutub yang berbeda yaitu kutub biologi dan kutub sosial budaya.
Pokok perhatian Kutub Biologi :
•Pertumbuhan dan perkembangan manusia
•Peranan penyakit dalam evolusi manusia
•Paleopatologi (studi mengenai penyakit-penyakit purba)
Pokok perhatian kutub sosial-budaya :
•Sistem medis tradisional (etnomedisin)
•Masalah petugas-petugas kesehatan dan persiapan profesional
mereka
•Tingkah laku sakit
•Hubungan antara dokter pasien
•Dinamika dari usaha memperkenalkan pelayanan kesehatan barat
kepada masyarakat tradisional.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Antropologi Kesehatan adalah
disiplin yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosio-budya
dari tingkahlaku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara
keduanya disepanjang sejarah kehidupan manusia, yang mempengaruhi
kesehatan dan penyakit pada manusia (Foster/Anderson, 1986; 1-3).
Menurut Weaver :
Antropologi Kesehatan adalah cabang dari antropologi terapan yang
menangani berbagai aspek dari kesehatan dan penyakit (Weaver, 1968;1)
Menurut Hasan dan Prasad :
Antropologi Kesehatan adalah cabang dari ilmu mengenai manusia yang
mempelajari aspek-aspek biologi dan kebudayaan manusia (termasuk
sejarahnya) dari titik tolak pandangan untuk memahami kedokteran
(medical), sejarah kedokteran (medico-historical), hukum kedokteran
(medico-legal), aspek sosial kedokteran (medico-social) dan masalahmasalah
kesehatan manusia (Hasan dan Prasad, 1959; 21-22)
Menurut Hochstrasser :
Antropologi Kesehatan adalah pemahaman biobudaya manusia dan karyakaryanya,
yang berhubungan dengan kesehatan dan pengobatan
(Hochstrasser dan Tapp, 1970; 245).Menurut Lieban :
Antropologi Kesehatan adalah studi tentang fenomena medis (Lieban 1973,
1034)
Menurut Fabrega :
Antropologi Kesehatan adalah studi yang menjelaskan:
•Berbagai faktor, mekanisme dan proses yang memainkan peranan
didalam atau mempengaruhi cara-cara dimana individu-individu dan
kelompok-kelompok terkena oleh atau berespons terhadap sakit dan
penyakit.
•Mempelajari masalah-masalah sakit dan penyakit dengan penekanan
terhadap pola-pola tingkahlaku. (Fabrga, 1972;167)
Dari definisi-definisi yang dibuat oleh ahli-ahli antropologi mengenai
Antropologi Kesehatan seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa Antropologi Kesehatan mencakup:
1. Mendefinisi secara komprehensif dan interpretasi berbagai macam
masalah tentang hubungan timbal-balik biobudaya, antara tingkah laku
manusia dimasa lalu dan masa kini dengan derajat kesehatan dan
penyakit, tanpa mengutamakan perhatian pada penggunaan praktis dari
pengetahuan tersebut;
2. Partisipasi profesional mereka dalam program-program yang bertujuan
memperbaiki derajat kesehatan melalui pemahaman yang lebih besar
tentang hubungan antara gejala bio-sosial-budaya dengan kesehatan,
serta melalui perubahan tingkah laku sehat kearah yang diyakini akan
meningkatkan kesehatan yang lebih baik.


B. SEJARAH PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI KESEHATAN
Membicarakan sejarah munculnya dan perkembangan Antropologi
Kesehatan, maka saya harus melihat dari awal mula munculnya istilah ini
dan penelitian-penelitian mengenai hal ini. Uraian sejarah muncul dan
perkembangan antropologi kesehatan dibuat menurut urutan waktu
cetusannya:

Tahun 1849
Rudolf Virchow, ahli patologi Jerman terkemuka, yang pada tahun 1849
menulis apabila kedokteran adalah ilmu mengenai manusia yang sehat
maupun yang sakit, maka apa pula ilmu yang merumuskan hukum-hukum
sebagai dasar struktur sosial, untuk menjadikan efektif hal-hal yang inheren
dalam manusia itu sendiri sehingga kedokteran dapat melihat struktur sosial
yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit, maka kedokteran dapat
ditetapkan sebagai antropologi. Namun demikian tidak dapat dikatakan
bahwa Vichrow berperan dalam pembentukan asal-usul bidang Antropologi
Kesehatan tersebut., munculnya bidang baru memerlukan lebih dari sekedar
cetusan inspirasi yang cemerlang.

Tahun 1953
Sejarah pertama tentang timbulnya perhatian Antropologi Kesehatan
terdapat pada tulisan yang ditulis Caudill berjudul “Applied Anthropology
in Medicine”. Tulisan ini merupakan tour the force yang cemerlang , tetapi
meskipun telah menimbulkan antusiasme, tulisan itu tidaklah menciptakan
suatu subdisiplin baru.

Tahun 1963
Sepuluh tahun kemudian, Scoth memberi judul “Antropologi Kesehatan”
dan Paul membicarakan “Ahli Antropologi Kesehatan” dalam suatu
artikel mengenai kedokteran dan kesehatan masyarakat. Setelah itu baru
ahli-ahli antropologi Amerika benar-benar menghargai implikasi dari
penelitian-penelitian tentang kesehatan dan penyakit bagi ilmu antropologi.
Pengesahan lebih lanjut atas subdisiplin Antropologi Kesehatan ini adalah
dengan munculnya tulisan yang dibuat Pearsall (1963) yang berjudul
Medical Behaviour Science yang berorientasi antropologi, sejumlah besar
(3000 judul) dari yang terdaftar dalam bibliografi tersebut tak diragukan lagi
menampakan pentingnya sistem medis bagi Antropologi.


C. ANTROPOLOGI KESEHATAN DAN EKOLOGI
1. Konsep-konsep Penting dalam Antropologi Kesehatan dan Ekologi
•SISTEM adalah Agregasi atau pengelompokan objek-objek yang
dipersatukan oleh beberapa bentuk interaksi yang tetap atau saling
tergantung, sekelompok unit yang berbeda, yang dikombinasikan
sedemikian rupa oleh alam atau oleh seni sehingga membentuksuatu keseluruhan yang integral dan berfungsi, beroperasi atau
bergerak dalam satu kesatuan.
•SISTEM SOSIAL-BUDAYA ATAU KEBUDAYAAN adalah
keseluruhan yang integral dalam interaksi antar manusia.
•EKOSISTEM adalah suatu interaksi antar kelompok tanaman dan
satwa dengan lingkungan nonhidup mereka (Hardesty 1977;289)
Dalam membicarakan Antropologi Kesehatan dan Ekologi, saya akan
menitikberatkan pembahasan pada:
Hubungan, bentuk dan fungsi kesehatan dan penyakit dari
pandangan lingkungan dan sosial-budaya.
Masalah dinamika dari konsekuensi hubungan, bentuk dan fungsi
dari kesehatan dan penyakit dengan pendekatan ekologis dan
sosial-budaya.

2. Hubungan Antropologi Kesehatan dengan Ekologi
Hubungan manusia dengan lingkungan, dengan tingkahlakunya, dengan
penyakitnya dan cara-cara dimana tingkahlakunya dan penyakitnya
mempengaruhi evolusi dan kebudayaannya selalu melalui proses umpanbalik.
Pendekatan ekologis merupakan dasar bagi studi tentang masalahmasalah
epidemiologi, cara-cara dimana tingkahlaku individu dan
kelompok menentukan derajat kesehatan dan timbulnya penyakit yang
berbeda-beda dalam populasi yang berbeda-beda. Sebagai contoh pada
penyakit malaria ditemukan pada daerah berikilim tropis dan subtropis
sedangkan pada daerah beriklim dingin tidak ditemukan penyakit ini, juga
pada daerah diatas 1700 meter diatas permukaan laut malaria tidak bisa
berkembang.
Contoh lain, semakin maju suatu bangsa, penyakit yang dideritapun berbeda
dengan bangsa yang baru berkembang. Penyakit-penyakit infeksi seperti
malaria, demam berdarah, TBC, dll pada umumnya terdapat pada negaranegara
berkembang, sedangkan penyakit-penyakit noninfeksi seperti stress,
depresi, kanker, hipertensi umumnya terdapat pada negara-negara maju. Hal
ini disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang berbeda pada kedua
kelompok tersebut.
Kelompok manusia beradaptasi dengan lingkungannya dan manusia harus
belajar mengeksploitasi sumber-sumber yang tersedia untuk memenuhi
kebutuhannya. Interaksi ini dapat berupa sosial psikologis dan budaya yang
sering memainkan peranannya dalam mencetuskan penyakit. Penyakit
adalah bagian dari lingkungan hidup manusia. Contoh penyakit Kuru (lihat
Foster/Anderson, hal 27-29:’MISTERI KURU’).

3. Paleopatologi
Paleopatologi adalah studi mengenai penyakit-penyakit purba. Para ahli
peleopatologi melakukan studi pada tulang-tulang manusia purba, kotoran,
lukisan pada dinding, patung, mumi, dan lain lain untuk menemukan
penyakit-penyakit infeksi pada manusia purba. Studi untuk mengetahui
penyakit manusia purba dari fosil-fosil ini, pada umumnya hanya terbatas
hanya mengetahui pada penyakit-penyakit yang menunjukkan buktinya
seperti pada tulang-tulang yang dapat diidentifikasi. Sebagai contoh
kerusakan atau abses pada tulang sebagai akibat dari siphilis, TBC,
frambosia, osteomilitus, poliomilitis, kusta, dan penyakit-penyakit yang
sejenisnya adalah penyakit infeksi yang dapat dikenali.
Banyak penyakit-penyakit modern yang tidak terdapat pada penduduk
purba, bukan berarti manusia purba lebih sehat dari manusia modern tetapi
bahwa sakitnya manusia purba disebabkan oleh jenis-jenis patogen dan
faktor lingkungan yang jumlahnya lebih sedikit dari yang dialami oleh
manusia modern. Misalnya penyakit campak, rubella, cacar, gondong,
kolera dan cacar air mungkin tidak terdapat di zaman purba.
Dapat disimpulkan bahwa paleopatologi atau studi mengenai penyakit
purba, sangat banyak berhubungan dengan lingkungan untuk menemukan
penyakit-penyakit purba.

4. Epidemiologi
Epidemiologi berkenaan dengan distribusi, tempat dan prevalensi atau
terjadinya penyakit, sebagaimana yang dipengaruhi oleh lingkungan alam
atau lingkungan ciptaan manusia serta oleh tingkah laku manusia. Variabelvariabel
yang dipakai untuk melihat distribusi tempat dan prevalensi serta
tingkah laku suatu penyakit adalah perbedaan umur, jenis kelamin, statusperkawinan, pekerjaan, hubungan suku bangsa, kelas sosial, tingkahlaku
individu, serta lingkungan alami. Faktor-faktor ini dan faktor lainnya
berperanan penting dalam distribusi dan prevalensi berbagai penyakit.
Contoh pemuda Amerika lebih banyak mengalami kecelekaan daripada
wanita muda dan orang tua, perokok lebih banyak kena kanker paru-paru
daripada bukan perokok, gondok lebih banyak menyerang penduduk
pedalaman yang tinggal di daerah pegunungan daripada penduduk pantai
yang bahan makannya kaya yodium.
Tugas seorang epidemiolog adalah bekerja untuk membuat korelasi-korelasi
dalam hal insiden penyakit dalam usaha menetapkan petunjuk tentang polapola
penyebab penyakit yang kompleks, atau tentang kemungkinankemungkinan
dalam pengawasan penyakit (Clausen; 1963:142).
Epidemiologi berusaha mencapai suatu tujuan yaitu meningkatkan derajat
kesehatan, mengurangi timbulnya semua ancaman kesehatan.
Ahli antropologi lebih menaruh minat pada ciri epidemiologi dari penyakitpenyakit
penduduk non Eropa dan Amerika, termasuk penyakit-penyakit
psikologis yang disebabkan oleh struktur budaya yang dalam Antropologi
Kesehatan disebut dengan istilah “Sindroma Kebudayaan Khusus” seperti
“mengamuk” atau histeris. Selain itu, ahli antropologi juga menaruh minat
pada studi-studi mengenai “Epidemiologi Pembangunan” yaitu mencari
konsekuensi-konsekuensi kesehatan yang sering bersifat mengganggu
terhadap proyek-proyek pembangunan.


D. DAMPAK PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN EKOLOGI
TERHADAP KESEHATAN MANUSIA
Pembangunan mempunyai konotasi positif. Melalui pembangunan,
pemanfaatan yang rasional atas sumberdaya manusia dan fisik dapat
diperoleh, kemiskinan dapat diberantas, pendidikan dapat dinikmati dimanamana,
penyakit dapat diatasi, standar kehidupan menjadi lebih baik. Konsep
pembangunan mencakup intervensi teknologi manusia terhadap
keseimbangan alam. Namun demikian pembangunan juga membawa
dampak negatif terutama pada kesehatan manusia. Pembangunan
bendungan, pembangunan jalan raya, sekolah-sekolah, rumah sakitrumahsakit,
pengeboran minyak, pembukaan pabrik, dan pembangunan lainlain
menyebabkan kecepatan intervensi manusia terhadap alam menjadi
semakin meningkat. Dari sinilah mulai dikenal dengan polusi udara,
kekurangan sanitasi, cara hidup yang berdesakan di daerah pemukiman
miskin di perkotaan (Slums Area), semuanya menimbulkan konsekuensi
konsekuensi kesehatan yang belum dapat dipecahkan secara keseluruhan.
Pembangunan memang harus ada, karena tidak ada alternatif lain bagi dunia
yang semakin padat. Namun ada pembangunan yang “baik” dan ada
pembangunan yang “buruk”. Yang pertama adalah dimana pada suatu
populasi tertentu terdapat keseimbangan, yaitu populasi tersebut menjadi
lebih baik daripada sebelum adanya pembangunan, sedangkan yang kedua,
adalah dimana keadaan populasi justru menjadi lebih buruk dengan adanya
pembangunan.
Kebudayaan adalah sistem keseimbangan yang rumit yang tidak akan
berubah begitu saja, sehingga inovasi yang nampaknya baik bagi suatu
bidang (misalnya, pertanian) kemudian menimbulkan perubahan-perubahan
kedua dan ketiga di bidang lain (misalnya kesehatan) yang dampaknya
melebihi keuntungan yang diharapkan. Hampir selalu terdapat implikasiimplikasi
yang tak terduga pada inovasi yang terencana, beberapa
diantaranya ada yang baik, namun banyak yang kemudian tidak diinginkan.
Dubos menyebutkan model implikasi yang tak terduga ini dengan istilah
ekologi. Semua inovasi teknologi yang berhubungan dengan praktekprekatek
industri, maupun dengan pertanian atau kedokteran, akan
mengganggu keseimbangan alam. Kenyataannya menguasi alam sama
artinya dengan mengganggu keteraturan alam (DuBos, 1965:416).
Pandangan ekologi menyediakan perspektif yang ideal bagi studi mengenai
perubahan-perubahan pembangunan, karena kebanyakan dari proyek-proyek
yang dianalisis melibatkan intervensi terhadap alam.
Contoh-contoh tentang macam-macam masalah kesehatan yang
berhubungan dengan pembangunan:
Kasus penggalian terusan Panama, demam kuninglah yang
mengalahkan insinyur Perancis DeLessup dalam usahanya untuk
menggali terusan; setelah dokter-dokter Amerika menemukan
penyebab sakit kuning, dan setelah vektor nyamuk dibasmi,
barulah keadaan memungkinkan menyelesaikan terusan itu.Sampai akhir-akhir ini malaria endemik telah menyebabkan banyak
dataran-dataran subur tropis hampir tidak didiami.
Penyakit tidur yang disebabkan oleh lalat Tsetse amat membatasi
eksploitasi dari banyak wilayah di Afrika.
Pembangunan yang sukses sering secara berarti menyebabkan peningkatan
munculnya penyakit-penyakit tertentu, menimbulkan masalah-masalah
kesehatan yang sebelumnya tidak ada atau yang relatif hanya sedikit.
Sebaliknya keberhasilan dalam pembasmian penyakit-penyakit infeksi,
menyebabkan ledakan penduduk, yang merupakan bahaya terbesar bagi
kehidupan masa depan kemanusiaan. Kemungkinan juga dengan adanya
pertambahan penduduk, penyakit-penyakit masih juga terdapat diseluruh
dunia, walaupun pengobatan modern telah menunjukkan keberhasilannya
dalam pengawasan penyakit.
Demikianlah saya dihadapkan pada matarantai lingkaran peristiwa yang
disebabkan oleh penyakit. Penyakit menghambat pem-bangunan sehingga
mendorong timbulnya perkembangan pelayanan-pelayanan kesehatan dan
pengawasan penyakit, yang berdampak juga pada macam-macam
pembangunan lainnya. Namun yang seringkali terjadi dibalik keberhasilan
pembangunan kesehatan ini adalah justru terdapat kelebihan penduduk dan
bertambahnya penyakit, sehingga siklus itupun dimulai lagi.
Contoh-contoh dampak pembangunan terhadap macam-macam masalah
kesehatan, secara ringkas adalah sebagai berikut.

1. Pembangunan lembah sungai, di Mesir dan Sudan yang
mengakibatkan bahaya yang cukup tinggi bagi kesehatan, terutama
peningkatan penyakit Bilharziasis (penyakit cacing pita dari genus
Schistosoma ditularkan lewat siput air) dan Ochoncerciasis (buta
sungai, ditularkan oleh vektor lalat yang mengigit dibagian belakan
kepala, merusak saraf mata yang mengakibatkan kebutaan.

2. Pembudidayaan tanah, di Karibia merupakan kondisi ideal bagi
peningkatan pengembangbiakan jenis nyamuk anopheles yang
menularkan penyakit malaria.

3. Pembangunan Jalan Raya, beberapa penyakit yang dulunya terbatas
wilayahnya atau menyebar secara lambat, disebarkan kedaerah-daerah
yang dulunya bebas penyakit, sebagai akibat dari komunikasi besarbesaran
yang dimungkinkan oleh adanya jalan-jalan raya, jalan kereta
api, dan lalulintas udara. Trypanosomiasis (penyakit tidur adalah salah
satu penyakit yang tersebar secara luas di Afrika. Lalat tsetse
merupakan vektor bagi penyakit-penyakit protosoa, yang menulari
manusia dan hewan. Dengan adanya jalan-jalan baru yang
menyebabkan para musafir sering beristirahat dan minum ditepi sungai
dekat jalan raya, merupakan bahaya yang mengacam mereka dari
gigitan lalat tsetse dan infeksi penyakit tidur.

4. Urbanisasi, Migrasi penduduk desa ke daerah-daerah pemukiman
miskin yang padat diperkotaan menyebabkan timbulnya berbagai
maslah kesehatan. Pada awal periode industri di Inggris, angka
Tubercolosis sering amat tinggi, disebabkan karena kepadatan
penduduk dalam rumah, kondisi rumah yang buruk, sehingga
memungkinkan dengan mudahnya baksil TBC, hidup dan menularkan
pada manusia.


E. PERANAN ANTROPOLOGI KESEHATAN DALAM
PEMBANGUNAN MASYARAKAT PAPUA
Dalam bagian ini saya akan menguraikan peranan Antropologi Kesehatan
dalam menjalankan program-program pembangunan yang direncanakan
untuk memberikan perawatan kesehatan yang lebih baik pada masyarakat
Papua. Ini berarti merupakan penerapan masalah pengetahuan Antropologi
Kesehatan dan konsekuensinya.
Fokus yang dibicarakan dalam bagian ini adalah mengenai antropologi
tentang kesehatan atau antropologi dalam kesehatan. Ini berarti membahas
kesehatan dari perspektif antropologi “sebagai ahli antropologi” dan
membahas ahli antropologi sebagai pekerja kesehatan.
Untuk menjadi seorang ahli antropologi kesehatan, seseorang memerlukan
dasar latihan antropologi yang baik, pengalaman penelitian, naluri terhadap
masalah, simpati terhadap orang lain dan tentu saja dapat memasuki dunia
kesehatan dan masyarakat kesehatan yang bersedia menerima kehadiran
para ahli antropologi itu.
Ahli antropologi mempunyai banyak ladang di dalam lembaga kesehatan
atau “masyarakat kesehatan” sebagai tempat kajiannya seperti rumah sakit
jiwa, rumahsakit umum, dokter praktek, para pasien, sekolah-sekolahkedokteran, klinik-klinik, puskesmas dan “masyarakat kesehatan” lainnya.
Metode-metode penelitian yang sama seperti yang dipergunakan ahli
antropologi pada umumnya dalam penelitian tradisional dapat diterapkan
kepada lingkungan-lingkungan itu (“masyarakat kesehatan”). Pranatapranata
kesehatan dalam arti yang luas adalah sejumlah lapangan penelitian
yang sangat produktif bagi para ahli antropologi. Namun tidaklah cukup jika
hanya pranata kesehatan saja yang dipelajari. Para ahli antropologi harus
dapat memasuki pranata itu. Meneliti pranata kesehatan dalam masyarakat
tradisional tidak memerlukan para tenaga kesehatan, tetapi meneliti
“masyarakat kesehatan” tidak cukup seorang ahli antropologi, tetapi ia harus
diterima dalam pranata masyarkat kesehatan dan membutuhkan bantuan
tenaga profesional kesehatan yang lain.

1. Kondisi Ekologis dan Kebudayaan Masyarakat Papua
Papua ditinjau dari lingkungan alam sangat beranekaragam. Menurut
Petocz (1987; 30-37) Lingkungan utama di Papua terdiri dari :
•Hutan Bakau, terdapat di rawa-rawa berair asin payau. Vegetasi ini
tumbuh di sepanjang cekungan yang landai dan paling berkembang
di daerah yang terlindung dari gamparan gelombang air laut. Hutan
bakau yang paling luas terdapat di muara teluk Bintuni.
•Rawa, disepanjang pantai selatan, dataran rendah daerah Kepala
Burung dan pantai utara delta Mamberamo ke arah barat sampai
muara teluk Cenderawasih.
•Hutan basah dataran rendah
•Zone pegunungan bawah
•Zone pegunungan atas
•Zone Alpin
Kategori Petocz di dasarkan pada tinggi daratan diatas permukaan laut.
Walker dan Mansoben (1990), telah menggolongkan masyarakat dan
kebudayaan Papua dalam tiga kategori, tipe-tipe mata pencaharian yang
berkembang di tiga tipe ekologi atau lingkungan alam, yaitu :
•Daerah rawa-rawa, pantai dan banyak sungai
•Daerah kaki bukit dan lembah-lembah kecil
•Daerah dataran tinggi.
Parsudi Suparlan (1994), mengkritik kategori yang dibuat Walker dan
Mansoben dengan menyebutkan bahwa apa yang telah dilakukan mereka
sebenarnya telah mereduksi keanekaragaman kebudayaan-kebudayaan di
Papua ke dalam kategori mata pencaharian dan ekologinya, akan banyak
merugikan warga masyarakat Papua. Mata pencaharian bukanlah suatu
gejala yang merupakan satuan yang berdiri sendiri, tetapi berkaitan
dengan dan didukung oleh pengorganisasian sosial (keluarga, kelompok
kekerabatan, keyakinan keagamaan, hak milik dan penguasaan atas tanah
dan pohon, kekuasaan dan pertahanan, serta berbagai aspek lainnya).
Selanjutnya Parsudi melihat bahwa kerugian yang dimaksud adalah
diabaikannya satuan-satuan budaya yang mendukung kebudayaan
ekonomi dari masyarakat setempat.
Berdasarkan kategori kebudayaan yang dibuat Walker dan Mansoben ini,
oleh Parsudi Suparlan mengusulkan pembagian pola-pola kebudayaan di
Papua dalam suatu penggolongan yang lebih luas yaitu :
•Wilayah pantai dan pulau, yang terdiri atas : (1) Daerah pantai utara,
(2) Daerah-daerah pulau-pulau Biak-Numfor, Yapen, Waigeo dan
pulau-pulau kecil lainnya, (3) Daerah pantai selatan yang penuh
dengan daerah berlumpur dan pasang surut serta perbedaan musim
kemarau dan hujan yang tajam.
•Wilayah pedalaman yang mencakup : (1) Daerah sungai-sungai dan
rawa-rawa (2) Daerah danau dan sekitarnya (3) Daerah kaki bukit
dan lembah-lembah kecil.
•Wilayah dataran tinggi, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Walker dan Mansoben.
Koentjaraningrat mengelompokkan masyarakat Papua berdasarkan letak
geografis dan mata pencahariannya menjadi tiga yaitu :
•Penduduk Pantai dan Hilir
Kelompok ini telah mengadakan kontak dengan dunia modern/luar
kurang lebih 100 tahun yang lalu, dan sudah beragama Kristen dan
Roma Khatolik. Mereka sudah mengalami pendidikan formal dan
kebutuhan hidup tergantung pada pasar dengan sumber alam yang
melimpah.
•Masyarakat Pedalaman
Kelompok-kelompok kecil yang tinggal di sepanjang sungai, di
hutan-hutan rimba. mereka adalah peramu yang sering berpindahpindah
tempat tinggal, jumlah penduduknya tidak besar. Yang
termasuk dalam kelompok ini adalah orang-•Masyarakat Pegunungan Tengah.
Kelompok masyarakat ini terdidri dari beberapa suku bangsa yang
tinggal di lembah-lembah, di pengunungan tengah yang terdiri dari
pegunungan Mooke, Sudirman. Dalam keadaan sekarang mereka ini
pada umumnya tinggal di kebupaten Paniai dan Jayawijaya, jumlah
penduduknya cukup padat. Pemeliharaan ternak babi dan
pembudidayaan Ubi jalar merupakan kegiatan ekonomi yang maha
penting (Giay.B; 1996, 4-5).
Sedangkan kalau kategori suku bangsa berdasarkan bahasa maka ada 271
lebih suku bangsa berarti, ada 271 lebih kebudayaan (Indek of Linguage,
SIL, 1988, Jayapura)
Kategori-kategori ini mempunyai keuntungan tapi juga kerugian terhadap
masyarakat. Keuntungannya adalah karena kategori ini bisa mempermudah
menganlisis dan membuat rencana-rencana dan program. Kerugiannya
adalah kategori ini bisa menjebak saya pada analisis-analisis yang dangkal
dan kurang memperhatikan aspek-aspek yang lain. Namun untuk
kepentingan ilmu, maka perlu ada klasifikasi-klasifikasi demikian. Saya
tidak mau menganut klasifikasi-klasifikasi itu, tetapi orientasi saya bahwa
kebudayaan ini berbeda-beda, tetapi untuk mengkategori perbedaanperbedaan
itu membutuhkan pekerjaan yang besar. Mudah-mudahan ada
pakar-pakar dari Papua ini yang mau melakukan pekerjaan besar ini.
Menurut Koentjaraningrat (1994) kebudayaan di Papua menunjukkan corak
yang beraneka ragam yang disebut sebagai kebhinekaan masyarakat
tardisional Papua.
Dalam kepustakaan Antropologi, Papua dikenal sebagai masyarakat yang
terdiri atas suku-suku bangsa dan suku-suku yang beraneka ragam
kebudayaannya. Menurut Tim Peneliti Uncen (1991) telah diidentifikasi
adanya 44 suku bangsa yang masing-masing merupakan sebuah satuan
masyarakat, kebudayaan dan bahasa yang berdiri sendiri. Sebagian besar
dari 44 suku bangsa itu terpecah lagi menjadi 177 suku. Menurut Held
(1951,1953) dan Van Baal (1954), ciri-ciri yang menonjol dari Papua adalah
keanekaragaman kebudayaannya, namun dibalik keanekaragaman tersebut
terdapat kesamaan ciri-ciri kebudayaan mereka. Perbedaan-perbedaan
kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Papua dapat dilihat
perwujudannya dalam bahasa, sistem-sistem komunikasi, kehidupan
ekonomi, keagamaan, ungkapan-ungkapan kesenian, struktur pollitik dan
struktur sosial, serta sistem kekerabatan yang dipunyai oleh masing-masing
masyarkat tersebut sebagaimana terwujud dalam kehidupan mereka seharihari
Walaupun terdapat keanekaragaman kebudayaan masyarakat di Papua,
tetapi diantara mereka itu juga terdapat ciri-cirinya yang umum dan
mendasar yang memperlihatkan kesamaan-kesamaan dalam inti kebudayaan
atau nilai-nilai budaya mereka. Held mengatakan bahwa kebudayaan orang
Papua bersifat longgar. Strukturnya yang longgar itu disebabkan oleh ciriciri
orang Papua pada umumnya “Improvisator kebudayaan“, yaitu
mengambil alih unsur-unsur kebudayaan dan menyatukannya dengan
kebudayaannya sendiri tanpa memikirkan untuk mengintegrasikannya
dengan unsur-unsur yang sudah ada dalam kebudayaannya, secara
menyeluruh (Parsudi Suparland, 1994). van Baal (1951) mengatakan bahwa
ciri utama kebudayaan Papua adalah tidak adanya integrasi yang kuat dari
kebudayaan-kebudayaan mereka. Ciri-ciri kebudayaan tersebut muncul
karena kebudayaan orang Papua yang rendah tingkat teknologinya dan yang
dihadapkan pada lingkungan hidup yang keras sehingga dengan mudah
menerima dan mengambil alih suatu unsur kebudayaan lain yang lebih maju
atau lebih cocok.
Kebudayaan-kebudayaan Papua juga terbentuk atas interaksi diantara
masyarakat-masyarakat Papua dan masyarakat di luar Papua. Interaksi
dalam kategori yang terakhir diulas panjang lebar oleh Koentjaraningrat
(1994). Dalam awal kontak interaksi yang memberi dampak dalam
kehidupan penduduk Papua dengan akibat terjadinya perubahan-perubahan
kebudayaan mereka adalah kontak interaksi dengan para pedagang yang
mencari burung Cenderawasih dan menukarnya dengan kain Timor dan
Manik-manik, para penyebar agama Kristen dan Katholik, yang
mengkristenkan mereka melalui pendidikan formal dengan bahasa Melayu
sebagai bahasa pengantarnya; Penyebaran teknologi dan penggunaan uang
oleh pemerintahan jajahan Belanda di Papua dan kemudian oleh pemerintah
Republik Indonesia. Kontak-kontak dengan kebudayaan dari luar telah
memungkinkan orang Papua lebih terbuka dari sebelumnya, dan
keterbukaan suku bangsa atau suku ini telah dimungkinkan

2. Program-program Pembangunan Kesehatan di Provinsi Papua
Pembangunan kesehatan di Provinsi Papua dilaksanakan melalui empat
strategi yaitu ;
•Pembanguan daerah berwawasan kesehatan, artinya program
pembangunan tersebut harus memberikan kontribusi yang positif
terhadap kesehatan yang meliputi pembentukan lingkungan yang
sehat dan pembentukan perilaku yang sehat.
•Profesionalisme tenaga kesehatan. Untuk terselenggaranya
pelayanan kesehatan yang bermutu, perlu didukung oleh penerapan
ilmu dan teknologi bidang kesehatan masyarakat dan kedokteran.
•Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat. Kemandirian
masyarakat dalam melaksanakan pola hidup sehat perlu
ditingkatkan dan partisipasi masyarakat seluas-luasnya termasuk
peran sertanya dalam pembiayaan kesehatan perlu digalakkan.
•Desentralisasi. Untuk keberhasilan pembangunan kesehatan,
penyelenggaraan pelbagai upaya kesehatan harus bertitik tolak dari
masalah kesehatan yang ada dan potensi spesifik daerah untuk
mengatasinya.
Dalam jangka pendek, langkah utama pengembangan kesehatan ditujukan
untuk mempertahankan keadaan kesehatan dan gizi masyarakat dari dampak
buruk terjadinya krisis ekonomi, terutama dari keluarga miskin.
Dalam jangka menengah, kebijakan umum pembangunan kesehatan antara
lain adalah :
•Pemantapan kerjasama lintas sektor
•Peningkatan perilaku peningkatan dan kemitraan antara pemerintah
dan swasta dalam pembanguan kesehatan
•Peningkatan kesehatan lingkungan
•Peningkatan upaya kesehatan masyarakat
•Peningkatan kemampuan dalam penyususnan kebijakan dan
manajemen pembangunan kesehatan,
•Peningkatan perlindungan kesehatan masayarakat terhadap
penggunaan sediaan farmasi, makanan dan alat kesehatan yang tidak
absah,
•Peningkatan pengetahuan dan teknologi.

2.1. Program Perilaku Sehat Dan Pemberdayaan Masyarakat
Program ini bertujuan untuk memberdayakan individu dan masayarakat
dalam bidang kesehatan untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi
kesehatannya sendiri dari lingkungannya menuju masyarakat yang sehat,
mandiri dan produktif.
Sasarannya adalah terciptanya keberdayaan individu dan masyarakat dalam
bidang kesehatan yang ditandai oleh peningkatan perilaku hidup sehat dan
peran aktif dalam memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan diri
dan lingkungan sesuai budaya setempat.

2.2. Program Lingkungan Sehat
Program ini bertujuan untuk mewujudkan lingkungan hidup yang bersih
sehat agar dapat melindungi masyarakat dari ancaman bahaya yang berasal
dari lingkungan sehingga tercapai derajat kesehatan individu, keluarga dan
masyarakat yang optimal.
Secara umum sasaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya suatu
lingkungan yang bersih dan sehat yang berasal dari kesadaran masyarakat
akan kesehatan dengan ditunjang oleh kelengkapan pelayanan pemerintah
dalam memenuhi persyaratan kebersihan lingkungan maupun individu.

2.3. Program Upaya Kesehatan
Tujuan dari program ini adalah meningkatkan pemerataan dan mutu upaya
kesehatan yang berhasil guna dan berdayaguna serta terjangkau oleh
segenap anggota masyarakat. Secara umum program ini adalah tersedianya
pelayanan kesehatan dasar dan rujukan baik pemerintah maupun swasta
yang didukung oleh peran serta masyarakat dan sistem pembiayaan pra
upaya.
Sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatnya mutu kesehatan
masyarakat yang ditunjang dengan meningkatnya mutu pelayanan kesehatan
oleh pemerintah yang berasaskan pemerataan dan keadilan pelayanan secara
intensif dan keseluruhan.

2.4. Program Sumber Daya Kesehatan
Tujuan program ini secara umum adalah menngkatkan jumlah, mutu danefisiensi penggunaan biaya yang dapat penggandaan produksi bahan baku
dan obat yang bermutu aman.
Sasaran umum program ini adalah terdapatnya kebijakan dan rencana
pengembangan tenaga kesehatan dari masyarakat, digunakannnya tenaga
kesehatan yang ada, berfungsinya pendidikan dan pelatihan tenaga
kesehatan, meningkatnya jaringan pemberi pelayanan kesehatan paripurna
dan bermutu.

2.5. Program Obat, Makanan Dan Bahan Berbahaya
Program ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya
penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat, prikotropika, narkotika, zat aditif
(NAPZA) dan bahan berbahaya lainnya. Di samping itu program ini
bertujuan untuk melindungi masyarakat dari penggunaan sediaan farmasi,
makanan dan alat kesehetan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan
keamanan.
Sasaran yang ingin dicapai oleh program ini adalah terlindungi masyarakat
dari kesalahan penggunaan NAPZA sehingga tercapainya tujuan medis
penggunaan obat secara efektif dan aman dengan ketersediaan obat yang
bermutu.

2.6. Program Kebijakan Dan Manajemen Pembangunan Kesehatan
Program ini bertujuan memberikan masukan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk menunjang pembangunan kesehatan, mendukung
perumusan kebijakan masalah kesehatan, dan mengatasi kendala dalam
pelaksanaan program kesehatan.
Sasaran program ini adalah makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi yang digunakan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, gizi,
pendayagunaan obat, pemberatasan penyakit dan perbaikan lingkungan.
Makin berkembangnya penelitian yang berkaitan dengan ekonomi kesehatan
untuk membantu upaya-upaya mengoptimalkan pemanfaatan biaya
kesehatan dari pemerintah dan swasta. Makin meningkatnya penelitian
bidang sosial budaya dan perilaku hidup sehat untuk mengurangi masalah
kesehatan masyarakat.

3. Peranan Ahli Antropologi Kesehatan terhadap Penanganan
Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Papua
Enam program utama dalam lembaga Dinas Kesehatan Provinsi Papua
seperti tersebut di atas kalau diperhatikan dengan seksama sangat berkaitan
dengan peranan antropologi dalam menangani masalah kesehatan. Fokus
program-program tersebut pada penanganan kebiasaan buruk yang
menyebabkan sakit, penanganan partisipasi masyarakat memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang disediakan pemerintah, meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kualitas manusia tenaga
kesehatan dan penanganan dampak ekologi terhadap kesehatan manusia.
Seperti sudah diuraikan di atas bahwa antropologi kesehatan mengkaji
biokultural kesehatan manusia dan ini berarti penggunaan tenaga
antropologi sangat dibutuhkan dalam penanganan program-program
kesehatan tersebut. Atau tenaga kesehatan yang bekerja di Dinas Kesehatan
Provinsi Papua yang tersebar diberbagai kabupaten kota di Papua perlu
memiliki pengetahuan antropologi kesehatan dalam mengatasi masalahmasalah
praktis yang mereka hadapi di lapangan.
Penggunaan tenaga antropologi kesehatan dalam program-program
pembangunan kesehatan di Papua, menurut saya masih sangat rendah.
Sepanjang pengetahuan saya keterlibatan tenaga antropologi kesehatan
dipakai untuk riset-riset tertentu saja, tetapi belum pernah digunakan dalam
perencanaan pembangunan kesehatan, keterlibatan sebagai konsultan dalam
penanganan kegiatan program kesehatan di Dinas Kesehatan Provinsi
Papua.
Tetapi tenaga kesehatan belajar antropologi pernah di programkan oleh
Dinas Kesehatan Provinsi Papua bekerjasama dengan Jurusan Antropologi
Uncen pada tahun 1998. 15 orang tenaga perawat dari 12 kabupaten dan 2
kota di Provinsi Papua belajar Antropologi di Program studi Antropologi
UNCEN. Saat ini mereka telah menyelesaikan pendidikan antropologinya di
Uncen, sayangnya sampai saat ini belum ada evaluasi bagaimana
penggunaan ilmu antropologi kesehatan dalam penanganan masalah
kesehatan di Provinsi Papua.

3.1. Penanganan kebiasaan buruk yang menyebabkan sakit
Ini berkaitan dengan pranata-pranata kebudayaan yang mengatur perilaku
manusia tentang kebiasaan-kebiasaan yang dapat menyebabkan
terjangkitnya penyakit. Bicara pranata-pranata kebudayaan yang mengatur
perilaku manusia merupakan salah satu isu yang dipelajari oleh IlmuAntropologi Kesehatan dan ini merupakan pengetahuan dasar yang harus
dimiliki oleh seorang antropolog. Dengan demikian penggunaan ilmu
antropologi kesehatan sangat dibutuhkan dalam program Dinas Kesehatan
tentang “Program Perilaku Sehat dan Pemberdayaan Masyarakat”. Sekarang
tinggal bagaimana kerjasama antara Jurusan Antropologi dengan Dinas
Kesehatan Provinsi Papua dalam melibatkan tenaga Antropologi Kesehatan
dalam program-program Dinas Kesehatan.

3.2. Penanganan partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang disediakan pemerintah
Antropologi mempunyai metode yang khas dan tidak dimiliki oleh ilmuilmu
lain, yaitu Observasi partisipasi. Metode ini yang sering
menghebohkan dunia ilmu pengetahuan dengan penemuan-penemuan baru
yang sangat berguna dalam membangun suatu masyarakat. Kadang-kadang
di lingkungan dunia “praktis”, cara masuk untuk menumbuhkan partisipasi
masyarakat sangat lambat dan bahkan tidak berhasil karena pendekatan yang
digunakan keliru. Ilmu Antropologi memahami kebudyaan manusia dan
mengerti orientasi nilai dalam suatu masyarakat yang menjadi acuan dalam
hidupnya untuk melakukan sesuatu (partisipasi dalam bahasa dunia
“praktis”). Dengan memahami orientasi nilai ini, partisipasi sangat mudah
dibangun dalam menjalankan program pembangunan. Disinilah letak
penggunaan ilmu antropologi dalam meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pembangunan kesehatan. Oleh karena itu tenaga antropologi sangat
dibutuhkan dalam program pembangunan kesehatan di Papua.
Sering terjadi pada masyarakat sederhana lebih percaya pada pengobatan
tradisional dari pada pengobatan modern karena alasan nilai yang dipakai
untuk melihat sistem pelayanan yang dibangun oleh kedua pengobatan
tersebut. Ahli antropologi lebih memahami konsep ini daripada tenaga
kesehatan. Konsep “Etik” dan Konsep “Emik” lebih dikuasai oleh ahli
antropologi daripada tenaga kesehatan. Oleh karena itu ahli antropologi
sangat dibutuhkan dalam merancang sistem pelayanan kesehatan moderen
yang bisa diterima masyarakat tradisional.


F. KESIMPULAN
•Antropologi Kesehatan berdasarkan definisinya mempelajari
kesehatan manusia dari dua sisi, yaitu cultural dan biologis tetapi
tidak dilihat terpisah sehingga disebut biocultural.
•Penggunaan ilmu ini dalam “masyarakat kesehatan” sangat berguna
membantu keberhasilan program-program kesehatan dalam dunia
praktis.
•Dunia Praktis di Papua (pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan)
sudah saatnya memakai ahli antropologi sebagai perencana,
pelaksana dan evaluator serta konsultan sebagai bagian dari sistem
manajeman Dunia Praktis mereka secara keseluruhan.


G. BIBLIOGRAFI
Caudill, William. 1953. Applied Anthropology in Medicine. Dalam
Anthropology Today: An Encyclopedic Inventory. A.L. Kroeber, edt. Hlm
771-806. Chicago. The University of Chicago Press.
Clausen John A. 1963. Social Factors in Disease. Dalam Medicine and
Society. J.A. Clausen and R. Strauss, edt.The Annuals of Amrican Academy
of Political and Social Science346. Hlm 138-148.
DuBos Rene. 1963. Man Adapting. New Haven. Yale University Press.
Fabrega, Horacio, Jr. 1970. Medical Anthropology. Dalam Bienial Review
of Anthropology B.H. Siegel, ed. Hlm. 30-68. Stanford, California. Stanford
University Press.
Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti.
Giay Beni. 1996. Pembangunan Irian Jaya dalam Perspektif Agama, Buda
ya dan Antropologi, dalam Buletin Deiyai No. 5/thn I/Mei-Juni, 1996,
Jayapura.
Glick L.B 1967. Medicine as an Ethnographic Category: The Gimi of New
Guinea Highlands. Etnology Buletin
Hochstrasser, Donald L dan Jesse W. Tapp, Jr. 1970. Social Medicine and
Public. Dalam Anthropology and the Bihavioural and Health Science.
Pittburgh. University of Pitsburgh Press.
Hassan, Khwaja Arif dan B.G. Prassad. 1959. A Note on The Contributions
of Anthropology to Medical Science. Journal of the Indian Medical
Assosiation. 33: hlm 182-190.
Hardesty, Donald L. 1977. Ecological Anthropology. New York. John
Wiley
Koentjaraningrat. 1994. Papua Membangun Masyarakat Majemuk,
Jakarta, Jambatan.
Lieben Richard W. 1970. Medical Anthropology. Dalam Handbook of
Social and Cultural Anthropology. J.J Honigmann, ed. Hlm. 1031-1072.
Chicago. Rand McNally.
Paul Benyamin D. 1963. Anthropology Perspectives on Medicine and Public
Health. Dalam Medicine and Society.
J.A. Clausen and R. Strauss, edt. Hlm. 34-43. The Annual of the American
Academy of Political and Social Science.
Pearsall, Marion. 1963. Medical Behavioural Science: A Selected
Bibliography. Lexington. University of Kentucky Press.
Petocz, R. 1987. Konservasi Alam di Papua, Jakarta, Grafiti
Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta
Apli kasinya, Yogyakarta, Gadjah Mada Press.
Scotch, Norman A. 1963. Medical Anthropology dalam Bienial Review of
Anthropology B.H. Siegel, ed. Hlm. 30-68. Stanford, California. Stanford
University Press.
Suparlan, Parsudi. 1994. Keanekaragaman Kebudayaan, Strategi
Pembangunan dan Transformasi Sosial, dalam Buletin Penduduk dan
Pembangunan, Jilid V No. 1-2, Lembaga Iimu Pengetahuan Indonesia
(LIPI).
Suparlan, Parsudi. 1994a. The Diversity Of Cultures In Irian Jaya, The
Indonesian Quartely, 22:2, 170-182.
Tim Peneliti Univesrsitas Cenderawasih. 1991. Laporan Penelitian
Penyusunan Peta Sosial Budaya Papua; Pusat Penelitian Universitas
Cenderawasih
Walker, M & Johz Mansoben. 1990. Papua Cultures; An Overview, Buletin
Of Papua, 18:1-16.
Weaver, Thomas. 1967. Medical Anthropology: Trends in Reasearch and
Medical Education. University of Georgia Press.

1 comment:

Anonymous said...

Saya boleh ambil ini jadi referensi buatkan skripsi